TUGAS AKHIR 008

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Penggunaan motor diesel sebagai penggerak utama pada kapal tradisional sudah
menjadi hal umum. Hal ini sejalan dengan manfaatnya yang besar terhadap perkembangan
pelayaran kapal-kapal kecil terutama pada kapal tradisional. Penggunaan motor diesel
sebagai penggerak kapal dirasakan lebih banyak untungnya oleh para pemilik kapal, bila
dibandingkan dengan pemakaian layar sebagai penggerak utama pada generasi kapal-kapal
tradisional sebelumnya. Hal yang biasanya terjadi di kapal-kapal tradisional adalah
penggunaan motor diesel bukan tipe marine use, tetapi motor diesel land use. Ini terjadi
karena banyak pemilik kapal hanya mempertimbangangkan sisi ekonomi tanpa
memperhatikan perubahan karakter suatu motor diesel setelah dialih fungsikan sebagai
marine use. Dengan adanya pengalih fungsian tersebut, belum diketahui layak atau tidaknya
pemodifikasian tersebut jika ditinjau dari segi teknis maupun ekonominya. Karena hal itu
merupakan faktor yang penting terhadap jangka waktu penggunaan motor diesel tersebut.
Pada kapal-kapal penyeberangan tradisional kepulauan Sapudi–Sumenep yang
sering disebut kapal Tambangan, kebanyakan mereka menggunakan dua buah motor diesel
sebagai tenaga penggerak utama ( prime mover). Dua buah propeller dipasang sebagai
propulsor. Keberadaan dua motor diesel digunakan untuk menggantikan keberadaan motor
diesel tunggal sebagai penggerak utama kapal yang ada sebelumnya. Kedua motor diesel

tersebut biasanya memiliki merk dan ukuran yang berbeda. Penggunaan dua buah motor
penggerak ini dilakukan oleh pemilik kapal guna mendapatkan kecepatan kapal yang lebih
tinggi dari sebelumnya dan sebagai tenaga penggerak cadangan apabila terjadi kerusakan
pada salah satu mesin penggerak utamanya.
Pada pengoperasian motor diesel haruslah didukung oleh sistem-sistem yang
menjamin kerja optimum pada motor diesel. Salah satunya adalah sistem pendinginan.
Sistem pendinginan akan menjamin kebutuhan pendingin untuk mengurangi panas yang
terjadi pada saat motor diesel beroperasi. Pada kapal-kapal penyeberangan tradisional
sistem pendinginan yang digunakan umumnya adalah sistem pendinginan hopper side.
Yaitu sistem pendinginan yang menggunakan hopper/reservoir air pendingin yang dipasang

di atas silinder. Motor didinginkan waktu air mendidih dan menguap di dalam hopper
seperti air di dalam ketel. Sistem ini sangat sederhana tetapi airnya harus seringkali diisi.
Sehingga ABK kapal direpotkan dengan penyediaan air tawar di kapal.
Hal ini yang kemudian menjadi dasar para pemilik kapal untuk memodifikasi sistem
pendinginan motor diesel yang digunakan di kapal tradisional tersebut. Mereka
memodifikasi sistem pendinginan hopper side dengan cara mengganti air tawar dengan air
laut sebagai media pendingin motor diesel. Pemodifikasian dilakukan dengan cara
memasang pipa masukan air laut pada bagian atas hopper dari pipa bengkok yang terletak di
sebelah belakang propeller. Dengan tenaga kinetis yang didapat dari thrust propeller air laut

dapat terdorong ke dalam pipa menuju hopper secara terus menerus. Kemudian dikeluarkan
melalui pipa keluaran yang dipasang pada sisi atas hopper juga. Pemodifikasian ini berlaku
untuk kedua motor diesel. Penerapan sistem pendinginan pada kapal penyeberangan
tradisional tersebut adalah sistem pendinginan seri; yaitu air pendingin yang masuk dan
keluar dari hopper motor diesel pertama diteruskan masuk pada hopper motor diesel kedua
dan akhirnya keluar dari bagian atas hopper menuju outboard.
Penerapan sistem pendinginan secara seri oleh tondu (ABK) sudah dianggap dapat
memenuhi kebutuhan dari sistem pendinginan kedua motor diesel. Menurut beberapa
literatur, temperatur keluaran air pendingin harus berkisar 160oF - 180oF (71oC – 82oC)
untuk menjamin sistem pendinginan yang baik dan suhu air pendingin harus ditahan antara
70oC – 80oC untuk mencegah keausan karena korosi pada suhu rendah. Sedangkan pada
kenyataannya temperatur air laut yang masuk pada hopper motor diesel pertama adalah
29oC. Sehingga belum diketahui berapa temperatur keluaran air pendingin pada hopper
motor diesel tersebut. Dengan asumsi ini, perlu dilakukan percobaan untuk mengetahui
secara pasti temperatur keluaran air pendingin pada hopper untuk motor diesel pertama dan
temperatur inlet dan outlet pada motor diesel kedua. Sehingga dapat diketahui apakah layak
diterapkan atau tidak pemodifikasian sistem pendinginan hopper side pada kedua motor
diesel tersebut. Sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru pada motor diesel. Kasus
pada kapal Tambangan ini terjadi mungkin karena ketidaktahuan dan tidak adanya
penyuluhan kepada para tondu(ABK) mengenai sistem pendinginan yang benar pada motor

diesel.

Gambar 1.1 Sistem pendinginan yang diterapkan pada kapal tambangan

1.2. Perumusan Masalah
Hal penting yang harus diperhatikan adalah temperatur pada inlet dan outlet pada
hopper untuk kedua motor diesel. Berdasarkan beberapa literatur, temperatur keluaran air
pendingin harus berkisar 160oF - 180oF (71oC – 82oC) untuk menjamin sistem pendinginan
yang baik dan suhu air pendingin harus ditahan antara 70oC – 80oC untuk mencegah
keausan karena korosi pada suhu rendah. Sedangkan pada kenyataannya temperatur air laut
yang masuk pada hopper motor diesel pertama adalah 29oC. Hal ini akan berpengaruh pada
temperatur keluaran air pendingin hopper motor diesel pertama yang akan masuk pada inlet
air pendingin hopper motor diesel kedua. Pada motor diesel kedua temperatur air pendingin
yang masuk pada hopper harusnya sama dengan motor diesel pertama. Tetapi pada
kenyataannya temperatur air pendingin yang akan masuk pada hopper motor diesel kedua
belum diketahui secara pasti oleh tondu (abk). Temperatur inlet air pendingin pada hopper
motor diesel kedua bergantung pada temperatur outlet air pendingin hopper motor diesel
pertama. Dalam kasus ini dapat dirumuskan pokok permasalahan yaitu, bagaimana
kelayakan penerapan sistem pendinginan seri pada dua motor diesel bila ditinjau dari
temperatur air pendingin (coolant) inlet dan outlet hopper pada masing-masing motor

diesel. Dan dapat dirumuskan detail permasalahan sebagai berikut:
1. Berapa besar temperatur air pendingin (coolant) inlet dan outlet pada masing-masing
hopper motor diesel?

2. Apakah layak penerapan sistem pendinginan hopper side yang telah dimodifikasi
dan pemasangan sistem pendinginan seri pada dua motor diesel bila ditinjau dari
temperatur inlet dan outlet air pendingin (coolant) pada masing-masing hopper
motor diesel?

1.3 Batasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang ditinjau dalam penulisan ini adalah:


Analisa yang dilakukan difokuskan pada sistem pendinginan motor diesel pada
kapal penyeberangan tradisional di kepulauan Sapudi kabupaten Sumenep.



Analisa yang dilakukan hanya ditinjau dari temperatur inlet dan outlet air pendingin
dan debit pada masing-masing hopper motor diesel.




Pengukuran dilakukan pada saat kondisi laut baik dan tenang.

Gambar 1.2 Kapal penyeberangan tradisional “tambangan”.
1.4 Tujuan Penulisan
Dengan adanya permasalahan yang muncul, maka ditentukan beberapa tujuan dari
analisa ini, yaitu:
1) Untuk mengetahui secara pasti temperatur air pendingin (coolant), pada inlet dan
outlet masing-masing hopper motor diesel yang dipasang seri pada sistem
pendinginannya.

2) Menganalisa kelayakan penerapan sistem pendinginan hopper side yang telah
dimodifikasi dan pemasangan sistem pendinginan seri dua buah motor diesel, bila
ditinjau dari temperatur air pendingin (coolant) pada inlet dan outlet masing-masing
hopper motor diesel.

1.5 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini kiranya dapat memberikan beberapa manfaat dan masukan

kepada pihak pemilik dan Tondu(ABK) kapal-kapal tradisional maupun galangan- galangan
tradisional yang ada di kepulauan Sapudi dalam kaitannya pemodifikasian sistem
pendinginan dan penerapan sistem pendinginan seri pada dua buah motor diesel pada kapal
– kapal di daerah tersebut .