Penerapan Permohonan Ganti Kerugian atas Putusan Bebas dalam Perkara Pidana (Analisis Terhadap Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/PID/2013/PT.SMG, dan putusan MA No. 1262/K/PID/2014)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Asmawie, M. Hanafi. Ganti Rugi dan Rehabilitasi menutur KUHAP. Prima Karsa Utama. Jakarta. 1990.

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2010.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan dalam

KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. 2009.

Kuffal, H.M.A. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. UMM Press.Malang. 2005.

Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Bogor. 2010.

Marpaung, Leden. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana. Manajemen PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1997.

Prakoso, Djoko. Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP. Bina Aksara. Jakarta. 1998.

Salam, Moch. Fasial. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju. Bandung. 2001.

Seno, Oemar. Hukum Acara Pidana dalam Propeksi. Erlangga, Jakarta. 1976. R. Soeparmono. Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti


(2)

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983


(3)

BAB III

Penerapan Permohonan Ganti Kerugian Atas Putusan Bebas (Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG& Putusan MA No. 1262K/Pid/2014)

A. Kasus

1. Kasus Posisi50

Pada Tanggal 8 Juli 2011 Sri Mulyati binti Kardjo dengan mudahnya dijadikan tersangka oleh penyidik Kepolisian padahal dari seluruh saksi yang diperiksa tidak ada yang meguatkan jika Sri Mulyati binti Kardjo sebagai yang melakukan tindak pidana, namun jutru seluruh saksi yang diperiksa mengarah kepada pemilik karaoke yaitu saudara Santoso Wibowo, yang anehnya tidak pernah diperiksa apalagi dijadikan tersangka;

Sri Mulyati binti Kardjo selaku PEMOHON ganti kerugian dalam peradilan tingkat pertama adalah karyawan pada karaoke ACC milik Santoso Wibowo yang beralamat di Komplek Ruko Dargo Blok D nomor 123 Jalan Dargo Semarang. Pada tanggal 8 Juni 2011 sedang razia tempat hiburan di tempat Sri Mulyati bekerja, dan pada saat itu Sri Mulyati tidak berada di Karaoke ACC dikarenakan Sri Mulyati sedang off bekerja. Pak Joni meminta Sri Mulyati untuk datang. Sesampainya disana, Sri Mulyati langsung ditangkap oleh pihak Kepolisian karena diduga melakukan tindak pidana “mengeksploitasi ekonomi anak” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Undang-undang nomer 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yaitu diduga telah mengeksploitasi ekonomi anak dibawah umur bernama Evi Purwanti alias Rara bekerja dikaraoke ACC;

50


(4)

Dengan ditetapkannya Sri Mulyati binti Kardjo sebagai tersangka, maka oleh penyidik dilakukan penahanan, dan sampai dengan proses hukum berjalan, Sri Mulyati senantiasa diahan dengan perician sebagai berikut:

a. Penahanan ditingkat Kepolisian:

Sejak tanggal 9 Juni 2011 s/d 7 Agustus 2011 b. Penahanan ditingkat Kejaksaan:

Sejak tanggal 4 Agustus 2011 s/d 23 Agustus 2011 c. Penahanan ditingkat Pengadilan Negeri:

Sejak tanggal 18 Agustus 2011 s/d 14 Januari 2012 d. Penahanan ditingkat Pengadilan Tinggi:

Sejak tanggal 9 Januari 2012 s/d 7 April 2012 e. Penahanan ditingkat Mahkamah Agung:

Sejak tanggal 19 April s/d 7 Juni 2012

Pengadilan Negeri Semarang telah memutus perkara Sri Mulyati binti Kardjo dengan nomor perkara 140/Pid.Sus/2011/PN.smg. Pengadilan Negeri Semarang menyatakan bahwa Sri Mulyati binti Kardjo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengeksploitasi Ekonomi Atau Seksual Anak Dengan Maksud Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain”, serta menjatuhkan pidana pejara selama 8 (delapan) bulan dan denda Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), dan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan, dan Pengadilan Negeri Semarang menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Sri Mulyati binti Kardjo akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Serta membebankan


(5)

Sri Mulyati binti Kardjo untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Atas dasar putusan Pengadilan Negeri Semarang tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding. Dalam putusan nomor 64/Pid.Sus/2012/PT.Smg tersebut, Pengadilan Tinggi Semarang menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum tersebut serta memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Semarang yaitu dengan menjatuhkan pidana terhadap Sri Mulyati binti Kardjo dengan pidana penjara selama 1(satu) Tahun.

Berdasarkan putusan tersebut Terdakwa Sri Mulyati binti Kardjo mengajukan kasasi, dalam putusannya Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012, Mahkamah Agung megabulkan permohonan kasasi dari terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang telah memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Semarang.

Dengan diputus bebasnya Sri Mulyati binti Kardjo oleh Mahkamah Agung maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya meminta imbalan ganti rugi dari Negara dengan mengajukan permohonan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum, namun permohonan ganti kerugian tersebut tidak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Semarang. Atas tidak dikabulkannya permohonan ganti kerugian tersebut maka pihak Sri Mulyati binti Kardjo mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Semarang, dalam putusan banding tersebut Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan permohonan banding dan juga memerintahkan Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada Pemohon banding sebesar Rp.5.000.000,- serta memerintahkan Negara untuk


(6)

mengembalikan uang denda yang telah dibayar oleh Sri Mulyati binti Kardjo dalam proses perkara pidannya sebesar Rp. 2.000.000,- dan biaya perkara Rp. 2.500,- ditambah Rp. 2.500,- sama dengan Rp. 5.000,- . Dengan dikabulkannya permohonan ganti kerugian ditingkat banding tersebut, maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Negara, dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak mengabulkan kasasi dari pihak Jaksa Penuntut Umum dan menghukumnya untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus rupiah).

2. Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG a. Dasar Permohonan Ganti Kerugian

Dengan diputus bebasnya Sri Mulyati binti Kardjo oleh Mahkamah Agung maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum, atas dasar:

Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP disebut:

“Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)”.


(7)

“ Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”

Berdasarkan Pasal 95 ayat 1 KUHAP tersebut, maka Pemohon meminta imbalan ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dari Negara yang diwakili oleh Termohon I dan Termohon II.

Pada saat proses peradilan perkara pidana, pihak dari Pemohon terpaksa membayar denda sebesar Rp, 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) kepada Termohon agar Pemohon dapat keluar dari tahanan, oleh karena Pemohon telah dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung maka, uang denda sebesar Rp, 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) yang telah dibayarkan kepada Negara melalui Termohon haruslah dikembalikan kepada Pemohon.

Sri Mulyati binti Kardjo selaku Pemohon telah kehilangan kebebasaannya dan penghasilannya sejak ditangkap pada tanggal 8 Juli 2011 sampai dengan 5 Juli 2012, apabila dihitung dengan upah minimum kota Semarang tahun 2011 sebesar Rp. 961.323,- (sembilan ratus enam puluh satu ribu tiga ratus dua puluh tiga rupiah) per bulannya, dan tahun 2012 sebesar Rp. 991.500,- (sembilan ratus sembilan puluh satu ribu lima ratus rupiah) per bulannya, sehingga dengan demikian Pemohon telah kehilangan penghasilannya sebesar:

6 bulan pada tahun 2011: Rp. 961.323,00 X 6 = Rp. 5.767.938,00 7 bulan pada tahun 2012: Rp. 991.500,00 X 7 = Rp. 6.940.500,00


(8)

Pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

Berdasarkan Pasal 1388 KUHPerdata tersebut kekeliruan Para Termohon dalam menerapkan hukum yang berakibat Pemohon kehilangan kemerdekaannya serta kehilangan penghasilannya, karena keliru artinya sama dengan khilaf, dan khilaf adalah lalai atau kurang hati-hati. Maka Para Termohon secara langsung harus menanggung/mengganti kehilangan penghasilan Pemohon yakni sebesar Rp. 12.708.438,00 (dua belas juta tujuh ratus delapan ribu empat ratus tiga pulu delapan rupiah).

Permohonan ganti kerugian yang dilakukan Pemohon atas dasar Pasal 95 ayat 1 KUHAP Pasal 9 ayat 1 PP No. 27 tahun 1983 berbeda dengan tuntutan ganti rugi yang berdasarkan kepada Pasal 1366 KUHAPerdata. Dalam ganti rugi atas dasar Pasal 95 ayat 1 KUHAP jo Pasal 9 ayat 1 PP No. 27 tahun 1983 adalah karena peraturan perundang-undangan memerintahkan demikian, sedangkan permohonan ganti kerugian atas dasar Pasal 1366 KUHPerdata adalah kerugian yang diakibatkan oleh hilangnya penghasilan dan ganti rugi akibat harkat dan martabat Pemohon telah jatuh secara sosial maupun psikologis. Oleh sebab itu Pemohon meminta ganti rugi secara immaterial kepada Para Termohon secara tanggung renteng yang dinilai dengan uang sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


(9)

b. Pertimbangan Hakim

Untuk mendukung dalil-dalil dari sangkalan yang dilakukan, Termohon I mengajukan bukti-bukti surat, dan dari bukti bukti yang dilampirkan Para Termohon, Hakim tidak menemukan terjadinya kekeliruan dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh Para Termohon. Oleh karena itu permohonan Pemohon yang menyebutkan bahwa “akibatkan kekeliruan penerapan hukum yang dilakukan Para Termohon, maka Pemohon meminta agar Negara memberi imbalan ganti rugi sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)” haruslah ditolak;

Berdasarkan bukti yang dilampirkan oleh Termohon II yaitu fotocopy Tanda Terima Pembayaran Denda/Denda Ganti/Uang Pengganti/Biaya Perkara, atas nama Sri Mulyati binti Kardjo, dimana Pemohon melalui Kuasa Hukumnya menyatakan menerima putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor: 64/Pid.Sus/2012/PT.Smg tanggal 19 Maret 2012, oleh karena itu maka petitum no 3 Pemohon yang menyebutkan bahwa “Uang denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan biaya Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus ribu rupiah) yang telah dibayarkan Pemohon kepada Termohon II dikembalikan kepada Pemohon” haruslah ditolak;

Berdasarkan Permohonan Pemohon yang menyebutkan bahwa “Para Termohon secara tanggung renteng untuk mengganti pengahasilan Pemohon yang hilang dari tanggal 8 Juni 2011 sampai dengan 5 Juli 2012, dimana Pemohon kehilangan kemerdekaannya sehingga Pemohon kehilangan penghasilannya”. Oleh karena Pemohon dipersidangan tidak dapat membuktikan apakah Pemohon telah kehilangan penghasilan saat proses perkara berlangsung, oleh karena haruslah ditolak;


(10)

Pada saat dipersidangan Pemohon juga tidak dapat membuktikan kerugian immateriil yang ada dalam permohonan Pemohon yang menyebutkan bahwa “Pemohon meminta pengganti uang immateriil sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)” maka petitum tersebut haruslah ditolak;

c. Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG

Berdasarkan Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam permohonan ganti kerugian ini, Hakim menetapkan menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan membebankan biaya perkara ini pada Negara.

3. Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG

Permohonan Ganti Kerugian tingkat pertama di Pengadilan Negeri Semarang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Atas ditolaknya Permohonan ganti rugi tersebut, Sri Mulyati binti Kardjo mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Sri Mulyati binti Kardjo selaku Pemohon banding tidak mengubah sedikitpun dasar Permohonan dalam mengajukan banding.

a.Pertimbangan Hakim

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi telah mempelajari dengan teliti berkas perkara dan turunan resmi dan putusan Pra Peradilan Pengadilan Negeri Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.Smg. Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara Pra Peradilan tersebut termasuk dalam kriterian yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, dan permintaan banding dilakukan dalam tenggang waktu, oleh karena itu permintaan banding tersebut dapat di terima.


(11)

Mahkamah Agung dalam perkara pidananya menyatakan bahwa Sri Mulyati binti Kardjo tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka Mahkamah Agung membebaskan Terdakwa Sri Mulyati binti Kardjo dari segala hukumannya, serta memulihkan hak Sri Mulyati binti Kardjo dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang berpendapat bahwa tuntutan dari Pembanding haruslah dikabulkan sebagian danputusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 14 januari 2013 Nomor : 15/Pid.GR/2012.PN.Smg haruslah dibatalkan.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang juga berpendapat bahwa biaya-biaya yang telah dibayarkan perkara pidananya haruslah dikembalikan kepada Pembanding, yaitu uang denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) serta biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Proses perkara pidana yang telah dijalani oleh Pembanding atas penahanan yang dilakukan kepadanya, maka sesuai dengan bunyi pasal 95 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 kepada Pembanding haruslah diberikan ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Atas dikabulkannya Permohonan banding yang dilakukan oleh pihak Sri Mulyati binti Kardjo, maka biaya perkara dalam tingkat peradilan kedua ini dibebankan kepada Para Termohon.


(12)

b. Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG

Pengadilan Tinggi Semarang menerima permintaan banding dari Pemohon/Pembanding, serta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 14 Januari 2013 Nomor: 15/Pid.GR/2012/PN.SMG. yang dimintakan banding tersebut. Pengadilan Tinggi Semarang juga mengabulkan permohonan dari Pemohon/Pembanding untuk sebagian, memerintahkan Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada Pemohon/Pembanding sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), memerintahkan Negara mengembalikan uang yang telah disetorkan Pemohon/Pembanding sebagai uang denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ditambah dengan biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) sama dengan Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah), dan membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan kepada Negara, serta menolak permohonan Pemohonan/Pembanding yang lain dan selebihnya;

4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No: 1262 K/Pid/2012 a. Alasan Jaksa Penuntut mengajukan Kasasi

Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi setelah dikabulkannya permohonan banding Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo. Jaksa Penuntut Umum tidak terima atas putusan banding permohonan ganti kerugian tersebut, hal itu disebabkan bahwa tidak ada dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan banding oleh Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, terhadap pra peradilan permohonan ganti rugi ini. Didalam Pasal 81 KUHAP menjelaskan bahwa “Permintaan ganti


(13)

kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya”.

Dan menurut Pasal 83 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”

Jelaslah bahwa tidak ada dasar hukum untuk mengajukan banding terhadap pra peradilan permohonan ganti kerugian ini, KUHAP secara tegas menyatakan bahwa hal ini tidak dapat diajukan banding. Peraturan hukum yang diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Maka jelaslah bahwa Hakim Pengadilan Tinggi Semarang telah melakukan kekeliruan yang nyata karena tidak sesuai dengan Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan alasan diatas, putusan Hakim No: 76/Pid/2010/PT.SMG tanggal 4 April 2012 tersebut tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan.

Sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung RI No: 21 Tahun 1983 bahwa salinan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, harus disampaikan kepada jaksa dalam batas waktu paling lama 1 (satu) minggu, dan ternyata salinan putusan pengadilan dalam perkara ini sampai disusunnya dan diajukan memori kasasi ini belum mendapatkan putusan yang lengkap dan merugikan Pemohon Kasasi dalam menyusun memori kasasi, Maka jelaslah bahwa cara mengadili perkara ini tidak dilaksanakan dengan ketentuan undang-undang.

Pemohon Kasasi juga berpendapat bahwa Pegadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas wewenangnya yaitu seharusnya perkara permohonan ganti


(14)

kerugian tidak dapat dimintakan banding, namun Hakim Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti rugi.

b. Pertimbangan Hakim

Menurut Pasal 45 A ayat (2) a Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No.3 Tahun 2009, maka terhadap pra peradilan tidak dapat diajukan kasasi, dengan demikian permohonan kasasi pra peradilan yang diajukan Pemohon kasasi tidak dapat diterima.

Berdasarkan dasar Permohonan kasasi dari Pemohon maka Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat diterima.

Oleh karena permohonan pra peradilan dinyatakan tidak dapat diterima, maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Pemohon Kasasi/Termohon I Praperadilan.

c. Putusan MA No. 1262K/Pid/2014

Mahkamah Agung menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Negara Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Cq. Kejaksaan Negeri Semarang tersebut tidak dapat diterima dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat Kasasi ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus rupiah);

B. Analisa Kasus


(15)

pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya.Sebab dengan putusan Hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.Grustav Radbruch mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Ketiga hal inilah yang diharapkan terdapat dalam suatu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim.51

51

Sudirman, Antonius, Hati Nirani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 44

Suatu putusan yang dikelurkan oleh Hakim sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum sehingga menghasilkan putusan yang adil bagi masyarakat.Hal ini dapat terwujud apabila hakim dalam memutuskan suatu permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat benar-benar memenuhi rasa keadilan (sense of justice).Namun dalam mewujudkan putusan Hakim yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ternyata tidak mudah.Bahkan dalam beberapa putusan Pengadilan justru bermasalah dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.Hal ini melahirkan putusan yang sesat dan merugikan masyarakat. Putusan sesat yang dikeluarkan oleh Hakim disebabkan oleh kesesatan Hakim dalam mengadili dengan memeriksa perkara atau orang yang diadili untuk mengambil keputusan yang dilakukan Pengadilan dengan salah jalan, salah prosedurnya, salah menerapkan aturannya dan menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa. Kesesatan hakim dalam kehidupan hukum sering disebut dengan peradilan sesat.


(16)

Peradilan sesat berasal dari frasa Rechterlijke Dwaling yang kadang dalam bahasa Indonesia disebut dengan kesesatan Hakim. Kata “rechterlijke” dibahasa Indonesiakan dengan kata “Hakim”. Dapat dimengerti sepenuhnya karena peradilan identik dengan hakim. Hakim sebagai pengendali proses peradilan. Sehingga jika proses peradilan yang dikendalikan oleh hakim yang memeriksa perkara dilakukan dengan salah jalan alias sesat dan menghasilkan putusan yang merugikan orang yang diadili – menghasilkan putusan sesat, maka dapat pula disebut kesesatan Hakim.52

“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas Dengan diputus bebasnya perkara pidana Sri Mulyati binti Kardjo oleh Mahkamah Agung maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya meminta ganti rugi kepada Negara dengan mengajukan permohonan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum sehingga Sri Mulyati binti Kardjo mengalami kerugian baik secara materil maupun inmateril. Kerugian yang didapatkan ini dapat diajukan permohonan ganti kerugian.

Ganti kerugian khususnya dalam kasus pidana di Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 butir 22 dan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 butir 22 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa;


(17)

tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur didalam Undang-Undang ini”

Sedangkan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa;

“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”

Persoalan ganti kerugian dalam kasus pidana diperjelaskan kembali dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yaitu dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Peraturan ini kemudian kembali diperbaharui dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 dimana salah satu poin penting perubahan itu adalah kenaikan nilai ganti kerugian yang dapat diajukan dalam hal terjadi pelanggaran atas prosedur KUHAP yang sebelumnya paling rendah lima ribu rupiah dan paling tinggi satu juta rupiah menjadi Rp500.000 hingga Rp100.000.000,- dan Rp25.000.000,- hingga Rp300.000.000,- jika tindakan aparat penegak hukum dimaksud mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan


(18)

Rp600.000.000,- jika perbuatan menangkap, menahan, menuntut, dan mengadili berakibat pada matinya seseorang. Dalam kasus yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dijalankan dikarenakan peristiwa ini terjadi pada tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah ini baru ada pada tahun 2015.

Penetapan Nomor 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG yang diadili oleh Pengadilan Negeri Semarang mengikuti acara Praperadilan, Penetapan ini mengenai ganti kerugian terhadap diri Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo yang mana Pemohon adalah terdakwa atas kasus tindak pidana “Mengekploitasi Ekonomi Atau Seksual Anak Dengan Maksud Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain” yang diputus bebas oleh MA dalam perkara Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 tanggal 24 Juli 2012 atas tindakan dari pada Termohon I (Kepolisian Resor Besar Kota Semarang) dan Termohon II (Kejaksaan Negeri Semarang) yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan Terdakwa.

Terdapat 5 (lima) alasan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian: 1. Tindakan penangkapan yang tidak sah

Tindakan penangkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I pasal I butir 20 dan Bab V bagian kesatu pasal 16 s/d 19.

2. Tindakan penahanan yang tidak sah

Tindakan penahanan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dan atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I pasal 1 butir 21 dan Bab V Bagian kedua pasal 20 s/d 30 dan


(19)

perundang-undangan lain, termasuk penahanan yang lebih lama dari pada pidana (hukuman) yang dijatuhkan oleh Pengadilan (penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP)

3. Tindakan lain tanpa alasan berdasarkan Undang-undang

Dalam pasal 95 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan tindakan lain yaitu pemasukan rumah yang tidak sah menurut hukum, penggeledahan yang tidak sah, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.

4. Penghentian penyidikan atau penuntutan yang sah

Dalam pasal 81 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi sebagai akibat sahnya penghentian penyidikan dan sahnya penghentian penuntutan.

5. Dituntut dan diadili tanpa alasan Undang-undang

Tanpa alasan berdasarkan Undang-undang pada prinsipnya mempunyai makna yang sama dengan penerapan hukum yang tidak tepat atau kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan.

Korban dalam hal ini Sri Mulyati binti Kardjojelas telah mengalami poin 1, 2, dan 5. Hal-hal tersebut memang merupakan kejadian yang paling sering menimbulkan tuntutan ganti rugi yang diakibatkan karena aparat Penegak Hukum. Hal ini menyangkut orang yang pernah ditangkap/ditahan, selain itu terdakwa yang diadili tetapi kemudian dibebaskan karena kekeliruan penerapan hukumnya

Penetapan Nomor 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG mengenai pengajuan ganti kerugian terhadap diri Pemohon telah menimbulkan kerugian yang besar bagi diri


(20)

si Pemohon. Dimana kerugian tersebut sesungguhnya dapat dilihat dari putusan MA Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa pemohon tidak terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan dan didakwakan oleh Termohon I (Kepolisian Resor Besar Kota Semarang) dan Termohon II (Kejaksaan Negeri Semarang) yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan Terdakwa.

Putusan bebas yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atas Sri Mulyati binti Kardjotersebut telah menguatkan posisi dirinya sebagai korban salah tangkap yang diambil secara paksa kebebasannya, dengan adanya penahanan selama berbulan-bulan atas diri mereka, sehingga berbekal putusan bebas tersebut Pemohon mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian kepada negara yang dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan RI

Kesalahan pada semua tingkat pemeriksaan dalam suatu sistem pidana bagaimanapun juga dapat terjadi dan korban kesalahan tersebut harus mendapat ganti rugi. Hal ini sesuai dengan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa;

“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”

Mekanisme permohonan ganti kerugian dilakukan dengan mengikuti acara Praperadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimana salah satu yang merupakan ranah dari praperadilan adalah permintaan ganti rugi. Berdasarkan hal tersebut maka apa


(21)

sudah tepat.

Timbul permasalahan yaitu bahwa dalam Penetapan Nomor 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG yang menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon (Sri Mulyati binti Kardjo).Hal telah mencederai keadilan terhadap pemohon karena tidak dapat dibantahkan bahwa pemohon adalah korban dari pada kesalahan prosedural sistem peradilan oleh (Kepolisian Resor Besar Kota Semarang) dan Termohon II (Kejaksaan Negeri Semarang)hal ini berdasarkan Putusan MA Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum.

Pertimbangannya Hakim dalam Penetapan PN No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG ini mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan oleh Para Termohon, Pemohonlah yang diduga keras melakukan tindak pidana tersebut, oleh karena itu Hakim berpendapat bahwa tidak terdapat kekeliruan penerapan hukum, padahal dengan jelas diketahui bahwa Putusan MA Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum.

Dalil-dalil/alasan-alasan pengajuan ganti kerugian yang diberikan oleh Pemohon antara lain karena :

1. Pemohon meminta imbalan ganti kerugian sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), karena terdapat kekeliruan penerapan hukum yang dilakukan


(22)

oleh Termohon I dan Termohon II, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 95 ayat (1) KUHAP jo Pasal 9 ayat (1) PP 27/1983;

2. Pemohon meminta pengembalian uang denda yang telah dibayar oleh Pemohon dalam proses perkara pidana yang dialami oleh Pemohon sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan biaya Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);

3. Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk mengganti penghasilan Pemohon yang hilang akibat adanya kekeliruan dalam menerapkan hukum sebesar Rp. 12.708.438,- (dua belas juta tujuh ratus delapan ribu empat ratus tiga puluh delapan rupiah);

4. Meminta Para Termohon untuk membayar uang pengganti immaterril sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk memulihkan atau mengganti harkat dan martabat Pemohon yang telah jatuh secara sosialn maupun psikologis.

Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk dapat mengganti penghasilan Pemohon yang hilang selama Pemohon menjalani proses perkara pidananya, namun didalam Persidangan Pemohon tidak membuktikan apakah Pemohon telah kehilangan penghasilannya. Namun walaupun Pemohon tidak memberikan bukti pada dasar permohonan ini, seharusnya Majelis Hakim telah mengetahui hal tersebut, karna dengan jelas Pemohon memaparkan jangka waktu proses perkara pidana yang telah dialaminya yang mengakibatkan hilangnya penghasilan saat Pemohon menjalani proses perkara Pidana tersebut.


(23)

Pemohon juga meminta uang pengganti immateril kepada Para Termohon untuk memulihkan harkat dan martabat Pemohon, dan pada putusannya Majelis Hakim menolak petitum tersebut dikarenakan Pemohon tidak dapat membuktikan kerugian immateril tersebut di persidangan. Pada dasarnya ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas dari pada ganti kerugian dalam hukum pidana, dalam perdata ganti kerugian mengacu kepaa Pasal 1365 KUHAPerdata yaitu “mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi”. Ganti kerugian dalam hukum perdata dapat dimintakan setinggi-tingginya, dikarenakan tidak ada dasar hukum yang mengatur jumlah minimum dan maksimum ganti kerugian tersebut dan mencakup kerugian secara materiil maupun immateriil.

Kerugian materiil yaitu kerugian yang bisa dihitung atau dijumlahkan dengan uang, sedangkan kerugian immateriil yaitu kerugian moril yang tidak bisa dinilai dengan uang misalnya rasa ketakutan yang dideritanya atau kehilangan kesenangan hidup serta rasa sakit yang dideritanya. Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya diatur terhadap ongkos atau biaya yang telah korban keluarkan pada proses perkara tersebut, tidak ada dasar untuk memberikan ganti rugi secara immateriil dalam proses perkara pidana, artinya uang pengganti immateriil tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana.

Namun jika Pemohon menuntut uang denda yang telah ia bayarkan dalam proses perkara pidananya, sedangkan dalam putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tersebut, seharusnya Majelis Hakim mengabulkannya


(24)

karena sudah jelas diketahui bahwa Pemohon tidak bersalah, hal itu berdasarkan Putusan MA Nomor 1176/Pid.Sus/2012.

Setelah Praperadilan Pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang tentunya mencederai keadilan dan tidak sesuai dengan pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Pemohon mengajukan banding atas Praperadilan tersebut kepada Pengadilan Tinggi Semarang, dengan Nomor Perkara 49/PID/2013/PT.SMG. Hal tersebut sangat mencederai hukum di Indonesia, sebab tidak ada dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan banding oleh Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, terhadap Pra peradilan permohonan ganti kerugian ini.

Sementara didalam Putusannya tersebut Hakim Pengadilan Tinggi Semarang mengabulkan permohonan Pemohon/Pembanding untuk sebagian, yaitu memerintah Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada Pemohon/Pembanding sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), serta memerintah negara untuk mengembalikan uang denda yang telah disetorkan kepada pemohon dalam proses perkara pidananya sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Sehingga jelas dalam Pasal 95 KUHAP yang megatur tentang ganti kerugian, dijelaskan bahwa pemeriksaan terhadap ganti rugi dilakukan dengan mengikuti acara Pra peradilan. Sampai saat ini, tidak ada hukum yang mengatur bahwa dalam acara Pra peradilan dapat dimintakan banding. Penggunaan instrumen Pra peradilan guna menuntut ganti kerugian bagi korban salah tangkap belum begitu populer. Secara etimologis, penggalan kata “pra” pada kata “peradilan” yang dimaknai


(25)

sebelum adanya peradilan (pokok perkara) memang terkesan agak kurang relevan konteks gugatan ganti kerugian ini digunakan setelah ada putusan yang inkracht atas pokok perkara. Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas wewenang mengadilinya dikarenakan Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan yang nyata yaitu tidak menerapkan hukum secara semestinya. Seharusnya permohonan ganti kerugian tidak dapat dimintakan banding, namun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memeriksa dan bahkan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti kerugian tersebut.

Saat perkara ini berlangsung jumlah/nominal ganti kerugian dalam hukum pidana diatur didalam Pasal 9 PP Nomor 27 Tahun 1983, disebutkan bahwa:

(1) Ganti Kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

(2) Apabila penangkapan, penahanan, dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Dalam perkara ini Majelis Hakim memerintahkan Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan pertimbangan bahwa Pemohon/Pembanding telah dirugikan dengan adanya Pemohon/Pembanding dalam tahanan, dan pertimbangan Hakim tersebut


(26)

berdasarkan Pasal 95 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983.

Hal ini jelas merupakan ketimpangan Hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, sudah jelas kita ketahui bahwa jumlah ganti kerugian pada Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983 ialah serendah-rendahnya sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), sementara Majelis Hakim memberi imbalan ganti kerugian sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Maka jelas bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan dengan mengadili tidak berdasarkan Undang-Undang, dan dalam hal ini dapat dilihat bahwa Majelis Hakim telah memasukkan pendapat non yuridis dalam putusan yang dijatuhkannya. Sebab, dalam kasus yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah yang baru yaitu PP No. 92 Tahun 2015 ini tidak dapat dijalankan karena peristiwa ini terjadi pada Tahun 2012.

Namun sampai pada saat ini, uang ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang belum diperoleh oleh Sri Mulyati binti Kardjo. Kuasa Hukum Sri Mulyati sudah mengajukan permohonan ke Ketua Pengadilan Negeri Semarang agar bersurat ke Kementrian Hukum dan HAM untuk memberikan dana ganti rugi tersebut. Tapi, sampai saat ini Ketua Pengadilan Negeri Semarang belum merespon surat yang telah diajukan pihak Sri Mulyati dengan alasan sedang dipelajari. Mekanisme pencairan ganti kerugian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan No. 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara pembayaran Ganti Kerugian memiliki


(27)

proses yang sangat panjang dan berbelit-belit. Dapat dibayangkan kembali betapa sulit dan terjalnya jalur yang harus dilewati kembali oleh pihak Pemohon ganti kerugian apabila mengikuti birokrasi yang ada.

Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Nomor Perkara 1262 K/Pid/2014. Dalam Kasasinya Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas kewenangan mengadilinya, dan telah keliru dalam mengadili perkara tersebut. Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan pertimbangan bahwa perkara pra peradilan tidak dapat diajukan kasasi. Namun anehnya Mahkamah Agung tidak membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang sudah jelas-jelas telah keliru dalam mengadili perkara banding permohonan ganti kerugian ini. Seharus Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut karena sudah jelas Mahkamah Agung mengetahui bahwa pra peradilan permohonan ganti kerugian ini tidak dapat diajukan banding apalagi untuk mengajukannya secara kasasi, kerena memang tidak ada peraturan atau dasar hukum yang mengatur hal tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka telah terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penegak hukum yang dimana seharusnya mereka lah yang menjadi tonggak dalam penegakan hukum. Ada sebuat motto dari B.M.Taverne yang menyatakan berikan aku Hakim yang baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik


(28)

maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarikpu.53 Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara supaya dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya terdapat kekurangan, pada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran (interpretasi).54

53

Krisna Harahap, Paradigma Baru Konsep Hakim Transformatif :Perspektif Agenda Reformasi Peradilan. Buletin Komisi Yudisial, Jakarta, 2010, hlm.18

54Abdul Wahid dan Moh.Muhibbi, Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 253

Tetapi dapat mengikuti hati nurani dan keadilan.

Hakim merupakan kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system).Atas hal tersebut hakim merupakan bagian terpenting dalam penegakan hukum dan mencerminkan wajah peradilan secara keseluruhan, walaupun ada rekayasa di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain hakim dapat memahami dan mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat mengeluarkan produk berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut kembali kepercayaan publik terhadap dunia peradilan sehingga peristiwa yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo tidak terjadi lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia.


(29)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pasal 1 ayat 22 KUHAP menjelaskan bahwa ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan berupa materi karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Bagi masyarakat yang terlanjur diambil kebebasannya melalui proses penahanan, tentu saja “surga” yang dinantikan mereka ialah putusan bebas dari palu Hakim. Namun, seringkali putusan bebas yang dinantikan tersebut tidak serta merta dapat memulihkan kembali kondisi para korban salah tangkap ini seperti sedia kala. Dalam praktiknya para korban salah tangkap ini telah mengalami kerugian yang luar biasa seperti kehilangan pendapatan maupun pekerjaan, serta siksaan dan tekanan batin saat didalam penjara, untuk mengembalikan kerugian yang telah diderita sebagaimana posisi semula itulah yang menjadi persoalan besar selama ini.Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang mengatur tentang ganti kerugian dalam hukum pidana cukup membantu bagi pencari keadilan di Indonesia ini. Namun, aturan tersebut belum berjalan efektif. Pasalnya masih dibutuhkan penyesuaian dengan peraturan lainnya yang menjadi pelaksana Peraturan Pemerintah tersebut. Salah satu contoh ialah Keputusan Menteri Keuangan No. 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian, Keputusan Menteri Keuangan


(30)

tersebut menjadi mimpi buruk bagi pencari keadilan. Hal itu disebabkan mekanismenya cukup berbelit. Bahkan memiliki jangka waktu yang tidak pasti.

2. Permohonan ganti kerugian mengikuti acara pra peradilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 92 Tahun 2015 jo Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983 yaitu tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Acara pra peradilan dalam permohonan ganti kerugian tidak dapat dimintakan banding apalagi untuk dimintakan kasasi hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Dalam perkara ini, setelah ditolaknya Permohonan Pra peradilan ganti kerugian yaitu Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.SMGPemohon mengajukan banding, Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutus Permohonan Banding tersebut serta mengabulkan untuk sebagian permohonan banding dari Pemohon/Pembanding dengan nomor perkara 49/PID/2013/PT.SMG, hal ini sangat mencederai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karna sudah jelas bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas kewenangannya. Setelah banding pihak lawan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor perkara 1262/K/PID/2014. Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi tersebut dikarenakan sesuai dengan peraturan yang ada, Permohonan Ganti Kerugian tidak dapat dimintakan Banding


(31)

ataupun Kasasi, namun anehnya Mahkamah Agung tidak membatalkan Putusan Banding ganti kerugian tersebut.

B. Saran

1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang pemenuhan hak-hak mereka terutama hak mereka untuk menuntut ganti kerugian dan juga pengenalan tentang Peraturan Pemerintah yang baru saja keluar yaitu PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai ganti kerugian dalam pidana.

2. Selain itu, diperlukan proses yang tidak lama, sederhana, dan biaya ringan dalam menuntut ganti kerugian agar mantan tersangka tersebut dapat menuntut pemenuhan haknya atas kerugian yang telah dialaminya akibat tindakan aparat penegak hukum yang tidak sah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat awam dapat menggunakan hak mereka dengan sebaik-baiknya.

3. Perlu adanya pengaturan yang sistematis, rinci, dan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya pengaturan mengenai praperadilan, sehingga terdapat dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaan ketentuan perundang-undangan agar tidak terjadi celah penyalahgunaan wewenang.


(32)

BAB II

PENGATURAN GANTI KERUGIAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Dasar Hukum dan Macam-Macam Ganti Kerugian

1.Dasar Hukum Ganti Kerugian

Dasar hukum dari pemberian ganti kerugian adalah sebagaimana diatur didalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa;

“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.”

Dasar hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut kemudian dijabarkan melalui pasal-pasal KUHAP yaitu Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Sebagaimana ketentuan umumnya yang ada dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP yang berbunyi:

“Ganti Kerugian adalah hak seorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Pengaturan tentang ganti kerugian dalalam Pasal 95 KUHAP dari apa yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 95 ayat (1) KUHAP berbunyi;


(33)

“Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tidakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”

Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksakan hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan hukum.21

a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.

Didalam Pasal 95 ayat (2) KUHAP berbunyi:

“Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasrkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud didalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus sidang praperadilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 77”

Pasal 77 KUHAP berbunyi:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam undang-undang ini tentang:

b) Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Seperti yang disebutkan bahwa di dalam Pasal 95 ayat (2) dan dihubungkan dengan Pasal 77, maka tuntutan ganti kerugian tidak hanya dapat


(34)

diajukan terhadap perkara yang telah diajukan kemuka Pengadilan, tetapi juga apabila perkara tersebut tidak diajukan ke Pengadilan, dalam arti dihentikan baik dalam tingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan.22

Pasal 101 KUHAP terasebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi gugat menggugat biasa dapat berlaku ketentuan yang ada didalam HIR.

Sedangkan Pasal 101 KUHAP menyebutkan hahwa;

“Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam Undang-Undang ini tidak diatur lain”

23

a. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Didalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur perubahan tentang ganti kerugian dalam pelaksanaan KUHAP, diantaranya;

1. Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;

b. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dildalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka dalam jangka waktu 3 (tiga) bulandihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.

2 Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;

a. Besaranya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan yang paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

b. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit

22


(35)

Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

c. Besarnya ganti kerugian berdarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

3. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

a. Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud didalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan.

b. Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

a. Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

b. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

5. Diantara Pasal 39A dan Pasal 40 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 39B dan Pasal 39C, sehingga berbunyi sebagai berikut;

a. Pasal 39B

Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku:

1. Pemohon yang telah mengajukan ganti kerugian namun belum mendapatkan petikan putusan atau penetapan pengadilan mengenai besaran ganti kerugian yang diterima, putusan atau penetapan pengadilan mengenai besaran ganti kerugian mengacu pada Peraturan Pemerintah ini; dan

2. Pemohon ganti kerugian yang telah mendapatkan petikan putusan atau penetapan pengadilan namun belum menerima ganti kerugian dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan, besaran gantu keruguian dibayarkan sesuai dengan petikanputusan atau penetapan pengadilan.

b. Pasal 39C

Pada saat peraturan pemerintahan ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintahan ini yang mengatur mengenai ganti kerugian wajib disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


(36)

2.Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti kerugian dan rehabilitasi sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970. Sejak diundangkannya Udang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti rugi ke pengadilan. Namun tuntutan demikian selalu kandas di pengadilan karena adanya argumentasi bahwa Pasal 9 Undang-undang No. 14/1970 belum mengatur tata cara pelaksanaannya.24

Yahya Harahap, di dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” memberikan suatu contoh ilustrasi tentang peristiwa yang menimpa diri keluarga temannya yang merupakan seorang jaksa dikota Medan. Beliau memiliki seorang anak yang masih duduk dibangku kuliah. Pada suatu malam si anak (kita sebut saja namanya Achmad) sedang asyik menonton keramaian di Medan Fair 1976, kemudian tiba-tiba polisi datang dan menangkap achmad dengan tuduhan pembunuhan, penangkapan dilakukan atas dasar keyakinan bahwa foto buronan yang ditangan polisi tersebut sangat mirip dengan wajah achmad, padahal namanya jelas berbeda dan tempat tinggalnya juga berbeda. Achmad dan ayahnya sudah menjelaskan perbedaan tersebut kepada pihak kepolisian, namum polisi tidak mau ambil peduli dan tetap menahan achmad. Sialnya untuk mendapat pengakuan achmad, kakinya dihantam dengan kayu boroti, sehingga patah dan cacat seumur hidup. Penahanan sudah hampir berlangsung dua tahun dan Achmad sudah cacat seumur hidup, barulah polisi

24


(37)

berhasil menangkap pelaku tindak pidana yang sebenarnya. Berarti kepolisian telah melakukan kekeliruan mengenai orangnya, dan jelas bertentangan dengan hukum.25

Atas kejadian ini orang tua Achmad mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata ke Pengadilan Negeri yang ditujukan terhadap Negara c.q. Kepolisian Negara sebagai Tergugat I, dan oknum polisi pelaku sebagai tergugat selebihnya. Namun Pengadilan tidak dapat menerima gugatan ganti rugi mengenai Tergugat I Kepolisian Negara, tapi hanya mengabulkan gugatan kepada oknum kopral yang melakukan penangkapan dan pemukulan atas Achmad. Hal ini disebabkan karena pada saat itu belum adanya pengaturan tentang tata cara pelaksanaan ganti kerugian.26

Alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi:27 1. Ganti kerugian yang disebabkan penangkapan atau penahanan: 2. Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum

3. Penangkapan atau penahanan dilakukan karena tidak berdarkan undang-undang

4. Penahanan atau penangkapan yang dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

5. Penahanan atau penangkapan yang dilakukan tidak mengenai orangnya/ salah tangkap. Artinya adalah orang yang ditangkap/ditahan terdapat kekeliruan, dan yang bersangkutan

25Ibid., hlm. 44-45


(38)

sudah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap/ditahan, bukan dia. Namun walaupun demikian tetap juga dia ditahan, dan kemudian benar-benar terjadi kekeliruan penangkapan/penahanan itu.

6. Ganti rugi akibat penggeledahan/penyitaan

7. Tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum yaitu tanpa adanya perintah dan surat izin dari ketua pengadilan

3. Macam-Macam Ganti Kerugian

Istilah ganti kerugian tidak ditemui pada hukum pidana materil. Hal ini muncul pada hukum pidana formil yakni pada Pasal 95 sampai Pasal 101 KUHAP, didalam Hukum Pidana terdapat berbagai macam ganti kerugian yaitu: 1. Ganti Kerugian Karena Seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun

diadili Tanpa Alasan yang Berdasarkan Undang-Undang atau Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Salah dalam Menerapkan Hukum.28

Salah satu landasan pokok dari KUHAP ialah jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, dengan memperhatikan asas-asas penting seperti asas praduga tak bersalah. Hak asasi seseorang harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai harkat dan martabatnya, sehingga dengan demikian penggunaan upaya paksa harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditetapkan. Misalnya


(39)

untuk dapat menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, maka diisyaratkan harus ada bukti permulaan yang cukup.29

Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenangnya oleh aparat penegak hukum. Dalam hal penahanan, penegak hukum juga harus mempunyai dasar menurut hukum dan dasar menurut keperluan untuk menahan seseorang. Dasar menurut hukum disini maksudnya adalah harus terdapatnya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Dasar menurut keperluan untuk menahan seseorang ialah adanya kekhawatiran bahwa Tersangka/Terdakwa akan melarikan diri, atau merusak/menghilangkan bukti-bukti, atau akan mengulangi tindak pidana tersebut.30

Pasal 95 KUHAP dikatakan, bahwa alasan bagi Tersangka/Terdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian, selain dari pada adanya penangkapan, penahanan, penuntutan atau diadilinya orang tersebut, juga apabila dikenakan tindakan-tindakan lain yang secara tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. “Tindakan-tindakan lain” maksudnya adalah tindakan-tindakan upaya paksa lainnya, seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan-penyitaan yang secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Dalam pasal inilah kita melihat adanya alasan bagi suatu permintaan ganti kerugian oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.31

29Djoko prakoso., Op Cit. hlm. 98


(40)

2. Ganti Kerugian kepada Pihak Ketiga atau Korban (Victim of Crime atau Beledigde Partij).

Bentuk ganti kerugian ini sejajar dengan ketentuan dalam Bab XIII KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP) yang tidak dimasukkan ke dalam pengertian ganti kerugian.Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pihak ketiga dalam perkara pidana maupun perdata juga dikenal di Prancis, yang ternyata pihak ketiga itu luas artiannya karena meliputi selain gugatan dari korban delik, juga bisa muncul gugatan dari asuransi kesehatan, pihak pemerintah dalam hal pelanggaran izin usaha, perpajakan, dan lain-lain.32

Dapatkah diterapkan di Indonesia ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP tersebut? Apakah juga ada kemungkinan pihak ketiga yang lain selain korban delik yang langsung itu juga dapat mengajukan gugatan ganti kerugian? Menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, hal tersebut dapat dilakukan, dengan alasan sebagai berikut.33

1. Pasal 98 KUHAP mengatakan “...menimbulkan kerugian bagi orang lain...” dijelaskan didalam penjelasan pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan kerugian bagi orang lain (termasuk kerugian pihak korban). Jadi, korban delik bukan satu-satunya “orang lain” itu. Tidak limitatif pada korban delik saja.

2. Pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata diterapkan bagi gugatan ganti kerugian ini sepanjang KUHAP tidak menentukan lain.

32


(41)

Dan kita mengetahui bahwa gugatan perdata itu mempunyai ruang lingkup yang luas. Jadi, semua pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku delik itu dapat mengajukan gugatan.

Hukum pidana Soviet pun mengenal semacam ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan yang dinamai perbaikan kerusakan (reparation of damage). Bahkan dicantumkan sebagai hukum pidana menurut Pasal 32 Criminal Code of RSFSR (Rusia).Pidana perbaikan ini dapat diterapkan sebagai pidana pokok, misalnya kerusakan sebagai akibat perbuatan yang disengaja, terhadap milik sosialis, dan pidana tambahan, jika kerusakan yang disengaja terhadap milik pribadi warga negara. Pidana tersebutr dapat diterapkan dalam tiga cara yatu:34

1. Mewajibkan terpidana memperbaiki kerusakan itu, kalau pengadilan memandang terpidana dapat melakukannya;

2. Mewajibkan terpidana untuk membayar kerusakan-kerusakan itu, jika kerusakan-kerusakan itu tidak lebih dari seratus rubel;

3. Mewajibkan terpidana meminta maaf di muka umum kepada korban atau anggota-anggota kolektif, menurut cara yang ditentukan oleh pengadilan, apabila delik itu ditujukan kepada martabat atau integritas seseorang atau kepada aturan kehidupan masyarakat sosialis dan tidaka ada kerusakan materiil yang ditimbulkan oleh delik tersebut.

Apabila terpidana tidak memperbaiki kerusakan itu menurut cara dan dalam batas waktu yang ditentukan oleh Pengadilan, Pengadilan dapat mengubah


(42)

pidana itu menjadi kerja paksa, denda, pemecatan dari tugas khusus atau ditegur dimuka umum.Meskipun dalam peraturan lama (HIR) tidak diatur tentang penggabungan perkara pidana, tetapi melalui suatu putusan menjatuhkan pidana bersyarat seperti diatur di penggabungan perkara yang diatur dalam KUHAP tersebut. Pasal-pasal di dalam KUHP dimungkinkannya suatu syarat khusus, yaitu misalnya terpidana dipidana pula dengan syarat khusus membayar ganti kerugian kepada korban, maka tercapai juga penyelesainan secara perdata, namun perlu diingat bahwa putusan itu harus berbentuk pidana bersyarat yang pada umumnya mengenai perkara-perkara yang tidak berat. Sekarang pun penyelesaian melalui pidana bersyarat ini masih dapat dilaukan. Dalam hal ini korban delik tidak perlu mengajukan gugatan khusus.35

3. Ganti Kerugian Kepada Terpidana Setelah Peninjauan Kembali Pasal 266 ayat (2) butir b yang berbunyi:

“Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung memebatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dengan menjatuhkan putusan yang berupa:

1. Putusan bebas;

2. Putusan lepas dari segala tuntutan;

3. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;

4. Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.” Jelaslah bahwa yang disebutkan pada butir 1 sampai dengan 3 membawa akibat terpidana tidak dijatuhi hukuman pidana dalam peninjauan kembali itu. yang menjadi masalah ialah bagaimana caranya menuntut ganti kerugian, yang dalam Bagian Kedua Bab XVIII tentang peninjauan kembali itu tidak disebut-sebut, hal ini merupakan kelemahan KUHAP. Sedangkan peraturan yang lama


(43)

yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Reglement op de Strafvordering dan juga Ned.Sv. mengatur tentang hal ganti kerugian di bagian peninjauan kembali (herziening).36

Oemara Seno Adji mengadakan perbandingan antara kedua peraturan tersebut, dimana terdapat persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Menurut beliau persamaannya adalah sebagai berikut.37

1. Ganti kerugian kedua pasal itu merupakan bagian ketentuan tentang peninjauan kembali dan keduanya merupakan pasal terajhir bab tentang peninjauan kembali.

2. Kedua pasal itu menentukan bahwa ganti kerugian diberikan menurut pertimbangan hakim berdasarkan keadilan.

3. Kedua pasal itu menentukan bahwa pemberian ganti kerugian bersifat imperatif. Sedangkan ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah bersifat fakultatif.

Perbedaannya adalah didalam Pasal 481 Ned. Sv. Menghubungkan ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah yang fakultatif itu, sedangkan R. Sv. Tidak menyebutkan tentang ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah.

Jadi, terdapat kesenjangan dalam KUHAP mengenai ganti kerugian setelah peninjauan kembali ini. Apakah masalah ganti kerugian setelah peninjauan kembali dapat dipertautkan dengan ketentuan tentang ganti kerugian yang diatur


(44)

didalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP (ganti kerugian yang disebabkan oleh penangkapan, penahanan, penuntutan, danmengadili yang tidak sah) terhadap tersangka? Hal ini masih menjadi masalah yang menunggu pemecahannya dan perlu diuji pula dengan yurisprudensi yang akan datang KUHAP sama sekali tidak

menyebutnya baik dalam perumusan pasal-pasal maupun dalam

penjelasannya.38

B. Prosedur Permohonan Ganti Kerugian Menurut KUHAP

Ketentuan tentang ganti kerugian setelah peninjauan kembali sangat penting dan telah menjadi ketentuan yang universal pula, didalam Pasal 14 ayat (6) International Convenant of Civil Political Rights setelah diterjemahkan berbunyi sebagai berikut;

“Apabila seseorang telah dipidana dengan putusan akhir karena suatu perbuatan kriminal atau delik dan apabila akhirnya pidananya dihapus atau diberi pengampunan berdasar ditemuinya fakta baru atau diperbarui yang menunjukkan dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam peradilan, orang yang telah dijatuhi pidana sebagai akibat pemidanaan, akan diberi ganti kerugian menurut undang-undang, kecuali dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, seluruhnya atau sebagian atas tanggungan sendiri”

1. Pihak-pihak yang Berhak mengajukan Permohonan Ganti Kerugian

Permohonan ganti kerugiandalam hukum pidana harus diajukan oleh pihak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, adapun pihak-pihak tersebut adalah :


(45)

a. Menurut Pasal 79 KUHAP, yang dapat mengajukan permintaan praperadilan tentang sah atau tidaknya sutau penangkapan atau penahanan adalah tersangka, keluarga atau kuasanya; sedangkan permintaan ganti rugi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntututan hanya dapat diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga, demikian yang diatur dalam Pasal 81 KUHAP (pihak ketiga yang berkepentingan). Penjelasan pasal ini tidak terdapat keterangan lain kecuali kata-kata cukup jelas, hal mana berarti tersangka dan atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat menunjukkan kuasanya sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku.

b. Menurut Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa ahli waris tersangka dapat mengajukan permohonan ganti rugi atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, dan diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.Didalam Pasal 95 ayat (3) menentukan bahwa ahli waris dapat mengajukan tuntutan ganti rugi yang tersangka, terdakwa atau terpidana karena ditangkap, ditahan dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, seperti yang dimaksud ayat (1) pasal 95 KUHAP.


(46)

c. Didalam pasal 80 KUHAP memuat, bahwa pihak ketiga yang berkepentingan, meminta untuk diadakan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan. Walaupun pasal ini dimaksudkan untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horisontal, namun kepentingan pihak ketiga itu dapat demikian luasnya, sehingga dapat pula memenuhi syarat-syarat untuk mengajukan permintaan ganti rugi. Misalnya ada benda milik pihak ketiga yang disita dan tidak termasuk alat pembuktian sedangkan barang tersebut mengalami cacat atau kerusakan.

2. Pengajuan Permohonan Ganti Kerugian

Peraturan Pemerintah No. 92 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tentang tenggang waktu pengajuan permohonan ganti kerugian yang diatur didalam Pasal I UU No 92 tahun 2015 yang bunyinya sebagai berikut:

Ketentuan Pasal 7 PP No 27 tahun 1983 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;

1 Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Didalam pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima.

2 Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dildalam pasal 77 huruf b KUHAP, maka dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.


(47)

Penjelasan perubahan Pasal 7 PP No 27 tahun 1983 ini menyatakan bahwa pembatasan jangka waktu ganti kerugian dimaksudkan agar penyelesaian tidak terlalu lama sehingga menjamin kepastian hukum.Dan jika lewat 3 (tiga) bulan sejak tanggal petikan atau salinan putusan Pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima, maka hak mengajukan permohonan ganti kerugian menjadi daluwarsa, dengan perkataan lain, tidak dapat diajukan lagi.39

Pada Pokoknya permohonan ganti kerugian itu dibedakan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 3 PP No 92 tahun 2015 tentang perubahan Pasal 10 PP No 27 tahun 1983 menjelaskan bahwa petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian yang merupakan dasar pertimbangan hakim, haruslah diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan. Setelah itu putusan atau penetapan tersebut harus diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan mentri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan. Pada saat peraturan pemerintahan ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-udangan yang merupakan pelaksanaan dari peraturan pemerintah ini yang mengatur tentang ganti kerugian wajib disesuaikan dengan peraturan pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal peraturan pemerintah ini diundangkan.

3. Penyelesaian Permohonan Ganti Kerugian menurut KUHAP

40


(48)

a. Tuntutan ganti kerugian yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan (Pasal 95 ayat 2 KUHAP).

b. Tuntutan ganti Kerugian yang perkaranya diajukan kepengadilan (Pasal 92 ayat 1 jo. Ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 KUHAP).

Tuntutan ganti kerugian yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan baik yang disebabkan karena tidak merupakan tindak pidana, sedangkan terhadap tersangka telah dikenakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan dan tindakan lain secara melawan hukum, maka dalam hal ini yang memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian tersebut adalah praperadilan.41

Putusan praperadilan berbentuk penetapan dan selanjutnya terhadap putusan praperadilan tersebut tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 ayat 1 KUHAP), dengan pengecualian putusan yang menetapkan tidak sahnya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. (Pasal 83 ayat 2)

Pemeriksaan ganti kerugian diatur dalam pasal 95 ayat (5) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

“Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan”

42

Dengan demikian, acaranya menurut Pasal 82 KUHAP, Maka Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah menerima


(49)

permohonan/tuntutan ganti kerugian, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Penunjukkan Hakim oleh Ketua Pengadilan, dilakukan dengan cara memperhatikan Pasal 95 ayat (4) KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:

“untuk memeriksa dan memutuskan perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua Pengadilan sejauh mungkin menunjuk Hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan”43

1. Identitas pemohon;

Bentuk formil dari permohonan atau tuntutan ganti kerugian tersebut tidak diatur dalam KUHAP ataupun PP No 27 Tahun 1983, hanya diajukan kepada Pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Dengan demikian surat permohonan ganti kerugian itu berisi:

2. Kasus posisi yang menyebabkan ganti kerugian itu dimintakan, dengan melampirkan bukti-bukti.

3. Rincian jumlah ganti kerugian yang dimintakannya.

Pemeriksaan terhadap perkara ganti kerugian tersebut haruslah sudah diputus dalam 7 (tujuh) hari sesuai dengan bunyi Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:

“Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya”.

Putusan permintaan ganti kerugian diatur oleh Pasal 96 KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:

1. Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.


(50)

2. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut. Hal ini dirinci oleh Pasal 8 dan PP 27 Tahun 1983 yang bunyinya sebagai berikut:

1. Ganti kerugian dapat diberikan atas dasar pertimbangan Hakim

2. Saat Hakim mengabulkan atau menolak tuntutan ganti kerugian, maka alasan pemberikan atau penolakan tuntutan ganti kerugian diacantumkan dalam penetapan

Pasal 96 KUHAP maupun Pasal 8 PP 27 Tahun 1983 dalam merumuskan permintaan/tuntutan ganti kerugian, perlu diperhatikan agar dapat mengajukan alasan-alasan yang layak dengan disertai bukti-bukti agar dengan demikian Hakim tidak mengalami kesulitan dalam pertimbangan-pertimbangannya yang dicantumkan dengan penetapan.

Kemungkinan hakim akan mendengar pihak-pihak yang disebut dalam surat permohonan/tuntutan ganti kerugian itu, tetapi jika Hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan yang memeriksa permintaan ganti kerugian tersebut maka sudah mengetahui dan memahami duduk perkara, serta dapat memeriksa berkas perkara semula, hakim tersebut dapat langsung menerbitkan penetapan dengan memuat pertimbangan-pertimbangan.

Selanjutnya setelah diputuskan maka hakim tersebut menjalankan hal yang diatur Pasal 10 PP No 27 Tahun 1983 yang telah diubah menurut PP No 92 Tahun 2015 yang bunyinya sebagai berikut:


(51)

1. Petikan penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada pemohonan dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan.

2. Salinan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada Penuntut Umum, Penyidik dan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dibidang keuangan.

Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam KUHAP diatur didalam Pasal 98 s.d Pasal 101 KUHAP. Timbulnya suatu tuntutan ganti kerugian secara perdata biasanya diakibatkan karena adanya suatu tindak pidana yang didasarkan pada Pasal 1365 K.U.H. Perdata. Biasanya ganti kerugian berdasarkan pasal ini dilakukan setelah adanya putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tetapi sekarang ini hal tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan proses pidananya, berdasarkan ketentuan dalam KUHAP.44

Pada Pasal 98 KUHAP menunjukkan bahwa hukum acara pidana tidak hanya memperhatikan hak dari pelaku tindak pidana, tetapi juga hak dari orang yang menderita kerugian “materiil” yang disebabkan karena dilakukannya suatu tindak pidana. Penggabungan yang dimaksud disini ialah pemeriksaan gugatan ganti rugi yang bersifat perdata dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Jelaslah bahwa perkara pidana tersebutlah yang menjadi dasar tuntutan perdatanya dan diputus sekaligus dengan perkara pidananya.45


(52)

Mengenai syarat-syarat untuk melakukan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut diatur dalam Pasal 98 ayat (2) KUHAP, yaitu selambat-lambatnya sebelum penunut umum mengajukan tuntutan pidana dan dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum Hakim menjatuhkan putusan. Dalam hal penuntut umu tidak hadir, maka tidak hadirnya penuntut umum dalam perkara pidana ini, karena perkara tersebut diputus dengan acara pemeriksaan cepat (Pasal 205 KUHAP dan seterusnya).

Sebagai kesimpulan dari Pasal 98 KUHAP, maka ketentuan tersebut mengisyaratkan:

a. Adanya permintaan dari yang dirugikan.

b. Benar-benar ada kerugian yang diakibatkan dari perbuatan/tindakan terdakwa.

c. Permintaan tuntutan ganti kerugian ini hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pada Pasal 99 KUHAP mewajibkan Pengadilan Negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, yaitu tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukum penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Terkecuali dalam hal Pengadilan Negeri menyatakan tidak berwenang dengan kata lain gugatan tersebut dinyatakan tidak diterima, maka putusan Hakim hanya memuat tentang penetapan biaya yang telah dikeluarkan pihak yang dirugikan. Ini berarti tuntutan ganti ruginya tidak dikabulkan, tetapi biaya yang telah dikeluarkan pihak yang dirugikan ditetapkan untuk mendapatkan suatu


(53)

penggantian, yang besarnya tergantung dari bukti-bukti pengeluarannya yang diajukan ke depan Pengadilan. Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya akan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, apabila putusan pidananya memperoleh putusan yang tetap pula.

Pasal 100 KUHAP menyatakan bahwa:

1. Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat bannding.

2. Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

Hal ini menjelaskan bahwa penggabungan gugatan tersebut pada perkara pidananya bertujuan agar gugatan itu dapat diperiksa dan diputus sekaligus dengan perkara pidananya, sehingga denga demikian dalam prosedur untuk beracara pun tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri.

C. Pengaturan Tentang Jumlah Pembayaran Ganti Kerugian

Pengaturan imbalan kerugian ini diatur dalam perubahan Pasal 9 angka 1 PP No 27 Tahun 1983, dalam PP No 92 Tahun 2015 menyebutkan bahwa:

“Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Pasal 9 angka 2 menyebutkan bahwa:

“Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya kerugian paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”


(54)

Jika perbuatan tindak pidana tersebut sampai mengakibatkan kematian seseorang maka besarnya ganti kerugian itu diatur dalam perubahan Pasal 9 angka 3 PP No 27 Tahun 1983, yang menyebutkan bahwa:

“Besarnya ganri kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Besarnya ganti kerugian atas benda atau barang yang diajukan permintaannya oleh pihak ketiga yang berkepentingan dan atau saksi korban tidaklah diatur dalam PP No 27 Tahun 1983; hal ini bergantung pada kasus per kasus dengan mengingat pula perbedaan cara yang ditempuh menurut acara yang ditentukan dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP yang pada intinya menyatakan bahwa, “jika Pengadilan Negeri tidak mempunyai wewenang untuk mengadili penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, maka putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukum penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan”.46

Benda sitaan terdiri dari benda yang dapat dikembalikan lebih dahulu kepada pihak yang berkepentingan dan juga benda sitaan yang tidak dapat dikembalikan. Benda sitaan jenis ini juga dapat diputus Hakim dengan diktum dirampas/disita untuk negara, untuk dimusnahkan atau dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Dan siapapun orang yang memiliki benda sitaan tersebut tidak dapat menuntut ganti rugi.47

Namun bila suatu perkara dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, maka akan terdapat pula kemungkinan


(55)

adanya benda sitaan yang dapat dikembalikan dan yang tidak dapat dikembalikan karena:48

1. Barang tersebut termasuk dalam kategori terlarang atau dilarang (misalnya narkotika)

2. Barang tersebut diperoleh dari suatu tindak pidana

3. Barang tersebut dilakukan untuk melakukan suatu tindak pidana (misalnya alat untuk membuat uang palsu, amunisi dsb.).

Setelah ada putusan berupa penetapan, maka atas dasar penetapan Departemen Keuangan segera melaksanakan pembayaran kepada yang berkepentingan. Namun tidak sedemikian sederhana prosedurnya untuk memenuhi pelaksanaan pembayaran kepada yang berkepentingan, yaitu diperlukan tata cara melalui beberapa instansi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP (Kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 92 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP), serta aturan yang digariskan dalam SK Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 983/KMK.01/1983. Lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :49

1. Petikan putusan atau penetapan diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan.Pengadilan negeri memberikan petikan putusan atau penetapan pengabulan permintaan ganti kerugian kepada pihak


(56)

yang berkepentingan. Pemberian petikan ini dilakukan dalam waktu 3 (tiga) hari dari tanggal putusan dijatuhkan.Dalam pemberian petikan penetapan atau putusan ganti kerugian kepada pemohon, belum memasuki tahap pelaksanaan pembayaran, jadi hanya sekedar pemberitahuan kepadanya tentang pengabulan permintaan ganti kerugian.Petikan penetapan tersebut, juga diberikan kepada Penuntut Umum, penyidik dan dirjen anggaran Kantor Pembendaharaan Negara (selanjutnya disingkat KPN) setempat.

2. Ketua Pengadilan Negeri mengajukan permohonan penyediaan dan setelah ada penetapan atau putusan pengabulan permintaan ganti kerugian, maka Ketua Pengadilan Negeri yang aktif berperan memintakan pelaksanaan pembayaran, bukan yang berkepentingan. Ketua pengadilan yang berwenang meminta pembayaran. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Putusan Menteri Keuangan di maksud, dengan cara sebagai berikut :

a. Ketua Pengadilan Negeri setempat mengajukan penyediaan dana kepada Menteri Kehakiman melalui Sekretaris Jendral Departeman Kehakiman.

b. Melampirkan penetapan ganti kerugian dalam permohonan pengajuan penyediaan dana.

c. Menteri Kehakiman melalui Sekretaris Jendral Kehakiman mengajukan permintaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (Selanjutnya disingkat SKO) kepada Menteri Keuangan melaui Dirjen Anggaran.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2). Dengan adanya pengajuan permintaan penyediaan dana oleh Ketua Pengadilan Negeri kepada Menteri Kehakiman berdasar permintaan pengajuan tersebut Sekjen Departemen Kehakiman :


(1)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan karunia-Nyalah, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, ketekunan, dan pengharapan kepada Penulis, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam Penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah tulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Papa penulis Bainuddin Sihombing, S.H., M.H., dan Mama Penulis

Dra. Riana Manurung tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis dan terus memberikan semangat serta doa yang tulus sehingga penulis berada dalam kebaikan dalam setiap


(2)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum USU Medan.

4. Ibu Dr. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM sebagai

Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III

Fakutas Hukum USU Medan.

6. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., sebagai Ketua

Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

7. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum., sebagai Sekertaris Departemen

Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

8. Bapak Dr. Edy Yunara, S.H., M.Hum., sebagai Pembimbing I yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., sebagai Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu, dan dengan penuh kesabaran memberikan ilmunya serta mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi baik materi maupun moril.

10.Seluruh Staf Pengajar Fakutas Hukum USU yang dengan penuh

dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.


(3)

11.Abang-abang ku, Joharlan, Harrison, Sutan, yang terus memberikan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

12.Untuk sahabat ku, Cindy Braenicta Dolok Saribu, yang telah

memberikan warna dalam hidup penulis selama perkuliahan, dan terus memberikan mendukung penulis baik suka maupun duka.

13.Teman terbaik ku, Natalia Tampubolon dan Marissa Hutabarat, yang

terus memberikan perhatian kepada penulis serta mendukung dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

14.Kelompok Kecil Lexine tercinta, Kastro Sitorus, Cindy Braenicta

Dolok Saribu, Samuel Marpaung, Ritcat Sitorus, Wilfrid Lumban Tobing, dan Febrian Manurung, yang telah memberikan banyak kasih sayang dan perhatian kepada penulis dalam hal apapun.

15.Untuk abangda terkasih, Jonathan Rinaldo Naibaho, Andreas

Bresman Sinambela, yang terus memberikan dukungan dalam segala hal, serta memberikan penghiburan kepada penulis disaat penulis sedang mengalami kesedihan.

16.Keluarga Besar UKM KMK UP FH USU, Juli Sinaga, Stevia, Juanda

Tampubolon, Ruth Nelta, Teresia Pakpahan, Hendra, Alex Munandar, David, dan lain sebagainya yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu, terimakasih untuk pengajaran akan firman Tuhan yang penulis terima selama masa perkuliahan.


(4)

17.Untuk Teman seperkubuan ujian dari semester 1 sampai semester 7, Sarah Citra, Feby Ratu, Novi Aritonang, Adeline Turangan, Rifki Tanjung, yang selalu membawa tawa dalam kehidupan perkuliahan penulis.

18.Rekan-rekan DPC PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum

Indonesia) Medan, Edyson Tanjung, Beni Manik, Daniel Hutasoit, Daniel Limbong, Gian, Hendro, Novi, lidya, petrus, joko, dan lain sebagainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

19.Teman-teman Grup B 2012 dan rekan-rekan klinis selama berada di

Fakultas Hukum USU, terimakasih untuk kerjasamanya.

20.Para penulis buku, skripsi, yang penulis jadikan referensi data guna mengerjakan skripsi ini hingga selesai.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Terimakasih atas berbagai hal yang bermanfaat yang telah diberika kepada penulis. Kiranya Tuhan memberikan berkat dan perlindungan-Nya kepada kita semua.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Medan, Juni 2016

Venia Larissa


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...vi

BAB I :PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...9

D. Keaslian Penulisan...10

E. Tinjauan Kepustakaan...11

1. Pengertian Ganti Kerugian...11

2. Putusan dan Bentuk-bentuk Putusan Menurut Hukum Acara Pidana...13

F. Metode Penelitian...20

G. Sistematika Penelitian...22

BAB II : PERMOHONAN GANTI KERUGIAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA...24

A. Dasar Hukum dan Macam-Macam Ganti Kerugian...24

1. Dasar Hukum Ganti Kerugian...24

2. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi...28

3. Macam-macam Ganti Kerugian...30

B. Prosedur Permohonan Ganti Kerugian Menurut KUHAP....36


(6)

BAB III :PENERAPAN PERMOHONAN GANTI KERUGIAN ATAS PUTUSAN BEBAS (Penetapan PN Semarang No.15/Pid.Gr/20 12/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG

& Putusan MA No.1262 K/Pid/2014)...51

A. Kasus...51

1. Kasus Posisi...51

2. Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN...54

a. Dasar Permohonan Ganti Kerugian...54

b. Pertimbangan Hakim...56

c. PenetapanPN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN...58

3. Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG...58

a. Pertimbangan Hakim Banding...58

b. Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG...59

4. Putusan MA RI. 1262 K/Pid/2014...60

a. Alasan Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Kasasi...60

b. Pertimbangan Hakim...62

c. Putusan MA RI. 1262 K/Pid/2014...62

B. Analisa Kasus...62

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN...77

A. Kesimpulan...77

B. Saran...79

DAFTAR PUSTAKA...80


Dokumen yang terkait

Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)

2 88 115

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

3 76 145

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

2 111 125

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau dari UU No. 41 Tahun 1999 (Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008)

4 78 338

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/Puu-Viii/2010 (Analisis Putusan No. 0156/Pdt.P/2013/Pa.Js)

1 7 90

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR ( Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK)

4 45 59

Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2730/Pid.B/2001/PN.Mdn)

0 2 130