Studi efikasi ekstrak daun kisampang< Mekicope denhamii terhadap ektoparasit pada ayam

STUDI EFIKASI EKSTRAK DAUN KISAMPANG (Melicope
denhamii) TERHADAP EKTOPARASIT PADA AYAM
KAMPUNG YANG ADA DI BAGIAN SAYAP

NINA TRI YULIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK

NINA TRI YULIANTI. Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope
denhamii) Terhadap Ektoparasit Pada Ayam Kampung Yang Ada Di Bagian
Sayap. Dibimbing oleh AHMAD ARIEF AMIN dan SRI RAHAYU.
Penyakit unggas yang disebabkan oleh parasit merupakan ancaman yang
serius, karena adanya parasit yang berfungsi sebagai vektor. Hal ini jika tidak
diantisipasi dan ditangani dengan tepat akan menyebabkan penyakit yang dapat
menyebar dengan cepat hingga terjadi kematian pada sebagian besar atau seluruh
ayam (Darmana 2003). Menurut Wiharto (1985) penyakit yang disebabkan oleh

parasit dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni gangguan oleh ektoparasit
seperti lalat (flies), kutu (lice), caplak (tick), tungau (mite), sieur/gurem (dull) dan
pinjal (flea) serta gangguan oleh endoparasit seperti cacing. Gangguan ektoparasit
pada ayam menimbulkan rasa tidak tenang, gatal, kerusakan bulu, gangguan
pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai inang perantara bagi
penyakit lainnya, seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cacing dan virus.
Menurut Rasyaf (2004) penyakit kutu cukup banyak menyerang
peternakan ayam kampung, walaupun tidak mematikan tetapi cukup mengganggu.
Penyakit kutu dapat terjadi karena kandang yang kotor dan kurang sinar matahari.
Hal ini terjadi akibat salah dalam merancang kandang dan kebersihan kandang
yang kurang dijaga. Tempat-tempat yang biasa digunakan untuk bertelur juga
dapat menjadi sarang kutu.
Pengendalian terhadap ektoparasit biasanya dilakukan dengan
menggunakan insektisida sintetis yang dapat mengakibatkan keracunan pada
manusia, keracunan pada hewan ternak, polusi lingkungan serta hama (serangga)
menjadi resisten. Untuk mengurangi dampak penggunaan insektisida sintetis,
penggunaan insektisida nabati merupakan alternatif pilihan karena tidak
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan kesehatan (Abdillah 2004).
Dalam penelitian ini digunakan ekstrak methanol daun kisampang
(Melicope denhamii) sebagai alternatif insektisida nabati. Tanaman Kisampang

banyak ditemukan di kepulauan Jawa, walau begitu pemanfaatan dari tanaman ini
sudah meluas di seluruh Indonesia (Anonim 1995). Ekstrak dari daun Kisampang
berpotensi untuk insektisida. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber
potensial insektisida botani adalah Meliaceae, Annonaceae, Asterodeae, dan
Rutaceae (Syahputra 2000).
Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Agustus 2005 di
laboratorium Entomologi, bagian Parasitologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan
dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak
methanol daun Kisampang (Melicope denhamii) terhadap ektoparasit pada ayam
kampung, pengamatan dilakukan terhadap jenis dan populasi dari ektoparasit
pada bagian sayap. Dari hasil penelitian diperoleh dua jenis ektoparasit, yaitu
ektoparasit kutu dengan genus Menopon, Menachantus, Lipeurus, Goniodes dan
ektoparasit tungau. Semakin tinggi tingkatan konsentrasi ekstrak methanol daun
Kisampang yang digunakan, semakin berkurang juga populasi dari masing-masing
jenis ektoparasit yang dikoleksi.

STUDI EFIKASI EKSTRAK DAUN KISAMPANG (Melicope
denhamii) TERHADAP EKTOPARASIT PADA AYAM
KAMPUNG YANG ADA DI BAGIAN SAYAP


NINA TRI YULIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Skripsi

:

Nama mahasiswa
Nomor Pokok


:
:

Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope
denhamii) Terhadap Ektoparasit Pada Ayam
Kampung Yang Ada Di Bagian Sayap
Nina Tri Yulianti
B04101163

Disetujui

Dr. drh. H. Ahmad Arief Amin
Pembimbing I

Ir. Sri Rahayu, Msi
Pembimbing II

Diketahui


Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus :

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Agustus 2005
adalah Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope denhamii) Terhadap
Ektoparasit Pada Ayam Kampung Yang Ada Di Bagian Sayap.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Drh.
H. Ahmad Arief Amin dan ibu Ir. Sri Rahayu, Msi selaku pembimbing, serta Dra.
Iis Arifiantini, Msi selaku pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Entomologi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar, kakak-kakakku,
keponakanku athar, terutama ayah dan ibu tercinta yang selalu mendukung dan
memberikan dorongannya. Mas wahyu atas dukungan, motifasi, saran dan kritik
serta kesabarannya selama ini. Teman-teman angkatan’38, Dewi dan Endah

sebagai rekan satu penelitian serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu.
Penulis menyadari tulisan ini tidaklah sempurna, maka dari itu penulis
berterimakasih atas saran dan kritik demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2006

Nina Tri Yulianti

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 22
Juli 1983 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah bernama Kolonel Drs.
Supardi MM. dan ibu bernama Siti Harsumi.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Sukamaju Baru
II Cimanggis Depok pada tahun 1995, Sekolah Menengah Pertama di SLTP
Negeri 1 Cimanggis (saat ini menjadi SMP Negeri 7 Depok) pada tahun 1998, dan
Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Depok pada tahun 2001. Pada tahun
2001, penulis diterima menjadi mahasiswa di Fakultas kedokteran Hewan, Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL………………………………………………………… i
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. ii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. iii
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………… 1
Tujuan ……………………………………………………………. 3
Ruang Lingkup …………………………………………………… 3
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam kampung …………………………………………………… 4
Klasifikasi ………………………………………………… 4
Ciri dan Morfologi ……………………………………….. 4
Kandungan dan manfaat …………………………………. 5
Penyebab Penyakit ……………………………………….. 5
Ektoparasit Pada ayam kampung ………………………………… 6
Kutu ………………………………………………………. 6
Klasifikasi ………………………………………… 7

Ciri dan Morfologi ……………………………….. 8
Siklus Hidup ……………………………………… 11
Gejala Klinis ……………………………………… 12
Tungau ……………………………………………………. 13
Klasifikasi ………………………………………… 13
Ciri dan Morfologi ……………………………….. 14
Siklus Hidup ……………………………………… 15
Gejala Klinis ……………………………………… 17
Pengendalian ……………………………………………… 18
Tanaman Kisampang ……………………………………………… 20
Klasifikasi ………………………………………………… 20
Ciri dan Morfologi ………………………………………... 21
Kandungan dan Manfaat ………………………………….. 22
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu ………………………………………………..
Alat dan Bahan ……………………………………………………
Metode penelitian
Perlakuan ayam ……………………………………………
Pembuatan Ekstrak Daun Kisampang …………………….
Koleksi Ektoparasit ……………………………………….

Pembuatan Slide Preparat …………………………………
Pengamatan ……………………………………………………….
Analisa Data ………………………………………………………

25
25
25
25
26
26
27
27

HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………

.…….

28

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ……………………………………………………….
Saran ………………………………………………………………

31
31

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….

32

LAMPIRAN ……………………………………………………………

... 35

DAFTAR TABEL

Halaman

1


Perbandingan antara Kutu dengan Tungau ……………….

2

Rataan Jumlah Ektoparasit Di Bagian Sayap Pada MasingMasing Kelompok Perlakuan ……………………………..

6

28

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Kutu genus Goniodes ……………………………………..

9

2

Kutu genus Lipeurus ……………………………………....

9

3

Kutu genus Menachantus …………………………............

10

4

Kutu genus Menopon ……………………………………...

10

5

Siklus Hidup Kutu ………………………………………...

11

6

Telur Kutu Pada Dasar Bulu ……………………………...

12

7

Red Mite ( Dermanyssus gallinae ) ……………………….

14

8

Northern Fowl Mite ( Ornithonyssus sylviarum ) ………...

14

9

Siklus Hidup Tungau ……………………………………...

16

10

Tungau dan telurnya yang merusak bulu ………………….

17

11

Tanaman Kisampang (Melicope denhamii) ……………….

21

12

Daun Kisampang ……… ………………………………….

22

13

Rataan Jumlah Ektoparasit Tungau Di Bagian Sayap
Ayam ………………………………………………………

14

29

Rataan Jumlah Ektoparasit Kutu (Menopon, Menachantus,
Lipeurus dan Goniodes) Di Bagian Sayap Ayam

…….

29

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan rataan populasi ektoparasit tungau yang
ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ……………….

36

2. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Menopon) yang
ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ……………….

36

3. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Menachantus)
yang ditemukan pada bagian sayap ayam kampung …………

37

4. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Lipeurus) yang
ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ……………….

38

5. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Goniodes) yang
ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ……………….

38

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi daging ayam nasional pada tahun 1969 sebesar 39,2 ribu ton,
sedangkan pada tahun 2002 menjadi 964,1 ribu ton atau meningkat dengan
pertumbuhan rata-rata 30% per tahun dalam kurun waktu 1969-2002. Konsumsi
daging ayam sebanyak 60% dari konsumsi daging nasional. Pada tahun 1969
konsumsi perkapita sebesar 0,4 kg/tahun meningkat pada tahun 2002 menjadi 4,55
kg pertahun atau tumbuh dengan rata-rata 30% pertahun. Dirjen Bina produksi
peternakan mencanangkan secara nasional pada tahun 2005 konsumsi daging
unggas meningkat menjadi 8 kg perkapita pertahun (Darmana 2003).
Menurut Cahyono (2002) potensi pasar daging ayam meningkat seiring
pertumbuhan jumlah penduduk. Selain itu, daya serap pasar daging ayam juga
dapat dilihat dari referensi masyarakat seperti hari besar keagamaan dan berbagai
macam pesta rakyat. Meningkatnya pendidikan dan pendapatan masyarakat juga
mempengaruhi peningkatan konsumsi daging. Bahkan daging ayam buras dapat
mensubstitusi daging sapi, domba atau kambing yang harganya kurang terjangkau
oleh lapisan masyarakat bawah. Penyediaan pangan bagi masyarakat dalam
jumlah yang mencukupi dengan mutu yang baik merupakan salah satu tujuan
pembangunan bidang peternakan dalam tata ekonomi nasional. Daging ayam
buras yang merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral
dapat diandalkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Sejak merebaknya kasus flu burung (Avian influensa), permintaan atas
daging ayam semakin menurun. Permintaan turun sekitar 40 persen, di beberapa
daerah bahkan turun hingga 50 persen. Hal ini mengakibatkan kerugian pada
peternak, tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga karena harga jual
yang berada di bawah harga produksi. Persoalan lain yang timbul dengan
menurunnya konsumsi telur, ayam dan produk ayam adalah memburuknya gizi
masyarakat. Koordinator Forum Perunggasan, Don P Utoyo mengatakan bahwa

75 % kebutuhan protein hewani masyarakat dipenuhi dari unggas (Anonim
2005a).
Penyakit unggas yang disebabkan oleh parasit merupakan ancaman yang
serius, karena adanya parasit yang berfungsi sebagai vektor. Hal ini jika tidak
diantisipasi dan ditangani dengan tepat akan menyebabkan penyakit yang dapat
menyebar dengan cepat hingga terjadi kematian pada sebagian besar atau seluruh
ayam (Darmana 2003). Menurut Wiharto (1985) penyakit yang disebabkan oleh
parasit dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni gangguan oleh ektoparasit
seperti lalat (flies), kutu (lice), caplak (tick), tungau (mite), sieur/gurem (dull) dan
pinjal (flea) serta gangguan oleh endoparasit seperti cacing. Gangguan ektoparasit
pada ayam menimbulkan rasa tidak tenang, gatal, kerusakan bulu, gangguan
pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai inang penyakit lainnya,
seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cacing dan virus.
Penyakit kutu cukup banyak menyerang peternakan ayam kampung. Kutu
tidak mematikan ayam, tetapi cukup mengganggu. Penyakit kutu dapat terjadi
akibat kandang yang kotor dan kurang sinar matahari. Tempat-tempat yang biasa
digunakan untuk bertelur juga dapat menjadi sarang kutu (Rasyaf 2004).
Selain memiliki derajat kespesifikan terhadap inang yang sangat tinggi,
kutu juga mempunyai tempat habitat tertentu pada inang. Inang dapat terinfestasi
lebih dari satu jenis kutu. Kutu menggunakan antena sebagai organ sensori yang
penting untuk menuntunnya berjalan diantara bulu-bulu atau rambut inangnya.
Kutu sangat sensitif terhadap suhu dan bau inangnya. Suhu optimal untuk aktifitas
hidupnya hanya sedikit dibawah suhu permukaan kulit dan bulu atau rambut inang
yang memberikan suasana suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kutu. Oleh
karena itu kutu biasanya tidak dapat bertahan lama berada diluar tubuh inangnya,
demikian pula bila inangnya mati. Perpindahan kutu antar inang satu dengan yang
lain dapat terjadi antara kontak tubuh.

Kutu dapat dikatakan tidak memiliki

musuh alam. Keberadaan kutu pada inang disebut pedikulosis atau ptiriasis.
Dalam bidang kesehatan hewan, infestasi kutu yang berat dapat menurunkan
produksi daging, susu, woll dan industri unggas (Hadi & Susi 2000).

Pengendalian

terhadap

ektoparasit

biasanya

dilakukan

dengan

menggunakan insektisida sintetis dimana dapat berdampak buruk, diantaranya
mengakibatkan keracunan pada manusia, keracunan pada hewan ternak, polusi
lingkungan serta hama (serangga) menjadi resisten. Untuk mengurangi dampak
penggunaan insektisida sintetis, penggunaan insektisida nabati merupakan
alternatif pilihan karena tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan
kesehatan (Abdillah 2004).
Famili tumbuhan yang diduga memiliki efek insektisida nabati adalah
Meliaceae, Annonaceae, Asterodeae, dan Rutaceae. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini ingin diketahui pengaruh ekstrak daun Kisampang (Rutaceae)
terhadap ektoparasit pada ayam kampung di bagian sayap.

TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun
Kisampang (Melicope denhamii) dalam pelarut methanol terhadap ektoparasit
pada ayam kampung di bagian sayap.

RUANG LINGKUP

Penelitian ini mencakup pengaruh dari ekstrak daun Kisampang (Melicope
denhamii)

dalam pelarut methanol dengan konsentrasi yang berbeda-beda

terhadap populasi dan jenis dari ektoparasit yang ditemukan di bagian sayap pada
ayam kampung

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi daging ayam nasional pada tahun 1969 sebesar 39,2 ribu ton,
sedangkan pada tahun 2002 menjadi 964,1 ribu ton atau meningkat dengan
pertumbuhan rata-rata 30% per tahun dalam kurun waktu 1969-2002. Konsumsi
daging ayam sebanyak 60% dari konsumsi daging nasional. Pada tahun 1969
konsumsi perkapita sebesar 0,4 kg/tahun meningkat pada tahun 2002 menjadi 4,55
kg pertahun atau tumbuh dengan rata-rata 30% pertahun. Dirjen Bina produksi
peternakan mencanangkan secara nasional pada tahun 2005 konsumsi daging
unggas meningkat menjadi 8 kg perkapita pertahun (Darmana 2003).
Menurut Cahyono (2002) potensi pasar daging ayam meningkat seiring
pertumbuhan jumlah penduduk. Selain itu, daya serap pasar daging ayam juga
dapat dilihat dari referensi masyarakat seperti hari besar keagamaan dan berbagai
macam pesta rakyat. Meningkatnya pendidikan dan pendapatan masyarakat juga
mempengaruhi peningkatan konsumsi daging. Bahkan daging ayam buras dapat
mensubstitusi daging sapi, domba atau kambing yang harganya kurang terjangkau
oleh lapisan masyarakat bawah. Penyediaan pangan bagi masyarakat dalam
jumlah yang mencukupi dengan mutu yang baik merupakan salah satu tujuan
pembangunan bidang peternakan dalam tata ekonomi nasional. Daging ayam
buras yang merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral
dapat diandalkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Sejak merebaknya kasus flu burung (Avian influensa), permintaan atas
daging ayam semakin menurun. Permintaan turun sekitar 40 persen, di beberapa
daerah bahkan turun hingga 50 persen. Hal ini mengakibatkan kerugian pada
peternak, tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga karena harga jual
yang berada di bawah harga produksi. Persoalan lain yang timbul dengan
menurunnya konsumsi telur, ayam dan produk ayam adalah memburuknya gizi
masyarakat. Koordinator Forum Perunggasan, Don P Utoyo mengatakan bahwa

75 % kebutuhan protein hewani masyarakat dipenuhi dari unggas (Anonim
2005a).
Penyakit unggas yang disebabkan oleh parasit merupakan ancaman yang
serius, karena adanya parasit yang berfungsi sebagai vektor. Hal ini jika tidak
diantisipasi dan ditangani dengan tepat akan menyebabkan penyakit yang dapat
menyebar dengan cepat hingga terjadi kematian pada sebagian besar atau seluruh
ayam (Darmana 2003). Menurut Wiharto (1985) penyakit yang disebabkan oleh
parasit dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni gangguan oleh ektoparasit
seperti lalat (flies), kutu (lice), caplak (tick), tungau (mite), sieur/gurem (dull) dan
pinjal (flea) serta gangguan oleh endoparasit seperti cacing. Gangguan ektoparasit
pada ayam menimbulkan rasa tidak tenang, gatal, kerusakan bulu, gangguan
pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai inang penyakit lainnya,
seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cacing dan virus.
Penyakit kutu cukup banyak menyerang peternakan ayam kampung. Kutu
tidak mematikan ayam, tetapi cukup mengganggu. Penyakit kutu dapat terjadi
akibat kandang yang kotor dan kurang sinar matahari. Tempat-tempat yang biasa
digunakan untuk bertelur juga dapat menjadi sarang kutu (Rasyaf 2004).
Selain memiliki derajat kespesifikan terhadap inang yang sangat tinggi,
kutu juga mempunyai tempat habitat tertentu pada inang. Inang dapat terinfestasi
lebih dari satu jenis kutu. Kutu menggunakan antena sebagai organ sensori yang
penting untuk menuntunnya berjalan diantara bulu-bulu atau rambut inangnya.
Kutu sangat sensitif terhadap suhu dan bau inangnya. Suhu optimal untuk aktifitas
hidupnya hanya sedikit dibawah suhu permukaan kulit dan bulu atau rambut inang
yang memberikan suasana suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kutu. Oleh
karena itu kutu biasanya tidak dapat bertahan lama berada diluar tubuh inangnya,
demikian pula bila inangnya mati. Perpindahan kutu antar inang satu dengan yang
lain dapat terjadi antara kontak tubuh.

Kutu dapat dikatakan tidak memiliki

musuh alam. Keberadaan kutu pada inang disebut pedikulosis atau ptiriasis.
Dalam bidang kesehatan hewan, infestasi kutu yang berat dapat menurunkan
produksi daging, susu, woll dan industri unggas (Hadi & Susi 2000).

Pengendalian

terhadap

ektoparasit

biasanya

dilakukan

dengan

menggunakan insektisida sintetis dimana dapat berdampak buruk, diantaranya
mengakibatkan keracunan pada manusia, keracunan pada hewan ternak, polusi
lingkungan serta hama (serangga) menjadi resisten. Untuk mengurangi dampak
penggunaan insektisida sintetis, penggunaan insektisida nabati merupakan
alternatif pilihan karena tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan
kesehatan (Abdillah 2004).
Famili tumbuhan yang diduga memiliki efek insektisida nabati adalah
Meliaceae, Annonaceae, Asterodeae, dan Rutaceae. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini ingin diketahui pengaruh ekstrak daun Kisampang (Rutaceae)
terhadap ektoparasit pada ayam kampung di bagian sayap.

TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun
Kisampang (Melicope denhamii) dalam pelarut methanol terhadap ektoparasit
pada ayam kampung di bagian sayap.

RUANG LINGKUP

Penelitian ini mencakup pengaruh dari ekstrak daun Kisampang (Melicope
denhamii)

dalam pelarut methanol dengan konsentrasi yang berbeda-beda

terhadap populasi dan jenis dari ektoparasit yang ditemukan di bagian sayap pada
ayam kampung

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam kampung

Ayam hutan (Gallus varius-varius Linnaeus) merupakan nenek moyang
ayam kampung yang umum dipelihara. Ayam hutan ini kemungkinan berasal dari
pulau Jawa (Rasyaf 2004). Menurut Cahyono (2002) keluarga ayam dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu ayam ras dan ayam bukan ras. Untuk
kelompok ayam ras, terbagi lagi menjadi tipe ayam petelur, ayam pedaging dan
ayam dwiguna (pedaging dan petelur). Sedangkan ayam bukan ras terbagi menjadi
ayam hias (tipe penghibur), ayam kampung (tipe dwiguna) dan ayam nunukan
(tipe dwiguna).

Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Aves

Subkelas

: Neonithes

Superordo

: Superordo

Ordo

: Galiformes

Famili

: Phasianidae

Genus

: Gallus

Spesies

: Gallus domesticus

Ciri dan Morfologi
Ayam kampung berukuran kecil dan bentuknya agak ramping. Berat badan
mencapai 1,4 kg pada umur 4 bulan, produksi telur mencapai 135 butir/tahun.
Jenis ini memiliki bulu warna putih, hitam, coklat, kuning kemerahan, kuning atau
kombinasi dari warna-warna tersebut. Pada jantan memiliki jengger yang
bergerigi dan berdiri tegak, serta berukuran agak besar. Sedangkan betina

berjengger kecil dan tebal, tegak, serta berwarna merah. Pada jantan memiliki pial
(gelambir) sangat kecil dan berwarna merah cerah. Warna kulit kuning pucat, kaki
agak panjang dan kuat.. Ayam jenis ini banyak terdapat di seluruh pelosok tanah
air (Cahyono 2002).
Ayam kampung tidak dapat dibedakan atas penghasil daging atau telur,
sebagaimana layaknya ayam ras. Umur empat bulan, badan ayam kampung mirip
dengan badan ayam ras petelur tipe medium umur dua setengah bulan. Badan
ayam kampung yang benar-benar telah dewasa dapat dilihat pada induk yang telah
tiga kali mengeram. Warna bulu tidak dapat diandalkan sebagai patokan yang
baku, karena selalu dapat berubah. Misal induk berwarna coklat berbintik hitam
dan jago berwarna kemerahan campur hitam, tetapi anaknya berbulu putih atau
campuran pada anak yang lain (Rasyaf 2004).

Kandungan dan Manfaat
Jumlah kandungan gizi yang terdapat dalam 100 gram daging ayam buras
meliputi kalori, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B1 dan
air. Sumber: Daftar komposisi bahan makanan, Direktorat Gizi, Depkes RI. Ayam
buras dapat digunakan untuk menunjang kehidupan manusia. Dagingnya dapat
dikonsumsi dan diterima oleh semua golongan agama sebagai makanan yang
memiliki nilai gizi tinggi dengan cita rasa yang lezat (Cahyono 2002).

Penyebab Penyakit
Beberapa penyebab penyakit pada ayam kampung menurut Darwana
(2003) antara lain bentuk dan lokasi kandang yang tidak tepat, kebersihan
kandang dan peralatan yang tidak terjaga, sirkulasi udara yang tidak lancar,
kurangnya waktu pemanasan DOC, lantai sekam yang terlalu basah atau lembab
sehingga kandungan amonia meningkat, penyebaran ayam yang tidak rata atau
populasi yang terlalu padat, kurangnya sinar matahari yang masuk ke dalam
kandang, program vaksinasi yang tidak dijalankan secara benar serta pemberian
pakan dan vitamin yang tidak tepat.

Ektoparasit pada ayam Kampung

Parasit dapat dideteksi pada permukaan eksternal dari tubuh melalui suatu
pengujian fisik. Pengujian secara berkala pada sekumpulan suatu parasit dapat
membantu pendeteksian awal dari adanya infestasi parasit tersebut dan dapat
membantu ke arah mencegah suatu perjangkitan infestasi yang lebih besar. Lebih
dari itu, banyak dari parasit mempunyai suatu komponen lingkungan,

jadi

pemberian perlakuan terhadap lingkungan juga merupakan hal yang penting
dalam mengontrol infestasi parasit. Pencegahan dan awal pendeteksian menjadi
kunci dari suksesnya pengendalian terhadap ektoparasit pada kelompok unggas.
Parasit eksternal yang paling umum terlihat di unggas adalah tungau dan kutu
(Pickworth & Teresa 2005). Kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya infestasi
ektoparasit tergantung dari besar jumlah ektoparasit, keadaan nutrisi dan penyakit
yang diderita oleh inang (Bains 1979).

Berikut perbandingan antara kutu dengan tungau (Pickworth & Teresa 2005):
Tungau

Kutu

Ukuran

Diameter 1mm

Panjang 2-3mm

Kecepatan

Bergerak lambat

Bergerak cepat

Warna

Hitam kemerahan

Coklat terang

lokasi telur

Sepanjang batang bulu

dasar batang bulu

Warna telur

Putih

Putih/krem

Waktu deteksi

siang/malam hari

Siang hari

Lokasi

Hidup di inang dan lingkungan

Hidup hanya pada inang

Tabel 1. Perbandingan antara kutu dengan tungau

Kutu
Ayam kemungkinan terinfeksi oleh beberapa jenis kutu. Mereka tidak
merusak kulit inang untuk mendapatkan darah, tetapi mereka memungkinkan
untuk memakan darah jika darah telah berada di permukaan kulit dari inang.
Banyak dari kutu yang menyerang unggas sangat spesifik terhadap inangnya
(Gordon 1977).

Semua kutu unggas dan sedikit kutu mamalia termasuk dalam Mallophaga.
Kutu berinduk semang sangat spesifik, dan juga seringkali spesifik terhadap
bagian tubuh tempat mereka ditemukan. Lebih dari 3000 jenis kutu telah
dilaporkan, dan dari jumlah tersebut lebih dari 40 jenis terdapat pada unggas.
Penularan kutu melalui kontak tubuh (Levine 1990).
Menurut Calnek et al. (1991) kutu yang terdapat pada ayam adalah
Cuclotogaster heterographus (Chicken head louse), Goniocotes gallinae (fluft
louse), Goniodes dissimilis (Brown chicken louse), Lipeurus caponis (Wing
louse), Menachantus stramineus (Chicken body louse) dan Menopon gallinae
(Shaft louse). (Wiharto 1985) Namun kutu-kutu tersebut dapat dibedakan atas tiga
golongan : jenis yang terdapat pada daerah pelepasan (vent), punggung, dada dan
sayap, jenis yang terdapat di kepala dan leher serta jenis yang terdapat pada
batang bulu.

Klasifikasi
Soulsby (1982) mengelompokkan kutu ke dalam ordo Phthiraptera dan
membaginya

dalam

tiga

subordo

yaitu

Mallophaga,

Siphunculata

dan

Rhynchophtirina. Subordo Mallophaga dibagi lagi menjadi dua superfamili yaitu
Ischnocera dan Amblycera. Siphunculata disebut juga sebagai kutu penghisap
darah, sedangkan Rhynchoptirina merupakan kutu gajah.
Berikut pengelompokkan kutu ayam berdasarkan Soulsby (1982):
Filum

:

Arthropoda

Kelas

:

Insekta

Ordo

:

Phthiraptera

Subordo

:

Mallophaga

Superfamili

:

Ischnocera

Famili

:

Philopteridae

Genus

:

Lipeurus
Goniodes
Goniocotes

Superfamili

:

Amblycera

Famili

:

Menoponidae

Genus

:

Menopon
Menachantus

Ciri dan Morfologi
Lebih dari 2500 spesies Mallophaga telah dikenal, sebagian besar
merupakan ektoparasit unggas. Antena bersegmen 3 sampai 5. Kutu tidak
menghisap darah, melainkan memakan bulu, rambut dan kerak-kerak epidermis.
Dikenal sebagai kutu penggigit. Tarsi bersegmen 1 sampai 2, kuku tunggal atau
ganda (Sigit et al. 1992).
Kutu mengganggu ayam karena gigitannya. Kutu ayam memakan sisik
atau kerak kulit, bulu dan kotoran kulit. Kutu penggigit ini merupakan parasit
permanen yang terdapat pada kutu ayam, tidak pernah meninggalkan tubuh
inangnya kecuali untuk pindah ke ayam yang lain, terutama dari ayam tua ke
ayam yang lebih muda (Sudaryani 2003). Kutu unggas berukuran kecil, tidak
bersayap, berkaki enam, bertubuh pipih dan berkepala bulat. Mereka meletakkan
telur pada sayap dari inang, terutama pada dasar dari batang bulu. Sekali
bertelur kutu dapat menghasilkan 50 hingga 300 butir. Beberapa spesies kutu
dapat berada pada lokasi yang spesifik pada tubuh inang, atau ada juga spesies
lainnya yang dapat ditemukan pada hampir keseluruhan tubuh inang seperti
chicken body lice. Keseluruhan siklus hidup dari

kutu terjadi pada inang,

terutama pada bulu. Unggas adalah inang yang spesifik dan tidak dapat berpindah
pada manusia (Pickworth & Teresa 2005).
Kutu merupakan serangga ektoparasit obligat karena seluruh hidupnya
berada dan tergantung pada tubuh inangnya. Oleh karena itu secara morfologi
kutu ini sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki
sayap, sebagian besar tidak bermata, bentuk tubuh yang pipih dorsoventral, bagian
mulut disesuaikan untuk menusuk-isap atau untuk mengunyah, dan memiliki

enam kaki yang kokoh dengan kuku yang besar pada ujung tarsus dan tonjolan
tibia untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya.
Telur kutu berukuran 1-2 mm, berbentuk oval, berwarna putih dan pada
beberapa jenis permukaan telur bercorak-corak dan dilengkapi dengan operkulum.
Telur kutu disebut nits, yang direkatkan pada bulu (rambut) inangnya dengan
semacam zat semen pada bagian memanjang telur. Jumlah telur yang dihasilkan
oleh seekor induk kutu mencapai 10-300 butir selama hidupnya. Telur menetas
menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5-18 hari tergantung jenis kutu. Warna nimfa
dan kutu dewasa keputih-putihan, semakin tua umurnya semakin berwarna gelap
(Hadi & Susi 2000).

Gambar 1. Kutu genus Goniodes

Gambar 2. Kutu genus Lipeurus

Kutu dari genus Lipeurus mempunyai panjang sekitar 3mm, berwarna abuabu gelap. Biasa terdapat pada bulu bagian sayap dan ekor (Gordon 1977). Kutu
ini bergerak lambat, ditemukan dekat dengan kulit. Lipeurus caponis, kutu sayap,
lebih memilih tinggal di bagian bawah sayap dan bulu ekor.
Goniodes memiliki beberapa spesies, salah satunya adalah Goniodes
gigas. Merupakan kutu yang sangat besar, berhabitasi di permukaan kulit dan
bulu, banyak terdapat di burung dewasa. Goniodes tidak pernah ditemukan dalam
jumlah besar.

Gambar 3. Kutu genus Menachantus

Gambar 4. Kutu genus Menopon

Genus Menopon yang dikenal adalah spesies Menopon gallinae. Dikenal
sebagai kutu tangkai bulu dan mempunyai kebiasaan hidup pada bagian tengah
bulu inangnya. Kutu ini mempunyai kemampuan berlari dengan cepat dan
menyebar di seluruh bagian tubuh (Carwin & Nahm 1997). Spesies Menopon
meletakkan telur di bagian dasar bulu, diletakkan satu persatu dan akan menetas
dalam 2 sampai 3 minggu. Kutu dewasa dapat hidup selama 9 bulan, jenis ini
tidak menyerang ayam muda karena ayam muda memiliki bulu yang relatif
sedikit.
Genus Menachantus merupakan kutu bertubuh kuning yang umum pada
ayam, berukuran kecil, pipih, tidak bersayap. Kutu tersebut terdapat pada kulit
dada, paha, anus dan sebagainya, di tempat yang relatif sedikit bulu-bulunya. Ia
memakan sisik epidermis, remukan bulu, eksudat dan sebagainya. Kutu jenis ini
kemungkinan merupakan kutu yang paling serius pada ayam karena seringkali
terdapat dalam jumlah besar. Telur menempel pada bulu, nimfa muncul
menyerupai benar kutu dewasa yang kecil. Nimfa menyilih beberapa kali untuk
menjadi dewasa (Levine 1990). Menachantus memiliki panjang tubuh sekitar 3
mm, ditemukan lebih banyak pada kulit dibanding pada bulu. Telur diletakkan
pada dasar bulu (Gordon 1977).

Siklus Hidup

Gambar 5. Siklus Hidup Kutu
(Sanders 2006)

Mallophaga mengalami metamorfosis sederhana dimulai dari telur, nimfa
I, nimfa II, nimfa III dan akhirnya menjadi kutu dewasa. Kutu betina mampu
memproduksi 50 hingga 300 telur. Telur-telur yang diproduksi berwarna
keputihan, berbentuk lonjong dan diletakkan pada kumpulan bulu. Telur akan
menetas dalam kurun waktu 4 sampai 7 hari. Perkembangan kutu dari telur hingga
dewasa memakan waktu 7 sampai 21 hari. Hanya dalam 2 sampai 3 hari kutu
betina dewasa sudah mampu memproduksi telur (Carwin & Nahm 1997).
Temperatur merupakan faktor penting dalam proses pematangan embrio hanya
dalam waktu 3 sampai 5 hari, sedangkan pada suhu lebih rendah 33° memakan
waktu hingga 9 sampai 14 hari. Pada penelitian dengan infestasi berat, telur
biasanya diletakkan di daerah dada karena panas tubuh inang sangat penting untuk
proses penetasan (Lancaster & Meisch 1984 dalam Wana PW 2001). Kutu
melengkapi siklus hidup mereka pada tubuh inang dan dapat hidup di luar tubuh
inang tidak lebih dari lima hari. Keseluruhan waktu yang dibutuhkan pada siklus
hidupnya sekitar 2 atau 3 minggu, satu ekor kutu dapat menghasilkan keturunan
120.000 hanya dalam beberapa bulan (Jull 1951).

Gejala Klinis
Gangguan parasit luar ini pada ayam akan menimbulkan rasa tidak tenang,
kerusakan bulu, gangguan pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai
inang antara penyakit lainnya, seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri,
cacing dan virus (Wiharto 1985).

Gambar 6.Telur Kutu Pada Dasar Bulu (Pickworth & Teresa 2005)

Adanya infestasi kutu yang berat dapat dideteksi dengan melakukan
pemeriksaan pada kulit dan bulu ayam yang terinfeksi, khususnya di sekitar anus
dan di bawah sayap. Kutu dapat diamati bergerak diantara sayap atau berjalan
pada kulit dan telur juga dapat diamati pada bagian dasar dari bulu. Infestasi yang
berat dapat menyebabkan perubahan pada berat badan dan produksi telur yang
bisa menurun (Gordon 1977).
Gejala yang nampak ayam menjadi gelisah dan sering menyisir/mematukmatuk bulu karena gatal, selain itu ayam akan sering mengibas-ngibaskan
bulunya, ayam juga tampak kurus dan pucat (Cahyono 2002). Begitu sudah dalam
keadaan berkelompok, kutu dapat menyebar dengan adanya kontak. Daerah yang
paling banyak ditemukan adanya kutu yaitu pada daerah dada, perut dan di bawah
sayap. Kutu mengiritasi ayam, ayam menjadi tidak dapat tidur dan berat badan
menjadi turun, produksi juga mengalami penurunan. Infestasi dari kutu jenis ini
dapat membunuh ayam muda (Levine 1990).

Tungau
Banyak dari jenis tungau yang menyerang unggas. Tetapi ada dua jenis
utama tungau yang ditemukan pada tubuh unggas, yaitu Northern Fowl Mite
(pada lingkungan tropis, Tropical Fowl Mite) yang termasuk dalam genus
Ornithonyssus dan Chicken Mite (Red Roost Mite) yang termasuk dalam genus
Dermanyssus (Pickworth & Teresa 2005).

Klasifikasi
Kelas

:

Arachnida

Subkelas

:

Acari

Ordo

:

Parasitiformes

Subordo

:

Mesostigmata

Famili

:

Dermanyssidae

Genus

:

Dermanyssus
Ornithonyssus

Ciri dan Morfologi

Koehler & Butler 2006
Gambar 7. Red Mite ( Dermanyssus gallinae )

Gambar 8. Northern Fowl Mite (Ornithonyssus sylviarum) Koehler &Butler 2006

Tungau dari genus Dermanyssus tidak hanya terdapat pada ayam tetapi
juga pada unggas lainnya, termasuk kalkun, burung merpati, burung kenari dan
burung gereja Inggris. Tungau jenis ini mencari makan pada inang saat malam
hari, dan berlindung saat siang hari. Tungau tersebut menghisap darah inang, hal
ini

mengakibatkan

gangguan

pada

pertumbuhan,

produksi

telur

yang

mengkhawatirkan, terjadi peningkatan kasus anemia. Dilihat dari cara makannya,
pada tungau ini memungkinkan terjadinya penularan yang menyebar terhadap
penyakit asal darah (Bains 1979).
Genus Ornithonyssus merupakan jenis ektoparasit yang paling banyak
ditemukan pada unggas, terutama pada iklim yang sejuk. Dibandingkan dengan
genus Dermanyssus, jenis ini lebih suka tinggal pada inang untuk keseluruhan
siklus hidupnya. Tungau berukuran kecil dan berwarna hitam atau coklat,
mempunyai 8 kaki, dan biasanya menyebar melalui kontak langsung. Tungau
jenis ini tinggal pada bulu lebih lama, walaupun dapat juga merayap ke dalam
celah-celah dan tempat-tempat persembunyian di dalam kandang unggas. Tungau
ini menghisap darah dan kadang-kadang menggigit manusia. Gejala klinis dan
efek patogenik dari keberadaan tungau ini serupa dengan yang ditimbulkan oleh
Red mite. Meskipun tungau ini mirip dengan Dermanyssus gallinae, tetapi
ukurannya lebih kecil. Tungau yang terdapat pada bulu ini menghisap darah dan
sering menyebabkan timbul kudis pada kulit. Pada kelompok ayam yang berbulu
putih, akan tampak kotor karena bulu-bulu dipenuhi oleh tungau-tungau tersebut.
Pada umumnya tungau ini mendiami sekitar alat pelepasan (vent) sayap, kepala,
leher dan belakang serta daerah paha (Wiharto 1985).

Siklus Hidup
Tahap awal kehidupan tungau dimulai dari telur. Seekor tungau mampu
menghasilkan beberapa ratus sampai ribuan telur. Telur akan berubah menjadi
larva yang mempunyai tiga pasang kaki. Periode larva sudah dapat bertindak
sebagai ektoparasit. Setelah kenyang menghisap darah, tungau segera berubah
(molting) menjadi nimfa. Tahap nimfanya sangat panjang dan dapat dibagi
menjadi protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa. Tungau mempunyai alat perekat
untuk menempelkan tubuhnya pada serangga lain atau benda-benda di sekitar

kandang. Bentuk nimfa sudah mirip dengan yang dewasa, hanya saja alat
kelaminnya belum berkembang (Hadi & Susi 2000).

Gambar 9. Siklus Hidup Tungau Williams 2000

Dermanyssus gallinae seperti tungau-tungau yang lain agak sulit untuk
dilihat dengan mata telanjang. Siklus hidupnya terdiri dari telur, larva, nimfa dan
dewasa. Hal ini penting diketahui untuk melakukan pengendalian. Mengingat
yang dihisap darah, maka ayam yang didiami tungau ini akan tampak pucat, kurus
dan produksinya menurun (Wiharto 1985).
Genus Dermanyssus

yang betina bertelur di celah-celah pada tempat

persembunyiannya di dinding kandang unggas. Telur menetas dalam waktu 2
sampai 3 hari, kemudian keluarlah larva yang tidak makan tetapi menyilih
menjadi protonimfa dalam waktu 1 sampai 2 hari. Protonimfa menghisap darah
dan menyilih menjadi stadium deutonimfa dalam 1 sampai 2 hari. Deutonimfa ini
tiba gilirannya menghisap darah dan menyilih menjadi stadium dewasa dalam
waktu 1 sampai 2 hari. Seluruh siklus hidup berlangsung hanya 7 hari; yang
dewasa dapat hidup sampai 34 minggu tanpa makan. Bentuk nimfa dan dewasa
menuju inang untuk menghisap darah, tetapi hampir seluruh waktunya digunakan
untuk bersembunyi di celah-celah dan tempat-tempat persembunyian.

Tungau betina dari genus Ornithonyssus bertelur 1 sampai 2 butir setelah
makan darah dan dapat bertelur 98 butir sepanjang hidupnya. Larva menetas dari
telur dalam waktu 1 sampai 2 hari. Larva ini tidak makan, tetapi menyilih menjadi
deutonimfa dalam waktu 1 sampai 2 hari. Mereka menghisap darah untuk
menyilih menjadi deutonimfa yang tidak makan, kemudian menjadi dewasa dalam
waktu 1 sampai 1,5 hari. Bentuk dewasa menggunakan hampir seluruh waktunya
di dalam tempat persembunyiannya, meskipun begitu tetap menghisap darah
berulang-ulang pada inang.

Gejala Klinis

Gambar 10.Tungau dan telurnya yang merusak bulu Pickworth & Teresa 2005

Gejala klinis dapat diketahui dengan mengidentifikasi adanya tungautungau tersebut. Beberapa tungau tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan lebih
memilih untuk tidak tinggal pada inang saat siang hari, melainkan berada di
lingkungan (kandang), maka penting untuk mengetahui keadaan lingkungan
sekitar kandang untuk mencari tungau demi kepentingan identifikasi

(Bains

1979). Jumlah tungau yang banyak menghisap darah sedemikian rupa sehingga
dapat membunuh induk semang mereka, sedangkan jika dalam jumlah sedikit
dapat menyebabkan anemia. Menurut Sudaryani (2003) apabila ditemukan dalam
jumlah banyak di suatu peternakan pembibitan dapat merugikan, sebab akan
menimbulkan gangguan pada ayam yang diserangnya. Di samping itu, dapat juga
menularkan penyakit ND, cacar unggas dan penyakit menular lainnya.

Tungau dari genus Dermanyssus (Dermanyssus gallinae) dapat juga
menggigit manusia serta merupakan vektor dari penyakit fowl kolera dan equine
enchephalomyelitis. Sedangkan dari genus Ornithonyssus (Ornithonyssus
sylviarum) dapat menjadi vektor dari newcastle disease (Jull 1951). Investasi
tungau pada unggas biasa ditandai

oleh pertumbuhan yang terganggu,

menurunnya produksi telur dan adanya anemia (Bains 1979). Ayam tampak
gelisah, nafsu makan menurun karena gatal dan sibuk mengurusi serangan tungau.
Anemia, pertumbuhan badan terlambat dan akhirnya mati kelaparan. Pada ayam
dewasa, selalu gelisah, mengais-ais bulu, nafsu makan menurun, anemia, kondisi
badan menurun dan produksi telur juga mengalami penurunan (Sudaryani 2003).

Pengendalian
Menurut Parsoedjono (2001) pengendalian dan pengobatan terhadap
parasit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu tindakan sanitasi harus
dijalankan secara benar dan ketat, buang secara periodik tumpukan feses yang
merupakan sumber perkembang biakkan serangga dan kumbang yang keduanya
diyakini dapat menularkan penyakit ayam, jika mungkin sangkar bambu
digantikan oleh sangkar kawat untuk mencegah infestasi tungau dan caplak,
gangguan burung, tikus dan hewan liar lainnya harus diperkecil, hilangkan areal
yang tergenang air di sekitar kandang, dan yang terakhir adalah metoda
manajemen pemeliharaan ayam yang efisien akan membantu untuk memperkecil
populasi parasit.
Beberapa pengendalian yang biasa dipakai oleh masyarakat yaitu dusting,
biasanya dengan menggunakan Sodium fluoride yang beracun bagi manusia dan
binatang jika tertelan. Selanjutnya yaitu dipping, dilakukan dengan cara
mencelupkan ayam pada larutan, serta fumigasi yang merupakan cara sederhana
untuk memberantas kutu dengan cara mengasap dan biasanya digunakan larutan
nicotine sulfate 40%. Tetapi yang paling efektif yaitu melakukan fumigasi dengan
Hexa chlorocyclohexane (HCCH), dimana dapat membunuh kutu beserta telurtelurnya (Jull 1951).

Menurut Wiharto (1985) dipping yaitu penggunaan larutan yang
mengandung

racun

pemberantas

serangga

dan

dilakukan

dengan

cara

mencelupkan ayam pada larutan tersebut. Misal kelompok ayam yang terganggu
oleh kutu (lice) dapat dilakukan dengan pencelupan (dipping), setiap ekor
dibutuhkan larutan 1 oz dari sodium fluorida atau sodium fluosilicate per gallon
air hangat. Penambahan 1 oz dari sabun netral per gallon air menambah efisiensi
dari pencelupan.
Untuk memberantas kutu dapat digunakan obat pembunuh serangga
seperti larutan lindane (0,5%-1%) dengan disemprotkan pada seluruh permukaan
kandang, sebelumnya kandang telah dikosongkan terlebih dahulu, begitu kandang
telah kering ayam baru dimasukkan kembali. Dapat juga dengan menyemprotkan
secara langsung kutu yang terdapat pada ayam dengan menggunakan malathion
0,5% atau campuran larutan air sabun dengan serbuk belerang (Wiharto 1985).
Pengendalian terhadap tungau yang menyerang ayam lebih diarahkan pada
tempat persembunyiannya di kandang dibanding pada hewannya. Pemberantasan
Dermanyssus gallinae yaitu dengan melakukan desinfektan, khususnya pada
celah-celah tempat bertengger ayam dan pada tempat bertelur. Dalam hal ini baik
sekali dilakukan dengan cara penyemprotan

(spray), misalnya

dengan

carbolineum, cresol atau malathion (4%) dengan interval 10 hari sekali
(Wiharto1985).
Pencegahan atau pemberantasan jenis tungau Ornithonyssus

dapat

dilakukan dengan menabur serbuk malathion atau dengan larutan nicotine sulfate
40% pada sangkar, tempat bertengger ayam dan daerah sekitar kandang.
Sedangkan untuk tungau yang berada pada tubuh ayam atau bulu dapat dilakukan
dengan menyemprot ayam-ayam dengan larutan malathion. Pemberantasan dapat
dilakukan setiap 10 sampai 14 hari. Serbuk atau larutan malathion digunakan
dengan

campuran 1 bagian napthalene dengan 2 bagian vaselin kemudian

digosokkan pada daerah yang banyak tungau seperti alat pelepasan (vent), pangkal
ekor dan sebagainya (Wiharto 1985).
Pemberantasan dengan menggunakan obat-obatan pemberantasan serangga
perlu berhati-hati, karena obat-obat ini dapat meracuni ternak ayam dan dapat
menyebabkan kematiannya. Selain itu adanya parasit-parasit juga akan

menyebabkan gangguan pada

mereka yang menangani ayam. Tidak semua

metode pengendalian ektoparasit efektif khususnya pada kutu, sehingga sebelum
menggunakan suatu metode atau insektisida tertentu hendaknya diketahui
keunggulan dan kelemahan produk pengendalian yang akan dipakai, dan bahan
yang digunakan harus tidak berbahaya bagi manusia dan tidak menimbulkan
residu pada produk daging dan telur (Wiharto 1985).

Tanaman Kisampang

Menurut Lemmens & Bunyapraphatsara (2003) penyebaran dan geografis
tanaman Melicope ada sekitar 230 spesies dan terdapat di negara Madagaskar,
India, Srilanka, Myanmar daratan Cina, Cina selatan, Thailand, pesisir Malaysia,
daerah timur menuju Hawai dan kepulauan Marquesas, daerah selatan Australia
dan New Zealand. Sekitar 30 spesies ditemukan di Malaysia.
(Anonim 1995) Tanaman Kisampang memiliki sebutan berbeda di
beberapa daerah. Di daerah Sunda dikenal dengan sebutan Kisampang, di daerah
Jawa dengan sebutan Sampang, di daerah Bali dengan sebutan Empag, Rama in
asu (Minahasa), Sauju (Ternate) dan Saihu (Tidore). Evodia merupakan istilah
yang digunakan dalam perdagangan. Di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan
sampang. Di Malaysia: dengan sebutan pauh-pauh, pepauh (Peninsular) serang
(Sabah, sarawak). Burma (Myanmar): thipyu. Kamboja: beysamlek, svaisnor.
Thailand: phia krating. Vietnam: bachlajle, ba glajle (Sosef et al 1998 ).

Klasifikasi
Berikut klasifikasi tanaman Kisampang (Melicope denhamii) :
Kingdom

: Plantae

Subdivisi

: Angiospermae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dicotiledone

Ordo

: Diperales

Famili

: Rutaceae

Genus

: Melicope

Spesies

: Melicope denhamii

Ciri dan Morfologi
Tanaman Kisampang merupakan pohon dengan tinggi 6 sampai 25 meter,
diameter sekitar 45 cm. Penyebarannya di Indonesia terdapat di pulau Jawa,
dengan ketinggian 1000 sampai 1500m dari permukaan laut (Anonim 1995).
Menurut Chevallier (2001) tanaman Kisampang memiliki daun kombinasi dan
kelompok bunga berwarna putih.

Gambar 11. Tanaman Kisampang (Melicope denhamii)

Rutaceae adalah pohon yang berdaun hijau, terdapat di Asia dan Australia.
Kira-kira ada 50 spesies yang telah diketahui. Daun bersilang. Uniseksual. Bunga
berukuran kecil. Bibit atau benihnya berbentuk oval atau bulat. Evodia mudah
tumbuh dalam tanah yang subur, diperbanyak oleh benih (Chittenden et al.1951).

Gambar 12. Daun Kisampang

Kandungan dan Manfaat
Kandungan daun Kisampang belum diteliti secara detail, namun demikian
daun ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia (Anonim 1995).
Damarnya biasa digunakan sebagai pernis. (Syahputra 2003) Ekstrak daun
kisampang berpotensi sebagai insektisida. Famili tumbuhan yang dianggap
mempunyai sumber potensial insektisida botani adalah Meliaceae, Annonaceae,
Asteroceae dan Rutaceae.
Seperti Rutaceae lainnya, daun Kisampang (Melicope denhamii) diduga
mengandung saponin, tanin, flavonoid, minyak atsiri dan alkaloid.

Saponin

diduga terkandung dalam tanaman Kisampang karena adanya penggunaan daun
Kisampang sebagai sabun, sifat saponin sama seperti detergen (sabun) yang dapat
menurunkan tegangan permukaan. Tanin pada tanaman Kisampang menyebabkan
adanya rasa kesat atau sepat pada daunnya, penggunaan damarnya sebagai pernis
juga menunjukkan adanya unsur tanin pada tanaman Kisampang.
Menurut Gunawan & Mulyani (2004) minyak atsiri terkandung dalam
berbagai organ, seperti di dalam rambut kelenjar (famili Labiatae), di dalam selsel parenkim (famili Piperaceae), di dalam saluran minyak yang disebut vittae
(famili Umbelliferae), di dalam rongga-rongga skizogen dan siligen (famili
Pinaceae dan Rutaceae), terkandung di dalam semua jaringan (famili Coniferae).
Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini
disebut juga minyak menguap, minyak eteris atau minyak esensial karena pada

suhu biasa (suhu kamar) mudah menguap di udara terbuka. Istilah essensial
dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya.
Menurut Sosef et al. (1998) beberapa spesies terdiri dari alkaloid dan
sebagian dipakai sebagai obat-obatan. Kulit kayu Melicope bonwickii dipakai
untuk mencegah gigitan lintah. Di Filipina kulit kayu Melicope confusa
digunakan untuk menghilangkan atau mengobati pembesaran pada limpa. Damar
dari batang pohon pada Melicope latifolia dapat digunakan sebagai pernis dan
alat perekat, dan daunnya dipergunakan sebagai sabun serta untuk mengobati
demam dan kram. Di Taiwan, akar-akar pada Melicope lunu-ankenda digunakan
untuk melawan dingin dan rematik. Dan di Peninsular Malaysia, daun beserta
bunganya digunakan untuk mengobati menstruasi yang tidak teratur dan demam,
daun ini dapat dimakan sebagai bumbu atau digunakan sebagai penyedap
makanan. Beberapa spesies Melicope mengandung alkaloid, coumarin dan minyak
esensial.
Alkaloid ditemukan di beberapa spesies Melicope sebagai antimikrobial,
antifungal. Dalam pengobatan tradisional digunakan sebagai pembersih kulit.
Spesies yang ditemukan di Burma sepanjang Thailand dan Indo-Cina menuju
Taiwan, digunakan sebagai obat kuat, sakit perut dan amandel. Sari dari dedaunan
berguna untuk membersihkan luka-luka, borok, bisul dan kudis ( Lemmens &
Bunyapraphatsara 2003 ).
(Chevvalier 2001) Evodia mengandung evodine, evodiamine dan rutaecarpine.
Tanaman ini juga dapat memulihkan sakit kepala dan masalah pencernaan. Pada
ramuan pengobatan Cina, Evodia sebagian besar digunakan untuk sakit perut,
muntah-muntah, diare, sakit kepala dan denyut nadi yang lemah. Masyarakat
Cina juga mempelajari bahwa indikasi dari Evodia adalah mengurangi rasa sakit
dan menurunkan tekanan darah.