Optimasi Konstanta Kinetika Penyerapan Obat Pada Model Compartment Absorption And Transit Menggunakan Algoritma Particle Swarm Optimization.

OPTIMASI KONSTANTA KINETIKA PENYERAPAN OBAT
PADA MODEL COMPARTMENT ABSORPTION AND TRANSIT
MENGGUNAKAN ALGORITMA PARTICLE SWARM
OPTIMIZATION

KEMAL PRABOWO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimasi Konstanta
Kinetika Penyerapan Obat pada Model Compartment Absorption and Transit
Menggunakan Algoritma Particle Swarm Optimization adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Kemal Prabowo
NIM G751140031

RINGKASAN
KEMAL PRABOWO. Optimasi Konstanta Kinetika Penyerapan Obat pada Model
Compartment Absorption and Transit Menggunakan Algoritma Particle Swarm
Optimization. Dibimbing oleh AGUS KARTONO dan TONY IBNU SUMARYADA.
Simulasi konstanta laju kinetika obat pada pemodelan obat oral Compartment
Absorption and Transit (CAT) menggunakan algoritma Particle Swarm Optimization
(PSO) algoritma telah dilakukan. Penelitian ini melakukan optimasi nilai konstanta
laju kinetika obat oral menggunakan algoritma PSO untuk mendapatkan nilai
konstanta transport terbaik pada persamaan CAT yang dapat memprediksi konsentrasi
obat dalam plasma terhadap waktu. Nilai dari konstanta laju kinetika obat atenolol
dengan dosis 25 mg/kg bobot badan (BB), 50 mg/kg BB dan 100 mg/kg BB adalah
K10, K12, K21, K13 dan K31 dengan masing-masing nilai untuk dosis 25 mg/kg BB adalah
0.8195, 0.4689, 0.1203, 0.8382 dan 1.000; 50 mg/kg BB adalah 0.8370, 0.8463, 0.2789,
0.2370, dan 1.000; 100 mg/kg BB adalah 0.8061, 0.8004, 0.2316, 0.4532, dan 1.000

telah diperoleh sehingga meningkatkan nilai koefisien determinasi (R2) dan korelasi
(R) dari model CAT.
Data eksperimen konsentrasi plasma obat yang digunakan adalah Atenolol,
koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari simulasi atenolol 25 mg/kg BB tanpa
PSO adalah 0.8170 dan dengan PSO adalah 0.9228; Atenolol 50 mg/kg BB tanpa PSO
adalah 0.8125 dan dengan PSO adalah 0.9318; Atenolol 100 mg/kg BB tanpa PSO
adalah 0.9108 dan tanpa PSO adalah 0.9622. Hasil dari pemodelan dengan dan tanpa
menggunakan algoritma PSO menghasilkan pola grafik yang tidak jauh berbeda antara
hasil simulasi dengan data eksperimen sehingga dapat juga dilihat dari nilai korelasi
(R) yang didapatkan pada variabel konstanta laju kinetika untuk semua subjek
melebihi 0.9 dimana model diusulkan cocok dengan data eksperimen. Berdasarkan
hasil simulasi konstanta laju kinetika obat model CAT dengan bantuan PSO dapat
memprediksi konsentrasi obat pada plasma lebih baik daripada model CAT tanpa
pengunaan PSO.
Kata kunci: Atenolol, Compartment Absorption and Transit, Farmakokinetik, Obat
oral, Particle Swarm Optimization

SUMMARY
KEMAL PRABOWO. Constant Optimization Of Oral Drug Absorption Kinetics
in The Compartment Absorption and Transit Models Using Particle Swarm

Optimization Algorithm. Guided by AGUS KARTONO and TONY IBNU
SUMARYADA.
Simulation of kinetic rate constants in oral drug Compartment Absorption
and Transit (CAT) model using an algorithm Particle Swarm Optimization (PSO)
algorithm has been performed. This research will be carried out optimization of
kinetic constant value oral drug use PSO algorithm to obtain the best transport
constant values for CAT equation that can predict drug concentration in plasma
against time. The value of the rate constant kinetics of the drug atenolol 25 mg / kg
body weight (BW), 50 mg/kg and 100 mg/kg is K10, K12, K21, K13 and K31 with
respective values for drug dosage 25 mg / kg BW is 0.8195, 0.4689, 0.1203, 0.8382
and 1.000; 50 mg / kg was 0.8370, 0.8463, 0.2789, 0.2370, and 1.000; 100 mg/kg
was 0.8061, 0.8004, 0.2316, 0.4532, and 1.000 have been obtained thus increasing
the coefficient of determination (R2) and correlation (R) of the model CAT.
Experimental data plasma concentrations of the drug used is Atenolol, the
coefficient of determination (R2) obtained from simulation atenolol 25 mg / kg body
weight without PSO is 0.8170 and using PSO is 0.9228; Atenolol 50 mg/kg body
weight without PSO is 0.8125 and using PSO is 0.9318; Atenolol 100 mg/kg body
weight without PSO is 0.9108 and using 0.9622. The results of modeling with and
without using the algorithm PSO produce a chart pattern that is not much different
between the simulation results with experimental data so that it can also be seen

from the correlation value (R) obtained in the variable rate constant kinetics for all
subjects exceeds 0.9 where a model is proposed to fit the data experiment. Based
on the simulation results of drug kinetic rate constants CAT modelswith the use of
PSO can predict drug concentration in plasma better than CAT models without the
use of PSO.
Keywords: Atenolol, Compartment Absorption and Transit, Oral Drug, Particle
Swarm Optimization, Pharmacokinetics

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

OPTIMASI KONSTANTA KINETIKA PENYERAPAN OBAT
PADA MODEL COMPARTMENT ABSORPTION AND TRANSIT
MENGGUNAKAN ALGORITMA PARTICLE SWARM

OPTIMIZATION

KEMAL PRABOWO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Dra Laksmi Ambarsari, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah
farmakokinetika, dengan judul Optimasi Konstanta Kinetika Penyerapan Obat pada
Model Compartment Absorption and Transit Menggunakan Algoritma Particle
Swarm Optimization.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Agus Kartono dan Bapak Dr
Tony Ibnu Sumaryada selaku pembimbing, serta Ibu Dr Laksmi Ambarsari yang
telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2016
Kemal Prabowo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2


2 TINJAUAN PUSTAKA
Kinetika Obat pada Tubuh
Model Compartment Absorption and Transit
Atenolol
Model Terbuka Tiga Kompartemen
Particle Swarm Optimization

2
2
4
6
6
7

3 METODE
Alat
Prosedur Analisis Data
Modifikasi Persamaan CAT di Usus Halus
Solusi Persamaan CAT di Usus Halus
Analisis Hasil Keluaran


8
8
8
9
9
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Prediksi Konsentrasi Obat pada Plasma

11
12

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

18
18

18

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Parameter persamaan model CAT
2 Parameter model terbuka tiga kompartemen
3 Parameter hasil simulasi model CAT terbuka tiga kompartemen

6

7
13

DAFTAR GAMBAR
1 Mekanisme obat dalam tubuh
3
2 Transit linier dan kinetika absorpsi pasif pada model Compartment
Absorption and Transit (CAT)
4
3 Skema model terbuka tiga kompartemen dengan eliminasi kompartemen
sentral
7
2
4 Model CAT tanpa PSO obat atenolol 25 mg/kg BB, R =0.8170
15
5 Model CAT tanpa PSO obat atenolol 50 mg/kg BB, R2=0.8125
15
6 Model CAT tanpa PSO obat atenolol 100 mg/kg BB, R2=0.9108
15
7 Model CAT dengan PSO obat atenolol 25 mg/kg BB, R2=0.9228
16
8 Model CAT dengan PSO obat atenolol 50 mg/kg BB, R2=0.9318
16
9 Model CAT dengan PSO obat atenolol 100 mg/kg BB, R2=0.9622 17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data eksperimen konsentrasi obat atenolol
22
2 Listing program matlab R2014a untuk persamaan CAT obat atenolol 23
3 Diagram alir penelitian
24

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obat adalah semua zat baik dari alam seperti hewan maupun tumbuhan atau
kimiawi yang dalam takaran (dosis) yang tepat dan dapat menyembuhkan,
meringankan, atau mencegah penyakit. Adapun cara pemberian obat dapat secara
oral, parental, topikal dan inhalasi. Hal tersebut didasarkan pada bentuk atau desain
obat serta efek yang diinginkan baik fisik maupun mental (Richard and Miller
2014).
Proses farmakokinetik yang pertama dialami obat adalah proses absorpsi.
Absorpsi merupakan perpindahan obat atau molekul obat dari tempat aplikasinya
untuk menuju ke sirkulasi sistemik. Agar obat dapat diabsorpsi, zat bahan aktif obat
harus dilepas dari bentuk sediaannya. Absorpsi obat dalam tubuh melalui saluran
pencernaan sangat kompleks dan sering tidak terkarakterisasi dengan baik.
Absorpsi obat secara oral dipengaruhi oleh karakteristik obat itu sendiri dan
fisiologi sistem pencernaan yang meliputi pelarutan obat atau terlepas dari bentuk
dosis, cara di mana obat tersebut akan berinteraksi dengan membran dan
lingkungan yang encer, serta penghapusan irreversibel oleh organ yang sekali
dilewatkan misalnya usus halus, dan hati. Sehingga berdasarkan kompleksitas dan
keheterogenan absorpsi obat dalam sistem saluran pencernaan, model matematika
telah dikembangkan untuk memperkirakan absorpsi obat secara oral serta
mempelajari satu atau semua proses yang bersangkutan dengan absorpsi obat
secara oral, yaitu model Compartment Absorption and Transit (CAT). Model
Compartment Absorption and Transit (CAT) dibuat untuk mendeskripsikan aliran
transit obat pada usus halus manusia. Model ini dapat menjelaskan persoalan
kinetika obat, konsentrasi plasma dan memperkirakan absorpsi obat secara oral
(Yu et al. 1996).
Metode optimasi yang umum digunakan adalah metode Genetic Algorithms
(GAs) dan Particle Swarm Optimization (PSO). Dalam mengoptimasi nilai
konstanta mikroskopik transfer obat pada model Compartement Absorption and
Transit (CAT), peneliti menggunakan metode optimasi Particle Swarm
Optimization (PSO). Metode PSO merupakan metode optimasi yang terinspirasi
oleh perilaku hewan ternak seperti gerakan ikan, hewan herbivora dan
segerombolan burung. Setiap objek hewan nantinya akan dianggap sebagai partikel
dan sebuah partikel dalam ruang memiliki posisi yang dikodekan sebagai kordinat
vektor (Kennedy dan Eberhart 1995). Vektor posisi ini akan dianggap sebagai
keadaan yang ditempati oleh partikel dalam ruang pencarian. Alasan peneliti
menggunakan metode PSO karena memiliki kelebihan diantaranya, mudah
diimplementasikan dan hanya membutuhkan sedikit parameter, PSO lebih efisien
karena membutuhkan sedikit komputasi. Jika dibandingkan GAs dan metode
heuristik lainnya, PSO lebih fleksibel dalam menjaga keseimbangan antara
pencarian global dan lokal terhadap pencarian ruangnya. Oleh karena itu, PSO telah
menjadi optimizer populer dan telah banyak diterapkan dalam pemecahan masalah
(Kennedy 2001). Untuk saat ini masih belum ada penelitian yang melakukan
optimasi konstanta mikroskopik transfer obat dengan menggunakan PSO, sehingga
hal ini memandu peneliti untuk mengoptimasi model Compartment Absorption and
Transit (CAT) menggunakan algoritma PSO untuk menentukan nilai konstanta laju

2
kinetika obat dari suatu kompartemen ke kompartemen lainnya. Aplikasi penentuan
parameter farmakokinetik sangat luas dan penting, salah satunya dapat menentukan
atau merancang aturan dosis secara individual sehingga meminimalkan
kemungkinan efek sampingnya.
Dengan demikian, untuk memahami fenomena dan proses farmakokinetik
diatas, perlu dipelajari proses-proses yang terjadi pada model Compartment
Absorption and Transit (CAT). Dalam penelitian ini akan dilakukan perumusan
ulang model Compartment Absorption and Transit (CAT) dalam menentukan
parameter farmakokinetik yaitu konstanta laju kinetika obat menggunakan metode
PSO dengan asumsi beberapa parameter penting seperti pH yang dianggap netral
serta tidak meninjau efek disolusi obat.
Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana algoritma PSO dapat mengoptimalkan model CAT dan
memprediksikan obat pada plasma?
2. Bagaimana prediksi konsentrasi plasma yang dihasilkan model CAT dengan
dan tanpa menggunakan algoritma PSO?
3. Apakah penggunaan algoritma PSO pada model CAT di usus halus
memberikan prediksi yang lebih mendekati hasil eksperimen?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kinematika absorpsi obat oral
menggunakan model CAT yang dioptimasi oleh algoritma PSO.
Manfaat Penelitian
Dengan bantuan algoritma PSO pada model CAT termodifikasi ini
diharapkan mampu memberikan gambaran yang tepat mengenai aktivitas
farmakokinetik serta memprediksi konsentrasi obat oral yang diperlukan.
Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian ini, ruang lingkup penelitian meliputi sistem kinetika obat,
persamaan diferensial orde satu dan teori optimasi menggunakan algoritma Particle
Swarm Optimization (PSO) untuk obat yang diaministrasi secara oral berdasarkan
model Compartment Absorption and Transit (CAT).

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kinetika Obat pada Tubuh
Farmakokinetik adalah ilmu yang membahas mengenai aktivitas kinetika
suatu obat dalam tubuh. Farmakokinetik mencakup empat proses, yaitu proses
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Wagner 1993). Gambar 1

3
menerangkan kinetika obat di dalam tubuh. Absorpsi merupakan proses masuknya
obat ke dalam darah melalui saluran cerna, kulit, otot dan lain-lain. Cakupan
absorpsi obat meliputi proses obat masuk ke dalam tubuh hingga masuk ke sistem
sirkulasi darah. Pada tahap ini, obat akan diabsorpsi dengan metode transpor aktif
dan transpor pasif. Kecepatan absorpsi meningkat apabila pembatas antara obat
aktif dan sirkulasi sistemik hanya memiliki sedikit sel. Beberapa faktor yang
mempengaruhi absorpsi obat diantaranya aliran darah ke tempat absorpsi, luas
permukaan tempat absorpsi dan waktu kontak permukaan absorpsi (Yu et al. 1995).
Proses selanjutnya setelah absorpsi adalah distribusi obat, dimana obat akan
dihantarkan ke suatu jaringan atau cairan dalam tubuh. Setelah sampai ke aliran
darah, obat akan terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya.
Beberapa organ yang memiliki aliran darah terbesar adalah jantung, hati dan ginjal
(Mathias dan Hussain 2010), sedangkan untuk aliran darah yang lebih lambat
meliputi kulit, lemak dan otot. Setelah melewati tahapan ini, obat akan mengalami
metabolisme atau biotransformasi dimana tubuh akan merubah komposisi obat
sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang dari tubuh. Obat akan
bermetabolisme melalui dua cara yaitu menjadi metabolit inaktif kemudian
dieksresikan atau mejadi metabolit aktif dengan artian obat akan memiliki kerja
famakologi tersendiri dan memiliki metabolisme lanjutan (Shargel et al. 2012).
Tujuan utama metabolisme obat adalah mengubah obat yang larut lemak menjadi
larut air agar dapat diekskresikan melalui empedu atau ginjal.

Gambar 1 Mekanisme obat dalam tubuh (Shargel et al. 2012)
Tahapan terakhir dari kinetika obat adalah ekskresi. Obat akan mengalami
proses eliminasi atau pembuangan dari tubuh. Proses ini terjadi di tubuh oleh ginjal
dan melalui urin. Obat juga dapat tereliminasi melalui eksokrin seperti keringat,
saliva dan kulit. Organ terpenting ekskresi obat adalah ginjal. Eksresi obat dapat
berupa bentuk utuh atau bentuk aktif melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan 3 proses yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan augmentasi (Harvey
2012)

4
Model Compartment Absorption and Transit (CAT)
Model Compartment Absorption and Transit (CAT) dibuat untuk
mendeskripsikan aliran transit obat pada usus halus manusia. Model ini
menjelaskan bahwa obat melintasi sebuah deret segmen atau kompartemen pada
usus halus dan setiap segmen diasumsikan dengan kinetika transfer linier. Tiap
segmen memiliki volume dan laju aliran yang berbeda namun memiliki Kt
(konstanta transit) yang sama (Yu et al. 1996).
Perbedaan asumsi dan model pada pembagian deretan segmen yang dipakai
untuk mensimulasikan dan menjelaskan absorpsi obat secara oral akan
mempengaruhi hasil tersimulasi. Pada model satu kompartemen, obat menganggap
tubuh seperti satu ruang yang sama dimana obat secara tepat terdistribusi ke semua
jaringan. Sedangkan pada model dua kompartemen, obat menganggap tubuh seperti
dua bagian yaitu, kompartemen sentral dimana organ vital yang memiliki aliran
darah yang cepat seperti hati dan ginjal dan kompartemen perifer dimana organ
memiliki perfusi darah yang lambat seperti otot, lemak dan lainnya. Dalam model
dua kompartemen akan terjadi proses distribusi. Proses distribusi ini tidak akan
terlihat jelas pada model satu kompartemen. (Jambhekar and Breen 2009)
Pada model CAT yang disimulasikan dalam penelitian ini, saluran
pencernaan dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu lambung, usus halus dan usus
besar. Pada usus halus manusia pembagian tujuh segmen juga diterapkan dengan
tranfer obat dari satu segmen ke kompartemen lainnya terjadi pada orde pertama
(Dokumetzidis et al. 2005).
Gambar 2 mendeskripsikan model CAT untuk menghitung aliran transit pada
duodenum, lambung, jejunum, ileum dan usus besar (Yu et al. 1996). Saat obat
masuk ke dalam tubuh obat tidak langsung diuraikan secara cepat, sehingga
pemodelan transit dan absorpsi saluran pencernaan dapat dirumuskan sebagai
berikut.

Gambar 2 Transit linier dan kinetika absorpsi pasif pada model
Compartment Absorption and Transit (CAT) (Yu et al.
1996)

5
Persamaan di lambung :

dM s
 K s M s ,
dt
1
dimana, K s 
Tge

(1)

Persamaan di usus besar:
dM c
 K t M a ,
dt

(2)

Jumlah obat yang diabsorbsi oleh usus halus:
7
dM a
 Ka  M n ,
dt
a 1

n  1,...,7

(3)

Persamaan di usus halus:

dM 1
 K s M s  Kt M1  Ka M1,
dt
dM 2
 K s M1  Kt M 2  Ka M 2 ,
dt
dM 3
 K s M 2  Kt M 3  Ka M 3 ,
dt
dM 4
 K s M 3  Kt M 4  Ka M 4 ,
dt
(4)
dM 5
 K s M 4  Kt M 5  Ka M 5 ,
dt
dM 6
 K s M 5  Kt M 6  Ka M 6 ,
dt
dM 7
 K s M 6  Kt M 7  Ka M 7 ,
dt
dimana, K a  2 /(Peff *R), K t  7 /T si  7 / 3.32 jam dan K t M 0  K s M s

6
Tabel 1 Parameter persamaan model CAT
Simbol

Satuan

Keterangan

Ms

mg

Massa obat di lambung

Mn

mg

Massa obat ke-m kompartemen di usus halus

Ma

mg

Massa obat yang diabsorpsi

Mc

mg

Massa obat di usus besar

Ks

jam-1

Konstanta laju pengosongan obat di lambung

Ka

jam-1

Konstanta laju transit di usus halus

Kt

jam-1

Konstanta laju absorpsi di usus halus

Peff

cm/jam

Tge

jam

Tsi

3.32 jam

Waktu transit rata-rata di usus halus

R

1.75 cm

Jari-jari usus halus

Permeabilitas efektif usus halus pada obat
Waktu pengosongan lambung

Model CAT yang disimulasikan akan menghitung laju persentase obat yang
diabsoprsi dari usus halus ke sirkulasi sistemik plasma yang ditunjukkan oleh
persamaan (3). Selanjutnya dapat dikaitkan dengan model farmakokinetik tiga
kompartemen terbuka dengan eliminasi dari kompartemen pusat.
Atenolol
Atenolol adalah obat yang diperuntukkan bagi penderita angina atau angin
duduk, tekanan darah tinggi dan gangguan detak jantung. Obat ini akan
melambatkan kerja jantung. Obat atenolol yang terabsorpsi secara oral hanya
mencapai 50-60% sedangkan bioavabilitasnya sekitar 45-60 %.
.
Model Terbuka Tiga Kompartemen
Definisi “terbuka” pada gambar 3 adalah obat yang diadministrasi secara oral
akan dibuang melalui mekanisme ekskresi. Model tiga kompartemen ini
diantaranya kompartemen satu merupakan kompartemen sentral, kompartemen dua
dan tiga merupakan kompartemen perifer. Kompartemen sentral dimana organ vital
yang memiliki perfusi darah yang cepat seperti hati dan ginjal sedangkan
kompartemen perifer dimana organ memiliki perfusi darah yang lambat seperti otot,
lemak dan lainnya.

7

Gambar 3 Skema model terbuka tiga kompartemen dengan eliminasi
kompartemen sentral
Yu menyajikan persamaan model tiga kompartemen sebagai berikut (Yu et al.
1996):

dC1 1 dM a

 (k12  k13  k10 )C1  k 21C 2  k 31C 3
dt
V1 dt
dC 2
 k12C1  k 21C 2
dt
dC 3
 k13C1  k 31C 3
dt

(5)
(6)
(7)

Tabel 2 Parameter model terbuka tiga kompartemen
Simbol Satuan

Keterangan

k10

jam-1

Konstanta laju eliminasi pada kompartemen 1

k12

jam-1

Konstanta transfer obat dari kompartemen 1 ke kompartemen 2

k13

jam-1

Konstanta transfer obat dari kompartemen 1 ke kompartemen 3

k21

jam-1

Konstanta transfer obat dari kompartemen 2 ke kompartemen 1

k31

jam-1

Konstanta transfer obat dari kompartemen 3 ke kompartemen 1

V1

L

Volume di kompartemen sentral

C1

mg/ml Konsentrasi kompartemen sentral

C2

mg/ml Konsentrasi kompartemen perifer dengan perfusi cepat

C3

mg/ml Konsentrasi kompartemen perifer dengan perfusi rendah

Particle Swarm Optimization (PSO)
Particle Swarm Optimization (PSO), yang diperkenalkan oleh Kennedy dan
Eberhart pada tahun 1995 adalah suatu paradigma kecerdasan berkelompok paling

8
penting (Kennedy et al. 2001). PSO menggunakan mekanisme sederhana yang
meniru perilaku kawanan burung berkelompok dan ikan untuk memandu partikel
untuk mencari solusi optimal global (Franken dan Engelbrecht 2005).
Implementasi algoritma PSO menjadikan PSO sebagai optimizer yang popular dan
sukses diterapkan di berbagai bidang. Salah satunya struktur jaringan bayesian
(Gheisari dan Meybodi 2016), pemodelan multiskala segmentasi pembuluh retina
(Sreejini dan Govindan 2015) dan optimasi pada filter akustik (Renato et al. 2015).
Studi teoritis dan perbaikan kinerja algoritma penting dan menarik untuk
dilakukan. Beberapa perbaikan yang telah dilakukan antara lain, analisis
konvergensi dan stabilitas optimasi (Clerc dan Kennedy 2001), (Trelea 2003),
(Yasuda et al. 2003), (Kadirkamanathan 2006), dan (van den Bergh dan
Engelbrecht 2006). Sedangkan penelitian tentang peningkatan kinerja PSO
termasuk studi parameter, kombinasi dengan operasi tambahan, dan struktur
topologi telah banyak dilakukan (Krohling dan Santos 2006), (Liu et al. 2007).
Dalam PSO, segerombolan partikel direpresentasikan sebagai himpunan
permasalahan dan masing-masing partikel terkait dengan dua vektor, yaitu, vektor
kecepatan dimana Vi  vi1  vi2 ,...., viD dan vektor posisi X i  xi1  xi2 ,...., xiD ,
dimana D adalah dimensi ruang solusi. Kecepatan dan posisi setiap partikel yang
diawali dengan vektor acak dalam rentang yang sesuai.









3 METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015 sampai bulan Maret 2016.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi, Departemen
Biofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah berupa laptop dengan
spesifikasi procesor Intel CoreTM i5-4210U dengan memori 4GB, HDD 500 GB.
Operating System yang digunakan adalah Microsoft Windows 7 Ultimate (licensed)
dan software yang dibutuhkan meliputi Microsoft Office 2013 (licensed) dan
MATLAB R2014a (licensed). Pendukung penelitian ini berupa daftar pustaka, yaitu
jurnal-jurnal ilmiah, tesis dan sumber lain yang relevan.
Prosedur Analisis Data
Tahapan prosedur analisis data diawali dengan studi pustaka jurnal nasional
dan internasional dilanjutkan perumusan ulang dan modifikasi model Compartment
Absorption and Transit (CAT) di usus halus. Setelah itu pembuatan program
menggunakan Matlab dan menganalisis hasil keluaran berupa fit grafik kadar
konsentrasi obat di plasma terhadap waktu pada satuan jam.
Perhitungan secara numerik digunakan untuk menyelesaikan model
persamaan CAT dengan menggunakan bahasa pemrograman (lihat lampiran 1),
kemudian dari data yang diperoleh diplot dalam grafik dengan menggunakan
program MATLAB. Solusi numerik didapatkan sebagai model CAT termodifikasi

9
Modifikasi Persaman CAT di Usus Halus
Pada penelitian ini dilakukan pendekatan farmakokinetik non-linier pada usus
halus. Modifikasi model CAT pada usus halus yang kami usulkan pada penelitan
ini adalah

dM 1
dt
dM 2
dt
dM 3
dt
dM 4
dt
dM 5
dt
dM 6
dt
dM 7
dt

 (K s M s  K t M 1 ) / M 0  K a M 1 ,
2

2

 K t M 1  K t M 2  2K a M 2 ,
 K t M 2  K t M 3  2K a M 3 ,
 (K s M 3  K t M 4 ) * b * F / M 0  K a M 4 ,
2

2

(8)

 (K s M 4  K t M 5 ) * b * F / M 0  K a M 5 ,
2

2

 (K s M 5  K t M 6 ) * b * F / M 0  K a M 6 ,
2

2

 (K s M 6  K t M 7 ) * b * F / M 0  K a M 7 ,
2

2

dimana F merupakan konstanta bioavaibilitas obat (00,25 – 0,5
>0,5 – 0,75
> 0,75 – 0,99
Satu (1)

: tidak ada korelasi antara variabel
: korelasi sangat lemah
: korelasi cukup
: korelasi kuat
: korelasi sangat kuat
: korelasi sempurna

( y i  yˆ i ) 2
SSE 


R  1 
 x 100%  1 
 SST 
 ( yi  y) 2
2

(15)

dimana,

y i = pengamatan ke i
y = rataan

ŷ i = pengamatan respon ke-i

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada model CAT yang disimulasikan dalam penelitian ini, saluran
pencernaan dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu lambung, usus halus dan usus
besar. Pada usus halus manusia, pembagian tujuh segmen atau kompartemen
diterapkan dengan transfer obat dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya
terjadi pada orde pertama (Yu et al. 1996).
Kinetika obat yang terjadi setelah obat diadministrasi secara oral adalah obat
masuk ke dalam tubuh hingga lambung, kemudian obat pada lambung mengalami
transit secara non-linier ke bagian usus halus. Usus halus dibagi menjadi tujuh
kompartemen, di tiap kompartemen inilah terjadi kinetika obat yang pertama yaitu
absorpsi obat. Pada bagian jejunum yang dianggap sebagai kompartemen dua dan
tiga mengalami proses absorpsi yang meningkat, obat mengalami transit secara

12
linier dikarenakan pada bagian ini tidak berdekatan dengan organ yang berbeda dan
kinetika absorpsi ini dimodifikasi menjadi dua kali lipatnya. Selanjutnya untuk
kompartemen empat hingga tujuh, obat ditransitkan secara non-linier yang
merupakan bagian ileum usus halus. Pada kompartemen ini laju obat yang
terabsorpsi diperkecil karena diasumsikan sedikit obat yang masuk dan terserap
disini. Hal ini juga bersesuaian dengan proses sebelumnya bahwa pada bagian
jejunum obat terabsoprsi lebih banyak dibandingkan dengan ileum dan dinyatakan
pada persamaaan CAT termodifikasi dengan memperkecil tetapan laju pada
persamaan non-linier yaitu bagian ileum usus halus. Jumlah obat yang terabsorpsi
nantinya menentukan prediksi konsentrasi obat pada plasma. Modifikasi persamaan
CAT pada bagian usus halus dilakukan karena di kompartemen inilah asumsi
fenomena transit non-linier dapat terjadi sedangkan laju absorpsi tidak dimodifikasi.
Obat yang diadministrasi secara oral akan mengalami transit secara linier
Prediksi Konsetrasi Obat pada Plasma
Data eksperimen konsentrasi obat atenolol dengan rute administrasi oral
dalam penelitian ini diambil dari penelitian (Mason et al. 1979). Terdapat 12
voluntir orang sehat dengan massa rata-rata 73.5 kg yang diberikan tablet atenolol
dosis 25, 50 dan 100 mg/kg bobot badan voluntir. Pemberian masing-masing dosis
dipisahkan paling lambat satu minggu dan volume plasma rata-rata 12 voluntir
adalah 12.7155 L. Untuk pengukuran konsentrasi obat, diambil sampel darah pada
waktu tertentu yaitu 0.5, 1, 1.5, 2, 2.5, 3, 4, 5.9, 7.7, 10, 11.95, 14, 16 dan 23.9 jam.
Adapun waktu pengosongan lambung (Tge) untuk obat berbentuk tablet adalah 2-3
jam (Lacotelli, 2010)
Fasa absorpsi ditunjukkan dengan kenaikan konsentrasi obat. Adanya perfusi
darah dari saluran cerna mempengaruhi fasa absorpsi ini. Titik dimana koordinat
awal hingga titik puncak pada absis menunjukkan waktu maksimum (T max) yang
diperlukan untuk mencapai kadar maksimum setelah pemberian obat (Gambar 4
hingga gambar 9). Dosis atenolol 25, 50 dan 100 mg/kg berat badan menunjukkan
fit grafik hasil simulasi dengan data eksperimen.
Nilai konstanta penyerapan obat K10, K12, K21, K13 dan K31 dengan masingmasing nilai telah ditunjukkan pada Tabel 3 yang merupakan parameter
farmakokinetik yang disimulasikan pada obat atenolol dosis 25, 50 dan 100 mg/kg
BB. Semakin besar dosis maka waktu pengosongan lambung (Tge) semakin besar.
Permeabilitas efektif (Peff) ditentukan sebesar 0.19 cm/jam yang menjelaskan
kemampuan obat untuk dilewatkan pada dinding usus halus. Bioavabilitas (F) dan
pH netral diasumsikan pada simulasi ini dengan memasukkan nilai kondisi awal
sebesar 0,56 dan pH 7 (Amidon et al. 1995).
Simulasi optimasi model CAT menggunakan PSO berjalan dengan
mekanisme stokastik. Dimana simulasi akan menentukan inputan random seperti
nilai konstanta laju kinetika obat pada kompartemen terbuka. Saat algoritma PSO
dijalankan, random input konstanta laju kinetika obat seperti yang tertera pada tabel
3 akan menghasilkan output yang random pula. Setiap menjalankan ulang program
PSO yang diterapkan pada model CAT, nilai konstanta penyerapan obat dan
koefisien determinasi juga akan berubah. Probabilitas partikel dalam hal ini mencari
posisi terbaik saat simulasi dijalankan, hal ini bersesuaian dengan program akan
mencari konstanta laju kinetika terbaik untuk ketiga dosis obat atenolol.

13
Saat simulasi optimasi tanpa menggunakan PSO dijalankan, simulasi
membutuhkan inputan yang perlu diestimasi terlebih dahulu. Estimasi ini dilakukan
dan disesusaikan dengan keluaran fit grafik dan koefisien determinasi pada tabel 3,
mengingat nilai konstanta penyerapan obat ini saling terkopel satu sama lain.
Tabel 3 Parameter hasil simulasi model CAT terbuka tiga kompartemen
Dosis (mg/kg Bobot Badan)
Parameter
F
pH
Peff(cm/hr)
Tge(jam)
Ka(jam-1)
Ks(jam-1)
K12(jam-1)
K13(jam-1)
K21(jam-1)
K31(jam-1)
K10(jam-1)
R2(determinasi)
R(korelasi)
a

25
(PSO)
0.56 a
7
0.19 a
2
0.2171 a
0.5 a
0.4689 c
0.8382 c
0.1203 c
1.0 c
0.8195 c
0.9228
0.9606

25
0.56 a
7
0.19 a
2
0.2171 a
0.5 a
0.05 b
0.9 b
11.32 b
0.39 b
0.9 b
0.8170
0.9038

50
(PSO)
0.56 a
7
0.19 a
2.5
0.2171 a
0.5 a
0.8463 c
0.2370 c
0.2789 c
1.0 c
0.8370 c
0.9318
0.9652

50
0.56 a
7
0.19 a
2.5
0.2171 a
0.5 a
0.5 b
0.7 b
0.4 b
0.05 b
0.899 b
0.8125
0.9013

100
(PSO)
0.56 a
7
0.19 a
2.7
0.2171 a
0.5 a
0.8004 c
0.4532 c
0.2316 c
1.0 c
0.8061c
0.9622
0.9809

100
0.56 a
7
0.19 a
2.7
0.2171 a
0.5 a
0.0001 b
0.9 b
0.6 b
0.4 b
0.999 b
0.9108
0.9543

b

Yu et al (1999).
estimasi.

c

Menggunakan PSO dengan batas atas dan bawah yang ditentukan dari 0 hingga 1 .

Pada gambar 4 hingga gambar 9, obat mengalami tahapan absorpsi dan obat
diserap dengan laju penyerapan yang tinggi. Sesuai asumsi awal bahwa obat
terserap pada bagian jejunum yaitu kompartemen dua dan tiga di usus halus. Hal
ini bersesuaian dengan persamaan CAT termodifikasi saat laju penyerapan dibuat
dua kali lipatnya. Pemilihan dosis yang diberikan pada pasien perlu memperhatikan
beberapa faktor. Meski tubuh membutuhkan asupan yang tinggi dalam menjaga
kesehatan, pemakaian obat yang berlebihan akan mengganggu kesehatan. Dengan
konsumsi obat dengan dosis berlebih akan merusak kinerja ginjal dalam memproses
obat untuk terserap dalam tubuh secara sempurna. Oleh karena itu pemilihan dosis
obat yang diberikan akan disesuaikan dengan kondisi pasien itu sendiri.
Pada tahap awal kenaikan grafik pada gambar 4 hingga gambar 9, dosis obat
yang diberikan tidak semuanya akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. pada rute
obat yang diadministrasi secara oral, pertama obat akan diabsorpsi dan sejumlah
obat akan hilang. Hilang diartikan obat tidak terabsorpsi sempurna. Molekul obat
harus melarut dalam cairan lumen usus sebelum terabsorpsi.
Dalam menetapkan dosis dan skema penakaran yang tepat, perlu adanya
informasi parameter farmakokinetik yang didapatkan di simulasi ini seperti laju
penyerapan obat pada kompartemen perifer dan pusat. Khususnya mengenai kadar
obat di tempat suatu target dan dalam darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu
tertentu. Pada gambar 4 hingga gambar 9, turunnya kadar plasma obat tergantung
pada kecepatan metabolisme dan ekskresi seperti yang ditunjukkan oleh grafik yang
menurun. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan

14
dengan waktu paruh (t1/2) yaitu rentang waktu dimana kadar obat plasma pada fasa
eliminasi menurun separuhnya. Kecepatan eliminasi obat dan waktu paruhnya
dipengaruhi oleh kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan
metabolisme cepat waktu paruhnya akan pendek. Sebaliknya zat yang tidak
mengalami biotransformasi atau diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, waktu
paruhnya akan panjang.
AUC (Area Under Curve) pada gambar 4 hingga gambar 9 menjelaskan naik
turunnya kadar plasma sebagai fungsi waktu. Dalam penelitian ini bioavabilitas
tidak dihitung secara matematis untuk ketiga dosis atenolol 25, 50 dan 100 mg/kg
berat badan. Dibutuhkan data sekunder lain seperti dosis intravaskuler pada
pengujian in vitro untuk menghitung rasio dosis intravaskuler terhadap dosis oral
sehingga didapatkan ukuran bioavibilitas suatu obat. Untuk menentukan dosis dan
frekuensi pemberian obat yang rasional, dosis yang yang terlalu tinggi atau terlalu
frekuen dapat menimbulkan efek toksik, sedangkan dosis dengan ukuran rendah
dapat menimbulkan efek resistansi pada tubuh. Obat dengan waktu paruh panjang,
umumnya obat diberikan dosis satu kali sehari agar kadar plasmanya tetap tinggi.
Dalam penelitian ini, prediksi dosis obat atenolol yang dianjurkan untuk diminum
pasien adalah dosis satu kali sehari. Hal ini terlihat dari grafik simulasi model CAT
termodifikasi dan simulasi menggunakan algoritma PSO bahwa fasa akhir eliminasi
obat berada di sekitar waktu 24 jam. Waktu konsentrasi plasma untuk mencapai
puncak dapat diartikan sama dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai
konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat secara oral. Pada waktu tmax
absorpsi obat adalah yang terbesar dan laju absorpsi obat sama dengan laju
eliminasinya. Proses absorpsi akan berlangsung setelah tmax tercapai, tetapi dengan
laju yang lebih lambat dari sebelumnya.
Pada gambar 4 nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah 0.8170. Hal
ini menunjukkan bahwa sebesar 81.70% persentase variabel penjelas seperti
konstanta laju kinetika obat, massa obat waktu transit dan lainnya memberikan
pengaruh yang signifikan pada variabel respon seperti konsentrasi obat dalam
plasma. Artinya sebesar 18.3% variabel varian lainnya dapat dijelaskan oleh faktor
lain. Dalam hubungannya dengan korelasi, maka R2 merupakan kuadrat dari
koefisien korelasi R yang berkaitan dengan variabel penjelas dengan variabel
respon memberikan korelasi yang sangat kuat yaitu sebesar 0.9038 sesuai dengan
interpretasi kekuatan korelasi yang dicantumkan pada bagian metode sebelumnya.
Pada Gambar 5 dan 6, nilai koefisien determinasi yang diperoleh yaitu 0.8125
dan 0.9108 memberikan pengaruh yang signifikan pada variabel respon kadar obat
dalam plasma. Dalam hal ini korelasi yang diperoleh berbanding lurus yakni dalam
rentang sangat kuat yaitu 0.9013 dan 0.9543 . Hal ini mengindikasikan bahwa
model CAT sebelum penggunaan algoritma PSO masih dalam rentang kekuatan
korelasi yang kuat.

15
0.35
Simulasi CAT
Data Eksperimen

0.12

Kadar Obat dalam Plasma (mg/ml)

Kadar Obat dalam Plasma (mg/ml)

0.14

0.1

0.08

0.06

0.04

0.02

0

0

5

10

15

20

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

0

25

Simulasi CAT
Data Eksperimen

0.3

0

5

10

15

20

Waktu (jam)

Waktu (jam)

Gambar 4 Model CAT tanpa PSO obat atenolol

Gambar 5 Model CAT tanpa PSO obat atenolol 50

25 mg/kg BB, R2 =0.8170

mg/kg BB, R2=0.8125

Kadar Obat dalam Plasma (mg/ml)

0.7
Simulasi CAT
Data Eksperimen

0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0

0

5

10

15

20

25

Waktu (jam)

Gambar 6 Model CAT tanpa PSO obat atenolol 100
mg/kg BB, R2=0.9108

Pada saat penerapan algoritma PSO pada model CAT termodifikasi, hasil
simulasi cocok dan lebih mendekati data eksperimen. Hal ini ditunjukkan dengan
koefisien determinasi dan nilai korelasi yang meningkat pada gambar 7, 8 dan 9.
Pada gambar 7 nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah 0.9228. Hal
ini menunjukkan bahwa sebesar 92.28% persentase variabel penjelas seperti
konstanta laju kinetika obat, massa obat waktu transit dan lainnya memberikan
pengaruh yang signifikan pada variabel respon seperti konsentrasi obat dalam
plasma. Artinya sebesar 7.72% variabel varian lainnya dapat dijelaskan oleh faktor
lain. Dalam hubungannya dengan korelasi, maka R2 merupakan kuadrat dari
koefisien korelasi R yang berkaitan dengan variabel penjelas dengan variabel
respon memberikan korelasi yang sangat kuat yaitu sebesar 0.9606 sesuai dengan
interpretasi kekuatan korelasi. Peningkatan nilai koefisien determinasi pada
(Gambar 8 dan 9) diperoleh sebesar 0.9318 dan 0.9622 memberikan pengaruh yang
signifikan pada variabel respon kadar obat dalam plasma. Dalam hal ini korelasi

25

16
yang diperoleh berbanding lurus dan dalam rentang sangat kuat yaitu 0.9652 dan
0.9809. Nilai ini menunjukkan bahwa model CAT setelah penggunaan algoritma
PSO berada pada rentang kekuatan korelasi yang kuat.

Kadar Obat dalam Plasma (mg/ml)

0.12
Data Eksperimen
Simulasi CAT dengan PSO
0.1

0.08

0.06

0.04

0.02

0

0

5

10

15

20

25

Waktu (jam)

Gambar 7 Model CAT dengan PSO obat atenolol 25 mg/kg BB, R2 =0.9228

Kadar Obat dalam Plasma (mg/ml)

0.35
Data Eksperimen
Simulasi CAT dengan PSO

0.3

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

0

0

5

10

15

20

25

Waktu (jam)

Gambar 8 Model CAT dengan PSO obat atenolol 50 mg/kg BB, R2 =0.9318

Kadar Obat dalam Plasma (mg/ml)

17
0.7
Data Eksperimen
Simulasi CAT dengan PSO

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0

0

5

10

15

20

25

Waktu (jam)
Gambar 9 Model CAT dengan PSO obat atenolol
100 mg/kg BB, R2=0.9622

Pada gambar 4 hingga gambar 9 diatas, grafik konsentrasi plasma puncak
menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian oral.
Terjadi peningkatan yang signifikan untuk koefisien determinasi (R2) dan korelasi
(R) model CAT tanpa dan dengan PSO. Hasil dari pemodelan dengan dan tanpa
menggunakan algoritma PSO menghasilkan pola grafik yang tidak jauh berbeda
antara hasil simulasi dengan data eksperimen sehingga dapat juga dilihat dari nilai
korelasi (R) yang didapatkan pada variabel konstanta laju kinetika terhadap variabel
konsentrasi plasma melebihi 0.9 dimana model diusulkan cocok dengan data
eksperimen. Simulasi model CAT dengan penerapan algoritma PSO diperoleh
suatu hubungan antara efek farmakologi obat dan konsentrasi dalam plasma.
Hasil simulasi saat menggunakan PSO memberikan gambaran bahwa
pemberian dosis terbaik yang diberikan kepada pasien adalah 25 mg/kg BB.
Berdasarkan profil durasi kerja obat dari semua grafik berkisar 1 hingga 8 jam maka
penentuan dosis terbaik harus menggunakan dosis terkecil mengingat ginjal harus
mengekskresikan sisa obat dalam jumlah sedikit dibandingkan saat menggunakan
dosis tinggi. Dengan menggunakan dosis yang terkecil maka ginjal tidak akan
bekerja terlalu keras dibandingkan saat menggunakan dosis tinggi. Dengan bantuan
PSO, grafik konsetrasi plasma puncak dapat memberikan prediksi lebih tepat bahwa
obat hanya diabsorpsi secara sistemik untuk memberikan respon terapik. Selain itu
konsentrasi plasma puncak juga akan memberikan prediksi dari kemungkinan
adanya kadar toksis dalam tubuh.
Berdasarkan hasil simulasi dan gambar 4 hingga gambar 9 diatas, obat
mengalami tiga tahapan proses yaitu fase absorpsi, fase pasca absorpsi dan fase
eliminasi. Fase absorpsi obat yang ditunjukkan oleh peningkatan konsentrasi obat
dan terjadi pada organ usus halus, dan fase pasca absorpsi ditunjukkan oleh
penurunan konsentrasi obat. Pada bagian fasa pasca absorpsi terjadi pada retikulum
endoplasma sel-sel hati. Metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran

18
pencernaan, paru-paru, ginjal, dan kulit . Tahap terakhir adalah fase eliminasi yang
terjadi pada empedu dan ginjal, ditandai dengan penurunan obat mendekati nol
yang artinya obat terserap sampai habis. Hal ini ditunjukkan dengan hasil simulasi
nilai konstanta penyerapan obat K31 bernilai 1 artinya massa obat seluruhnya
terserap habis oleh tubuh. Berdasarkan hasil keluaran model CAT yang dioptimasi
oleh algoritma PSO, hasil ini cocok untuk memprediksi konsentrasi obat dalam
plasma. Dan model ini bisa diaplikasikan oleh semua obat generik apapun dengan
mencocokan hasil simulasi dan data eksperimen yang tersedia.

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simulasi konstanta laju kinetika obat pada model Compartment Absorption
and Transit (CAT) dapat dioptimasi menggunakan algoritma Particle Swarm
Optimization (PSO). Dari penelitian ini diperoleh bahwa penggunaan algoritma
PSO dalam Model CAT mampu meningkatkan kualitas prediksi aktivitas
farmakokinetika obat oral (Atenolol) secara signifikan.
Hasil simulasi saat menggunakan PSO memberikan gambaran bahwa
pemberian dosis terbaik yang diberikan kepada pasien berdasarkan profil durasi
kerja obat dari semua grafik berkisar 1 hingga 8 jam adalah 25 mg/kg BB.
Penentuan konstanta laju kinetika dalam model CAT menggambarkan transfer obat
dari satu kompartemen ke kompartemen lain sehingga pemodelan ini dapat
digunakan untuk memprediksi penyerapan obat plasma terhadap waktu.
Peningkatan koefisien determinasi dan korelasi diperoleh setelah algoritma PSO
digunakan. Hasil dari pemodelan dengan dan tanpa menggunakan algoritma PSO
menghasilkan pola grafik yang tidak jauh berbeda antara hasil simulasi dengan data
eksperimen sehingga dapat juga dilihat dari nilai korelasi (R) yang didapatkan pada
variabel konstanta laju kinetika terhadap variabel konsentrasi plasma melebihi 0.9
dimana model diusulkan cocok dengan data eksperimen. Nilai koefisien
determinasi (R2) saat menggunakan PSO lebih besar daripada R2 metode CAT yang
diusulkan. Hal ini menunjukkan bahwa model CAT dengan bantuan PSO dapat
memprediksi konsentrasi obat pada plasma lebih baik daripada model CAT tanpa
penggunaan PSO.
Saran
Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat menguatkan validasi dari optimasi
model CAT menggunakan algoritma PSO dan perlu memperhitungkan beberapa
faktor lain seperti disolusi obat dan penggunaan lebih dari satu obat untuk
mendapatkan hasil yang lebih valid. Perlu juga dilakukan perhitungan matematis
untuk menentukan bioavabilitas dan waktu paruh dari obat.

19

DAFTAR PUSTAKA
Amidon GL et al. 1995. A Theoretical basis for a biopharmaceutics drug
classification: the correlation of in vitro drug product dissolution and in vivo
bioavaibility. Pharm Res. 12:413-420.
Clerc M and Kennedy J. 2002. The particle swarm-explosion, stability and
convergence in a multidimensional complex space. IEEE Trans. Evol. Comput.,
vol. 6(1):58–73.
Costa P, Jose MSL. 2001. Modeling and Comparison of Dissolution Profiles. J
Pharm. 13:123-133.
Dokumetzidis K, Kosmas A , Panos M. 2005. Modeling and monte carlo
simulations in oral drug absorption. JPT. 96:200-205.
Draper NR and Smith H. 1998. Applied Regression Analysis, Third Edition. Canada.
John Wiley and Sons.
Eberhart RC and Kennedy J. 1995. A new optimizer using particle swarm theory,
in Proc. 6th Int. Symp. Micromachine Human Sci., Nagoya, Japan, : 39–43
Eberhart RC and Shi YH. 2001. Particle swarm optimization: Developments,
applications and resources, in Proc. IEEE Congr. Evol. Comput., Seoul, Korea:
81–86.
Franken N and Engelbrecht AP. 2005. Particle swarm optimization approaches to
coevolve strategies for the iterated prisoner’s dilemma, IEEE Trans. Evol.
Comput., vol. 9 (6) : 562–579.
Gheisari S, Meybodi MR. 2016. BNC-PSO: Structure learning of Bayesian
networks by Particle Swarm Optimization. Information Sciences, Vol. 348: 272–
289.
Harvey RA. 2012. Pharmacology 5th ed. China: Wolters Kluwer.
Jambhekar SS, Breen PJ. 2009. Basic Pharmacokinetics. London, UK:
Pharmaceutical Press
Kadirkamanathan V, Selvarajah K, and Fleming PJ. 2006. Stability analysis of the
particle dynamics in particle swarm optimizer, IEEE Trans. Evol. Comput., vol.
10 (3) : 245–255.
Kennedy J and Eberhart RC. 1995. Particle Swarm Optimization, in
Proc. IEEE Int. Conf. Neural Netw., Perth, Australia, vol. 4: 1942–1948.
Krohling RA and Dos Santos Coelho L. 2006. Coevolutionary particle swarm
optimization using Gaussian distribution for solving constrained optimization
problems, IEEE Trans. Syst., Man, Cybern. B, Cybern., vol. 36 (6): 1407–1416.
Lacotelli et al. 2010. Gastric emptying of non-disintegrating solid drug
delivery systems in fasted state: relevance to drug dissolution. Expert Opin
Drug Deliv. 7 (8) : 967-976.
Li XD and Engelbrecht AP. 2007. Particle swarm optimization: An introduction
and its recent developments, in Proc. Genetic Evol. Comput. Conf : 3391–3414.
Liu B, Wang L, and Jin YH. 2007. An effective PSO-based memetic algorithm for
flow shop scheduling,IEEE Trans. Syst., Man, Cybern. B, Cybern., vol.

20
37(1) :18–27.
Mason, W D. 1979. Kinetics and absolute bioavailability of atenolol. Clin
Pharmacol Ther. 25:408-41
Mathias NR, Hussain MA. 2010. Non-Invasive systemic drug delivery:
developability considerations for alternate routes of administration, J Pharm Sci;
99:1-20.
Renato B, Nilson B, Fonseca, DL .2015. Some application of the PSO for
optimization of acoustic filters. Applied Acoustics, Vol. 89: 62-70.
Richard J and Miller. 2014. Drugged: The Science and Culture Behind
Psychotropic Drugs. Oxford University Press.
Shargel L, Andrew Y, Susanna WP. 2012. Biopharmaceutics an Pharmacokinetics
6th ed. North California: Mc Graw Hill.
Sreejini KS, Govindan VK. 2015. Improved multiscale matched filter for retina
vessel segmentation using PSO algorithma. Egyptian Informatics Journal
Vol.16: 253–260.
Trelea IC. 2003. The particle swarm optimization algorithm: Convergence analysis
and parameter selection, Inf. Process. Lett., vol. 85(6): 317–325.
Van den Bergh F and Engelbrecht AP. 2006. A study of particle optimization
particle trajectories, Inf. Sci., vol. 176(8): 937–971,
Wagner JG. 1993. Pharmacokinetics For Pharmaceutical Scientist. Switzerland:
Technomic Publishing. Inc.
Yasuda K, Ide A, a