Analisa keragaman genetik dan struktur populasi babi hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara dan Tenggara Pulau Sulawesi

ANALISA KERAGAMAN GENETIK DAN STRUKTUR
POPULASI BABI W T A N SULAWESI (Sus celebensis)
DI SEMENANJUNG UTARA DAN TENGGARA
PULAU SULAWESI

CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

P E R N Y A T M MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMAS1
Dengan ini saya menyatakai bahwa tesis Analisa Keragaman Genetik dan
Struktur Populasi Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara
dan Tenggara Pulau Sulawesi adalah karya saya sendii dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.


Bogor, Januari 2007
Chandramaya Siska Damayanti
B151034011

ABSTRAK
CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI. Analisa Keragaman Genetik dan
Struktur Populasi Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara
dan Tenggara Pulau ~ulawesi.Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan MULADNO.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang keragaman
genetik dan struktur populasi babi hutan sulawesi (Sus celebensis) menggunakan
marker mikrosatelit. Sampel jaringan daging yang digunakan untuk isolasi DNA
diperoleh dari 62 individu S. celebensis yang hidup di semenanjung utara dan
tenggara pulau Sulawesi. Tigabelas marker mikrosatelit dipilih secara acak dan
digunakan sebagai primer dalam proses amplifikasi alel menggunakan teknik
Polymerase Chain Reaction. Analisa ukuran alel mikrosatelit dilakukan dengan
teknik elekhaforesis kapiler di dalam alat ABI PRISM 310 Genetic Analyzer
menggunakan program GeneScan 3.2.1 dan Genotyper 3.7. Frekuensi alel,
observed heterozygosity, expected heterozygosity, znd Hardy-wei~bergexact test
diitung menggunakan program GENEPOP 3.4, nilai FSTdihitung menggunakan

metode Nei, sedangkan struktur populasi dianalisa menggunakan program
STRUCTURE ver. 2. Kedua kelompok babi hutan Sulawesi di semenanjung utara
dan tenggara memperlihatkan keragaman genetik yang tinggi (HE = 0.787 dan
0.809). Terdapat perbedaan genetik yang sedang antara kelompok babi hutan
ulawesi di semenanjung utara dan tenggara (Fs~0.08). Hasil analisa
menggunakan STRUCTURE ver. 2 menunjukkan ada empat subpopulasi babi
hutan sulawesi di pulau Sulawesi, tiga subpopulasi terdapat di semenanjung utara
dan satu subpopulasi di semenanjung tenggara.

ABSTRACT

CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI. The Analysis of Genetic Variation
and Population Structure of Sulawesi Warty Pig (Sus celebensis) in North and
Southeast ~eninsul& of Sulawesi Island. Under the direction of ITA DJUWTA
and MULADNO
The aim of this study was to determine the genetic variation and population
structure of Sulawesi warty pig (Sus celebensis) using microsatellite markers.
Tissue samples for DNA isolation were obtained from 62 individuals of S.
celebensis living in north and southeast peninsulas of Sulawesi island. Thirteen
microsatellite loci were mndornly chosen as markers and used on amplification

process of microsatellite alleles using Polymerase Chain Reaction technique. The
size of microsatellite alleles were analyzed in ABI PRISM 310 Genetic Analyzer
instrument using GeneScan 3.2.1 and Genotyper 3.7. Thz aliele frequencies,
observed heterozygosity, expected heterozygosity, and Hardy Wejnberg
Equilibrium were analyzed using GENEPOP 3.4, FS=value was calculated using
Nei's methods, while population substructuring was analyzed using
STRUCTURE ver. 2. These groups of Sulawesi warty pig were found to retain
relatively high levels of genetic variability (HE= 0.787 and 0.809). There was a
moderate differentiation genetic between group of Sulawesi warty pig in north and
southeast peninsular (Fsy0.08). The STRUCTURE ver. 2 results showed there
were four subpopulations within Sulawesi warty pig population in Sulawesi
island, three subpopulations (clusters) of Sulawesi warty pig was detected within
group from north peninsular area, and one subpopulations within group from
southeast peninsular area.

O Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dun memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institzit Pertanian bogor, sebagian atau selzrruhnya dalarn

bentuk apapun, baik cetak,fotokopi, microjilm, dun sebagainya

ANALISA KERAGAMAN GENETIK DAN STRUKTUR
POPULASI BABI HUTAN SULAWESI (Sus celebensis)
DI SEMENANJUNG UTARA DAN TENGGARA
PULAU SULAWESI

CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelat
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis


: Analisa Keragarnan Genetik dan Struktur Populasi Babi Hutan

Nama
NIM

Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara dan Tenggara
Pulau Sulawesi
: Chandramaya Siska Damayanti
: B151034011

Disetujui
Kornisi Pernbirnbing

zyh -LA.
Dr. Ir. Muladno, MSA
Anggota

Dr. drh. Ita Diuwita. MPhil
Ketua


Diketahui
Ketua Program Studi Sains

Tanggal Ujian : 17 Januari 2007

Tanggal Lulus :

2 9 JAN 2007

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Analisa Keragaman Genetik dan
Struktur Populasi Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara
dan Tenggara Pulau Sulawesi ini berhasil diselesaikan.
Penelitian ini terlaksana atas dukungan dari The Stichting Dierentuin
Helpen (Consortium of Dutch Zoo), The University of Edinburgh Development
Trust, Royal Zoological Society of Scotland, Royal Zoological Society of Antwerp,
Royal Zoological Society of the North of England, Yayasan Morowali, Katopasa,
Yayasan Gunung Hijau, FK3GI Gorontalo, TNC Pdu, Steve dan Puji Oliver, serta

AH Mustari sebagaiproject counterpart.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB,
Ketua Program Studi Sains Veteriner, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB,
Dr. drh. Ita Djuwita, MPhil selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. 11. Muladno,
MSA sel3ku anggota kornisi pembimbing atas bimbiigannya selama penu!is
melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini, Dr. Peter Galbusera dan Dr.
James A. Burton yang telah banyak memberi masukan kepada penulis untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan penelitian dan analisa (we have had
a very great communication in this two years! I really appreciate it!), Dr. Alastair
A. MacDonald (thanks for the attentions and supports), Sarah Gillemot dan
Muhamad Yasin Paada yang membantu penulis dalam teknis laboratorium dan
pengurnpulan sarnpel. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Dr. drh. Retno
D Soejoedono, MS yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan studi
ini. Dr. drh. I Wayan Batan, MS, I Wayan Wisaksanayasa, SKH, dan Muhammad
Angga Wijaya, SKH sebagai teman setia dikala susah dan senang, drh. I Ketut
Mudite Adnyane, MSi, drh. Waliono Esthi Praetymingtyas, MSi, drh. Hamny,
MSi, drh. I G M Suartini, MSi, Dr. k. Takciir Saili, MSi, Ir. P e t r ~ sD
Satsoeitoeboen, MSi, Dr. drh. I Nyoma Suartha, MS, drh. Christian Bernard
Saragih, MSi teniau-teman di PS SVT, teman-tenian di Lab. Embriologi dan
Lab. Imunologi, teman-teniar, GENETIKA 21, penghuni Lab. Terpadu FKH IPB,

teman-teman WISMA RIZA (Mbak Jurn, Bang Rizal, Susan, Intan, Khalid, Bu
Ros, Bu Epi, Nisa, Mbak Arti dan Ben!).
Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orangtua,
Brigjen TNI (Pum) Drs. Subandriyo dan Ida Rosilawati, SPd, kakak Kapten Adm
Nurul Askar Jmjunan dan Cenderawasih Yulia Shanti, SPt, adii Ipda Douglas
Mahendrajaya dan Pilar Wirotama, SSos, keponakan Dmda, Griezka dan Giezha,
keluarga besar Cipto Putranto, serta suamiku tersayang Aditya Wardhana, STP,
MENGPRAC atas kesabaran, dukungan, doa dan kasih sayangnya selama penulis
menjalankan studi di PS SVT IPB ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2007
Chandramaya Siska Damayanti

RIWAYAT HIDW

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 Maret 1979 dari ayah
Brigjen TNI (Purn) Drs. Subandriyo dan ibu Ida Rosilawati, SPd. Penulis
merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA di kota

Bandung, yaitu di SDN Ciujung IV, SMPN 14, dan SMAN 1 Bandung. Pada
tahun 1997 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur
UMPTN dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Penulis mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 2001 dan gelar Dokter Hewan pada tahun
2003. Selanjutnya, pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program
master di Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

x

PENDAHULUAN

Latar Belakano ..................................................................................
..
Tujuan Penelihan...............................................................................
..
Manfaat Penelitian.............................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika Babi Hutan Asia Tenggara.............................................
Morfolcgi, Habitat, Biologi Reproduksi, d m Karakteristik Genetik
Babi Hutan Sulawesi (S. celebensis) .................................................
Peranan Studi Genetika dalam Kegiatan Konsemasi ........................
Peranan Marker DNA dalam Konsemasi Genetik ............................

BAHAN DAN METODE
..
Waktu dan Tempat Penelltian ...........................................................
..
Bahan dan Alat Penelitian .................................................................
.
.
Metode Penelltian ..............................................................................

HASIL PENELITIAN
Hasil Isolasi DNA .............................................................................
Keragaman Genetik ...........................................................................
Shuktur Populsi ...............................................................................

37
37
50

SIMPULAN DAN SAR4N .......................................................................

58

DAFTAR. PUSTAKA...............................................................................

59

LAMPIRAN ............................................................................................. 65

DAFTAR TABEL
Halaman
Tigabelas marker mikrosatelit beserta keterangan tentang nomor
akses GenBank, tipe unit berulang. sekuens. lokasi. dan suhu
annealing optimum...............................................................................

32

Ukuran. jumlah alel per l o b . dan jumlah individu yang berhasil
diketahui genotipenya di kedua kelompok babi.hutan sulawesi ..........

38

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO215 ...............................

38

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW72 ...............................

39

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW857 .............................

39

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik psda lokus SW632 .............................

40

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada l o b SW936 .............................

40

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW240 .............................

41

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO149 ...............................

41

Frekuensi ale1 dan ale1 spesilik pada lokus SO386 ...............................

42

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW951 .............................

42

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifk pada lokus SW911 .............................

42

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO224 ...............................

43

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO228 ...............................

43

Frekuensi ale1 d a ale1
~ spesifik pada lokus SO026 ...............................

44

Jumlah genotype homozigot dan heterozigot dari 13 lokus di
semenanjung utara dan tenggara ..........................................................

49

Nilai observed dan expected heterozygosity di dua kelompok babi
hutan sulawesi ......................................................................................

49

Hardy-Weinberg exact test ..................................................................

50

Nilai I-IS dan HT di ketigabelas lokus mikrosatelit..............................

51

Penentuan jumlah subpopulasi (K) babi hutan sulawesi di pulau
Sulawesi berdasarkan nilai Pr (K x ) ...............................................

51

I

21
22
23

Penentuan jumlah subpopulasi (K) babi hutan sulawesi di
semenanjung utara dan tenggara berdasarkan nilai Pr (K X ) ..........
Perbandingan kisaran ukuran alel pada S. celebensis dan spesies babi
lainnya ..................................................................................................

55

Ale1 baru yang ditemukan pada babi hutan sulawesi ...........................

56

I

52

Halaman
Babi hutan sulawesi hasil buruan penduduk untuk diionsumsi
dagingnya .............................................................................................

3

Anak babi hutan sulawesi.....................................................................

7

Babi hutan sulawesi jantan dewasa ......................................................

7

Wilayah penyebaran babi hutan sulawesi di kepulauan Sulawesi .......

8

Struktur kimia basa nitrogen ...............................................................

16

Struktur kirnia gula ribosa dan deoksiribosa dengan penomoran pada
atom karbon (C)...................................................................................

17

Nukleotida tunggal (mononuk!eotida) ..................................................

18

Pasangan basa A-T dan G-C ................................................................

18

Struktur molekul DNA untai ganda....................................................

19

Lokasi rnikrosatelit di dalam kromosom ..............................................

21

Proses slippage pada mikrosatelit ........................................................

23

Lokasi pengambilan sarnpel babi hutan sulawesi di semenanjung
utara dan tenggara pulau Sulawesi .......................................................

26

Skema proses amplifiasi dengan t e r n PCK menggunakan
metode M13 ..........................................................................................
Ale1 hoinozigot .....................................................................................
Ale1 heterozigoi ....................................................................................
Hasil elektrohresis...............................................................................
Sebaran ale1 pada lokus SO215 di semenanjung utara dan tenggara ....
Sebaran ale1 pada lokus SW72 di semenanjung utara dan tenggara ....
Sebaran ale1 pada lokus SW857 di semenanjung utara d m tenggara ..
Sebaran alel pada lokus SW632 di semenanjung utara dan tenggara ..
Sebaran ale1 pada lokus SW936 di semenanjung utara dan tenggara ..
Sebaran alel pada lokus SW240 di semenanjung utara dan tenggara ..
Sebaran alel pada lokus SO149 di semenanjung utara dan tenggara ....
Sebaran alel pada lokus SO386 di semenanjur.g utara d m tenggara ....
Sebaran alel pada lokus SW951 di semenanjung utara dan tenggara ..
Sebaran alel pada lokus SW911 di semenanjung utara dan tenggara ..

27

Sebaran alcl pada lokus SO214 di semenanjung utara dan tenggara ....

48

28

Sebaran ale1 pada lokus SO228 di semenanjung utara dan tenggara ....

48

29

Sebaran ale1 pada lokus SO026 di semenanjung utara dan tenggara ....

48

30

Bagan struktur populasi babi hutan sulawesi di pulau Sulawesi..........

52

31

Bagan struktur populasi babi hutan sulawesi di semenanjung utara ....

53

DAFTAR LAMPIRAN

1
2

3

Halaman
Konsentrasi dan status kemumian sampel DNA babi hutan sulawesi
di senenanjug utara ...........................................................................
65

Konsentrasi dan status kemumian sample DNA babi hutan sulawesi
di semenanjung tenggara ......................................................................

66

Informasi lokus mikrosatelit.................................................................

67

Latar belakang
Alam di seluruh permukaan bumi tersusun atas berbagai spesies makhluk
hidup liar yang tanpa disadari telah memberikan berbagai kemudahan dan
pelayanan pada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang bisa jadi
sangat mahal atau bahkan tidak mungkin diciptakan sendiri oleh manusia.
Berkurangnya jumlah spesies liar di dam dalarn jangka panjang dapat
memberikan dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu
sendiri.
Indonesia merupakan salah satu negara pang memiliki keragaman hayati
yang sangat tinggi.

Menempati hanya 1.3 persen wilayah permukaan bumi,

Indonesia memiliki 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptil dan
amphibi, 17 persen spesies burung, dan 25 persen spesies ikan dari seluruh spesies
hewan yang ada di bumi ini. Hal ini berarti Indonesia memiliki sekitar 600
spesies mamalia (280 diantaranya merupakan spesies endemik), 41 1 spesies reptil
(150 diantaranya mempakan spesies endemik), 270 spesies amphibi (100
diantaranya add& spesies endernik),

1.531 spesies burung (26 persen

diantaranya adalah spesies endemik), dan 2.906 spesies vertebrata bnkan ikan
(927 dian'manya adalah spesies endemik). Indonesia memiliki 30.000 sarnpai
35.000 spesies tumbuh-tumbuhan, menempati urutan 5 tertinggi di dunia.
Indonesia juga kayz akan keragaman spesies terumbu karzng, terdapat sekitar 450
spesies terumbu karang (BAF'PENAS 1993).
Kondisi hutan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Saat ini, hutan
yang tersisa di wilayah Indonesia makin lama makin berkurang. Laju degradasi
hutan di Indonesia sudah mencapai 2.8 juta hektar are per tahun (Media Indonesia
2005).

Aktifitas miillusia yang berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian

lingkungan demi untuk mendapatkan keuntungan finansial telah mengakibatkan
terjadiiya degradasi dan deforestasi hutan yang berujung pada terjadiiya
fragmentasi habitat.

Kebakaan nutan sepanjang tahun 2006 semakin

memperburuk keadaan ini dan akan berdampak luas pada seluruh ekosistem yang
ada di dalarnnya. Dalam jangka panjang kerusakan hutan dan fiagxnentasi habitat

ini akan m e n d a n h - a n populasi (population size) spesies-spesies yang zda
di dalarnnya P e n m a n ukuran populasi ini akan menyebabkan suatu spesies
menjadi rawan terhadap stochastic processes (demographic, environmental and
genetic stochasficity) yang dapat meningkatkan resiko kepunahan spesies tersebut.
Spesies dengan ukuran populasi yang kecil akan lebii beresiko terhadap kejadian
genetic drift (Amos dan Harwood 1998), inbreeding (kawin antar saudara) dan
akhimya menyebabkan p e n m a n keragaman genetik (Reed et al. 2002). Generic
drzp menyebabkan hilangnya ale1 pada suatu populasi (Halliburton 2004),
sedangkan kejadian inbreeding akan menyebabkan p e n w a n kualitas reproduksi
(Reed et al. 2002) dan menyebabkan individu menjadi lebii sensitif terhadap
patogen (O'Brien 1994).

Kedua faktor ini akan menyebabkan p e n m a n

keragaman genetik di dalam suatu populasi sedangkan keragaman genetik
m e ~ p a k a nsalah satu bagian dari keragaman hayati yang sangat berperan dalam
proses seleksi alam. Keragaman genetik yang tinggi dalam suatu populasi akan
membantu spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap pembahan-pembahan
kondisi yang tejadi pada lingkungan di sekitarnya (Rhymer 1999).
Babi hutan sulawesi atau Sulawesi Warty Pig (Sus celebensis) mempakan
sal& satu spesies mamalia endemis di Sulawesi, salah satu pulau di wilayah
Indonesia tirCur yang dikenal sebagai Wallacea bioregion (CI 2001). Babi hutan
sulawesi termasuk ke ddam Filuni Chordata, Kelas Mammalian, Ordo
Artiodactyla, Famiii Suidae, Subfamili Suinae dan Genus Sus. Walaupun sampai
saat ini jumlah dan ukuran populasi babi hutan sulawesi masih cukup aman
(IUCN 2005), narnun keragaman genetik populasi spesies ini masih belum
diketahui. Selain terancam karena semakin tingginya tingkat kemsakan hutan,
babi hutan sulawesi juga sangat rawan terhadap perburuan, baik untuk keperluan
konsumsi penduduk setempat (Alvard 2000), maupun diburu karena dianggap
sebagai hama pemsak lahan pertanian (Bailey 2000). Di bebempa wilayah di
Sulawesi, seperti Sulawesi Utara, banyak ditemukan daging babi hutan sulawesi,
dan juga babiisa yang dijual di pasar-pasar tradisional (Lee 2000; Meijaard
2002). Babi hutan sulawesi juga 'oanyak ditemukan dijual di sepaljang jalan di
wilayah Sulawesi lainnya.

Babi hutan sulawesi merupakan salah satu spesies babi, selain S. scrofa,
yang telah didomestikasi dan didistribusikan ke luar wilayah aslinya (MacDonald
1993). Babi hutan sulawesi di wilayah lain kemudian berhibridisasi dengan babi
lain keturunan S. scrofa yang menghasilkan babi-babi yang sampai saat ini
terdapat di pulau-pulau seperti Salawati, Kei Besar, Dobu, Seram, Ambon, Bacan,
Ternate, Morotai, New Guinea (Oliver et al. 1993), dan Halmahera (Larson et al.
2005).

Gambar 1 Babi hutan sulawesi hasil buruan penduduk untuk dikonsumsi
dagingnya
Adanya degradasi dan deforestasi hutan, fiagmentasi habitat dan perburuan
yang terus-menerus terjadi serta adanya percampuran genetik dengan babi
domestik S. scrofa mengakibatkan munculnya ancaman potensial yang sangat
serius bagi spesies babi hutan sulawesi di masa mendatang (MacDonald 1993).
Selain itu

masih

pengelompokkan

terus

babi,

berlangsungnya diskusi mengenai
baik

berdasarkan

morfologi

sistematika

maupun

genetik,

memperlihatkan betapa perlunya dilakukan analisa genetik terhadap spesies ini
untuk menjawab hal-ha1 yang berkaitan dengan keragaman genetik dan struktur
populasi. Beberapa metode telah digunakan untuk mengetahui keragaman genetik
dan struktur populasi suatu spesies, salah satunya adalah dengan menggunakan
marker DNA mikrosatelit.
Mikrosatelit telah digunakan untuk mengetahui keragaman genetik populasi
beruang hitam (Paetkau dan Strobeck 1994), Turdzrs helleri (Galbusera et al.
2000), kucing liar (Felis silvestris) di Skotlandia (Beaumont et al., 2001), ras babi
Turopolje (Harcet et al. 2006), populasi babi di pulau Auckland (Fan et al., 2005),

babi Taihu, Jiangqhuai, clan Dongchuan (Tan et al., 2002), bada! hdia
(Rhinoceros unicornis) (Zschoke et al. 2003), dan keragaman genetik pada
spesies-spesies lainnya

Miosatelit juga telah digunakan untuk mengetahui

struktur populasi ikan Triperygion delaisi (Carreras-Carbonell et al. 2006), rusa
Capreolus capreolus (Coulon et al. 2006), walabi (Petrogale penicillata) (Hazlitt
et al. 2006), burung robin (Pogonocichla stellata) (Galbusera et al. 2004), dan
struktur populasi pada spesies laimya.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keragarnan genetik
dan struktur populasi babi hutan sulawesi (S. celebensis) di dua semenanjung
pulau Sulawesi, yaitu semenanjung utara dan tenggara.
Manfaat penelitian
Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam usaha pemeliharaan dan
konservasi babi hutan sulawesi (S. celebensis) secara in situ dan ex-situ. Dan
penelitian ini juga bermanfaat sebagai pelengkap data genetik spesies babi hutan
sulawesi (S. celebensis) dalam upaya menyusun strategi konservasi.

Sistematika Babi Hutan Asia Tenggara

Asia Tenggara memilii keanekaragaman babi hutan yang tertinggi di
dunia (Lucchini et al. 2005). Banyak studi telah dilakukan untuk menentukan
sistematika babi hutan asia tenggara ini walaupun jumlah spesiesnya masih belum
diketahui dengan jelas.

Babi hutan sulawesi termasuk di dalam salah satu

kelompok babi hutan asia tenggara yang jumlahnya masih sangat banyak
ditemukan di Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitamya maupun di wilayah lain
di luar pulau Sulawesi (MacDonald 1993; Groves dan Grubb 1993; Oliver et al.
1993).
Groves (2001) membagi babi hutan asia tenggara ke dalam tiga kelompok,
yaitu kelompok S. scrofa, S. verrucosus, dan S. philippensis. Kelompok S. scrofa
umumnya memiliki indeks gigi taring kurang dari 100. Seluruh babi dalam
kelompok S. scrofa ini diasuklcan ke dalam satu spesies yang disebut Eurasian
Wild Pig (S. scrofa) kecuali Pigmy Hog (S. salvanius). Eurasian wild pig
ditemukan hampir di seluruh Eropa, Afrika Utara, dan Asia, termasuk di
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa., Bali, I,ornbok, dan Sumbawa. Babi dari
semenanjung dan pulau, disebut Banded Pig, b e d u r a n kecil, berambut jarang,
dengan perbedaan tengkorak yang sangat nyata, &an biasanya diklasifikasikan
sebagai S. scrofa vittatus.
Kelompok S. verrucosus memiliki indeks gigi taring sekitm 106 - 160, lurus
dan permukaan bawahnya luas. Babi dewasa dari kelompok ini memiliki kutil
(warts) pada wajahnya. Kelompok S. verrucossus terdiri dari Warty Pig (S.
verrucossus) yang ditemukan di Jawa, Madura, dan Bawean, Indochinese Pig (S.
bucculentus) yang hanya ditemukan di Laos, Palawan Pig (S. ahoenobarbus)yang
ditemukan di Palawan dan Calamianes, Sulawesi Warty Pig (S. celebensis) dari
Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sektamya, Visayan Pig (S. ceb@ons) dari
Negros, Panay, Masbate, dan Cebu, Bearded Pig (S. barbatus) dari Borneo,
Sumatera, Bmgka, Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya. S. barbatus
memiliki dua subspecies, yaitu S. b. barbatus dari Borneo dan S b. oi dari
Sumatera, Bangka, Kepulauan Riau ,dan Semenajung Malaya.

Kelompok S. philippensis memiliki indeks gigi taring yang tinggi, yaitu
sekitar 145-180, dan memiliki dua pasang kutil. Babi-babi kelompok ini terlihat
memiliki hubungan dengan kelompok S. scrofa. Kelompok S. philippensis terdiri
dari dua spesies, yaitu Philippines Pig (S. philippensis) yang berasal dari Luzon,
Mindanao, Balabac, Samar, Bohol, Catanduanes, dan Leyte, serta Mindoro Pig (S.
oliveri) yang berasal dari Mmdoro. Perbedm kedua spesies ini didasarkan pada

struktur tulang belulangnya.
Oliver (2001) mengungkapkan bahwa telah ditemukan populasi babi hutan
baru, termasuk spesies baru dari Pulau Tawi-Tawi dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya. Lucchini et al. (2005) me~emukanadanya hubu~lganintraspesifk di
antara babi-babi

hutan asia tenggara berdasarkan teknik moleMer dan

morfometrik yang akhirnya dikelompokkan ke dalam 3 kelompok. Kelompok
pertama adalah babi-babi dari Filipina (S. cebzj?ons) dan Sulawesi (S. celebensis)
yang mempertahankan karakter-karakterplesiomorphic dan merupakan kelompok
babi-babi primitif yang memiliki relic distribution. Kelompok kedua adalah
subspesies S. barbatus dari wilayah bant (western), walaupun ditemukan sediit
perbedm morfologi, tetapi terbagi ke dalarn kelompok Sumatera dan
Malaysian/Bomeo berdasarkan sekuens DNAnya.

Kelompok ketiga aaalah

kelompok yang terdiri dui S. scrofa, S. verrzrcossus, dan S. cJ. barbatus
choenobarbus, diiana dua spesies pertama terlihat m e m i l i kesamaan

morfometrik.
Morfologi, Habitat, Biologi Reproduksi, dan Karakteristik Genetik Babi
Hutan Sulawesi (S. celebensis)
Morfologi.

Di dalam Huffman (1999) dijelaskan bahwa babi hutan

sulawesi merniliki panjang badan 80-130 cm, tinggi bahu 70 cm, dan berat 40-70
kg. Warna rambut umumnya hitam, sering disisipi dengan warna kuning atau
putih, atau coklat kemerahan, kaki-kaki relatif pendek, ekor panjang dan
berambut. Bagian ventral terlihat lebih terang hingga putih/kuning krem sesuai
usia dan terlihat garis lebih gelap di bagiaq dorsal. Ada jambul pada bagian dahi
dan garis kuning mencolok mengelilmgi moncong. Anak babi dilahirkan dengan
garis-garis di sepanjang tubuhnya yang kemudian menghilang pada umur sekitar 6

bulan. Jantan dewasa memiliki tiga bagian kutil di wajah dan yang terbesar
terletak di preorbital. Kutil ini terbentuk sempuma setelah umur 8 tahun.

Gambar 2 Anak babi hutan sulawesi, terlihat garis-garis kekuningan di sepanjang
tubuhnya

Gambar 3 Babi hutan sulawesi jantan dewasa, terlihat bagian kutil terbesar pada
wilayah preorbital

Habitat. Babi hutan sulawesi hidup di berbagai kondisi lingkungan yang

beragam di kepulauan Indonesia, yaitu di hutan hujan, rawa, padang rumput, dan
area pertanian. Babi hutan ini juga dapat ditemukan di hutan lumut dengan
ketinggian sampai 2.300 m di atas permukaan laut (Huffman 1999). Babi hutan
sulawesi berasal dari pulau Sulawesi termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya
yaitu Selayar, Buton, Muna, Peleng, Lembeh dan kepulauan Togian (MacDonald
1993), tetapi banyak penduduk yang membawa babi hutan ini keluar dari
kepulauan Sulawesi menuju Pulau Buru, Hdmahera, Seram, Flores, Timor, Pulau
Roti, Simeleu dan Nias (Groves dan Grubb 1993). Diduga babi hutan sulawesi
dahulu dibawa ke Mduku dan sepanjang Lesser Sunda Chain sebagai hewan
peliharaan yang kemudian dilepaskan untuk ditangkap jika diperlukan.

Gambar 4

Wilayah penyebaran babi hutan sulawesi di kepulauan Sulawesi
(ditunjukkan oleh warna hijau) (MacDonald 1993 diacu dalam
Huffman 1999)

Babi hutan sulawesi biasanya hidup berkelompok (McDonald 1993). Unit
terkecil kelompok tersebut merupakan kelompok keluarga, 2-3 kelompok
keluarga membentuk kelompok yang lebih besar (Huffman 1999). Jantan dalarn

benunur 18 bulan. Babi hutan sulawesi diduga meiniliki sistexn reproduksi yang
mirip dengan anggota genus Sus lainnya (Nowak 1999 diacu dalam Noel 2004).
Karakteristik genetik. Karakteristik genetik babi hutan sulawesi belum
banyak diketahui.

Bosrna ef al. (1991) melakukan studi tentang perbandingan

sitogenetik dari beberapa genus Sus, yaitu S. verrucosus, S. celebensis dan S.

scrofa vittatus. Dari studi ini diketahui bahwa S. verrucosus, S. celebensis dan S.
scrofa vittatus memiliki 38 kromosom diploid. Morfologi dan ukuran pita C (Cbands) pada kromosom 10 dari ketiga spesies tersebut saling berbeda. Pita C
merupakan metode pewarnaan kromosom untuk memvisualisasikan sentromer
(Lewin 2004). S. verrusosus dan S. celebensis memiliki kromosom Y yang lebih
besar dari kromosom Y S. scrofa. S. verrucosus, S. celebensis, dan S. scrofa
memilii pola pita G (G-bands)yang berbeda-beda pada bagian tangan kromosom
Y-nya.

Pita G merupakan metode pewarnaan Giemsa untuk mengetahui

karakteristik kromosom, yang ditunjukkan dengan adanya pita-pita G pada
kromosom. Area pita G merupakan area kromosom yang mengandung sedikit
kandungan basa nitrogen G-C dibandingkan dengan area interbands. Perbedaan
kariotipe (kromosom 10 dan kromosom Y) pada ketiga spesies ini menunjukkan
bahwa mereka adalah spesies yang berbeda.
Beranan Studi Genetika dalam Kegiatan Konsewasi
Keanekaragaman hayati (biodiversity) dibagi menjadi tiga kategori dasar,
yaitu keragaman genetik, keragaman spesies, dan keragaman ekosistem
(Frankham et al. 2002). Keragaman genetik merupakan variasi genetik di dalam
setiap spesies yang mencakup aspek biokirnia, struktur, dan sifat organisme yang
ditumnkan secara fisik dari induknya dan dibentuk dari DNA. Keragaman spesies
merupakan variasi seluruh tumbuhan, hewan, fungi, dan mikroorganisme yang
masing-masing bertumbuh dan berkembangbiak sesuai dengan karakteristiknya.
Keragaman ekosistem merupakan variasi ekosistem, dimana ekosistem adalah
unit ekologis yang mempunyai komponen biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi, dan antar komponen-komponen tersebut terjadi penyambilan dan
perpindahan energi.

Kegiatan konservasi diperlukan untuk mempertahankan

keanekaragaman hayati tersebut, dimana saat ini kerusakan lingkungan &bat

ulah manusia tidak hanya ~llengurangipopulasi spesies hewan dan tumbuhan,
tetapi juga menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah (Dhondt 1996).
Ilmu konservasi biologi mempelajari individu dan populasi yang sudah
terpengaruh oleh kemsakan habitat, eksploitasi, dan pembahan lingkungan.
Informasi ini digunakan untuk membuat suatu keputusan yang dapat
mempertahankan keberadaan suatu spesies di alam. Sudah lebih dari satu dekade
ini, studi genetik digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam
dalam pengambilan keputusan tersebut karena, dengan studi genetik, informasi
tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, temtama pada
spesies-spesies yang terancam punah, dapat diketahui (Hedrick 2001; Sunnuck
2000).

Perkembangan teknik molekuler dewasa ini, seperti penemuan teknik

Po&rnerase Chain Reaction (PCR) yang mampu mengamplifikasi untai DNA
hingga mencapai konsentrasi tertentq penggunaan untai DNA lestari (conserved)
sebagai marker dalam proses PCR, penemuan lokus mikrosatelit yang
hipervariabel, dan penemuan metode sekuensing DNA, telah menyebabkan ilmu
genetik molekuler mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam studi biologi
suatu populasi (Sunnuck 2000).

Terobosan-terobosan ini, bersanlaan dengan

berkembangnya teknik pemode:an

matematika melalui program-program

komputer, telah mempermudah para peneliti untrlk mendapatkan data genetik
suatu populasi yang sangar berguna d a l m merancang program konsemasi suatu
spesies tertentu.
Penerapan studi genetik dalam permasalahan konsen~asididasari oleh teori
genetika populasi. Genetika populasi mempakan salah satu cabang ilmu biologi
populasi yang mempelajari tentang faktor-faktor yang menentukan komposisi
genetik suatu populasi dan bagaimana faktor-faktor tersebut berperan dalam
proses evolusi (Halliburton 2004). Genetika populasi juga meliputi studi terhadap
berbagai faktor yang membentuk struktur genetik suatu populasi dan
menyebabkan pembahan-perubahan evolusioner suatu spesies sepanjang waktu
(Balloux dan Lougon-Mouli 2002).
Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam kejadian evolusi
pada suatu populasi, yaitu mutasi, rekombinasi, seleksi dam, genetic drift, gene
flow, dan perkawinan yang tidak acak (Fan et al. 2002; Halliburton 2004).

Faktor-faktor tersebut akan memunculkan keragaman genetik pada suatu populasi,
dan keragamm genetik merupakan informasi yang paling berguna untuk
memaharni informasi tentang kekuatan-kekuatan yang menyebabkan evolusi
(Cavalli-Sforza 1998).

Memahami dan mempertahankan keragaman genetik

suatu populasi sangat penting dalam konsewasi karena keragaman genetik yang
tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahanpembahan yang terjadi di liigkungan sekitarnya (Rhymer 1999).
Mutasi didefinisikan sebagai segala pembahan di dalam material genetik
yang akan ditunmkan ke generasi selanjutnya Mutasi dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, di antarmya adalah kesalahan saat proses replikasi DNA,
unequal crossing over, chromosome breakage, atau meiotic disjunction. Mutasi

merupakan sumber utama dari semua keragaman genetik. Tanpa mutasi, tidak
akan ada keragaman genetik dan berarti tidak akan ada evolusi.

Rekombinasi mempakan penyebab kedua munculnya keragaman genetik.
Rekombiiasi menyebabkan kombiiasi baru suatu pasangan alel, tetapi tidak
memunculkan alel baru. Hal ini menjadi penting karena fenotip, yang merupakan
hasil dari interaksi berbagai gen, sangat berperan dalam proses seleksi dam.
Kombinasi b m suatu pasangan alel dapat memicu munculnya fenotip baru pada
suatu individu.
Seleksi darn merupakan i&e yang dilontarkan oleh Charles Darwin yang
menyatakan

bahwa

suatu

individu

yang

memiliki

keragaman

yang

mengmtungkw. akan berthan hidup dan bereproduksi lebih baik dibandingkan
dengan individu lain di dalam populasi. Mereka akan memilki keturunan yang
lebih banyak, dan menunmkan keragaman yang d i l i k i n y a pada keturunannya
tersebut. Oleh karena it^^, keragaman ini akan semakin banyak pada generasi
berikutnya.
Genetic drift menyebabkan perubahan frekuensi alel sepanjang waktu

sebagai akibat dari pemilihan gamet dan gen-gennya secara acak pada saat proses
pembentukkan suatu generasi baru berlangsung. Karena sifatnya yang sangat
acak,

generic

menguntungkan.

drzj?

dapat

menyebabkan

eliiasi

keragaman

yang

Dalam jangka panjang, genetic drift memiliki efek yang

bertolak belakang dengan mutasi, genetic drzj? akan m e n d a n keragaman

genetik di M a m populasi dan akan memunculksn perbed=

genetik antar

populasi (Hart1 and Clark 1997).
Geneflow akan tejadi pada saat suatu individu berpindah dari satu area ke

area lain, bahkan antar populasi. Jika individu-individu tersebut dapat bertahan
hidup dan bereproduksi di tempat b m y a , maka mereka akan memasukkan gengen mereka ke dalam lingkungan atau populasi harunya dan pada saat inilah gene
flow tejadi. Gene flow menyebabkan populasi-populasi memiliki genetik yang

semakin mirip satu sama lain dan dalam jangka panjang gene flow akan
menimbulkan efek yang bertolak belakang dengan genetic drifi.
Faktor lain yang mempengmhi keragaman genetik adalah kejadian
perkawinan yang tidak acak. Peristiwa ini tejadi jika individu-individu yang
melakukan perkawinan merupakan individu-individu yang secara genetik saling
berhubungan satu sama lain.
Dalam Halliburton (2004) disebutkan bahwa perhitungan dasar pada
genetika populasi meliputi frekuensi alel dan genotip. Dua komponen ini dapat
dihitung dari sarnpel individu-individu dalam suatu populasi, dan kedua
komponen ini akan memberikan informasi tentang seberapa banyak keragaman
gene& yang ada di dalam suatu populasi dan seberapa besar persamaan atau
perbedaan aiitar dua populasi.

Kemgaman genetik dapzt terlihat dari nilai

heterozygosify. Heterozygosity didefinisikan sebagai proporsi individu dalam

suatu populasi yang membawa dua alel berbeda dalam satu lokus (Ellegren 2004).
Rataan observed heterozygosity didefinisikan sebagai proporsi ale1 beterozigot
pada seluruh lokus, sedangkan expected heterozygosify diinterpretasikan sebagai
probabilitas bergabungnya alel-ale1 yang berbeda sebagai akibat dari pemilihan
kopi-kopi gen secara acak (Halliburton 2004). Sedangkan untuk melihat seberapa
besar persamaan atau perbedaan antar populasi dapat diliiat dari nilai F-statistik.
Sedangkan prinsip dasar dalam genetik populasi adalah prinsip HardyWeinberg. Prinsip Hardy-Weinberg menduga bahwa, dalam kondisi tertentu,
,

frekuensi alel dan genotipe akan tetap konstan dalam suatu populasi, dan
keduanya saling berhubungan satu sama lain.

Kondisi-kondisi tertentu yang

dimaksud dalam prinsip Hardy-Weinberg meliputi reproduksi antar individu yang
dilakukan secara seksual dan acak, tidak ada seleksi dam, kejadian mutasi

diabaikan, tidak ada individu yang mas& atau keluar dari suatu populasi, dan

ukuran populasi yang cukup besar. Jika kondisi-kondisi ini terpenuhi oleh suatu
populasi, maka populasi tersebut disebut sebagai populasi yang berada dalam
keseimbangan Hardy-Weinberg (Hardy-Weinberg Equilibrium).
Keseimbangan Hardy-Weinberg sangat penting di dalam konservasi dan
kejadian evolusi genetik, karena penyimpangan dari keseimbangan HardyWeinberg ini mempakan dasar untuk mendeteksi kejadian inbreeding,
fiagmentasi populasi, rnigrasi, dan seleksi (Hart1 dan Clark 1997).

Peranan Marker DNA dalan Konservasi Genetik
Menganalisa keragaman genetik pada level DNA akan memberikan
keuntungan yang berlipat ganda d i b a n d i i a n dengan analisa yang dilakukan
pada level protein karena informasi yang terdapat pada sekuens DNA jauh lebih
banyak daripada informasi yang ada pada sekuens protein (Cavalli-Sforza 1998;
Hanotte dan Jianlin 2005). Beberapa marker DNA telah digunakan dalam analisa
genetik suatu populasi, yaitu DNA mitokondria, lokus Major Histocompatibili~
Complex (MHC), Single Nucleotide Polymorphism (SNP) d m mikrosatelit pada
kromosom Y ymg diperoleh secara paternal, d m !okus mikrosateiit autosomai
yang diperoleh secara bipaiental (Murray 1996; Hanotte dan Jianlin 2005).
Beberapa hal yang periu diperhatikan dalam memilih marker DNA dalam analisa
keragaman genetik suatu populasi di antaranya adalah bahwa polimorfisme yang
terdapai pada marker DNA bersifat netrai, dan keragaman geoomik suatu populasi
dapat diwakili hanya dengan penggunaan sejumlah lokus yang independen
(Hanotte dan Jianlin 2005).
Pemilihan marker DNA disesuaikan dengan tujuan analisa yang akan
dicapai. Untuk analisa keragaman genetik dan struktur populasi, marker DNA
yang umum digunakan lebih dari satu dekade terakhir ini adalah mikrosatelit,
karena sifatnya yang polimorfik dan kodominan (Jarne dan Lagoda 1996).
Milcrosatelit dapat digunakan untuk sejumlah analisa molekuler seperti pemetaan
genetik, linkage anclysis dalam kaiWya

dengan gen penyebab penyakit tertentu,

dan sejumlah analisa genetik populasi.

Dalam analisa genetik populasi,

keragaman lokus mikrosatelit telah digunakan untuk mengetahui keberadaan

hibridisasi antar spesies.

Perbandmgan derajat keragaman mikrosatelit antar

spesies dan populasi juga berguna dalam penilaian keragaman genetik secara
keseluruhan. Miosatelit juga dapat digunakan untuk menduga ukuran populasi
(Spong dan Hellborg 2002), derajat substruktur populasi termasuk jumlah migrasi
antar subpopulasi, serta hubungan genetik di antara subpopulasi yang berbeda
(Murray 1996). Selain itu mikrosatelit juga telah digunakan dalam analisa silsilah

. dan kekerabatan, serta sejarah populasi (Zhang dan Hewitt 2003).

Data-data

yang diperoleh dari analisa genetik populasi inilah yang kemudian digunakan
sebagai landasan untuk merancang program konservasi terhadap suatu spesies
tertentu, terutama bagi spesies-spesies yang terancam punah.
Asam deoksiribonukleat (DNA).

Ivfakhluk hidup menggunakan

Deoxyribonucleic Acid (DNA) atau asam deoksiribonukleat untuk menyimpan

informasi genetik dan m e n d a n n y a pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu
DNA disebut juga sebagai material genetik suatu individu. DNA dapat ditemukan
di dalam inti sel, mitokondria, clan Moroplas. DNA inti adalah DNA linear yang
ditemukan di dalam inti sel yang membawa kode untuk fenotip, yaitu sifat
tarnpilan fisik suatu individu. DNA inti dikemas terpisah-pisah dalam kromosomkromosom yang kemudian d i t d a n ke generasi selanjutnya. Seiuruh DNA
yang ada di dalam satu set kromosom suatu organisme kemudian disebut dengan
genom.
DNA mitokondria (mtDNA) adalah DNA sirkuler yang ada di dalam
mitokondria, yaitu organel sel yang berperan dalam metabolisme sel. Uliwan
DNA mitokondria sangat pendek, biasanya kurang dari 17.000 pasang baa, dan
tersusun atas gen yang mengontrol metabolisme selular. Jika setengah dari DNA
inti diperoleh dari garis maternal clan setengah lagi diperoleh dari garis paternal,
maka tidak demikian dengan mtDNA.

Seluruh mtDNA diperoleh dari garis

maternal.
DNA Moroplas (cpDNA) adalah salah satu DNA yang d i i l i k i oleh
tumbuhan selain DNA inti dan mtDNA.

DNA kloroplas terdapat di dalam

kloroplas, yaitu organel yang hanya ada pada tumbuhan dan berperan untuk
fotosintesis.

DNA Moroplas berbentuk sirkuler berukuran antara 120.000-

160.000 pasang basa dan menyimpan berbagai gen yang berhubungan dengan

proses fotosintesis. DNA kloroplas diperoleh secara maternal atau paternal, dan
cpDNA bersama dengan mtDNA, diturunkan ke generasi selanjut~yadi dalam
sitoplasma benih.
DNA me~p&aII makromolekul untai ganda yang tidak mudah msak
sehingga DNA dapat tersimpan dengan sangat baik pada es atau tulang-tulang
fosil hingga beribu-ribu tahun lamanya (Robinson 2005). Faktor yang
bertanggungjawab terhadap kemampuan DNA untuk tetap bertahan dalam kondisi
baik selama beribu-ribu tahun lamanya adalah struktur kimia penyusunnya yang
menyebabkan DNA tersusun kompak dan sangat kuat. Secara kimiawi, DNA
tersusun atas tiga komponen, yaitu basa yang kaya akan nitrogen, gula
deoksiribosa, dan fosfat. Ketiga komponen ini bergabung membentuk nukleotida,
dan ribuan nukleotida kemudian saling menyambung dan berpasang-pasangan
untuk membentuk untai DNA yang panjang.
Dalam Muladno (2002) disebutkan bahwa setiap molekul DNA merniliki
ratusan kopi keempat basa nitrogen berikut, Adenine (A), Guanine (G), Thymine
(T), dan Cytosine (C). Setiap basa tersusun atas atom karbon (C), hidrogen @I),
nitrogen (N), dan oksigen (0).Keempat basa nitrogen ini berasal dari dua
kelompk basa, yaitu purin dan pirimidii. Secarz hdah,

pu6n berarti stnktur

yang tersusun atas dua cincin, sedangksn pifimidin adalah stnlktur cincin tunggal
dengan enam sisi. Basa purin yang ada dalam DNA adalah adenine (A) dan
guanine (G), sedangkan yang terrnaz.uk basa pirinidii adalah thymine (T) dan
cytosine (C).

Adenine

Guanine

Thymine

Cytosine

Gambar 5. Struktur kimia basa nitrogen (Wikipedia 2007)

Informasi dalam DNA dibawa oleh masing-masing bass. Untuk dapat
membuat nukleotida yang lengkap, basa-basa ini hams melekat pada molekul
deoksiribosa dan fosfat. Deoksiribosa mernpakan gula ribosa yang telah
kehilangan satu atom oksigen. Ketika tubuh memecah Adenosine TriPhosphate

(ATP), ribosa dibebaskan dan molekul fosfat masih melekat padanya. Ribosa
menghilangkan satu atom oksigen untuk menjadi deoksiribosa dan tetap berikatan
pada molekul fosfat yang diperlukan untuk mengubah basa tunggal menjadi
nukleotida. Ribosa juga merupakan unsur penyusun RNA di samping sebagai
prekursor untuk deoksiribosa. Kelompok hidroksil (-OH), yang terletak pada
posisi 3' struktur ribosa dan deoksiribosa mernpakan kelompok aktif, dimana
secara kimiawi atom oksigen pada kelompok ini bebas berikatan dengan molekd
lain, dalam hal ini molekul fosfat.

Ribosa

Deoksiribosa

Gambar 6 Struktur kirnia gula ribosa dan deoksiribosa dengan penomoran pada
atom karbon (C) (modifikai dari Robinson (2005)).
Nukleotida hanya mampu saling berhubungan dengan menyambungkan
molekul fosfat pada gula. Molekul fosfat akan berikatan dengan molekul gula di
posisi 5', dan gugus hidroksil pada posisi 3' dari rnolekul gula juga akan berikatan
dengan molekul fosfat. Oleh karena itu, biasanya bagian ujung molekul fosfat
disebut 5' (5-prime) end, dan bagian ujung molekul gula disebut 3' (3-prime)
end Ikalan b a a nitrogen pada &a disebut ikatan glikosidik (Alberts et ai.
2004), sedangkan ikatan antara moleknl fosfat dan dua moleknl gula pada untai
polinukleotida disebut sebagai ikatan fosfodiester.

(OH - ILibole) pento*
( H-Dmrrribore)

Gambar 7 Nukleotida tunggal (mononukleotida)
Setelah selesai terbentuk, untai-untai DNA tidak akan berdiri sendiri tetapi
akan

selalu

mencari

pasangannya

masing-masing

untuk

membentuk

makromolekul DNA un??ganda. Adenine (A) akan szlalu berpasangan dengan
thymine (T), sedangkan guanine (G) akan selalu berpasangan dengan cytosine (C).

Masing-masing pasangan basa pada kedua untai DNA tersebut dihubungkan
dengan ikatan hidrogen yang jumlahnya berbeda. Pasangan A-T memiliki dua
ikatan hidrogen dan pasangan G-C memiliki tiga ikatan hidrogen.

Guanine

Adenine

Gambar 8

Cytosine

Thymine

Pasangan basa A-T dan G-C, ikatan hidrogen ditunjukkan dengan
garis putus-putus (Wikipedia 2007)

Sedangkan molekul gula dan fosfat yang saling terhubung pada masingmasing untai akan membentuk backbone dari molekul DNA untai ganda. Karena
pengaturan untai nukleotida selalu dimulai dari 5' ke 3', maka kedua untai DNA
yang berpasangan akan berada dalam kondisi antiparalel atau berlawanan arah,
jika tidak maka posisi atom-atomnya akan salah dan kedua untai tidak akan
tergabung. Kondisi yang antipararel ini menyebabkan kedua untai DNA saling
melilit seperti spiral karena sisi molekul saling tertarik ke arah yang berlawanan,
seperti terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Struktur molekul DNA untai ganda (Wikipedia 2007)

Mikrosatelit. Mikrosatelit, dan juga minisatelit, dikenal sebagai Simple
Sequence Repeats (SSRs), Short Tandem Repeats (STRs), dan Variable Number
of Tandem Repeats (VNTRs), yang merupakan unit nukleotida DNA yang
berulang secara tandem. Satu unit mikrosatelit memiliki panjang 1-6 pasang basa
(bp) (T6th et al. 2000; Li et al. 2002; Selkoe dan Toonen 2006), sedangkan satu

unit minis~teliimemiliki panjang DNA berulang identik sekitar 15-70 bp (Murray
1996).
Mikrosatelit banyak dimiliki oleh sel-sel eukariot dan relatif jarang pada
sel prokariot (Li et al. 2004). Mikrosatelit banyak ditemukan di dalam genom
(Selkoe dan Toonen 2006), termasuk di dalam genom-genom bakteri terkecil
(Field dan Wills 1996; Hancock 1996). Mikrosatelit ditemukan di dalam segmen
yang mengkode protein maupun yang tidak mengkode protein (T6th et al. 2000),
namun lebih sering ditemukan pada segmen DNA yang tidak mengkode protein
(Li et al. 2002). Analisa awal pada genom manusia memperlihatkan bahwa 3%
sus~mangenom terdii atas mikrosatelit, dan genom manusia memiliki lebih dari
satu juta lokus mihosatelit (Ellegren 2004). Penyebaran mikrosatelit secara acak
di dalam genom kemungkinan disebabkan karena pengaruhnya dalam penyusunan
kromatin, replikasi DNA, siklus sel, Mismatch Repair System dan lain-lain (Li et
~1.2004).
Panjang lokus mikrosatelit biasanya beragam antara 5 sampai 40 unit
berulang, tetapi ulangan unit yang lebih panjang dari 40 unit juga masih mungkin
terjadi (Selkoe dan Toonen 2006). Unit yang t e r a dari 1 (mono-), dua (di-),
tiga (ti-) dan empat (tetra-) nukleotida merupakan ripe utama mikrosatelit, tetapi
unit y u ~ gterdiri dari lima (penta-) dan enam (hexa-) nukleotida juga masih dapat

dikategorikan sebagai mni.kosatelit (Ellegren 2004). Mikrosatelit dengan unit
nukleotida yang panjang jarang terdapat pada prokariot (Ellegren 2004). Unit
nukleotida mikrosatelit yang panjang pada prokariot biasanya berhubungm
dengan faktor virulen dan berperan sebagai translation and transcriptional
'witches' (Himmelreich et al. 1996).

Trinukleotida dan hexanukleotida

merupakan unit mikrosatelit yang paling banyak ditemukan pada segmen DNA
yang mengkode protein karena kedua unit mikrosatelit tersebut tidak
menyebabkan terjadinya j?amesh$t

mutation (T6th et al. 2000) yaitu mutasi

genetik akibat penambahan dan penghilangan sejurnlah nukleotida yang
menyebabkan kesalahan pada proses penyusunan kodon dan tmnslasi sehingga
niengakibatkan pembahan pada sekuens dan struktur protein yang dihasilkan
(Raes dan Van de Peer 2005). Mutasi mikrosatelit trinukleotida pada manusia

diketahui terlibat dalam kejadian penyakit neurogeneratif (Kashi dan King 2006),
seperti penyakit Huntington danfragile X (Schliitterer 2000).
Sekitar 48-67% mikrosatelit yang d