PROSES PEMEKARAN KABUPATEN TANA TIDUNG

PROSES PEMEKARAN KABUPATEN TANA TIDUNG
Oleh: ASFIANIH ( 04230009 )
Goverment Science
Dibuat: 2008-08-05 , dengan 3 file(s).

Keywords: Pemekaran, Pemerintah Daerah, dan Pelayanan
Era reformasi tengah bergulir kurang lebih 10 tahun lamanya dengan berbagai resep pemerataan
pembangunan hingga terbentuknya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang tersebut membawa angin segar kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk
menyelenggarakan pemerintahannya atas asas desentralisasi saja, dengan memberikan
kewenangan menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri (otonomi) secara luas, nyata
dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, dengan melihat kondisi wilayah dan letaknya yang jauh
dari ibukota propinsi, maka kecamatan kecamatan Sesayap, Sesayap Hilir, dan Tana Lia di
Kabupaten Bulungan serta kecamatan Lumbis, Sembakung, dan Sebuku di Kabupaten Nunukan.
tesebut berinisiatif untuk memekarkan daerahnya dengan nama “Kabupaten Tana Tidung”.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, jenis penelitiannya
adalah deskriptif. Sedangkan lokasi penelitiannya adalah di Kabupaten Bulungan, dengan
pertimbangan bahwa Kabupaten Bulungan merupakan Kabupaten induk dan tempat tinggal dari
peneliti, sehingga mempermudah penelitian. Adapun subyek yang diteliti adalah Ketua
Presidium sidang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung, Bupati Kabupaten Bulungan
(Kabupaten Induk), Bupati Sementara Kabupaten Tana Tidung, Kepala Bagian Tata

Pemerintahan Kabupaten Bulungan (Kabupaten Induk) dan Tokoh Masyarakat Tidung.
Adapun hasil dari penelitian Proses pemekaran Kabupaten Tana Tidung ini adalah bahwa proses
pemekaran Kabupaten Tana Tidung ini berjalan dengan baik walaupun diwarnai dengan berbagi
pro dan kontra sebagimana yang di alami oleh daerah-daerah pemekaran yang lain. Proses
pemekaran ini berlangsung selama kurun waktu lima tahun yaitu dimulai dengan adanya
keinginan dari masyarakat untuk memekarkan daerahnya menjadi Kabupaten Baru yaitu
Kabupaten Tana Tidung, yang diwakili oleh para tetua-tetua adat yaitu Pangeran Ismail dan Drs.
Hasan Basri (berasal dari Kecamatan Sebuku), Pangeran kumisi (berasal dari Kecamatan
Sembakung), Kuasaudan (berasal dari Kecamatan Lumbis) dan H. Nuh (berasal dari kecamatan
Sesayap yang juga mewakili Kecamatan Sesayap Hilir dan Tana Lia). Keinginan masyarakat ini
untuk memekarkan daerahnya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mendapatkan pelayanan
yang lebih baik, seperti di bidang kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya, karena letak
wilayah yang jauh dari ibukota Kabupaten. Oleh karena itu, dibentuklah tim Presidium
Pembentukan Kabupaten Tana Tidung (PPKTT) sebagai wadah untuk mengakomodir dan
mempermudah akses dalam pembentukan Kabupaten Tana Tidung ini. Kemudian dimulailah
perjuangan untuk merealisasikan aspirasi rakyat untuk membentuk Kabupaten Tana Tidung yang
diawali dengan proses lobbi kepada pejabat-pejabat yang bersangkutan seperti DPRD Bulungan
dan Nunukan, Bupati Bulungan dan Nunukan, Pemerintahan Daerah Provinsi Kalimantan Timur,
Gubernur Kalimantan Timur, serta pada Menteri Dalam Negeri. Dalam perkembangan, tiga
kecamatan di Nunukan menolak bergabung. Jumlah itu cukup untuk membentuk kabupaten baru.

Alasannya, usulan diajukan saat berlaku Undang-Undang 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan itu menyebut untuk membentuk kabupaten baru minimal tiga kecamatan. Peraturan
itupun direvisi menjadi UU 32/2004. Di dalamnya disebut suatu kabupaten baru terbentuk dari
minimal lima kecamatan. Tana Tidung selamat dan tetap bisa diusulkan. Oleh karena itu,

dukungan pun mengalir tiada henti termasuk dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Akhirnya, pada tanggal 17 Juli 2007 komisi II DPR RI mengesahkan Undang-undang nomor 34
Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Tana Tidung dan berakhirlah proses pemekaran
Kabupaten Tana Tidung.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemekaran kabupaten Tana Tidung ini merupakan
aspirasi dari masyarakat di Kecamatan Sesayap, Sesayap Hilir, dan Tana Lia di Kabupaten
Bulungan serta Kecamatan Sembakung, Sebuku dan Lumbis di Kabupaten Nunukan yang benarbenar ingin memajukan daerahnya ke arah yang lebih baik, khususnya pelayanan kepada
masyarakat, baik dibidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain, karena daerah ini terletak cukup
jauh dari ibukota kabupaten, sehingga akses pemerintahan khususnya pelayanan pemerintah
kepada masyarakat menjadi kurang efisien. Walaupun pada pertengahan proses pemekaran
Kabupaten Tana Tidung ini tiga kecamatan dari Kabupaten nunukan menolak untuk bergabung.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas, beberapa rekomendasi yang dapat diusulkan adalah
sebagai berikut:
1.Pemekaran daerah otonomi Kabupaten Tana Tidung dipandang perlu untuk mempersiapkan
berbagai sarana pendukung seperti fasilitas infrastruktur pemerintahan, ekonomi, sosial, sumber

daya manusia, dan finansial serta sarana pendukung lain yang dibutuhkan oleh suatu daerah
otonom.
2.Meningkatkan fasilitas dan infrastruktur di wilayah darat agar dapat menjangkau wilayahwilayah yang selama ini belum mampu diakses. Ekspansi infrastruktur perhubungan perlu
dilakukan karena masih terdapat wilayah-wilayah yang terisolir yang potensinya belum
termanfaatkan dengan baik.

The reformation age evolves more or less than ten years involving some prescriptions of
development distribution with its peak remains on the determination of Act No. 32 of 2004 on
Local Government. The Act brings along fresh wind to the Regency/City to organize the
government based on decentralization, by assigning the wide, actual, and responsible authority
for the autonomy. Regarding to the distant region from the province capital, the Sesayap,
Sesayap Hilir, and Tana Lia Subdistricts in the Bulungan Regency, and Lumbis, Sembakung, and
Sebuku Subdistricts in the Nunukan Regency, take initiative to extend its region into “Tana
Tidung Regency”.
Here, the author uses qualitative research with descriptive type. Research takes place at the
Bulungan Regency considering that the Bulungan Regency represents the host and address of the
author such that it facilitates the research. The observed subject includes the Presidium Head of
Court for the establishment of the Tana Tidung Regency, the Regent of the Bulungan Regency
(Host Regency), the Temporary Regent for the Tana Tidung Regency, the Head of Governmental
Issue for the Bulungan Regency (Host Regency) and public figures of Tidung Community.

Results of research on the extension process of the Tana Tidung Regency indicate that the
process goes well despite its pro and contra positions as also occurred in the other extended area.
The extension process takes five years to begin in adjusting to public interest to extend its area
into new regency called the Tana Tidung Regency. The representatives of this interest include
tradition elders such as Prince Ismail and Drs.Hasan Basri (for Sebuku Subdistrict), Prince
Kumisi (for Sembakung Subdistrict), Kausaudan (for Lumbis Subdistrict), and H. Nuh (for
Sesayap Subdistrict, but also covering Sesayap Hilir and Tana Lia Subdistricts). The public

interest develops from the background of the desire of getting the better service, for instance in
health, education, and other fields, due to its remote position from the capital of regency.
Therefore, it stimulates the establishment of Presidium Team for the Establishment of The Tana
Tidung Regency (PPKTT) as the institution to accommodate and to facilitate the access to the
establishment of the Tana Tidung Regency. It initiates the struggle to realize public aspiration to
establish the Tana Tidung Regency through lobbies for the related officials in the Local
Representative Board in Bulungan and Nunukan, the regents of Bulungan and Nunukan
Regencies, Local Government of East Kalimantan Province, the Governor of East Kalimantan,
and the Minister of Internal Issue. In fact, three subdistricts in Nunukan Regency stand against
the extension. Meanwhile, the number of three has been enough to establish new regency. The
reason behind this may be that the proposition comes up based on Act No. 22 of 1999 on Local
Government. The Act mentions about the requirement of minimally three subdistricts for the

establishment of new regency. The Act has been revised into Act No.32 of 2004. The revised
regulation confirms that the new regency requires five subdistricts in minimum, and thus the
Tana Tidung Regency proposition still remains safe. Unstoppable support enters into the
government of East Kalimantan Province. At last, on July 17 of 2007, the Second Commission of
Indonesian Local Representative Board verifies the Act No. 34 of 2007 on the establishment of
the Tana Tidung Regency, and it finalizes the extension process of the Tana Tidung Regency.
Considering these results, it may be concluded that the extension into the Tana Tidung Regency
represents the public aspiration from Sesayap, Sesayap Hilir, and Tana Lia Subdistricts in the
Bulungan Regency, throughout Sembakung, Sebuku and Lumbis Subdistricts in the Nunukan
Regency, in order to gain better development in the public service, education, health and other
fields due to its remote position from the regency capital and to the inefficient governmental
service to the public. Amid the extension process for the Tana Tidung Regency, three subdistricts
in the Nunukan Regency refuse to join. Taking account these conclusions, research gives some
recommendations that:
1. The extension into autonomous area of the Tana Tidung Regency seems important to be
followed by preparing the supporting structures such as governmental, economic, social, human
resource and financial facilitates, and other infrastructures demanded by a newly autonomous
area.
2. The improvement of upland facility and infrastructure should be important to afford recently
inaccessible area. The expansion of transportation infrastructure must be considered because of

many isolated places with its yet unexploited potential.