Warna Viskositas Titik leleh Melting Point dengan alat DSC Sathivel et al. 2008

h. Penentuan Profil Gliserida Jennings dan Akoh, 2001

Penentuan profil gliserida dilakukan melalui tahap 1 Hidrolisis secara enzimatis 2 Analisa profil gliserida menggunakan reversed phase HPLC 1 Hidrolisis secara enzimatis Pertama-tama dibuat campuran yang terdiri dari minyak ikan 1 ml, 1 ml bufer tris hidroksimetil aminomethane 1.0 M, pH 8, 0.2 ml larutan kalsium klorida 2.2 dan enzim lipase dari kapang Thermomyces lanuginosa spesifik 1,3 sebanyak 10 dari berat minyak. Campuran tersebut kemudian diinkubasikan didalam waterbath shaker pada suhu 55 ºC selama 12,18 dan 48 jam. Pada akhir waktu hidrolisis, ditambahkan etanol sebanyak 1 ml dan larutan asam hidroklorida sebanyak 1 ml. Ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan dietil eter sebanyak 1 ml. Campuran kemudian divortex dan disentrifuge pada suhu 5 ºC dengan kecepatan 2185 g selama 15 menit. 2 Profil gliserida menggunakan sistem NARP-HPLC non aqueous reversed- phase HPLC Larutan dari tahap persiapan sampel diinjeksikan 20 μL ke dalam HPLC dengan menggunakan syringe. HPLC yang digunakan memiliki tipe pompa isokratik dengan laju aliran fase bergerak yang terdiri dari aseton: asetonitril 85:15 vv. Kolom yang digunakan adalah dua kolom C-18. Waktu retensi dari pelarut dan puncak trigliserida, juga persentase dari tiap trigliserida. Spesifikasi alat HPLC yang digunakan adalah: Pump Hewlett Packard Series 1100, Detector RID Agilent Technologies 1100 Series, Injector Rheodyne 2 0 μL, Column C-18 phase; ZORBAX Eclipse XDB 4,6 x 250 mm, Mobile phase aseton : asetonitril = 85 : 15, dan kecepatan elusi 0.8 mlmin isokratik.

i. Warna

Pengukuran warna minyak dilakukan menggunakan alat Chromameter Minolta CR 300. Sampel minyak diteteskan pada tempat sampel pada alat kemudian ditutup dan alat dijalankan. Notasi – notasi yang muncul dari hasil pengukuran yaitu L, a dan b. Notasi L menyatakan nilai kecerahan dengan kisaran angka dari 0 – 100 paling cerah. Notasi a menyatakan warna kehijauan positif dan kemerahan negatif. Notasi b menyatakan warna kuning positif dan biru negatif.

j. Viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan dengan alat viscometer Brookfield. Sampel minyak yang telah disimpan beku dithawing terlebih dahulu dengan cara botol minyak direndam air di sekelilingnya dan dipanaskan diatas penangas air pada suhu 30 ºC hingga minyak mencair sempurna. Minyak kemudian diukur viskositasnya menggunakan spindel 1 dengan kecepatan 30 rpm.

k. Titik leleh Melting Point dengan alat DSC Sathivel et al. 2008

Minyak ditimbang sebanyak 0.5 – 1 mg dan diletakkan dalam pan sampel aluminium crucible pada alat DSC. Pan aluminium kosong diletakkan sebagai referensi. Penentuan titik leleh minyak dilakukan dengan cara mengatur suhu pemanasan -75 ºC hingga 125 ºC dengan kenaikan suhu sebesar 5 ºCmenit. ANALISIS DATA Rancangan percobaan yang digunakan pada proses ekstraksi minyak ikan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan perlakuan dua macam jenis ikan patin yaitu patin siam dan patin jambal serta bagian - bagian limbah ikan patin. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Analisis data untuk karakteristik minyak ikan dilakukan menggunakan analisis sidik ragam. Jika hasil analisis berbeda nyata, dilanjutkan uji lanjut menggunakan Wilayah Ganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Bahan Baku Ikan Patin Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin yang dikenal dengan sebutan catfish. Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru – biruan. Kepala ikan relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish Djarijah, 2001. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba Susanto dan Amri, 1998. Kedua jenis ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11. A B Gambar 11 Bahan Baku Ikan Patin A Siam Pangasius hypopthalmus dan B Jambal Pangasius djambal Perbedaan antara ikan patin Siam dan Jambal terletak pada warna punggungnya dimana ikan patin jenis Jambal memiliki warna abu – abu keperakan sedangkan ikan patin Siam cenderung kebiruan. Bagian kepala ikan patin jambal berbentuk padat, membulat sedangkan ikan patin siam cenderung pipih memanjang. Ekor ikan patin Siam pendek dan membulat sedangkan ikan patin jambal lebih runcing dan memanjang. Ikan patin termasuk golongan omnivora yang masuk dalam keluarga Genus Pangasius. Ikan Patin Siam merupakan ikan introduksi dari Thailand yang sudah berhasil di budidayakan sebagai ikan konsumsi di Indonesia. Kolam – kolam budidaya ikan patin Siam tersebar di sepanjang daerah Parung dan Jawa Barat juga di daerah Sumatera dan Kalimantan. Daging filet ikan patin Siam berwarna kuning kemerahan sehingga menimbulkan permasalahan pada saat masuk industri pengolahan filet skala ekspor karena para importir umumnya mendapatkan daging filet patin yang berwarna putih dari Vietnam. Permasalahan ini sebenarnya teratasi dengan mulai dikembangkannya ikan patin Jambal Pangasius djambal. Ikan patin Jambal merupakan ikan patin lokal Indonesia yang telah mulai dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir ini, berkaitan dengan dagingnya yang berwarna lebih putih dan rasa yang lebih gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi. Kelemahan dari ikan patin Jambal ini adalah sifatnya yang rentan terhadap kondisi budidaya sehingga bersifat tidak stabil dan mempengaruhi hasil produksi budidaya. Pada penelitian ini, ikan patin Siam didapatkan dari kolam budidaya di daerah Parung, Bogor. Ikan patin Siam diberikan pakan buatan jenis pelet dengan kandungan lemak berkisar 3-5. Tahap pemanenan dilakukan menggunakan jala yang diletakkan di sekeliling kolam untuk menjaga ikan patin tidak melompat keluar kolam. Ikan patin ditangkap dalam keadaan hidup dan dimasukkan kedalam blong – blong plastik yang berisi air dan telah didesain terbuka di bagian atas sehingga masih terdapat udara terbuka. Blong ikan kemudian diangkut menggunakan mobil pick up terbuka dengan bagian atas ditutup jaring secara keseluruhan sehingga menghindari terjadinya loncatan ikan patin selama transportasi. Waktu yang dibutuhkan dari kolam hingga sampai laboratorium sekitar 2 jam perjalanan. Setelah sampai di tempat, ikan patin dimasukkan kedalam bak – bak penampungan yang telah disiapkan kemudian dibiarkan semalam dalam keadaan diberok dipuasakan. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kondisi ikan agar stabil setelah melalui transportasi dalam keadaan hidup. Proses pemfiletan dilakukan pada keesokan harinya. Ikan patin Jambal didapatkan dari kolam budidaya Balai Budidaya Air Tawar dan Payau, Kelautan dan Perikanan di Sukamandi, Jawa Barat. Pada umumnya ikan patin Jambal hanya dapat dibudidayakan di sekitar luar pulau Jawa seperti Palembang, Jambi, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat yang merupakan habitat aslinya. Ikan patin Jambal yang dibudidayakan di Sukamandi ini merupakan hasil dari pembenihan induk ikan patin Jambal yang didapatkan dari habitat aslinya di daerah Sumatera. Kondisi budidaya terkontrol dengan baik disesuaikan dengan kondisi budidaya yang dibutuhkan ikan patin Jambal. Jenis pakan buatan yang diberikan untuk ikan patin Jambal adalah bentuk pelet dengan pemberian dilakukan sebanyak dua kali sehari pagi dan sore hari. Pakan buatan yang diberikan mengandung kadar lemak sebesar 6-8, sedikit lebih tinggi dibandingkan kadar lemak pakan ikan patin Siam. Pemanenan ikan patin Jambal dari kolam budidaya menggunakan jala yang dibentangkan di pinggir kolam kemudian ikan patin dimasukkan kedalamnya untuk selanjutnya dikumpulkan. Ikan patin Jambal dimasukkan kedalam air es untuk shock terapi suhu dingin sehingga ikan mati dan dimasukkan ke dalam coolbox yang diisi es dengan perbandingan ikan : es adalah 1 : 3. Ikan patin Jambal diangkut ke Jakarta menggunakan kendaraan tertutup dengan waktu tempuh selama 3-4 jam perjalanan. Setelah sampai di laboratorium, langsung dilakukan proses pemfiletan ikan patin Jambal. Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin ukuran konsumsi yang berukuran 450 – 550 g per ekornya baik jenis Siam maupun Jambal. Proses Pemfiletan Ikan Patin Ikan patin sebagai bahan baku penelitian ini difilet untuk mendapatkan hasil berupa daging filet dan sisanya yang tidak dapat dimakan berupa limbah. Proses pengolahan filet ikan patin dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi penimbangan, pencucian, pemfiletan, penyiangan, perapianpengeratan filet trimming, pelepasan kulit, pencucian, penimbangan. Proses pemfiletan ikan patin dapat dilihat pada Gambar 12. A B Gambar 12 Proses Pemfiletan Ikan Patin A Penyayatan awal daging ikan dan B Pemotongan filet. Ikan patin yang telah dimatikan dengan menggunakan es diproses filet menggunakan pisau filet dan kondisi pemfiletan dipertahankan dalam kondisi suhu dingin untuk menghindari terjadinya kemunduran mutu ikan. Ikan patin disayat dari bagian ekor kemudian menyusuri sepanjang tulang badan hingga pangkal leher. Daging filet yang dihasilkan masih menyambung dengan daging bagian belly flap sehingga harus dirapikan untuk mendapatkan daging filet yang berbentuk seragam dan memenuhi kualitas bentuk filet skala industri. Hasil perapian daging filet setelah bagian daging belly flap dipotong disebut dengan daging sisa trimming. Daging filet yang didapatkan kemudian dicuci, ditiriskan dan dikelompokkan untuk kemudian dikemas dalam plastik vakum hingga digunakan. Bagian – bagian tubuh ikan patin lainnya yang didapatkan pada saat proses pengolahan filet selain daging filet, dikategorikan limbah dan dikelompokkan masing – masing sehingga mudah dalam penanganannya. Hasil proses pengolahan fillet ikan patin berupa daging fillet ikan patin dengan yield sebesar 32.69 dan 31.10 berturut – turut untuk patin Siam dan Jambal. Yield didapatkan dari berat filet yang didapatkan dibagi dengan berat ikan awal. Besarnya rendemen ini bervariasi tergantung pada jenis ikan dan bentuk filet yang diinginkan pada saat diproses. Hasil penelitian Sathivel 2002 mendapatkan yield fillet catfish sebesar 45. Daging filet sebagai yield yang didapatkan pada proses pengolahan filet ikan patin pada umumnya diproses beku sebagai produk fillet skinless yang kemudian diekspor atau dijual lokal, akan tetapi terkadang juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk olahan ikan patin seperti bakso, nugget, otak – otak dan sosis. Daging filet skinless merupakan bagian terbesar dari ikan patin. Pada umumnya daging filet ini digunakan sebagai bahan baku produk – produk olahan ataupun dikonsumsi dalam keadaan fresh ataupun frozen. Pada industri pengolahan patin, daging filet skinless ini merupakan produk ekspor yang pada umumnya dikemas dalam kemasan individual vacuum packed IVP kemudian disimpan beku. Industri pengolahan filet patin semakin meningkat di Indonesia dengan terbentuknya 75 unit usaha yang terdiri dari 13 usaha skala besar dan sisanya adalah pengolahan ikan asap, abon, keripik kulit patin dan olahan lainnya. Beberapa unit pengolahan patin fillet di Indonesia di antaranya adalah di Jambi, Karawang, Purwakarta, Tulung Agung, Banjar dan Riau Kap 2012. Semakin meningkatnya industri pengolahan ikan patin ini harus dibarengi pula dengan teknologi pemanfaatan limbah yang dihasilkan sehingga akan mendapatkan produk yang memiliki nilai tambah tinggi. Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Pada proses pengolahan filet ikan patin, selain daging filet sebagai hasil utama, didapatkan bagian tubuh lainnya sebagai sisa ataupun limbah sebanyak enam 6 bagian. Keenam bagian limbah tersebut meliputi kepala, tulang-ekor bagian tulang badan yang bersambungan dengan ekor, kulit, daging belly flap daging pada bagian perut, daging sisa trimming daging sisa pengeratan filet dan isi perut. Pada Tabel 6 dapat dilihat bagian - bagian tubuh patin pada saat proses pengolahan filet dengan persentase yield yang didapatkan masing – masing bagian berdasarkan perhitungan per berat ikan awal. Tabel 6 Bagian – bagian tubuh ikan patin No Bagian tubuh Ikan Patin Yield Patin Siam Patin Jambal 1. Daging Filet skinless 32.69±0.30 31.10±0.41 2. Kepala 23.05±0.17 26.16±0.10 3. Tulang-ekor 15.06±0.15 14.38±0.22 4. Daging belly flap 6.98±0.05 7.67±0.36 5. Daging sisa trimming 5.28±0.61 5.83±0.90 6. Kulit 6.14±0.12 5.12±0.27 7. Isi perut 10.8±0.16 9.74±0.11 Limbah yang dihasilkan secara keseluruhan dari proses pengolahan filet ikan patin ini sebesar 67.31 dan 68.9 berturut – turut untuk ikan patin Siam dan Jambal, jumlah yang relatif cukup besar dalam kategori limbah, walaupun beberapa bagian masih bisa dimanfaatkan dagingnya seperti daging sisa trimming dan daging belly flap untuk keperluan pembuatan produk olahan lokal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sathivel et al. 2002 yang mendapatkan hasil bahwa bagian selebihnya dari proses pengolahan fillet yaitu termasuk isi perut, lemak abdomen, tulang, kulit dan hasil perapian trimming sebesar 55 belum dimanfaatkan secara optimal. Bagian terbesar yang kedua setelah daging filet adalah bagian kepala yaitu sebesar 23.05 dan 26.16 berturut – turut untuk jenis Siam dan Jambal. Tampak pada Gambar 11. bagian kepala ikan patin Siam berbentuk lebih kecil dan memanjang dibandingkan dengan ikan patin Jambal. Pada umumnya bagian kepala ini merupakan limbah yang terbuang bersama dengan bagian tubuh lainnya seperti daging belly flap daging bagian perut, tulang-ekor, kulit dan isi perut. Hasil pengeratan daging filet pada umumnya didapatkan pada saat membentuk daging filet yang seragam bentuknya sehingga didapatkan sisa daging yang disebut dengan daging sisa trimming. Daging sisa trimming ini merupakan limbah akan tetapi terkadang masih digunakan sebagai bahan baku produk – produk olahan ikan untuk konsumsi lokal. Menurut Zaitzev et al. 1969, bagian tubuh yang tidak dapat dimakan umumnya dinamakan limbah hasil pengolahan perikanan dimana pemanfaatannya masih sebatas sebagai pakan ikan ataupun hewan ternak lainnya. Proses pengolahan ikan umumnya menghasilkan limbah hingga diatas 50 dari keseluruhan berat ikan yang diolah Zuta et al. 2003. Besarnya prosentase limbah yang dihasilkan tidak ditunjang dengan pemanfaatan yang maksimal sehingga limbah proses pengolahan filet ikan patin tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Pada beberapa perusahaan pengolahan filet, limbah dijual pada pengumpul dengan harga seribu rupiah per kilo, harga yang sangat rendah mengingat potensi limbah yang besar untuk dimanfaatkan dalam bidang pangan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fiori et al. 2012 terhadap limbah hasil pengolahan filet ikan Rainbow Trout yang meliputi kepala, sirip-tulang dan isi perut dimana kesemua bagian limbah tersebut dapat dijadikan sebagai sumber potensial asam lemak omega 3 yaitu berkisar 6.0 hingga 8.7 serta merupakan sumber alternatif asam lemak tak jenuh yang berkisar antara 72.6 hingga 75.3. Limbah hasil proses pengolahan filet ikan patin kemudian ditimbang dan dilakukan pencucian hingga bersih dari kotoran yang menempel. Setelah dicuci kemudian limbah ditiriskan dan dikemas vakum sehingga siap digunakan sebagai bahan baku dalam ekstraksi minyak ikan patin setelah dilakukan analisa kadar lemaknya. Kadar Lemak Limbah Ikan Patin Kadar lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal tampak pada Tabel 7. Analisa kadar lemak ini dilakukan menggunakan metode soxhlet sebanyak 3 kali ulangan. Masing – masing bagian tubuh ikan patin baik daging filet maupun limbahnya memiliki kandungan lemak yang bervariasi, dimana bagian yang berdekatan dengan bagian perut umumnya memiliki kadar lemak yang lebih besar terkait dengan jaringan penimbunan lemak di bagian adiposa ikan patin. Bagian isi perut yang berkisar 10 dari total ikan patin memiliki kadar lemak yang tinggi bahkan mencapai 35.32 untuk ikan patin Jambal. Hal ini dikarenakan ikan patin memiliki bagian lemak abdomen yang tersimpan di bagian isi perut sehingga menyumbang kadar lemak yang cukup tinggi untuk bagian tersebut. Kadar lemak bagian isi perut ikan patin Siam dan Jambal berbeda sangat nyata hal ini dikarenakan perbedaan dalam konsumsi pakan yang diberikan. Pada ikan patin Siam, pakan yang diberikan mengandung lemak sebesar 3-5 berdasarkan komposisi pakannya, sedangkan pakan ikan patin Jambal mengandung kadar lemak sebesar 6-8 yang ditunjang dari ingredien tepung ikan yang menyusunnya. Menurut penelitian Hwang et al. 2004, bagian isi perut catfish termasuk didalamnya seperti saluran pencernaan, hati, empedu dan lemak simpanan lemak abdomen merupakan sumber lemak yang potensial dengan kandungan omega 3 yang tinggi. Tabel 7 Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin Siam dan Jambal Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0.05. Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin berkisar antara 2.72 hingga 35.32. Bagian yang terendah kadar lemaknya adalah daging fillet skinless yaitu 2.72 untuk ikan patin Siam dan 2.89 untuk Jambal. Hal ini terkait dengan proses pengeratan pada daging fillet saat proses pemfiletan sehingga bagian berlemak yang menempel pada daging filet sudah dibuang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ho dan Paul 2009 yang mendapatkan kadar lemak daging fillet untuk ikan patin „Tra‟ Pangasius hypopthalmus sebesar 2.55. Hasil penelitian Ozogul et al. 2007 terhadap beberapa jenis daging ikan air tawar mendapatkan kadar lemak berkisar 0.39 untuk ikan Zander hingga 3.21 untuk ikan lele Afrika. Bagian daging belly flap memiliki kandungan lemak yang tertinggi yaitu sebesar 36.21 untuk ikan patin Siam dan 36.50 untuk Jambal. Bagian daging belly flap ini merupakan bagian bawah dekat perut sehingga tampak membesar karena timbunan lemaknya cukup besar. Penelitian Sathivel et al. 2002 mendapatkan hasil analisa kadar lemak pada bagian isi perut ikan lele sebesar 33.6, daging filet 9 dan daging belly flap 14.7. Perbedaan kandungan lemak ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah perbedaan spesies, jenis kelamin, habitat, geografi dan makanannya Rasoarahona et al. 2005. Profil Asam Lemak Minyak Limbah Ikan Patin Analisa profil asam lemak minyak ikan patin diawali dengan proses ekstraksi minyak ikan patin jenis Siam dan Jambal. Proses ekstraksi minyak ikan yang dilakukan menggunakan metode wet rendering mengacu pada metode Sathivel et al. 2008 yang dimodifikasi. Bahan baku yang berupa daging filet Bagian tubuh Kadar Lemak Patin Siam Patin Jambal Daging Filet skinless 2.72±0.09 a 2.89±0.19 a Kepala 11.20±0.66 a 10.85±0.12 b Tulang-ekor 13.10±0.6 a 11.90±0.63 b Daging belly flap 36.21±0.59 b 36.50±0.31 b Daging sisa trimming 6.63±0.50 a 10.75±0.98 b Kulit 7.90±1.03 a 6.61±0.84 b Isi perut 26.51±0.55 a 35.32±0.65 b ikan patin dan limbahnya dilumatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan ekstraksi. Proses ekstraksi minyak ikan patin dilakukan pada suhu 70ºC selama 15 menit kemudian disaring dan dilakukan proses pemisahan menggunakan corong pisah Gambar 13. Minyak ikan kasar yang dihasilkan dari proses ekstraksi bagian – bagian tubuh ikan patin kemudian disimpan didalam botol berwarna gelap dan disimpan pada suhu -18ºC hingga dianalisa. A B Gambar 13 Ekstraksi minyak ikan patin pada suhu 70 ºC A dan pemisahan menggunakan corong pemisah B. Minyak ikan kasar kemudian dianalisa profil asam lemaknya menggunakan kromatografi gas dengan standar asam lemak yang digunakan adalah mix FAME standart dari Sigma Co. Analisa profil asam lemak dilakukan dengan melalui tahapan metilasi dan identifikasi asam lemak. Metilasi dilakukan untuk menjadikan asam lemak dalam bentuk metil esternya sehingga bersifat lebih mudah menguap. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada pada contoh dapat diidentifikasi dengan membandingkan puncak kromatogram contoh dengan puncak kromatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis dan konsentrasinya.Hasil analisa profil asam lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin jenis Siam dan Jambal dengan jumlah masing – masing jumlah asam lemak jenuh Saturated fatty acid, SFA, asam lemak tak jenuh tunggal Monounsaturated fatty acid, MUFA dan asam lemak tak jenuh jamak Polyunsaturated fatty acid, PUFA ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Profil asam lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin Siam dan Jambal satuan relatif Jenis patin Asam Lemak Isi perut Kepala belly flap fillet sisa trimming Tulang- ekor Kulit Siam C14:0 miristat 5.42 4.83 5.04 4.91 4.56 4.80 5.18 Jambal 1.64 1.56 1.58 2.05 1.51 1.54 1.45 Siam C16:0 palmitat 33.50 34.44 35.15 35.36 34.88 35.52 35.12 Jambal 31.01 30.04 29.57 32.34 29.98 29.86 29.84 Siam C18:0 stearat 10.03 9.60 9.22 9.33 9.21 9.18 9.65 Jambal 8.98 8.40 8.50 9.22 8.92 8.70 9.16 Siam C20:0 arakhidat 0.17 0.20 0.19 0.20 0.19 0.21 0.20 Jambal 0.18 0.18 0.17 0.19 0.18 0.17 0.18 Siam ∑ SFA 49.12 49.07 49.60 49.81 48.84 49.72 50.16 Jambal 41.80 40.19 39.81 43.80 40.59 40.27 40.63 Siam C16:1 palmitoleat 3.16 3.13 2.88 2.77 2.48 2.65 2.79 Jambal 1.90 1.92 1.91 1.97 1.86 1.88 1.82 Siam C18:1 oleat 35.85 34.27 34.09 33.97 34.75 33.95 34.31 Jambal 33.59 32.96 34.23 33.27 34.24 33.53 34.72 Siam C20:1 eikosanoat 0.82 0.85 0.86 0.88 0.86 0.86 0.86 Jambal 0.57 0.60 0.61 0.61 0.59 0.59 0.61 Siam C24:1 nervonat 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 Jambal 0.04 0.04 0.04 0.05 0.04 0.03 0.04 Siam ∑ MUFA 39.85 38.28 37.86 37.65 38.12 37.49 38.00 Jambal 36.11 35.52 36.78 35.90 36.74 36.03 37.19 Siam C18:2 linoleat 7.75 8.39 8.75 8.76 9.30 9.37 8.54 Jambal 16.04 17.22 16.93 14.81 16.23 16.56 15.91 Siam C18:3 linolenat 0.65 0.84 0.77 0.76 0.80 0.33 0.28 Jambal 1.17 1.26 1.27 1.10 1.20 1.22 1.24 Siam C20:2 eikosadienoat 0.42 0.51 0.49 0.52 0.48 0.47 0.48 Jambal 0.66 0.71 0.70 0.69 0.68 0.70 0.68 Siam C20:3 homo-g- linolenat 0.50 0.61 0.53 0.54 0.51 0.57 0.53 Jambal 0.70 0.79 0.72 0.63 0.73 0.75 0.67 Siam C20:4 arakidonat 0.53 0.83 0.56 0.55 0.55 0.58 0.60 Jambal 0.60 0.72 0.59 0.57 0.61 0.72 0.56 Siam C20:5 eikosapentaenoat 0.34 0.43 0.43 0.40 0.41 0.43 0.40 Jambal 0.67 0.78 0.72 0.63 0.70 0.77 0.68 Siam C22:6 dokosaheksaenoat 0.83 1.04 1.02 1.02 0.99 1.03 1.01 Jambal 2.24 2.82 2.47 1.86 2.53 2.97 2.43 Siam ∑ PUFA 11.02 12.65 12.54 12.55 13.04 12.79 11.85 Jambal 22.09 24.29 23.41 20.29 22.67 23.70 22.18 Siam Omega 3 1.82 2.31 2.21 2.18 2.20 1.79 1.69 Jambal 4.09 4.86 4.46 3.60 4.43 4.96 3.80 Profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam menunjukkan hasil bahwa terdapat tren yang sama untuk semua bagian – bagian tubuh, hanya berbeda secara kuantifikasinya. Asam lemak yang mendominasi untuk semua perlakuan yaitu asam lemak palmitat dan oleat yang besarnya berkisar antara 33.95 hingga 35.85. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sathivel et al. 2003 pada minyak isi perut ikan lele dimana asam lemak dominan yang diperoleh yaitu jenis palmitat dan oleat. Pada minyak ikan patin Siam kandungan asam lemak palmitat dan oleat lebih tinggi dibandingkan dengan Jambal. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Wibawa et al. 2006 yang mendapatkan asam lemak penyusun ekstrak minyak ikan Kembung didominasi oleh asam stearat 22.19, oleat 21.99, palmitat 20.16, palmitoleat 19.96 dan miristat 17.86. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Thammapat et al. 2010 yang mendapatkan hasil bahwa asam lemak oleat mendominasi pada semua bagian tubuh Asian catfish yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan dan ekor. Sedangkan kandungan asam lemak omega 3 nya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan ikan air laut yaitu hanya berkisar antara 1.63 hingga 1.95 pada semua bagian tubuh ikan. Asam lemak omega 3 yang meliputi linolenat, EPA dan DHA terdeteksi untuk semua perlakuan dengan jumlah berkisar antara 1.69 hingga 4.96 dari total keseluruhan asam lemak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minyak ikan patin Jambal memiliki kandungan asam lemak omega 3 yang lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam pada semua bagian tubuh. Hal ini berkaitan dengan jenis pakan yang dikonsumsi berbeda secara jenis dan kualitasnya. Kandungan asam lemak omega 3 pada ikan bervariasi berdasarkan jenis, musim, habitat, pakan dan beberapa faktor lainnya. Penelitian Ozogul et al. 2007 memberikan hasil bahwa komposisi asam lemak ikan dipengaruhi oleh kandungan PUFA asam lemak tak jenuh rantai panjang dari pakan yang diberikan. Asam lemak tak jenuh rantai panjang yang dikenal dengan omega 3 pada minyak ikan terutama EPA dan DHA, memiliki fungsi bagi kesehatan tubuh, EPA merupakan prekusor prostaglandin, thromboxanes dan leukotrienes sedang DHA merupakan komponen pada membran phospholipid sel otak dan retina sehingga sangat essensial bagi tubuh Zhong et al. 2007. Minyak ikan mengandung PUFA seperti EPA C20:5 n-3, DHA C22:6 n-3 dan asam arakidonat C20:4 n-6 yang tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan tetapi kebutuhannya sangat essensial bagi tubuh Alasalvar et al. 2002; Kolanowski Laufenberg, 2006. Minyak ikan kasar yang dihasilkan dari proses ekstraksi minyak ikan dihitung rendemennya dengan menghitung perbandingan antara minyak ikan yang didapatkan dengan berat bahan baku yang digunakan pada masing – masing perlakuan. Rendemen minyak ikan patin kasar yang didapatkan baik untuk jenis ikan patin Siam maupun Jambal dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan rendemen minyak ikan kasar yang dihasilkan menunjukkan bahwa terdapat tiga bagian tubuh ikan patin yang potensial sebagai bahan baku minyak ikan yaitu bagian kepala, daging belly flap dan isi perut, masing – masing sebesar 9.84; 28.52 dan 20.34 untuk jenis ikan patin siam dan 9.54; 25.60 dan 30.05 untuk jenis ikan patin jambal. Bagian tubuh ikan patin lainnya memiliki rendemen yang kecil dalam menghasilkan minyak ikan kasar terutama bagian daging filet yaitu sebesar 1.98 untuk Siam dan 1.02 untuk Jambal. Gambar 14 Rendemen minyak ikan kasar ikan patin Siam dan Jambal Berdasarkan data rendemen yang didapatkan dan dikaitkan dengan yield bagian tubuh ikan patin Tabel 6 serta kandungan lemaknya Tabel 7 maka bagian yang potensial untuk dilanjutkan pada tahapan pemurnian minyak ikan patin adalah bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Pemurnian Minyak Ikan Patin Minyak ikan patin kasar yang diperoleh memiliki warna kuning keruh dan berbau sedikit amis terutama yang diekstrak dari bagian isi perut Gambar 15 A. Hal ini disebabkan karena minyak ikan patin kasar masih mengandung beberapa komponen pengotor yang tidak dikehendaki seperti asam lemak bebas, produk hasik oksidasi, fosfatida, logam dan sebagainya yang dapat mempengaruhi warna dan aroma minyak. Untuk menjadikan minyak ikan yang dihasilkan layak konsumsi maka komponen yang tidak dikehendaki tersebut harus dihilangkan dengan cara dilakukan tahap pemurnian. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti penghilangan gum degumming, penghilangan asam lemak bebas refining, pemucatan bleaching, penghilangan aroma deodorisasi ataupun kombinasi diantaranya. Pada penelitian ini, proses pemurnian yang dilakukan adalah proses pemucatan yang dikombinasikan dengan pemanasan dan pengadukan Gambar 15 . A B C Gambar 15 Pemurnian minyak ikan patin A Alat pemurnian B Alat penyaring vakum C Minyak ikan patin murni Minyak ikan patin kasar dimurnikan dalam satu rangkaian proses menggunakan alat pemurnian yang disambungkan dengan alat penyaring vakum. Tabel 9 menunjukkan bahwa rendemen minyak ikan murni pada masing – masing bagian tubuh berbeda nyata P0.05. Minyak ikan patin murni yang dihasilkan berkurang sekitar 8.14 - 17.45 dari berat minyak awal. Hal ini disebabkan karena adanya tahapan proses pemanasan, pengadukan hingga penyaringan vakum yang memungkinkan terjadinya kehilangan berat minyak. Selain itu, karena proses pemurnian ini menghilangkan komponen – komponen pengotor yang sebelumnya terdapat pada minyak ikan patin kasar, maka terjadi penurunan berat minyak dibandingkan minyak awal. Tabel 9 Rendemen Minyak Ikan Patin Murni Jenis Ikan Patin Rendemen Minyak Ikan Patin Murni Kepala Daging belly flap Isi perut Patin Siam 85.42±0.65 a 88.65±0.96 b 91.86±1.29 c Patin Jambal 82.55±1.04 a 85.35±0.63 b 89.20±0.38 c Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0.05. Proses pemurnian ini meliputi tahapan proses pemanasan, penambahan adsorben dan penyaringan vakum Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan adsorben bentonit sebesar 1 dari berat minyak pada saat suhu mencapai 55 – 60 ºC kemudian pemanasan dilanjutkan hingga mencapai suhu 80ºC selama 30 menit. Penambahan adsorben ini adalah selain untuk memperbaiki warna minyak juga berperan mengurangi komponen minor lainnya seperti aroma, logam berat, produk hasil oksidasi lemak seperti peroksida, aldehid dan keton, asam lemak bebas, juga dapat mengurangi kadar fosfatida dalam minyak ikan Estiasih 2009. Setelah proses pemucatan selesai, minyak ikan disaring vakum untuk memisahkan adsorben dari minyak sehingga didapatkan minyak ikan patin murni dengan warna yang jernih. Karakteristik Minyak Ikan Patin Karakterisasi minyak ikan patin murni dilakukan untuk mengetahui sifat – sifat minyak yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi : sifat – sifat minyak secara kimia, profil dan komposisi asam lemak, penentuan posisi asam lemak dalam trigliserida profil gliserida serta sifat – sifat minyak secara fisik. Karakteristik Kimia Minyak Ikan Patin Minyak ikan patin dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut baik jenis Siam maupun Jambal kemudian dianalisa secara kimia yang meliputi angka asam lemak bebas, angka peroksida, bilangan iod dan bilangan penyabunan Tabel 10. Analisa ini dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Angka asam lemak bebas yang menyatakan kerusakan awal minyak terdeteksi sangat rendah pada minyak ikan patin baik Siam maupun Jambal pada semua perlakuan yaitu berkisar antara 0.22 – 0.84. Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan patin yang dihasilkan masih memiliki mutu yang bagus. Berkaitan pula dengan masih rendahnya angka peroksida yang didapatkan yang menunjukkan nilai maksimal sebesar 3.93 meqkg untuk minyak ikan patin Siam pada bagian isi perut dan 7.77 meqkg untuk minyak ikan patin Jambal juga pada bagian isi perut. Menurut Bimbo 1998 standar minyak ikan yang ditetapkan International Association of Fish Meal Manufacturers untuk angka peroksida sebesar 3-20 meqkg dan kadar asam lemak bebas dibawah 7. Berdasarkan hasil penelitian, minyak ikan patin murni yang dihasilkan masih masuk dalam standar minyak ikan yang ditetapkan untuk semua perlakuan dari jenis patin Siam maupun Jambal. Tabel 10 Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Murni Ikan Patin Parameter Bagian tubuh Kepala Daging belly flap Isi perut Patin Siam Angka asam lemak bebas 0.22±0.02 0.26±0.04 0.61±0.08 Angka peroksida meqkg 2.19±0.54 2.88±0.10 3.93±0.19 Bilangan Iod 104.82±0.21 124.16±2.42 86.82±0.46 Bilangan penyabunan 143.05±0.71 143.74±1.41 144.66±0.39 Patin Jambal Angka asam lemak bebas 0.55±0.02 0.32±0.01 0.84±0.05 Angka peroksida meqkg 6.82±0.53 5.89±0.53 7.77±0.51 Bilangan Iod 136.49±0.62 153.13±0.73 103.18±3.48 Bilangan penyabunan 161.95±1.18 160.22±0.38 163.13±0.75 Analisa angka iod dilakukan untuk menentukan derajat ketidakjenuhan asam lemak penyusun minyak ikan patin. Prinsip angka iod adalah adisi iod terhadap asam lemak tidak jenuh membentuk senyawa yang jenuh. Banyaknya iod yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap yang terdapat didalam minyak. Pada penelitian ini dihasilkan angka iod dari minyak ikan patin Siam lebih rendah dibandingkan dengan minyak ikan patin Jambal pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam. Pada Tabel 8 mengenai profil asam lemak minyak ikan patin Jambal terbukti memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam. Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Murni Profil asam lemak minyak ikan patin murni dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut dianalisa menggunakan alat kromatografi gas Shimadzu dengan detektor FID. Profil asam lemak dari minyak ikan patin murni dari jenis Siam dan Jambal dengan jumlah masing – masing jumlah asam lemak jenuh Saturated fatty acid, SFA, asam lemak tak jenuh tunggal Monounsaturated fatty acid , MUFA dan asam lemak tak jenuh jamak Polyunsaturated fatty acid, PUFA ditunjukkan pada Tabel 11. Profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam menunjukkan hasil bahwa terdapat tren yang sama untuk semua perlakuan, hanya berbeda secara kuantifikasinya. Asam lemak yang mendominasi untuk semua perlakuan yaitu asam lemak palmitat dan oleat yang besarnya berkisar antara 25.78 hingga 39.15. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sathivel et al. 2003 pada catfish viscera oil dimana asam lemak dominan yang diperoleh yaitu jenis palmitat dan oleat. Asam lemak linoleat pada minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan pada minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan baik dari bagian kepala, daging belly flap maupun isi perut yaitu berturut – turut sebesar 16.24, 16.11 dan 15.56. Sedangkan kandungan asam lemak linoleat C18:2 yang merupakan omega-6 dari minyak jeroankepala ikan lele dumbo pada hasil penelitian Kaban dan Daniel 2005 adalah sebesar 8.68 . Tabel 11 Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Murni Asam Lemak Kepala Daging belly flap Isi perut Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal C14:0 miristat 4.23 1.60 4.07 1.59 4.69 1.67 C16:0 palmitat 34.61 26.11 33.08 25.78 34.19 26.48 C18:0 stearat 7.61 9.39 8.24 9.52 8.12 9.69 C20:0 aracidat 0.31 0.19 0.22 0.19 0.26 0.20 ∑ SFA 46.76 37.30 45.62 37.08 47.26 38.03 C16:1 palmitoleat 1.12 1.73 2.64 1.70 2.99 1.72 C18:1 oleat 33.64 38.41 32.83 39.15 35.97 38.89 C20:1 eikosanoat 0.81 0.82 0.85 0.84 0.75 0.82 C24:1 nervonat 0.03 0.04 0.03 0.04 0.03 0.03 ∑ MUFA 35.60 41.00 36.35 41.73 39.74 41.46 C18:2 linoleat 12.81 16.24 13.61 16.11 10.18 15.56 C18:3 linolenat 0.88 1.27 0.73 1.30 0.49 1.24 C20:2 eikosadienoat 0.68 0.65 0.44 0.63 0.53 0.64 C20:3 homo-g-linolenat 0.97 0.77 1.06 0.72 0.55 0.72 C20:4 aracidonat 0.89 0.69 0.81 0.58 0.29 0.63 C20:5 eikosapentaenoat 0.45 0.41 0.46 0.39 0.17 0.37 C22:6 dokosaheksaenoat 0.95 1.66 0.92 1.46 0.79 1.34 ∑ PUFA 17.65 21.70 18.03 21.19 13.00 20.51 Jenuh 46.76 37.30 45.62 37.08 47.26 38.03 Tak Jenuh 53.24 62.70 54.38 62.92 52.74 61.97 Omega 3 2.28 3.35 2.11 3.15 1.45 2.95 satuan relatif Profil asam lemak dari minyak ikan patin Jambal memiliki trend yang serupa dengan profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam, hanya terdapat perbedaan secara kuantifikasi. Asam lemak dominan adalah palmitat dan oleat untuk semua jenis perlakuan. Asam lemak omega 3 yang meliputi linolenat, EPA dan DHA mendapatkan hasil dengan jumlah berkisar antara 1.45 hingga 3.35 dari total keseluruhan asam lemak untuk semua perlakuan. Kandungan asam lemak omega 3 pada minyak ikan patin patin ini mengalami sedikit penurunan setelah melalui tahap pemurnian, hal ini disebabkan karena terjadi proses pemanasan selama pemurnian sehingga menurunkan kandungan omega 3 nya. Pada minyak ikan patin Jambal, kandungan asam lemak omega 3 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam dimana berkisar antara 2.95 hingga 3.35 dari total keseluruhan asam lemak. Hasil penelitian Elizabeth 1997 mengenai profil asam lemak minyak ikan Tuna adalah bahwa distribusi asam lemaknya sangat bervariasi karena kandungan asam lemaknya yang beragam dan kandungan asam lemak tidak jenuhnya lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Komposisi asam lemak pada minyak ikan tuna adalah asam lemak miristat 14:0 1.82, palmitat C16:0 9.78, stearat C18:0 3.18, oleat C18:1 6.36, linoleat C18:2 0.68, linolenat C18:3 0.37, EPA C20:5 2.40 dan DHA C22:6 12.23. Perbedaan kandungan asam lemak omega 3 ini kemungkinan berasal dari jenis pakan yang diberikan. Penelitian Ozogul et al. 2007 memberikan hasil bahwa komposisi asam lemak ikan dipengaruhi oleh kandungan PUFA asam lemak tak jenuh rantai panjang dari pakan yang diberikan. Profil Spektra FTIR Minyak Ikan Patin Spetrum FTIR yang diperoleh dari minyak ikan patin dalam penelitian ini, memberikan informasi yang unik tentang trigliserida yang dikandungnya, termasuk tentang ketidakjenuhan dari gugusan asil dan panjang rantainya. Umumnya perbedaan spektra utama secara nyata terlihat pada wilayah bilangan gelombang wavenumber 3050 – 2800 cm -1 terkait dengan vibrasi stretching dari ikatan rangkap cis olefin =C-H sekitar 3010 cm -1 dan vibrasi simetrik dan asimetrik metilen 2950 – 2845 cm -1 serta pada wilayah 1120 – 1000 cm -1 sebagai akibat dari vibrasi stretching gugusan –C-O ester turunan alkohol primer dan sekunder Maurer, 2012. Spektra FTIR minyak ikan patin Siam maupun Jambal yang diperoleh dari penelitian ini masing-masing ditunjukkan pada Gambar 16 dan Gambar 17. Setiap gambar menunjukkan 3 profil spektra FTIR minyak ikan patin yang berasal dari bagian kepala, belly flap, dan isi perut. Profil spektra FTIR minyak ikan patin yang diperoleh ketiga bagian tubuh ikan patin tersebut umumnya sama baik pada minyak ikan patin Siam maupun Jambal. Namun, jika dibandingkan antara profil FTIR minyak ikan patin Siam dengan yang berasal dari minyak ikan patin Jambal, ada perbedaan dalam ketajaman penyerapan FTIR. Khususnya pada wilayah 3050 – 2800 cm -1 penyerapan FTIR pada minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam. Gambar 16. Profil spektra FTIR minyak ikan Patin Siam. Gambar 17. Profil spektra FTIR minyak ikan Patin Jambal Ket gambar 16 dan 17. a=kepala; b=daging belly flap; c=isi perut Untuk melihat kesamaan dan perbedaan profil spektra FTIR dari minyak ikan patin Siam dan Jambal telah dibuat Tabel 12 yang menunjukkan serapan a b c c b a pada bilangan gelombang tertentu. Selanjutnya data tersebut dibandingkan dengan dengan profil FTIR dari produk suplemen minyak ikan MaxEPA yang dilaporkan oleh Jun 2009. Adanya kandungan EPA C 20:5 dan DHA C 22:6 pada produk MaxEPA ditunjukkan dengan penyerapan pada bilangan gelombang 3012.27 cm -1 . Meskipun minyak patin Siam maupun Jambal mengandung EPA dan DHA Tabel 11, tetapi jumlahnya tidak cukup besar untuk bisa keluar dalam profil spektra FTIR. Tabel 12 Korelasi pola FTIR minyak ikan Patin Siam, dan Jambal dibandingkan dengan minyak ikan MaxEPA Jun 2009 Wavenumber cm -1 Karakteristik serapan infra merah Siam Jambal Jun 2009 3468.01 3471.87 3012.27 =C-H ikatan rangkap jamak seperti C 20:5 dan C 22:6 3005.10 3005.10 =C-H ikatan rangkap tunggal seperti C 18:1 2935.66 2924.09 2921.63 -C-H gugusan CH 2 2858.51 2850.79 2852.20 -C-H gugusan CH 2 dan CH 3 2731.20 2731.20 2677.20 2677.20 2152.56 2152.56 2025.26 2029.11 1751.36 1743.65 1743.33 -C=O ester 1654.92 1658.78 1465.90 1465.90 1457.92 -C-H CH 2 1415.75 1377.17 1377.17 1376.93 -C-H CH 3 1242.10 1238.30 1176.58 1165.00 1145.51 -C-O 1099.43 1099.43 1097.30 -C-O 1033.85 1033.85 968.27 968.27 921.97 914.26 914.09 =C-H 875.68 894.97 844.82 871.82 721.38 721.38 719.318 - CH 2 n , 582.50 586.36 586.25 459.06 451.34 455.12 Pada kedua profil spektra FTIR minyak ikan patin Siam dan Jambal terlihat dengan jelas penyerapan tajam pada bilangan gelombang sekitar 1750 cm -1 yang menunjukkan adanya penyeraan oleh gugusan –C=O dari ester asam lemaknya. Data ini diperkuat dengan adanya penyerapan pada wilayah bilangan gelombang 1120 – 1000 cm -1 karena gugusan –C-O. Dengan data spektra FTIR ini maka minyak ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal mempunyai profil FTIR spesifik yang menjadi karakteristik utamanya. Profil Gliserida Minyak Ikan Patin Penggunaan sistem NARP-HPLC non-aqueous reversed-phase high- performance liquid chromatography telah umum digunakan untuk pemisahan sampel lipida alami yang kompleks. Pada prinsipnya waktu retensi dalam sistem NARP-HPLC naik dengan naiknya ECN equivalent carbon number. ECN adalah jumlah karbon total CN dalam semua rantai asil dikurangi dua kali jumlah ikatan rangkap ECN = CN-2db. Sistem NARP-HPLC dalam penelitian ini menggunakan HPLC fase terbalik reversed-phase dengan kolom C-18, panjang 25 cm dan diameter 4.6 mm, dengan fase bergerak campuran aseton- asetonitril 85:15. Dengan kecepatan elusi 0.8 ml per menit dan detektor RID, beberapa jenis TAG dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal dapat dipisahkan dengan baik. Dengan kondisi NARP-HPLC yang digunakan dapat dipisahkan sebanyak 19 jenis TAG baik dari minyak ikan patin Siam maupun Jambal sebagaimana ditunjukkan pada kromatogram Gambar 18. Dengan keterbatasan standar TGA yang ada, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis TAG, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPPMMP. Dengan singkatan O untuk oleat, L untuk linoleat, P untuk palmitat, S untuk stearat, La untuk linoleat dan M untuk miristat terlihat bahwa posisi sn-2 dari TAG cenderung lebih banyak diduduki oleh asam lemak oleat. Hal ini sesuai dengan kandungan asam lemak oleat yang tertinggi yang terdapat dalam minyak ikan patin Siam maupun Jambal, seperti terlihat pada Tabel 8. Demikian juga asam lemak palmitat sebagai asam lemak kedua tertinggi sesudah oleat cenderung banyak menduduki posisi sn-1 atau sn-3. Gambar 18 Profil TAG utama dalam minyak ikan patin Siam atas dan Jambal bawah. Secara umum, kedua minyak ikan patin Siam maupun Jambal memiliki trend kromatogram yang serupa, dengan 19 puncak kromatogram terdeteksi. Perbedaan antara patin Siam dengan Jambal terdapat pada persentase puncak area terutama pada puncak - puncak nomor 8 dan 9 dimana TAG yang terdeteksi adalah kombinasi asam lemak palmitat, oleat dan linoleat berdasarkan nilai ECN dan standar yang dimiliki. Persentase puncak area dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan dengan patin Siam. Hasil ini diperkuat dengan hasil analisa asam lemak minyak ikan patin murni dari bagian isi perut Tabel 11 dimana jumlah asam lemak palmitat, oleat dan linoleat untuk Siam dan Jambal berturut – turut adalah 34.19, 35.97, 10.18 dan 26.48, 38.89, 15.56. Tabel 13 di bawah menunjukkan TAG yang teridentifikasi beserta ECN dan persentasenya dalam minyak ikan patin Siam maupun Jambal. Ada satu jenis TAG yang membedakan minyak ikan patin Jambal dari Siam adalah kandungan PLO minyak ikan patin Jambal yang sekitar tiga kali lebih besar. Tabel 13 Jenis TAG yang Teridentifikasi. ECN = CN-2db ECN = Equivalent Carbon Number, CN = Carbon Number, db = double bond tt = tidak teridentifikasi No Puncak TGA ECN Siam Jambal 1 MMLLaOM 42 1.03 1.1 2 MMMLaPM 42 1.83 1.5 3 LMOLaOO 44 3.95 4.3 4 tt 44 1.81 1.3 5 MPLLaOPMMO 44 1.44 3.5 6 tt 44 2.17 2.5 7 LaPPMMP 44 5.25 2.5 8 OLO 46 8.37 7.1 9 PLO 46 4.97 13.1 10 tt 46 2.88 2.1 11 PLP 46 5.92 5.1 12 tt 48 3.73 2.2 13 OOO 48 6.98 6.1 14 POO 48 15.77 17.2 15 POP 48 13.32 13.0 16 PPP 48 5.38 3.2 17 SOO 50 5.12 4.2 18 POS 50 6.91 7.3 19 PPS 50 3.17 2.6 Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin Pola hidrolisis oleh enzim lipase terhadap TAG minyak ikan patin telah dipelajari dalam penelitian ini dengan menggunakan enzim lipase amobil komersial spesisik 1,3 Lipozyme TL IM. Enzim lipase yang diperoleh dari kapang Thermomyces lanuginosa ini mampu menghidrolisis secara spesifk posisi sn-1 dan sn-3 dari TAG. Dengan menggunakan konsentrasi lipase sebanyak 10 dan inkubasi optimum pada suhu 55 o C seperti yang disarankan oleh Huei 2003, telah dapat dihidrolisis TAG menjadi DAG dan MAG yang kemudian dapat dipisahkan dengan sistem NARP-HPLC. Hidrolisis TAG oleh lipase ini dilakukan selama 12, 18, dan 48 jam inkubasi pada suhu 55 o C. Contoh kromatogram pemisahan produk hidrolisis TAG dari minyak ikan patin Siam ditunjukkan pada Gambar 19. min 10 15 20 25 30 35 nRIU 20000 40000 60000 80000 RID1 A, Refractive Index Signal 24-05-12\S-180000.D 6 .8 9 8 7 .2 3 8 7 .4 4 7 .7 1 7 8 .2 7 2 8 .4 3 6 9 .3 1 9 .9 2 1 .2 2 9 1 .4 7 9 1 1 .3 8 6 1 1 .6 8 1 1 2 .0 3 4 1 2 .8 4 2 1 3 .1 9 1 3 .5 7 9 1 3 .8 1 8 1 5 .0 5 3 1 5 .5 2 9 1 5 .8 5 4 2 5 .6 4 2 2 8 .9 4 6 3 .3 2 3 1 .0 8 3 1 .8 9 5 3 2 .5 4 3 5 .1 4 9 3 6 .7 9 7 3 8 .7 4 9 Gambar 19 Contoh kromatogram minyak ikan patin Siam setelah hidrolisis dengan lipase Lipozyme, TL IM selama 12 jam pada suhu 55 o C Pada kromatogram terlihat bahwa komponen TAG terpisah setelah elusi 20 menit pada sistem NARP-HPLC yang digunakan. Puncak-puncak kromatogram yang keluar dari kolom kurang dari 20 menit kemungkinan besar adalah komponen DAG dan MAG. Sedangkan yang keluar lebih cepat, yaitu kurang dari 8 menit kemungkinan besar adalah MAG. Dari kromatogram tersebut di atas dapat dibuktikan bahwa telah terjadi hidrolisis pada TAG minyak ikan patin oleh lipase setelah inkubasi 12 jam pada suhu 55 o C, yaitu kandungan TAG turun dan kandungan DAG dan MAG naik. Tabel 14 menunjukkan dengan lebih jelas bagaimana hidrolisis telah terjadi dengan turunnya kandungan TAG dan naiknya kandungan MAG. Secara gradual kandungan MAG meningkat setelah hidrolisis selama 12, 18 dan 48 jam sejalan dengan menghilangnya kandungan TAG. Meskipun pola hidrolisis hampir sama di antara minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO, dan POP. Tabel 14 Pola hidrolisis TAG minyak ikan patin oleh lipase Lipozyme TL IM setelah hidrolisis selama 12, 18, dan 48 jam pada inkubasi suhu 55 o C. No Peak TAG Patin Siam Patin Jambal TAG Awal TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 12 jam TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 18 jam TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 48 jam TAG Awal TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 12 jam TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 18 jam TAG, MAG dan DAG Setelah hidrolisis 48 jam i MAG - 9.25 11.53 13.02 - 4.24 7.52 12.29 ii MAG - 12.62 17.08 27.32 - 9.60 16.53 36.82 iii MAG - 10.83 12.60 21.08 - 4.80 7.16 - iv - 3.02 3.82 7.11 - 2.05 2.90 4.65 v - 2.39 3.23 4.24 - 1.58 2.78 3.01 vi - 1.86 4.46 4.76 - 4.22 7.63 - 1 1.03 TT TT TT 1.1 TT TT TT 2 1.83 TT TT TT 1.5 TT TT TT 3 3.95 TT TT TT 4.3 2.79 TT TT 4 1.81 TT TT TT 1.3 TT TT TT 5 1.44 TT TT TT 3.5 2.43 TT TT 6 2.17 TT TT TT 2.5 1.70 TT TT 7 LaPP MMP 5.25 TT TT TT 2.5 TT TT TT 8 OLO 8.37 TT TT TT 7.1 5.6 4.48 3.11 9 PLO 4.97 TT TT TT 13.1 11.06 8.33 4.19 10 - 2.88 TT TT TT 2.1 1.75 TT TT 11 PLP 5.92 TT TT TT 5.1 4.02 3.06 TT 12 - 3.73 TT TT TT 2.2 TT TT TT 13 OOO 6.98 TT 1.9 TT 6.1 5.2 3.64 TT 14 POO 15.77 5.0 0.8 TT 17.2 15.43 10.65 5.26 15 POP 13.32 2.9 TT TT 13.0 11.43 7.69 4.63 16 PPP 5.38 3.5 0.9 TT 3.2 TT TT TT 17 SOO 5.12 4.1 1.1 TT 4.2 3.46 TT TT 18 POS 6.91 9.5 1.3 TT 7.3 6.53 4.40 TT 19 PPS 3.17 7.9 1.4 TT 2.6 TT TT TT TT = tidak terdeteksi Kemampuan hidrolisis TAG oleh lipase telah dimanfaatkan oleh Jennings dan Akoh 2001 untuk memodifikasi minyak ikan agar mengandung asam kaprat C10:0 sebagai asam lemak berantai medium MCFA. Dengan menggunakan biokatalis lipase amobil IM60 yang berasal dari Rhizomucor miehei, telah dapat diikatkan asam kaprat pada TAG sehingga diperoleh TAG berantai asam lemak berantai medium MCT. Dalam metabolisme tubuh, MCT dibakar dengan cepat menjadi energi dan tidak ditimbun dalam jaringan adipose Megremis, 1991. Mengingat minyak ikan patin mengandung juga EPA dan DHA dalam jumlah terbatas, maka proses-proses modifikasi dengan memasukkan asam-asam lemak yang bermanfaat dapat meningkatkan daya guna minyak ikan patin sebagai ingredien pangan maupun suplemen. Karakteristik Fisik Minyak Ikan Patin Warna Minyak Ikan Patin Minyak ikan patin yang dihasilkan dianalisa warnanya menggunakan instrumen fisik Chromameter Minolta CR 300. Sistem notasi warna dicirikan dengan tiga parameter warna yang dinyatakan dengan notasi L, a dan b. Nilai L menyatakan kecerahan kisaran nilai 0=hitam dan 100=putih, +a menyatakan warna kemerahan dan –a menyatakan warna kehijauan, +b menyatakan warna kuning dan –b menyatakan warna biru. Hasil analisa warna minyak ikan patin dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut yang telah dimurnikan tampak pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil Analisa Warna Minyak Ikan Patin Minyak ikan murni Bagian limbah L a b Siam Kepala 68.70 -3.00 39.40 Belly flap 69.80 -7.70 41.54 Isi perut 52.50 -1.32 38.40 Jambal Kepala 65.96 -4.22 33.72 Belly flap 66.96 -5.12 39.73 Isi perut 60.18 -0.05 26.65 Berdasarkan hasil analisa warna yang dilakukan menunjukkan bahwa minyak ikan patin yang diekstrak dari bagian daging belly flap memiliki nilai kecerahan tertinggi dan intensitas warna kuning yang paling tinggi baik dari patin jenis Siam maupun Jambal. Hal ini disebabkan karena bagian daging belly flap masih banyak mengandung daging yang berwarna putih kekuningan sehingga warna minyak yang dihasilkan menjadi kuning jernih sedangkan bagian kepala banyak terdapat tulang dan bagian isi perut mengandung jeroan serta limpa, usus yang penuh dengan kotoran sehingga warna minyak yang dihasilkan pun menjadi lebih keruh cenderung lebih kemerahan. Secara keseluruhan, warna minyak ikan yang dihasilkan berwarna kuning jernih hingga sedikit kuning gelap pada semua perlakuan dengan urutan bagian yang berwarna kuning jernih adalah bagian daging belly flapkepalaisi perut. Nilai kecerahan yang tinggi ini disebabkan karena minyak ikan limbah patin telah melalui tahapan proses pemurnian yang merupakan proses pemucatan dengan menggunakan adsorben. Selama proses pemucatan, adsorben akan menyerap zat warna, air, mineral dan bahan – bahan tak tersabunkan sehingga warna dari minyak yang dihasilkan menjadi lebih jernih. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sathivel et al. 2003 yang menganalisa warna minyak ikan dari isi perut ikan lele didapatkan bahwa minyak ikan seluruh perlakuan memiliki nilai a negatif yang mengindikasikan warna ke arah kehijauan dan nilai b positif yang mengindikasikan warna kuning. Viskositas Minyak Ikan Patin Analisa viskositas minyak ikan patin dilakukan dengan menggunakan viskometer. Hasil analisa viskositas ditunjukkan pada Tabel 16. Minyak ikan patin Jambal memiliki nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan. Semakin tinggi kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak maka akan semakin cair. Hal ini sejalan dengan hasil analisa asam lemak pada Tabel 11. yang menunjukkan bahwa patin Jambal memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dari patin Siam sehingga nilai viskositas yang didapatkan lebih rendah pada semua perlakuan. Tabel 16 Viskositas Minyak Ikan Patin Murni Perbandingan antara minyak patin Siam dan Jambal dari bagian isi perut berdasarkan viskositas, angka Iod dan derajad ketidakjenuhan asam lemak tampak pada Tabel 17. Minyak ikan patin Siam memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Jambal. Hal ini berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Siam yang lebih rendah dibandingkan dengan Jambal sehingga minyak menjadi lebih kental. Tabel 17 Perbandingan Minyak Ikan Patin dari Bagian Isi Perut Berdasarkan Nilai Viskositas, Bilangan Iod dan Kandungan Asam Lemak Tidak Jenuh Derajad ketidakjenuhan minyak dinyatakan sebagai bilangan Iod dimana semakin besar nilainya maka semakin tinggi ketidakjenuhan minyak tersebut. Pada minyak ikan patin Jambal dari bagian isi perut tampak bahwa nilai bilangan Iod lebih besar dibandingkan dengan patin Siam yaitu sebesar 103.18, hal ini menunjukkan bahwa derajat ketidakjenuhan minyak ikan patin Jambal jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Siam. Karakteristik Termal Minyak Ikan Patin Karakteristik termal suatu minyak atau lemak, khususnya titik cair sangat penting untuk mempelajari pola kristalisasi atau pencairan karena perubahan suhu. Sebagai contoh, pola kristalisasi lemak kakao sudah sejak lama dilakukan dengan menggunakan DSC untuk melihat fraksi-fraksi yang cair pada suhu rendah maupun tinggi. Nassu dan Goncalves 1999 menggunakan berbagai Bagian limbah Viskositas mPa.s Siam Jambal Kepala 72.00±0.21 56.50±0.29 Daging belly flap 69.20±0.29 53.80±0.15 Isi perut 70.50±0.12 58.00±0.52 Bagian limbah Minyak ikan patin Siam Jambal Viskositas 70.50 58.00 Bilangan Iod 86.82 103.18 Asam lemak tidak jenuh 52.74 61.97 jenis minyak dan lemak nabati dengan berbagai profil asam lemak yang berbeda untuk mempelajari pola pencairannya termasuk suhu pada saat proses pencairan dimulainya onset temperature, suhu puncak, dan titik cair. Metode yang sama diterapkan dalam penelitian ini dengan mempelajari karakteristik termal atau pola pencairan minyak ikan patin dari suhu - 75 o C sampai suhu 125 o C. Karakteristik termal minyak patin Siam yang digambarkan sebagai profil DSC ditunjukkan pada Gambar 20. Gambar 20 Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Siam. Dari termogram DSC terlihat bahwa ada tiga kisaran zona pencairan minyak yang terdeteksi, adalah pada kisaran suhu – 30 o C sampai – 16 o C, kisaran suhu – 16 o C sampai 25 o C dan kisaran suhu 25 o C sampai dengan 46 o C. Puncak-puncak titik cair dari ketiga zona itu adalah berturut-turut pada suhu – 23.61 o C, 8.15 o C, dan 37.72 o C. Terbentuknya tiga zona titik cair tersebut menggambarkan bahwa terdapat keragaman pada asam – asam lemak penyusun TAG dalam minyak ikan patin, dimana asam lemak tidak jenuh akan mencair terlebih dahulu kemudian disusul oleh asam lemak jenuh hingga mencair pada suhu tinggi. Menurut Sathivel et al 2008 terdapat hubungan antara struktur kimia asam lemak dengan titik cairnya, dimana titik cair asam lemak jenuh akan semakin meningkat dengan meningkatnya panjang rantai. Sedangkan untuk asam lemak tidak jenuh, semakin meningkat ikatan rangkap asam lemak maka akan semakin rendah titik cairnya. Pada Gambar 6. tampak bahwa hasil penelitian Sathivel et al . 2008 titik cair untuk DHA adalah pada suhu -47.4 o C, tetapi pada penelitian ini tidak terdeteksi pada suhu tersebut kemungkinan karena jumlah DHA yang relatif kecil. Puncak titik cair pertama pada suhu – 23.61 o C kemungkinan karena adanya asam-asam lemak tidak jenuh yang terikat pada TAG triasilgliseril. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11, sekitar 52 asam lemak dari TAG adalah asam lemak tidak jenuh untuk minyak ikan patin Siam, sedangkan untuk minyak ikan patin Jambal kandungan asam lemak tidak jenuhnya sekitar 61. Menurut Sathivel et al. 2009, titik – titik cair yang berkisar antara – 4 o C sampai -21 o C berhubungan dengan adanya kandungan asam lemak linoleat C18:2 dan linolenat C18:3. Perbedaan utama antara karakteristik termogram minyak ikan patin Siam dan Jambal adalah pada patin Jambal pencairan minyak terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 o C dengan kisaran suhu sampai dengan 42 o C, seperti terlihat pada termogram Gambar 21 di bawah ini. Hal ini berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh minyak patin Jambal yang lebih tinggi dibandingkan dengan patin Siam sehingga menurunkan titik cairnya. Berdasarkan Tabel 10. tampak bahwa bilangan Iod minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan patin Siam dimana menunjukkan besarnya kandungan asam lemak tidak jenuh yang dimiliki. Gambar 21 Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Jambal. Jika ditinjau lebih spesifik, ternyata ada sedikit perbedaan pola karakteristik termal minyak yang diperoleh dari bagian kepala dibandingkan dengan yang diperoleh dari bagian belly flap dan bagian isi perut. Minyak yang diperoleh dari bagian kepala mencair seluruhnya pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak yang diperoleh dari kedua bagian lainnya, seperti ditunjukkan dengan garis vertikal pada Gambar 22. Sesungguhnya komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh di antara ketiga bagian ikan patin Siam ini tidak berbeda. Dengan demikian mungkin saja perbedaan karakteristik termal ini karena perbedaan posisi asam lemak dalam trigliseridanya. Gambar 22 Perbedaan Pola Karakteristik Termal Minyak Bagian Limbah Ikan Patin, yaitu bagian A kepala B bagian belly flap, dan C isi perut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sathivel et al. 2008 dimana titik cair dari minyak viscera ikan lele berkisar antara -46.2 ºC sampai 21.2 ºC. Perbedaan pada titik awal titik cair minyak berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dari minyak viscera ikan lele yaitu berkisar diatas 68. Titik cair minyak ikan patin yang bernilai negatif berkaitan dengan karakteristik asam lemak ikan patin yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih besar dibandingkan asam lemak jenuhnya. Penelitian Sathivel et al. 2005 mengenai titik cair dari minyak ikan Salmon red dan pink mendapatkan hasil bahwa titik cair diawali lebih rendah lagi yaitu pada -69.6 ºC – -0.36 ºC dan -64.7 ºC – 20.8 ºC. Nilai negatif pada titik cair ini berhubungan dengan kandungan asam lemak tidak jenuhnya. A B C SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Profil asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal menunjukkan bahwa asam lemak dominan adalah asam palmitat dan oleat. Persentase kelompok asam lemak tak jenuh rantai panjang memiliki jumlah yang lebih tinggi secara total keseluruhan yaitu sebesar 53.24, 54.38, 52.74 dan 62.70, 62.92, 61.97 berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Asam lemak omega 3 yaitu linolenat, EPA dan DHA terdeteksi pada penelitian ini baik minyak ikan dari limbah ikan Patin jenis Siam maupun Jambal. Kandungan asam lemak omega 3 minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin Siam lebih rendah dibandingkan dengan dari ikan patin Jambal yaitu 2.28, 2.11, 1.45 dan 3.35, 3.15, 2.95 berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Profil spektra FTIR minyak ikan patin yang diperoleh dari bagian kepala, belly flap , dan isi perut umumnya sama, namun ada perbedaan dalam ketajaman penyerapan FTIR khususnya pada wilayah 3050 – 2800 cm -1 dimana pada minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam karena terkait dengan kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak ikan patin Jambal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam. Profil gliserida menghasilkan 19 jenis TAG baik pada minyak ikan limbah patin Siam maupun Jambal. Berdasarkan standar, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis TGA, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya adalah OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPPMMP. Hidrolisis menggunakan enzim lipase yang diperoleh dari kapang Thermomyces lanuginosa mampu menghidrolisis secara spesifik posisi sn-1 dan sn -3 dari TAG menjadi DAG dan MAG. Pola hidrolisis hampir sama di antara minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO, dan POP. Hasil Analisa DSC menunjukkan bahwa terdapat tiga zona titik pencairan minyak pada patin Siam yaitu – 30 sampai – 16 o C, kisaran suhu – 16 sampai 25 o C, dan kisaran suhu 25 sampai 46 o C. Sedangkan pada patin Jambal, titik cair terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 o C dengan kisaran suhu sampai dengan 42 o C. SARAN Pada penelitian ini telah didapatkan profil gliserida minyak ikan patin Siam maupun Jambal hasil hidrolisis menggunakan enzim Lipase, untuk melengkapinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi fraksi MAG dan DAG dari minyak ikan patin tersebut dan mengidentifikasi asam lemak pada posisi sn-2 Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini maka perlu dilakukan modifikasi minyak ikan patin Siam maupun Jambal untuk lebih berdaya guna dari segi gizi, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan esterifikasi. Sebagai contoh, dapat dilakukan modifikasi TAG agar mengandung asam kaprat C10:0 sebagai asam lemak berantai medium MCFA dimana dalam metabolisme tubuh, TAG berantai asam lemak medium dibakar dengan cepat menjadi energi dan tidak ditimbun dalam jaringan adipose. Proses modifikasi ini hendaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan kandungan asam lemak omega 3 terutama EPA dan DHA yang terdapat didalam minyak ikan patin DAFTAR PUSTAKA Alasalvar C, Taylor KDA, Oksüz A, Shahidi F, Alexis M. 2002. Comparison of freshness quality of cultured and wild sea bass Dicentrarchus labrax. J Food Science . 67: 3220-3226. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta AOCS. 2005. Official methods and recommended practices of the AOCS, 5th edition 2nd printing. American Oil Chemist‟ Society. AOAC-Association of Official Analytical Chemistry. 2006. Edisi revisi. Edisi 18 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry, Inc. Washington DC. Bimbo AP. 1998. Guidelines for characterizing food-gade fish oil. INFORM. International News on Fats, Oils and Related Material. Vol 9,number 5.pp 473 – 483. Caceres E, Garcia ML, Selgas MD. 2008. Effect of pre-emulsified fish oil – as source of PUFA n-3- on microstructure and sensory properties of mortadella, a Spanish bologna-type sausage. Journal of Meat Science 80 183-193. Christie WW. 1987. A Stable silver - loaded column for the separation of lipids by high performance liquid chromatrogaphy, J High Resol. Chromatog. Chromatog. Commun. 10: 148-150 Christie WW dan Breckenridge GHM. 1989. Separation of cis and trans Isomers of unsaturated fatty acids by high-performance liquids chromatogaphy in the silver ion mode, J Chromatog. 439:261-269 Djarijah. 2001. Budidaya ikan patin. Penerbit Kanisius. Jakarta. Elizabeth, J. 1997. Studi Inkoporasi Enzimatik EPA dan DHA pada Trigliserida Mnyak Ikan Tuna dan Crude Palm Oil. Disertasi. IPB. Bogor. Estiasih T. 2009. Minyak ikan. Teknologi dan penerapannya untuk pangan dan kesehatan. Edisi pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta Ferinaldy. 2009. Produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama 2005- 2009. http:en.wordpress.comtagdata-perikanan Fiori L, Solana M, Tosi P, Manfrini M, Strim C, Guella G. 2012. Lipid profiles of oil from Trout Oncorhynchus mykiss heads, spines and viscera: Trout by- products as a possible source of omega-3 lipids?. Food Chemistry. Article in Press. Giese J. 1996. Antioxidants: tools for preventing lipid oxidation. Food Technol ogy. 50 : 73-81. Gunstone FD dan Norris 1993. Fatty acid and lipid chemistry. The Lipid Handbook 2nd edition. Chapman Hall. London. Hadipranoto N. 2005. Study on the thermal stability of EPA and DHA in mujahir Oreochromis mossambicus fish oil. Indonesian Journal of Chemistry. Vol 5. No 2. Department of Chemistry. Gajah Mada University. Yogyakarta. Hadiwiyoto. 1993. Teknologi pengolahan hasil perikanan. Liberty. Yogayakarta. Haliloglu H, Bayir A, Sirkecioglu AN, Aras NM, Atamanalap M. 2004. Comparison of fatty acid composition in some tissues of rainbow trout Oncorhyncus mykiss living in seawater and freshwater. J Food Chemistry, 86: 55-59. Haumann BF. 1997. Nutritional aspects of n-3 fatty acids. INFORM 8. 428-447. Ho BT dan Paul BR. 2009. Fatty acid profile of Tra Catfish Pangasius hypophthalmus compared to Atlantic Salmon Salmo solar and Asian Seabass Lates calcarifer. International Food Research Journal 16: 501- 506 2009 Huei KW, Lin SW, Yoo CK. 2003. Structural modification of palm stearin by enzymatic interesterfikasi-the selection of lipases. Di dalam: Palm Oil: The Power-House for The Global Oils Fats Economy. Proceedings of the PIPOC 2003 International Palm Oil Congress ; Malaysia, 24- 28 August 2003. Malaysia: Malaysian Palm Oil Board. Hwang KT, Kim JE, Kang SG, Jung ST, Park HJ, Welleer CL. 2004. Fatty acid composition and oxidation of lipids in Korean catfish. J American Oil Chem. Soc. 81 : 123-127. Irianto HE. 1995. Pemanfaatan minyak ikan untuk industri farmasi, pangan, pakan dan non-pangan. Warta Perikanan Laut. Vol 2. No.1. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Jennings BH dan Akoh CC. 2001. Lipase catalyzed modification of fish oil to incorporate capric acid. Food Chemistry 72: 273-278. www.elsevier.comlocatefoodchem Juliati BT. 2002. Ester asam lemak. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jurusan Kimia. Universitas Sumatera Utara. USU digital library. Jun Z. 2009. Analysis and characterization of consumer products by FTIR, raman, chemometrics and two dimensional ATR-FTIR correlation spectroscopy. Dissertation. Rutgers, the State University f new Jersey. New brunswick, New Jersey. http:mss3.libraries.rutgers.edu Kaban J dan Daniel. 2005. Sintesis n-6 etil ester asam lemak dari beberapa minyak ikan air tawar. Jurnal Komunikasi Penelitian. Vol 17 2 Kap. 2012. KKP dorong pengembangan filet patin. Politik Indonesia. disadur tanggal 17 juni 2012. Ketaren. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta Khairuman dan Sudenda D .2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta Kolanowski W, Laufenberg G. 2006. Enrichment of food products with polyunsaturated fatty acids by fish oil addition. European Food Research Technology, 222: 472-477 Kritchevsky D et al. 2000. Influence of conjugated linoleic acid CLA on establishment and progression of atherosclerosis in rabbits. J of the American College of Nutrition vol 19 4 : 472S-477S Martini S, Thurgood JE, Brothersen C, Ward R, McMahon DJ. 2009. J. Dairy Science , 92:1876 –1884 Maurer NE, Sakoda BH, Pascual-Chagman G, Rodriguez-Saona LE. 2012. Characterization and authentication of a novel vegetable source of omega-3fatty acids, sacha inchi Plukenetia volubilis L. oil. Food Chemistry 134: 1173 –1180. Megremis CJ. 1991. Medium chain triglycerides: a nonconventional fat. Food Technology 45: 108-110. Nair PGV dan Gopakumar. 1978. Fatty acid compotitions of 15 species of fish from tropical water. J Food Science. Vol 43, 24: 1162-1164. Nassu RT dan Goncalves LAG. 1999. Determination of melting point of vegetable oils and fats by differential scanning calorimetry DSC technique. Grasas y Aceites . Vol.50. Fsc.1 1999: 16-22. http:grasasyaceites.revistas.csic.es Nurdjanah. 2002. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor Ozogul Y, Ozogul F, Alagoz S. 2007. Fatty acid profiles and fat contents of commercially important seawater and freshwater fish species of turkey : A comparative study. Food Chemistry 103 217-223. Pak SC. 2005. Stability and quality of fish oil during typical domestic application. Wonsan University of Fisheries. Kangwon Province. Korea. Palmeri G, Turchini GM, De Silva SS. 2007. Lipid characterisation and distribution in the fillet of the farmed Australian native fish, Murray cod Maccullochella peelii peelii. Food Chemistry 102. 796-807. Prinyawiwatkul W, Suvanich V, Harrison RW, King JM, Sathivel S, Pacheco K, Rout S, Nadarajah K, Sonti S. 2002. Value-Added from Crawfish and Catfish. Louisiana Agriculture. Fall issue. 20-212002. Pusdatin KKP. 2011. Produksi perikanan budidaya patin. Kelautan dan Perikanan. http:www.kkp.go.idindex.php Rasoarahona JRE, Barnathan G, Bianchini J, Gaydou EM. 2005. Influence of season on the lipid content and fatty acid profiles of three tilapia species Oreochromis niloticus, O. Macrochir and Tilapia rendalli from Madagascar. Food Chemistry. 91 : 683-694. Ratna. 1998. Ekstraksi dan Analisis Lemak dalam Daging Ikan. Paradigma, Vol. II No.1, 35-43. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Penerbit Bina Cipta. Jakarta. Sargent JR, Bell MV, Henderson RJ, Tocher DR. 1995. Origins and function of n- 3 polyunsaturated fatty acids in marine organism. In Phospholipid: Characterization, metabolism and novel biological applications ed. Ceve G, Paltauf F 248-258. AOCS Press. Champaign. Illinois. Sathivel S, Yin H, Prinyawiwatkul W, King JM, Xu Z. 2002. Economical methods to extract and purify catfish oil. Published Article in the Louisiana Agiculture, LSU AgCenter, Department of Food Science. Baton Rouge La. Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Gimm CC, King JM, Lloyd S. 2002. Fatty acid composition of crude oil recovered from catfish viscera. J American Oil Chem. Soc. 79 : 989-992. Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Gimm CC, King JM, Lloyd S. 2003. Oil production from catfish viscera. J American Oil Chem. Soc. 80 : 377-382. Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Negulescu JI, King JM. 2008. Determination of Melting Points, Spesific Heat Capacity and Enthalphy of Catfish Visceral Oil During the Purification Process. J of American Oil Chem Soc. 85:291- 296. Sathivel S, Yin H, Prinyawiwatkul W dan King JM. 2009. Comparison of chemical and physical properties of fish oils prepared from different extracting processes. J of food Science vol.74 no.2 : E70-76. Setha B. 1997. Isolasi Asam Lemak Omega 3 dari Limbah Minyak Hasil Penepungan Ikan Lemuru Sardinella lemuru Blkr: Pengaruh Rasio UreaMinyak dan Lama Kristalisasi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi . Vol 2. Hal 10 – 13. Univesitas Pattimura. Ambon. Susanto dan Amri K. 1998. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science. Japan. Thammapat P, Raviyan P, Siriamornpun S. 2010. Proximate and Fatty Acids Composition of The Muscles and Viscera of Asian Catfish Pangasius bocourti . Food Chemistry 122 223-227. Thuy NT, Loc NT, Linberg JE, Ogle B. 2002. Survey of the production, processing and nutritive value of catfish by-product meals in the Mekong Delta of Vietnam. Publish in Louisiana Agiculture. Waagbo R, Sandnes K, Torrisen OJ, Sandvin A, Lie O. 1993. Chemical and sensory evaluation of fillets from Atlantic Salmon Salmo salar fed three levels of n-3 polyunsaturated dfatty acids at two levels of vitamin E. J Food Chemistry , 46: 361-366. Wang C, Chung M, Lichtenstrein A, Balk E, Kupelnick B, Devine D, Lawrence A, Lau J. 2004. Effect of Omega-3 Fatty Acids on Cardiovascular Disease. Agency for Healthcare and Quality Pub. No. 04-E009-2. Wibawa PJ, Listiyorini D dan Fachriyah E. 2006. Penentuan komposisi asam lemak ekstrak minyak ikan kembung Rastrelliger kanagurta dengan GC- MS dan uji toksisitasnya menggunakan metode Bslt. Jurnal Sains Matematika JSM Volume14, Nomor 4. Hal 169-174 Windsor dan Barlow S. 1981. Introduction to fishery by product. Fishing news Books Ltd. Surrey. England. Wu TH dan Bechtel PJ. 2008. Salmon by-product storage and oil extraction. Journal of Food Chemistry 111:868-871. Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moscow. Zhong Y, Madhujithn T, Mahfouz N, Shahidi. 2007. Compositional characteristics of muscle and visceral oil from steelhead trout and their oxidaive stability. Food Chemistry . 104 : 602-608. Zuta CP, Simpson BK, Chan HM, Philips L. 2003. Concentrating PUFA from mackerel processing waste. J American Oil Chem. Soc. 80 : 933-936. LAMPIRAN Lampiran 1. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Kepala Lampiran 2. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Daging Belly Flap Lampiran 3. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Isi Perut Lampiran 4. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian Kepala Lampiran 5. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian Daging Belly Flap Lampiran 6. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian Isi Perut Lampiran 7. Analisa Statistik Kadar Lemak Ikan patin Siam dan Jambal Data Kadar Lemak Kadar Lemak Ln Kadar Lemak Siam 1 FS 1 2.63 0.97 Siam 1 FS 1 2.8 1.03 Siam 1 FS 1 2.73 1 Siam 1 KP 2 11.8 2.47 Siam 1 KP 2 10.5 2.35 Siam 1 KP 2 11.3 2.42 Siam 1 TE 3 12.65 2.54 Siam 1 TE 3 13.8 2.62 Siam 1 TE 3 12.85 2.55 Siam 1 BE 4 36.8 3.61 Siam 1 BE 4 35.62 3.57 Siam 1 BE 4 36.21 3.59 Siam 1 TR 5 6.5 1.87 Siam 1 TR 5 6.21 1.83 Siam 1 TR 5 7.18 1.97 Siam 1 KU 6 7.52 2.02 Siam 1 KU 6 7.11 1.96 Siam 1 KU 6 9.07 2.2 Siam 1 VS 7 25.88 3.25 Siam 1 VS 7 26.92 3.29 Siam 1 VS 7 26.73 3.29 Jambal 2 FS 1 2.82 1.04 Jambal 2 FS 1 2.75 1.01 Jambal 2 FS 1 3.1 1.13 Jambal 2 KP 2 10.82 2.38 Jambal 2 KP 2 10.75 2.37 Jambal 2 KP 2 10.98 2.4 Jambal 2 TE 3 11.23 2.42 Jambal 2 TE 3 11.98 2.48 Jambal 2 TE 3 12.49 2.52 Jambal 2 BE 4 36.25 3.59 Jambal 2 BE 4 36.41 3.59 Jambal 2 BE 4 36.84 3.61 Jambal 2 TR 5 10.26 2.33 Jambal 2 TR 5 10.11 2.31 Jambal 2 TR 5 11.88 2.47 Jambal 2 KU 6 6.28 1.84 Jambal 2 KU 6 5.98 1.79 Jambal 2 KU 6 7.57 2.02 Jambal 2 VS 7 35.21 3.56 Jambal 2 VS 7 36.02 3.58 Jambal 2 VS 7 34.73 3.55 Ikan Bagian Tubuh FS= filet, KP= kepala, TE= tulang-ekor, BE= daging belly flap, TR= daging trimming, KU= kulit, VS= isi perut One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kadar_Lemak Ln_Lemak N 42 42 Normal Parametersa,b Mean 15.6493 2.4387 Std. Deviation 12.11672 .83048 Most Extreme Differences Absolute .282 .136 Positive .282 .136 Negative -.157 -.123 Kolmogorov-Smirnov Z 1.826 .879 Asymp. Sig. 2-tailed .003 .423 a Test distribution is Normal. Hasilnya untuk data kadar lemak adalah berbeda secara signifikan terhadap model kurva distribusi data normal p = 0.003 dari batas 0.05. Data di transformasi menggunakan fungsi Ln dan hasil mengujian menunjukkan pola distribusi data tidak berbeda secara signifikan terhadap kurva normal p = 0.423 dari batas 0.05. Dependent Variable: Ln_Lemak Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 28.157a 13 2.166 506.040 .000 Intercept 249.780 1 249.780 58356.95 4 .000 Ikan .061 1 .061 14.176 .001 Bagian_Tubuh 27.616 6 4.603 1075.356 .000 Ikan Bagian_Tubuh .480 6 .080 18.701 .000 Error .120 28 .004 Total 278.057 42 Corrected Total 28.277 41 a R Squared = .996 Adjusted R Squared = .994 Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Duncan Bagian_Tubu h N Subset 1 2 3 4 5 6 7 1 FS 6 1.0301 KU 6 1.9723 TR 6 2.1310 KP 6 2.3994 TE 6 2.5237 VS 6 3.4209 BE 6 3.5933 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares, The error term is Mean SquareError = .004. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. Lampiran 8. Analisa Statistik Rendemen Minyak Murni dan Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Data Hasil Analisa Kimia Minyak Murni As. Lmk Bbs Peroksida IOD Penyabunan Viscositas Siam 1 KP1 1 84.86 0.2 1.87 104.94 143.76 72.05 Siam 1 KP2 1 85.26 0.23 2.81 104.58 142.34 72.15 Siam 1 KP3 1 86.14 0.23 1.88 104.94 143.06 71.8 Siam 1 BE1 2 88.21 0.26 2.81 126.9 145.16 69.35 Siam 1 BE2 2 87.99 0.23 2.81 123.31 142.33 69 Siam 1 BE3 2 89.75 0.31 2.99 122.29 143.74 69.25 Siam 1 VS1 3 91.56 0.69 3.75 87.09 145.11 70.65 Siam 1 VS2 3 90.75 0.59 3.92 86.29 144.44 70.35 Siam 1 VS3 3 93.27 0.54 4.13 87.09 144.44 70.5 Jambal 2 KP1 1 84.5 0.56 6.54 136.85 162.58 56.45 Jambal 2 KP2 1 81.35 0.54 7.43 135.78 160.59 56.55 Jambal 2 KP3 1 81.8 0.56 6.5 136.85 162.69 56.5 Jambal 2 BE1 2 85.2 0.31 5.56 152.28 160.38 53.7 Jambal 2 BE2 2 86.25 0.32 6.5 153.55 159.79 53.75 Jambal 2 BE3 2 84.6 0.32 5.61 153.55 160.49 53.95 Jambal 2 VS1 3 89.5 0.89 7.47 104.58 163.86 58.1 Jambal 2 VS2 3 88.75 0.79 8.36 99.21 162.36 58 Jambal 2 VS3 3 89.35 0.82 7.47 105.75 163.16 57.9 Ikan Bagian Tubuh One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test MInyak_ Murni As_Lem ak_Beba s Peroksid a IOD Penyabuna n Viscosita s N 18 18 18 18 18 18 Normal Parametersa,b Mean 87.1717 .4661 4.9117 118. 1017 152.7933 63.3333 Std. Deviation 3.26841 .22698 2.14557 22.9 7818 9.31676 7.59634 Most Extreme Differences Absolute .111 .240 .159 .205 .294 .272 Positive .111 .240 .148 .205 .294 .255 Negative -.099 -.128 -.159 - .112 -.274 -.272 Kolmogorov-Smirnov Z .471 1.019 .676 .868 1.246 1.155 Asymp. Sig. 2-tailed .980 .250 .751 .439 .090 .139 a Test distribution is Normal. b Calculated from data. Dependent Variable: MInyak_Murni Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 168.080a 5 33.616 29.832 .000 Intercept 136780.190 1 136780.190 121384.5 80 .000 Ikan 38.984 1 38.984 34.596 .000 Bagian_Tubuh 128.776 2 64.388 57.141 .000 Ikan Bagian_Tubuh .319 2 .160 .142 .869 Error 13.522 12 1.127 Total 136961.792 18 Corrected Total 181.602 17 a R Squared = .926 Adjusted R Squared = .895 Duncan Bagian_Tubuh N Subset 1 2 3 1 KP 6 83.9850 BE 6 87.0000 VS 6 90.5300 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean SquareError = 1.127. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. Hasil uji menunjukkan bahwa rendemen minyak murni berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 89.5 penyebab variasi data yang ada pada minyak murni. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga bagian ikan memiliki rendemen minyak murni yang berbeda. Dependent Variable: Asam_Lemak_Bebas Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model .855a 5 .171 97.063 .000 Intercept 3.911 1 3.911 2220.571 .000 Ikan .186 1 .186 105.644 .000 Bagian_Tubuh .607 2 .304 172.394 .000 Ikan Bagian_Tubuh .061 2 .031 17.442 .000 Error .021 12 .002 Total 4.786 18 Corrected Total .876 17 a R Squared = .976 Adjusted R Squared = .966 Duncan Bagian_Tubuh N Subset 1 2 3 1 BE 6 .2917 KP 6 .3867 VS 6 .7200 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean SquareError = .002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. Hasil uji menunjukkan kadar asam lemak bebas berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 96.6 penyebab variasi data yang ada pada kadar asam lemak bebas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga bagian ikan memiliki kadar asam lemak bebas yang berbeda. Dependent Variable: Peroksida Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 75.941a 5 15.188 78.653 .000 Intercept 434.240 1 434.240 2248.721 .000 Ikan 66.010 1 66.010 341.834 .000 Bagian_Tubuh 7.971 2 3.986 20.639 .000 Ikan Bagian_Tubuh 1.960 2 .980 5.076 .025 Error 2.317 12 .193 Total 512.499 18 Corrected Total 78.259 17 a R Squared = .970 Adjusted R Squared = .958 Duncan Bagian_Tubuh N Subset 1 2 1 BE 6 4.3800 KP 6 4.5050 VS 6 5.8500 Sig. .631 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean SquareError = .193. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. Hasil uji menunjukkan bahwa kadar peroksida berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 95.8 penyebab variasi data yang ada pada kadar asam lemak bebas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, BE dan KP memiliki nilai peroksida yang tidak berbeda nyata, sementara kadar pada VS berbeda secara nyata terhadap BE dan KP. Dependent Variable: Iod Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 8937.544a 5 1787.509 558.534 .000 Intercept 251064.066 1 251064.066 78448.80 4 .000 Ikan 2963.730 1 2963.730 926.063 .000 Bagian_Tubuh 5773.410 2 2886.705 901.995 .000 Ikan Bagian_Tubuh 200.403 2 100.202 31.310 .000 Error 38.404 12 3.200 Total 260040.014 18 Corrected Total 8975.948 17 a R Squared = .996 Adjusted R Squared = .994 Duncan Bagian_Tubuh N Subset 1 2 3 1 VS 6 95.0017 KP 6 120.6567 BE 6 138.6467 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean SquareError = 3.200. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. Hasil uji menunjukkan bahwa kadar Iod berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.4 penyebab variasi data yang ada pada kadar Iod. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga bagian ikan memiliki kadar Iod yang berbeda. Dependent Variable: Penyabunan Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 1466.117a 5 293.223 369.760 .000 Intercept 420224.449 1 420224.449 529909.9 13 .000 Ikan 1449.373 1 1449.373 1827.683 .000 Bagian_Tubuh 11.739 2 5.870 7.402 .008 Ikan Bagian_Tubuh 5.005 2 2.503 3.156 .079 Error 9.516 12 .793 Total 421700.082 18 Corrected Total 1475.633 17 a R Squared = .994 Adjusted R Squared = .991 Duncan Bagian_Tubuh N Subset 1 2 1 BE 6 151.9817 KP 6 152.5033 VS 6 153.8950 Sig. .330 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean SquareError = .793. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. Hasil uji menunjukkan bahwa kadar penyabunan berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.1 penyebab variasi data yang ada pada kadar penyabunan. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, kadar penyabunan BE dan KP tidak berbeda secara nyata, namun VS berbeda secara nyata terhadap kedua bagian tersebut. Dependent Variable: Viskositas Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 980.740a 5 196.148 10016.068 .000 Intercept 72200.000 1 72200.000 3686808.5 11 .000 Ikan 941.780 1 941.780 48090.894 .000 Bagian_Tubuh 30.250 2 15.125 772.340 .000 Ikan Bagian_Tubuh 8.710 2 4.355 222.383 .000 Error .235 12 .020 Total 73180.975 18 Corrected Total 980.975 17 a R Squared = 1.000 Adjusted R Squared = 1.000 Duncan Bagian_Tubuh N Subset 1 2 1 BE 6 61.5000 KP 6 64.2500 VS 6 64.2500 Sig. 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean SquareError = .020. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. Hasil uji menunjukkan bahwa kadar viskositas berbeda secara signifikan pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.99 penyebab variasi data yang ada pada kadar viscositas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, kadar viskositas KP dan VS tidak berbeda secara nyata, namun BE berbeda secara nyata terhadap kedua bagian tersebut.