Side Effects of Isopropilamine Glyphosate Herbicide Used on Growth, Yield, and Residue of Maize

EFEK SAMPING PENGGUNAAN HERBISIDA IPA-GLIFOSAT
TERHADAP PERTUMBUHAN, HASIL, DAN
RESIDU PADA JAGUNG

MUHAMMAD DANANG FAQIHHUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efek Samping
Penggunaan Herbisida IPA-Glifosat terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Residu
pada Jagung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014

Muhammad Danang Faqihhudin
NIM A252120171

RINGKASAN
MUHAMMAD DANANG FAQIHHUDIN. Efek Samping Penggunaan Herbisida
IPA-Glifosat terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Residu pada Jagung. Dibimbing
oleh HARIYADI sebagai ketua dan HENI PURNAMAWATI sebagai anggota
komisi pembimbing.
Jagung merupakan salah satu serealia yang strategis di Indonesia.
Peningkatan permintaan jagung disebabkan jagung dapat digunakan sebagai
pakan ternak, olahan makanan dan minuman, serta bahan baku energi alternatif.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman
jagung adalah dengan perbaikan teknik budidaya, misalnya dengan pengefisienan
biaya produksi dan tenaga kerja melalui sistem budidaya tanpa olah tanah (TOT).
Budidaya TOT identik dengan penggunaan herbisida terutama dalam
pengendalian gulma. Herbisida yang paling banyak digunakan adalah herbisida
berbahan aktif IPA-Glifosat. Herbisida IPA-Glifosat bersifat sistemik, non selektif,

pra tumbuh dengan spektrum pengendalian yang luas. Karena sifatnya yang non
selektif, penggunaan herbisida IPA-Glifosat berpotensi masuk kedalam tanaman
jagung yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasilnya. Selain itu,
terserapnya herbisida IPA-Glifosat berpotensi menimbulkan residu pada hasil
panennya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
herbisida berbahan aktif glifosat terhadap pertumbuhan dan hasil jagung.
Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Sindang Barang IPB,
Bogor, Jawa Barat pada bulan April sampai Agustus 2013. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor, yaitu dosis
formulasi herbisida berbahan aktif Isopropilamina glifosat. Perlakuan yang
diberikan untuk petak percobaan terdiri atas kontrol (tanpa herbisida), herbisida
dengan dosis 3, 4, 5 dan 6 l ha-1. Satuan petak terdiri atas areal seluas 4 m x 4 m
dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm. Varietas jagung yang digunakan pada
penelitian ini adalah Lamuru. Aplikasi herbisida dilakukan hanya satu kali, yaitu 1
minggu sebelum tanam jagung. Penggunaan herbisida glifosat dengan berbagai
dosis berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Hasil parameter
pertumbuhan tertinggi terdapat pada perlakuan herbisida glifosat dosis 4 l ha-1.
Pola yang sama teramati pada peubah hasil jagung. Peningkatan dosis herbisida
glifosat di atas 4 l ha-1 menurunkan hasil yang diamati baik itu peubah
pertumbuhan maupun hasil tanaman jagung. Hasil analisis residu herbisida

glifosat menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan terdapat residu glifosat. Pada
perlakuan kontrol, adanya residu glifosat diduga akibat aliran air permukaan.
Semakin tinggi dosis herbisida yang diberikan maka semakin tinggi pula residu
glifosat pada jagung pipil. Hasil uji residu herbisida glifosat pada penelitian ini
masih di bawah BMR (Batas Maksimum Residu).
Kata kunci : pertumbuhan dan hasil jagung, residu glifosat

SUMMARY
MUHAMMAD DANANG FAQIHHUDIN. Side Effects of Isopropilamine
Glyphosate Herbicide Used on Growth, Yield, and Residue of Maize. Under
supervision of HARIYADI as chairman and HENI PURNAMAWATI as member
of the advisory committee.
Maize is one of strategic cerealia in Indonesia. Increased of maize demand
was a result of maize various function as feed, ingredient for food and drinks and
raw material for alternative energy. A way to increase maize production is
through amelioration of cultivation technique, for example by increasing
production cost and labor efficiency through no tillage cultivation. No-tillage
cultivation was identical with herbicide especially for weed control. The most
common herbicide used is herbicide with Isopropilamine Glyphosate as active
ingredient which is systemic, non-selective, pre-growth and broad spectrum

control herbicide. Because of it’s non-seletive characteristic, IPA-Glyphosate
herbicide use has potential to get into maize plant and affect its growth and yield.
Also, absorption of IPA-Glyphosate has potential to form residue in the harvested
yield. The objective of this research was to study the effect of IPA-Glyphosate
herbicide on maize growth and yield.
This experiments was conducted at Sindang Barang Farm IPB, Bogor
from April to August 2013. The experiment used is a Randomized Block Design as
experimental design with one factor, formulation of herbicide ith Isopropilamine
Glyphosate as active ingredient. The experiment consisted of 5 treatments such as
control, and herbicide with doses 3, 4, 5, and 6 l ha-1. Plot size was 4 m x 4 m,
with plant spacing of 70 cm x 20 cm. Plots were treated on week before planting.
Growth and yield of corn were influenced by herbicide treatments. Herbicide
treatment at doses of 4 l ha-1 to produce seed growth, number of leaves, plant
height, and leaf area the highest compared with other treatments. Similiar results
also occur in the yield parameters of corn. Increased herbicide doses above 4 l
ha-1 lower the better outcomes observed that variable growth and yield of corn.
Based on glyphosate residue analysis indicated that each treatments contained
residues of glyphosate. Herbicide treatment doses of 6 l ha-1 showed the highest
residual value compared with other treatments. The Isopropilamine Glyphosate
herbicide residue test result in this research were still under Maximum Limit of

Residue.
Keywords : glyphosate residue, growth and yield of corn

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFEK SAMPING PENGGUNAAN HERBISIDA IPA-GLIFOSAT
TERHADAP PERTUMBUHAN, HASIL, DAN
RESIDU PADA JAGUNG

MUHAMMAD DANANG FAQIHHUDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr Ir Sudradjat, MS

Judul Tesis : Efek Samping Penggunaan Herbisida IPA-Glifosat terhadap
Pertumbuhan, Hasil, dan Residu pada Jagung
Nama
: Muhammad Danang Faqihhudin
NIM
: A252120171

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Hariyadi, MS
Ketua

Dr Ir Heni Purnamawati, MSc.Agr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 24 Maret 2014


Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Efek Samping Penggunaan Herbisida IPA-Glifosat terhadap
Pertumbuhan, Hasil, dan Residu pada Jagung
Nama
: Muhammad Danang Faqihhudin
: A252120171
NlM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

セ@

r Ir Hari yadi, MS
Ketua

Dr Ir Heni Purnamawati, MSc.Agr
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Tanggal Ujian: 24 Maret 2014

Tanggal Lulus:

1 5 APR 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,
rahmat dan rizki selama ini serta kepada Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW
atas panutan, petunjuk, dan tuntunan agar selalu berada pada jalan yang baik dan
benar sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tujuan penelitian ini
menitikberatkan pada pertumbuhan, hasil serta residu pada jagung akibat

pemakaian herbisida IPA-Glifosat yang dilaksanakan pada bulan April sampai
Agustus 2013. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Dr Ir Hariyadi, MS selaku dosen pembimbing dan pemberi dana hibah
penelitian yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama kegiatan
penelitian dan penulisan tesis.
2. Dr Ir Heni Purnamawati, MSc.Agr selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan
penulisan tesis.
3. Dr Ir Sudradjat, MS selaku dosen penguji yang banyak memberikan
masukan dan saran untuk perbaikan tesis.
4. Bapak Soetrisno, Ibu Siti Rukayah, Diah Istiqomatul Husnia, Tsani Ida
Rahmawati, dan Rizki Trisna Putri atas segala doa, semangat, bantuan,
perhatian, dan kasih sayangnya selama ini.
5. Sri Ayu Dwi Lestari, perempuan pendamping yang setia memberikan
semangat, dukungan, serta doa dari awal sampai akhir perkuliahan dan
penelitian.
6. Staf Kebun Percobaan Sindang Barang yang telah membantu selama
percobaan di lapangan.
7. Ade Sumiahadi, Ibu Lely Munawaroh, Destieka Wahyuni, Hafith Furqoni,

Titistyas G.A, Wahyu Fikrinda, Bapak Lalu Zarwazi, Bapak Ari Budiawan,
Bayu Anggara, Nurcholis, M. Rifadillah, Wika A.D, Aulia Wika serta
teman-teman Pascasarjana AGH 2011 Genap dan AGH 2012 Ganjil dan
Genap atas segala bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan
kepada pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, April 2014
Muhammad Danang Faqihhudin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
Kerangka Pemikiran

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian Gulma pada Budidaya Jagung
Budidaya Tanaman Tanpa Olah Tanah
Herbisida
Herbisida IPA-Glifosat
Dampak Residu Herbisida

4
4
5
6
7
8

METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode
Pelaksanaan
Persiapan Lahan
Penanaman
Pemeliharaan dan Panen
Pengamatan

9
9
9
9
9
9
10
10
10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Analisis Vegetasi Gulma
Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Tanaman Jagung
Residu Herbisida IPA-Glifosat pada Pipil Jagung

16
16
17
18
24

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

25
25
26

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

29

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Hasil pengamatan SDR gulma
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap daya tumbuh
tanaman jagung
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap jumlah daun
tanaman jagung
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap tinggi tanaman
jagung
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap jumlah klorofil,
luas daun, dan rata-rata waktu berbunga tanaman jagung
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap panjang dan
diameter tongkol jagung
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap bobot tongkol
basah dan kering jagung per tanaman
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap bobot tongkol
basah dan kering jagung hasil ubinan
Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap bobot brangkasan,
bobot biji kering, dan bobot 100 butir biji jagung
Kadar residu herbisida IPA-Glifosat pada pipil jagung

17
19
19
20
21
22
22
23
23
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Diagram alir kerangka pemikiran
Struktur kimia N-(phosponomethyl) glycine
Bahan baku pembuatan larutan standar IPA-Glifosat
Larutan standar IPA-Glifosat yang digunakan dalam analisis residu
Tepung jagung, diklorometan, dan acetone sebagai bahan dalam tahap
ekstraksi residu
Larutan acetone + diklorometan
Pencampuran tepung jagung dengan larutan acetone + diklorometan
Penyaringan ekstrak tepung jagung dengan kertas saring
Ekstrak jagung, florisil, dan Na2SO4 sebagai bahan untuk tahap
pemurnian
Penyaringan menggunakan buret yang berisi florisil dan Na2SO4
Penguapan sampel menggunakan rotavapor
Hasil sampel yang sudah diuapkan
Kondisi lahan setelah aplikasi herbisida dan pemetakan

4
7
12
13
13
14
14
14
14
15
15
15
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Layout penelitian
Letak tanaman contoh per petak
Pengambilan contoh gulma
Kalibrasi herbisida IPA-Glifosat
Deskripsi jagung varietas Lamuru
Data iklim selama penelitian
Chromatogram larutan standar IPA-Glifosat
Chromatogram sampel pipil jagung perlakuan kontrol
Chromatogram sampel pipil jagung perlakuan IPA-Glifosat dosis 3 l ha-1
Chromatogram sampel pipil jagung perlakuan IPA-Glifosat dosis 4 l ha-1
Chromatogram sampel pipil jagung perlakuan IPA-Glifosat dosis 5 l ha-1
Chromatogram sampel pipil jagung perlakuan IPA-Glifosat dosis 6 l ha-1
Chromatogram sampel pipil jagung perlakuan penyiangan manual
Batas maksimum residu herbisida IPA-glifosat

29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu serealia yang strategis di Indonesia. Jagung
mempunyai peluang untuk dikembangkan karena fungsinya sebagai sumber utama
karbohidrat dan protein setelah beras. Peningkatan permintaan jagung disebabkan
jagung dapat digunakan sebagai pakan ternak, olahan makanan dan minuman,
serta bahan baku energi alternatif. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan produksi tanaman jagung adalah dengan perbaikan teknik budidaya,
misalnya dengan pengefisienan biaya produksi dan tenaga kerja melalui sistem
budidaya tanpa olah tanah (TOT).
Budidaya tanaman TOT (zero-tillage) adalah teknologi olah tanah
konservasi, yaitu tanah tidak diolah secara mekanis kecuali pembuatan alur kecil
atau lubang tugalan untuk penempatan benih. Hasil penelitian pada sistem
budidaya olah tanah sempurna (OTS), TOT + mulsa, TOT + IPA-Glifosat dan
TOT + mulsa + IPA-Glifosat memperlihatkan pengaruh yang tidak nyata terhadap
hasil biji kering per hektar, bobot benih, bobot 100 butir benih, daya kecambah,
keseragaman tumbuh, dan pemunculan kecambah pada kacang hijau. Hal ini
diduga karena dengan sistem budidaya TOT sudah cukup memberikan kondisi
yang baik terutama struktur tanah yang belum terolah dan masih dijumpai sisasisa jerami padi yang berasal dari penanaman sebelumnya yang berfungsi untuk
meningkatkan kelembaban tanah, kandungan bahan organik tanah, meningkatkan
aktifitas organisme tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman (Madauna 2007).
Gulma dalam sistem TOT dikendalikan secara kimia dan kemudian dapat
dimanfaatkan sebagai mulsa. Pengaruh gulma pada tanaman dapat terjadi secara
langsung, yaitu dengan bersaing untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya, dan
ruang tumbuh. Penurunan hasil akibat gulma rata-rata 10% (15% di daerah tropis)
dan gulma umumnya menurunkan hasil sampai 31% pada tanaman jagung
(Purwanto 2008; Soerjandono 2008; Bilman 2011). Penerapan sistem TOT pada
jagung sangat efektif diterapkan pada daerah bercurah hujan rendah, mempercepat
waktu tanam jagung segera setelah panen padi pada lahan sawah tadah hujan
dapat dilakukan dengan memanfaatkan sisa air tanah sehingga menghemat biaya
pengairan.
Herbisida yang sering digunakan pada budidaya jagung sistem TOT adalah
IPA-Glifosat. Herbisida ini mempunyai daya berantas yang luas dan dapat
memberantas gulma semusim maupun tahunan dari golongan gulma berdaun lebar,
rumput, dan teki. Hasil penelitian Mawardi (2005), pada 5 dan 8 Minggu Setelah
Tanam (MST) bobot kering gulma total menunjukkan bahwa perlakuan IPAGlifosat dengan dosis 480, 960, 1440 dan 1920 g ha-1 efektif mengendalikan
gulma. Aplikasi herbisida IPA-Glifosat dosis 1 sampai 4 l ha-1 memberikan
pengaruh yang nyata terhadap persentase penutupan gulma (PPG) total hingga 12
Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (Dayu 2004). Penyemprotan IPA-Glifosat dapat
menekan pertumbuhan gulma dan memacu pertumbuhan tanaman jagung, dengan
dosis 6 l ha-1 cukup efektif untuk menekan gulma dan menghasilkan pertumbuhan
tanaman jagung dan hasil biji pipilan kering yang tinggi sebesar 3 321.33 kg ha-1
(Triyono 2009). Perlakuan TOT menggunakan herbisida IPA-Glifosat mampu
menekan berat kering C. rotundus, A. sessilis, dan berat kering gulma total serta

2
persentase penutupan gulma. Perlakuan TOT menggunakan herbisida paraquat
dan IPA-Glifosat memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap
pertumbuhan dan produksi jagung dibandingkan dengan sistem OTS (Fachrawati
2003).
Kelebihan dari penggunaan herbisida adalah dapat diaplikasikan dengan
mudah, dapat diaplikasikan setiap waktu dan setiap tempat, hasilnya dapat
dirasakan dalam waktu dekat, dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam
waktu singkat, mudah diperoleh dan memberikan keuntungan ekonomi terutama
jangka pendek. Disamping mempunyai berbagai keunggulan, penggunaan
herbisida ternyata memiliki dampak negatif. Dampak negatif dari penggunaan
herbisida ini antara lain adalah keracunan secara kronik maupun akut yang dapat
terjadi pada manusia, keracunan pada hewan, kerusakan pada tanaman yang
ditanam pada waktu aplikasi maupun pada tanaman berikutnya yang ditanam
setelah panen, kematian musuh alami organisme pengganggu, kenaikan populasi
organisme pengganggu, resistensi organisme pengganggu terhadap dosis yang
lebih tinggi, residu penggunaan herbisida pada tanaman yang dipanen, serta
pencemaran terhadap lingkungan (Djojosumarto 2008).
Sifat IPA-Glifosat yang sistemik dan non-selektif, berpotensi terserap oleh
tanaman pokok. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman
pokok karena herbisida pada umumnya berfungsi untuk menghambat
pertumbuhan tanaman. Selain itu, terdapat juga potensi adanya residu pada hasil
panen. Berdasarkan hasil penelitian Chairul et al. (2000) bahwa terjadi translokasi
herbisida 2.4-D pada tanaman padi dan gulma, dimana pada akar padi,
radioaktivitas herbisida yang tertinggi terjadi pada minggu ke-2, pada batang padi
terjadi pada minggu ke-4, sedangkan pada daun padi, radioaktivitas yang tertinggi
terjadi pada minggu ke-8. Residu herbisida 2.4-D pada padi hasil panen, baik yang
ditanam dalam tanah normal rnaupun tanah yang dipadatkan adalah antara 3.16 x
10-3 hingga 4.24 x 10-3 ppm. Menurut hasil penelitian Claudia (2012), konsentrasi
residu pada tebu sebesar 0.008–0.033 ppm untuk paraquat, 0.023–0.058 ppm
untuk ametryn, 0.017 ppm untuk 2.4-D, dan 0.485–3.727 ppm untuk glufosinat.
Glufosinat memiliki konsentrasi paling tinggi diantara keempat jenis herbisida.
Nilai MPL untuk orang Indonesia dewasa dengan berat 60 kg adalah sebesar 0.24
mg hari-1 untuk paraquat, 0.9 mg hari-1 untuk ametryn, 18 mg hari-1 untuk 2.4-D,
dan 1.2 mg hari-1 untuk glufosinat. Herbisida glufosinat pada tebu patut menjadi
perhatian dengan jumlah tebu yang cukup rendah untuk dikonsumsi orang dewasa
sampai batas maksimum per hari, yaitu 0.32 kg.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan:
1. pengaruh herbisida IPA-Glifosat terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
jagung.
2. residu herbisida IPA-Glifosat pada hasil jagung.

3
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. terdapat pengaruh IPA-Glifosat pada pertumbuhan dan hasil jagung.
2. pada perlakuan konsentrasi IPA-Glifosat tertentu menyebabkan adanya residu
pada hasil jagung.
Kerangka Pemikiran
Keamanan pangan pada akhir-akhir ini menjadi topik yang sering
diperhatikan. Keamanan pangan dalam hal ini erat kaitannya dengan teknis
budidaya yang petani lakukan, cemaran pada lingkungan dan kandungan residu
pada hasil panen. Pada era perdagangan bebas global saat ini, Batas Maksimum
Residu (BMR) pestisida merupakan salah satu poin yang menjadi perhatian
khususnya dalam kegiatan ekspor impor dengan negara lain. Saat ini Indonesia
sudah mulai menghadapi hambatan perdagangan non tarif antara lain dalam
bentuk BMR pestisida, sehingga menyulitkan produk-produk pertanian Indonesia
untuk memasuki pasar global. Agar Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya
dalam perdagangan tingkat global, perlu mengembangkan, menetapkan dan
menerapkan BMR yang sesuai dengan prosedur dan standar yang telah ditetapkan
oleh Codex dan lembaga Internasional lainnya. Dalam menetapkan nilai BMR,
faktor yang diperhatikan adalah nilai ADI (Acceptable Daily Intake) tiap jenis
pestisida, kandungan residu pestisida dalam komoditi pertanian yang diperoleh
dan pola konsumsi masyarakat Indonesia atau masing-masing daerah di Indonesia,
sebagai perbandingan juga perlu mengetahui nilai BMR yang telah ditetapkan
oleh Codex Alimentarius Commision (CAC) atau negara lain. Jenis-jenis komoditi
yang akan ditetapkan nilai BMR-nya diutamakan pada komoditi yang banyak
digunakan dalam negeri, terutama beras dan jagung yang merupakan komoditi
utama sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Nilai BMR beras dan
jagung haruslah rendah karena di Indonesia beras dan jagung dikonsumsi setiap
hari dan dalam jumlah cukup banyak. BMR pada beras dan jagung akan
terakumulasi dalam tubuh sehingga apabila digunakan dalam jangka panjang
residu pestisida dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan.
Penggunaan herbisida secara terus-menerus atau berulang dikhawatirkan
dapat meninggalkan residu dan mencemari lingkungan abiotik seperti tanah,
karena proses akumulasi berawal dari tanah. Residu pada tanah dapat juga masuk
ke dalam bagian tanaman jagung dan dapat menurunkan mutu produk serta dapat
mengganggu kesehatan konsumen terutama pada herbisida yang bersifat sistemik
dan non-selektif. Residu yang diserap dalam tanaman jagung dapat mengalami
detoksifikasi, degradasi, atau akumulasi tergantung pada jenis herbisida yang
digunakan, sehingga perlu dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat residu
herbisida di jagung. Tingkat residu yang diketahui tersebut dapat dibandingkan
dengan baku mutu atau batas nilai standar kadar residu herbisida pada komoditas
pertanian. Hasil analisis residu pada jagung ini diharapkan dapat menjadi acuan
atau pedoman dalam pengelolaan kebun, khususnya dalam kegiatan aplikasi
herbisida.

4
Herbisida IPA-Glifosat

Bersifat sistemik dan non-selektif

Efek samping Aplikasi herbisida

Menghambat pertumbuhan jagung

Menurunkan kuantitas dan
kualitas hasil jagung

Residu pada pipil jagung

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran

TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian Gulma pada Budidaya Jagung
Pengendalian gulma merupakan suatu keharusan pada budidaya jagung,
baik pada tanah yang baru dibuka maupun pada tanah yang sudah lama
diusahakan. Ini disebabkan gulma cepat menyesuaikan diri dengan teknologi
bercocok tanam yang digunakan. Pengendalian gulma bertujuan untuk
meningkatkan daya saing tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma
(Bangun 1988; Sukman dan Yakup 1991). Gulma yang dibiarkan tumbuh
bersama-sama dengan tanaman akan menurunkan produksi karena bersaing dalam
pengambilan unsur hara, air, udara, cahaya, dan ruang tumbuh. Selain itu,
beberapa gulma dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit. Tanaman sangat
peka terhadap persaingan dengan gulma sejak tanam sampai 1/4 hingga 1/3 umur
tanaman. Periode kritis untuk persaingan gulma pada setiap pertanaman
dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk bersaing serta jumlah dan macam
spesies gulma yang berasosiasi. Bila periode ini gulma tidak dikendalikan maka
akan terjadi penurunan hasil yang disebabkan oleh persaingan dengan gulma.
Penurunan hasil jagung akibat kompetisi gulma berkisar antara 16-62%
(Tjitrosoedirdjo et al. 1984; Bangun 1988; Sukman dan Yakup 1991).
Pelaksanaan pengendalian gulma harus memperhatikan faktor teknis,
ekonomis, dan dampak negatif yang ditimbulkan. Pengendalian gulma secara
manual dilakukan dengan mencabut gulma berikut akarnya dengan alat bantu
kored atau cangkul, pengendalian secara mekanik dengan bajak kecil,

5
pengendalian gulma secara fisik dengan api, pengendalian secara biologi dan
pengendalian secara kimia dengan herbisida. Umumnya petani mengendalikan
gulma secara manual. Pengendalian gulma secara manual pada pertanaman jagung
dilakukan dua kali yaitu pada umur 21 dan 42 hari setelah tanam. Periode kritis
pada jagung antara hari ke-20 dan ke-45 setelah tanam. Pengendalian gulma
secara manual dilaksanakan saat daun gulma sedang tumbuh lebat, menjelang
berbunga, dan sebelum membentuk biji (Mahfudz et al. 2005).
Secara umum gulma yang berada di antara tanaman jagung ialah
Rotboellia exaltata, Cyperus rotundus (teki), Echinochloa colona (tuton),
Cynodon dactylon (grinting), Eleusine indica (lulangan), Digitaria sanguinalis
(putihan), Echinochloa crussgalli (lawan), Portulaca oleraceae (krokot),
Fimbristillis miliaceae (das dasan), Comellina nodiflora (jleboran), Ageratum
conyzoides (wedusan), dan Amaranthus spinosus (bayam). Gulma-gulma tersebut
cukup penting bagi pertumbuhan tanaman jagung terutama yang termasuk
golongan rumput (Moenandir 2010)
Gulma menyaingi tanaman terutama dalam memperoleh air, hara, dan
cahaya. Tanaman jagung sangat peka terhadap tiga faktor ini selama periode kritis
antara stadia V3 dan V8, yaitu stadia pertumbuhan jagung di mana daun ke-3 dan
ke-8 telah terbentuk. Sebelum stadia V3, gulma hanya mengganggu tanaman
jagung jika gulma tersebut lebih besar dari tanaman jagung, atau pada saat
tanaman mengalami cekaman kekeringan. Antara stadia V3 dan V8, tanaman
jagung membutuhkan periode yang tidak tertekan oleh gulma. Setelah V8 hingga
matang, tanaman telah cukup besar sehingga menaungi dan menekan
pertumbuhan gulma. Pada stadia lanjut pertumbuhan jagung, gulma dapat
mengakibatkan kerugian jika terjadi cekaman air dan hara, atau gulma tumbuh
pesat dan menaungi tanaman (Lafitte 1994). Beberapa jenis gulma tumbuh lebih
cepat dan lebih tinggi selama stadia pertumbuhan awal jagung, sehingga tanaman
jagung kekurangan cahaya untuk fotosintesis. Gulma yang melilit dan memanjat
tanaman jagung dapat menaungi dan menghalangi cahaya pada permukaan daun,
sehingga proses fotosintesis terhambat yang pada akhirnya menurunkan hasil.
Gulma merupakan pesaing bagi tanaman dalam memperoleh hara. Gulma dapat
menyerap nitrogen dan fosfor hingga dua kali, dan kalium hingga tiga kali daya
serap tanaman jagung. Pemupukan merangsang vigor gulma sehingga
meningkatkan daya saingnya. Tanaman yang kekurangan hara nitrogen mudah
diketahui melalui warna daun yang pucat. Interaksi positif penyiangan dan
pemberian nitrogen umumnya terlihat pada pertanaman jagung, dimana waktu
pengendalian gulma yang tepat dapat mengoptimalkan penggunaan nitrogen dan
hara lainnya serta menghemat penggunaan pupuk (Violic 2000).
Budidaya Tanaman Tanpa Olah Tanah
Budidaya tanaman Tanpa Olah Tanah (zero-tillage) adalah salah satu
teknologi olah tanah konservasi yaitu tanah tidak diolah mekanis kecuali
pembuatan alur kecil atau lubang tugalan untuk penempatan benih dan gulma
dikendalikan secara kimia dan kemudian dimanfaatkan sebagai mulsa. Dalam
sistem TOT pengolahan tanah dilakukan dengan herbisida. Sisa-sisa tumbuhan
dibiarkan di atas permukaan tanah sebagai mulsa sehingga mencegah pengurusan
tanah dan erosi. Selain itu, mulsa bermanfaat untuk meningkatkan laju infiltrasi,

6
menahan air, menambah bahan organik, dan menekan pertumbuhan biji gulma.
Sistem TOT efisien dalam tenaga, waktu, dan biaya (Utomo 2002).
Keuntungan sistem TOT adalah (1) mengurangi erosi, (2) menambah
areal penggunaan lahan karena lahan-lahan yang sebelumnya tidak bisa
diusahakan dapat ditanami, (3) penghematan energi terutama bahan bakar untuk
mesin, (4) mengurangi pemadatan tanah dibandingkan bila menggunakan alat-alat
berat, (5) waktu tanam lebih leluasa karena ketersediaan air yang lebih lama, (6)
mengurangi penggunaan air irigasi, (7) mengurangi modal untuk pembelian
mesin-mesin dan (8) memperbaiki kondisi air tanah (Philips and Philips 1984;
Utomo 2002).
Hasil penelitian pada sistem budidaya TOT, TOT + mulsa, TOT + IPAGlifosat dan TOT + mulsa + IPA-Glifosat memperlihatkan pengaruh yang tidak
nyata terhadap hasil biji kering per hektar, bobot benih, bobot 100 butir biji, daya
kecambah, keserempakan tumbuh, dan pemunculan kecambah pada kacang hijau.
Hal ini diduga karena dengan sistem budidaya TOT sudah cukup memberikan
kondisi yang baik terutama struktur tanah yang belum terolah dan masih dijumpai
sisa-sisa jerami padi yang berasal dari penanaman sebelumnya yang berfungsi
untuk meningkatkan kelembaban tanah, kandungan bahan organik tanah,
meningkatkan aktifitas organisme tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman
(Madauna 2007).
Herbisida
Pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur tumbuh dan
perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang digunakan
untuk melakukan perlindungan tanaman. Secara harfiah, pestisida berarti
pembunuh organisme pengganggu (pest: organisme, cide: membunuh) (Srikandi
2010). Herbisida ialah salah satu kelompok dari pestisida yang digunakan untuk
mengendalikan tumbuhan pengganggu atau gulma. Herbisida adalah senyawa atau
material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas
tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil. Karakteristik herbisida dibagi ke
dalam beberapa penggolongan, diantaranya penggolongan herbisida berdasarkan
daya aktif terhadap jenis gulma, berdasarkan bidang sasaran, berdasarkan
gerakannya pada gulma sasaran, dan berdasarkan cara dan saat penggunaannya
(Djojosumarto 2008).
Menurut Djojosumarto (2008) herbisida mematikan gulma dengan cara:
1. Herbisida membunuh jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida
yang disebut dengan herbisida kontak (non-sistemik). Herbisida jenis ini tidak
ditranslokasikan (non-sistemik) di dalam jaringan tumbuhan karena herbisida
ini hanya mampu membunuh gulma yang berada di atas tanah. Contoh:
paraquat, diquat, dan propanil.
2. Herbisida sistemik yatu herbisida yang bisa masuk ke dalam jaringan
tumbuhan dan ditranslokasikan ke bagian tumbuhan lainnya. Karena sifatnya
yang sistemik, herbisida ini mampu membunuh jaringan gulma yang berada di
dalam tanah (akar, rimpang, umbi). Contoh: 2.4-D, IPA-Glifosat, dan
glufosinat.
Menurut Pane dan Jatmiko (2009), kriteria penting dalam memilih
pestisida yang baik adalah daya bunuhnya terhadap gulma sasaran efektif,

7
terutama selama periode kritis persaingan gulma, mempunyai selektifitas tinggi
terhadap tanaman pokok, murah dan aman terhadap lingkungan termasuk terhadap
manusia dan hewan serta persistensinya pendek sampai medium sehingga tidak
merugikan tanaman pada pola tanam berikutnya, tidak bersifat antagonis
(bertentangan) bila dicampur dengan herbisida lain serta tahan terhadap perubahan
kondisi cuaca dalam jangka waktu terbatas.
Residu pestisida adalah sisa komponen pestisida dan derivat-derivatnya
yang masih tertinggal pada air, tanah, binatang atau tanaman yang pernah
terkontaminasi oleh pestisida (Srikandi 2010). Menurut FAO dan WHO (1995),
residu merupakan sisa-sisa zat kimia yang digunakan untuk pengendalian hama
dan penyakit, di dalam atau bagian luar dari bahan makanan termasuk metabolit
atau turunan dari zat kimia tersebut. FAO telah menetapkan konsentrasi maksimal
yang diperkenankan atau Maximum Allowable Concentration (MAC) atau
Maksimum Residu Limit (MRL) yang dinyatakan dalam mg bahan kimia yang
terdapat dalam bahan makanan per kg berat bahan makanan. MAC diperoleh
dengan mengalikan nilai Acceptable Daily Intake (ADI) (mg kg-1) terhadap ratarata berat badan (kg) dibagi dengan rasio makanan (g) dikalikan 1 000. FAO dan
WHO telah menetapkan banyak jumlah pestisida yang masih dibenarkan termakan
setiap harinya atau ADI, dinyatakan dalam mg bahan kimia yang terdapat dalam
bahan makanan per kg berat badan (mg kg-1).
Herbisida IPA-Glifosat
IPA-Glifosat adalah nama umum dari senyawa N-(phosponomethyl)
glycine. IPA-Glifosat terdiri dari garam isopropyl amine dan asamnya. Daya larut
garam isopropyl amine lebih besar dari bentuk asamnya. IPA-Glifosat adalah
herbisida sistemik, pasca tumbuh, non-selektif dengan spektrum yang luas. IPAGlifosat mengendalikan gulma semusim, teki, gulma berdaun lebar dan beberapa
gulma berkayu. IPA-Glifosat diaplikasikan melalui daun (Duke 1988). Struktur
kimia N-(phosponomethyl) glycine dapat dilihat pada Gambar 2 (Franz 1985).

Gambar 2 Struktur kimia N-(phosponomethyl) glycine
IPA-Glifosat menjadi tidak aktif jika diaplikasikan melalui tanah karena
akan diikat dengan kuat dan cepat oleh partikel tanah dalam ikatan fosfat sehingga
tidak tersedia bagi akar gulma dan tanaman. IPA-Glifosat didegradasikan oleh
mikroorganisme tanah seperti Pseudomonas aeroginasa dan Alcaligenes sp.
dengan cepat sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan (Duke 1988). IPAGlifosat bekerja pada saat tumbuhan aktif hidup sehingga dapat menyerap bahan
aktif yang akan ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma. IPA-Glifosat

8
ditranslokasikan ke seluruh bagian jaringan tumbuhan sekitar 5 hari (120 jam)
setelah aplikasi. IPA-Glifosat akan menghambat sintesis protein dengan
menghentikan penggabungan asam amino aromatik, yaitu: fenilalanin, triptofan,
dan tirosin. Gejala umum yang diakibatkan pelukaan IPA-Glifosat adalah daun
mengalami klorosis yang diikuti oleh nekrotis. Pertumbuhan kembali gulma
berdaun lebar dan berkayu menunjukkan gejala tidak normal pada daun dengan
adanya bintik-bintik putih bergaris (Ashton dan Monaco 1991).
Perlakuan herbisida IPA-Glifosat + fluroksifir + mulsa ampas kempaan
gambir yang diaplikasikan 2 kali per tahun menunjukkan hasil produksi tertinggi
dibandingkan perlakuan lain. Hal ini disebabkan populasi dan biomassa yang
rendah, kemudian mulsa ampas kempaan mulai melapuk sehingga selain menjadi
pengendali gulma juga sekaligus berperan sebagai pupuk organik (Nurmansyah
dan Denian 2007). Selain itu, hasil pipilan kering menunjukkan bahwa
penggunaan IPA-Glifosat dengan sistem TOT memberikan hasil yang sama
dengan OTS + tanpa penyiangan. Hal ini menunjukkan bahwa herbisida IPAGlifosat dengan sistem TOT dapat dianjurkan karena mampu memberikan hasil
yang sama dengan OTS juga lebih efisien ditinjau dari segi biaya dan tenaga kerja
(Mawardi 2005).
Dampak Residu Herbisida
Penggunaan herbisida (terutama dengan bahan aktif dan cara kerja yang
sama) secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal dapat
menimbulkan dua kemungkinan, yaitu terjadinya dominansi populasi gulma
resisten herbisida atau dominansi gulma toleran herbisida (Purba 2009). Banyak
petani sudah terbiasa menggunakan herbisida untuk memberantas gulma.
Permasalahannya adalah sebagian senyawa kimiawi tersisa di dalam tanah, yang
semakin lama akan semakin banyak (Adi 2003).
Tidak semua pestisida yang diaplikasikan di lapangan mengenai sasaran,
kurang lebih hanya 20% pestisida yang mengenai sasaran, sedangkan sisanya
jatuh, terakumulasi dan meninggalkan residu di dalam tanah. Akumulasi tersebut
mengakibatkan terjadinya pencemaran pada lahan pertanian. Apabila masuk ke
dalam rantai makanan, sifat beracun dari bahan pestisida ini dapat menimbulkan
berbagai penyakit pada manusia (Srikandi 2010).
Pestisida di dalam lingkungan diserap oleh beberapa komponen
lingkungan terutama tanah, kemudian diangkut ke tempat lain oleh air atau angin.
Pestisida juga menguap karena pengaruh suhu tinggi yang biasanya terjadi
bersama penguapan air. Residu pestisida di dalam tanah ada yang hilang (non
persisten) karena hanya efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di dalam tanah,
contohnya disulfoton, parathion, diazinon, azodrin, serta gophacide; dan ada yang
tetap (persisten) yang meninggalkan residu terlalu lama serta dapat terakumulasi
dalam jaringan melalui rantai makanan, contohnya dikloro difenil trikloroetana
(DDT), Cyclodienes, Heksaklorosikloheksan (HCH) dan edrin (Sudarmo 2000).
Pencemaran lingkungan terkait pestisida adalah bahan aktif pestisida yang
persisten. Organisme yang hidup dalam tanah dapat terbunuh, tidak saja oleh zat
kimia yang langsung disemprotkan ke tanah, tetapi penyemprotan yang ditujukan
ke tanaman juga dapat mempengaruhi kehidupan organisme tersebut karena zat
kimia tadi akan tercuci oleh air hujan dan jatuh ke dalam tanah (Srikandi 2010).

9

METODE
Tempat dan Waktu
Percobaan ini dilaksanakan di kebun percobaan Sindang Barang IPB,
Bogor, Jawa Barat pada bulan April sampai Agustus 2013. Analisis residu sampel
pipil jagung dilakukan di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pertanian, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah benih jagung varietas
Lamuru, herbisida berbahan aktif IPA-Glifosat, Urea, SP-36, KCl, Mankozeb dan
Karbofuran 3% untuk pencegahan terhadap hama dan penyakit.
Alat yang digunakan adalah alat-alat pertanian, hand sprayer merk Tasco
dengan nozel T-jet warna kuning, gelas ukur, oven, timbangan, kantung plastik,
spektrofotometer untuk pengukuran jumlah klorofil dan perangkat HPLC (High
Performance Liquid Chromatography) untuk pengukuran kandungan residu.
Metode
Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan satu
faktor, yaitu dosis formulasi herbisida berbahan aktif IPA-Glifosat. Percobaan
terdiri atas 6 perlakuan dan 4 ulangan, sehingga terdapat 24 petak percobaan.
Perlakuan yang diberikan untuk petak percobaan terdiri atas dosis perlakuan
herbisida: 3, 4, 5, dan 6 l ha-1, Penyiangan secara manual yang dilakukan pada 2
dan 5 minggu setelah tanam (MST) serta kontrol tanpa penyiangan dan perlakuan
pemberian herbisida.
Model rancangan yang digunakan adalah :
Yijk = µ + τi + βj + εij
Keterangan :
Yijk = Pengamatan pada dosis herbisida ke-i dan ulangan ke-j.
µ
= Rataan umum.
τi
= Pengaruh dosis herbisida ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5, 6.
βj = Pengaruh ulangan ke-j, j = 1, 2, 3, 4.
εij = Pengaruh acak pada dosis herbisida ke-i dan ulangan ke-j.
Pengolahan data menggunakan metode analisis ragam (ANOVA). Jika
perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut terhadap
perbedaan nilai rata-rata taraf 5% dengan uji DMRT.
Pelaksanaan
Persiapan Lahan
Lahan percobaan merupakan lahan bera. Satuan petak berukuran 4 m x 4m.
Antar petakan dibatasi oleh jalan petak selebar 0.5 m. Sebelum persiapan lahan
terlebih dahulu dilakukan analisis vegetasi gulma menggunakan kuadran
berukuran 0.5 m x 0.5 m untuk mengetahui komposisi dan dominansi gulma yang

10
terdapat di areal percobaan. Cara aplikasi herbisida dan alat yang digunakan
disesuaikan dengan sifat fisik, cara kerja, dan bentuk formulasi herbisida yang
diuji. Untuk formulasi yang larut dalam air, digunakan hand sprayer kecil merk
Tasco dengan kapasitas tangki 1.5 liter. Aplikasi herbisida yang diuji dilakukan
hanya 1 kali, yaitu 1 minggu sebelum tanam jagung dengan volume semprot 400 l
ha-1. Petak dengan perlakuan G5 (penyiangan manual) dibersihkan dari gulma
dengan disiangi menggunakan kored sebanyak 2 kali pada umur 2 dan 5 MST.
Hasil penyiangan diletakkan di antara tanaman yang dimaksudkan sebagai mulsa
dan penambah bahan organik. Sebagai upaya meminimalisir kesalahan dalam
pengaplikasian herbisida, maka dilakukan kalibrasi terlebih dahulu (Lampiran 3).
Penanaman
Benih jagung yang telah diberi Mankozeb 64% ditanam dengan cara
ditugal dengan jarak 70 cm x 20 cm sebanyak 2 benih per lubang, lalu ditutup
dengan tanah. Insektisida karbofuran 3% dengan dosis 30 kg ha-1 diberikan
bersama benih. Pada saat tanam diberikan pupuk 200 kg SP-36 ha-1 dan 100 kg
KCl ha-1 seluruhnya, sedangkan 300 kg Urea ha-1 diberikan sepertiga bagian, serta
sisanya diberikan pada 3 MST. Pupuk diberikan pada lubang dengan jarak 7-10
cm dari lubang tanam.
Pemeliharaan dan Panen
Pengairan pada lahan penelitian bergantung sepenuhnya pada curah hujan
karena selama penelitian curah hujan tergolong cukup tinggi. Pengendalian gulma
dilakukan sesuai dengan perlakuan. Pengendalian hama dan penyakit tidak
dilakukan karena selama penelitian gejala dan tanda hama penyakit yang
ditemukan, diduga tidak menurunkan produksi jagung atau masih di bawah
ambang batas ekonomi. Pembumbunan dilakukan pada 5 MST. Tanaman jagung
dipanen saat 90% daun dan kelobot sudah menguning dan kering serta tongkol
jagung padat terisi.
Pengamatan
Pengamatan penelitian terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu pengamatan gulma
dan pengamatan tanaman jagung.
1. Pengamatan Gulma
Pengambilan contoh dilakukan sebelum dan setelah aplikasi herbisida.
Pengambilan contoh dilakukan 4 kali yaitu sebelum perlakuan, 4, 8 dan 12 MST.
Pengambilan contoh menggunakan teknik kuadran untuk mengetahui nilai Sum
Dominance Ratio (SDR). Kuadran yang digunakan berukuran 0.5 m x 0.5 m.
Gulma yang masih segar dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian
dipisahkan setiap spesies. Gulma kemudian dikeringkan pada temperatur 80oC
selama 48 jam atau sampai mencapai bobot kering konstan, kemudian ditimbang.
Data yang didapat ialah frekuensi mutlak dan relatif, kerapatan mutlak dan relatif
serta berat kering mutlak dan relatif. Perhitungan nilai SDR menggunakan rumus
sebagai berikut :

11

Keterangan:
KN
: Kerapatan Nisbi
BKN : Bobot Kering Nisbi
FN
: Frekuensi Nisbi
2. Pengamatan Tanaman Jagung
Parameter yang diamati saat pertumbuhan tanaman jagung adalah:
a. Daya tumbuh tanaman, dilakukan 1 minggu setelah penanaman.
Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah benih yang tumbuh
menjadi tanaman jagung pada tiap petaknya.
b. Tinggi tanaman, pengamatan dilakukan dengan menggunakan meteran
yang diukur dari atas tanah sampai ke ujung daun terpanjang. Pengamatan
dilakukan setiap minggu sampai tanaman jagung 70% mengeluarkan
bunga jantan. Pengamatan tinggi tanaman juga dilakukan saat panen
dengan mengukur tanaman jagung dari pangkal batang sampai pangkal
tangkai bunga jantan jagung.
c. Jumlah daun, pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah daun
setiap minggu.
d. Waktu berbunga, pengamatan dilakukan ketika 70% tanaman pada petak
penelitian sudah mengeluarkan bunga jantan.
e. Luas daun, diamati dengan mengukur panjang dan lebar daun yang
diambil dari 3 bagian tanaman jagung yaitu bagian bawah, tengah, dan atas
kemudian diambil rata-ratanya. Hasilnya dikalikan dengan konstanta dan
jumlah daunnya.
f. Jumlah klorofil, kandungan jumlah klorofil diamati dengan cara
mengambil daun pada bagian bawah, tengah dan atas tanaman jagung.
Hasil pengambilan ini kemudian dikomposit yang digunakan untuk
analisis jumlah klorofil. Pengamatan ini dilakukan pada saat puncak
pertumbuhan vegetatif atau saat tanaman jagung sudah 70% menghasilkan
bunga jantan.
Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Sims dan Gamon (2002).
Sampel daun ditimbang dengan berat kurang lebih 0.002 g. Daun tersebut
dihaluskan dan ditambahkan asetris sebanyak 1 ml. Daun yang sudah
halus dimasukkan ke dalam microtube 2 ml, mortar dibilas dengan asetris
sampai microtube penuh 2 ml. Setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan
14 000 rpm selama 10 detik. Supernatan diambil 1 ml kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan asetris 3 ml ke
dalam tabung reaksi dan ditutup dengan kelereng kemudian divortex.
Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 470
nm, 537 nm, 647 nm, dan 663 nm.
Parameter yang diamati saat panen tanaman jagung adalah:
a. Bobot brangkasan jagung, bobot tongkol basah, bobot tongkol kering, dan
bobot 100 butir pipil jagung.
b. Hasil ubinan yang diamati dalam bentuk pipilan kering yang diambil dari
hasil tanaman dalam luasan 1 m x 1 m pada masing-masing petak yang

12
diulang sebanyak 2 kali. Parameter hasil ubinan yang diamati adalah bobot
tongkol basah, bobot tongkol kering, diameter tongkol, panjang tongkol,
dan bobot biji kering. Bobot hasil pipilan tersebut diamati pada kadar air
14%, untuk itu dilakukan penjemuran dengan sinar matahari selama 6-7
hari.
Uji residu herbisida IPA-Glifosat
Pengujian residu herbisida dilakukan pada pipil jagung (hasil panen).
Pengambilan pipil jagung dilakukan pada 6 perlakuan. Tiap perlakuan terdiri dari
4 ulangan, kemudian dari masing-masing ulangan tersebut dijadikan 1 komposit.
Komposit didapat dengan mengambil 4 ulangan sampel pipil jagung dalam jumlah
sama kemudian dijadikan satu. Sampel pipil jagung dikeringanginkan lalu digerus
hingga halus setelah itu ditetapkan kadar airnya.
Tahap Analisis Residu Herbisida IPA-Glifosat
Tahap analisis residu adalah suatu cara yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi tentang komposisi residu suatu pestisida dalam suatu contoh bahan,
sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi komposisi residu pestisida
bahan tersebut. Cara tersebut meliputi tahap pembuatan larutan standar; tahap
ekstraksi yang bertujuan untuk mendapatkan sampel yang homogen; tahap
pembersihan (clean up) yang bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan lain
yang dapat mengganggu proses analisis; tahap penetapan; dan tahap evaluasi
data (Komisi Pestisida 2006).
a.

Tahap Pembuatan Larutan Standar
Larutan standar yang digunakan adalah larutan yang dibuat dari bahan
aktif herbisida. Jenis bahan aktif herbisida yang digunakan adalah IPAGlifosat 100 g l-1. Kemudian dibuat larutan stok standar dengan
konsentrasi 100 ppm dan untuk larutan kerja digunakan konsentrasi
sebesar 1 ppm.

Gambar 3 Bahan baku pembuatan larutan standar IPA-Glifosat

13

Gambar 4 Larutan standar IPA-Glifosat yang digunakan dalam analisis residu
b.

Tahap Ekstraksi dan Pemurnian
Tahap-tahap dalam analisis residu herbisida yang dilakukan di
laboratorium terhadap sampel pipil jagung adalah sebagai berikut:
1. Tahap Ekstraksi
a. Sampel jagung yang dianalisis diambil dari 4 tanaman jagung dengan
mengambil bagian pipilannya. Pipilan tersebut kemudian dicampur
Ekstraksi untuk sampel pipil jagung dilakukan setelah terlebih dahulu
pipil jagung dikeringanginkan dan dihaluskan (dibuat butiran tepung).
b. Sampel pipil jagung diambil sebanyak 25 g kemudian dimasukkan ke
dalam labu bundar dan ditambahkan larutan acetone : diklorometan
dengan perbandingan 1:1 sebanyak 100 ml.
c. Labu bundar yang berisi sampel pipil jagung dan larutan acetone +
diklorometan kemudian dikocok. Larutan kemudian didiamkan selama
24 jam.
d. Setelah 24 jam, ekstrak pipil jagung disaring dengan kertas saring ke
dalam labu erlenmeyer.

Gambar 5 Tepung jagung, diklorometan, dan acetone sebagai bahan dalam tahap
ekstraksi residu

14

Gambar 6 Larutan acetone +
diklorometan

Gambar 7 Pencampuran tepung jagung dengan
larutan acetone + diklorometan

Gambar 8 Penyaringan ekstrak tepung jagung dengan kertas saring
2. Tahap Pemurnian (Clean Up)
a. Hasil ekstrak kemudian disaring lagi dengan menggunakan buret yang
telah terisi Florisil dan Na2SO4 anhidrat.
b. Sampel hasil pemurnian kemudian dilakukan tahap penguapan dengan
meletakkan pada alat rotavapor dengan suhu 45oC dan diatur
kecepatannya konstan hingga larutan di dalam labu hanya tersisa ±1 ml.
Sisa larutan ini merupakan residu herbisida.
c. Dinding labu dibilas dengan methanol 60% dan disaring ke dalam
tabung reaksi 10 ml menggunakan kertas saring. Kemudian ditera
hingga 10 ml dengan methanol 60%.
d. Hasil pemurnian kemudian dilakukan analisis residu herbisida dengan
menggunakan alat HPLC.

Gambar 9 Ekstrak jagung, florisil, dan Na2SO4 sebagai bahan untuk tahap
pemurnian

15

Gambar 11 Penguapan sampel menggunakan
rotavapor

Gambar 10 Penyaringan memakai
buret yang berisi
florisil dan Na2SO4

Gambar 12 Hasil sampel yang sudah
diuapkan

Perhitungan Konsentrasi Residu Herbisida
Konsentrasi residu herbisida ditentukan berdasarkan hasil rekaman yang
tercatat dalam kertas kromatografi, yaitu berupa kromatogram. Cara membaca
kromatogram tersebut, yaitu dengan membandingkan data retensi waktu dan
area peak (puncak) dari herbisida sampel yang dihasilkan dalam kromatogram
dengan nilai yang mendekati data retensi waktu dan area peak herbisida standar.
Penentuan konsentrasi residu herbisida dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut :

Keterangan:
R : Konsentrasi residu (ppm)
Ac : Area contoh
As : Area standar
Vic : Volume injeksi contoh (µl)
Vis : Volume injeksi standar (µl)
Ks : Konsentrasi standar (ppm)
B : Bobot awal (mg)
Vfc : Volume akhir (ml)

16
Hasil perhitungan tersebut kemudian dibandingkan dengan batas
maksimum residu (BMR) untuk pestisida bahan aktif IPA-Glifosat. Dari hasil
tersebut diketahui apakah residu yang terkandung dalam pipil jagung yang diuji
di bawah atau di atas BMR.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Lokasi percobaan terletak di Kelurahan Loji, Kecamatan Bogor Barat, Kota
Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian terletak di ketinggian 250 m dpl dengan
koordinat 6o 35'1"S dan 106o 45'44"E. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor menunjukkan selama
percobaan rata-rata curah hujan per bulan adalah 259.6 mm dengan curah hujan
terendah pada bulan Juni sebesar 62.4 mm dan tertinggi pada bulan Mei sebesar
399 mm. Curah hujan pada awal penelitian cukup tinggi yaitu sebesar 216 mm
pada bulan April 2013 dengan 24 hari hujan. Hal ini menjadi kendala untuk
melakukan aplikasi herbisida ke lahan penelitian. Temperatur udara rata-rata
selama penelitian adalah sebesar 26.07oC sedangkan intensitas penyinaran
matahari selama penelitian sebesar 280.05 Cal cm-2.
Lahan yang digunakan dalam penelitian adalah lahan bera dengan waktu
bera sekitar 4 bulan. Pengolahan tanah pada saat penelitian tidak dilakukan karena
penelitian mengaplikasikan sistem tanpa olah tanah. Lahan penelitian dibagi
dalam 24 petak dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Jarak antar petak sebesar 0.5
meter yang hanya dibersihkan dari gulma. Kondisi lahan setelah perlakuan dan
pemetakan dapat dilihat pada Gambar 13. Pengairan pada saat penelitian
mengandalkan hujan yang pada saat itu sedang musim hujan (Lampiran 5).

Gambar 13 Kondisi lahan setelah aplikasi herbisida dan pemetakan

17
Analisis Vegetasi Gulma
Analisis vegetasi pada pengamatan pertama teridentifikasi 12 jenis gulma
antara lain Ageratum conyzoides, Cynodon dactylon, Colocasia sp., Mikania
micrantha, Portulaca oleracea, Borreria alata, Ottochloa nodosa, Brachiaria
mutica, Commelina nudiflora, Paspalum conjugatum, Cyperus rotundus dan
Arachis hypogaea. Pada pengamatan ini, 3 gulma yang mendominasi adalah
Paspalum conjugatum (32.81%), Commelina nudiflora (11.48%) dan Ageratum
conyzoides (11.19%). Pengamatan SDR pada 4 MST (setelah aplikasi herbisida)
menunjukkan perubahan gulma yang mendominansi lahan pe