Dasar Hukum Adanya Proses Peradilan
tetapi tidak menutup kemungkinan ditemukannya “cacat hukum” di dalamnya. Bahkan pihak-pihak tertentu, akan dapat saja mencari perlindungan hukum pada
“Hak Tanggungan dan Fidusia”, dalam rangka mengelabui orang lain dari kewajibannya. Dalam hal ini penulis sangat sepakat dengan apa yang dikatakan oleh
Soerjono, karena penegakan hukum pada dasarnya harus memegang prinsip keadilan dan hal tersebut juga dapat membongkar praktek-praktek kejahatan ekonomi yang
berlindung pada dokumen-dokumen resmi yang dianggap sebagai akta otentik.
5
Gagasan yang dikemukakan oleh Soerjono pada dasarnya menyangkut tentang kekuatan eksekutorial yang melekat pada Sertipikat Hak Tanggungan, hal ini wajar
karena pendapat ini dikemukakan pada tahun 1998 sebelum lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Namun dalam prakteknya gagasan yang
dikemukakan oleh Soerjono digunakan oleh majelis hakim Mahkamah Agung untuk menjadi landasan hukum adanya proses peradilan dalam eksekusi objek jaminan
fidusia.
6
Selain itu, apabila ditelaah dan diteliti secara seksama dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke
pengadilan, tetapi tentunya pihak-pihak yang berkepentingan dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan Undang-
5
Ibid, h. 112.
6
Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 2768 KPdt2011, tanggal 9 Maret 2012 Mengenai Sengketa Objek Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan. h. 35.
Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dengan model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada
indikasi sedikitpun dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi
umum lewat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang.
Selain itu, apabila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dengan adanya eksekusi jaminan fidusia tanpa melalui proses peradilan maka satu-satunya langkah
hukum orang tersebut adalah melakukan gugatan ke peradilan umum, sedangkan pasal 10 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :
“Pengadilan dilarang menolak memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksan dan mengadilinya.” Bunyi pasal di atas merupakan bukti bahwa semua orang boleh mengadukan
semua persoalannya kepada majelis hakim pengadilan guna memperoleh keputusan yang seadil-adilnya. Namun Allah memperingatkan kepada kita melalui firmanNya
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi : َﺑ ْﻢ ُﻜ َﻟ ا َﻮ ْﻣ َأ ا ْﻮ ُﻠ ُﻛ ْﺄ َﺗ ﺎ َﻟ َو
ْﯿ َﻨُﻜ
ْﻢِﺑ ْﻟ ﺎَﺒ
ﺎِﻃ ِﻞ
َوُﺗْﺪ ُﻟْﻮ
ِﺑ ا َﮭ
ِإ ﺎ َﻟ
ْﻟ ا ﻰ ُﺤﱠﻜ
ِم ﺎ ِﻟَﺘْﺄ
ُﻛُﻠْﻮ َﻓ ا
ِﺮْﯾٌﻘ ﱢﻣ ﺎ
ْﻦَأ ْﻣَﻮ
ِل ا ﱠﻨ ﻟ ا
ِس ﺎ ِﺑْﻟﺎ
ِﺈْﺛِﻢ َوَأْﻧ
ُﺘْﻢ َﺗْﻌَﻠ
ُﻤْﻮ َن
Artinya : Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang
lain itu dengan jalan berbuat dosa, sedangkan kamu mengetahui. QS Al-Baqarah : 188
Sedangkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi mengatakan
7
:
ِإﱠﻧ َﻤ
َأ ﺎ َﻧ
َﺑ ﺎ َﺸ
ٌﺮ َوِإ
ﱠﻧُﻜ ْﻢ
َﺗ ْﺨَﺘ
ِﺼُﻤ ْﻮ
َن ِإَﻟ
ﱠﻲ َوَﻟ
َﻌ ﱠﻞ
َﺑْﻌ َﻀُﻜ
ْﻢ َأ
ْن ُﻜْﻮ
َن َأْﻟ
َﺤ ُﻦ
ِﺑ ُﺤ
ْﻦ َﺑْﻌ
ٍﺾ َﻓَﺄ
ْﻗ َﻀ
ِﺑ ﻰ َﻨ
ْﺤِﻮ َﻣ
َا ﺎ ْﺳَﻤ
ُﻊ َﻓَﻤ
ْﻦ َﻗ
َﻀ ُﺖ
َﻟ ِﻣ
ْﻦ َﺣ
ﱢﻖ َا
ِﺧ َﺷ
ًﺌ َﻓ ﺎ
َﻠ ْﺄ
ُﺧْﺬ ُه
َأْﻗ َﻄُﻊ
َﻟ َﻗ
ْﻄَﻌ ًﺔ
ِﻣ َﻦ
ﱠﻨ ﻟ ا ِر ﺎ
د و ا د ﻮ ﺑ أ ه ا و ر ي ﺬ ﻣ ﺮ ﺗ و
Artinya : Sesungguhnya aku adalah manusia dan kalian senantiasa membawa pertikaian untuk diselesaikan olehku, dan mungkin sebagian dari kamu lebih cakap
berhujjah dari sebagian lainnya, maka aku telah memutuskan hukuman berdasarkan apa yang kudengar saja. Barangsiapa yang telah kujatuhi hukuman dan hukuman itu
mengambil hak yang lain akibat kurang cakap orang yang benar dalam berhujjah maka janganlah kamu mengambilnya, sesungguhnya itu akan menjadi sepotong api
neraka. HR Abu Daud dan Tirmidzi.
7
Muhammad Ibnu Ali Ibnu Muhammad As-Syaukani, Nailul Autar, Penerbit, kota dan Tahun tidak diketahui, Jilid 8, h. 632 hadis No. 3920.