The Potential and Usage of Satellite Images Monitoring Surface Water Mass Dynamic of Makassar Strait

POTENSI DAN PEMANFAATAN CITRA SATELIT
MEMANTAU DINAMIKA MASSA AIR PERMUKAAN DI
SELAT MAKASSAR

RIZA AITIANDO PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi dan
Pemanfaatan Citra Satelit Memantau Dinamika Massa Air Permukaan di Selat
Makassar adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Riza Aitiando Pasaribu
NIM C552090061

RINGKASAN
RIZA AITIANDO PASARIBU. Potensi dan Pemanfaatan Citra Satelit
Memantau Dinamika Massa Air Permukaan di Selat Makassar. Dibimbing oleh
JONSON LUMBAN GAOL dan DJISMAN MANURUNG.
Salah satu hal yang menarik untuk dikaji di Perairan Indonesia adalah Arus
Lintas Indonesia (ARLINDO). ARLINDO adalah aliran massa air yang dari
Samudera Pasifik melintasi Perairan Indonesia menuju Samudera Hindia. Aliran
massa air ini dapat dideteksi dari variasi parameter-parameter oseanografi seperti
suhu dan klorofil. Saat ini parameter oseanografi dapat dideteksi dengan teknologi
penginderaan jauh satelit. Penelitian ini bertujuan untuk memantau dinamika
massa air permukaan di perairan Selat Makassar dengan menggunakan citra satelit.
Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan dan analisis data citra Satelit
Terra dan Aqua yang membawa sensor Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer (MODIS) resolusi spasial 1 km dan 4 km yang diolah dalam
bentuk harian, 8 harian dan bulanan pada tahun 2009 dan 2010. Pengolahan citra
satelit untuk menghasilkan data Suhu Permukaan Laut (SPL) menggunakan
algoritma theoretical basis document 25 [11] dan konsentasi klorofil-a
menggunakan algoritma OC3M. Data kecepatan dan arah angin digunakan
sebagai data pendukung.
Berdasarkan pengamatan data harian selama 2 tahun ada 2 sampai 3 data
harian yang dapat diolah untuk menghasilkan dana SPL dan konsentrasi klorofil-a.
Minimnya data ini disebabkan tingginya tutupan awan sepanjang tahun di
Perairan Selat Makassar. Adanya aliran massa air di Perairan Selat Makassar lebih
mudah diamati dari data SPL dibandingkan dengan data konsentrasi klorofil-a.
Data SPL harian secara jelas menggambarkan adanya aliran massa air permukaan
yang dari utara ke selatan perairan pada Musim Barat yang terdeteksi di bulan
Maret 2010 dan dari selatan ke utara pada Musim Timur yang tergambar dari data
SPL bulan Juni 2010. Pergerakan massa air permukaan ini juga terlihat dari data 8
harian dan bulanan khususnya pada musim barat. Pola pergerakan massa air ini
sesuai dengan pola pergerakan angin.
Kata Kunci: Dinamika massa air permukaan, Selat Makassar, citra Satelit MODIS,
SPL dan klorofil-a.


SUMMARY
RIZA AITIANDO PASARIBU. The Potential and Usage of Satellite
Images Monitoring Surface Water Mass Dynamic of Makassar Strait. Supervised
by JONSON LUMBAN GAOL and DJISMAN MANURUNG.
One of the most interesting to study on the Indonesian waters is the
existence of global term namely Indonesian Through Flow (ITF) at Makassar
Strait. ITF is water mass flow from the Pacific Ocean through the Indonesian
Waters into the Indian Ocean. The water mass flow could be detected from
variations of oceanographic parameters such as temperature and chlorophyll. In
the current technological developments, oceanographic parameters can be
detected using remote sensing technology. This study aims to monitor the
dynamics of the surface water masses in the Makassar Strait using the potential
and utilization of satellite images.
In this research, image processing and data analysis of Terra and Aqua
satellites that carry the sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer
(MODIS) spatial resolution of 1 km and 4 km were processed in the form of daily,
8-day and monthly in 2009 and 2010. Satellite image processing to generate Sea
Surface Temperature (SST) data use algorithms theoretical basis document 25
[11] and the chlorophyll-a concentration use OC3M algorithm. Wind speed and
direction data is used as supporting data.

Based on observations of daily data for 2 years there are 2 to 3 daily data
which can be processed to produce data SST and chlorophyll-a concentrations.
The lack of data is due to the thick coverage of cloud throughout the year in the
waters of Makassar Strait. The flow of water masses in the Makassar Strait more
easily observed from the SST data compared with chlorophyll-a concentration
data. Daily SST data clearly ilustrates the surface water mass flow from north to
south of the Makassar Strait on the West Monsoon which detected in March 2010
and from south to north on the East Monsoon which is reflected from the SST
data in June 2010. Surface water mass movement is also evident from the data of
8-day and monthly, especially on the West Monsoon. The pattern of water mass
movement are consistent with the pattern of wind direction.
Keywords: Dynamics of surface water masses, Makassar Strait, MODIS satellite
imagery, SST and chlorophyll-a.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI DAN PEMANFAATAN CITRA SATELIT
MEMANTAU DINAMIKA MASSA AIR PERMUKAAN DI
SELAT MAKASSAR

RIZA AITIANDO PASARIBU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Setyo Budi Susilo, MSc

Judul Tesis

: Potensi dan Pemanfaatan Citra Satelit Memantau Dinamika
Massa Air Pennukaan di Selat Makassar
Nama
: Riza Aitiando Pasaribu
: C552090061
NlM
Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

nson Lumban Gaol MSi
Ketua

Dr IT Djisman Manunmg, MSc

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan

Jonson Lumban Gaol, MSi

Tanggal Ujian: 25 Juni 2013

Tanggal Lulus:

3' JUl 'V Ij

Judul Tesis

: Potensi dan Pemanfaatan Citra Satelit Memantau Dinamika
Massa Air Permukaan di Selat Makassar
Nama

: Riza Aitiando Pasaribu
NIM
: C552090061
Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Ketua

Dr Ir Djisman Manurung, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Juni 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, berkah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah teknologi penginderaan
jauh, dengan judul “Potensi dan Pemanfaatan Citra Satelit Memantau Dinamika
Massa Air Permukaan di Selat Makassar”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Jonson Lumban Gaol,
MSi dan Bapak Dr Ir Djisman Manurung, MSc atas kesabarannya dalam
membimbing penulis selama proses penelitian hingga penulisan tesis ini, serta
Bapak Prof Dr Ir Setyo Budi Susilo, MSc selaku penguji saat ujian dan Ibu Dr Ir
Sri Pujiyati, Msi yang memberikan saran dan masukan saat ujian. Terima kasih

juga disampaikan penulis kepada Bapak Prof Dr Ir Bonar P. Pasaribu, MSc yang
telah banyak memberikan banyak pengertian mengenai pentingnya kelautan dan
motivasi kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Pimpinan dan Staf Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN)
Stasiun Parepare Sulawesi Selatan, Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) Pusat yang telah mengijinkan penulis mengambil data
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Riza Aitiando Pasaribu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

1
1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Arus Lintas Indonesia
Kondisi Perairan Selat Makassar
Suhu
Konsentrasi Klorofil-a
Pola Arus dan Angin
Pergerakan Massa Air
Teknologi Penginderaan Jauh
Sensor MODIS

2
2
3
4
6
6
7
9
9

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Alat dan Bahan
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisis Dinamika Massa Air Permukaan

12
12
12
13
13
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemilihan Citra di Perairan Selat Makassar
Pola Sebaran SPL dan Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Selat Makassar
Pola Vertikal Sebaran Suhu
Dinamika Massa Air Permukaan

16
16
17
19
20

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

31
31
31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Spesifikasi kanal-kanal MODIS
Spesifikasi teknis Satelit Terra dan Aqua MODIS
Koefisien kanal 31 dan 32 untuk MODIS
Jumlah hasil pemilihan citra tiap bulan tahun 2009 dan 2010
Kisaran nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Makassar
tiap musim

10
11
14
16
18

DAFTAR GAMBAR
1 Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)
2 Gerak semu tahunan matahari
3 Hubungan angin di Laut Jawa dan sekitar daerah Selat Makassar
dengan pergerakan massa air permukaan di Perairan Selat Makassar
4 Data INSTANT, kecepatan massa transpor (kanan) merupakan rataan
kecepatan dari MAK-Barat dan MAK Timur, tanda - aliran ke selatan
dan + aliran ke utara, tekanan (dbar) sama dengan meter (m)
5 Peta lokasi penelitian
6 Diagram Alir Penelitian
7 Citra hasil perekaman pada sudut yang tidak tepat di sekitar perairan
Selat Makassar
8 Citra hasil perekaman tidak baik (Stripping) di sekitar perairan Selat
Makassar
9 Citra hasil perekaman tertutup awan di sekitar perairan Selat Makassar
10 Profil menegak suhu kondisi lapang tanggal 12 Agustus 1993 di stasiun
1, (a) kedalaman 0-500 m dan (b) kedalaman 0-50 m
11 Profil menegak suhu kondisi lapang tanggal 20 Februari 1998 di stasiun
2, (a) kedalaman 0-500 m dan (b) kedalaman 0-50 m
12 Pola sebaran suhu permukaan laut tanggal (a) 27 Februari 2010, (b) 1
Maret 2010, (c) 10 Maret 2010 dan (d) 24 Maret 2010
13 Pola distribusi angin rata-rata mingguan dari tanggal 27 Februari 2010
hingga 24 Maret 2010
14 Proses pengolahan citra harian menjadi citra rataan 8 harian dan
bulanan pada Musim Barat
15 Proses pengolahan citra harian menjadi citra rataan 8 harian dan
bulanan pada Musim Timur
16 Pola sebaran SPL (a-d) minggu pertama hingga akhir bulan Februari
2010 , (e-h) minggu pertama hingga akhir bulan Maret 2010
17 Pola sebaran suhu permukaan laut harian tanggal (a) 23 Mei 2010, (b) 3
Juni 2010, (c) 12 Juni 2010 dan (d) 26 Juni 2010
18 Pola distribusi angin rata-rata mingguan dari tanggal 23 Mei 2010
hingga 26 Juni 2010
19 Pola sebaran suhu permukaan laut (a-d) minggu pertama hingga akhir
bulan Mei 2010, (e-h) minggu pertama hingga akhir bulan Juni 2010
20 Pola sebaran suhu permukaan laut bulanan tahun 2010

3
5
8

8
12
15
16
17
17
19
20
21
21
22
23
25
26
26
27
30

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penyinaran matahari tahun 2009 (a) dan 2010 (b) di Kalimantan Timur
2 Curah hujan tahun 2009 (a) dan 2010 (b) di Kalimantan Timur
3 Sebaran konsentrasi klorofil-a rataan 8 harian tahun 2010 bulan
Februari-Maret
4 Sebaran konsentrasi klorofil-a rataan 8 harian tahun 2010 bulan MeiJuni
5 Sebaran konsentrasi klorofil-a rataan bulanan tahun 2010 bulan JanuariDesember

32
33
34
35
36

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penginderaan jauh satelit telah terbukti menjadi salah satu alat untuk
mempelajari dinamika massa air. Berbagai parameter fisika maupun biologi telah
dapat dideteksi dengan menggunakan satelit seperti Suhu Permukaan Laut (SPL),
konsentrasi klorofil-a, kandungan uap air, angin, tinggi muka laut, arus dan saat
ini sedang dikembangkan untuk salinitas (Robinson 1985).
Dinamika massa air dikenal dengan istilah Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO). ARLINDO adalah aliran massa air antar samudera yang melewati
Perairan Indonesia mengalir dari Samudera Pasifik melewati bagian timur
Indonesia masuk ke jantung Perairan Indonesia melalui Selat Makassar hingga
menembus melalui selatan Indonesia menuju Samudera Hindia (Wyrtki 1987;
Gordon dan Fine 1996). ARLINDO perlu dipantau secara terus menerus karena
memengaruhi kondisi perairan global.
Pemantauan dinamika massa air secara konvensional membutuhkan waktu
dan biaya yang sangat besar, dan oleh karena itu teknologi penginderaan jauh
satelit telah banyak digunakan untuk memantau dinamika massa air. Dalam
perkembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja) saat ini, salah satu jenis
satelit yang dikembangkan untuk mengamati parameter oseanografi adalah Satelit
Terra dan Aqua yang membawa sensor Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer (MODIS). Jenis satelit ini mempunyai resolusi spasial 250 m
hingga 1 km dan temporal harian sehingga bisa mengamati variabel parameter
oseanografi seperti SPL, klorofil-a, kandungan uap air, angin dan arus.

Perumusan Masalah
Perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem pola angin muson yang
berdampak pada perbedaan sirkulasi massa air perairan Indonesia antara Musim
Barat dan Musim Timur. Pola sirkulasi massa air yang berbeda ini dipengaruhi
oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi Perairan Indonesia menuju Lautan
Hindia melalui sistem ARLINDO. Pada saat Musim Barat, massa air umumnya
mengalir ke arah timur Perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika Musim Timur,
sehingga suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan
Laut Banda akan mengalir menuju Perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki 1961).
Penelitian ARLINDO yang telah dilakukan seperti oleh Meyers et al. (1995),
Ilahude dan Gordon (1996), Hatayama (2003), Gordon (2005), Gordon et al.
(2008), Gordon et al. (2010) membuktikan adanya pergerakan massa air di
Perairan Selat Makassar melalui pengukuran parameter oseanografi.
Selama ini penelitian ARLINDO telah banyak dilakukan namun pada
umumnya menggunakan metode konvensional dengan survei lapang. Metode ini
mempunyai keterbatasan dalam hal liputan spasial. Sementara itu, teknologi
inderaja mempunyai keunggulan sinoptik, yakni mampu mengamati daerah yang
luas dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, perlu dikaji potensi citra

2
satelit untuk mengamati variabilitas parameter oseanografi di Selat Makassar
dalam hubungannya dengan ARLINDO.
Kemampuan teknologi inderaja untuk mendeteksi area yang cukup luas
memudahkan pengambilan data parameter oseanografi yang dibutuhkan secara
spasial. Teknologi inderaja adalah teknologi yang tepat untuk memantau dinamika
massa air permukaan yang ada di Perairan Selat Makassar berdasarkan skala
ruang (spasial) maupun waktu (temporal). Data distribusi SPL dan konsentrasi
klorofil-a yang diperoleh dengan teknologi inderaja diharapkan dapat
menggambarkan dinamika massa air permukaan di Perairan Selat Makassar.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memantau dinamika massa air permukaan di
perairan Selat Makassar dengan menggunakan citra satelit.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Arus Lintas Indonesia
Indonesian Through Flow atau yang lebih dikenal dengan nama ARLINDO
merupakan salah satu fenomena yang unik yang terdapat di Perairan Indonesia.
ARLINDO adalah aliran massa air antar samudera yang melewati perairan
Indonesia, dalam hal ini adalah aliran massa air dari Samudera Pasifik menuju
Samudera Hindia. Secara geografis letak Indonesia berada di antara dua samudera
tersebut, lebih tepatnya Samudera Pasifik di bagian utara dan timur laut serta
Samudera Hindia di bagian selatan dan barat daya. Aliran massa air ini terjadi
akibat adanya perbedaan tekanan antara kedua lautan tersebut (Wyrtki 1987).
Perbedaan ketinggian muka laut antara kedua lautan inilah yang
menyebabkan terjadinya gradient tekanan yang kemudian menimbulkan
perpindahan massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Sepanjang
tahun angin pasat tenggara bertiup di atas Samudera Pasifik yang mendorong
massa air Samudera Pasifik ke arah barat sehingga massa air tersebut menumpuk
di dekat Perairan Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan ketinggian
muka laut antara Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera Hindia yang
terletak di selatan Indonesia (Wyrtki 1987).
Melalui hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui tiga daerah
pintu masuk aliran massa air di Indonesia dengan daerah yang paling dominan
adalah perairan di Selat Makassar. Massa air yang berasal dari Pasifik Utara
masuk ke Sulawesi melalui bagian selatan Mindanao (Filipina) kemudian masuk
ke perairan Indonesia melalui Selat Makassar, rute ini dinamakan rute
barat/western route (Fieux 1995). Rute ini selanjutnya bercabang menjadi dua,
yang pertama langsung menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok dan yang
kedua menuju Laut Banda melalui Laut Flores kemudian bercampur dengan
massa air dari Samudera Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera, Laut
Maluku dan Laut Seram. Campuran massa air ini menuju Samudera Hindia
melalui dua jalur, Gordon dan Fine (1996) menjelaskan bahwa jalur keluar aliran

3
massa air ini adalah melalui jalur yang berada di antara Pulau Alor dan Pulau
Timor (dikenal dengan nama Selat Ombai) yang kemudian masuk ke Laut Sawu
dan mengalir keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Sumba, Selat Sawu
dan Selat Rote. Sedangkan jalur keluar yang kedua adalah jalur yang berada di
selatan Pulau Timor melewati Cekungan Timor dan Celah Timor. Celah tersebut
adalah celah antara Pulau Rote dan paparan Benua Australia. Berikut adalah
gambar jalur ARLINDO (Gambar 1).

Gambar 1. Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)
Sumber : Gordon (1996)

Kondisi Perairan Selat Makassar
Secara geografis, Selat Makassar terletak di antara dua pulau besar di
Indonesia yaitu Pulau Kalimantan pada bagian barat dan Pulau Sulawesi di bagian
timur. Selat Makassar berhubungan dengan Samudera Pasifik di bagian utara
melalui Laut Sulawesi, sedangkan pada bagian selatan dengan Laut Jawa dan Laut
Flores. Masuknya massa air dari daratan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi
serta adanya pertukaran massa air dengan Samudera Pasifik melalui Laut
Sulawesi, Laut Jawa dan Laut Flores akan memengaruhi produktivitas primer di
Perairan Selat Makassar.
Secara umum transpor massa air permukaan di Perairan Selat Makassar
tidak mengalami perubahan arah yaitu dari utara ke selatan kecuali pada daerah
bagian selatan. Di daerah tersebut terlihat perubahan transpor massa air
permukaan dipengaruhi oleh angin muson, selama muson timur massa air
permukaan dari Laut Flores bertemu dengan massa air dari Selat Makassar yang
mengalir ke Laut Jawa. Pada muson barat massa air dari Laut Jawa bertemu
dengan massa air Selat Makassar dan mengalir ke Laut Flores. Transpor
maksimum massa air terjadi dari Selat Makassar ke Samudera Hindia melalui
Selat Lombok, Selat Ombai dan Laut Banda pada saat angin muson tenggara
antara bulan Juli – September dan transpor minimum pada saat angin muson barat
laut antara bulan November – Februari (Meyers et al. 1995; Gordon and McClean
1999; Molcard et al. 1996; Hautalla et al. 2001).

4
Menurut Ilahude (1970), selama musim barat, suhu di Perairan Selat
Makassar lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada musim timur. Perairan di
Selat Makassar relatif subur dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya penyuburan sepanjang tahun di daerah ini.
Pada Musim Barat terjadi penyuburan karena adanya aktivitas run off dari daratan
Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi yang disebabkan oleh curah hujan yang
cukup tinggi, sedangkan pada Musim Timur terjadi upwelling (penaikan massa
air) (Ilahude 1978).

Suhu
Suhu diketahui sebagai suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya
energi panas (bahang) yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama
yang terdapat di permukaan laut sangat tergantung dari jumlah bahang yang
diterima dari sinar matahari. Daerah yang banyak menerima bahang matahari
terletak di daerah 10°LU – 10°LS. Hal inilah yang menyebabkan suhu menjadi
lebih tinggi pada daerah ekuator dibandingkan dengan daerah lainnya (Weyl
1970).
Suhu air laut dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari selain itu suhu
juga dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan, suhu udara, kecepatan angin,
kelembaban udara dan keadaan awan (Hastenrath 1988). Variasi tahunan suhu
rata-rata di perairan Indonesia tergolong kecil sekitar 2°C, yang disebabkan oleh
adanya pengaruh dari posisi matahari dan massa air dari lintang tinggi. Pengaruh
intensitas cahaya matahari terhadap suhu permukaan laut terutama di daerah tropis
dapat dilihat pada pola pergerakan matahari. Pola pergerakan matahari adalah pola
yang terlihat dari bumi terhadap matahari yang seakan-akan bergerak, padahal
faktanya adalah terjadi pergerakan bumi terhadap matahari (revolusi bumi). Setiap
tahunnya matahari seolah-olah bergerak sejauh 23.5° ke arah utara dan 23.5° ke
arah selatan dan gerak ini disebut gerak semu tahunan pada ekliptika, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2 (Wijaya 2010). Menurut Soegiarto dan Birowo
(1975) pada Musim Barat pemanasan terjadi di daerah Laut Arafura dan perairan
pantai barat Sumatera dengan suhu berkisar antara 29 – 30°C, sementara Laut
Cina Selatan memiliki suhu yang lebih rendah, berkisar antara 26 – 27°C. Pada
Musim Timur suhu air laut perairan Indonesia di bagian timur memiliki kisaran
nilai suhu yang lebih rendah.
Banyak faktor yang menentukan penyebaran suhu pada permukaan laut
diantaranya adalah pengaruh dari arus dan kondisi meteorologi yang ada. Menurut
Ilahude (1999) pada daerah upwelling ditemukan perbedaan penyebaran suhu
yang cukup berarti, sedangkan penyebaran suhu vertikal pada tempat lainnya
dapat dikatakan cukup kecil. Suhu permukaan laut di Indonesia umumnya berkisar
antara 28 - 31°C; perubahan musiman suhu permukaan laut tersebut kurang dari
3°C. Suhu tertinggi mencapai rata-rata 30°C dan biasanya terjadi pada bulan
April–Mei, sedangkan suhu terendah rata-rata 27°C terjadi pada bulan Desember
dan Januari (Nontji 2005).

5

Gambar 2. Gerak semu tahunan matahari
Sumber : Wijaya (2010)
Menurut Wyrtki (1961) lapisan air dipermukaan laut tropis pada umumnya
hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia mempunyai kisaran suhu
sekitar 28 – 31°C pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu, tempat yang
sering terjadi upwelling, keadaan suhu dapat menjadi lebih rendah sekitar 25°C
yang disebabkan oleh terangkatnya massa air dingin ke atas. Saat Musim Barat
(Oktober – April) matahari berada di bumi bagian selatan, sehingga suhu akan
lebih hangat di selatan khatulistiwa yang berkisar antara 29 – 30°C dan suhu lebih
dingin di utara khatulistiwa dengan kisaran antara 27 – 28°C. Sedangkan pada
saat Musim Timur (April – Oktober) matahari berada di bumi bagian utara,
sehingga suhu perairan Indonesia yang lebih hangat berada di utara khatulistiwa
yang berkisar antara 28 – 30°C dan di selatan khatulistiwa yang akan lebih dingin
dengan kisaran antara 27 – 28°C.
Menurut Nontji (2005) sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia
dapat dibedakan secara umum yang terdiri atas tiga lapisan, yaitu homogen hangat
(bagian atas), lapisan termoklin (bagian tengah) dan lapisan homogen dingin
(lapisan bawah). Selama Musim Barat lapisan homogen dapat mencapai 100
meter dari permukaan perairan dengan suhu antara 27 – 28°C dan salinitas
perairan berkisar antara 32.5 – 33.5‰. Di bawah lapisan homogen, terdapat
lapisan termoklin dengan kedalaman 100 – 260 meter dan suhu berkisar antara 12
– 26°C serta salinitas antara 34 – 34.5‰. Selanjutnya lapisan dalam, dari
kedalaman sekitar 300 meter sampai dasar perairan memiliki suhu antara 5 – 11°C
dan salinitas antara 34 – 34.5‰. Pada Musim Timur, lapisan homogen dapat
mencapai lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan. Suhu
di lapisan ini berkisar antara 26 – 27°C dan salinitas 34 – 34.5‰. Lapisan
termoklin yang terbentuk saat musim timur terjadi pada kedalaman 50 – 400
meter mempunyai suhu antara 10 – 26°C dan salinitas 34.5 - 36‰. Lapisan dalam
yang terbentuk pada kedalaman 400 meter sampai ke dasar perairan memiliki
suhu antara 5 – 11°C dan salinitas antara 34 – 34.5‰ (Ilahude 1970).
Suhu merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk melihat pola
pergerakan massa air yang terdapat di Perairan Selat Makassar. Sebaran suhu
permukaan akan menunjukkan daerah dimana pertemuan dua massa air, karena
massa air tersebut memiliki suhu yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa suhu permukaan Selat Makassar di bagian utara lebih hangat berkisar
antara 29.14 – 29.69°C dan pada bagian selatan berkisar antara 27.44 – 29.1°C
(Awaludin et al. 2005). Menurut Robinson (1985) suhu permukaan laut memiliki
kaitan erat dengan lapisan air yang berada di bawahnya sehingga data suhu

6
permukaan laut dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di laut
seperti front, arus, upwelling, sebaran suhu secara horizontal dan aktivitas biologi.

Konsentrasi Klorofil-a
Konsentrasi klorofil-a digunakan sebagai indikator dari kelimpahan
fitoplankton pada suatu perairan yang berhubungan dengan produktivitas primer
suatu perairan. Fitoplankton di suatu perairan memiliki pigmen yang berfungsi
untuk menangkap dan mengumpulkan energi cahaya dengan kisaran panjang
gelombang yang luas, kemudian memindahkan energi tersebut ke dalam klorofil-a
(Sumich 1992). Pengamatan klorofil melalui satelit bergantung pada pigmen yang
memengaruhi warna perairan tersebut (Maul 1985). Ada 3 macam klorofil yaitu :
klorofil-a, b dan c. Diantara ketiga klorofil tersebut klorofil-a merupakan bagian
terpenting dalam proses fotosintesis dan dikandung oleh semua jenis fitoplankton
yang masih hidup di laut (Prasati et al. 2005).
Pigmen seperti klorofil-a dan klorofil-b memiliki tingkat absorbsi yang
tinggi pada kanal biru dan merah. Klorofil-a menyerap cahaya dengan baik pada
panjang gelombang 430 nm dan 660 nm (Curran 1985). Menurut Arinardi et al.
(1997), Perairan Indonesia memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi karena
adanya pengadukan dasar perairan sebagai dampak dari aliran sungai pada daratan
(terjadi di Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Sumatra bagian selatan, Kalimantan
Selatan dan Papua) serta berlangsungnya proses penaikan massa air lapisan dalam
ke permukaan (terjadi di Laut Banda, Laut Arafura, Selat Bali dan Selatan Jawa).
Nontji (2005) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a di Perairan
Indonesia rata-rata 0.19 mg/m³ selama Musim Barat dan 0.21 mg/m³ selama
Musim Timur. Kisaran kandungan klorofil-a di perairan Selat Makassar dari
lapisan permukaan sampai kedalaman 100 m berkisar antara 0.00 – 1.14 mg/m³
(Afdal dan Riyono 2004). Kandungan klorofil-a di Perairan Selat Makassar bagian
selatan pada saat upwelling (Agustus 1974) berkisar antara 0.4 – 0.7 mg/m³,
sedangkan sebelum terjadinya upwelling (Mei 1975) kandungan klorofil-a
berkisar antara 0.2 – 0.4 mg/m³ (Ilahude 1978).
Perairan di Selat Makassar merupakan perairan yang subur. Menurut Afdal
dan Riyono (2004) lapisan permukaan kandungan klorofil-a maksimum (>1.5
mg/m³) ditemukan di bagian timur laut Selat Makassar dekat dengan daratan
Sulawesi dan semakin menurun menuju daratan Kalimantan. Pada ujung selatan
bagian tengah perairan Selat Makassar di kedalaman 50 m memiliki kandungan
klorofil-a maksimum (>1 mg/m³) dan semakin ke utara semakin rendah, hingga
pada kedalaman 75 m masih ditemukan kandungan klorofil-a minimum (