227
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi uraian tentang dua hal, yaitu 1 simpulan dan 2 saran. Simpulan berisi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran meliputi hal-hal
relevan yang kiranya perlu diperhatikan, baik untuk keluarga maupun penelitian lanjutan.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan tuturan yang tidak santun dalam interaksi sehari-hari antaranggota keluarga petani di Kabupaten Bantul,
Yogyakarta. Simpulan hasil analisis dan pembahasan dapat dikemukakan sebagai berikut.
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan dalam interaksi antaranggota keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta berupa tuturan
lisan tidak santun yang telah ditranskrip, yakni tuturan yang melanggar norma, mengancam muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka,
dan menimbulkan konflik. Sementara itu, wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara penutur ketika menyampaikan tuturan lisan tidak
santun tersebut.
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada tutur, pilihan kata diksi, dan penggunaan kata fatis pada
tuturan dalam masing-masing kategori ketidaksantunan. Sementara itu, penanda ketidaksantunan pragmatik dilihat berdasarkan konteks yang
melingkupi tuturan, meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak
verbal.
5.1.2.1 Melanggar Norma
Pada kategori melanggar norma, secara umum penutur berbicara dengan intonasi seru; tekanan keras dan lunak; nada tutur
tinggi dan sedang. Tuturan yang melanggar norma ditandai dengan diksi yaitu bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa dan
istilah bahasa Jawa; kata fatis kok, to, kan, ah, dan wong. Tuturan lisan tidak santun yang melanggar norma cenderung
dikatakan oleh seorang anak dalam keluarga petani; dalam suasana serius dan santai; tindak verbal komisif dan ekspresif; tindak perlokusi
mitra tutur kesal, namun ada pula yang lebih memilih diam kemudian pergi meninggalkan penutur.
5.1.2.2 Mengancam Muka Sepihak
Tuturan yang mengancam muka sepihak ditandai dengan intonasi tanya, seru, dan perintah; tekanan keras dan lunak; nada tutur
tinggi dan sedang. Tuturan yang mengancam muka sepihak ditandai dengan diksi, yaitu bahasa nonstandar dengan pemakaian bahasa Jawa,
menggunakan kata tidak baku, penggabungan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, dan menggunakan istilah bahasa Jawa; kata fatis kok.
Tuturan yang
mengancam muka
sepihak dituturkan
antaranggota keluarga bahkan kerabat jauh dari keluarga; dalam suasana serius dan santai; tindak verbal ekspresif; tindak perlokusi
mitra tutur tersinggung dan kesal tetapi penutur tidak menyadari hal tersebut.
5.1.2.3 Melecehkan Muka
Tuturan tidak santun yang melecehkan muka ditandai dengan intonasi seru dan berita; tekanan keras dan lunak; nada tutur tinggi dan
sedang. Pilihan kata diksi yaitu bahasa populer dan bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, menggunakan kata tidak baku,
penggabungan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, dan penggunaan istilah bahasa Jawa; kata fatis wah, kok, hayoo, to, lah, ya, yo, huu, hei,
lho, dong, ah, dan woo. Pada kategori ini yang terlibat dalam tuturan yaitu semua
anggota keluarga; dalam suasana santai dan serius; tindak verbal ekspresif; tindak perlokusi mitra tutur tersenyum untuk mencairkan
suasana, ada yang berlari meninggalkan penutur, tidak mengindahkan perintah penutur, ada pula yang berusaha mengklarifikasi kembali,
bahkan ada yang memilih untuk diam.
5.1.2.4 Menghilangkan Muka
Pada kategori menghilangkan muka, secara umum penutur berbicara dengan intonasi tanya dan berita; tekanan keras dan lunak;
nada tutur sedang. Tuturan yang menghilangkan muka ditandai dengan diksi yaitu bahasa populer dan bahasa nonstandar dengan menggunakan
bahasa Jawa, menggunakan kata tidak baku, dan penggunaan istilah bahasa Jawa; kata fatis ah, kok, to, mbok dan lho.
Tuturan yang menghilangkan muka dituturkan oleh semua anggota keluarga dan kerabat dekat maupun kerabat jauh dari keluarga;
dalam suasana santai dan serius; tindak verbal ekspresif; tindak perlokusi mitra tutur malu, tetapi hanya tersenyum atau tertawa dalam
menyikapi penutur, ada pula yang memberikan jawaban sebagai upaya pembelaan diri.
5.1.2.5 Menimbulkan Konflik
Tuturan yang menimbulkan konflik ditandai dengan intonasi seru; tekanan keras dan lunak; nada tutur tinggi; pilihan kata diksi
yaitu bahasa populer dan bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa dan istilah bahasa Jawa; kata fatis mbok, ah, to, kok, dan
woo. Penanda ketidaksantunan pragmatik dalam kategori ini dilihat
dari partisipan dalam tuturan yakni semua anggota keluarga; dalam suasana serius; tindak verbal ekspresif dan komisif; tindak perlokusi
mitra tutur kesal, marah, dan tersinggung. Amarah mitra tutur ditunjukkan dengan cara membanting pintu, membalas perkataan
penutur dengan umpatan, melempar sandal, bahkan melontarkan sebuah ancaman.
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan
Setiap tuturan yang disampaikan sudah tentu mengandung suatu maksud. Maksud adalah milik penutur. Dalam menganalisis maksud
ketidaksantunan, dilakukan konfirmasi kepada penutur. Pada penelitian ini, ditemukan delapan belas maksud ketidaksantunan dan dipaparkan
berdasarkan kategori ketidaksantunan sebagai berikut. Kategori ketidaksantunan yang pertama adalah melanggar norma. Pada
kategori ini ditemukan empat maksud ketidaksantunan. Keempat maksud ketidaksantunan itu adalah maksud kesal, maksud mengajak bercanda,
maksud menolak, dan maksud untuk membela diri. Selanjutnya, kategori ketidaksantunan mengancam muka sepihak dengan sembilan maksud
ketidaksantunan dalam tuturan penutur. Maksud ketidaksantunan tersebut meliputi maksud menyindir, maksud menanyakan, maksud mengusir, maksud
kesal, maksud memerintah, meminta bantuan, memberi saran, maksud menakut-nakuti, dan maksud memberi informasi.
Kategori ketidaksantunan berikutnya adalah melecehkan muka. Dalam kategori ini ditemukan tiga belas maksud ketidaksantunan penutur. Maksud
ketidaksantunan tersebut meliputi maksud kesal, maksud menakut-nakuti, maksud mengusir, protes, menagih janji, maksud menyimpulkan, maksud
bercanda, maksud memberi informasi, mengejek, maksud menolak, maksud menyindir, maksud marah, dan maksud memberi saran.
Lebih lanjut lagi dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan muka. Pada kategori ketidaksantunan ini terdapat enam maksud
ketidaksantunan, yaitu maksud menyindir, maksud bercanda, maksud kesal, memberi informasi, maksud protes, dan maksud menakut-nakuti. Terakhir,
kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik, meliputi maksud marah, merahasiakan sesuatu, maksud kesal, protes, menolak, dan maksud
menyindir.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, peneliti memberikan beberapa saran, yaitu 1 untuk keluarga dan 2 untuk penelitian lanjutan. Saran
tersebut dipaparkan sebagai berikut. 1
Bagi Keluarga Penelitian ini mengkaji ketidaksantunan berbahasa dalam ranah
keluarga. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, sebagai anggota keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat, khususnya
yang hidup dalam budaya Jawa dan masih menjunjung tinggi nilai kesantunan, seharusnya dapat menghindari penggunaan bahasa yang
tidak santun, baik di dalam maupun di luar keluarga. Salah satu hal yang dapat dilakukan, misalnya dengan menjaga perasaan orang lain ketika
ingin mengutarakan suatu maksud tertentu. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk melihat fenomena ketidaksantunan yang terjadi
dalam ranah keluarga. Dengan adanya acuan ketidaksantunan dalam berbahasa ini, anggota keluarga dapat mengurangi dan menghindari
penggunaan bahasa yang tidak santun dalam berkomunikasi.