Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Vitamin D Serta Dampaknya Terhadap Gejala Stres Kerja Pada Pekerja Perempuan Usia Subur

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
STATUS VITAMIN D SERTA DAMPAKNYA TERHADAP
GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA
PEREMPUAN USIA SUBUR

ANWAR LUBIS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul faktor – faktor yang
berhubungan dengan status vitamin D serta dampaknya terhadap gejala stres kerja
pada pekerja perempuan usia subur adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Anwar Lubis
NIM I151130161

RINGKASAN
ANWAR LUBIS. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D serta
Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja Perempuan Usia Subur.
Dibimbing oleh DADANG SUKANDAR dan ALI KHOMSAN
Vitamin D diduga berhubungan dengan menurunnya kemampuan kognitif dan
kesehatan mental. Dugaannya adalah hipovitaminosis D mampu memperbesar
terjadinya stres kerja. Penelitian – penelitian pada manusia memperlihatkan adanya
Vitamin D Reseptor (VDR) dan 1α-hidroksilase mengkatalisis sintesa 1,25 –
dihidroksivitamin D (kalsitriol, bentuk bioaktif vitamin D) dalam struktur otak seperti
korteks prefrontal, amygdala dan hipocampus.
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis faktor – faktor yang
mempengaruhi status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja pada

pekerja perempuan usia subur. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1)
Mengidentifikasi karakteristik pekerja perempuan; 2) Menilai status gizi dan pola
konsumsi pangan pekerja perempuan; 3) Menganalisis faktor – faktor yang
berhubungan dengan status vitamin D dan gejala stres pekerja perempuan.
Desain yang digunakan pada penelitian adalah penelitian survei. Penelitian
ini telah mendapatkan Persetujuan Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro No. 11/EC/FKM/2015. Total
subjek penelitian 65 wanita usia subur yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang
dikumpulkan adalah data primer, diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan
pengukuran analisis biokimia darah.
Analisis data tahap awal adalah analisis diskriptif terhadap beberapa
parameter diantaranya karakteristik sosio ekonomi demografi subjek (umur,
pendapatan, pengeluaran jumlah anggota keluarga). analisis diskriptif juga dilakukan
pada faktor – faktor yang mempengaruhi status vitamin D (paparan sinar matahari,
penggunaan jilbab, penggunaan tabir surya, dan konsumsi pangan sumber vitamin D),
variabel serum vitamin D dan gejala stres kerja. Model regresi linear berganda
digunakan untuk analisis faktor – faktor yang berhubungan dengan status serum
vitamin D dan faktor – faktor yang berhubungan dengan gejala stres kerja.
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata – rata pekerja berumur 29.7 tahun.
hampir separuh subjek tingkat pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar (40.0%),

dengan rata – rata lama pendidikan 8.5 tahun. pabila dilihat pada kategori status

pernikahan, sebagian besar subjek statusnya menikah (80.0%) dan sebagian kecil
(20.0%) subjek status cerai. pada umumnya pekerja WUS memiliki keluarga yang
kecil (66.2%). pengeluaran non pangan subjek lebih besar (61.6%) daripada
pengeluaran pangan (38.4%) dengan rata – rata pengeluaran sebesar Rp 2 921 600
per bulan dengan standar deviasi Rp 796 150.
Berdasarkan status gizi, Rata rata lingkar pinggang subjek 78.8 cm yang
menunjukkan bahwa sebagian besar subjek tergolong dalam status gizi normal.
Menurut komposisi lemak tubuh (%LT), sebagian besar subjek (81.5%) memiliki
komposisi lemak tubuh sedang dan sebagian kecil (18.5%) memiliki komposisi lemak
tubuh lebih. Berdasarkan lemak viseral, sebagian besar subjek (89.2%) memilik
lemak viseral kurang dari 10 dan hanya sedikit dari subjek (10.2%) yang lebih dari
10. berdasarkan IMT, lebih dari separuh subjek tergolong normal (69.2%) dan
overweight (20.0%).
Berdasarkan gaya hidup, sebagian besar subjek terpapar sinar matahari kurang
dari 30 menit (76.9%), rata-rata subjek terpapar hanya 17.7 menit dengan simpangan
baku 15.3 menit. Berdasarkan penggunaan sunblock (tabir surya) sebagian besar
subjek selalu menggunakan Sunblock ( 80%) dan hanya 7% subjek yang tidak pernah
menggunakan sunblock. Berdasarkan penggunaan jilbab lebih dari separuh (66.2%)

pekerja perempuan menggunakan jilbab setiap hari kerja.
Pekerja perempuan di pabrik garmen berusia muda dan sebagian besar
memiliki masa kerja belum lama. Rata-rata pendapatan per bulan pekerja perempuan
cukup tinggi. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), pada umumnya status gizi
pekerja perempuan normal. Berdasarkan status serum 25(OH)D, diperoleh lebih dari
dua per tiga (90.2%) memiliki serum vitamin D tidak normal terbagi menjadi 46.2%
kategori defisiensi dan 44.6% kategori tidak cukup. Hanya 9.2% subjek yang
memiliki kadar serum vitamin D normal.
Berdasarkan analisis regresi linear berganda, penggunaan jilbab, lingkar
pinggang dan konsumsi susu berpengaruh signifikan (R2=0.623) terhadap status
serum vitamin D pada pekerja perempuan. Sedangkan gejala stres kerja dipengaruhi
secara signifikan oleh faktor pengeluaran non pangan. Status serum vitamin D
diketahui tidak berpengaruh signifikan terhadap timbulnya gejala stres kerja pada
pekerja perempuan usia subur.
Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang faktor risiko lain yang diketahui
mempengaruhi status serum vitamin D seperti aktifitas fisik,warna kulit, pengaruh
iklim, jenis kelamin dan genetik. Selain itu perlu dilakukan program perbaikan gizi
dan kesehatan terhadap pekerja perempuan dalam menunjang produktivitas mereka,
program suplementasi vitamin D atau program senam di pagi hari. Rekomendasi
program tersebut bisa dilaksanakan pada semua instansi perkantoran baik di

pemerintah maupun swasta, utamanya yang memiliki karyawan lebih banyak bekerja
dalam ruangan.
Kata kunci: paparan sinar matahari, pekerja perempuan usia subur, vitamin D,
stres kerja

SUMMARY
ANWAR LUBIS. Factors Related To The Status of Vitamin D and Impact on Work
Stress Symptoms in Working Female Of Childbearing Age. Supervised by DADANG
SUKANDAR and ALI KHOMSAN.
Vitamin D allegedly associated with decreased cognitive abilities and mental
health. Expectations were capability of hipovitaminosis D to enlarge the work stress.
Research - human studies showed that Vitamin D Receptor (VDR) and 1αhydroxylase catalyzed the synthesis of 1,25 - dihydroxyvitamin D (calcitriol,
bioactive form of vitamin D) in the structure of the brain such as the prefrontal
cortex, amygdala and hipocampus.
In general, this study aimed to analyze factors affecting the status of vitamin
D and the impact against the symptoms of job stress in women workers of
childbearing age . Specifically, this study aimed : 1) To identify the characteristics of
women workers ; 2) Assessing nutritional status and food consumption patterns of
women workers ; 3) Analyze the factors related to vitamin D status and symptoms of
stress working women of childbearing age .

The design used in the study was a survey study. This study has gained
approval from the Ethics Committee of Health Research Ethics School of Public
Health, University of Diponegoro No. 11 / EC / FKM / 2015. A total of research was
65 subjects female of childbearing age who met the inclusion criteria. The data
collected was of primary data, obtained using a questionnaire and measurement of the
biochemical analysis of blood.
Early stages of data analysis is descriptive analysis on several parameters
including characteristics of subjects (age, income, expenditure number of family
members). Descriptive analysis was also conducted on the factors - factors that
affected vitamin D status (exposure to sunlight, the use of the veil, use sunscreen, and
consumption of food sources of vitamin D), serum vitamin D variables and symptoms
of job stress. Multiple linear regression model was used for analysis of factors
associated with serum vitamin D status and factors associated with symptoms of job
stress.
This study showed the average 29.7 years old women workers. almost half
the level of education subject was only primary school graduates (40.0%), with the
average - average study period of 8.5 years. Sovereign, when seen in the categories of
marital status, most of the subjects status were married (80.0%) and a small
proportion (20.0%) subjects was divorce status. women workers generally had a
small family (66.2%). non-food expenditures subject was larger (61.6%) than food

expenditure (38.4%) with the average expenditure of Rp 2 9216 million per month
with a standard deviation of Rp 796 150.
Based on nutritional status, waist circumference Average 78.8 cm subjects
which showed that the majority of subjects classified in the normal nutritional status.
According to the composition of body fat (%BF), the majority of subjects (81.5%)

had moderate body fat composition and a fraction (18.5%) had more body fat
composition. Based on visceral fat, the majority of subjects (89.2%) having an
visceral fat is was less than 10 and only a few of the subjects (10.2%) were more than
10 based on BMI, more than half of the subjects classified as normal (69.2%) and
overweight (20.0%),
Based on the lifestyle, the majority of subjects exposed to the sun was for less
than 30 minutes (76.9%), the average subjects exposed were only 17.7 minutes with a
standard deviation of 15.3 minutes. Based on the use of sunblock (sunblock) largely
subject always used Sunblock (80%) and only 7% of the subjects who never used
sunblock. Based on the use of the hijab was more than half the women wear veils
workers every weekday (66.2%).
Women workers in the garment factory had a mean age - average 29.7 years
and most had a work of service ≤ 5 years . The average monthly income of female
workers was 1974 700 IDR. Based on Body Mass Index (BMI), was generally normal

nutritional status of women workers . Based on the status of serum 25 (OH) D ,
obtained more than two -thirds (90.2%) had normal serum vitamin D with categories
deficiencies 46.2 % and 44.6 % category were not enough. Only 9.2 % of the subjects
was who had normal vitamin D serum levels .
Based on the multiple linear regression analysis , the use of the veil , waist
circumference and milk consumption significantly influenced serum vitamin D status
on women workers. While work stress symptoms significantly influenced by factors
non-food expenditures . Serum vitamin D status was known no significant effect on
the onset of symptoms of job stress in women of childbearing age workers
Keywords: sun exposure, working female of childbearing age, vitamin D, work
stress

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB


FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
STATUS VITAMIN D SERTA DAMPAKNYA TERHADAP
GEJALA STRES KERJA PADA PEKERJA
PEREMPUAN USIA SUBUR

ANWAR LUBIS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Faisal Anwar,MS


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang akan dilaksanakan sejak Januari hingga April 2015
adalah “Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D serta
Dampaknya terhadap Gejala Stres Kerja pada Pekerja Perempuan Usia Subur”.
Ucapan terima kasih dengan penuh hormat penulis ucapkan kepada
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc sebagai ketua komisi pembimbing yang selalu
bersedia berdiskusi dan memberikan solusi pada setiap masalah yang penulis hadapi.
Terima kasih dan penuh hormat penulis haturkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan,
MS selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan
saran, masukan, dan arahannya kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Penulis
sampaikan terimakasih juga kepada Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Neys-van Hoogstraten Foundation-The
Netherland, selaku pemberi dana penelitian ini.
Terima kasih sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu dosen
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat FEMA IPB, yang telah bersabar dan ikhlas
berbagi ilmu dan inspirasi selama penulis menuntut ilmu di Kampus IPB, tidak lupa
kepada staf dan pengelola yang telah membantu dan memberikan layanan optimal

selama penulis menjadi mahasiswa.
Ungkapan terima kasih dengan penuh kebanggaan penulis haturkan kepada
teman – teman seperjuangan Pasca GMS 2013, atas kebaikan ketulusan dan
dukungannya selama penulis menimba ilmu di IPB.Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada teman-teman Mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Selatan
(RUMANA IPB), atas kebersamaan selama di bogor. Terima kasih telah menjadi
saudara “sedaerah” yang selalu menghadirkan keceriaan dan obat rindu penulis ketika
kangen rumah di kampung.
Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada bapak dan ibu saya
tercinta atas, doa, perhatian tulus, kasih sayang dan dukungan moril materil yang
diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan jenjang pendidikan magister.
Semoga ini menjadi bagian dari kebanggaan harapan bapak ibu yang di ijabah lewat
saya. Aamiin.
Penulis sangat menyadari tesis ini masih belum sempurna, saran dan masukan
dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini sangat diharapkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Anwar Lubis

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Tujuan khusus
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Vitamin D
Mekanisme Aktivitas Vitamin D
Penilaian Status Vitamin D
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres kerja
3. KERANGKA PEMIKIRAN
4. METODE
Desain, Lokasi, dan Waktu
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
Teknik Pengumpulan Data
Pengukuran Serum Vitamin D
Pengukuran Gejala Stres kerja
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Subjek
Karakterstik berdasarkan Status Gizi
Gaya Hidup yang Berhubungan dengan Status Vitamin D
Pola Konsumsi Pangan
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin D
Gejala Stres Kerja
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres Kerja
6. SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

i
ii
ii
1
1
3
3
3
3
3
3
4
4
5
6
7
10
13
13
13
13
14
14
16
17
18
18
20
22
24
25
29
29
32
32
33
53

ii

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Nilai standar status vitamin D berdasarkan konsentrasi 25(OH)D
6
Metode pengukuran dan pengumpulan data
14
Metode pengukuran dan pengumpulan data (lanjutan)
15
Statistik pekerja perempuan menurut status sosial demografi
18
Statistik pengeluaran rumah tangga pekerja perempuan (Rp/bulan)
19
Statistik pekerja perempuan berdasarkan pekerjaan
19
Sebaran pekerja perempuan berdasarkan status gizi
21
Sebaran pekerja perempuan status vitamin D
22
Gaya hidup yang berhubungan dengan status vitamin D
23
Sebaran pekerja perempuan berdasarkan pola konsumsi pangan
24
Analisis regresi linear berganda faktor – faktor yang berhubungan
dengan
status serum vitamin D
25
Sebaran pekerja perempuan berdasarkan gejala Stres kerja
29
Analisis linear berganda faktor faktor yang berhubungan dengan gejala stres
kerja pekerja perempan usia subur
30

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kuesioner
Ringkasan analisis data
Naskah penjelasan peneliti untuk mendapat informed consent dari subjek
penelitian
Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed consent)
Penjelasan Rinci Tentang Tata Cara Pengukuran Status Gizi
Prosedur Pengambilan Serum Vitamin D
Ethical Clearence

37
42
44
46
47
51
52

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Stres adalah masalah kesehatan masyarakat yang diprediksi menjadi
penyebab kedua kejadian disabilitas di dunia pada tahun 2020 nanti (Murray
dan Lopez 1997). Tren ini diikuti dengan makin melambungnya biaya
pengobatan dan menurunnya produktivitas kerja. Etiologi dan patofisiologi
stres kerja belum sepenuhnya diuraikan secara teoritis. Penelitian dasar dan
penelitian klinis terkini menjelaskan peran potensial faktor biologis terbaru
bahwa kondisi kejiwaan dipengaruhi oleh kimia saraf dan mekanisme neuro
endokrin. Berdasarkan riskesdas 2013 disebutkan bahwa prevalensi penderita
gangguan mental emosional di Indonesia 6,0%. Di Jawa Barat sendiri
prevalensi penderita gangguan mental emosional 9.3% yang melebihi
prevalensi nasional.
Vitamin D diduga berhubungan dengan menurunnya kemampuan
kognitif dan kesehatan mental. Dugaannya adalah hipovitaminosis D mampu
memperbesar terjadinya stres kerja. Penelitian - penelitian pada manusia
memperlihatkan adanya Vitamin D Reseptor (VDR) dan 1α-hidroksilase
mengkatalisis sintesa 1,25- dihidroksivitamin D (kalsitriol, bentuk bioaktif
vitamin D) dalam struktur otak seperti korteks prefrontal, amygdala dan
hipocampus (Eyles et al. 2005).
Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang fungsinya di dalam
tubuh cukup unik karena mirip dengan fungsi hormon. Fungsi biologis utama
dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum
dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk
menyerap mineral-mineral tersebut dari makanan. Salah satu dampak dari
kekurangan vitamin D dan kalsium meningkatkan risiko fraktur.
Hoang et al. (2011) menemukan bahwa rendahnya tingkat serum
vitamin D berhubungan dengan gejala stres kerja di Kota Dallas Amerika.
Selain itu pada penelitian Milaneschi et al. (2010) mengambil sampel lansia
531 wanita dan 423 pria, menemukan bahwa hipovitaminosis D adalah faktor
risiko yang tumbuhnya gejala stres kerja pada lansia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, pekerja di Indonesia
mencapai 100.316.007 orang dimana 64,63% pekerja laki-laki dan 35.37%
pekerja perempuan, dan mengalami peningkatan pada tahun 2015, pekerja
perempuan mencapai 36,03%. Peningkatan ini selain dipandang sebagai hal
positif karena bertambahnya tenaga produktif, juga merupakan tantangan
dilakukan perbaikan SDM pekerja tersebut. Terlebih, Sebagian besar pekerja
tersebut adalah Perempuan Usia Subur, yang berasal dari golongan ekonomi
menengah ke bawah, yang tidak terbebas dari masalah kesehatan. Kondisi
ekonomi keluarga yang lemah menyebabkan pekerja perempuan sulit
memenuhi kebutuhan zat gizi mikro. Dari data tersebut dapat diduga populasi
orang yang berpotensi terkena stres, terutama bagi perempuan yang bekerja
dengan variasi statusnya dalam keluarga.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang tidak dapat
menghindarkan diri dari stres. Pada suatu saat, peristiwa-peristiwa kehidupan
tertentu yang dialami orang mengakibatkan timbulnya stres. Setiap orang, baik

2

yang berasal dari kelas sosial atas, menengah, maupun bawah pernah
mengalami stres. Hanya jenis, tingkatan atau bobot stresnya berbeda-beda dan
kemampuan dalam mengelola stres pun berbeda-beda. Kondisi-kondisi yang
dapat menyebabkan stres, disebut stressor, dapat bersifat fisik (misalnya polusi
udara), fisiologis (seperti kekurangan oksigen), dan bersifat sosial (seperti
interaksi interpersonal). Berbagai peristiwa dalam kehidupan juga dapat
menimbulkan stres, seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pekerjaan
dan keluarga, termasuk yang berkaitan dengan kondisi ekonomi.
Pekerja perempuan merupakan irisan dari kelompok Wanita Usia
Subur (WUS) yang dinilai perlu mendapatkan perhatian karena rentan
terhadap masalah gizi. Masalah gizi tersebut bisa disebabkan peran fisiologis
WUS menstruasi dan melahirkan. Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan
walaupun sinar matahari yang melimpah, prevalensi hipovitaminosis D pada
WUS meningkat di negara – negara Asia dan telah menjadi epidemi. Studi
terbaru Arabi et al. (2010) tentang pengukuran konsentrasi serum 25(OH)D
pada wanita dewasa berusia di bawah 50 tahun menemukan prevalensi
kekurangan vitamin D yang tinggi di beberapa negara yaitu Tunisia (47.6%),
Maroko (91%) Yordania (62.3%), Chili (27%), dan Indonesia – Malaysia
(60%). Penyebabnya antara lain, pertama pekerja perempuan bekerja pada
ruangan tertutup sehingga jarang terpapar sinar matahari, kedua aktivitas luar
ruangan terbatas karena jam bekerja dimulai dari pagi sampai sore hari. Ketiga
pekerja perempuan menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh serta
kurangnya konsumsi sumber vitamin D dan kalsium (Islam et al. 2008; Looker
et al. 2008; Islam et al. 2010)
Defisiensi vitamin D mengakibatkan penurunan efisiensi penyerapan
kalsium dan posfor sehingga meningkatkan Paratiroid Hormon (PTH). Selain
itu, berdasarkan hasil studi terbaru, defisit vitamin D meningkatkan risiko
diabetes melitus tipe 2, gangguan kardiovaskular yang disebabkan hipertensi,
obesitas dan gangguang profil lipid. Defisiensi vitamin D juga berkaitan
dengan resistensi insulin, diabetes melitus, disfungsi sel beta, penyakit
outoimun, arthritis, multipel sclerosis, kanker kolon, kanker payudara , kanker
prostat, hipertensi dan penyakit kardiovaskular (Stroud et al. 2008). Penelitian
Forman et al. (2007) pada kelompok wanita berusia 40-43 tahun menemukan
dua pertiga wanita mengalami kekurangan vitamin D, dan proporsi kejadian
hipertensi pada wanita muda dapat dikaitkan dengan kekurangan vitamin D.
Pada penelitian Hanwell et al. (2010) menjelaskan pengaruh paparan sinar
matahari terhadap kadar serum vitamin D pada pekerja rumah sakit di Italia.
Hasilnya adalah rata – rata serum 25(OH)D lebih tinggi pada musim panas
daripada pada musim dingin dengan nilai serum masing – masing 58.6±16.5
nmol/ L dan 38.8±29.0 nmol/L (p = 0.003). Selain itu pada hasil penelitian Pilz
et al. (2012) pada penderita hipertensi berusia 34 – 64 tahun di Austria dengan
pemberian paparan sinar matahari pada musim panas dan musim dingin
menunjukkan bahwa ada peningkatan serum 25(OH)D yang lebih tinggi pada
musim panas dibandingkan dengan musim dingin disertai menurunnya
paratiroid hormon (PTH). Paparan sinar matahri menjadi penting dalam
menjaga fisiologi vitamin D dan status PTH.
Vitamin D banyak yang tertarik menghubungkannya dengan kesehatan
mental. Reseptor Vitamin D ditemukan pada beberapa jenis sel. Termasuk sel

3

saraf dan sel glial. (Eyles et al. 2005). Vitamin D sekarang ditemukan
berpengaruh pada aktivitas neurosteroid dan berdampak pada serotonin otak
(Bertone-Johnson 2009), vitamin D juga berperan dalam regulasi mood. Bukti
empiris menunjukkan bahwa rendahnya serum 25-hidroksivitamin D
(25(OH)D), berhubungan dengan gangguan kejiwaan , termasuk gangguan
stres kerja, gangguan afeksi , dan gangguan premenstruasi berat. (BertoneJohnson et al. 2011). Pada studi meta-analisis Anglin et al. (2013) menemukan
bahwa vitamin D konsentrasi rendah berhubungan dengan stres kerja (HR =
1.31).
Berdasarkan uraian di atas ditambah saat ini belum banyak penelitian
yang dilakukan terkait defisiensi vitamin D di Indonesia, maka perlu dilakukan
penelitian ini yang mengidentifikasi faktor – faktor yang berhubungan dengan
status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja pada pekerja
perempuan usia subur.

Perumusan Masalah
1. Faktor – faktor apakah yang mempengaruhi status serum vitamin D pada
pekerja perempuan usia subur?
2. Apakah ada hubungan defisiensi vitamin D dengan gejala stres kerja pada
pekerja perempuan usia subur?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi status vitamin D dan dampaknya terhadap gejala stres kerja
pada wanita usia subur.
Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik pekerja perempuan.
2. Menilai status gizi dan pola konsumsi pangan pekerja perempuan.
3. Menganalisis faktor – faktor yang berhubungan dengan status vitamin
D dan gejala stres pekerja WUS
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan signifikan status
vitamin D dengan gejala stres kerja pada pekerja perempuan usia subur.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
tambahan dalam rangka mencegah masalah kesehatan masyarakat khususnya
penyakit tidak menular terutama yang berkaitan dengan vitamin D. Selain itu
diharapkan hasil penelitian ini juga mampu memfasilitasi perbaikan dan
peningkatan sumber daya manusia baik yang diprogramkan oleh pemerintah
maupun perusahaan – perusahaan swasta.

4

2. TINJAUAN PUSTAKA
Vitamin D
Vitamin D merupakan secosteroid yang dibentuk di kulit melalui proses
fotosintesis oleh sinar matahari. Struktur vitamin D diturunkan dari senyawa
steroid
yang
memiliki
empat
cincin
senyawa
cyclo-pentanoperhydrophenanthrene (cincin A,B,C,D). Cincin A, C dan D merupakan
struktur cincin yang utuh, sedangkan struktur cincin B tidak utuh lagi. Dikenal
sebagai secosteroid karena cincin B telah lepas ikatan karbon-karbonnya.
Vitamin D secara biologik bersifat inert dan menjalani dua (2) kali proses
hidroksilasi berturut-turut di hati dan di ginjal sehingga terbentuk metabolit
aktif yaitu 1,25(OH)2D3 (Holick 1995). Efek biologik utama vitamin D3 aktif
ialah memelihara konsentrasi kalsium serum dalam rentang normal (Holick
2007). Kondisi tersebut dicapai dengan meningkatkan absorpsi usus terhadap
kalsium yang berasal dari makanan dan dengan memobilisasi cadangan
kalsium di tulang untuk masuk ke sirkulasi (Lips et al. 2001). Vitamin D
penting untuk pembentukan skeleton dan untuk hemostatis mineral, termasuk
untuk peningkatan absorpsi kalsium dan posfor.
Vitamin D3 berasal dari sintesis di kulit berdifusi ke pembuluh darah
menggunakan α 2 globulin vitamin D – binding protein (DBP). Cholecalciferol
ini akan diambil dan diangkut oleh DBP. Sekitar 60% Cholecalciferol yang
terikat dengan DBP akan diangkut ke jaringan tubuh terutama hati serta
jaringan lain seperti otot dan jaringan lemak.
Vitamin D2 dan vitamin D3 yang berasal dari makanan diabsopsi
dalam bentuk misel secara difusi pasif dan masuk ke dalam usus. Hanya sekitar
50% dari asupan vitamin D yang diabsorpsi. Saat berada dalam usus, vitamin
D2 dan vitamin D3 bergabung dengan kilomikron selanjutnya menuju sistem
limpatik dan dibawa ke sirkulasi pembuluh darah. Sejumlah vitamin D2 dan
D3 dipindahkan dari kilomikron ke DBP untuk diangkut kejaringan
ekstrahepatik, kilomikron remnan akan membawa vitamin D2 dan D3 ke hati
(Gropper dan Groff 2009).
Kolekalsiferol setelah mencapai hati akan dimetabolisme oleh enzim
hidrosilase hati untuk membentuk metabolit aktif. Hidroksilasi vitamin D3
dilakukan oelh enzim sitokrom P450 yakni 25 – hydroxylase , 1- hydroxylase,
24 – hydroxylase. Enzim 25 – hydroxylase , hati akan menghidrolisis karbon
25 kolekalsiferol menjadi kalsidiol, yang sangat tergantung dengan kandungan
vitamin D dan metabolitnya. Kerja 25 – hydroxylase lebih cepat ketika tubuh
kekurangan vitamin D (Channell et al 2008). Agar menjadi bentuk aktif,
vitamin D2 dan D3 memerlukan dua tahap hidrolisasi, pertama terjadi di hati
oleh enzim hidrosilase hati membentuk metabolit aktif. Hidroksilasi vitamin D
2 dan D3 dilakukan oleh enzim 25 – hydroxylase , menghasilkan 25(OH)D
atau kalsidol yang paling banyak bersirkulasi di dalam darah (Gallagher 2008;
Gropper dan Groff 2009). Karena vitamin D yang paling banyak bersirkulasi
waktu paruh 2 – 3 minggu, pengukuran konsentrasi 25(OH)D yang bersirkulasi
merupakan indikator klinik status vitamin D (Lips et al. 2001).

5

Adapun kalsidiol yang telah dihasilkan merupakan bentuk vitamin D
yang paling banyak bersirkulasi dalam darah, namun tidak aktif secara
biologis, mempunyai waktu paruh sekitar 10 hari sampai tiga minggu dalam
sirkulasi. Agar menjadi aktif senyawa kalsidiol dibawa ke korteks ginjal untuk
mengalami hidroksilasi tahap kedua oleh enzim α1 – hydroxylase menjadi
bentuk vitamin D aktif yaitu 1,25 dihidroksi vitamin D atau 1,25(OH) 2D3 atau
kalsitriol. Kadar kalsitriol mempunyai aktivitas 1 – hydroxylase, tingginya
kadar kalsitriol menghambat aktivitas 1- hydroxylase, sehingga kadar 1 –
hydroxylase menurun. Kerja 1 – hydroxylase ginjal yang menurun akan
digantikan oleh aktivitas enzim 24 – hydroxylase. Enzim ini berlawanan
kerjanya dengan 1 – hydroxylase, menurunkan kebutuhan dan pembentukan
kalsitriol di dalam tubuh agar tidak terjadi kelebihan dengan cara membentuk
metabolit. Enzim 24 – hydroxylase akan menghidrolisasi kalsidiol dan
kalsitriol menjadi 24,25(OH)2D3 dan 1,24,25(OH)2D3. Bentuk metabolit
24,25(OH)2D3 dan 1,24,25(OH)2D3. Bentuk metabolit 24,25(OH)2D3
dilepaskan di jaringan sirkulasi dan terikat dengan DBP untuk dibawa ke
jaringan target sedangkan 1,24,25(OH)2D3 dapat dibawa ke ginjal untuk diubah
menjadi senyawa yang dapat diekskresikan (Gropper dan Smith 2012).
Sebagian besar vitamin D akan diekskresikan dari tubuh di dalam feses,
melalui empedu; kurang dari 5% diekskresikan sebagai metabolit larut air di
dalam urin. Sekitar 2 – 3% vitamin D yang terdapat di empedu adalah
kolekalsiferol, 25(OH)D dan 1,25(OH)2D3 tetapi sebagian besar adalah
metabolit lain seperti 24 – oxo-deridative, 23-hydroxylation dan calcitroic acid
(Bender 2003).
Mekanisme Aktivitas Vitamin D
Kalsitriol sebagai bentuk aktif dari vitamin D mempunyai dua
mekanisme dalam menjalankan fungsinya, yaitu secara genomik dan non
genomik. Mekanisme genomik diawali dengan masuknya kalsitriol ke dalam
sel target selanjutnya berinteraksi dengan vitamin D receptors (VDRs) di
dalam inti sel. Ikatan VDRs – kalsitriol – inti sel akan mengalami fosforilasi,
kemudian terikat dengan Retinoid Acid X Receptor (RXR) membentuk
heterodimer yang akan berikatan dengan vitamin D responsive element
(VDRE) dalam DNA membentuk komplek nukleoprotein. Selanjutnya dikenali
sebagai specific site di dalam kromosom yang akan meregulasi terjadinya
transkripsi gen (transfer informasi dari DNA ke RNA untuk memulai
transkripsi gen) (Mertens dan Muller 2010).
Reseptor vitamin D
dijumpai di berbagai jaringan, sehingga
nukleoprotein tersebut akan memodulasi berbagai gen antara lain dengan
menghambat sintesis renin. Sintesis renin diawali dengan adanya sinyal dari
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Sinyal ini merupakan sinyal intraseluler
utama dalam hal menstimulasi ekspresi gen renin dengan membentuk ikatan
pada sub unit katalitik protein kinase A (PKA) berikatan dengan cAMP respon
element (CRE) untuk memulai transkripsi gen menghambat prorenin. Prorenin
yang terbentuk diubah menjadi renin aktif ginjal dan waktu paruh dalam
sirkulasi sekitar 80 menit. Hal ini yang menyebabkan seseorang yang defisiensi

6

VDRs atau vitamin D akan mengalami hiperreninemia dan meningkatkan
tekanan tekanan darah ( Gropper dan Groff 2009).
Mekanisme non genomik vitamin D terjadi tanpa adanya transkripsi
gen misalnya homeostatis kalsium. Sintesis kalsitriol merupakan respon
terhadap perubahan kadar kalsium dalam darah dan pelepasan hormon
paratiroid. Hipokalsemia menstimulasi sekresi hormion tiroid. Hormon
paratiroid ini selanjutnya akan menstimulasi 1 – hidrosksilase di ginjal yang
akan mengubah kalsidiol menjadi kalsitriol . keberadaan kalsitriol dan hormon
paratiroid di jaringan target menyebabkan peningkatan kadar kalsium serum
(Gropper dan Smith 2012).
Penilaian Status Vitamin D
Kerja kalsitriol seratus kali lebih potensial dibandingkan kalsidiol,
namun konsentrasi kalsidiol di dalam darah seratus kali lebih banyak, hal
tersebut disebabkan lebih dari 99% kalsitriol terikat dengan DBP dan albumin
serta mempunyai paruh pendek yaitu 4-6 jam ; sehingga untuk menilai status
vitamin D seseorang digunakan pengukuran konsentrasi kalsidiol (Gropper
dan Smith 2012). Selain itu konsentrasi kalsitriol juga merupakan indikator
baik dalam mengukur status vitamin D, karena (1) penurunan mendadak
konsentrasi kalsium akibat defisiensi vitamin D menyebabkan hormon
paratiroid (PTH) meningkat kemudian menginduksi peningkatan aktivitas 1αhidroksilase, sehingga kadar konsentrasi 1,25(OH) 2D3 tersebut akan menjadi
normal atau bahkan akan meningkat. Jadi walaupun terjadi defisiensi vitamin
D , konsentrasi 1,25(OH)2D3 bisa tetap normal bahkan meningkat , dan (2)
konsentrasi 1,25(OH)2D3 yang beredar dalam darah 100 – 1000 kali lebih
rendah dibandingkan 25(OH)D (Grant dan Hollick 2005)
Metabolit yang digunakan untuk penelitian status vitamin D adalah
kadar kalsidiol, yang ketersediaannya dipengaruhi oleh asupan vitamin D 3 dan
paparan sinar matahari. Sebagian besar peneliti menyetujui penggunaan
kalsidiol sebagai indikator penilaian status vitamin D, oleh karena (1) enzim 25
hidroksilase tidak dapat dipengaruhi kerjanya sehingga kadar kalsidiol
merupakan indikator adekuat untuk kadar vitamin D yang berasal dari sintesis
di kulit dan asupan sehari – hari, (2) konsentrasi kalsidiol berkaitan dengan
banyak manifestasi klinis penyakit. Status vitamin D berdasarkan serum
25(OH)D dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Nilai standar status vitamin D berdasarkan konsentrasi 25(OH)D
25(OH)D (ng/mL)
25(OH)D (nmol/L)
Implikasi kesehatan
< 12
< 30
Defisiensi
12.0 – 19.9
30 – 49.9
Tidak cukup
≥ 20
≥ 50
Cukup
Ket : untuk mengkonversi 1 nmol/L menjadi 1 ng/mL dibagi 2.5 (Ross et al.
2011)
Berdasarkan Tabel 1, status serum vitamin 25(OH)D ditentukan dalam
satuan nmol/L atau dengan melakukan konversi dalam satuan ng/mL (Ross et
al. 2011). Seseorang dikatakan defisiensi jika memiliki konsentrasi serum
25(OH)D kurang dari 12 ng/mL, kategori tidak cukup jika memiliki kadar

7

serum 25(OH)D antara 12.0 sampai 19.9 ng/mL, dan dikatakan cukup jika
seseorang memiliki kadar serum 25(OH)D lebih dari atau sama dengan 20
ng/mL.
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Gejala Stres kerja
Stres berhubungan dengan respons yang tidak spesifik atau bersifat
umum dari tubuh terhadap suatu demand. Respons ini terjadi bila demand
tersebut muncul dalam tubuh, apakah merupakan tuntutan dari kondisi
lingkungan yang harus kita penuhi atau suatu demand yang kita buat sendiri
dalam rangka mencapai suatu tujuan pribadi (Seyle dalam Berry dan Houston,
1993). Selanjutnya Seyle membedakan dua bentuk stres: disteress dan eustress.
Distress merupakan respons terhadap peristiwa negatif, sedangkan eustress
merupakan respons terhadap peristiwa positif. Menurut Goldsmith (1996)
stress biasanya melibatkan tekanan/ketegangan (tension).
Pengukuran terhadap gejala stres kerja
dilakukan dengan
menggunakan Stress Assessment Questionairre (SAQ) yang dikembangkan
oleh Koeswara (2009), kemudian dimodifikasi dengan instrumen Life
Change Index Scale (Holmes dan Rahe 1967) dan diadaptasikan ke dalam
bahasa Indonesia. Instrumen ini memuat 15 pertanyaan dengan masing –
masing jawaban mendaapatkan skor 1 – 4 . Skor minimal untuk gejala stres ini
5 dan skor maksimal 25. Gejala stess yang termasuk kategori sangat tinggi 5 –
10, kategori tinggi pada skor 10 –15, kategori rendah pada skor 16 – 20,
kategori sangat rendah pada skor lebih dari 21.
Stress merupakan suatu proses dan bukan keadaan akhir. Proses yang
dimaksud adalah tahapan perubahan yang terjadi melalui waktu dan situasi
situasi yang berbeda. Seseorang yang terkena stress mengalami beberapa
tahapan atau tingkatan stress. Beberapa stress tidak dapat dihindarkan, tidak
mengenal waktu, dan terjadi pada semua masyarakat. Potensi stress muncul
ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain atau dengan lingkungan. Stress
juga dapat terjadi ketika seseorang merasa terancam atau takut. Bila potensi
yang merusak tinggi atau orang merasa kekurangan sumberdaya untuk
mereduksi ancaman, maka stres meningkat. Safarino dalam Smet (1994)
mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi
individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutantuntutan yang berasal dari situasi dengan sumberdaya sistem biologis,
psikologis, dan sosial seseorang.
McKinnon (1998) memandang stres sebagai pengalaman yang tidak
mengenakkan baik secara emosional, fisikal, mental, atau kombinasi dari
ketiganya. Ketidakenakkan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan orang
dalam memenuhi tuntutan (demands) tertentu atau ekspektasi dalam kehidupan
manusia, yang pada gilirannya membuat kita merasa terancam, tidak memadai
dan rawan. Alva (2003) mengklasifikasikan stres menjadi dua jenis, yaitu stres
akut (acute stress) dan stres kronis (chronic stress). Stres akut, yang berjangka
waktu tidak lama (short-term), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang
secara umum diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar
(flight). Ancaman tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di
bawah sadar, sebagai sesuatu yang berbahaya. Sumber stres akut pada

8

umumnya meliputi keributan, kerumunan, terisolasi, kelaparan, bahaya,
infeksi, dan membayangkan suatu ancaman atau mengingat peristiwa yang
berbahaya. Pada umumnya, bila ancaman berlalu, maka respons menjadi tidak
aktif dan tingkat stres hormonnya kembali normal. Kondisi tersebut disebut
relaxation response.
Dalam kehidupan modern, dimana orang sering mengalami situasisituasi yang bersifat stressful secara terus-menerus, tidak sebentar, dan
mendorong untuk bertindak (melawan atau menghindar), yang mestinya
menekan, maka stres menjadi kronis. Sumber stres kronis pada umumnya
meliputi pekerjaan yang sangat menekan secara terus menerus, masalahmasalah relasi jangka panjang, kesepian, dan kehawatiran finansial yang terusmenerus.
Stres dapat bersifat eksternal, yang disebabkan oleh perubahan atau
kurangnya/gagalnya kontrol, atau bersifat internal, berdasarkan persepsi dan
ekspektasi kita. Stres biasanya merupakan hasil dari faktor-faktor eksternal dan
internal, dan juga dapat disebabkan oleh peristiwa positif (seperti kawin,
memulai pekerjaan baru) dan perisitiwa negatif (seperti perceraian, berhenti
bekerja atau kena PHK).
Menurut Goldsmith (1996) situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan stres disebut stressors. Situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa
tersebut dikategorikan bersifat relasional atau lingkungan, seperti kebisingan,
polusi, pencahayaan dan ventilasi yang kurang, kerumunan, isolasi, vibrasi,
kurangnya tempat parkir yang memadai, gangguan udara, sampah/kotoran, bau
kendaraan, rumah yang buruk rancangannya dan tidak kedap suara, pabrik dan
kantor-kantor. Sekolah dan pekerjaan juga dapat mengakibatkan stres sebab
lingkungannya merupakan pusat kehidupan sebagian besar orang. Orang-orang
menganggap dirinya berhasil atau gagal dalam area lingkungan tersebut.
McCubbin dan Thompson (1987) mendefinisikan stressor sebagai suatu
peristiwa kehidupan atau suatu transisi, misalnya kematian, membeli rumah,
menjadi orangtua, dll yang memberikan dampak bagi atau dalam unit keluarga,
yang menghasilkan atau potensial menghasilkan perubahan dalam sistem sosial
keluarga. Perubahan-perubahan ini terjadi dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, seperti status kesehatan, pembatasan-pembatasan, tujuan-tujuan, pola
pola interaksi, atau nilai-nilai. Berat tidaknya suatu stressor atau transisi
ditentukan oleh tingkat mana peristiwa-peristiwa atau transisi-transisi
mengancam, atau merusak/mengacaukan stabilitas keluarga. Atau demand
yang terlalu tinggi dibanding sumberdaya dan kemampuan keluarga, yang
akibatnya juga dapat mengancam stabilitas keluarga.
Sumber stres berubah-ubah sesuai dengan perkembangan manusia,
sehingga kondisi stres dapat terjadi di setiap saat, sepanjang kehidupan
manusia. Safarino dalam Smet (1994) mengatakan bahwa stres dapat
bersumber dari dalam diri individu, keluarga, komunitas dan masyarakat. Stres
terjadi ketika seseorang mengalami sakit atau konflik dalam dirinya. Stres juga
bersumber dari interaksi di antara anggota keluarga, seperti perselisihan
keuangan, perasaan masa bodoh, tujuan yang saling berbeda, kematian salah
satu anggota keluarga, dll. Stres dapat bersumber juga dari interaksi antar
subjek di luar lingkungan keluarga, misalnya pengalaman stres anak di
sekolah, pengalaman stres orangtua di tempat kerja.

9

Allen (2001) juga mengemukakan hal yang sama mengenai tanda-tanda
atau gejala-gejala (symptoms) orang mengalami stres. Tanda-tanda orang
mengalami stres, meliputi:
1. Kelelahan, ketika pulang ke rumah pada akhir sebuah hari orang tidak
memiliki enerji untuk melakukan apapun dan tampak seperti sedikit
koma.
2. Pola tidur, banyak orang yang terpengaruh secara berbeda, tetapi ada
perubahan khusus bagi setiap individu dalam pola tidur.
3. Pola makan, hal ini juga menunjukkan ada pengaruh yang berbeda,
tetapi ada perubahan pola makan yang spesifik bagi setiap individual.
4. Keluh kesah, berkeluh kesah secara mendalam dan berat, demikian pula
dengan cara mengambil nafasnya, ini cenderung terjadi ketika orang
merasa kewalahan.
5. Kebosanan, ketika seseorang belum menguasai tugas kemudian harus
mengerjakannya, mereka dapat merasa sengsara.
Swarth (1993) menjelaskan bagaimana respons tubuh terhadap stres.
Epineprin (adrenalin), suatu hormon stres, dilepaskan dari kelenjar adrenal.
Hormon ini bersama hormon lainnya beredar dalam tubuh untuk meningkatkan
tekanan darah dan denyut jantung, kecepatan bernafas, dan mengubah proses
tubuh lainnya. Kadar gula darah juga meningkat. Sel-sel lemak melepaskan
lemak ke dalam aliran darah untuk meningkatkan persediaan enerji otot.
Kelainankelainan yang berkaitan dengan stres adalah penyakit jantung, tukak,
alergi, asma, ruam kulit, hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kemungkinan
kanker. Stres juga dapat menyebabkan msalah psikologis, seperti stres kerja,
kecemasan, sikap masa bodoh, kelainan makan, dan penyalahgunaan alkohol
serta obat-obatan terlarang.
Menurut Swarth (1993) gizi yang baik merupakan cara penting untuk
mengatasi stres dalam kehidupan. Alasannya: 1) gizi dapat mempengaruhi
kemampuan individu mengatasi stres secara fisik dan mental, 2) gizi yang
buruk menyebabkan stres pada tubuh dan pikiran, dan 3) stres meningkatkan
kebutuhan akan zat-zat gizi.
Menurut Smet (1994) hampir semua orang mengalami stres sehubungan
dengan pekerjaannya. Michael (1998) menyebutnya sebagai stres pekerjaan
(job stress), yang didefinisikan sebagai the harmful physical and emotional
responses that occur when the requirements of the job do not match the
capabilities, resources, or needs of the workers. Mengacu pada pendapat
Michael tersebut
Stres Pekerjaan merupakan respons-respons fisikal dan emosional yang
berbahaya, yang terjadi bila persyaratan-persyaratan pekerjaan tidak cocok
dengan kemampuan-kemampuan, sumberdaya-sumberdaya, dan kebutuhankebutuhan pekerja. Allen (2001) mendefinisikan stres pekerjaan (job stress)
sebagai suatu situasi dimana faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan
berinteraksi dengan seorang pekerja merubah kondisi-kondisi psikologis
dan/atau fisiologis yang mendorong seseorang untuk menyimpang dari
keberfungsiannya secara normal. Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang
membuat pekerjaan menjadi stressful adalah tuntutan pekerjaan (pekerjaan
terlalu banyak dan keharusan menyelesaikan pekerjaan dalam waktu tertentu),

10

jenis pekerjaan itu sendiri yang bersifat stressful, dan tanggungjawab bagi
kehidupan manusia, seperti pekerjaan dokter.
Michael (1998) memandang stres pekerjaan sebagai diakibatkan oleh
interaksi pekerjaan dengan kondisi-kondisi pekerjaan. Terdapat suatu
pandangan bahwa karakteristik-karakeristik pekerja versus kondisi-kondisi
pekerjaan merupakan penyebab utama stres pekerjaan. Perbedaan-perbedaan
karakteristik individual, seperti personality dan coping style merupakan hal
yang paling penting dalam memprediksi apakah kondisi pekerjaan tertentu
akan mengakibatkan stres. Dengan kata lain, sesuatu yang menyebabkan stres
bagi seseorang mungkin tidak menyebabkan stres bagi yang lain. Meskipun
demikian, bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kondisi-kondisi pekerjaan
tertentu menyebabkan stres atau bersifat stressful bagi sebagian besar orang,
misalnya tuntutan beban kerja yang berlebihan dan konflik harapan.
Vitamin D memiliki fungsi penting pada otak manusia. Banyak peneliti
menilai Vitamin D sebagai neurosteroid pada sistem saraf manusia, dan
kemungkinan hal ini terkait dengan kejadian stres kerja (Garcion et al 2002).
Eyles menemukan bahwa Vitamin D Receptor (VDR) banyak ditemukan pada
hampir semua bagian otak
manusia, termasuk
korteks prefrontal,
hippocampus, thalamus, hypothalamus, gyrus cingulate , yang terkait dengan
patofisiologi stres kerja (Drevets et al 2008)
Pada daerah – daerah tersebut terjadi reaktivitas immuno sustansial
dimana ada enzim 1 alpha hydroxylase mampu melakukan metabolisme
25(OH)D menjadi 1,25 (OH)D (Eyles et al 2005 ; Zehnder et al 2001).
Wilayah otak yang memiliki 1,25 (OH)D kemungkinan terjadi aktivitas
autokrin dan parakrin, sehingga metabolisme vitamin D mampu melewati
barier darah dan otak ( eyles et al 2005). Penelitian pada hewan menunjukkan
bahwa pada proses metabolisme vitmamin D di bagian otak terjadi sedikit
penyerapan 1,25 (OH)D (Gascon – Barre et al 1983; Pardridge et al 1985).
Sejumlah penelitian penting terkait vitamin D memperkuat dugaan
adanya peran vitamin D pada perkembangan otak dan perilaku yang diperoleh
dari studi pada hewan yang melibatkan percobaan mencit yang dikondisikan
kekurangan vitamin D selama dalam kandungan atau setelah lahir agar
mengalami kekurangan fungsi VDR.
Pada penelitian tentang pengaruh defisiensi vitamin D
pada
perkembangan otak mencit, anak anjing dalam rahim yang sangat kekurangan
vitamin D, otak berkembang dengan kondisi neokorteks menipis,
perkembangbiakan sel lebih besar, bobot lebih berat, faktor pertumbuhan sel
saraf dengan GDNF (Glial cell line – Derived Neurotrophic Factor) menurun,
dibandingkan dengan kelompok kontrol cukup vitamin D (McGrath et al
2004). Hal ini menunjukkan bahwa bobot otak meningkat sebagai akibat dari
proses menurunnya apoptosis.
3. KERANGKA PEMIKIRAN

Menurut Smet dalam Koswara (2009) stressor pekerjaan meliputi
tuntutan pekerjaan dan waktu pekerjaan. Tuntutan pekerjaan terdiri dari aturan-

11

aturan bekerja, disiplin kerja, dan produktivitas kerja. Waktu pekerjaan
mencakup jam kerja dan batas waktu penyelesaian setiap pekerjaan. Beban
kerja, jarak ke tempat kerja dan cara mencapai tempat kerja juga sering
menimbulkan stres bagi para pekerja. Oleh karena itu, variabel-variabel
tersebut perlu diteliti.
Hampir semua orang mengalami stres sehubungan dengan
pekerjaannya. Michael dalam koswara (2009) menyebutnya sebagai stres
pekerjaan (job stress), yang didefinisikan sebagai the harmful physical and
emotional responses that occur when the requirements of the job do not match
the capabilities, resources, or needs of the workers. Mengacu pada pendapat
Michael tersebut Stres Pekerjaan merupakan respons-respons fisikal dan
emosional yang berbahaya, yang terjadi bila persyaratan-persyaratan pekerjaan
tidak cocok dengan kemampuan-kemampuan, sumberdaya-sumberdaya, dan
kebutuhan-kebutuhan pekerja.
Klitzman et al (1990) melakukan studi longitudinal tentang Work
Stress, Non-Work Stress and Health. Studi ini menguji hubungan di antara stres
pekerjaan, stres di luar pekerjaan dan kesehatan. Studi ini juga dilatarbelakangi
oleh adanya dua stressor di luar pekerjaan yang berperanan dalam proses
stress-illness, yaitu pertengkaran kronis sehari-hari di dalam keluarga (seperti
konflik finansial, konflik perkawinan, konflik keluarga, dsb) dan peristiwaperistiwa kehidupan yang besar (kematian orang-orang yang dicintai seperti
pasangan hidup, anak, keluarga sakit kronis, dan sebagainya). Klitzman et al
(1990) menemukan bahwa konflik pekerjaan dan konflik diluar pekerjaan
secara signifikan berhubungan dengan perasaan negatif dan gejala kesehatan
kurang baik.
Allen dalam Koswara (2009) mengidentifikasi gejala – gejala orang
mengalami stres, secara fisik, mental maupun psikologis. Gejala tersebut
paling berat adalah gejala stres kerja.
Kejadian stres kerja sendiri
menunjukkan hubungan terbalik dengan Defisiensi vitamin D (Lee et al. 2010;
Hoogendijk et al.2008). Reseptor serum 25(OH)D pada otak yang
mempengaruhi sistem saraf seperti korteks, serebellum, dan sistem limbik
memperkuat hipotesis bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan
disfungsi neuropsikologi seperti stres kerja (Jaddou et al. 2012)
Bukti terkini melihat vitamin D kemungkinan besar memiliki fungsi
penting pada otak manusia dan banyak peneliti meyebut vitamin D sebagai
neurotsteroid . Vitamin D Reseptor (VDR) ditemukan pada hampir semua
jaringan tubuh, termasuk sel neuronal dan sel glial di sistem saraf pusat. Eyles
et al. (2005) menemukan banyaknya VDR di bagian otak manusia, termasuk
korteks prefrontal, hippocampus, cingulate gyrus, thalamus, hypothalamus, dan
substantia nigra, dan pada bagian lain yang mempengaruhi patofisiologi stres
kerja.
Metabolisme vitamin D bisa melewati batas antara darah dan otak.
Studi sebelumnya pada hewan menemukan bahwa ada 1,25(OH)D mudah
masuk di bagian otak. Eyles et al. (2005) menemukan Adanya VDR pada
jaringan otak
menunjukkan terjadinya metabolisme 25(OH)D menjadi
1,25(OH)2D dengan bantuan enzim α1- hidroksilase. Metabolisme ini
menunjukkan keterlibatan vitamin D dalam proses neurogenesis. Vitamin D
berperan melindungi proses integritas saraf melalui upregulasi faktor

12

neurotropis (perkembangan saraf, neurotrophin-3, neurotrophin-4) pada daerah
hippocampus dan neokorteks (Eyles et al. 2009).
Berdasarkan Gambar 1, terlih