Isolation and Nanoencapsulation of Carotenoids from Palm Pressed Fiber Waste

ISOLASI DAN NANOENKAPSULASI KAROTENOID
LIMBAH SERAT BUAH KELAPA SAWIT

RIAHNA BR KEMBAREN

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
RIAHNA BR KEMBAREN. Isolasi dan Nanoenkapsulasi Karotenoid Limbah
Serat Buah Kelapa Sawit. Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan I MADE
ARTIKA.
Indonesia menghasilkan limbah serat buah kelapa sawit dalam jumlah
besar. Pemanfaatan limbah tersebut sebagai sumber karotenoid dapat
meningkatkan nilai ekonomi. Karotenoid mudah rusak jika terpapar suhu dan
intensitas cahaya yang tinggi. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
ketahanan karotenoid adalah nanoenkapsulasi dengan penyalut kitosan. Tujuan
penelitian ini adalah mengisolasi karotenoid dari limbah serat buah kelapa sawit

dan membuat nanopartikel karotenoid tersalut kitosan. Karotenoid diekstrak
menggunakan pelarut heksana-aseton (10:1 v/v). Ekstrak kasar dimurnikan
menggunakan kromatografi kolom adsorpsi. Penentuan konsentrasi karotenoid
menggunakan HPLC. Fraksi II diuapkan pelarutnya dengan evaporator dan
dihembuskan gas nitrogen. Proses nanoenkapsulasi menggunakan ultrasonikator
dengan amplitudo 30% selama 60 dan 90 menit. Karakterisasi hasil nanoenkapsul
dilakukan menggunakan Particle Size Analyzer (PSA). Hasil nanoekapsulasi
dengan ukuran terkecil dilakukan penentuan efisiensi nanoenkapsulasi dan
karakterisasi menggunakan Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) dan
difraksi sinar-X (XRD). Hasil penelitian diperoleh ekstrak kasar mengandung
beta-karoten sebanyak 1080.3 ppm. Fraksi II mengandung beta-karoten sebesar
3651.3 ppm dengan rendemen 0.46% b/v. Nanoenkapsulasi karotenoid selama 60
menit menghasilkan distribusi ukuran yang lebih kecil yaitu 131-446.5 nm dan
selama 90 menit berukuran 491.9-1796.2 nm. Hasil penentuan efisiensi
nanoenkapsulasi diperoleh efisiensi sebesar 76%. Hasil analisis dengan FTIR
diperoleh karotenoid sudah tersalut oleh kitosan. Hasil analisis dengan XRD
menunjukkan nanoenkapsul karotenoid berstruktur semi kristalin dengan derajat
kristalinitas 50%.
Kata kunci: Karotenoid, Kitosan, Nanoenkapsulasi.


ABSTRACT
RIAHNA BR KEMBAREN. Isolation and Nanoencapsulation of Carotenoids
from Palm Pressed Fiber Waste. Supervised by LAKSMI AMBARSARI and I
MADE ARTIKA.
Indonesia produces palm pressed fiber waste in large quantities.
Utilization of palm pressed fiber waste as a source of carotenoids can increase the
economic value. Carotenoids are easily damaged if exposed to
high temperatures and light intensity. One effort that can be done to maintain
carotenoids is nanoencapsulation using chitosan as a coating agent. The
purpose of this study was to isolate carotenoids from palm pressed fiber
waste and nanoencapsulate carotenoids using chitosan as a coating agent.
Carotenoids were extracted using hexane-acetone solvent (10:1 v/v). Crude
extract was purified by using column chromatography adsorption and the
concentration of carotenoids was determined by using HPLC. The best fraction of
extract was subjected to solvent removal by using evaporator and nitrogen gas
exhaled. Nanoencapsulation process was carried out by using ultrasonicator with
30% amplitude for 60 and 90 minutes. The size of nanoencapsule was
characterized by using Particle Size Analyzer (PSA). The smaller size of
nanoencapsule was determined by efficiency of nanoencapsulation and using
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) and X-ray diffraction (XRD).

Results showed that the crude extract from palm pressed fiber waste contained
beta-carotene as much as 1080.3 ppm. Fraction II as the best fraction contained
3651.3 ppm of beta-carotene, yield 0.46% (w / v). Nanoencapsulation of
carotenoids for 60 minutes produced the smaller size distribution 131-446.5 nm
and for 90 minutes sized 491.9-1796.2 nm. Results of determined
nanoencapsulation efficiency was 76%. Based on the results obtained by FTIR
that carotenoids fraction II was coated by chitosan. XRD results showed that
carotenoids nanoencapsule has semi-cristalline structure with 50% of crystallinity
degree.
Keyword: Carotenoids, Chitosan, Nanoencapsulation.

ISOLASI DAN NANOENKAPSULASI KAROTENOID
LIMBAH SERAT BUAH KELAPA SAWIT

RIAHNA BR KEMBAREN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia


DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Isolasi dan Nanoenkapsulasi Karotenoid Limbah Serat Buah
Kelapa Sawit
: Riahna br Kembaren
: G84070006

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Laksmi Ambarsari, MS

Ketua

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc
Anggota

Diketahui

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc.
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kepada TUHAN Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkat dan hikmat-Nya kepada penulis sehingga penulis mendapatkan kemudahan
dan kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Judul yang dipilih dalam skripsi ini
adalah Isolasi dan Nanoenkapsulasi Karotenoid Limbah Serat Buah Kelapa Sawit.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari pihakpihak yang sudah membantu. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. Laksmi Ambarsari, Ms dan Dr. I Made Artika, M. App Sc. selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan saran dalam

pengerjaan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak, Ibu dan Adikku Adhitia
Kembaren di Pekanbaru atas setiap doa dan dukungannya. Terima kasih kepada
rekan-rekan tim PKMP PIMNAS 2011: Indra Kurniawan Saputra, M. Iqbal Akbar
M., Anna Manurung, dan Theovany Silaban untuk kerjasamanya dalam PIMNAS
2011. Terima kasih kepada DP2M DIKTI yang sudah mendanai sebagian
penelitian ini melalui pendanaan PKMP 2011. Terima kasih kepada Ibu Pipih
yang sudah memberikan kitosan. Terima kasih kepada Hendry Crist yang sudah
menemani penulis ke PTPN VIII Kertajaya untuk mengambil sampel limbah serat
buah kelapa sawit. Terima kasih kepada Wahyudi Kurniawan Saputra yang telah
menemani serta memberikan tumpangan gratis kepada penulis ke Puspiptek
Serpong. Terima kasih kepada Dasma Sejahtera Turnip yang sudah membantu
penulis mencari jurnal dan mendukung dalam doa. Terima kasih untuk rekanrekan Biokimia 44, Ribka Tarigan, Elvita Citrawani, seluruh teknisi lab dan
semua pihak yang telah membantu penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga
skripsi ini bermanfaat dan dapat menjadi inspirasi bagi penulis pribadi dan
pembaca.

Bogor, Desember 2012


Riahna br Kembaren

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 23 Maret 1989 dari ayah
Yahmin Sembiring Kembaren dan ibu Maria br Tarigan. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 3
Pekanbaru dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
Undangan Masuk Seleksi (USMI) IPB. Penulis memilih jurusan Biokimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis juga memilih program
studi Pengolahan Pangan, departemen Ilmu dan Teknologi Pangan sebagai minor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah bergabung dalam komisi
Diaspora PMK IPB dan himpunan profesi biokimia CREBS (Community of
Research and Education of Biochemistry). Penulis melaksanakan praktik lapang
(PL) di LIPI bagian Bioteknologi, Cibinong-Bogor. Penulis pernah menjadi
asisten mata kuliah Kimia TPB, Biokimia Umum dan Metabolisme. Penulis
mendapatkan beberapa penghargaan seperti finalis di National Life Science
Competition (NALCO) ITB 2011, juara ketiga presentasi pada 2nd Annual Health
Conference USIM-Malaysia 2011, Inovator pada program 104 Inovasi Indonesia
2012, penghargaan setara perak di PIMNAS 2011 Makassar dan PIM IPB 2011.
Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa pertukaran mahasiswa dari Erasmus

Mundus-EURASIA 2, di Czech University of Life Sciences Prague (CULS),
Republik Ceko selama dua semester (10 bulan). Satu hal yang selalu menjadi doa
penulis yaitu agar hidup penulis menjadi garam dan terang dunia serta menjadi
inspirasi bagi orang di sekitar.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Serat Buah Kelapa Sawit ................................................................ 2
Karotenoid ................................................................................................... 3
Kitosan ........................................................................................................ 4
Sonikasi ....................................................................................................... 5
Abu Sekam Padi ........................................................................................... 6
Nanoenkapsulasi ......................................................................................... 6
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ............................................................................................. 7

Metode Penelitian ........................................................................................ 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Karotenoid ...................................................................................... 8
Hasil Pemurnian dan Penghilangan Pelarut Ekstrak Karotenoid ................ 9
Nanoenkapsulasi Karotenoid ..................................................................... 11
Karakteristik Nanoenkapsul Karotenoid ................................................... 11
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan .................................................................................................... 15
Saran........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 16
LAMPIRAN ........................................................................................................ 18

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kadar air, kadar abu, dan kadar protein limbah serat buah kelapa sawit ......... 3
2 Syarat-syarat kitosan komersil ........................................................................ 5
3 Ukuran rata-rata nanoenkapsul dan indeks polidispersitas ............................ 12
4 Gugus fungsi khas kitosan, karotenoid, dan nanoenkapsul karotenoid ........ .14

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Limbah serat buah kelapa sawit ...................................................................... 2
2 Struktur molekul beberapa senyawa golongan karotenoid.............................. 4
3 Struktur molekul kitosan ................................................................................. 5
4 Hasil ekstraksi karotenoid .............................................................................. 9
5 Hasil pengaktifan abu sekam padi ................................................................. 10
6 Fraksi I, II, dan III hasil pemekatan ekstrak karotenoid ................................ 10
7 Sebaran diameter nanoenkapsul karotenoid pada ultrasonikasi 60 menit .... 12
8 Sebaran diameter nanoenkapsul karotenoid pada ultrasonikasi 90 menit .... 12
9 Serpihan fraksi II nanoenkapsul karotenoid ................................................. 13
10 Spektrum FTIR kitosan, karotenoid, dan nanoenkapsul karotenoid ............ 14
11 Hasil XRD nanoenkapsul karotenoid ............................................................ 15

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Alur kerja penelitian ....................................................................................... 19
2 Spektrum FTIR kitosan, karotenoid dan nanoenkapsul karotenoid .............. 20
3 Kromatogram HPLC standar beta-karoten .................................................... 21
4 Kromatogram HPLC ekstrak kasar serat buah kelapa sawit .......................... 22
5 Hasil Particle Size Analyzer (PSA) ................................................................ 23


1

PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara
penghasil crude palm oil (CPO) terbesar di
dunia. Luas area perkebunan sawit di
Indonesia pada tahun 2010 sebesar 7.8 juta
HA (www.ditjenbun.deptan.go.id). Produksi
kelapa
sawit
Indonesia
mengalami
peningkatan, pada tahun 2009 sebesar 18.6
juta ton dan pada tahun 2010 sebesar 19.8 juta
ton. Produksi CPO juga mengalami
peningkatan, pada tahun 2004 sebanyak 12.5
juta ton kemudian meningkat menjadi 12.8
juta ton pada tahun 2005. Dengan
bertambahnya luas lahan perkebunan kelapa
sawit dan produksi CPO berarti semakin
bertambah pula jumlah limbah pabrik kelapa
sawit yang dihasilkan. Tahun 2004 jumlah
limbah pengolahan kelapa sawit sebesar 12.4
juta ton tandan kosong kelapa sawit (TKKS),
10.2 juta ton cangkang dan serat, serta
sebayak 32.3–37.6 juta ton limbah cair
(www.peternakan.litbang.deptan.go.id).
Limbah merupakan kotoran atau buangan
yang dihasilkan dari proses pengolahan.
Limbah dapat digolongkan menjadi limbah
cair dan limbah padat. Limbah padat dari
pengolahan kelapa sawit berupa tandan
kosong, tempurung, dan serat buah,
sedangkan limbah cair berupa lumpur sawit.
Limbah serat buah umumnya digunakan
sebagai bahan bakar mesin ketel uap boiler
(sumber energi pada pabrik) (Sanagi 2005).
Pembakaran serat juga akan mengakibatkan
pencemaran udara. Meskipun limbah kelapa
sawit berpotensi mencemari lingkungan
namun juga berpotensi untuk diberdayakan
karena jumlah yang banyak dan terpusat.
Usaha-usaha untuk memanfaatkan limbah
tersebut sampai saat ini belum dilakukan
secara intensif.
Limbah padat utama dari pabrik
pengolahan kelapa sawit adalah serat buah
kelapa sawit. Limbah serat buah kelapa sawit
tersebut sangat melimpah, setiap ton produksi
CPO akan dihasilkan 1.79 ton limbah serat
buah kelapa sawit (Loebis & Tobing 1989).
Limbah serat buah kelapa sawit memiliki
kemungkinan masih mengandung karotenoid.
Senyawa ini memberikan warna kuning
hingga merah pada minyak sawit. Karotenoid
adalah prekursor vitamin A dan antioksidan.
Karotenoid dibutuhkan oleh industri farmasi,
kosmetik, dan pangan sebagai pewarna alami
dan antioksidan (May 1994). Salah satu
contoh senyawa golongan karotenoid adalah
β-karoten. Βeta-karoten sering digunakan
untuk fortifikasi vitamin pada produk pangan

seperti margarin. Saat ini Indonesia masih
mengimpor karotenoid dari luar negeri (Masni
2004).
Pemanfaatan limbah serat buah kelapa
sawit sebagai sumber karotenoid dapat
meningkatkan nilai ekonomis dan nilai guna
limbah tersebut. Sifat fisik karotenoid mudah
rusak jika terpapar suhu dan intensitas cahaya
yang tinggi sehingga dapat menurunkan
intensitas warna. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mempertahankan karotenoid dari
kerusakan akibat suhu dan intensitas cahaya
yang tinggi adalah dengan nanoenkapsulasi.
Penggunaan karotenoid pada industri pangan
dan farmasi membutuhkan peningkatan
tingkat dispersi karotenoid dalam air,
sehingga ukuran partikel harus diturunkan ke
ukuran submikro atau nano agar tingkat
dispersi dalam air meningkat (Hoang et al.
2011).
Nanoenkapsulasi adalah penyalutan suatu
bahan atau materi dalam ukuran nano
(Mohanraj & Chen 2006). Nanoenkapsulasi
karotenoid akan melindungi karotenoid dari
kerusakan karena suhu dan intensitas cahaya
yang tinggi, membantu penyerapan yang lebih
baik dan dapat menghindari rasa dan bau yang
kurang menyenangkan (Sozer & Kokini
2009). Metode yang dapat digunakan dalam
nanoenkapsulasi adalah metode sonokimia
dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik
yang dihasilkan oleh alat ultrasonikator (Bang
& Suslick 2010).
Bahan yang dapat digunakan sebagai
penyalut adalah polyethylene glycol (PEG),
maltodekstrin, polylactic acid (PLA) dan
kitosan (Sozer & Kokini 2009). Kitosan
banyak terdapat dalam kulit udang, tetapi kulit
udang tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal dan dibuang sehingga mencemari
lingkungan. Kitosan memiliki beberapa
keunggulan jika digunakan sebagai bahan
penyalut yang lain, yaitu bentuk fisiknya
dapat diubah (dalam bentuk serpihan, manikmanik berpori, gel, fibre, dan membran),
biodegradable,
murah,
mudah
dalam
penanganannya, dan tidak toksik (Parize et al.
2008). Kitosan juga memilki sifat tahan panas
sehingga sangat baik untuk melindungi
karotenoid dari pengaruh suhu yang tinggi.
Kitosan juga memiliki warna yang transparan
sehingga tidak mengganggu warna dari
nanoenkapsul karotenoid.
Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi
karotenoid dari limbah serat buah kelapa sawit
dan membuat nanopartikel karotenoid tersalut
kitosan
(nanoenkapsulasi
karotenoid).
Hipotesis penelitian ini adalah karotenoid

2

dapat diisolasi dari limbah serat buah kelapa
sawit
dan
dapat
dinanoenkapsulasi
menggunakan kitosan sebagai bahan penyalut.
Manfaat penelitian ini adalah menghasilkan
karotenoid dari limbah serat buah kelapa
sawit, serta karotenoid
yang sudah
dinanoenkapsulasi menggunakan penyalut
kitosan menjadi lebih stabil dan dapat
dimanfaatkan untuk industri pangan, kosmetik
dan farmasi. Penelitian ini juga memiliki
kegunaan untuk mengeksplorasi pemanfaatan
limbah menggunakan ilmu biokimia untuk
industri terutama industri pangan, kosmetik
dan farmasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Serat Buah Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq) merupakan tanaman berkeping satu
yang termasuk famili palmae (Syahputra et al.
2008). Nama genus guineensis berasal dari
kata guinea yaitu tempat ditemukannya kelapa
sawit. Laju peningkatan areal penanaman
sawit di Indonesia sebesar 14% per tahun.
Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri
dari serabut buah (pericarp) dan inti (kernel).
Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga
lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang
disebut pericarp, lapisan sebelah dalam
disebut mesocarp atau pulp dan lapisan paling
dalam disebut endocarp. Inti buah kelapa
sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa),
endosperm,
dan
embrio.
Mesocarp
mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak
56%, inti (kernel) mengandung minyak
sebesar 44%, dan endocarp tidak mengandung
minyak (Pardamean 2008).
Hasil utama dari pengolahan kelapa sawit
adalah minyak sawit kasar (CPO) dan minyak
inti sawit atau dikenal dengan nama Palm
Kernel Oil (PKO) (Pardamean 2008).
Tahapan pengolahan kelapa sawit secara
umum terdiri atas pengangkutan buah ke
pabrik, perebusan buah (sterilisasi), pelepasan
buah dari tandan (striping), pelumatan buah
(digesting), pengeluaran minyak (ekstraksi),
penyaringan, pemurnian dan penjernihan
minyak (klarifikasi), serta pengolahan biji.
Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi
dari tubuh buah (mesocarp) tanaman kelapa
sawit. CPO harus menjalani pengolahan
ekstensif sebelum mencapai konsumen. Salah
satu proses adalah pemutihan adsorpsi untuk
menghasilkan RBD (refined, bleached and
deodorized palm oil), pada tahap ini
kandungan karotenoid yang tinggi pada

minyak akan dihilangkan. Tahap fraksinasi
adalah proses yang memisahkan olein cair
atau superolein dari stearin yang padat. Fraksi
olein umumnya digunakan untuk minyak
goreng, sedangkan stearin digunakan terutama
untuk shortening dan margarin (Pardamean
2008).
Minyak kelapa sawit seperti umumnya
minyak nabati lainnya adalah merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan
komponen penyusunnya yang utama adalah
trigliserida dan nontrigliserida. Minyak dari
kelapa sawit lebih murah dan memiliki
kandungan karotenoid tinggi jika dibanding
minyak nabati dari sumber yang lain.
Tanaman kelapa sawit memiliki keunggulan
dibandingkan dengan tanaman sumber minyak
yang lain seperti minyak kelapa, kedelai, atau
minyak biji bunga matahari yaitu kelapa sawit
mempunyai produktivitas lebih tinggi dan
masa produksi kelapa sawit yang cukup
panjang (sekitar 22 tahun) (Pardamean 2008).
Dalam proses pengolahan kelapa sawit
tersebut
terdapat
bahan
yang
tidak
bermanfaat. Limbah yang dihasilkan oleh
pabrik pengolahan sawit ada dua jenis, yaitu
limbah padat dan limbah cair. Limbah padat
dari pengolahan kelapa sawit mempunyai
komposisi bahan penyusunnya adalah
selulosa, hemiselulosa dan lignin. Limbah
padat yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan
sawit adalah tandan kosong kelapa sawit
(TKKS), serat buah, dan bungkil inti sawit.
Limbah cair yang dihasilkan adalah lumpur
minyak sawit, air drab, air kondesat, air
cucian pabrik, air hidrocyclone atau claybath
dan sebagainya. Tandan buah segar sebanyak
10.40 juta ton per tahun dapat menghasilkan
limbah pengolahan sawit berupa lumpur sawit
0.52 juta ton, bungkil inti sawit sebesar 0.24
juta ton dan serat buah sebesar 1.25 juta ton
pertahun (Mirwandhono & Siregar 2004).
Serat buah atau sabut sisa pemerasan
adalah residu fibrosa yang diperoleh pada
proses pemerasan mesocarp buah kelapa sawit
untuk menghasilkan minyak sawit (Gambar
1). Limbah serat buah kelapa sawit memiliki
biomassa sekitar 15.7% dari biomassa tandan
buah segar. Jumlah serat tersebut sangat

Gambar 1 Limbah serat buah kelapa sawit.

3

melimpah, setiap ton produksi CPO akan
dihasilkan 1.79 ton limbah serat (Loebis &
Tobing 1989). Limbah serat buah kelapa sawit
biasanya dibakar sebagai bahan bakar untuk
penyediaan energi pada proses penggilingan
atau mill (Sanagi 2005),
bahan baku
pembuatan papan dan sebagai bahan
campuran makanan ternak. Limbah serat buah
kelapa sawit memiliki penyusun utama
selulosa (31.82%), hemiselulosa (22.04%),
dan lignin (16.53%) (Irawadi 1991).
Choo et al. (1996) melaporkan bahwa
setelah memberikan perlakuan tertentu
terhadap hasil ekstraksi serat perasan sawit
menggunakan pelarut yang berbeda, yaitu
heksana, kloroform, dan etanol, didapatkan
konsentrat yang mengandung karotenoid
(4000-6000 ppm), vitamin E (2400-3500
ppm), dan sterol (4500-8500 ppm).
Karotenoid yang teridentifikasi terdiri dari αkaroten (19.5%), β-karoten (31.0%), likopen
(14.1%), dan pitoena (11.9%), sedangkan
vitamin E terdiri dari α-tokoferol (61%), dan
sisanya berupa tokotrienol (α-, γ-, dan δ-) dan
sterol terdiri dari β-sitosterol (47%),
kampersterol (24%), dan sigmasterol (15%).
Sisa minyak juga terdapat pada limbah
serat buah setelah bagian mesocarp buah
diekstraksi oleh screw press (Sanagi 2005).
Kadar minyak atau lemak pada limbah serat
buah kelapa sawit sekitar 9.25%. Limbah serat
buah kelapa sawit juga mengandung air,
mineral, dan protein. Tabel 1 merupakan hasil
analisis kadar air, kadar abu, dan kadar protein
limbah serat buah kelapa sawit dalam berat
kering (BK).
Tabel 1

Kadar air, kadar abu, dan kadar
protein limbah serat buah kelapa
sawit.
Kadar
Kadar
Kadar
Limbah
Air
Abu
protein
Serat buah
kelapa
8.49% 7.13%
3.57%
sawit
Sumber : Irawadi 1991.

Karotenoid
Karotenoid adalah senyawa isoprenoid
poliena yang diturunkan dari likopena. Semua
karotenoid adalah senyawa lipofilik, tidak
larut dalam air, larut dalam lemak dan pelarut
organik seperti heksana dan bensena.
Karotenoid merupakan senyawa yang
memberikan karakteristik warna merah dan
jingga
pada
buah-buahan,
ganggang,
mikroorganisme, sayur-sayuran dan kerangka
luar hewan crustacea seperti udang.

Karotenoid yang terdapat di alam cukup
banyak jumlahnya (Sanchez et al. 2010).
Karotenoid mempunyai struktur alifatik
atau asiklik yang pada umumnya disusun oleh
delapan unit isopren dan 2-metil butadien,
kedua gugus metil yang dekat pada molekul
pusat terletak pada posisi C-1 dan C-5, serta
diantaranya terdapat ikatan ganda konjugasi
(Gambar 2). Adanya ikatan ganda yang
terkonjugasi di dalam molekul karotenoid
menandakan adanya gugus kromofor. Makin
banyak ikatan ganda terkonjugasi akan makin
pekat warna karotenoid tersebut, artinya
semakin mengarah ke warna merah. Ikatan
ganda ini yang menyebabkan karotenoid peka
terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoid akan
lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis
logam, khususnya tembaga, besi, dan mangan.
Oksidasi terjadi secara acak pada rantai
karbon yang mengandung ikatan ganda.
Karotenoid
juga
mudah
mengalami
isomerisasi oleh panas dan cahaya.
Warna karotenoid mempunyai kisaran dari
kuning hingga merah, maka deteksi panjang
gelombangnya diperkirakan antara 430-480
nm. Panjang gelombang yang tertinggi
biasanya digunakan untuk beberapa xantofil
untuk mencegah gangguan klorofil. Betakaroten menyerap sinar pada daerah ultraviolet sampai violet tetapi lebih kuat pada
daerah tampak antara 400 dan 500 nm dengan
puncak 470 nm (Fennema 1996).
Karotenoid mempunyai sifat yang dapat
membentuk isomer geometrik yaitu bentuk
trans dan cis. Karotenoid terutama terdapat
sebagai isomer trans di alam. Bentuk trans
dari karoten memiliki derajat aktivitas vitamin
A yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bentuk cis (Sanchez et al. 2010). Kepekaan
terhadap oksidasi membuat karotenoid
digunakan
sebagai
antioksidan
yang
kekuatannya menyamai tokoferol dan
askorbat. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan
hilangnya warna karotenoid dalam makanan
dan merupakan mekanisme degradasi utama
yang banyak menjadi perhatian.
Karotenoid belum mengalami kerusakan
oleh pemanasan pada suhu 60oC (Hoang et al.
2011). Karotenoid lebih tahan jika disimpan
dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh.
Hal ini disebabkan asam lemak tidak jenuh
lebih mudah menerima radikal bebas apabila
dibandingkan dengan karotenoid, sehingga
oksidasi yang pertama kali akan terjadi pada
asam lemak dan akibatnya karotenoid
terlindung dari oksidasi (Sanchez et al. 2010).
Menurut Meyer (1973), karotenoid dapat
dibagi menjadi empat golongan yaitu karoten,

4

Gambar 2

Struktur molekul beberapa
senyawa golongan karotenoid.

xantofil dan derivat karoten, ester xantofil,
serta asam karotenoid. Karoten merupakan
karotenoid hidrokarbon C 40 H 56 . Karoten
adalah senyawa mikro yang menyebabkan
karakteristik warna jingga-merah pada minyak
kelapa sawit. Karoten adalah senyawa pigmen
alami yang terdapat pada kromoplas
tumbuhan
dan
beberapa
organisme
fotosintetik lainnya seperti alga, beberapa
jenis fungi dan bakteri. Pada tumbuhan tingkat
tinggi dan alga, karoten menyerap energi
cahaya matahari untuk digunakan pada
fotosintesis, dan karoten melindungi klorofil
dari kerusakan. Contoh senyawa karoten
adalah alfa, beta, dan gamma karoten serta
likopen. Xantofil dan derivat karoten
mengandung oksigen dan hidroksil, misalnya
kriptoxantin dan lutein. Ester xanthofil adalah
ester xanthofil asam lemak, misalnya
zeaxanthin. Asam karotenoid adalah derivat
karoten yang mengandung gugus karboksil.
Pada manusia, karoten seperti β-karoten
adalah prekursor vitamin A, pigmen essensial
untuk penglihatan dan kesehatan mata. βkaroten sering digunakan untuk fortifikasi
vitamin pada produk pangan seperti margarin.
0.6µg β-karoten setara dengan 1 IU vitamin
A. β-karoten di alam umumnya terdapat dalam
bentuk trans, tetapi dapat terisomerisasi
karena pengaruh lingkungan seperti suhu dan
cahaya ke bentuk cis- β- karoten (Syahputra et
al. 2008). Mengkonsumsi β-karoten lebih
aman dari pada vitamin A yang dibuat secara
sintesis dan difortifikasi ke dalam makanan,
sebab dalam tubuh β-karoten alami akan
diserap dan dimetabolisme. Sekitar 25% dari
β-karoten yang diserap pada mukosa usus
tetap dalam bentuk utuh sedangkan 75%
sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A)
dengan bantuan enzim β-karoten 15, 15’
monooksigenase
(Goodwin
1979).
Kekurangan vitamin A merupakan salah satu
masalah gizi utama yang diderita oleh anak
balita di Indonesia. Fungsi utama vitamin A

adalah untuk proses penglihatan dan
pertumbuhan yang normal.
Sifat kereaktifan yang tinggi dari βkaroten dapat mengakibatkan pergeseran
karakteristik dari aktivitas antioksidan
menjadi prooksidan. Hal ini dapat terjadi
dengan meningkatnya konsentrasi β-karoten
dan tergantung pada lingkungan fisikokimia.
Di jaringan yang tekanan oksigennya rendah,
karakteristik
aktivitas
antioksidan
mendominasi, tetapi pada lingkungan yang
tidak sesuai menyebabkan β-karoten dapat
meningkatkan aktivitas prooksidannya melalui
generasi oksidasi dan pembelahan produk
(Hoang et al. 2011). Sifat prooksidan dari βkaroten terjadi pada perokok berat yang
mengkonsumsi β-karoten dalam jumlah besar
(Hoang et al. 2011).
β-karoten lebih sering ditemukan dalam
bentuk agregat (berkumpul), hanya sebagian
kecil dari molekul β-karoten ditemukan dalam
bentuk monomolekul. Dua agregasi utama
dari karotenoid yang dapat diamati yaitu
agregat H- dan agregat J-. Kedua agregat
tersebut memilliki spektrum spektrofotometri
yang berbeda (Hoang et al. 2011).
Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa adanya kemampuan anti kanker dari βkaroten sehingga senyawa ini berpotensi
sebagai obat pencegahan beberapa jenis
kanker (Hoang et al. 2011). Beta-karoten
mudah terdegradasi karena oksidasi dan
proses termal terutama pada proses
pengolahan pangan dengan suhu tinggi dan
penyimpanan.
Kitosan
Kitosan
adalah
polisakarida
yang
bermuatan positif, mengandung rantai lurus
D-glukosamin dan residu N-asetil Dglukosamin yang diikat dengan ikatan β-(1-4)
glikosidik (Gambar 3). Kitosan merupakan
senyawa turunan kitin yang banyak terdapat
pada rangka luar dari insektisida, crustacea
(udang, kerang, kepiting, dan lobster), dan
jamur. Kitosan tidak larut dalam air, tetapi
larut dengan cepat dalam asam organik encer.
Kitosan memiliki sifat mudah terdegradasi,
biocompatible, tidak beracun dan memiliki
aktivitas antibakteri, serta aktivitas adsorpsi
(Kumar 2000).
Gugus amina (NH 2 ) yang dimiliki oleh
kitosan ini pada kondisi asam akan
terprotonasi membentuk gugus amina kationik
(NH 3 +). Kation akan bereaksi dengan anion
polimer membentuk kompleks elektrolit
(Sugita et al. 2006). Terdapatnya gugus aktif

5

penstabil warna produk, suplemen serat,
pembentuk tekstur, emulsifier, penjernih
minuman, dan membran dialisis (Kumar
2000). Kitosan juga dapat bereaksi dengan
senyawa bersifat asam seperti polifenol
sehingga juga dapat dimanfaatkan untuk
menurunkan kadar asam pada buah-buahan
dan ekstrak kopi.
Gambar 3 Struktur
molekul
kitosan
(Kusumaningsih et al. 2004).
amina bebas dan hidroksil pada kitosan
menyebabkan kitosan dapat dimodifikasi
menjadi berbagai produk, salah satunya
dengan menambahkan crosslinker seperti
glutardialdehid dan tripolifosfat (TPP)
sehingga terbentuk ikatan silang antara rantai
polimer kitosan. Kitosan juga
dapat
membentuk gel karena terbentuknya jaringan
tiga dimensi antara molekul kitosan yang
terentang pada seluruh volume gel dan
menangkap sejumlah air di dalamnya (Tsai et
al. 2011).
Secara industri kitosan diperoleh dengan
mendeasetilasi kitin dengan alkali. Mutu
kitosan tersebut dipengaruhi oleh beberapa
parameter yaitu kadar air, kadar abu,
kelarutan, derajat deasetilasi (DD), viskositas
dan bobot molekul. Berat molekul (BM)
kitosan sekitar 1.2x105 dalton tergantung pada
derajat deasetilasi yang dihasilkan pada waktu
ekstraksi. Syarat-syarat kitosan komersil
disajikan dalam Tabel 2. Semakin banyak
gugus asetil yang hilang dari polimer kitin,
semakin tinggi nilai DD, maka semakin kuat
interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari
kitosan. Kitosan memiliki titik lebur pada
134.5oC (Sofia et al. 2010).
Beberapa pemanfaatan kitin dan kitosan
dalam industri adalah sebagai pengawet dan
Tabel 2 Syarat-syarat kitosan komersil.
Parameter
Nilai
Ukuran partikel
Serpihan sampai
serbuk
Kadar air
≤ 10 %
Kadar abu
≤2%
Warna larutan
Jernih
Derajat deasetilasi
≥ 70 %
(DD)
Viskositas (cps)
-rendah
< 200 cps
-sedang
200-799 cps
-tinggi
800-2000 cps
-ekstra tinggi
>2000 cps
Sumber: Knorr 1982.

Sonikasi
Ultrasonik merupakan gelombang atau
suara dengan frekuensi yang sangat tinggi.
Ultrasonik memiliki frekuensi melebihi batas
pendengaran manusia, yakni di atas 20 kHz.
Sejak tahun 1980-an efek dari ultrasonik
banyak digunakan para ilmuwan di berbagai
sektor untuk ekstraksi dan homogenasi. Hal
ini dikarenakan ultrasonik memiliki dampak
yang signifikan baik secara fisik maupun
kimia terhadap suatu zat. Efek fisika dari
ultrasonik dengan intensitas tinggi antara lain
adalah emulsifikasi dan kerusakan permukaan.
Perambatan gelombang ultrasonik atau
akustik dari setiap rentang frekuensi dikaitkan
dengan
perubahan
keadaan
media
(perturbation) dan transfer energi (Margulis
1995). Gelombang ultrasonik tidak secara
langsung berinteraksi dengan molekulmolekul untuk menginduksi suatu perubahan
kimia. Interaksi gelombang ultrasonik dengan
molekul-molekul terjadi melalui media
perantara berupa cairan.
Sonokimia berarti memberikan perlakuan
ultrasonik pada suatu bahan dengan kondisi
tertentu sehingga bahan tersebut mengalami
reaksi kimia akibat perlakuan tersebut.
Pemberian gelombang ultrasonik pada suatu
larutan menyebabkan molekul-molekul yang
terkandung di dalam larutan berosilasi
terhadap posisi rata-ratanya. Larutan akan
mengalami rapatan dan renggangan.
Ketika energi yang diberikan oleh
gelombang utrasonik ini cukup besar,
renggangan gelombang bisa memecahkan
ikatan antar molekul larutan, dan molekul
larutan yang terpecah ikatannya ini akan
memerangkap gas-gas yang terlarut di dalam
larutan ketika timbul rapatan kembali.
Akibatnya timbul bola-bola berongga atau
gelembung-gelembung berisi gas yang
terperangkap dikenal dengan efek kavitasi.
Gelembung-gelembung tersebut bisa memiliki
diameter yang membesar hingga ukuran
maksimumnya,
kemudian
berkontraksi,
mengecil hingga berkurang volumenya,
bahkan
beberapa
hingga
menghilang
seluruhnya (collapse) (Bang & Suslick 2010).

6

Gelembung dengan radius cukup besar
tidak dapat berada di dalam cairan karena
gelembung tersebut secara bertahap naik ke
permukaan (Margulis 1995). Pada beberapa
kasus, ukuran gelembung bisa membesar dan
mengecil (berosilasi) mengikuti renggangan
dan rapatan gelombang ultrasonik yang
diberikan. Ketika gelombang mengecil
(collapse), terjadi tekanan yang sangat besar
di dalam gelembung. Demikian pula suhu di
dalam gelembung menjadi sangat besar.
Daerah persambungan (interface) antara
gelembung dan larutan memiliki temperatur
dan tekanan yang menengah. Sementara itu
daerah di sekitar gelembung akan menerima
gaya geser (shear force) yang sangat tinggi
akibat pengecilan ukuran gelembung. Reaksi
kimia bisa berlangsung di dalam gelembung
akibat tekanan dan temperatur yang sangat
tinggi di dalam gelembung ini. Senyawa kimia
yang diharapkan bereaksi harus memasuki
gelembung. Pengecilan yang tiba-tiba dari
gelembung mengakibatkan cairan di sekeliling
gelembung mengalami gaya geser yang cukup
besar. Gaya ini juga bisa membantu terjadinya
reaksi kimia. Ledakan kavitasi tersebut sangat
lokal dengan suhu sekitar 5000 K dan tekanan
sekitar 1000 bar (Suslick 1990).
Abu Sekam Padi
Tingginya
produksi
beras
akan
menyebabkan tingginya sampah penggilingan
padi berupa sekam. Sekam padi merupakan
salah satu komponen penyusun dari bulir padi
yang menyusun 18-28% dari seluruh bobot
bulir padi. Sekam padi tersusun dari palea dan
lemma. Lemma adalah bagian sekam yang
paling lebar. Palea dan lemma terikat dengan
suatu struktur pengikat yang menyerupai kait.
Setiap kilogram gabah kering digiling, akan
dihasilkan sebanyak 0.52 kg beras dan akan
dihasilkan juga sekam padi sebanyak 0.48 kg.
Kandungan kimia sekam padi terdiri atas 50%
selulosa, 25-30% lignin, dan 15-20% silika
(Bakri 2009).
Abu sekam padi merupakan sumber
biologis dari silika yang dapat digunakan
dalam proses pemurnian minyak. Kandungan
silika (SiO 2 ) pada abu sekam padi tergantung
pada suhu dan waktu pemanasan yang
digunakan (Proctor & Palaniappan 1989).
Pengabuan dapat menghasilkan abu sekam
padi yang mengandung 61% silika, dan 36%
karbon. Umumnya abu sekam padi digunakan
sebagai abu gosok untuk keperluan rumah
tangga, sehingga nilai ekonomis dari abu
sekam padi masih rendah. Abu sekam padi
dapat digunakan sebagai pengikat logam

berat,
menggemburkan
tanah
(pupuk
kompos), dan sumber silika. Sekam padi saat
ini telah dikembangkan sebagai bahan baku
untuk menghasilkan abu yang dikenal di dunia
sebagai RHA (Rice Husk Ask). RHA
merupakan abu sekam padi yang dihasilkan
dari pembakaran sekam padi pada suhu 400500oC dan akan dihasilkan silika amourphous,
dan pada suhu yang lebih besar dari 1000oC
akan menjadi silika kristalin (Bakri 2009).
Studi yang dilakukan oleh Liew et al.
pada tahun 1993 menggunakan abu sekam
padi untuk menjerap karoten dari CPO,
hasilnya menunjukkan bahwa abu sekam padi
mempunyai aktivitas menjerap lebih tinggi
dibandingkan silika dan karbon, tetapi
aktivitas tersebut sedikit lebih rendah dari
tanah pemucat komersial.
Nanoenkapsulasi
Awalan nano berarti sepermilyar (10-9)
meter. Nano memiliki arti kerdil dalam bahasa
Yunani. Istilah nanoteknologi berhubungan
dengan material dan sistem pada skala
nanometer atau sekitarnya (Cui 2008).
Tantangan utama dalam sintesis nanomaterial
adalah mengontrol karakteristiknya seperti
distribusi ukuran partikel, bentuk, morfologi,
komposisi komposisi kimia dan struktur
kristal.
Karakteristik
nanomaterial
menunjukkan sifat fisik dan kimia yang
berbeda dari material ukuran besar sebagai
konsekuensi memiliki rentang ukuran 1-1000
nm.
Nanopartikel didefinisikan sebagai partikel
dengan ukuran sekitar 10-1000 nm (Mohanraj
& Chen 2006). Istilah nanopartikel meliputi
dua kondisi yaitu nanospheres dan
nanocapsules. Nanospheres adalah sistem
yang memiliki tipe struktur matriks. Pada
sistem nanospheres, suatu bahan tersebar
secara fisik dan merata, serta diserap pada
permukaan penyalut. Nanocapsules adalah
sistem vesicular, suatu bahan pada rongga
yang terdiri dari inti dikelilingi oleh membran
polimer. Suatu bahan aktif dapat berada di
dalam inti (nanocapsule) dan juga terserap di
sekeliling permukaan atau matriks kapsul
(nanospheres) (Mohanraj & Chen 2006).
mendapatkan
atau
Tahapan
untuk
mensintesis nanopartikel dapat digunakan dua
pendekatan yaitu top-down dan bottom-up.
Pendekatan top-down artinya pembuatan
partikel nano dimulai dari material bentuk
bulk kemudian dilakukan penghancuran atau
penggilingan, pemutuskan atau pemisahkan
hingga dihasilkan partikel material dalam
potongan-potongan
halus
berukuran

7

nanometer. Pendekatan bottom-up artinya
partike nano terbentuk dari hasil penyusunan,
penggabungan atau perangkaian atom-atom
atau molekul-molekul bersama hingga
terbentuk struktur berukuran nanometer
(Balaz 2008). Nanopartikel polimer telah
dipelajari secara ekstensif sebagai pembawa
partikulat dalam bidang farmasi dan medis
karena dapat sebagai sistem pengiriman obat
terkontrol dan pelepasan obat yang
berkelanjutan,
ukuran subselular,
dan
biokompatibilitas dengan jaringan dan sel.
Beberapa metode untuk mempersiapkan
nanopartikel telah dikembangkan selama dua
dekade terakhir. Salah
satu contoh
nanopartikel polimer adalah nanopartikel
kitosan. Nanopartikel kitosan didasarkan pada
pembentukan kompleks antara kitosan dan
polianion secara spontan atau gelasi dari
larutan kitosan terdispersi dalam emulsi
minyak (Tsai et al. 2011).
Nanopartikel
lebih
menguntungkan
daripada mikropartikel dan liposom. Ukuran
submikron
nanopartikel
menawarkan
sejumlah keuntungan yang berbeda dibanding
mikropartikel, salah satunya adalah serapan
intraseluler yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan mikropartikel. Dua sifat
istimewa
dari
nanoenkapsul
adalah
melindungi atau mengisolasi zat inti dari
pengaruh lingkungan luar dan melepaskannya
dengan pola terkontrol (Reis et al. 2006).
Ukuran partikel dan distribusi ukuran
adalah karakteristik paling penting dalam
sistem nanopartikel. Partikel dengan ukuran
paling kecil juga memiliki kemungkinan
terjadinya agregasi partikel yang lebih besar
selama penyimpanan dan transportasi. Hal ini
merupakan tantangan dalam menghasilkan
nanopartikel dengan ukuran terkecil dan
kestabilan tinggi (Mohanjar & Chen 2006).
Nanoenkapsul adalah partikel berukuran
nanometer yang tersusun atas dinding tipis
dari polimer yang menyelimuti material inti
berbentuk cairan atau padatan dengan
diameter mulai dari 1 sampai 1000 nm (Reis
et al. 2006). Nanoenkapsul memiliki
keunggulan
lebih
dibandingkan
mikroenkapsul. Ukuran nanometer dari suatu
partikel menyebabkan mampu melewati
penghalang biologi (biological barrier),
memperbaiki tingkat penerimaan jaringan dan
meningkatkan penyerapan dan transportasi
seluler (Mohanraj & Chen 2006).
Penggunaan nanoenkapsul pada produk
pangan dapat membantu penyerapan zat gizi
yang lebih baik. Nanoenkapsul dapat
menghindari rasa, bau, serta tekstur yang

kurang menyenangkan dari bahan pangan.
Beberapa produk pangan menggunakan bahan
pelapis sebagai sistem perlindungan, seperti
bahan pelapis yang digunakan pada buahbuahan, sayuran, daging, roti, atau keju.
Nanoteknologi memungkinkan dibuatnya
lapisan tipis untuk melindungi makanan
dengan ketebalan kurang dari 1000 nm.
Lapisan tipis melindungi dari kelembaban,
menjaga rasa dan warna makanan, serta
memperpanjang masa kadaluarsa produk
pangan.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah limbah serat buah kelapa sawit, kitosan
DD 89%, asam asetat 1%, akuades, aseton,
heksana, gas Nitrogen, standar β-karoten, dan
abu sekam padi. Limbah serat buah kelapa
sawit yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari PTPN VIII Kertajaya, Banten.
Kitosan yang digunakan diperoleh dari
Departemen Teknologi Hasil Perikanan, IPB.
Alat-alat yang digunakan adalah labu
Erlenmeyer, gelas piala, pengering beku
(freeze drying), tabung reaksi, gelas
pengaduk, Particle Size Analyzer (PSA),
thermoshaker, oven, vial, Fourier Transform
Infrared Spetroscopy (FTIR), Shimadzu
XRD-7000 X-Ray Diffractometer, High
Performance
Liquid
Chromatography
(HPLC), aluminium foil, kertas saring
Whatman No. 1, dan neraca analitik OHAUS
GA 200.
Metode Penelitian
Ekstraksi karotenoid (Baharin et al. 1998)
Proses ekstraksi dilakukan dengan metode
ekstraksi pelarut. Serat buah kelapa sawit
ditambahkan pelarut (1:5 b/v) campuran
heksana-aseton (10:1 v/v). Pencampuran
dilakukan dalam labu Erlenmeyer bertutup,
terlindung cahaya dengan menggunakan
aluminium foil. Campuran diekstraksi
menggunakan thermoshaker pada kecepatan
putar 200 rpm, pemanasan suhu 45oC selama
30 menit. Setelah tahap tersebut, Erlenmeyer
dikeluarkan dari thermoshaker dan didiamkan
dalam wadah berisi es selama 15 menit,
kemudian
dilakukan
penyaringan
menggunakan kertas saring Whatman no. 1
pada kondisi intensitas cahaya rendah. Hasil
dari proses ini adalah ekstrak kasar
karotenoid. Analisis kualitatif dan kuantitatif
ekstrak kasar karotenoid diwakili oleh

8

senyawa β-karoten menggunakan instrumen
High Performance Liquid Chromatography
(HPLC).

menggunakan instrumen PSA (Particle size
Analyzer) untuk mengetahui distribusi ukuran
partikel.

Pemurnian dan penghilangan pelarut dari
ekstrak karotenoid
Bahan
penjerap
(adsorben)
yang
digunakan adalah abu sekam padi. Kolom
diisi dengan bahan penjerap yang telah
diaktifkan terlebih dahulu (dipanaskan selama
4 jam pada suhu 120oC) kemudian ekstrak
dituang ke dalam kolom, dibiarkan terjerap
oleh penjerap, kemudian dielusi dengan bahan
pengelusi campuran heksana-aseton (10 : 1
v/v). Cairan yang keluar dari kolom (eluat)
ditampung per perubahan warna sampai eluat
yang keluar tidak berwarna lagi. Karena
tujuan tahap ini adalah untuk memurnikan
ekstrak dari pengotor dan memekatkan,
sehingga tahap ini tidak didasarkan pada
kecepatan alir, hanya perubahan warna yang
keluar dari cerat. Fraksi terbaik yang
menunjukkan konsentrasi karotenoid yang
tinggi (warna pekat) disatukan dalam satu
tabung, lalu diuapkan pelarutnya dengan
evaporator pada suhu 45oC lalu dihembuskan
gas nitrogen. Penghembuskan gas N 2 pada
permukaan fraksi cair dilakukan hingga
diperoleh konsentrat dengan bobot yang
konstan (Masni 2004). Analisis kualitatif dan
kuantitatif karotenoid diwakili oleh β-karoten
menggunakan HPLC.

Analisis gugus fungsi spesifik nanoenkapsul
menggunakan Fourier-Transform Infrared
Spectroscopy (FTIR) (Kim et al. 2006)
Kitosan (kontrol) dan karotenoid hasil
ultrasonikasi yang menunjukkan distribusi
ukuran partikel yang lebih kecil dikeringkan
menggunakan alat kering beku (freeze drying)
dan dihasilkan serpihan. Kemudian serpihan
dilakukan analisis menggunakan FTIR untuk
menentukan gugus fungsi sebelum tersalut
dan setelah tersalut.

Pembuatan nanoenkapsul (Kim et al. 2006)
Sebanyak 2 gram kitosan dilarutkan dalam
100 mL asam asetat 1% sehingga diperoleh
kitosan 2%. Campuran diaduk dengan
magnetik stirer untuk mempercepat pelarutan
kemudian ditambahkan 20 ml tripolifosfat
0.5% (b/v) dalam air. Campuran pada gelas
piala ditambahkan karotenoid 0.5% (b/v),
kemudian ditambahkan tween 80 2% dalam
air sebanyak 50 mL sambil diaduk hingga
homogen. Campuran tersebut diultrasonikasi
pada amplitudo 30% pada variasi waktu 60
dan 90 menit, suhu 25oC. Sebagai kontrol,
dilakukan pembuatan nanoenkapsul dengan
tidak ditambahkan karotenoid (tanpa inti
karotenoid).
Karakteristik
karotenoid

hasil

nanoenkapsulasi

Analisis distribusi ukuran nanoenkapsul
menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)
(Kim et al. 2006)
Larutan karotenoid hasil ultrasonikasi pada
variasi waktu 60 menit dan 90 menit dianalisis

Efisiensi nanoenkapsulasi (Tachaprutinun
et al. 2009)
Sebanyak 0.7 gram serpihan karotenoid
dicuci sebanyak tiga kali menggunakan
heksana-aseton (10:1 v/v). Satu kali pencucian
menggunakan
1
mL
heksana-aseton,
kemudian setelah kering, bobot serpihan
ditimbang kembali. Efisiensi penjerapan (EP)
atau efisiensi nanoenkapsulasi dapat dihitung
melalui rumus:
�� =

����� ������ℎ ���������
∙ 100%
����� ����

Analisis derajat kristalinitas nanoenkapsul
menggunakan difraksi sinar-X (XRD)
Serpihan nanoenkapsul karotenoid yang
diperoleh dianalisis menggunakan metode
difraksi sinar-X (XRD). Teknik XRD
digunakan untuk mengidentifikasi derajat
kristalisasi nanoenkapsul karotenoid. Hasil
yang diperoleh dibandingkan dengan literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Karotenoid
Metode ekstraksi yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode ekstraksi pelarut.
Metode ekstraksi pelarut merupakan metode
ekstraksi yang cukup sederhana untuk
mengekstrak karotenoid. Proses pemisahan
pada metode ekstraksi pelarut tergantung pada
penggunaan jenis pelarut yang dapat
memisahkan fraksi yang diinginkan. Prinsip
ekstraksi tersebut adalah mengeluarkan suatu
zat tertentu dari suatu bahan atau campuran
zat berdasarkan kelarutan dan melarutnya zat
tersebut disebabkan karena zat tersebut
menyusup di antara molekul-molekul pelarut
(Masni 2004).

9

Pelarut yang digunakan dalam penelitian
ini adalah campuran heksana-aseton dengan
perbandingan 10:1 v/v. Penggunaan bahan
pengekstrak heksana-aseton (10:1 v/v)
tersebut didasarkan atas sifat kelarutan dan
keterikatan karotenoid dalam jaringan
tanaman. Heksana merupakan pelarut nonpolar, sedangkan aseton merupakan pelarut
semi polar. Penambahan aseton 1% pada
pelarut heksana pada bahan pengekstrak akan
menghasilkan ekstrak dengan konsentrasi
karotenoid yang tinggi (Jaren-Galan et al.
1991).
Karotenoid termasuk senyawa yang
bersifat non-polar, karena itu penggunaan
pelarut hanya aseton tidak dapat digunakan.
Keberadaan karotenoid dalam jaringan
tanaman bisa terikat pada senyawa polar
maupun non-polar, maka penggunaan bahan
pengekstrak campuran heksana dan aseton
dapat berperan melarutkan karotenoid yang
bebas maupun terikat.
Metode ekstraksi pelarut telah banyak
digunakan oleh beberapa penelitian untuk
mengekstrak karotenoid, antara lain penelitian
oleh Kurilich et al. pada tahun 1999 yang
mengekstrak karotenoid dari Brassica
oleraceae, dan penelitian oleh Masni pada
tahun 2004 yang mengekstrak karotenoid dari
limbah pabrik kelapa sawit.
Pencampuran ekstrak dengan pelarut
dilakukan dalam labu Erlenmeyer tertutup,
terlindung cahaya dengan menggunakan
aluminium foil dan proses penyaringan
ekstrak dilakukan pada kondisi intensitas
cahaya rendah. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah kerusakan karotenoid akibat
intensitas cahaya yang tinggi. Suhu ekstraksi
yang digunakan adalah 45oC. Suhu digunakan
untuk
meningkatkan
hasil
ekstraksi
karotenoid. Penggunaan suhu diatas 60oC
dapat mengakibatkan isomerisasi, epoksidasi
dan degradasi karotenoid tergantung pada
tingkat suhu dan waktu pemanasan (Hoang et
al. 2011). Penggunaan suhu 45oC tersebut
tidak akan merusak karotenoid. Hasil
ekstraksi didiamkan dalam wadah berisi es
selama 15 menit sebelum dilakukan
penyaringan dengan kertas saring memiliki
tujuan agar pengotor asam lemak jenuh
memadat dan tersaring di atas kertas saring.
Hasil ekstraksi dari limbah serat buah
kelapa sawit berupa larutan berwarna kuning
kemerahan karena adanya pigmen karotenoid
yang larut di dalam pelarut heksana-aseton
(Gambar 4). Adanya kandungan karotenoid
pada limbah serat buah kelapa sawit
dikarenakan oleh asosiasi karotenoid dalam

Gambar 4

Hasil ekstraksi karotenoid dari
limbah serat buah kelapa sawit
dengan pelarut heksana-aseton
(10:1 v/v).

membran yang tidak dapat diekstraksi oleh
proses mekanik screw-press (Sanagi 2005).
Ekstrak kasar limbah serat buah kelapa
sawit yang sudah didapatkan, dilakukan
analisis
kualitatif
dan
kuantitatif
menggunakan instrumen HPLC. Hasil analisis
menunjukkan bahwa ekstrak kasar dari limbah
serat buah kelapa sawit mengandung βkaroten sebanyak 1080.29 ppm. Wulandari
(2007) melaporkan bahwa CPO memiliki
kandungan karoten (provitamin A) dengan
kisaran 500-700 ppm. Tingginya kandungan
karoten pada limbah serat buah kelapa sawit
dikarenakan asosiasi karoten dalam sel
membran yang tidak dapat diekstrak oleh
proses tekanan mekanik screw pada
pengolahan produksi CPO, namun dapat
diekstraksi dengan metode ekstraksi pelarut.
Penelitian ini menghasilkan konsentrasi βkaroten yang cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa limbah serat buah kelapa
sawit dapat menjadi sumber karotenoid yang
murah.
Penelitian yang dilakukan oleh May
(1994) melaporkan bahwa karotenoid yang
diekstrak dari limbah serat buah kelapa sawit
memiliki komposisi utama β- dan α- karoten
sekitar 50% dari total karotenoid. Selain itu
juga mengandung pitoena, likopen, γ-karoten
dan δ-