dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang, berupa janji, ancaman, penolakan, ikrar. Tindak perlokusi mitra tutur E7 yakni, mitra tutur
memarahi dan menyindir penutur. Sedangkan, tindak perlokusi mitra tutur E8 adalah mitra tutur pergi mencari orang ketiga bapak, kemudian orang ketiga
memarahi penutur karena tidak mau mengalah dengan adiknya. Tindak perlokusi mitra tutur yang tidak terima dengan tuturan penutur merupakan salah satu faktor
menjadikan tuturan ini masuk ke dalam kategori menimbulkan konflik. Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menolak, karena penutur
menolak suruhan mitra tutur. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur
E7 dan E8 memiliki maksud menolak dalam tuturannya. Mereka sama-sama menolak suruhan mitra tutur, tetapi penolakan tersebut justru membuat
permasalahan jadi semakin panjang sehingga timbullah konflik antara penutur dan mitra tutur.
4.3.5.3 Subkategori Menyinggung
Cuplikan tuturan 47 E1 MT
: “Haduh, Bu. Dino iki ra oleh opo-opo, Bu.”
P : “Itu kan tanggungjawab suami.”
MT : “Wolha kurang ajar.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menyindir dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud
pragmatik dari tuturan E1 adalah penutur berbicara dengan cara ketus dan ngelantur kepada mitra tutur, padahal mitra tutur merupakan suami dari penutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E1 menggunakan intonasi
berita dalam tuturannya. Intonasi ini memberitakan atau menginformasikan sesuatu kepada mitra tutur. Penutur menginformasikan dan mengingatkan kembali
kepada mitra tutur bahwa bekerja dan mencari nafkah itu sudah menjadi tanggung jawab suami. Penutur menggunakan kata fatis
kan
pada tuturannya, dan diletakkan pada tengah kalimat. Kridalaksana 1986 menjelaskan bahwa apabila
kan
terletak di tengah kalimat maka
kan
juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan. Nada tutur yang digunakan penutur adalah nada sedang. Walaupun
nada tutur yang digunakan adalah nada sedang, tetapi sudah membuat mitra tutur marah, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Seluruh tuturan penutur ditekankan
dengan keras oleh penutur. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya penutur benar-benar kesal dengan mitra tutur. Diksi yang digunakan penutur E1 adalah
bahasa populer, yakni kata-kata yang dikenal dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 47 adalah penutur merupakan perumpuan berusia 40 tahun dan mitra tutur merupakan laki-laki berusia 43 tahun.
Penutur merupakan istri dari mitra tutur. Pekerjaan penutur adalah ibu rumah tangga, dan mitra tutur bekerja sebagai nelayan di pantai Congot. Mereka berdua
mempunyai hubungan suami istri, jadi hubungan keakraban mereka adalah sangat dekat.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 47 adalah mitra tutur baru saja pulang dari
melaut, tapi tidak mendapat hasil yang memuaskan. Mitra tutur dalam keadaan lelah sepulangnya dari bekerja. Penutur dan mitra tutur bercakap-cakap di teras
rumah, dan mitra tutur memberitahu penutur bahwa ia tidak membawa hasil yang banyak. Penutur kesal karena mitra tutur yang bekerja seharian justru pulang
dengan tidak membawa hasil apa-apa. Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan
penutur E1 adalah penutur memberitahu mitra tutur bahwa mencari nafkah merupakan tanggung jawab mitra tutur.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 47 terjadi di rumah, tepatnya di teras rumah pada siang hari. Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur E1 adalah tindak verbal representatif. Tindak verbal ini
merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan, berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.
Tuturan ini masuk ke dalam jenis tindak verbal representatif karena penutur mencoba untuk menegaskan sesuatu yang diyakini oleh penutur. Tindak perlokusi
mitra tutur adalah karena mitra tutur sedang dalam keadaan lelah, kemudian emosinya juga menaik dan mitra tutur tidak terima dengan tuturan penutur,
sehingga mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan kata-kata kasar.
Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menyinggung, karena tuturan penutur cenderung menyinggung perasaan mitra tutur. Setiap penutur
memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur E1 memiliki maksud kecewe dalam
tuturannya. Kekecewaan penutur karena mitra tutur yang pergi seharian tetapi
tidak membawa hasil apa-apa. 4.3.5.4
Subkategori Mengumpat Cuplikan tuturan 48 E2
MT : “Itu kan tanggungjawab suami.”
P : “Wo lha kurang ajar Asu cenan.”
MT : “Huuusss... Omongane, Pak.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori mengumpat dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Cuplikan
tuturan 48 ini merupakan kelanjutan dari cuplikan tuturan 47. Wujud pragmatik dari tuturan E2 adalah penutur berbicara dengan cara keras, kasar, dan ngelantur
kepada mitra tutur, padahal mitra tutur merupakan istri dari penutur. Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis,
nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E2 menggunakan intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk membentak mitra
tutur yang sudah membuatnya kesal. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Nada tinggi digunakan oleh penutur karena ia sedang
dalam keadaan emosi. Penutur juga menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa
kurang ajar
dan
Asu cenan
. Penutur menekankan pada frasa tersebut karena frasa tersebut yang membuat tuturan
menjadi sangat tidak santun. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa
nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena selain sudah
menjadi bahasa sehari-hari, keadaan penutur sangat emosi sehingga keluarlah bahasa Jawa sebagai bahasa yang sering ia gunakan.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 48 adalah penutur merupakan laki-laki berusia 43 tahun dan mitra tutur merupakan perumpuan berusia 40 tahun.
Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Pekerjaan penutur adalah nelayan pantai Congot, dan mitra tutur bekerja sebagai ibu rumah tangga. Mereka berdua
mempunyai hubungan suami istri, jadi hubungan keakraban mereka adalah sangat dekat.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 48 adalah penutur baru saja pulang dari
melaut, tapi tidak mendapat hasil yang memuaskan. penutur dalam keadaan lelah sepulangnya dari bekerja. Penutur dan mitra tutur bercakap-cakap di teras rumah,
dan penutur memberitahu mitra tutur bahwa ia tidak membawa hasil yang banyak. Mitra tutur kesal karena penutur yang bekerja seharian justru pulang dengan tidak
membawa hasil apa-apa, sehingga mitra tutur menyinggung penutur dengan kata- kata yang sembrono.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur E2 adalah penutur menanggapi tuturan mitra tutur yang kurang berkenan
di hati penutur. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 48 terjadi di rumah, tepatnya di teras rumah pada siang hari.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E2 adalah tindak verbal ekspresif. Tindak verbal ekspresif penutur dikarena ia tidak senang dengan tuturan mitra tutur yang disampaikan
dengan sembrono. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan peringatan.
Tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori mengumpat, karena tuturan penutur menekankan umpatan yang dituturkan penutur. Setiap penutur memiliki
maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur E2 memiliki maksud kesal dalam tuturannya.
Kekesalan penutur karena mitra tutur yang berbicara seenaknya tanpa
memperhatikan keadaan yang sebenarnya. 4.3.5.5
Subkategori Menegur Cuplikan tuturan 49 E3
P
: “Mbog le noto kayu ora teng jlempah. Nanti kalo ada tamu, nanti kalo ada orang lewat. Wong omah yo neng pinggir
dalan.”
MT : “Karang nggone yo koyo ngene, rakyo sesok”
P : “Welha...malah nesu.”
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menegur dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud pragmatik
dari tuturan E3 adalah penutur berbicara kepada istrinya dengan sembrono dan tuturan penutur disampaikan dengan cara sinis.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E3 menggunakan intonasi
berita dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk memberitahu mitra tutur mengenai tatanan kayu yang sedang ia tata. Kata fatis yang digunakan
penutur adalah
ya
. Kata fatis
ya
bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan lawan bicara. Penutur menggunakan nada sedang dalam
penyampaian tuturannya. Penggunaan nada sedang penutur tetap menjadikan tuturannya tidak santun karena disampaikan dengan sembrono dan tidak dalam
situasi yang tepat. Penutur menggunakan tekanan lunak pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa
Mbog le noto kayu ora teng jlempah
. Penutur menekankan pada frasa tersebut karena frasa tersebut yang membuat tuturan
menjadi sangat tidak santun dan membuat mitra tutur kesal. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar
merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.
Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah
aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek
penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 49 adalah penutur merupakan laki-laki berusia 42 tahun dan mitra tutur merupakan perumpuan berusia 39 tahun.
Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Pekerjaan penutur adalah nelayan pantai Congot, dan mitra tutur bekerja sebagai pedagang dan ibu rumah tangga.
Mereka berdua mempunyai hubungan suami istri, jadi hubungan keakraban mereka adalah sangat dekat.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 49 adalah terdapat rumah kayu di samping
rumah penutur. Penutur sedang duduk santai di teras rumah, sedangkan mitra tutur sedang sibuk menata kayu. Penutur menegur mitra tutur untuk merapikan tatanan
kayunya, karena rumah kayunya berada di samping rumah, sekaligus di pinggir jalan, sehingga bila tidak rapi akan merusak pemandangan.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur E3 adalah penutur menegur mitra tutur untuk merapikan tatanan kayunya.
Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan
tuturan 49 terjadi di rumah, penutur berada di teras rumah, sedangkan mitra tutur berada di samping rumah. Waktu tuturan ini terjadi pada sore hari.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E3 adalah tindak verbal direktif. Tindak verbal direktif penutur dikarena ia menyuruh mitra tutur untuk melakukan sesuatu, yakni
merapikan tatanan kayunya. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur tetap
melanjutkan merapikan kayunya sambil menanggapi tuturan dari penutur dengan sanggahan.
Berdasar penanda pragmatik di atas, uturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menegur. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur E3 memiliki maksud memberitahu dalam tuturannya. Pemberitahuan penutur
sebenarnya baik, tetapi ia tidak melihat situasi yang sedang terjadi saat itu,
sehingga justru membuat suasana menjadi tidak enak. 4.3.5.6
Subkategori Mengancam Cuplikan tuturan 51 E5
MT : menangis P
: “Ayo... iso meneng ora” digeblek atau dipukul.
Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori mengancam dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik. Wujud
pragmatik dari tuturan E5 adalah penutur berbicara dengan ketus dan dibarengi dengan ancaman terhadap mitra tutur.
Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur E5 menggunakan intonasi
perintah dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kata fatis yang digunakan penutur
adalah
ayo
. Kata fatis
ayo
bertugas menekankan ajakan atau suruhan. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada
tinggi penutur dikarenakan penutur kesal dengan mira tutur yang selalu menangis cengeng. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras
tersebut terletak pada frasa
Iso meneng ora
. Penutur menekankan pada frasa tersebut karena frasa tersebut merupakan ancaman dari penutur. Diksi yang
digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur
memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari. Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang
dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai
bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 51 adalah penutur dan mitra tutur
merupakan laki-laki. Usia mitra tutur baru 6 tahun. Penutur bekerja sebagai nelayan di pantai Trisik. Hubungan keakraban mereka adalah ayah dan anak.
Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 51 adalah tuturan terjadi pada saat mitra
tutur sedang nangis di rumah. Penutur pulang bekerja dengan keadaan yang letih. Penutur tersulut emosinya karena anaknya rewel terus-terusan.
Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur E5 adalah penutur menyuruh anaknya untuk tidak rewel lagi, tetapi
disertai dengan ancaman akan memukul. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 51 terjadi di rumah, tepatnya di halaman rumah.
Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur.
Tindak verbal penutur E5 adalah tindak verbal komisif. Tindak verbal komisif penutur dikarena ia mengancam mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur adalah
mitra tutur melakukan apa yang diperintah penutur, tetapi terdapat orang ketiga, yakni istrinya yang marah kepada penutur karena kasar terhadap anak.
Berdasar penanda pragmatik di atas, uturan tersebut tergolong ke dalam subkategori mengancam. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam
penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur E5 memiliki maksud kesal dalam tuturannya. Kekesalan penutur muncul karena
anaknya yakni mitra tutur sering menangis, ditambah lagi dengan keadaan penutur yang letih sehabis pulang dari kerja.
202
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan dua hal, yaitu 1 simpulan dan 2 saran. Simpulan meliputi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran meliputi hal-
hal relevan yang kiranya perlu diperhatikan, baik untuk mahasiswa jurusan
pendidikan bahasa maupun penelitian lanjutan. 5.1
Simpulan
Dari hasil analisis data ditemukan tuturan yang tidak santun dalam interaksi dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran
dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Simpulan hasil analisis dapat dikemukakan sebagai berikut.
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Lingustik dan Pragmatik
Wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot,
Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta berupa tuturan lisan tidak santun yang telah ditranskrip, yakni tuturan yang melanggar norma, mengancam
muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik. Sedangkan, wujud ketidaksantunan pragmatiknya berupa cara yang
menyertai tuturan lisan tidak santun yang disampaikan oleh penutur.
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa intonasi, penggunaan kata fatis, nada tutur, tekanan, dan diksi yang dapat diuraikan dalam
masing-masing kategori ketidaksantunan. Sedangkan, penanda ketidaksantunan