Keragaan Sistem Irigasi dan Analisis Faktor faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Petani Membayar Ipair

R.NUNUNG NURYARTONO. Keragaan Sistem lrigasi dan Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kesediaan Petani Membayar IPAIR (Kasus Wilayah Tarum
Timur Kabupaten Subang), (di bawah bimbingan KUNTJORO, sebagai ketua,
BUNASOR dan AGUS PAKPAHAN sebagai anggota)
Pembangunan
menunjukkan

pertanian

momentum

khususnya

keberhasilan

pada

subsektor
saat

tanarnan


lndonesia

pangan
mencapai

swasembada beras pada tahun 1984. Pengakuan dunia lnternasional dibuktikan
dengan diperolehnya penghargaan oleh badan pangan dunia (FAO) kepada
Presiden lndonesia dalam kaitannya atas keberhasilan bangsa lndonesia dalam
pembangunan pangan nasional. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dan
seluruh masyarakat untuk mencapai serta mempertahankan swasembada beras.
Dukungan inovasi teknologi termasuk didalamnya pembangunan jaringan irigasi
baru serta rehabilitasi jaringan yang rusak.

Hal tersebut dilakukan mengingat

pentingnya keberadaan air sebagai salah satu input penting dan harus tersedia
dalam proses produksi tanaman padi sehingga tidak sepenuhnya tergantung pada
air hujan, akan tetapi pada saat musim kemarau petani masih dapat melakukan
kegiatan produksi.


Dengan kata lain, keberadaan jaringan irigasi dapat

mehingkatkan intensitas tanam dari satu kali dalam satu tahun menjadi dua atau
tiga kali tanam dalam satu tahun.
Secara makro keberhasilan pembangunan pertanian tanaman pangan
membawa pengaruh yang sangat luas.

Keberhasilan meningkatnya produksi

pangan setidaknya akan diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani dan pada

akhirnya akan terdapat keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan
kemajuan regional suatu wilayah.
Namun demikian dibalik keberhasilan (success story) dari pembangunan
pertanian tanaman pangan, lemyata diimbangi dengan adanya korbanan yang
cukup tinggi. Tinjauan salah satu aspek penting yang mendukung keberhasilan
seperti dibangunnya jaringan irigasi.

Pemerintah telah mengeluarkan investasi


yang cukup besar untuk rnelaksanakan kegiatan pembangunan dan rehabilitasi
jaringan irigasi. Pada awal Pelita I total investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
mencapai 114,4 juta rupiah dan pada Pelita V meningkat sangat besar dengan
jumlah total 6,196,846 juta rupiah (Pasandaran, 1995).
Berkaitan dengan pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang telah
menghasilkan rnanfaat, terutama bagi petani sebagai individu yang rnemanfaatkan
air sebagai salah satu input produksi, pemerintah telah menetapkan melalui
lnstruksi Presiden No 1 tahun 1969 untuk mengadakan pungutan air.

Dalam

perkembangannya, terutama di beberapa daerah (5 percontohan di Indonesia),
mulai tahun 1992 pernerintah lebih memformalkan dan membuat satu mekanisme
baru dalam pengenaan iuran air melalui sistem IPAlR (luran Pelayanan Irigasi).
Adanya konsensus nasional terhadap IPAlR perlu mendapat dukungan, dengan
kondisi bahwa lPAlR yang telah diterima oleh pemerintah pada akhirnya akan
dikembalikan lagi kepada petani dalam bentuk pengoperasian dan perawatan
jaringan irigasi.
Beberapa perrnasalahan yang muncul dalam pernanfaatan air irigasi

diantaranya adalah: petani masih menganggap bahwa air merupakan barang
bebas (free goods) sehingga dalam pemakaian air tersebut relatif boros dan tidak

efisien (lebih dari cukup), adanya distribusi pemanfaatan air yang masih kurang
sesuai (adanya sekelompok petani yang tidak mendapatkan air, tetapi ada
sekelompok petani lain yang berlebih dalam menggunakan air). Sehingga masalah
distribusi ini akan mempengaruhi proses produksi yang pada akhimya akan
berpengaruh terhadap efisiensi produksi.
Secara ekonomi barang bebas ada apabila pada saat harga sama dengan
nol, supply dari air lebih besar dari demand-nya. Kondisi tersebut pada kondisi
tertentu dapat dibenarkan, namun demikian apabila dilihat dari pengorbanan
(biaya) untuk mengadakan air melalui jaringan-jaringan irigasi, maka pandangan
tersebut kurang dapat dibenarkan.

Sehingga pemikiran mengenai air sebagai

barang ekonomi perlu dikembangkan lebih lanjut.
Sehubungan dengan adanya berbagai permasalahan yang muncul dalam
pemanfaatan air irigasi, maka penelitian ini beriujuan untuk dapat melihat keragaan
irigasi di salah satu daerah yang menjadi percontohan dalam penetapan IPAIR,

mengkaji faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi petani dalam membayar
IPAlR berikut kelembagaan P3A yang ada serta menganalisis efisiensi produksi
padi di Kabupaten Subang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan IPAIR dengan cara basic

flat fee setelah mempemitungkan berbagai komponen,

ternyata dari sudut

pandang petani dirasakan kurang adil dan mengandung unsur subsidi diantara
kelompok-kelompok P3A.

Artinya bahwa terdapat satu kelompok P3A yang

seharusnya tidak mendapatkan pembebanan IPAlR dalam jumlah yang telah
ditetapkan memberikan subsidi kepada kelompok P3A lainnya yang seharusnya
lebih besar IPAlR yang harus dibayarkan.

Keseluruhan dana IPAlR yang terkumpul didistribusikan pada berbagai
pihak yang terlibat. Komponen terbesar digunakan untuk biaya perawatan jaringan

irigasi sebesar 80 persen dari total dana yang terkumpul. Sedangkan 20 persen
dibagikan kepada pihak-pihak yang terkait. Persentase terbesar dari 20 persen
tersebut dinikmati oleh kolektor P3A.
tersebut

dari

Adanya mekanisme pembagian dana

hasil penelitian menunjukkan kecenderungan bahwa

P3A

dikhawatirkan akan terjebak ke dalam persoalan-persoalan memburu 7 persen
dana tersebut sedangkan persoalan pokok yang harus dilakukan P3A menjadi
terabaikan.

Keragaan P3A dari ke tiga lokasi penelitian yang berbeda

menunjukkan keragaan yang beragam. Secara umum dapat dikatakan bahwa P3A

yang ada masih belum melaksanakan tugas yang diemban.
Hasil analisis dari faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan petani
membayar IPAIR adalah variabel-variabel: keadilan, tingkat keuntungan yang
diperoleh dan pengalaman berusahatani.

Keadilan diartikan bahwa petani

memperoleh air tepat sesuai dengan golongannya, dalam batas yang cukup dan
apabila terdapat kerusakan jaringan maka pemerintah (Perum Otorita Jatiluhur)
memperbaiki jaringan irigasi yang bersangkutan.

Hal tersebut merupakan

konsekuensi logis karena petani telah membayar IPAIR.

Variabel keadilan

merupakan variabel yang diduga mempunyai pengaruh kuat dalam petani
mengambil keputusan (dilihat dari taraf nyatanya) dibandingkan variabel-variabel
lainnya. Makna dari kondisi tersebut dalam kaitannya dengan air sebagai input

yang penting. Dengan adanya jaminan dalam distribusi input, maka petani merasa
aman (secure) terhadap perolehan input tersebut. Jaminan perolehan input akan

berpengaruh terhadap

proses

produksi

sehingga

pada

akhirnya

akan

rnernpengaruhi tingkat produksi dan pendapatan yang diperoleh
Hasil analisis dalarn kaitannya dengan partisipasi petani tehadap sistem
irigasi menunjukkan bahwa dari tiga indikator yang digunakan, hanya satu indikator

yang rnenunjukkan tingkat partisipasi tinggi yaitu; petani relatif sangat rnematuhi
jadual tanam sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Hal tersebut rnerupakan
konsekuensi logis, mengingat bahwa keserernpakan dalarn rnasa tanam dapat
rnenghindari resiko serangan harna.

Untuk dua indikator lainnya berupa

pernbayaran iuran irigasi dan perneliharaan irigasi narnpaknya masih perlu
diupayakan partisipasi petani dalarn tingkatan dan intensitas yang lebih tinggi.
Dengan rnelalui analisis fungsi keuntungan dan factor share dapat dilihat
variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat keuntungan serta dapat
mernbandingkan efisien relatif produksi padi. Fungsi keuntungan di Kecarnatan
Pagaden rnernberikan hasil bahwa peubah dari input vaiabel yang rnempunyai
pengaruh dalarn tingkat keuntungan adalah upah tenaga kerja, harga pupuk TSP,
harga pupuk KCL. Sedangkan input yang mernpunyai sham terbesar adalah
tenaga kerja.
Berbeda dengan Kecarnatan Pagaden, di Kecamatan Binong peubah dari
input variabei yang berpengaruh terhadap tingkat keuntungan adalah upah tenaga
kerja, harga pupuk urea dan harga obat-obatan. Sedangkan untuk input yang
rnempunyai kontribusi terbesar sama dengan Kecarnatan Pagaden yaitu tenaga

kerja.
Untuk Kecarnatan Pamanukan peubah dari input variabel yang berpengaruh
terhadap tingkat keuntungan adalah upah tenaga kerja dan harga pupuk KCL.

Tenaga kerja mempunyai share yang paling besar diantara input-input lainnya
dalan keuntungan.
Dari hasil diatas diperoleh gambaran bahwa input tenaga kerja di sektor
pertanian sepertinya harus memerlukan perhatian yang lebih.

Hal tersebut

berdasarkan kondisi bahwa petani untuk mendapatkan tenaga kerja harus bersaing
dengan sektor lainnya (seperti industri). Konsekuensi logis dari ha1 tersebut adalah
kekuatan dalam memberikan wpah yang lebih tinggi. Satu sisi petani akan merasa
lebih terbebani apabila harus be~saingdalam ha1 upah dengan sektor lain. Sisi
lainnya dilihat dari tenaga kerja yang bersangkutan dengan semakin tinggi upah
yang diterima dimanapun sektor yang digeluti akan merasa senang. Kondisi yang
dilematis ini perlu segera mendapatkan perhatian.
Dilihat dari efisiensi relatif diantara ketiga iokasi penelitian ternyata tidak
diperoleh perbedaan efisiensi relatif.


Hal tersebut diduga karena ketiga lokasi

sama-sama menggunakan sistem irigasi teknis dengan poia introduksi teknologi
yang sama dari pemerintah yaitu supra insus.
lmplikasi kebijakan yang penting diperhatikan oleh pengambil kebijakan
adalah dengan memfokuskan pada masalah distribusi air yang adil sehingga petani
mau untuk berpartisipasi secara lebih dalam pengelolaan irigasi.

lntroduksi

kelembagaan yang berusaha menjembatani kepentingan petani dan pemerintah
hendaknya dilakukan dalam dua arah pendekatan yaitu bottom up dengan
memperhatikan kelembagaan-kelembagaan petani yang telah berke~nbang di
tingkat lokal dan pendekatan fop down.