KREDIBILITAS DAN VALIDITAS PENELITIAN KESIMPULAN

mendengarkan jawaban partisipan berhari-hari setelah dilakukannya wawancara tanpa perlu mengingat jawaban partisipan. Ketiga, alat perekam dapat merekam jawaban partisipan yang mungkin tidak terdengar oleh peneliti ketika sedang dilakukan wawancara Stewart Cash, 2003. 2. Pedoman wawancara Pedoman wawancara dapat berfungsi sebagai pengingat bagi peneliti mengenai aspek-aspek apa saja yang akan ditanyakan. Dengan pedoman wawancara, peneliti dapat menyesuaikan pertanyan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung Poerwandari, 2007. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan teori penyesuaian diri oleh Schneiders 1964. 3. Alat tulis Alat tulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pulpen dan buku catatan. Penggunaan alat tulis dapat membantu peneliti mencatat poin-poin penting sehingga menghemat waktu pada saat mendengarkan rekaman wawancara secara keseluruhan Stewart Cash, 2003.

F. KREDIBILITAS DAN VALIDITAS PENELITIAN

Kredibilitas merupakan istilah yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif menggantikan istilah validitas, yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif dilihat dari keberhasilan dalam mengeksplorasi masalah, atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang Universitas Sumatera Utara kompleks Poerwandari, 2007. Upaya untuk meningkatkan kredibilitas penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui: 1. Mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, partisipan, ataupun hal-hal yang terkait. 2. Menggunakan jenis pertanyaan terbuka agar memperoleh hasil yang akurat. 3. Mengulang pertanyaan yang diajukan kepada partisipan untuk melihat konsistensi dari jawaban yang diberikan 4. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data-data yang terkumpul seperti rekaman wawancara, transkrip wawancara, rekonstruksi data hasil wawancara, dan data hasil analisa wawancara dengan partisipan. 5. Berdiskusi bersama rekan sejawat, dosen pembimbing, serta dosen-dosen yang memahami topik penelitian ini sehingga dapat memberikan saran terhadap analisis yang dilakukan peneliti. 6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali checking and rechecking data dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

G. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam mempersiapkan penelitian di antaranya: Universitas Sumatera Utara a. Mengumpulkan data di masyarakat. Dalam mengumpulkan data, peneliti banyak mengumpulkan informasi mengenai perceraian di masa lansia melalui buku, jurnal, serta media seperti internet dan film. b. Mempersiapkan landasan teori Setelah terkumpul data mengenai perceraian serta penyesuaian diri setelah perceraian, peneliti mengumpulkan teori mengenai indikator-indikator penyesuaian diri yang normal. c. Menyusun pedoman wawancara Pedoman wawancara disusun berdasarkan kerangka teori yang telah dijabarkan. Pedoman wawancara nantinya berisi bentuk penyesuaian diri partisipan, faktor apa yang mempengaruhinya, serta apa indikator penyesuaian diri yang normal pada partisipan. d. Mencari partisipan Sebelum mencari partisipan, terlebih dahulu peneliti mencari informasi yang berkaitan agar mendapatkan partisipan yang sesuai berdasarkan kriteria yang telah dijabarkan sebelumnya. Selain itu peneliti juga mengurus izin untuk melaksanakan penelitian di instansi-instansi yang terkait dengan partisipan. e. Menyiapkan informed consent Setelah bertemu dengan partisipan dengan karakteristik yang sesuai, peneliti pun mulai menyiapkan informed consent yang berfungsi sebagai surat persetujuan agar partisipan mau mengikuti proses penelitian ini. Universitas Sumatera Utara f. Persiapan untuk pengumpulan data Proses persiapan pengumpulan data dimulai dengan mempersiapkan alat-alat bantu penelitian seperti alat perekam, pedoman wawancara, serta alat tulis. Kemudian peneliti memeriksa kembali kelayakan dari alat yang akan digunakan. g. Membangun rapport Agar partisipan dapat memberikan jawaban dengan lebih santai, peneliti perlu membangun kedekatan dengan partisipan dengan melakukan percakapan ringan. Dalam membangun rapport, peneliti dibantu oleh anak partisipan serta pengacara yang mengurus perceraian partisipan. Mereka membantu peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian agar tidak terjadi kesalahpahaman. Selanjutnya partisipan dan peneliti menyepakati waktu yang akan digunakan untuk melakukan wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Meminta persetujuan partisipan melalui informed consent. Pemberian informed consent ini agar partisipan mengetahui tujuan penelitian, keterlibatan partisipan dalam penelitian, waktu dan tempat penelitian, jaminan kerahasiaan, serta hak partisipan untuk mengundurkan diri apabila partisipan tidak menyetujui konten dari penelitian ini. Setelah partisipan dan peneliti menandatangani informed consent, proses pengambilan data dapat dilakukan. Universitas Sumatera Utara b. Melakukan wawancara yang sesuai dengan pedoman wawancara. Proses wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang sebelumnya telah disusun oleh peneliti berdasarkan teori yang digunakan. Wawancara dilakukan lebih dari satu kali agar mendapatkan hasil yang maksimal dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. c. Peneliti dan partisipan menjadwalkan pertemuan selanjutnya. Di setiap akhir dari sesi wawancara, peneliti dan partisipan akan menjadwalkan pertemuan selanjutnya. Hal ini dilakukan sesuai kesepakatan kedua pihak agar tidak mengganggu kegiatan yang biasa dilakukan peneliti maupun partisipan di luar dari jadwal wawancara. d. Peneliti memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam transkrip verbatim. Setelah melakukan wawancara, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam transkrip verbatim. Peneliti kemudian membubuhkan kode-kode khusus koding sehingga data-data yang diperoleh dapat tersusun secara detail Poerwandari, 2007. Hal ini dapat memudahkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai topik yang akan diteliti, dalam hal ini adalah penyesuaian diri. e. Melakukan analisa data. Setelah transkrip verbatim selesai, peneliti membuat analisa untuk mengidentifikasi tema yang muncul. Selanjutnya analisa data disusun menjadi sebuah bentuk narasi dan menyusunnya berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Data-data yang telah disusun Universitas Sumatera Utara kemudian dijabarkan berdasarkan indikator-indikator penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders 1964. f. Menarik kesimpulan serta membuat diskusi dan saran. Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan data-data yang telah diperoleh untuk menjawab rumusan permasalahan yang telah ditentukan. Selanjutnya peneliti membuat diskusi berdasarkan kesimpulan dan hasil yang telah diperoleh. Kemudian peneliti memasukkan saran-saran yang sesuai dengan kesimpulan, diskusi, dan hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Data yang didapatkan melalui proses wawancara akan diubah menjadi bentuk tulisan yang disebut dengan verbatim. Verbatim merupakan proses mendengar lalu menuliskan kata per kata hasil rekaman wawancara kemudian diketik. Tujuan dari pembuatan verbatim adalah untuk menganalisis data lebih lanjut Poerwandari, 2007.

4. Prosedur Analisis Data

Poerwandari 2007 membagi prosedur analisis data ke dalam lima tahap, yaitu: a. Koding Langkah pertama yang paling penting sebelum menganalisis data adalah dengan memberikan kode-kode pada materi yang dperoleh. Tujuannya adalah untuk mengorganisasi dan menciptakan data yang sistematis serta detail Universitas Sumatera Utara sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Secara praktis dan efektif, Poerwandari merumuskan beberapa langkah koding yang dilakukan melalui: 1 Peneliti menyusun transkripsi verbatim dengan kolom kosong di samping kanan dan kiri transkrip. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemberian kode pada transkrip tersebut. 2 Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip dan atau catatan lapangan tersebut. 3 Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. b. Organisasi Data Dengan data kualitatif yang sangat banyak dan beragam, peneliti wajib mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis, dan selengkap mungkin. Highlen dan Finley dalam Poerwandari, 2007 mengatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk dapat memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisi yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. c. Analisis Tematik Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau Universitas Sumatera Utara gabungan yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan data, dan secara maksimal memungkinkan interpretasi data. Tema-tema dapat diperoleh secara induktif dari informasi metah atau diperoleh secara deduktif dari teori atau penelitian sebelumnya. d. Pengujian Terhadap Dugaan Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data, peneliti mengembangkan dugaan-dugaan yang adalah juga kesimpulan-kesimpulan sementara. Agar dapat meyakini temuannya serta terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti perlu juga perlu mencari data yang memberikan gambaran-gambaran yang berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. e. Tahapan Interpretasi Interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Kvale dalam Poerwandari, 2007 menguraikan konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks yang paling konseptual yang menggunakan kerangka teoritis untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat memahami konteks pemahaman diri partisipan maupun penalaran umum. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori penyesuaian diri oleh Scheniders 1964 terhadap lansia yang bercerai. Universitas Sumatera Utara 54

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi analisa hasil serta pembahasan berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada kedua partisipan. Analisa dan pembahasan akan dibagi perorang agar memudahkan pemahaman pembaca mengenai penyesuaian diri lansia pasca bercerai. Langkah pertama dari adalah dengan menjabarkan analisa data dari partisipan seperti identitas diri serta latar belakang partisipan. Selanjutnya adalah penjabaran data hasil wawancara serta pembahasan berdasarkan indikator penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders 1964. Pada kutipan wawancara nantinya disertai pemberian kode-kode khusus. Tujuan dari pemberian kode tersebut adalah sebagai cara untuk mempermudah pengorganisasian dan sistematisasi data Poerwandari, 2007. Misalnya kode W.R.P.P.MDN.25Nov13b1-3h1 memiliki makna data tersebut diambil melalui proses wawancara W kepada respoden R yang berjenis kelamin perempuan P. Partisipan merupakan seorang ibu rumah tangga IRT. 25Nov13 menunjukkan bahwa wawancara dilakukan pada tanggal 25 November 2013. b1-3 merujuk kepada kutipan wawancara yang terletak di baris 1 sampai 3 pada halaman refleksi dan analisa terlampir, sedangkan h1 merujuk kepada nomor halaman dimana kutipan wawancara tercantum. Universitas Sumatera Utara

A. HASIL 1. Analisa Data Partisipan

a. Identitas Diri Partisipan

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan Keterangan Partisipan Inisial S Jenis Kelamin Perempuan Usia 67 tahun Agama Islam Suku Melayu Status Tidak Menikah bercerai Pendidikan Terakhir Aliyah Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Usia Pernikahan 44 tahun Sudah Bercerai Selama 2 bulan

b. Latar Belakang Partisipan

Partisipan kedua dalam penelitian ini adalah S. Ia lahir dan besar di Kota Medan. S merupakan anak tunggal. S kini berusia 67 tahun. Ia tinggal di lingkungan yang sama selama puluhan tahun dimulai sejak ia kanak-kanak. S merupakan anak tunggal, namun meski demikian ia tidak pernah merasa kesepian karena tempat tinggalnya berdekatan dengan sanak familinya. Semasa hidupnya ia menempuh pendidikan di Al-Wasliyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pergaulan S hanya sebatas pada teman perempuan saja karena orang tua S tidak memperbolehkannya berteman dengan laki-laki. Setelah tamat dari Tsanawiyah, ia tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan. Dikatakannya bahwa pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kuliah. Ia lebih memilih untuk menjadi tenaga pengajar di sekitar Universitas Sumatera Utara rumahnya. Alasan lain S tidak melanjutkan pendidikannya adalah karena ia menikah di usia 22 tahun. Tinggal di lingkungan yang berdekatan membuat S dan suaminya sering bertemu. Pertemuan itu pun akhirnya berubah menjadi sebuah hubungan kasih. Selama 5 tahun S dan suaminya berpacaran tanpa diketahui oleh kedua orang tua S. Sampai pada akhirnya suami S melamar, ia pun memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya. Suami S adalah sosok pria yang baik dan sopan. S dan suaminya pun memutuskan untuk menikah. Pernikahan S sudah berjalan beberapa tahun dan bahkan S sudah memiliki 2 orang anak, namun perlahan sifat suaminya mulai berubah. Memiliki tempramen yang tinggi, sang suami pun kerap memarahinya. Namun S hanya bersabar dan tidak menceritakan persoalan rumah tangganya kepada siapapun. Setelah menjalani pernikahan selama 25 tahun, S memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Ia memilih ikut bersama putrinya yang bertugas di Aceh. setelah berpisah, S mengetahui bahwa suaminya menikah kembali. Ia tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi dengan suaminya. Ia pun ikhlas jika suaminya menikah kembali. Setelah bertahun-tahun tinggal di Aceh, S beserta anak dan cucunya pun kembali ke Medan. Betapa terkejutnya ia ketika tahu suaminya pindah kembali ke rumah S. S tidak mau untuk berbaikan dengan suaminya tetapi ia juga tidak tega untuk mengusirnya. Ia pun memperbolehkan suaminya tinggal Universitas Sumatera Utara di rumahnya, sementara ia pindah ke rumah anak ketiganya yang tinggal persis di sebelah rumah S. Walaupun S tidak mau berbaikan dengan suaminya, namun ia tetap mengurusi kebutuhan sehari-hari suaminya seperti misalnya memasak. Tetapi sifat suaminya yang pemarah tidak juga hilang. Suami S pun terkadang marah di depan anak, menantu, dan cucu S. Bahkan suami S juga pernah memaki anaknya sendiri. Anak-anak S tidak tega melihat ibunya disakiti. Mereka pun berinisiatif untuk mendaftarkan perceraian S di Pegadilan Agama. S awalnya merasa perceraian tidak perlu dilakukan karena ia sendiri sudah menganggap bahwa ia dan suaminya sudah berpisah. Namun atas desakan anak-anaknya, S pun mau untuk bercerai secara resmi di Pengadilan Agama. Kini setelah berpisah, S masih tetap tinggal di rumah anak ketiganya sementara mantan suaminya pindah ke rumah anak sulung mereka. Rumah S tidak pernah sepi. Ia tinggal satu atap bersama anak, menantu, dan tiga cucunya. Sementara itu anak keduanya tinggal di sebelah rumah S bersama anak dan suaminya. Di bagian depan gang terdapat satu rumah yang ditempati oleh anak dan menantu S serta satu rumah yang ditempati oleh makcik S. Setiap pagi setelah anak, menantu, dan cucunya pergi untuk bekerja dan sekolah, S bersama anak keduanya berbelanja kebutuhan sehari-hari. Bersama dengan anaknya, ia memasak dan membersihkan rumah. Makcik S pun sering datang untuk berkunjung untuk bercerita-cerita dengan S. Setelah sholat Dzuhur, S pun pergi menghadiri pengajian yang ada di sekitar rumahnya. Ia Universitas Sumatera Utara kembali ke rumah setelah Ashar lalu melakukan kegiatan lain seperti merawat tanaman yang ada di rumahnya. Sore hari juga digunakan S untuk berbincang di teras rumah dengan anak-anaknya, makcik, ataupun teman pengajian yang datang berkunjung.

2. Data Wawancara Partisipan

Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan No Partisipan Hari dan Tanggal Wawancara Waktu Wawancara Lokasi Wawancara 1 S Selasa, 4 Maret 2014 17.00-17.32 WIB Rumah Partisipan 2 S Selasa, 11 Maret 2014 16.58-17.40 WIB Rumah Partisipan 3 S Senin, 24 Maret 2013 14.22-14.54 WIB Rumah Partisipan

a. Data Hasil Observasi

Partisipan tinggal di sebuah gang buntu yang hanya terdiri dari lima rumah. Rumah partisipan terletak paling belakang dan dikarenakan rumah partisipan terletak di bagian ujung dari gang, rumah partisipan adalah satu- satunya rumah yang dapat menampung sekitar satu hingga dua mobil di pekarangannya. Selain mobil, di pekarangan rumah partisipan juga terdapat sebuah ayunan besi yang diletakkan di pojok. Pekarangan rumah partisipan dipenuhi dengan bunga yang ditanam di dalam pot. Peneliti dan partisipan melakukan sesi wawancara di ruang tamu di kediaman partisipan. Ruang tamu ini berukuran sekitar 2x4 meter. Dinding rumah dicat dengan warna coklat muda, dimana di tiap sisinya terdapat foto- foto anak maupun cucu partisipan. Di tengah ruangan tersebut terdapat 1 set Universitas Sumatera Utara kursi dan meja yang terbuat dari kayu jepara berwarna coklat tua yang berlapis kain berwarna coklat muda. Di belakang salah satu kursi terdapat sebuah buffet berwarna hitam yang di atasnya juga tersusun foto anak dan cucu partisipan. Hari pertama wawancara dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2014. Tinggi partisipan kurang lebih 155 cm. Badannya kurus dan kulitnya putih. Rambut partisipan yang berwarna putih seluruhnya diikat ke belakang. Di hari pertama wawancara ia memakai daster panjang berwarna hitam dengan motif bunga berwarna emas. Partisipan menyambut peneliti dengan hangat dan mempersilahkan peneliti untuk duduk. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti memberikan informed consent kepada partisipan. Partisipan pun membacanya dengan seksama dan kemudian menandatangani informed consent tersebut. Tidak berapa lama kemudian, wawancara pun berlangsung. Pada awal wawancara, partisipan menunjukkan ekspresi wajah malu- malu ketika ditanya mengenai kehidupan masa kecilnya. Ia merasa tidak pandai menceritakan sebuah kisah. Namun setelah wawancara berlangsung sekitar 5 menit, partisipan mulai bisa untuk diajak bekerja sama. Hal ini ditandai dengan kontak mata yang terjadi antara partisipan dan peneliti. Posisi duduk antara partisipan dan peneliti cukup dekat sehingga memungkinkan untuk melakukan kontak mata secara intens. Ketika pertama kali ditanya soal alasan perceraiannya, partisipan sempat terdiam sebentar dan matanya menerawang. Namun tidak berapa lama Universitas Sumatera Utara kemudian ia mulai menceritakan peristiwa-peristiwa yang mengawali proses perceraiannya. Pada akhirnya partisipan pun merasa nyaman bercerita. Tidak jarang cerita-cerita tersebut pun diselingi dengan suara tawa dari partisipan. Hari kedua wawancara dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2014. Sore itu partisipan mengenakan baju daster panjang berwarna putih dihiasi corak bunga berwarna merah. Rambutnya pun dikuncir sama seperti hari sebelumnya. Ketika peneliti datang, partisipan sedang berbincang dengan teman dan makciknya di teras rumah sambil menikmati teh hangat dan kue. Kemudian peneliti dan partisipan pun masuk ke dalam rumah. Wawancara kedua juga dilakukan di ruang tamu partisipan. Partisipan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan baik. Namun ketika disinggung mengenai awal perceraian, partisipan tidak menjawab untuk beberapa saat. Mata partisipan terlihat menerawang. Tetapi setelah itu partisipan mulai terbiasa untuk menceritakan masalah perceraiannya. Partisipan pun kerap tertawa ketika menceritakan kehidupan barunya pasca bercerai, terlebih ketika ditanya mengenai kedekatannya dengan anak dan cucunya. Hari terkahir wawancara dilaksanakan pada hari Senin tanggal 24 Maret 2014. Pintu rumah partisipan terbuka ketika peneliti datang. Saat itu partisipan sedang menjahit bersama anaknya sementara cucunya belajar di ruangan yang sama sambil menonton televisi. Partisipan pun mempersilahkan peneliti untuk masuk. Universitas Sumatera Utara Peneliti menanyakan beberapa hal mengenai masa kecil partisipan hingga bagaimana partisipan bertemu dengan mantan suaminya. partisipan terlihat santai ketika ditanyai pertanyaan mengenai masa mudanya. Pertanyaan berikutnya mengenai permasalahan rumah tangga. Sebelum menjawab, partisipan sempat diam untuk beberapa saat. Partisipan seperti menerawang untuk mengingat kembali kejadian di kala itu kemudian ia pun menjawab pertanyaan yang diajukan dengan baik. Secara keseluruhan partisipan mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

b. Data Hasil Wawancara 1. Kehidupan Pernikahan

Partisipan menikah sekitar 44 tahun yang lalu. Perkenalan dengan mantan suaminya berawal dari beberapa kali pertemuan, mengingat partisipan dan mantan suaminya tinggal di lingkungan yang sama. “eceknya kan satu-satu kampung. Gitulah, jadi kenalah satu-satu kampung namanya tertawa. Karena lewat-lewat gitu, lama-lama kenalah gitu. Kenal kenal kenal, lama-lama jadilah gitu tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b28-29h1 Memiliki orang tua yang konservatif, partisipan tidak diperbolehkan untuk berteman dengan laki-laki. Teman partisipan hanya sebatas pada teman perempuan. Meskipun begitu, partisipan sempat menjalani masa berpacaran cukup lama dengan pria yang kini menjadi mantan suaminya. Orang tuanya sendiri mengenal calon suami partisipan ketika mendekati proses lamaran. Universitas Sumatera Utara “ya tempat kawanlah. Orang kawan ke sini datang aja perempuan- perempuan. Orang itu suka karena ibu sendiri. Itulah datang, tidur- tidur di rumah ibu. Ha gitu, kawan-kawan pada datang perempuan.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b18-20h1 “orang tua ibu itu orang dia gak suka kalau memang sama kawan laki-laki jadi dia memang gak berapa kenalah, gak berapa tahulah. Ya udah nanti eceknya mau minang, barulah dikenalin. Kalau untuk berkawan-kawan gitu dia ya enggaklah. Soalnya kan gak boleh.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b47-52h2 Kehidupan awal pernikahan partisipan berjalan normal. Setelah partisipan memiliki dua orang anak, sifat suami berubah menjadi pemarah. Kekerasan yang dilakukan suami hanya dalam bentuk kekerasan verbal. Suami kerap membentak partisipan namun partisipan hanya diam saja. Ia tidak berani melawan sebab ia takut suaminya akan menggunakan kekerasan fisik terhadapnya. “ya udah ada anak-anak inilah, gitu. Apa salah sikit, marah. Gitulah. Salah sikit entah apa gitu marah.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b54-59h2 “marah aja memang, ngebentak karena ibu ini memang gak ngelawan. Kalau misalnya bangsa model ngelawan, mau main mukul dia mantan suami. Memang bangsa maulah memukul. Tapi kalau ibu memang ibu gak bisa melawan. Udah mau marah, ibu diam aja tu. Gak pernah ibu ladenin. Jadi gak pernahlah ibu diapainnya dipukul. Kadang entah numbuk dinding, numbuk kaca, gitulah dia kalau udah marah. Nanti numbuk kaca, berdarah tangan itu. Gitu. Ibu gak bisalah orang ibu gak pernah ngelawan. Nanti kalau kita jawab, maulah dipukul.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b62-67h2 Partisipan menuturkan bahwa penyebab suaminya menjadi pemarah karena alasan pekerjaan. Selain itu yang menjadi permasalahan dalam rumah tangganya karena suaminya tidak bertanggung jawab, terutama Universitas Sumatera Utara terhadap keuangan rumah tangga. Selama menikah, suami partisipan tidak peduli terhadap biaya sekolah anak-anaknya. “apa ya? penyebab kemarahan mungkin dia capek, entah pendapatannya kurang, gitulah. Udah itu ibu bukan menuntut kali juga cuma ya kewajiban. Kalau untuk menuntut kali pun enggak. Kewajibanlah yang ibu tuntut.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b209-212h6 “Sebetulnya dia memang tanggung jawabnya kurang. Kalau yang mau cerita itu kan tanggung jawabnya penuh, barulah dia bercerita. Kalau ini memang tanggung jawabnya kurang itulah makanya anak- anak ini tak nengok, kurang tanggung jawab. Dari awalnya gitulah tanggung jawab tadi kurang.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b215-220h7 Untuk mengatasi permasalahan keuangan, partisipan kerap dibantu oleh ibunya yang juga tinggal bersama partisipan beserta keluarganya. Ia memakai uang pensiun peninggalan ayahnya untuk biaya sehari-hari. Selain itu anak-anak partisipan yang telah beranjak dewasa juga membantu biaya sekolah adik-adiknya. “keuangan lagi. Sekolah aja enggak. Tapi kan sekolah anak biasanya biaya diperlukan. Ini enggak. Orang ini biaya sekolah sendirilah. Kakaknya sekolahkan adik, adiknya sekolahkan adik. Gitu semua.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b320-323h9 “Sudah anak-anak ini besar-besar, udah sekolah, gak berapa gitu. Gak begitu diopenkannya. Gak begitu peduli, gitu. Mau sekolah, mau apa, suka hati ibulah yang menanggulangi macemana caranya. Haa, dulu ada emak ibu. Emak ibu ada pensiunnya. Jadi emak ibu tadilah mengapakan membantu ibu.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b174-177-h5 Meskipun didera berbagai masalah dalam kehidupan rumah tangganya, partisipan tidak pernah bercerita kepada siapapun. Ia tidak ingin hal ini membuat ibunya khawatir. Ia juga tidak menceritakan perkara rumah Universitas Sumatera Utara tangganya kepada anak-anaknya karena ia tidak mau anak-anaknya melawan ayahnya sendiri. Pada akhirnya ia tetap memilih untuk memendam sendiri semua perasaannya. “Anak-anak ibu rupanya tahulah macemana ibu dibikin sama bapak itu. Ibu tapi gak cerita. Takut ibu gara-gara ibu nanti anak ibu ngelawan sama orang tuanya, kan. Jadi ibu itu gak mau bilang dulu. Cemana pun ibu tahan, ibu diam.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b52-57h2 “jadi itu ibu terlalu sayang sama emak ibu itu. Jadi ibu gak mau begadoh jangan tahu emak ibu, padahal dia tahunya macemana ibu. Tapi ibu janganlah gara-gara ibu, dia emak susah. Padahal susah juganya akhirnya kan.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b64-67h2 Pertengkaran partisipan dan suaminya berlanjut hingga usia pernikahan ke 25 tahun. Pihak keluarga dari kedua belah pihak berusaha mendamaikan partisipan dan suaminya, namun partisipan tetap bersikeras untuk berpisah. Partisipan mengatakan kepada suaminya bahwa berpisah merupakan jalan yang terbaik bagi mereka berdua. “Gitu ajalah berulang balik. Tapi situ udah 25 tahun ibu udah meninggal emak ibu itu. Jadi itulah teruslah ibu bertengkarlah. Ibu bilang kepada mantan suami, “udahlah, pigilah dulu”. Soalnya rumah ini rumah ibu kan? Pigilah dia ke rumah emaknya” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b63h2 Akhirnya sang suami pun pindah ke kediaman orang tuanya sementara partisipan pergi ke Aceh bersama cucu dan anaknya yang dipindahtugaskan. Tidak berapa lama kemudian partisipan mendengar kabar bahwa suaminya menikah kembali. Partisipan merasa ia tidak memiliki Universitas Sumatera Utara perasaan apa-apa terhadap suaminya sehingga ia tidak terlalu memikirkan kabar pernikahan tersebut. “Lama-lama dia kan laki-lakilah kan, berumah tangga. Udahlah, ibu udah berumah tangga dia, udah syukur.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b78h3 Begitu kembali dari Aceh, partisipan mengetahui bahwa suaminya sudah bercerai dengan istri keduanya dan kembali menempati rumah partisipan. Namun partisipan tidak tega untuk mengusir suaminya. Di sisi lain partisipan merasa bahwa ia dan suaminya sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal bersama anak ketiganya sementara suaminya tinggal di rumah partisipan yang terletak bersebelahan. “Jadi udah itu eceknya dia udah gak baik lagilah dia sama istrinya yang kedua itu. Jadi balik lagi dia di sini. Tinggal dia sama ibu. Pulang dari Aceh itu, di sinilah dia. Ibu orangnya gak bisa ibu ngusir.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b82-87h3 “Jadi ibu gak maulah. Jadi tetap dari situ dia di sebelah, ibu di sinilah. Dibikinkan dulu belum ada kamar di belakang itu, ditambah lagi kamar untuk tempat ibu.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b91-94h3

2. Perceraian

Setelah berpisah bertahun-tahun yang lalu, partisipan merasa hubungan pernikahannya sudah berakhir. Namun suami partisipan berpikir bahwa partisipan masih mau untuk berbaikan dengannya. Partisipan tetap mau untuk mengurusi kebutuhan sehari-hari suaminya meskipun mereka tinggal di rumah yang berbeda. Akan tetapi sifat pemarah yang dimiliki oleh Universitas Sumatera Utara suami partisipan tidak kunjung berubah. Ia bahkan bisa melakukan kekerasan fisik di depan anak dan cucu partisipan. “Jadi tetap dari situ dia di sebelah, ibu di sinilah. Dibikinkan dulu belum ada kamar di belakang itu, ditambah lagi kamar untuk tempat ibu. Eceknya ibu kan masakkan anak kita yang kerja ini. Jadi dia suami tetap makan sama kami. Tapi asik salah aja ibu. Salah juga.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b91-94h3 “pernah karena sikit aja kan ibu disiramnya pakai air panas di situ. Untung ada menantu.” “...iya. Eceknya ada lah menantu sama anak, mau marah. Iya mau.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b107h4 Suami partisipan pun kerap meminta partisipan untuk melakukan hubungan suami istri. Namun partisipan selalu menolak permintaan tersebut. Ia merasa telah berpisah dengan suaminya walau tanpa melalui proses perceraian ke pengadilan. “Rupanya dia mau diladenin jugalah. Sedangkan ibu bilang sama saudaranya. Ibu bilang ibu udah gak mau lagi, udah gak bisa lagi. Kalau mau tinggal situ terserahlah, gak ada rumahnya. Terserahlah.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b108-110h4 “Jadi itulah, ke pengadilan buang-buang uang juga ibu rasa. Bukannya ibu mau menikah pakai surat bercerai. Uang lima juta hilang tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b162-164h5 “Karena itu tadi ibu berpikir alah ngapain ibu bukannya mau kawin lagi ibu pikir kan. Tapi hati kita ini udahlah cukuplah sampai situ, begitu.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b158-160h5 Alasan lain partisipan tidak mau bercerai adalah ia merasa kasihan pada anak-anaknya karena jika bercerai mereka tidak memiliki ayah lagi. Di Universitas Sumatera Utara sisi lain, partisipan sudah tidak memiliki perasaan terhadap suaminya. Untuk itulah partisipan merasa ia tidak perlu bercerai meski tinggal bersebelahan dengan suaminya. “Ibu sebetulnya udah lama kan yang ibu bilang itu kan, karena ibu memikirkan anak-anak ibu. Kasihanlah ibu kalau minta cerai kita kan, kasihannya ibu anak-anak ini gak ada ayahnya. Lain kalau meninggal kan? Kalau cerai kasihannya. Itulah yang ibu pertahankan sebetulnya. Sayang ibu sama anak ibu. Kasihannya lah, gitu. Kalau hati ibu memang rasanya udah gak itulah.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b81-88h3 Puncak permasalahan rumah tangga partisipan terjadi ketika salah satu saudara suami partisipan meninggal dunia. Suami partisipan sudah diberitahu untuk pergi bersama anaknya tetapi ia tidak mendengar sehingga ia pun ditinggalkan oleh rombongan. Ia tidak terima karena tidak diikutsertakan untuk melayat. Ia pun memarahi bahkan memaki anaknya. “Berkelahi lagi habis saudaranya meninggal padahal dia dikasih tahu. Dikasih tahu mungkin gak dengar, marahlah dia tadi. Entah apa-apalah katanya. Begadohlah sama anak ibu. Entah apa-apa yang dibilangnya sampai macam orang lainlah. Di-anjing-kannya si anak tadi.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b128-130h4 Melihat ibunya yang penyabar, anak-anak partisipan pun menyarankan partisipan untuk segera mendaftarkan perceraiannya ke Pengadilan Agama. Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan ustadz, akhirnya partisipan mau untuk bercerai secara resmi. “itu cerai memang itu udah lama disuruh anak-anak ini. Tahunya orang itu ibu udah gak mau lagi. Jadi anak itu ya udahlah, apalagi. Ngapainlah kalau udah gak mau, gitu. ‘Jadi pun kalau bersama mamak jadi bulan-bulanan aja’, kata anak-anak ini gitu kan. Universitas Sumatera Utara Perintahnya, ininya yang gak tahan gitu. Makanya anak-anak ini mendukung.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b173-178h5 “Mudaratnya tadi kan gak berdosa lagi kita gitu. Kalau dulu itu kan ingat kita dosa. Ustadz itu bilang, “kita berdosa, gak kita ladeni sedangkan kita dah gak mau”. Kan rasanya udahlah beres, udahlah lega rasanya.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b199-201h6

3. Penyesuaian Diri Pasca bercerai

Partisipan menjalani puluhan tahun pernikahannya dengan dipenuhi konflik. Ia mengalami pergulatan emosi akibat memendam permasalahan dalam rumah tangganya. Setelah terjadinya perceraian, partisipan butuh untuk menyesuaikan diri sehingga dapat menjalani kehidupan barunya dengan lebih baik. a Tidak adanya emosi yang berlebihan Partisipan tidak menunjukkan adanya emosi yang berlebihan setelah bercerai. Partisipan memang sempat merasakan kesedihan di awal perpisahannya. Ia memikirkan rumah tangganya yang telah hancur. “oh sedihnya tetap sedih. Ha, sedih juga, “ih, hancurlah rumah tangga udah 25 tahun”. Kan lama jugalah kan? Udah anak enam, anaknya udah besar-besar. Sedih jugalah waktu itu, “hancurlah rumah tanggaku gak bisa dipertahankan”. Begitu waktu itu.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b193-196h6 Partisipan tidak mengalami emosi berlebihan pasca bercerai karena sebelum bercerai ia memang tidak memiliki perasaan terhadap Universitas Sumatera Utara mantan suaminya. Kini partisipan merasa lebih lega karena ia tidak lagi memikirkan perkara dalam rumah tangganya. “Eceknya udah gak ada lagi perasaan orang udah lamalah pula kan. Sebelum yang di pengadilan kan udah gak baik hubungannya, gak bagus. Jadi bukan lantaran begadoh baru ke pengadilan, bukan gitu. Jadi kalau itu mungkinlah ada rasa sayang, ada rasa cinta juga. Ini memang udah enggak ada tersisa apa-apa. Habis segala-galanya hilang terbang tertawa. Jadi udah gak apa-apa lagi.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b153-157h5 “Dulu dia marah-marah. Lain nanti menghadapi dia lagi makan, merepet-merepet. Kita kan dengar. Palak jugalah. Kita kan dongkol, kita kan palak. Ibu malu kali rasa ibu. Jadi ibu terpikir juga. Udah gak ada itu lega, lapang kali gak ada yang merepet- merepet marah gitu.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b371-372h11 Selain itu partisipan merasa lega karena tidak lagi merasa berdosa. Sebelumnya ia merasa berdosa karena menolak suaminya untuk melakukan hubungan suami istri. “Udah senang, udah plong gitu. Udah gak masing-masing berdosa gitulah. Kalau gak kan berdosa dia masih menganggap itu suami istri, ibu udah gak menganggap. Ibu gak merasa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b159-160h5 Sebelum bercerai, partisipan selalu memikirkan permasalahan yang terjadi padanya. Kini setelah bercerai, ia lebih santai dalam menghadapi masalah, misalnya masalah dengan keluarga mantan suaminya. Beberapa anggota keluarga mantan suaminya masih mau untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan partisipan, sedangkan beberapa orang lainnya masih menyalahkan partisipan atas perceraian yang terjadi. Universitas Sumatera Utara Tapi partisipan tidak ingin terlalu menanggapi hal tersebut dan bersikap sewajarnya saja. “Cuma adalah yang dia marah hati juga sama ibu. Ya ibu gak maulah kan. Dibilangnya ibulah yang salah kan.” “...gak apa-apa ibu. Ibu diamkan aja. Suka hati kaulah situ tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b178-183h6 “Ibu memang gak apa-apa cuma kalau ada dia rasa ibu yang salah, ya kita kan jadi malas. Itulah cuman. Itu pun ya cakap juga, tegur juga kalau udah jumpa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b185-190h6 b Tidak adanya mekanisme psikologis Partisipan tidak menunujukkan adanya mekanisme psikologis. Pada saat menikah, ia lebih suka untuk memendam segala permasalahan rumah tangganya sehingga tidak diketahui orang lain. Sekarang partisipan lebih terbuka ketika menghadapi masalah. Jika ia memiliki masalah dan memendam permasalahan tersebut, anak-anaknya akan membantu agar partisipan mengeluarkan isi hatinya. “Kadang-kadang dibilang jugalah. Tetap memang masih ada juga kalau udah sifat itu rupanya. Memang ada juga yang ibu ceritakan tapi suatu saat yang sulit rasanya kan nanti kalau ibu ceritakan nanti jadi begini-begini, maka ibu pendam. Tapi dari wajah kita nampak.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b116-118h4 W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b119-122h4 Anak-anak partisipan pun terkadang mengingat kembali pertengkaran kedua orang tuanya. Ia pun baru menyadari betapa kejamnya perilaku mantan suaminya ketika mereka masih menikah. Namun respoden tidak merasa terbebani jika harus mengingat kembali kejadian yang Universitas Sumatera Utara menimpanya di masa lalu. Ia bahkan tertawa saat membicarakannya kepada peneliti. “sebetulnya kalau ibu gak teringat. Sama anak-anak ini, “eh, gini-gini ya”. Ha, gitu. Kadang-kadang kan orang ini merasakannya gitulah. Entah apa-apa teringat yang lain, “dulu gini gini gini”. Kalau ibu memang gak lagi udah tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b195-198h6 “gak jugalah sekarang ini tertawa. Enggak karena udah lupa itu. Cuma itu tadilah, “kejam kalilah rupanya ya”, gitu ada.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b227-228h7 c Tidak adanya rasa frustrasi Partisipan tidak menunjukkan adanya perasaan frustrasi. Ia menyatakan tidak ada gangguan yang dialaminya setelah bercerai, misalnya seperti gangguan tidur yang mengindikasikan rasa frustrasi. Ia malah merasa lebih tenang karena gangguan yang datang selama ini berasal dari mantan suaminya. “enggak. Enggak ada pula itu gangguan kalau tentang itu gak adalah. Malah aman. Kalau gak nanti cakapnya mantan suami gini gini gini itukan jadi pikiran juga kalau sebelum itu. Inikan udah gak ada lagilah. Jadi kita itu tenang sikit pikiran.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b365-366h11 “Berubahnya cuma gak ada dia di sini mantan suami karena dibawa sama anak perempuan yang nomor satu kan. Kalau enggak kan di rumah ibu. Itulah, itu ajalah berubahnya. Gak ada yang marah-marah tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b290-293h9 Sebelumnya ketika masih menikah, partisipan kerap memikirkan pertengkarannya dengan mantan suami. Hal tersebut menjadi beban pikiran baginya. Universitas Sumatera Utara “dulu-dulu iya ada jugalah pemikiran, “kok begini? Mengapalah begini?” gitu juga. sekarang ini udah gak lagi tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b75-78h3 d Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri Partisipan memiliki pertimbangan rasional yang baik. Setelah bercerai, partisipan suka bermusyawarah dengan anak-anaknya sebagai pendekatan terhadap masalah. Partisipan kini dapat bertukar pikiran dengan anak-anak karena anak partisipan telah dewasa. “Ibu kompromi sama anak-anaklah. Ibu kompromikan sama anak-anak. Dari dulu ya gitu. Udah besar-besarlah orang ini gitulah. Karena dari kecil udah ibu ini menahan perasaan sebetulnya. Jadi udah besar-besar itu ya kompromilah sama anak-anak.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b185-189h6 Sebelum bermusyawarah, partisipan kerap mempertimbangkan langkah apa yang harus diambilnya. Permasalahan yang biasanya dihadapi oleh partisipan berkaitan dengan anak-anaknya. Untuk itu partisipan mengambil pertimbangan dengan menilai masalah yang dihadapinya, apakah bisa ia tangani sendiri atau apakah permasalahan tersebut perlu untuk diceritakan kepada anak partisipan yang lainnya. “oh, itu tengok-tengok masalahnya tertawa. Ibu banyak pertimbangannya. Itulah tengok-tengok masalahnya. Kadang- kadangkan anak yang satu begini, tapi kalau bilang sama dia anak yang lain jadi begini. Gak mau ibu bilang. Ha, gitu. Gak mau ibu bilangkan. Tapi kalau kira-kira memang sesuailah dimusyawarahkanlah dulu. Ha, baru mau ibu bilang. Tapi kalau kira-kira yang gak cocoknya gak ibu bilang ke yang lain.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b255-261h8 Universitas Sumatera Utara Partisipan juga mampu mengarahkan dirinya dengan baik. Ia tidak menceritakan permasalahan pernikahannya kepada teman-temannya karena ia merasa tidak perlu untuk melakukan itu. “gak ada yang tahulah. Dekat-dekat sini pun gak ada. kita gak pernah cerita-cerita soal rumah tangga. Orang ibu ini orangnya gak bercerita makanya jadi orang gak tahu. itulah makanya orang di sebelah ini pun gak pernah ibu ceritain.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b290-296h9 e Mampu untuk belajar Permasalahan pernikahan yang dialami oleh partisipan membuatnya mampu untuk belajar. Ia kini lebih mengembangkan dirinya ketika menghadapi masalah. Ia menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak lagi memendam perasaannya. “ya sikit-sikit ada juga memendam. Cuma ya selalulah diceritakan. Terbukalah gitu gak macam dulu.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b361-362h11 Pelajaran yang didapat partisipan dari perceraian ini dibagikannya pula kepada anak-anaknya. Ia mengatakan kepada anaknya untuk selalu berterus terang atas apa yang dirasakan. “oh, pelajaran kalilah. Jadi ibu tanamkan sama anak-anak ibu, “janganlah begitu. Kalau kita gak senang, bilanglah terus”. Ha, jadi pelajaran memang betul. Janganlah begitu.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b101-103h3 Ia juga berpesan agar anak-anaknya jujur, terutama dalam hal keuangan keluarga. Hal ini dikarenakan ketika menikah ia tidak Universitas Sumatera Utara mengetahui pendapatannya suaminya dan kemudian berusaha untuk menanggulangi kekurangan biaya. “itu tadilah saling jujur. Itulah ibu bilang itu kepada anak, “kalian inilah yang kerja ini, kalian dua-dua kerja. Jadi gaji kau suami berapa, gaji kau istri berapa. Berapa duit kita ini? Apa yang mau kita beli? Jujurlah, kalian bulatlah sepakat”, ibu bilang. Dari situlah pelajaran ibu tadi kan. Kalau dulu kan ibu gak tahu pendapatan dia mantan suami berapa, ibu terima. Kan ibu merasakannya kayak gitu. Begitulah pelajarannya itu juga. Jujurlah kalian bersama. Kalau gak ada kejujuran, gak ada bagusnya. Itulah, bilangkan itulah yang penting.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b131-135h4 Perceraian ini juga mengubah cara pandang partisipan terhadap orang lain. Selama ini ia menganggap bahwa jika ia baik maka semua orang juga baik. Namun kini ia tahu bahwa tidak semua orang akan membalas kebaikan yang ia berikan. Hal ini dialaminya sendiri setelah ia mencoba baik kepada mantan suaminya tetapi mantan suami malah menganggap bahwa kebaikan itu adalah sinyal untuk saling berbaikan. “...Bukannya ibu mau musuhan, mau dendam, mau apa, ibu mau baik. Tapi jangan istilah anak sekarang ini ‘lebay’ tertawa. Gitu. Jadi ibu memang mau ibu baik. Tapi jangan dia mantan suami udah baik kita teruslah. Dikiranya kita mau balik sama dia. Itulah makanya ibu jaga jarak dari dulu dia masih tinggal di sini.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b259-262h8 “Betulah. Karena rupanya gitulah manusia ya. Kalau kita lurus- lurus hidup kita, pikir kita orang itu pun lurus juga sama kita. Kan gitu hidup ini kan? Kita kan jarang itu kalau yang berbelok- belok, pikirnya orang pun belok juga hatinya. Jadi udah dikaji- kaji, dikaji-kaji, oh rupanya inilah. Gitu.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b230-234h7 Universitas Sumatera Utara f Memanfaatkan pengalaman masa lalu Setelah bercerai, partisipan belajar dari pengalaman masa lalunya. Ia kini tidak memiliki niat untuk menikah kembali. Ia merasa dirinya sudah tua dan tidak perlu untuk menikah lagi. “enggaklah. tertawa udah tua, udah mau mati. Gak adalah. Kalau ibu mau niat gitu udah dari dululah minta surat cerai. Lantaran gak ada niat itulah makanya ibu gak usahlah, gak usahlah cerai.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b310-312h9 Pengalamannya bercerai kini ia bagikan kepada anak-anaknya. Ia ingin untuk membagi pengalaman tersebut selama ia masih hidup sehingga anak-anaknya dapat mengambil contoh darinya. Ia selalu mengatakan kepada anak laki-lakinya untuk selalu sayang kepada istrinya walaupun rumah tangga mereka didera permasalahan ekonomi. “Ha, jadi pelajaran memang betul. Janganlah begitu. Kalaupun yang laki-laki ibu sarankan, “sayanglah kalian sama istri kalian”. Ibu bilang gitu, “sayanglah sama istri. Perempuan kalau kurang pun duitnya sikit kalau disayang, gak apa-apanya dia itu. Jangan marah-marah sama istri. Jangan. Karena mamak udah merasakannya”. Ibu bilang gitulah. Memang jadi pelajaran itu memang betulah. Jadi pelajaran kali memang. Ini ibu masih sehat masih bisalah ibu bilangkan anak-anak ini kan gitulah sebetulnya.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b103-110h4 Lain halnya kepada anak perempuan. Partisipan yang selalu menjadi tempat bercerita oleh anak-anaknya selalu menasehati mereka agar sabar jika menghadapi permasalahan rumah tangga. Ia juga tidak pernah menghakimi anak-anaknya sehingga mereka suka bercerita kepada partisipan. Universitas Sumatera Utara “sabar, gitu. Tapi kadang, “iyalah kami gak bisa sabar macam mamak” tertawa. “sabar, gak bisa gitu. Kita perempuan.” Kalau anak-anak udah cerita-cerita, ibu nampung aja. Gak pernah ibu marah kalau dia cerita.’sabar, nanti ada berubahnya. Jangan kau begini begini begini’. Ha, gitu ibu. Makanya mau anak-anak itu cerita.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b245-251h7 g Sikap yang realistis dan objektif Walaupun mengalami pengalaman buruk dalam pernikahannya, partisipan tetap bersikap realistis dan objektif. Ia mau memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh mantan suaminya. Ia bahkan bersedia untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya tersebut asal kehidupan pribadinya tidak lagi diusik. “oh, itu udah maafkanlah. Ibu udah gak ada lagilah rasanya. Maaflah sudah, gitu.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b169-170h5 “Ibu jadi saudara pun mau tertawa. Bukannya ibu itu benci. Enggak, jadi saudara pun ibu mau. Biarlah dia situ pun gak apa-apa tapi janganlah nguping-ngupingin ibu.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b141-142h5 Partisipan juga tidak memutuskan tali persaudaraan pada keluarga mantan suami. Ia tetap bersilaturahmi ke rumah adik mantan suaminya. Hubungan kekeluargaan tersebut telah dibangun puluhan tahun karena sedari awal partisipan dan keluarga mantan suaminya telah tinggal di lingkungan yang berdekatan. “oh kalau ibu biasa. Mau ibu datang ke tempat keluarganya. Orang udah lama kan? Datang juga ibu kalau hari raya. Ada juga ibu datang ke rumah adiknya. Ini orang itu enam Universitas Sumatera Utara bersaudara, tinggal tiga. Udah meninggal tiga orang. Kalau yang belum meninggal itu ada juga ibu datang.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b172-176h5 Partisipan juga bersikap objektif dengan menceritakan seluruh permasalahan rumah tangganya dalam penelitian ini. Ia tidak keberatan untuk membagi kisahnya karena ia tahu nantinya penelitian ini digunakan dalam ranah pendidikan. Ia hanya berusaha membantu peneliti. “gak apa-apa ibu. Gak berat, gak sedih, gak susah. Ibu malah niatnya mau nolong. Kan anak mau sekolah. Ha, itulah niat ibu. Kalau sebetulnya kan gak bagus untuk nyeritakan, gak baik kan. Tapi ibu kan rasanya, “oh, dia sekolah.” Ibu kan nolong untuk sekolahnya, gitu. Jadi ibu gak jadi masalah. Gak berat, gak ini, gak itu.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b297-301h9

3. Hasil Data Partisipan

Partisipan menikah sekitar 44 tahun yang lalu. Kehidupan awal pernikahan partisipan berjalan normal. Setelah partisipan memiliki dua orang anak, sifat suami berubah menjadi pemarah. Kekerasan yang dilakukan suami hanya dalam bentuk kekerasan verbal. Suami kerap membentak partisipan namun partisipan hanya diam saja. Ia tidak berani melawan sebab ia takut suaminya akan menggunakan kekerasan fisik terhadapnya. Partisipan menuturkan bahwa penyebab suaminya menjadi pemarah karena alasan pekerjaan. Selain itu yang menjadi permasalahan dalam rumah tangganya karena suaminya tidak bertanggung jawab, terutama terhadap keuangan rumah tangga. Selama menikah, suami partisipan tidak peduli terhadap biaya sekolah anak-anaknya. Universitas Sumatera Utara Untuk mengatasi permasalahan keuangan, partisipan kerap dibantu oleh ibunya yang juga tinggal bersama partisipan beserta keluarganya. Ia memakai uang pensiun peninggalan ayahnya untuk biaya sehari-hari. Selain itu anak- anak partisipan yang telah beranjak dewasa juga membantu biaya sekolah adik-adiknya. Meskipun didera berbagai masalah dalam kehidupan rumah tangganya, partisipan tidak pernah bercerita kepada siapapun. Ia tidak ingin hal ini membuat ibunya khawatir. Ia juga tidak menceritakan perkara rumah tangganya kepada anak-anaknya karena ia tidak mau anak-anaknya melawan ayahnya sendiri. Pada akhirnya ia tetap memilih untuk memendam sendiri semua perasaannya. Pertengkaran partisipan dan suaminya berlanjut hingga usia pernikahan ke 25 tahun. Pihak keluarga dari kedua belah pihak berusaha mendamaikan partisipan dan suaminya, namun partisipan tetap bersikeras untuk berpisah. Partisipan mengatakan kepada suaminya bahwa berpisah merupakan jalan yang terbaik bagi mereka berdua. Akhirnya sang suami pun pindah ke kediaman orang tuanya sementara partisipan pergi ke Aceh bersama cucu dan anaknya yang dipindahtugaskan. Tidak berapa lama kemudian partisipan mendengar kabar bahwa suaminya menikah kembali. Partisipan merasa ia tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap suaminya sehingga ia tidak terlalu memikirkan kabar pernikahan tersebut. Universitas Sumatera Utara Begitu kembali dari Aceh, partisipan mengetahui bahwa suaminya sudah bercerai dengan istri keduanya dan kembali menempati rumah partisipan. Namun partisipan tidak tega untuk mengusir suaminya. Di sisi lain partisipan merasa bahwa ia dan suaminya sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal bersama anak ketiganya sementara suaminya tinggal di rumah partisipan yang terletak bersebelahan. Setelah berpisah bertahun-tahun yang lalu, partisipan merasa hubungan pernikahannya sudah berakhir. Namun suami partisipan berpikir bahwa partisipan masih mau untuk berbaikan dengannya. Partisipan tetap mau untuk mengurusi kebutuhan sehari-hari suaminya meskipun mereka tinggal di rumah yang berbeda. Akan tetapi sifat pemarah yang dimiliki oleh suami partisipan tidak kunjung berubah. Ia bahkan bisa melakukan kekerasan fisik di depan anak dan cucu partisipan. Suami partisipan pun kerap meminta partisipan untuk melakukan hubungan suami istri. Namun partisipan selalu menolak permintaan tersebut. Ia merasa telah berpisah dengan suaminya walau tanpa melalui proses perceraian ke pengadilan. Alasan lain partisipan tidak mau bercerai adalah ia merasa kasihan pada anak-anaknya karena jika bercerai mereka tidak memiliki ayah lagi. Di sisi lain, partisipan sudah tidak memiliki perasaan terhadap suaminya. Untuk itulah partisipan merasa ia tidak perlu bercerai meski tinggal bersebelahan dengan suaminya. Universitas Sumatera Utara Melihat ibunya yang penyabar, anak-anak partisipan pun menyarankan partisipan untuk segera mendaftarkan perceraiannya ke Pengadilan Agama. Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan ustadz, akhirnya partisipan mau untuk bercerai. Partisipan menjalani puluhan tahun pernikahannya dengan dipenuhi konflik. Ia mengalami pergulatan emosi akibat memendam permasalahan dalam rumah tangganya. Setelah terjadinya perceraian, partisipan butuh untuk menyesuaikan diri sehingga dapat menjalani kehidupan barunya dengan lebih baik. Dalam penyesuaian diri terdapat tujuh indikator yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Berikut ini adalah tujuh indikator penyesuaian yang normal: a Tidak adanya emosi yang berlebihan Partisipan tidak menunjukkan adanya emosi yang berlebihan setelah bercerai. Partisipan memang sempat merasakan kesedihan di awal perpisahannya. Ia memikirkan rumah tangganya yang telah hancur. Kini partisipan merasa lebih lega karena ia tidak lagi memikirkan perkara dalam rumah tangganya. Partisipan tidak mengalami emosi berlebihan pasca bercerai karena sebelum bercerai ia memang tidak memiliki perasaan terhadap mantan suaminya. Selain itu partisipan merasa lega karena tidak lagi merasa berdosa. Sebelumnya ia merasa berdosa karena menolak suaminya untuk melakukan hubungan suami istri. Universitas Sumatera Utara Sebelum bercerai, partisipan selalu memikirkan permasalahan yang terjadi padanya. Kini setelah bercerai, ia lebih santai dalam menghadapi masalah, misalnya permasalahan dengan keluarga mantan suaminya. Beberapa anggota keluarga mantan suaminya masih mau untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan partisipan, sedangkan beberapa orang lainnya masih menyalahkan partisipan atas perceraian yang terjadi. Tapi partisipan tidak ingin terlalu menanggapi hal tersebut dan bersikap sewajarnya saja. b Tidak adanya mekanisme psikologis Partisipan tidak menunujukkan adanya mekanisme psikologis. Pada saat menikah, ia lebih suka untuk memendam segala permasalahan rumah tangganya sehingga tidak diketahui orang lain. Sekarang partisipan lebih terbuka ketika menghadapi masalah. Jika ia memiliki masalah dan memendam perasaannya tersebut, anak-anaknya akan membantu agar partisipan mengeluarkan isi hatinya. Anak-anak partisipan terkadang mengingat kembali pertengkaran kedua orang tuanya. Ia pun baru menyadari betapa kejamnya perilaku mantan suaminya ketika mereka masih menikah. Namun respoden tidak merasa terbebani jika harus mengingat kembali kejadian yang menimpanya di masa lalu. Ia bahkan tertawa saat membicarakannya kepada peneliti. Universitas Sumatera Utara c Tidak adanya rasa frustrasi Partisipan tidak menunjukkan adanya perasaan frustrasi. Ia menyatakan tidak ada gangguan yang dialaminya setelah bercerai, misalnya seperti gangguan tidur yang mengindikasikan rasa frustrasi. Ia malah merasa lebih tenang karena gangguan yang datang selama ini berasal dari mantan suaminya. Sebelumnya ketika masih menikah, partisipan kerap memikirkan pertengkarannya dengan mantan suami. Hal tersebut menjadi beban pikiran baginya. d Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri Partisipan memiliki pertimbangan rasional yang baik. Setelah bercerai, partisipan suka bermusyawarah dengan anak-anaknya sebagai pendekatan terhadap masalah. Partisipan kini dapat bertukar pikiran dengan anak-anak karena anak partisipan telah dewasa. Sebelum bermusyawarah, partisipan kerap mempertimbangkan langkah apa yang harus diambilnya. Permasalahan yang biasanya dihadapi oleh partisipan berkaitan dengan anak-anaknya. Untuk itu partisipan mengambil pertimbangan dengan menilai masalah yang dihadapinya, apakah bisa ia tangani sendiri atau apakah permasalahan tersebut perlu untuk diceritakan kepada anak partisipan yang lainnya. Partisipan juga mampu mengarahkan dirinya dengan baik. Ia tidak menceritakan permasalahan pernikahannya kepada teman-temannya karena ia merasa tidak perlu untuk melakukan itu. Universitas Sumatera Utara e Mampu untuk belajar Permasalahan pernikahan yang dialami oleh partisipan membuatnya mampu untuk belajar. Ia kini lebih mengembangkan dirinya ketika menghadapi masalah. Ia menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak lagi memendam perasaannya. Pelajaran yang didapat partisipan dari perceraian ini dibagikannya pula kepada anak-anaknya. Ia mengatakan kepada anaknya untuk selalu berterus terang atas apa yang dirasakan. Ia juga berpesan agar anak-anaknya jujur, terutama dalam hal keuangan keluarga. Hal ini dikarenakan ketika menikah ia tidak mengetahui pendapatannya suaminya dan kemudian berusaha untuk menanggulangi kekurangan biaya. Perceraian ini juga mengubah cara pandang partisipan terhadap orang lain. Selama ini ia menganggap bahwa jika ia baik maka semua orang juga baik. Namun kini ia tahu bahwa tidak semua orang akan membalas kebaikan yang ia berikan. Hal ini dialaminya sendiri setelah ia mencoba baik kepada mantan suaminya tetapi mantan suami malah menganggap bahwa kebaikan itu adalah sinyal untuk saling berbaikan. f Memanfaatkan pengalaman masa lalu Setelah bercerai, partisipan belajar dari pengalaman masa lalunya. Ia kini tidak memiliki niat untuk menikah kembali. Ia merasa dirinya sudah tua dan tidak perlu untuk menikah lagi. Universitas Sumatera Utara Pengalamannya bercerai kini ia bagikan kepada anak-anaknya. Ia ingin untuk membagi pengalaman tersebut selama ia masih hidup sehingga anak-anaknya dapat mengambil contoh darinya. Ia selalu mengatakan kepada anak laki-lakinya untuk selalu sayang kepada istrinya walaupun rumah tangga mereka didera permasalahan ekonomi. Lain halnya kepada anak perempuan. Partisipan yang selalu menjadi tempat bercerita oleh anak-anaknya selalu menasehati mereka agar sabar jika menghadapi permasalahan rumah tangga. Ia juga tidak pernah menghakimi anak-anaknya sehingga mereka suka bercerita kepada partisipan. g Sikap yang realistis dan objektif Walaupun mengalami pengalaman buruk dalam pernikahannya, partisipan tetap bersikap realistis dan objektif. Ia mau memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh mantan suaminya. Ia bahkan bersedia untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya tersebut asal kehidupan pribadinya tidak lagi diusik. Partisipan juga tidak memutuskan tali persaudaraan pada keluarga mantan suami. Ia tetap bersilaturahmi ke rumah adik mantan suaminya. Hubungan kekeluargaan tersebut telah dibangun puluhan tahun karena sedari awal partisipan dan keluarga mantan suaminya telah tinggal di lingkungan yang berdekatan. Partisipan juga bersikap objektif dengan menceritakan seluruh permasalahan rumah tangganya dalam penelitian ini. Ia tidak keberatan untuk Universitas Sumatera Utara membagi kisahnya karena ia tahu nantinya penelitian ini digunakan dalam ranah pendidikan. Ia hanya berusaha membantu peneliti.

B. ANALISA DAN PEMBAHASAN PARTISIPAN

Partisipan menjalani kehidupan pernikahannya dengan penuh konflik. Ia mengalami kekerasan verbal bahkan fisik yang dilakukan oleh mantan suaminya. ia menyatakan bahwa suaminya memiliki tempramen yang tinggi. Di lain pihak, partisipan tidak berani untuk melawan suaminya karena takut suaminya akan bertindak lebih kasar. Menurut Burgess dan Locke 1960 ketidaksesuaian tempramen yang dimiliki oleh pasangan suami istri dapat mengarah kepada perceraian. Permasalahan ekonomi juga termasuk ke dalam penyebab perceraian yang dikemukakan oleh Burgess dan Locke 1960. Burgess dan Locke menyatakan bahwa pasangan hendaklah memiliki kesamaan sikap dalam melihat tujuan dan peran ekonomi dalam keluarga. Hal ini juga dirasakan oleh partisipan. Ia mengatakan bahwa mantan suaminya bukanlah orang yang bertanggung jawab terutama dalam hal ekonomi keluarga. Pekerjaan suami sebagai pedagang dengan penghasilan yang tidak menentu menyulitkan partisipan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Untuk itu partisipan mencari cara dengan memakai uang pensiun orang tuanya untuk kebutuhan sehari-hari. Melihat penderitaan yang dialami ibunya, anak-anak partisipan pun menyarankan partisipan untuk bercerai. Setelah terjadinya perceraian, partisipan butuh untuk menyesuaikan diri sehingga dapat menjalani kehidupan barunya dengan lebih baik. Landis dan Universitas Sumatera Utara Landis 1960 menyatakan individu perlu menyesuaikan diri akibat permasalahan emosional akibat perceraian. Schneiders 1964 menjabarkan tujuh indikator penyesuaian diri yang normal. Ketujuh indikator tersebut adalah tidak adanya emosi yang berlebihan, tidak adanya mekanisme psikologis, tidak adanya rasa frustrasi, pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, mampu untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis dan objektif. Partisipan tidak mengalami emosi berlebihan pasca bercerai karena sebelum bercerai ia memang tidak memiliki perasaan terhadap mantan suaminya. Menurut Burgess dan Locke 1960 individu yang terikat secara emosional kepada pasangan, lebih bergantung, dan mengalami gangguan emosional setelah bercerai akan mengalami penyesuaian yang lebih sulit. Perasaan lega yang dialami partisipan karena ia tidak lagi memikirkan perkara dalam rumah tangganya. Selain itu partisipan merasa lega karena tidak lagi merasa berdosa. Sebelumnya ia merasa berdosa karena menolak suaminya untuk melakukan hubungan suami istri. Sebelum bercerai, partisipan selalu memikirkan permasalahan yang terjadi padanya. Kini setelah bercerai, ia lebih santai dalam menghadapi masalah, misalnya masalah dengan keluarga mantan suaminya. Beberapa anggota keluarga mantan suaminya masih mau untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan partisipan, sedangkan beberapa orang lainnya masih menyalahkan partisipan atas perceraian yang terjadi. Tapi partisipan tidak ingin terlalu menanggapi hal tersebut dan bersikap sewajarnya saja. Schneiders 1964 mengatakan hal ini bukan berarti bahwa individu tidak memiliki emosi, tetapi ia lebih dapat mengendalikan dirinya ke arah yang lebih positif. Universitas Sumatera Utara Partisipan tidak menunjukkan adanya mekanisme psikologis. Schneiders 1964 mengemukakan penyesuaian yang normal dikarakteristikkan dengan tidak adanya mekanisme psikologis. Pendekatan langsung kepada masalah dinilai sebagai penyesuaian yang normal. Setelah bercerai partisipan lebih terbuka ketika menghadapi masalah. Kalaupun ia memiliki masalah dan memendam permasalahan tersebut, anak-anaknya akan membantu agar partisipan mengeluarkan isi hatinya. Anak-anak partisipan pun terkadang mengingat kembali pertengkaran kedua orang tuanya. Ia pun baru menyadari betapa kejamnya perilaku mantan suaminya ketika mereka masih menikah. Namun respoden tidak merasa terbebani jika harus mengingat kembali kejadian yang menimpanya di masa lalu. Ia bahkan tertawa saat membicarakannya kepada peneliti. Proses pengkajian ulang ini akan membantu individu untuk mengidealisasikan hubungannya dengan mantan pasangan Burgess Locke, 1960. Indikator selanjutnya dalam penyesuaian diri yang normal adalah tidak adanya rasa frustrasi. Menurut Schneiders 1964 frustrasi dapat mengganggu individu untuk mengatasi permasalahan secara normal. Partisipan tidak menunjukkan adanya perasaan frustrasi. Ia menyatakan tidak ada gangguan yang dialaminya setelah bercerai. Ia malah merasa lebih tenang karena gangguan yang datang selama ini berasal dari mantan suaminya. Sebelumnya ketika masih menikah, partisipan kerap memikirkan pertengkarannya dengan mantan suami. Hal tersebut menjadi beban pikiran baginya. Universitas Sumatera Utara Indikator yang keempat adalah pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Kemampuan individu untuk memikirkan dan memecahkan masalah dinilai Schneiders 1964 sebagai penyesuaian yang normal. Partisipan menunjukkan pertimbangan rasional yang baik. Setelah bercerai, partisipan suka bermusyawarah dengan anak-anaknya sebagai pendekatan terhadap masalah. Partisipan kini dapat bertukar pikiran dengan anak-anak karena anak partisipan telah dewasa. Hal ini juga sejalan dengan penyesuaian perceraian oleh Burgess dan Locke 1960 dimana berbicara dengan orang lain dapat melampiaskan emosi individu pasca bercerai. Sebelum bermusyawarah, partisipan kerap mempertimbangkan langkah apa yang harus diambilnya. Permasalahan yang biasanya dihadapi oleh partisipan berkaitan dengan anak-anaknya. Untuk itu partisipan mengambil pertimbangan dengan menilai masalah yang dihadapinya, apakah bisa ia tangani sendiri atau apakah permasalahan tersebut perlu untuk diceritakan kepada anak partisipan yang lainnya. Dalam mempertimbangkan sesuatu, lansia biasanya menggunakan waktu yang lebih lama daripada orang yang lebih muda. Selain itu lansia akan mengambil keputusan dengan lebih efektif jika permasalahannya sudah familiar baginya Cavanaugh Blanchard-Fields, 2006. Permasalahan pernikahan yang dialami oleh partisipan membuatnya mampu untuk belajar. Ia kini lebih mengembangkan dirinya ketika menghadapi masalah. Ia menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak lagi memendam perasaannya. Perceraian ini juga mengubah cara pandang partisipan terhadap Universitas Sumatera Utara orang lain. Penyesuaian yang normal dilihat dari perkembangan diri yang meningkat setelah mengalami konflik Schneiders, 1964. Indikator selanjutnya adalah memanfaatkan pengalaman masa lalu. Dalam proses perkembangan dan perubahan, memanfaatkan masa lalu merupakan suatu hal yang penting karena di sinilah individu dapat belajar Schneiders, 1964. Setelah bercerai, partisipan belajar dari pengalaman masa lalunya. Ia kini tidak memiliki niat untuk menikah kembali. Ia merasa dirinya sudah tua dan tidak perlu untuk menikah lagi. Menurut Buckle dalam Cavanaugh Blanchard-Fileds, 2006 probabilitas wanita yang menjadi janda untuk menikah kembali akan menurun seiring bertambahnya usia. Pengalamannya bercerai kini ia bagikan kepada anak-anaknya. Ia ingin untuk membagi pengalaman tersebut selama ia masih hidup sehingga anak- anaknya dapat mengambil contoh darinya. Ia selalu mengatakan kepada anak laki- lakinya untuk selalu sayang kepada istrinya walaupun rumah tangga mereka didera permasalahan ekonomi. Sedangkan kepada anak perempuan ia selalu menasehati mereka agar sabar jika menghadapi permasalahan rumah tangga. Chinen dalam Cavanaugh dan Blanchard-Field, 2006 menyatakan bahwa pengalaman hidup seseorang dalam mengatasi suatu permasalahan dapat menjadikannya sebagai orang yang bijaksana. Indikator terakhir penyesuaian yang normal adalah sikap yang realistis dan objektif Schneiders, 1964. Sikap ini didapatkan dari pembelajaran di masa lalu dan pemikiran rasional. Dengan bersikap realistis dan objektif, individu dapat menilai permasalahan sebagaimana mestinya. Sikap ini dapat dilihat dalam diri Universitas Sumatera Utara partisipan. Ia mau memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh mantan suaminya. Ia bahkan bersedia untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya tersebut asal kehidupan pribadinya tidak lagi diusik. Burgess dan Locke 1960 serta DeGenova 2008 menyatakan berhubungan dengan mantan pasangan merupakan salah satu bentuk penyesuaian setelah bercerai. Lebih lanjut DeGenova 2008 menerangkan jika semakin buruk hubungan dengan mantan pasangan, maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri. Selain dengan mantan pasangan, menjaga hubungan dengan mantan keluarga pasangan juga merupakan salah satu bentuk penyesuaian seperti yang juga dikemukakan oleh DeGenova 2008. Wanita lebih suka menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan pria, terutama jika ia mendapatkan hak asuh anak. hal ini jelas terlihat pada partisipan. Ia tetap bersilaturahmi ke rumah adik mantan suaminya. Ia mengatakan hubungan kekeluargaan tersebut telah dibangun puluhan tahun karena sedari awal partisipan dan keluarga mantan suaminya telah tinggal di lingkungan yang berdekatan. Berdasarkan indikator-indikator yang telah dijabarkan, dapat dilihat bahwa penyesuaian diri partisipan didukung oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan. Perceraian yang dialami partisipan mendapatkan dukungan penuh dari anak-anaknya. Setelah bercerai pun partisipan tetap tinggal di lingkungan yang sama dengan anak, cucu, serta makciknya sehingga partisipan tidak pernah merasakan kesepian ataupun memikirkan perceraiannya. Menjaga hubungan dengan anak dapat membantu individu mendapatkan dukungan praktis serta dukungan sosial-emosional untuk mengurangi stres pasca bercerai DeGenova, Universitas Sumatera Utara 2008. Selain itu menurut Burgess dan Locke 1960 wanita yang bercerai cenderung tinggal di suatu lingkungan dimana ia dapat berbagi cerita sehingga dapat melampiaskan emosi-emosinya pasca bercerai. Permasalahan pernikahan telah terjadi selama puluhan tahun sebelum akhirnya partisipan resmi bercerai. Ia sudah tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap suaminya jauh sebelum perceraian terjadi. DeGenova 2008 menyatakan bahwa pihak yang menginginkan perceraian dan tidak terikat secara emosional pada pasangan merasakan stres yang lebih rendah pasca bercerai. Selain faktor lingkungan, penyesuaian diri partisipan juga didukung oleh perkembangan dan kematangan intelektual maupun emosi yang dimilikinya. Partisipan juga menunjukkan kematangan emosi ketika ia merasa lebih santai dalam menghadapi masalah. Schneiders 1964 menyatakan pertumbuhan dan kematangan dapat membantu penyesuaian seiring meningkatnya tahap perkembangan seseorang. Ia pun menjelaskan bahwa kematangan emosional merupakan aspek yang paling penting dari semuanya. Universitas Sumatera Utara Tabel 3. Rekapitulasi Penyesuaian Diri Partisipan Pasca Bercerai No Indikator Penyesuaian Diri yang Normal Schneiders, 1964 Gambaran Penyesuaian Diri 1 Tidak adanya emosi yang berlebihan - Merasa lebih lega karena tidak lagi memikirkan perkara dalam rumah tangganya. - Merasa lega karena tidak lagi merasa berdosa karena menolak suaminya untuk melakukan hubungan suami istri. - Lebih santai dalam menghadapi masalah 2 Tidak adanya mekanisme psikologis - Lebih terbuka ketika menghadapi masalah. - Tidak merasa terbebani jika harus mengingat kembali kejadian yang menimpanya di masa lalu. 3 Tidak adanya rasa frustrasi - Tidak ada gangguan yang dialaminya setelah bercerai - Merasa lebih tenang karena gangguan yang datang selama ini berasal dari mantan suaminya. 4 Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri - Bermusyawarah dengan anak-anaknya sebagai pendekatan terhadap masalah. - Mempertimbangkan langkah apa yang harus diambilnya. - Tidak menceritakan permasalahan pernikahannya kepada teman-temannya karena ia merasa tidak perlu untuk melakukan itu. 5 Mampu untuk belajar - Menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak lagi memendam perasaannya. - Mengatakan kepada anaknya untuk selalu berterus terang atas apa yang dirasakan juga dalam hal keuangan keluarga. - Mengubah cara pandang partisipan terhadap orang lain. 6 Memanfaatkan pengalaman masa lalu - Tidak memiliki niat untuk menikah kembali. Ia merasa dirinya sudah tua dan tidak perlu untuk menikah lagi. - Membagikan pengalaman bercerai kepada anak- anaknya. 7 Sikap yang realistis dan objektif - Mau memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh mantan suaminya. - Bersedia untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya tersebut asal kehidupan pribadinya tidak lagi diusik. - Tidak memutuskan tali persaudaraan pada keluarga mantan suami. - Tidak keberatan untuk membagi kisahnya karena ia tahu nantinya penelitian ini digunakan dalam ranah pendidikan. Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Skema Gambaran Penyesuaian Diri Partisipan Pasca Bercerai Keterangan: Mempengaruhi

1. Tidak adanya emosi berlebihan

- Merasa lega - Lebih santai dalam menghadapi masalah Perceraian: Tidak merasakan apa-apa setelah bercerai Penyebab Perceraian: - Kekerasan dalam rumah tangga - Sudah lama berpisah sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerai

2. Tidak adanya mekanisme psikologis -

Lebih terbuka dalam menghadapi masalah - Tidak merasa terbebani jika mengingat kembali pernikahannya

3. Tidak adanya rasa frustrasi

- Tidak mengalami gangguan setelah bercerai - Lebih tenang karena selama ini gangguan yang dirasakan berasal dari mantan suaminya

4. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri

- Bermusyawarah - Mempertimbangkan setiap langkah yang akan diambil

6. Memanfaatkan pengalaman masa lalu

- Tidak ingin untuk menikah kembali - Membagikan pengalaman bercerai kepada anak-anaknya

7. Sikap yang realistis dan objektif -

Mau memaafkan kesalahan mantan suaminya - Masih mau menganggap mantan suami seperti saudara - Masih berhubungan baik dengan keluarga mantan suami. - Bersikap objektif dengan membagikan kisah perceraiannya kepada peneliti Faktor yang Mempenga- ruhi: - Dukungan yang didapatkan dari lingkungan - Perkembangan dan kematangan emosional

5. Mampu untuk belajar

- Menjadi pribadi yang lebih terbuka - Mengubah cara pandang terhadap orang lain P E N Y E S U A I A N D I R I Universitas Sumatera Utara 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan kesimpulan yang didapatkan melalui hasil penelitian. Selanjutnya akan dikemukakan saran praktis dan metodologis yang mungkin berguna untuk penelitian selanjutnya.

A. KESIMPULAN

Partisipan penelitian memiliki penyesuaian diri yang baik pasca bercerai. Berdasarkan indikator penyesuaian diri yang normal, partisipan tidak memiliki emosi berlebihan setelah bercerai karena ia merasa lega setelah sebelumnya ia merasa terganggu memikirkan perkara rumah tangganya serta tidak lagi merasa berdosa untuk menolak ajakan suami melakukan hubungan suami istri. Partisipan juga merasa lebih tenang dan merasa tidak ada gangguan di dalam hidupnya karena gangguan yang ia rasakan selama ini berasal dari mantan suaminya. Ia juga lebih santai, terbuka, dan tidak memendam perasaannya lagi dalam menghadapi permasalahan. Partisipan pun memiliki pertimbangan rasional yang baik dengan selalu mempertimbangkan langkah apa yang harus diambil dalam setiap permasalahan. Kemampuan partisipan untuk belajar dari perceraiannya ini juga dibagikannya kepada anak-anaknya agar mereka selalu berterus terang kepada pasangannya masing-masing. Selain membagikan pengalamannya bercerai, partisipan juga memanfaatkan pengalamannya dengan memutuskan tidak ingin Universitas Sumatera Utara menikah kembali. Partisipan memiliki sikap yang realistis dengan mau memaafkan perbuatan mantan suaminya. Ia pun bersedia menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya. Partisipan bersikap objektif dengan selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga mantan suami. Ia juga objektif melihat perceraiannya karena ia tidak keberatan untuk menceritakan permasalahan perceraiannya kepada peneliti untuk tujuan pendidikan. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh partisipan didukung oleh faktor perkembangan dan kematangan emosional serta lingkungan keluarga yang terus memberikannya dukungan secara emosional.

B. SARAN