Pengertian dan Hukum Perkawinan

43 6. Perjanjian kebendaan zakelijke overeenkomst Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkandiserahkan transfer of title kepada pihak lain. 7. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang kwijtschelding, Pasal 1438 KUHPerdata. b. Perjanjian pembuktian bewijsovereenkomst, yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c. Perjanjian untung-untungan. Misalnya: perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata. d. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu bertindak sebagai penguasa pemerintahan. Misalnya: perjanjian ikatan dinas.

2. Pengertian dan Hukum Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Terdapat bermacam-macam rumusan pengertian yang terkait dengan istilah perkawinan yang dikemukakan oleh ahli-ahli di bidang hukum, di antaranya : Universitas Sumatera Utara 44 1. Kawin nikah menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. 80 2. Wirjono Prodjodikoro berpendapat, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan. 81 3. K. Wantjik Saleh mengungkapkan : perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila. 82 4. Ahmad Azhar Basyir dalam sebuah bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam berpendapat bahwa : perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT. 83 5. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau “miitsaaqon goliidhan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 84 80 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1966, hal. 1. 81 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 3. 82 Ibid., hal. 6. 83 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hal. 14. 84 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 19921993. Universitas Sumatera Utara 45 6. Ditinjau dari sudut pandang UU Perkawinan dalam Pasal 1 dirumuskan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 7. Sementara itu dalam KUHPerdata, tidak ada memberikan pengertian perkawinan secara rinci. Menurut Pasal 26 KUHPerdata dikatakan, “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”, dan dalam Pasal 81 KUHPerdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Dari beberapa pengertian perkawinan di atas, terdapat beberapa perbedaan tentang rumusan pengertian perkawinan terutama terlihat jelas perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut UU Perkawinan. Perkawinan menurut KUHPerdata hanya sebagai ‘Perikatan Perdata’, sedangkan perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’. 85 Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perjanjian di sini bukan sekedar perjanjian seperti jual beli 85 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 7. Universitas Sumatera Utara 46 atau sewa menyewa tetapi perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. 86 Adanya perbedaan di antara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Perkawinan tersebut haruslah diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, caraprosedur melangsungkan perkawinan dan akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.

b. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan sebagaimana tercantum dalam pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU Perkawinan yaitu : ”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka sebuah perkawinan haruslah dilengkapi dengan syarat-syarat sahnya perkawinan untuk menjamin kepastian hukum dari perkawinan itu sendiri. Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, 86 M. Idris Ramulyo, Op. Cit., hal. 1. Universitas Sumatera Utara 47 Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan, yang menyatakan : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dari penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung daripada ketentuan agama dan kepercayaan dari masing- masing individu atau orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Syarat-syarat perkawinan ini merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut terbagi dua yaitu syarat materil dan syarat formil 87 , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UU Perkawinan, syarat-syarat materil sahnya perkawinan adalah sebagai berikut : 87 Menurut H.R. Sardjono, UU Perkawinan mengenal dua macam syarat perkawinan yaitu: Syarat Materiil : yaitu syarat-syarat yang menyangkut pribadi calon suami dan calon istri. Syarat materiil ini dibagi pula atas dua buah yaitu a syarat materiil umum yaitu syarat materiil yang berlaku untuk perkawinan pada umumnya, sedangkan b syarat materiil khusus hanya berlaku untuk suatu perkawinan tertentu, yaitu perkawinan yang dilarang. Syarat Formil : yaitu syarat yang menyangkut Universitas Sumatera Utara 48 1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2.Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3.Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4.Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5.Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang- orang tersebut yang memberikan izin. 6.Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, yang secara formil diuraikan menurut Pasal 12 UU Perkawinan direalisasikan dalam Pasal 3 sampai Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara singkat syarat formil ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1.Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan; 2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3.Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Ketentuan mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan formalitas yang harus dipenuhi sebelum berlangsungnya perkawinan dan pada saat dilangsungkan perkawinan. Lihat, Rusdi Malik, Op. Cit., hal. 32. Universitas Sumatera Utara 49 dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isterisuami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. 88 Dalam Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 PP No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat NikahPerkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan. Sementara itu untuk orang Tionghoa dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari kantor catatan sipil setempat, sedangkan orang-orang yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk dari Kantor Urusan Agama. 89 Dalam Pasal 7 UU Perkawinan juga disebutkan : 1.Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun. 88 Lihat Pasal 3, 4 dan 5 PP. No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 89 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 9. Universitas Sumatera Utara 50 2.Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 3.Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat 3 dan 4 Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat 6. Sementara itu syarat-syarat sahnya perkawinan menurut KUHPerdata secara ringkas adalah sebagai berikut : 90 1.berasas monogami Pasal 27 KUHPerdata; 2.harus ada kata sepakat dan ada kemauan bebas antara si pria dan wanita Pasal 29 KUHPerdata; 3.seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun Pasal 29 KUHPerdata; 4.ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar Pasal 34 KUHPerdata; 5.anak-anak yang belum dewasa harus mendapat izin kawin dari kedua orang tua mereka Pasal 35 KUHPerdata; 6. tidak terkena larangan kawin Pasal 30-33 KUHPerdata; Dalam hal ini asas monogami yang dimaksud dalam KUHPerdata adalah asas yang berlaku dalam perkawinan dalam KUHPerdata. Perkawinan monogami berarti setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja, begitu pula sebaliknya sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 KUHPerdata. Berbeda dengan UU Perkawinan, maka menurut KUH Perdata perkawinan semata-mata dilihat dari hubungan keperdataan, tidak berhubungan dengan masalah religiouskeagamaan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 26 KUHPerdata yang 90 Libertus Jehani, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi Calon Suami Istri, Jakarta: Rana Pustaka, 2012, hal. 6. Universitas Sumatera Utara 51 menyatakan undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata. 91 Ke semua syarat-syarat sahnya perkawinan ini adalah demi terwujudnya tujuan dari perkawinan itu sendiri yang pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan, bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari rumusan tersebut dapat dimengerti bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.

c. Akibat Hukum Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan sudah pasti akan menimbulkan akibat hukum dari perkawinan tersebut yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam kehidupan berumah tangga bagi kedua belah pihak. Di mana hak yang dimaksud adalah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak 91 Ibid., hal. 5. Universitas Sumatera Utara 52 rela haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain. 92 Sedangkan kewajiban yang dimaksud adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain. 93 Menurut KUHPerdata, hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 118, yang secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut : 94 1. suami dan istri harus setia dan tolong menolong Pasal 103 KUHPerdata; 2. suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anaknya Pasal 104 KUHPerdata; 3. setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri Pasal 105 ayat 1 KUHPerdata; 4. suami wajib memberi bantuan kepada istrinya Pasal 105 ayat 2 KUHPerdata; 5. setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya Pasal 105 ayat 3 KUHPerdata; 6. setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama Pasal 105 ayat 4 KUHPerdata; 7. suami tidak diperbolehkan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istrinya Pasal 105 ayat 5 KUHPerdata; 8. setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya Pasal 106 ayat 1 KUHPerdata; 9. setiap istri wajib tinggal bersama suaminya Pasal 106 ayat 2 KUHPerdata 10. setiap suami wajib membantu istrinya di muka hakim Pasal 110 KUHPerdata; 11. setiap istri berhak membuat suart wasiat tanpa izin suaminya Pasal 118 KUHPerdata; Dalam Pasal 111 KUHPerdata, kewajiban seorang suami dalam memberi bantuan kepada istrinya tidak diperlukan apabila : 95 1. istrinya dituntut di muka hakim karena sesuatu perkara pidana; 92 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kelima, 2004, hal. 87. 93 Ibid. 94 Libertus Jehani, Op. Cit., hal. 16-17. 95 Ibid., hal. 17. Universitas Sumatera Utara 53 2. istrinya mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian, pemisahan meja, dan ranjang, atau pemisahan harta kekayaan. Apabila dalam KUHPerdata masih terlihat ketidak seimbangan kedudukan antara suami istri dan hanya bertitik tolak dari hubungan perdata suami istri semata, maka lain halnya dengan UU Perkawinan yang sudah menempatkan keseimbangan kedudukan suami istri dalam rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan, yang intinya adalah sebagai berikut : 96 1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat; 2. hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; 3. masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; 4. suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga; 5. suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumahtempat kediaman ini ditentukan secara bersama-sama; 6. suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain; 7. suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; 8. istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; 9. jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Di samping hak dan kewajiban tersebut di atas, masih terdapat hak dan kewajiban lainnya yang juga merupakan akibat hukum dari perkawinan, yaitu 96 Ibid., hal. 38-39. Universitas Sumatera Utara 54 terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan, sebagai berikut : 97 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama Pasal 35 ayat 1; 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain Pasal 35 ayat 2; 3. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak Pasal 36 ayat 1; 4. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 36 ayat 2; 5. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37. Akibat hukum yang lainnya juga diatur dalam UU Perkawinan adalah terhadap mereka berdua sebagai orang tua ayah dan ibu nantinya dengan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka yang berupa hak dan kewajiban antara orang tua dan anak Pasal 45 sampai dengan Pasal 49, tentang kedudukan anak Pasal 42 sampai dengan Pasal 44, dan tentang perwalian atas anak Pasal 50 sampai dengan 54. 98

3. Pengertian dan Hukum Perjanjian Perkawinan

Dokumen yang terkait

Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 35 116

Keabsahan kawin kontrak ditinjau dari kitab undang undang Hukum Perdata dan undang undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 24 49

TINJAUAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH WARIS OLEH ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA.

0 0 1

PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT TERPISAH DI INDONESIA DARI PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN DI LUAR NEGERI DITINJAU DARI UNDANG - UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 1

PERJANJIAN PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 136

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Perkawinan Yang

0 0 67

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

0 0 30

Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

0 0 17

PERJANJIAN PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM

0 1 99

KEDUDUKAN HUKUM SEORANG ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN ORANG TUA YANG SEDARAH {INCEST) DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

0 1 70