Mencari Format Baru Pendidikan Multikultural di Indonesia Pada Era Globalisasi

The Progressive and Fun Education Seminar

MENCARI FORMAT BARU PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
PADA ERA GLOBALISASI
Ahmad
Tanto Sukardi
ahmadump@yahoo.co.id
ABSTRACT: Nowadays Indonesian people are trying to solve their problems on finding their nasional
identity. And this is not an easy job since Indonesia consists of many different etnicts, social and culture in
which they have their own characteristic. Morever, an invansive wave of globalization treats this country to
find their national identity. This globalization treat gives much influence on the cultural changing among the
people and etnic in Indonesia. Indeed, rather than give a positive impact, this cultural change gives a negative
impact on this country especially in shaping the national Identity. Thus, a new concept of Education which is
oriented to the multicultural one is highly needed to solve this problem and to save Indonesia from the
Globalization expansion. This paper aimed at exploring the new concept of Multicultural education in
Indonesia to face Globalization as well as finding the national identity.
Key word: New Concept, Multicultural, Globalization

PENDAHULUAN
Sejak berdirinya pada tanggal 17 Agustus
1945 Indonesia merupakan suatu negara

kebangsaan (nation state) yang dibangun atas dasar
masyarakat multi etnis dan budaya ke dalam suatu
bentuk kesatuan nasional. Budaya etnis yang
sangat beragam itu juga berkembang menurut
dinamika sejarah yang dialami masing-masing
pendukungnya yang ada di berbagai daerah.
Kondisi masyarakat dan budaya yang pluralistik ini
diintegrasikan dalam bingkai nasionalisme yang
mengikat solidaritas lokal menjadi solidaritas
nasional. Proses transformasi semacam itu
berlangsung dalam masyarakat yang mengarah
pada upaya mewujudkan budaya nasional baru
yang disebut dengan budaya Indonesia modern.
Dalam kenyataannya proses transformasi
dari masyarakat agraris tradisional
menuju
masyarakat
modern
diwarnai
dengan

kemajemukan unsur budaya yang cair dan terbuka.
Kondisi demikian menyebabkan proses dialog
antar unsur kebudayaan yang mengarah pada
format baru itu, menjadi sangat rumit dan tertatihtatih. Berkaitan dengan itu, Kayam (1981: 19)
menyatakan, bahwa dalam proses transformasi itu
harus selalu dihindari suatu strategi kebudayaan
yang memaksakan homogenitas yang monolitik
dari kenyataan kemajemukan. Dari sinilah
kemudian muncul ide dan gagasan perlunya
disusun format baru pendidikan yang berbasis pada

multikultural yang sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat Indonesia.
Untuk dapat menetapkan pendidikan
multikultural yang sesuai, maka sangat perlu untuk
berkaca pada pengalaman sejarah masa lampau.
Pelajaran pahit dari pengalaman sejarah telah
membawa kelompok-kelompok etnis berproses
menuju ke arah pembentukan negara bangsa,
bukan negara wangsa. Dua istilah itu disepakati

sebagai pedoman untuk nation state dan national
state. Istilah yang pertama bertitik tolak pada
kesatuan wilayah atau teritory dengan keragaman
suku,
sementara
istilah
yang
kedua
menitikberatkan pada suatu suku (ethnisity) dengan
keragaman wilayah. Dengan pemahaman
nasionalisme semacam itu, rakyat pribumi dengan
beragam budaya dan etnis melancarkan
perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan.
Keberhasilan
perjuangan
dengan
paham
nasionalisme semacam itu kemudian menjadi
prasyarat bagi kehidupan Indonesia mendeka yang
dirangkum dalam semboyan Bhinneka Tunggal

Ika (Parakitri, 1933:7). Melihat kenyataan dewasa
ini setelah lebih dari enam dekade kemerdekaan
Republik Indonesia dilalui, dirasa perlu dilakukan
berbagai upaya penyegaran kepada generasi muda
melalui pendidikan yang berbasis multikultural
yang berorientasi kepada upaya mempertahankan
idealisme Bhinneka Tunggal Ika yang tampak
semakin jauh dari kehidupan masyarakat.
265

ISBN: 978-602-361-045-7

TANTANGAN GLOBALISASI
BAGI
MASYARAKAT MULTI KULTURAL
Bidang pendidikan merupakan suatu
faktor yang sangat fundamental dalam upaya
meningkatkan kualitas kehidupan, di samping juga
merupakan faktor penentu bagi perkembangan
sosial dan ekonomi kearah kondisi yang lebih baik.

Pendidikan juga dipandang sebagai sarana paling
strategis untuk mengangkat harkat dan martabat
suatu bangsa. Mengingat begitu pentingnya peran
pendidikan bagi kehidupan masayarakat, maka
pemerintah dewasa ini sangat memperhatikan
segala aspek pendidikan yang ada untuk
dikembangkan. Dengan harapan, agar pendidikan
di Indonesia bangkit dari keterpurukan dan
menjadi garda yang terdepan dalam pembangunan
bangsa. Bentuk perhatian ini secara khusus
tercermin dalam kebijakan pemerintah, antara lain
yang berupa pemenuhan sarana perundangundangan, peningkatan anggaran pendidikan,
sampai pada upaya penyempurnaan berbagai
regulasi yang berlaku untuk memajukan
pendidikan nasional.
Kerja keras semacam itu tentu tidak lepas
dari upaya melaksanakan amanat konstutusi yang
diidamkan oleh para founding father negara ini.
Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar1945
mengisyaratkan, bahwa “Setiap warga negara

wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya ”. Sementara itu pada Pasal 31
ayat (3) menyatakan, bahwa “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidiksn nasional,
yang meningkatkan
keimanan da ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.
Sebagai upaya melaksanakan amanat
konstitusi itulah, maka pada saat ini pemerintah
pusat maupun daerah tengah berkonsentrasi secara
penuh terhadap kemajuan dalam pembangunan
pendidikan, dalam rangka meningkatkan sumber
daya manusia yang diyakini sebagai faktor
penunjang
akselerator
kemajuan
daerah.
Pembangunan bidang pendidikan di setiap daerah

bertumpu kepada tiga pilar Kebijakan Strategis
Departemen Pendidikan Nasional, yaitu: 1)
Perluasan dan pemerataan akses pendidikan, 2)

266

Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, dan
3) Tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik
(Depdiknas, 2008: 5). Ketiga pilar itulah yang
menjadi dasar pengembangan sektor pendidikan
yang menyeluruh di Indonesia dewasa ini.
Dengan digulirkannya otonomi daerah
yang secara resmi dilaksanakan sejak 1 Januari
2001, maka pengembangan pendidikan yang
bertumpu pada tiga pilar itu juga menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah masing-masing. Hal ini
sejalan dengan tuntutan reformasi yang secara
bertahap mengarah kepada penyelenggaraan
otonomi daerah yang semakin luas. Dalam bidang
pendidikan, tuntutan reformasi lebih mengarah

kepada
proses
desentralisasi
pengelolaan
pendidikan ( Supriadi, 2000: 142). Salah satu
dampak negatif berkembangnya egosentrisme
warga daerah, dengan sikap tidak diakuinya
eksistensi kelomkpok masyarakat yang berasal dari
daerah lain. Contoh kasus di Aceh telah terjadi
pengusiran terhadap warga yang berasal dari derah
lain. Istilah putra daerah juga telah dimaknai
dengan pengkotakkan ekstrim dan wawasan yang
sempit. Bahkan tidak jarang merebaknya peristiwa
konflik antar komunitas di Poso, Ambon,
Kalimantan Barat dan beberapa daeral lain. Semua
itu terjadi karena faktor ekonomi dan kemiskinan,
kurangnya pemahaman terhadap perbedaan etnis,
budaya, dan agama lain, serta pengaruh budaya
global yang cenderung agresif dan penuh
persaingan (Natsir, 2010: 1).

Dewasa ini arus globalisasi telah melanda
pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dalam kaitan ini globalisasi dipandang sebagai
suatu tantangan sekaligus sebagai suatu proses
yang dapat menimbulkan banyak akibat. Sebagai
suatu proses, globalisasi berlangsung begitu cepat
dan banyak mendatangkan kekacauan. Industri
manufaktur ditinggalkan segera digantikan dengan
perusahaan multinasional yang bergerak dalam
industri dan jasa yang merambah berbagai penjuru
dunia tanpa mengenal batas-batas negara nasional.
Sebagai akibatnya pengangguran meningkat dan di
pihak lain terbuka kesempatan kerja yang sangat
luas, yang tidak dapat dijangkau oleh sebagian
besar anggota masyarakat kita karena menunutut
kualifikasi tingkat tinggi. Dari sinilah kemudian
muncul istilah the loser dan the winner , yang

The Progressive and Fun Education Seminar


menempatkan masyarakat negara berkembang
sebagai pecundang dan masyarakat negara maju
sebagai pemenang (Micklethwait & Wooldridge,
2000: xx).
Untuk dapat menempatkan diri sebagai
pemenang, maka penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi menjadi sesuatu yang sangat penting
artinya
sebagai
prasyarat
mengantisipasi
perubahan-perubahan agar suatu bangsa tidak
ketinggalan. Perlu pula dinyatakan, bahwa
eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi sangat
diwarnai oleh perlombaan untuk mencapai puncak
ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan itu Hatten &
Rosenthal ( 2000: 5) menyatakan, bahwa
penguasan bidang ilmu dan teknologi dalam kadar
yang memadai sangat diperlukan agar masyarakat
dapat meningkatkan kemampuan kreativitas,

pengembangan, dan penerapan iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi) sebagai tuntutan yang
mutlak dalam kehidupan global.
Sebagai konsekuensi dari perkembangan
yang terjadi, pemerintah dituntut untuk melakukan
inovasi sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan
perubahan dalam suatu pola pembinaan, yang
menempatkan pendidikan tinggi sebagai: 1) bagian
integral dari pembangunan nasional dan daerah, 2)
penghubung antara dunia iptek dan kebutuhan
masyarakat, 3) upaya pengembangan pola analitik
yang berorientasi pada pemecahan masalah dengan
pandangan masa depan, 4) bentuk partisipasi
dalam perbaikan dan pengembangan mutu
kehidupan dan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
penerapannya, pengertian dan kerja sama
internasional dalam upaya mencapai perdamaian
dunia dan kesejahteraan umat manusia, 5) upaya
yang memungkinkan pengembangan seluruh
kemampuan serta kepribadian manusia, mobilitas
dalam memperoleh pengalaman pendidikan,
diversifikasi, demokratisasi dalam pendidikan,
proses belajar, mobilisasi sumber masyarakat
untuk pendidikan dan pertumbuhan kegairahan
kegiatan penelitian (Soedjatmoko, 1991: 143 )
Dalam era globalisasi dewasa ini
perubahan berlangsung begitu cepat. Masyarakat
semakin sadar tantangan masa depan, sehingga
berusaha membekali diri melalui penguasaan
berbagai macam ilmu pengetahuan. Dalam kaitan
itu pula manusia Indonesia dituntut untuk peka

terhadap perubahan-perubahan yang terjadi begitu
cepat dalam segala lapangan kehidupan. Kiranya
hanya dengan cara itulah masyarakat dapat
memacu diri agar tetap eksis. Dalam kenyataannya
globalisi memang menuntut setiap orang untuk
selalu meningkatkan kemampuan diri agar dapat
memberi respon yang cepat dan tepat terhadap
berbagai tantangan yang dihadapi. Di samping itu
harus pula memiliki harga diri dan kepercayaan
kepada diri-sendiri berdasarkan iman yang kuat.
Semua itu akan memungkinkan kesanggupan
untuk mandiri untuk berprakarsa dan bersaing,
baik secara lokal maupun secara global
(Kartodirdjo, S., 1990: 18-19).
Pada
dasarnya
globalisasi
yang
berkembang cepat didorong oleh tiga faktor
penting yang sering disebut three engine of
globalization, yang meliputi teknologi, modal, dan
manajemen. Ketiganya merupakan perangkat yang
saling terkait satu sama lain. Perkembangan
teknologi baru telah dapat memudahkan
perpindahan dan perluasan modal dari suatu
tempat ke tempat lain. Sementara itu dengan
manajemen modern para ahli ekonomi telah
mampu menyiapkan perusahaan dan mengatur
strategi dalam rangka bekerja sama atau untuk
memenangkan persaingan dengan didukung oleh
modal dan teknologi. Manajemen modern yang
canggih sudah tentu dapat mendorong para
manajer untuk dapat mengelola perusahaan dengan
baik pula (Micklethwait & Wooldridge, 2000: 29).
Dalam era globalisasi telah terjadi
paradigma yang sangat besar dalam sektor
produktivitas yang menyangkut kekayaan suatu
negara. Pada masa lampau kekayaan suatu negara
dipandang berkait erat dengan sumber-sumber
kekayaan alam yang dimiliki. Akan tetapi untuk
ukuran sekarang, kekayaan suatu negara sangat
ditentukan oleh kamampuan sumber daya manusia
yang mampu mengubah sumber-sumber alam itu
menjadi produk atau jasa yang berharga
berdasarkan ilmu pengetahuan, investasi, gagasan,
dan inovasi. Banyak sumber eksternal yang dulu
menguntungkan suatu negara kini telah hilang
karena arus perkembangan globalisasi (Harrison &
Huntington, 2000: 5).
Dengan demikian penguasaan ilmu dan
tekologi dalam era globalisasi sangat penting
267

ISBN: 978-602-361-045-7

artinya
sebagai
prasyarat
untuk
dapat
mengantisipasi perubahan-perubahan, sehingga
suatu bangsa tidak ketinggalan. Tidak heran jika
berbagai bangsa dewasa ini juga diwarnai oleh
perlombaan untuk menggapai puncak ilmu
pengetahuan. Berkaitan dengan itu Hatten &
Rosenthtal (2000: 5) menyatakan, bahwa
penguasaan bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan dalam kadar yang memadai dapat
melahirkan
kemampuan
kreativitas,
mengembangkan dan menerapkan pengetahuann
itu sebagai suatu tuntutan yang mutlak dalam era
globalisasi.
Konteks baru dalam peningkatan daya
saing antar bangsa dewasa ini adalah kebutuhan
untuk mengetahui segala perubahan. Hal ini dapat
dilakukan dengan jalan penguasaan yang memadai
bidang ilmu pengetahuan tersebut. Oleh sebab itu
tidak heran jika berbagai bangsa dapat kita
saksikan sangat antusias berlomba dalam hal
penguasaan
ilmu
pengetahuan,
termasuk
menciptakan,
mengembangkan,
dan
menggunakannya dalam rangka mencapai
kesuksesan yang kompetitif. Bagi suatu bangsa
maupun organisasi bisnis, penguasaan ilmu
pengetahuan baru sangat penting artinya untuk
dapat berpartisipasi dalam era global. Pihak yang
pantas menjadi pemenang dalam persaingan global
adalah mereka yang mengetahui (knowing)
bagaimana cara bertahan hidup dan mengetahui
bagaimana
mengembangkan
kemampuan
berorganisasi (Hatten & Rosenthtal, 2000: 7).
Kemudian untuk mencapai itu semua
diperlukan banyak jalan. Salah satu yang
dipandang sangat penting adalah pendidikan.
Dalam kaitan ini pendidikan merupakan unsur
penting yang harus mendapat prioritas utama.
Dalam kerangka itulah, pendidikan diharapkan
dapat meberi sumbangan perkembangan seutuhnya
bagi setiap orang, baik jiwa, raga, intelegensi,
kepekaan, estetika, tangung jawab, dam nilai-nilai
spiritual. Melalui pendidikan, setiap orang
hendaknya dapat diberdayakan untuk berpikir
mandiri dan kritis. Dalam dunia yang terus berubah
dan diwarnai oleh inovasi sosial dan ekonomi,
pendidikan tampak sebagai salah satu kekuatan
pendorong untuk meningkatkan kualitas imajinasi
dan kreativitas sebagai ungkapan dari kebebasan
268

manusia dan standarisasi tingkah laku perorangan.
Kesempatan perlu diberikan kepada generasi muda
untuk melakukan percobaan dan menemukan
sesuatu yang baru (UNESCO, 1996: 94).
Lebih jauh Ohmae (1990: 195),
menyatakan, bahwa setiap pemerintah yang
bertanggung jawab akan mempersiapkan diri agar
rakyatnya dapat memasuki era global dengan
kesiapan yang mantap. Cara yang mungkin dapat
ditempuh adalah menyelenggarakan pendidikan
yang memungkinkan rakyat mendapatkan
sebanyak-banyaknya
pengetahuan
yang
diperlukan. Penguasaan informasi dan penguasaan
sebanyak mungkin pilihan pengetahuan akan
memantapkan suatu bangsa untuk berkompetisi
dalam era global.
Dengan demikian proses pendidikan
bukan
semata-mata
untuk
memperdalam
pengetahuan, tetapi juga ditekankan untuk
mempertinggi sikap kritis dan daya kreatif peserta
didik. Hal ini sangat perlu mengingat
keanekaragaman tantangan di masa depan sangat
menuntut kemampuan semacam itu. Dewasa ini
kita sering dituntut untuk mampu memberi
jawaban dalam response time yang pendek dan
sering kali suatu tantangan memerlukan beberapa
jawaban sekaligus (Soedjatmoko, 1991: 87).
Kemudian untuk mencapai keberhasilan
pendidikanan pada era global, UNESCO
menetapkan dasar-dasar yang harus dijadikan
pijakan bagi semua bangsa. Tidak terkecuali
Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di
dunia sangat perlu untuk mencermati dan
menggunakan dasar-dasar pendidikan yang telah
dicanangkan UNESCO. Dalam uraiannya yang
bertajuk Learning: Treasure Within (1996: 85-89)
UNESCO menetapkan The four pillars education
(Empat pilar pendidikan) sebagai landasan
pendidikan pada era global, sebagai berikut: 1)
Learning to know, bukan sekedar mempelajari
materi pembelajaran, tetapi yang lebih penting
adalah
mengenal
cara
memehami
dan
mengkomunikasikannya. 2) Learning to do,
menumbuhkan semangat kreativitas, produktivitas,
ketangguhan,
menguasai kompetensi secara
profesional, dan siap mennghadapi situasi yang
senantiasa berubah. 3) Learning to be,
pengembangan potensi diri yang meliputi

The Progressive and Fun Education Seminar

kemandirian, kemampuan bernalar, imajinasi,
kesadaran estetik, disiplin, dan tanggung jawab. 4)
Learning to live together . Pemahaman hidup
selaras seimbang, baik nasional maupun
internasional dengan menghormati nilai spiritual
dan tradisi kebhinekaan. Untuk dapat mewujudkan
harapan itu tentu diperlukan pendidikan yang
sesuai yang mengarah kepada benbwntukan sikap
kebersamaan.
TINJAUAN
TEORITIS
TENTANG
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Secara teoretis proses integrasi etnis ke
dalam nasionalis memerlukan waktu yang panjang.
Setelah melalui tahapan tertentu mereka saling
berasimilasi sehingga dapat berkembang kepada
tahapan berikutnya. Proses seperti itu terjadi
berulang-ulang, sehingga akhirnya berhasil
membentuk nasionalisme dalam sebua h negara
bangsa. Sudah tentu hal ini membutuhkan waktu
dan kondisi-kondisi tertentu. Pada tahap awal citacita masyarakat multietnik dan multikultural
dibentuk melalui proses asimilasi kelompok
monoritas ke dalam kelompok dominan.
Kemudian pada tahap berikutnya berbagai
kelompok etnis mengasimilasikan dirinya sebagai
etnis baru, sehingga terbentuklah suatu masyarakat
bangsa sebagai hasil dari asimilasi tersebut. Proses
seperti itu diabadikan dalam sebuat teori yang
sangat terkenal, yaitu teori melting pot (Watson,
2004: 15).
Teori melting pot (kawah candradimuka)
pada awalnya diwacanakan oleh J.Hektor seorang
imigram Amerika yang berasal dari Normandia.
Dalam teorinya dia menekankan penyatuan budaya
dan melelehkan budaya asalnya, sehingga seluruh
imigran Amerika pada akhirnya hanya memiliki
satu budaya baru, yakni budaya Amerika.
Walaupun sekarang diakui, bahwa monokultur
mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Anglo
Saxon Protestant (WASP) sebagai kultur imigran
kulit putih yang berasal dari Eropa.(Rosyada,
2010: 1).
Teori ini sangat terkenal di Amerika
Serikat sebagai cerminan dari proses terbentuknya
bangsa itu yang tidak saja multi etnis tetapi juga
multi rasial menjadi satu bangsa yang kuat. Jika
dicermati kelompok etnis/ras secara bertahap

datang ke Amerika Serikat untuk mendapat
kehidupan yang lebih baik dalam bidang politik,
ekonomi, maupun agama. Perjuangan dilakukan
oleh beberapa etnis sejak mereka meninggalkan
tanah leluhur sampai saat sekarang ini, ketika
pluralisme etnis/ras dalam tubuh bangsa Amerika
Serikat telah menjadi kenyataan dan diterima oleh
berbagai pihak. Setiap kelompok etnis/ras
memperlihatkan kegigihannya dalam menghadapi
berbagai kesukaran. Setiap kelompok mampu
mengatasi bermacam-macam kesulitan dan hal ini
merupakan indikasi kuat bagi mereka untuk dapat
tumbuh menjadi kelompok masyarakat yang tegar,
percaya diri akan kemampuan dirinya, dan tinggi
pula harga dirinya (Sowel, 1989: 8).
Dalam proses menuju integrasi antara
etnis dalam masyarakat Amerika secara berangsurangsur terbentuk filsafat hidup yang berjalan
secara integrasional dan komulatif. Proses
terbinanya suatu bangsa sampai sekarang
merupakan proses yang panjang. Merupakan
proses yang penuh prasangka buruk etnis kultural,
tetapi dengan kearifan kolektif semua hambatan itu
dapat diatasi. Bersamaan dengan itu terbentuk pula
kemauan yang kuat untuk membentuk identitas
kultural baru, yaitu identitas kultural Amerika
Serikat yang bersifat multietnis/multirasial. Dalam
masyarakat Amerika Serikat, kelompok-kelompok
etnis/ras, seperti Inggris, Jerman, Irlandia, Yahudi,
Italia, Negro, Jepang, Cina dan Indian, masingmasing juga mampu memberi sumbangan terhadap
petumbuhan budaya bangsa Amerika Serikat
(Sowel, 1989: 8).
Kemudian ketika komposisi etnis Amerika
kian beragam dam majemuk, kembali maka teori
melting pot tidak sesuai lagi, sehingga muncul teori
baru yang disebut teori salad bowl (gado-gado)
sebagai teori alternatif yang dipopulerkan oleh
Horace Kallen. Teori salad bowl tidak melehkan
budaya asal, tetapi sebaliknya kultur-kultur lain di
luar WASP diakomodasi dengan baik dan masingmasing memberikan kontribusi untuk membangun
budaya Amerika sebagai sebuah budaya nasional.
Prasyarat dari interaksi antar berbagai budaya
etnis itu masing-masing memerlukan ruang gerak
yang leluasa. Hal ini kemudian melahirkan teori
Cultural Pluralism, yang membagi ruang gerak
budaya menjadi dua bentuk. Dua ruang gerak itu
269

ISBN: 978-602-361-045-7

adalah: 1) Ruang gerak publik untuk seluruh etnik
mengartikulasikan
budaya
politik
dan
mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka.
Dalam konteks ini mereka homogen dalam sebuah
tatanan budaya Amerika. 2) Ruang gerak privat,
yang di dalamnya berfungsi bagi mereka untuk
mengespresikan budaya etnisitasnya secara leluasa
(Rosyada, 2010: 1-2).
Teori-teori tersebut dikembangkan dalam
rangka
mmemperkuat
bangsa
Amerika,
membangun persatuan dan kesatuan
dan
untuk mengembangkan kebangsaan warga negara
Amerika Serrikat. Namun demikian pada dekade
1960 an masih ada sebagian masyarakat Amerika
yang merasa hak-hak sipilnya belum dapat dijamin
sepenuhnya. Hal itu memunculkan pemikiran baru
agar semua kelompok masyarakat dapat hidup
nyaman, aman, teteram dan terjamin hak-haknya.
Kelompok Black America , imigran dari Amerika
Latin, atau kelompok minoritas lainnya
memerlukan cara yang sesuai dengan tuntutan
baru, karena cara-cara yang sudah ada tidak tepat
lagi. Untuk kepentingan itu maka mereka
mengembangkan teori multiculturalism, yang
menekankan pada penghargaan dan penghormatan
terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi
etnik, agama, ras, atau warna kulit. Pada
hakekatnya multikulturalisme adalah sebuah
konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah
bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang
etnis, agam, ras, budaya, dan bahasa dengan
menghormati dan menghargai hak-hak sipil
mereka termasuk menghormati hak sipil kelompok
minoritas. Sikap apresiatif tersebut dapat
meningkatkan
partisipasi
mereka
dalam
membangun suatu bangsa. Pada dasarnya mereka
menjadi besar karena kebesaran bangsanya dan
mereka memiliki kebanggaan terhadap kebesaran
bangsanya itu (Rosyada, 2010: 2).
Di Indonesia sendiri sebagaimana telah
dinyatakan di atas telahm menyadari tentang
adanya kemajemukan ragam etnik dan budaya
masyarakatnya. Indonesia sebagi suatu negara
didukung oleh beraganman etni, budaya dan
agama yang terbentuk oleh adanya persamaan
nasib yang memilki tujuan yang sama, yakni
sama-sama ingin mencapai masyarakat adil,
makmur, dan sejahtera. Akan tetapi gagasan besar
270

itu kemudia tenggelam dalam ejarah dan politik
monokultur, baik yang dipraktekkan oleh Orde
Lama maupun Orde Baru. Sistem Demokrasi
Terpimpin yang diusung rezim Sukarno telah
mematikan kreatifitas-kreatiftas lokal atau daerah
yang berbasis etnik dan budaya tertentu. Kondisi
pada periode Orde Baru di bawah kepemimpinan
Suharto lebih parah lagi. Manajemen sentralistik
yang dikembangkan rezim Suharto menjadikan
filsafat Bhinneka Tunggal Ika hanya tinggal slogan
belaka. Upaya untuk mencapainya tidak pernah
terwujud dalam kenyataa n empirik hubungan
sosial maupun pranata sosial lainnya (Rosyada,
2010: 2).
Ketika simpul-simpul yang mengukat
demokrasi terbuka pasca gerakan Reformasi, maka
gagasan-gagasan
yang
bterkait
dengan
multikulturalisme menjadi mengemuka dan
langsung memasuki wilayah pendidikan dalam
bentuk praktik. Seharusnya sebelum masuk pada
tahapan realisasi, teori multikulruralisme di
Indonesia dirumuskan terlebih dahulu oleh para
ahli bidang sosial dan politik. Melalui teori yang
dirumuskan itu akan memperoleh gambaran tipe
ideal, jelas ruang lingkup dan batas-batasnya, serta
bagaimana model pendidikan multikulturalisme
yang seharusnya dilaksanakan. Atau setidaknya
kita tidak akan dikacaukan oleh teori melting pot,
salad bowl dan lainnya yang pernah dilaksanakan
di Amerika Serikat. Sebenarnya Indonesia
memiliki perhatian yangsangat besar terhadap
pendidikan multi etnik, justru multikulturalisme
menjadi common platform dalam mendsain
pembelajaran yang berbasis Bhinneka Tinggal Ika
(Azra, 2003: 19).
Jika dianalisis sebenarnya ada perbedaan
mendasar antara pendidikan berbasis multikultual
dengan pendidikan berbasis Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam pendidikan berbasis multikultural,
menganjurkan kepada peserta didik untuk saling
menghargai asal usul dan perbedaan masingmasing dalam suatu masyarakat. Pendidikan
multikultural yang dipraktekkan di Amerika
Serikat atau Australia (sekarang) tergolong sebagai
critical multiculturalism, sementara pendidikan
dengan pendekatan Bhinneka Tunggal Ika
dikategorikan sebagai soft multiculturalism
(Watson, 2004: 20).

The Progressive and Fun Education Seminar

Ciri dari critical multiculturalism saling
menghadapkan antar perbedaan pendapat dan
pandangan atau ketidakpahaman antan kelompok
etnis, budaya, agama, dan perbedaan lain, sehingga
akan terjadi perbenturan di antara mereka.
Tujuannya agar mereka saling buka kartu dan
secara
terang-terangan
menjelaskan
dan
menguraikan perbedaan pandangan. Dengan cara
ini mereka maka akan terbuka ruang agar orang
dapat berdialog dengan sungguh-sungguh dari
tingkat anak-anak sampai orang dewasa. Dengan
cara ini, secara berangsur-angsur mereka saling
memahami dan menghargai pendapat orang lain.
Salah satgu hal yang diharapkan adalah akan
munculnya suasana keterbukaan dan keinsafan
diri sendiri atas perbedaan etnik, budaya, agama
atas dasar pengalaman dan keyakinan sendiri
(Watson, 2004: 20-21).
Sementara itu pendidikan yang berbasis
Bhineka Tunggal Ika, tergolong sebagai
pendidikan
soft
multiculturalism.
Dalam
pelaksanaannya pendidikan jenis ini digambarkan
dengan suasana harmonis antar kelompok etnis,
budaya, maupun agama. Dalam kenyataanya
mereka itu tidak pernah ada ruang untuk saling
berdialog secara serius dan terbuka tentang
perbedaan masing-masing. Bentuk pendidikan
yang sering dilakukan adalah dalam bentuk festival
kesenian Nusantara, lagu-lagu daerah, pakaian
adat, seperti yang sering dipertontonkan di Taman
Mini Indonesia Indah (TMII), media TVRI dan
acara perayaan hari besar nasional di sekolah
maupun instansi lainnya. Kadang-kadang
dilakukan pula dalam pembelajaran PKn, dengan
cara guru mengenalkan perbedaan adat-istiadat di
Indonesia. Pendidikan multikultural seperti ini
tidak efektif untuk membentuk sikap dan
pemahanan yang kritis, karena hanya bersifat
seremonial belaka. Soft multiculralism hanya dapat
menbuka mata kita tentang banyaknya variasi,
jumlah, dan banyaknya pilihan adat istiadat,
agama, budaya, etnis dan lain-lain. Akan tetapi
tidak mungkin dapat meningkatkan kesadaran atas
kepentingan nilai-nilai dan kepercayaan dalam
kehidupan serta harga diri suatu komunitas.
(Watson, 2004: 20-21). Untuk dapat mencapai
tujuan yang ideal maka pendidikan multikultural
harus dilaksanakan secara lebih kritis.

Harus diakui, bahwa permasalahan
multikulturalisme masih merupakan ancaman bagi
Indonesia. Sebagai bukti dalam sepuluh tahun
terakhir ini masih saja terjadi peristiwa tragis yang
melanda sejumlah daerah, yang disebabkan oleh
perbedaan agama, budaya, suku atau etnis. Jadi
adanya keberagaman di negeri ini masih berpotensi
sebagai pemicu konflik dalam bentuk kekerasan,
penyerangan,
pengrusakan,
pembakaran,
penganiayaan, penangkapan, dan intimidasi.
Permasalahan multukulturalisme yang tercermin
dalam berbagai peristiwa sebenarnya merupakan
produk sosial yang disebut habitus. Sering diartian
habitus
sebagai suatu tindakan pengkondisian
yang dikaitkan dengan keberadaan suatu kelas
sosial, yaitu kelas dominan pemegang kekuasaan.
Pengkodisian dapat dilakukan melalui media
massa dan pendidikan, karena kedua elemen itu
dipandang sebagai sarana yang sangat efektif untuk
menyebar luaskan wacana (Kurniawan, 2010, : 1).
Berdasarkan pada kenyataan seperti itu
maka perlu segera dicari jalan keluar agar
multikultural tidak lagi menjadi masalah yang
membahayakan bagi kehidupan dan keutuhan
bangsa. Diperlukan upaya pengkondisian melalui
bidang pendidikan kearah yang positif. Perlu
segera diwacanakan, dirancang dan dilakukan
kebijakan tentang pendidikan yang berbasis
multikuluralisme
yang
kritis
(critical
multiculturalism).
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
SEBAGAI TANTANGAN BARU
DI INDONESIA
Dewasa ini disinyalir tengah terjadi
disintegrasi bangsa yang ditengarai dengan
munculnya perilaku anarkhis diberbagai daerah.
Diduga salah satu penyebabnya adalah karena
sebagian mayarakat tidak lagi untuk memahami
sejarah bangsanya yang ditandai oleh semangat
pluralisme yang tercermin dalam semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai warga masyarakat
yang merasa ikut bertanggungjawab terhadap
kelangsungan hidup bangsa dan negara, sudah
sepantasnya kita berbuat sesuatu untuk
mempersiapkan masa depan yang lebih baik.
Harapan ini kiranya dapat dicapai apabila
masyarakat terutama generasi mudanya sebagai
271

ISBN: 978-602-361-045-7

calon pemimpin masa depan memiliki kualitas
integritas yang memadai. Untuk urusan masa
depan mereka memang memegang peran yang
sangat sentral.
Hal ini tercermin dalam pepatah lama,
bahwa generasi muda adalah bunga dan harapan
bangsa. Pepatah ini memiliki makna, bahwa
generasi muda sepenuhnya bertanggungjawab
terhadap kelangsungan hidup bangsa dan
negaranya. Agar dapat memenuhi harapan itu
maka
sedini
mungkin
mereka
perlu
mempersiapkan diri, sehingga pada saatnya nanti
siap tampil sebagai pemimpin yang tangguh, baik
secara fisik, intelektual, maupun moral. Sebagai
bekal yang mutlak diperlukan adalah iman dan
taqwa, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
diperoleh melalui proses pendidikan secara
sungguh-sungguh. Sebagai bunga dan harapan
bangsa generasi muda dituntut pula untuk
mempraktekkan budi pekerti yang luhur sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan moral bangsa.
Dengan budi pekerti yang luhur semacam
itu para pemuda nantinya akan dapat
menampilkan diri sebagai pemimpin yang
berkualitas tinggi. Kesiapan mental dan
ketinggian moral itu pada gilirannya merupakan
prasyarat bagi terwujudnya kepemimpinan dan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Untuk
menunjang cita-cita yang mulia itu, salah satu
sayaratnya diperlukan pemahaman nilai yang
terkandung dalam sejarah bangsanya. Dengan
pemahaman nilai semacam itu berarti upaya
pembinaan dan pembangunan kharakter bangsa
(nation building) dapat berproses dngan baik.
Melalui pelaksanaan pendidikan yang berbasis
multikultural dapat diharapkan akan tertanam
semangat rela berkorban dan semangat persatuan,
yang semuanya mengacu kepada upaya menjaga
dan memelihara keutuhan bangsa serta negara ini.
Pengalaman sejarah perlu disadari, bahwa
untuk mewujudkan keutuhan bangsa harus dapat
menjaga perpaduan tiga unsur, yaitu: 1) Kemauan
untuk bersatu “la desir d’etre esemble” (Ernest
Renan). 2) Merasa senasib dan sepenanggungan
“eine aus Schiksals-gemeinschaft erwachsent
charakter-gemeinschaft”
(Otto Bouer), 3)
Persatuan antara orang dan tempat sesuai dengan
kenyataan Nusantara (Bung Karno). Dalam
272

kenyataannya keterikatan masyarakat Indonesia
yang terdiri dari bernagai budaya dan etnis
mengalami masa-masa surut, ketika menghadapi
masa-masa sulit. Ketika dihadapkan pada
Bhinneka
Tunggal
Ika,
yang
berarti
keanekaragaman kelompok, maka semboyan itu
diyakini sebagai sumber kekuatan. Dua hal itu
tampak merupakan kontradiksi., Betapa sulit
memenuhi prasyarat nasionalisme jika benar-benar
disadari kondisi yang dituntutnya. Pertama , setiap
kelompok etnis secara mandiri mengolah
keunggulan-keunggulan budayanya yang khas
anggotanya (diversity). Kedua , keunggulan yang
khas itu harus mendapat peluang yang sama
(equality). Ketiga , tersedianya bidang-bidang
persoalan, di mana keunggulan yang beraneka
ragam itu bekerja sama menghasilkan kekuatan
yang jauh lebih besar dari sekedar jumlahnya
(Parakitri, 1993: 7).
Suatu bangsa yang dibangun berdasarkan
pada keanekaragaman seperti Indonesia, jika
mampu mewujudkan tiga kondisi itu akan tetap
tampil sebagai kesatuan, kendati terdiri dari aneka
ragam kelompok etnis dan budaya (status
diversitatis). Itulah status Bhinneka Tunggal Ika.
Jika sampai terjadi pengutamaan satu kelompok,
maka kemampuan yang beragam (diversity) akan
berubah menjadi perbedaan martabat (hierarchi).
Bersamaan dengan itu, peluang yang sama
(equality) berubah menjadi perlakuan pilih kasih
(discriminatory). Dengan demikian koordinasi
kemampuan (synergy) sirna oleh oleh pertarungan
kemampuan (contradictory). Perubahan-perubahan
semacam itu akan membawa negara nasional yang
berdasar pada keberagaman kejurang permusuhan
antar kelompok etnis (status hostilis) atau saling
menghancurkan (status belli). Selelah itu negara
bangsa akan hancur dan sebagai gantinya
kemungkinan adalah negara wangsa (Parakitri,
1993: 8).
Untuk menghindari dampak negatif dari
perkembangan kondisi masyarakat Indonesia
dewasa ini, maka perlu dikembangkan dan
dipraktekkan pendidikan yang berbasis pada
pendidikan multikultur. Seperti kita ketahui, bahwa
pendidikan adalah merupakan usaha yang secara
sengaja dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar agar peserta didk dapat secara aktif

The Progressive and Fun Education Seminar

mengembangkan potensi dirinya. Dengan cara itu
peserta didik memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, ahlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Sementara itu, pendidikan multi kultur
diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok orang
sebagai usaha mendewasakan manusia melalui
pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan
melaui cara-cara mendidik serta menghargai
pluralitas dan heterogenitas secara humanistik
(Suparsa, 2010: 1).
Pendidikan yang berorientasi pada
multikultural harus dapat memberi pemahaman
tentang keberadaan masyarakat plural yang
membutuhkan ikatan-ikatan keadaban, yang
berupa pergaulan antar budaya yang diikat oleh
suatu peradaban. Tentu saja ikatan tersebut
dibangun oleh nilai-nilai universal kemanusiaan,
yang ditransfer kepada masyarakat agar
menemukan
tujuan
kepemilikan
dan
kelanggengan. Kepemilikan nilai-nilai universal itu
dapat melembaga dalam masyarakat untuk
mewujudkan budaya luhur, sehingga akan tercipta
masyarakat yang aman, tertib, berwibawa, dan
bermartabat. Untuk dapat memahami pendidikan
multikultural, perlu dipahami karakteristik budaya
dan wilayah budaya. Pemahaman terhadap
karakteristik budaya antara lain meliputi budaya
sebagai suatu hal yang general sekaligus sebagai
suatu yang spesifik. Di samping itu budaya juga
merupakan sesuatu yang dapat dipelajari, sebagai
suatu simbol, sebagai milik bersama, sebagai
atribut individu, budaya juga sebagai suatu model,
dan budaya sebagai suatu yang bersifat adaptif
.(Suparsa, 2010: 1).
Mengenai wilayah budaya dapat diartikan
sebagai :
1. Sub kultural, merupakan suatu perbedaan
karakteristik budaya dalam suatu kelompok
masyarakat.
2. Kultur Nasional, yang berbentuk aneka ragam
pengalaman, sifat dan nilai-nilai yang
digunakan oleh warga negara yang berada
dalam suatu negara.
3. Kultur internasional, terbentuk dari tradisi
kultural yang meluas melampau batas-batas

wilayah nasional sebuah negara melalui proses
penyebaran
(diffusion),
yaitu
proses
penggambungan antar dua kultur atau lebih
melalui beberapa cara, seperti migrasi,
perkawinan, media massa, atau bahkan film
(Suparsa, 2010: 2).
Dalam era global dewasa ini pendidikan
yang berbasis pada multikultural menjadi pilihan
yang sangat penting. Hal ini mengingat pendidikan
untuk memanusiakan manusia, sehingga perlu
ditempuh langkah tertentu untuk mempertahankan
visi dan misi pendidikan multikultural. Berkaitan
dengan itu Suparsa (2010: 2) kengemukakan
sebagai berikut:
1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas
manajemen pendidikan.
2. Menciptakan kelembagaan agar daearah
mempunyai peranan keterlibatan yang besar
dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Mendorong peran serta masyarakat termasul
lembaga sosial kemasyarakatan dan dunia
usaha sebagai mitra dari pihak pemerintah
dalam pembangunan dan penyelenggaraan
pendidikan.
4. Menyediakan fasilitas yang memadai agar
peserta didik dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat, dinamis, kreatif, dan produktif.
5. Menciptakan sistem pendidikan yang proatif
dan fleksibel.
6. Menciptakan suasana proses pembelajaran
yang
mampu
membangkitkan
dan
menumbuhkembangkan
kreativitas,
membangun inovasi, serta minat dan semangat
belajar.
7. Menanamkan kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni sejak
pendidikan usia dini.
8. Menumbuhkembangkan
daya
juang,
profesionalisme dan wawasan keunggulan .
9. Menumbuhkembangkan sikap hidup hemat,
cermat, teliti, tekun dan disiplin.
10. Menumbuhkembangkan moral dan budi
pekerti yang luhur sebagai perwujudan dari
keimanan dan ketakwaan tarhadap Tuhan.
Untuk memahami leih jauh tentang
pendidikan multukultural, perlu pula dikemukakan
di sini tentang ideologi yang menjadi landasan
pendidikan. Ideologi pendidikan merupakan nilai273

ISBN: 978-602-361-045-7

nilai landasan ideal yang harus diimplementasikan
dalam seluruh aktivitas pendidikan. Salah satu
ideologi pendidikan multikultural adalah Ideologi
Sirkularisme. Ideologi Sirkularisme merupakan
ideologi pendidikan yang memberikan perhatian
terhadap hubungan yang setara antara manusia
dengan alam, manusia dengan manusia, manusia
dengan Tuhan, dan antara manusia dengan dirinya
sendiri. Ideologi ini menghendaki perlakuan segala
sesuatu tepat pada hak-hak yang melekat pada
obyeknya. Dengan demikian maka pendidikan
multikultural terdapat beberapa pemahaman.
Menurut Suparsa (2010: 3) perlu tiga pemahaman
yaitu:
1. Pendidikan multikultural memandang dan
meyakini pentingnya positioning, yaitu
menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai
dengan nilai keadilan dan keseimbangan.
2. Pemetaan dalam pendidikan multikultural
sebagi suatu keniscayaan, untuk mencapai hasil
sesuai dengan yang dikonsepkan. Pemetaan
berujung pada keragaman, heterogenitas,
pluralitas, dan deversitas sebagai suatu
keharusan dalam pendidikan multikultural.
3. Pendidikan multikultural adalah pendidikan
untuk membentuk jati diri seseorang, yang
berupaya menyeragamkan seluruh aspek
kemanusiaannya.
Ciri khas pendidikan
multikultural selalu menghadapi keragaman
pluralistik, heterogenitas, etnik, agama, budaya,
dan suku sehingga dapat mengangkat potensi
seseorang dengan jati dirinya masing-masing
Untuk dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran dalam pendidikan yang berbasis
multikultural
memerlukan
guru
dengan
kahraktaristik tertentu. Menurut Aldridge (dalam
Rosyada, 2010: 10), adalah sebagai berikut:
1. Guru harus mampu menciptakan situasi kelas
yang tenag, bersih, tidak stress, dan sangat
mendukung untuk pelaksanaan pembelajaran.
2. Guru harus menyediakan peluang bagi para
siswa untuk mengakses seluruh bahan dan
sumber informasi untuk belajar.
3. Guru perlu menggunakan model cooperative
learning melalui diskusi dalam kelompokkelompok kecil, debat, atau rool playing.

274

4. Guru harus mampu menghubungkan informasi
baru pada sesuatu yang sudah diketahui oleh
siswa, sehingga mudah untuk mereka pahami.
5. Guru harus mampu mendorong siswa untuk
mengerjakan tugas-tugas, dengan melakukan
kajian dan penelusuran pada hal-hal baru dan
mendalam.
6. Guru harus memilki catatan-catatan kemajuan
dari semua proses pembelajaran siswa, tugastugas individual, sehingga dapat melakukan
evaluasi dalam bentuk portofolio.
Standar Kompetensi pendidikan yang
berbasis multikultural dapat ditetapkan sebagai
berikut: Menjadi warga negara yang mampu
hidup berdampingan bersama warga negara
lainnya tanpa membedakan agama, ras, bahasa
dan budaya dengan menghormati hak-hak mereka,
memberi peluang kepada semua kelompok untuk
mengembangkan budayanya serta mampu
mengembangkan
kerja
sama
untuk
mengembangkan bangsa menjadi bangsa besar
yang dihormati dan disegani di dunia
internasional.
Dari Standar Kompetensi tersebut dapakt
pula dirinci Kompetensi Dasarnya, sebagai berikut:
1. Menjadi warga negara yang menerima dan
menghargai perbedaan etnik , agama, bahasa
dan budaya dalam struktur masyarakat.
2. Menjadi warga nnegara yang dapat melakukan
kerja sama multi etnik, multi kultur, dan multi
religi dalam konteks pengembangan ekonomi
dan kekuatan bangsa.
3. Menjadi warga negara yang mampu
menghormati hak-hak individu warga negara
tanpa membedakan latar belakang etnik,
agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor
sosial, pendidikan, ekonomi, pilitik dan lainnya,
bahkan untuk memelihara bahasa dan
mengembangkan budaya mereka.
4. Menjadi warga negara yang memberi peluang
pada semua warga negara untuk terwakili
gagasan dan aspirasinya dalam lembagalembaga pemerintahan, baik ekesekutif maupun
legislatif.
5. Menjadi warga negara yang mampu
mengembangkan
sikap
adil
dan
mengembangkan rasa keadilan terhadap semua
warga negara tanpa membedakan latar

The Progressive and Fun Education Seminar

belakang etnik, agama, bahasa dan budaya
mereka.
Dari lima Kompetensi Dasar tersebut tampak
tidak ada pertentangan dengan norma hukum
maupun etika dalam ajaran Agama Islam ataupun
pemikiran keagamaan yang dikemukakan oleh
para ulama. Bahkan kini sudah teradopsi sebagai
nilai-nilai bangsa yang harus menjadi dasar
pertimbangan dalam mengembangkan perilaku
atau kebijakan dalam kehidupan sosial (Rosyada,
2010: 6).
Namun demikian pendidikan dengan
pedekatan multikultural sebagai salah satu upaya
menjembantani
kesenjangan
antara
keanekaragaman budaya dan etnik di Indonesia
yang semakin diperparah dengan petkembangan
budaya global, tentu masih memiliki kelemahankelamahan. Hal ini disebabkan proses sintesa
dalam pembentukan budaya nasional masih
berlangsung dan baru berada pada tahap transisi.
Sementara itu masyarakat Indonesia dihadapkan
pada tantangan baru yang lebih kompleks dan
skalanya lebih besar, yaitu ekspansi budaya global
yang ditandai dengan segala kecanggihan sistem
liberal, ekonomi, teknologi, dan jaringan
komunikasi modern yang mendukungnya (Ohmae,
1995: 3). Dengan demikian terjadilah suatu
interaksi kebudayaan yang sangat pesat dan
menyeluruh, yang mampu mengguncang simpulsimpul serat budaya etnis dan nasional yang
sedang dalam proses metamorfose pembentukan
identitas baru. Sifat-sifat agresif budaya global ini
sering dirasakan sebagai imperialisme baru yang
tidak jarang pula ditafsirkan sebagai suatu
ancaman yang tak terhindarkan. Anggapan yang
negatif terhadap budaya global mengakibatkan
munculnya reaksi primordial dan emosional
dengan cara mengisolasi diri maupun perlawanan
agresif lainnya.
Menurut I Made Suparsa (2010: 7-8),
permasalahan pendidikan multikultural dalam
masyarakat berkaitan dengan proses, fungsi, dan
hasil pendidikan, antara lain:
1. Fungsi dan tujuan pendidikan multikulural
dianggap kurang melekat pada pelaksana dan
pelaksanaan.

2. Prinsip pendidikan multikultural kurang
menjunjung tinggi demokrasi, keadilan, dan
hak azasi manusia.
3. Evaluasi pendidikan multikultural dalam
rangka pengendalian mutu secara nasional
seringkali dibelokkan untuk kepentingan
tertentu.
Oleh sebab itu untuk dapat mengantisipasi
berbagai kelemahan yang ada, perlu dikembangkan
model pendidikan multikultural yang sesuai, agar
generasi muda mampu berkembang dan hidup
harmonis di tengah-tengah beragamnya budaya,
baik budaya etnis maupun budaya global.
Penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada
multikultural didasari oleh kerangka tujuan
pendidikan nasional, yang tercermin dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang
tersebut menyebutkan, bahwa “Pendidikan
diselengarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak didkriminatif dengan menjunjung tinggi
hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa ”. Dengan mengurangi
beberapa kelemahan yang ada, diharapkan
pelaksanaan
pendidikan
yang
berbasis
multikultural, mampu mengembangkan karakter
peserta didik sesuai dengan tujuan pedidikan yang
ingin dicapai
PENUTUP
Ditinjau dari segi sosial budaya dalam era
global seperti sekarang ini, Indonesia masih
dihadapkan pada dua tantangan besar, yaitu
tantangan yang berupa proses integrasi
keberagaman budaya, agama, dan etnis dan yang
kedua adalah tantangan dari masuknya arus budaya
global yang bersifat ekspansif. Kedua tantangan
tersebut perlu mendapat perhatian serius, agar
Indonesia dapat mempertahankan eksistensinya
sebagi negara bangsa. Hal ini merupakan tugas
penting bidang pendidikan yang harus tampil
sebagai ujung tombak penentu masa depan bangsa.
Melalui pendidikan dengan pendekatan
multikultural, dunia pendidikan dituntut untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang
demokratis, memahami dan menghargai pebedaan
dan keanekaragaman budaya dan etnis yang ada
dalam masyarakat, serta mampu mengikuti
275

ISBN: 978-602-361-045-7

kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini sesuai denga
jiwa UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang menyatakan, bahwa
pendidikan merupakan upaya untuk mewujudkan
tujuan pembangunan nasional dalam rangka
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Untuk dapat mencapai tujuan yang
ditetapkan, maka perlu segara dirancang dan
ditetapkan kebijakan pendidikan yang sesuai
dengan tantangan yang tengah dihadapi, baik
tantangan dari dalam maupun dari luar. Di
samping itu individu-individu yang ada dalam
organisasi pendidikan harus memiliki kemampuan
yang memadai untuk mengemban tugas nasional.
Guru sebagai bagian dari organisasi sekolah
memiliki
kewajiban
untuk
melaksanakan
serangkaian tugas sesuai dengan fungsi yang harus
dijalankannya.
Sebagai
seorang
manajer
pembelajaran guru berkewajiban memberi
pelayanan kepada siswanya terutama dalam
kegiatan pembelajaran di kelas sesuai dengan
kebijakan pendidikan nasional. Guru harus
menguasai materi pelajaran, strategi dan model
pembelajaran, serta kemampuan pembimbingan
kepada siswa untuk mencapai prestasi yang tinggi,
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, 2003, Pendidikan Multikultural;
Membangun Kembali Indonesia
Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqofah,
Vol. I, No. 2, tahun 2003.
Dediknas, 2003, Undang-Undang R I Nomor 20
Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Bandung, Citra Umbara.
Depdiknas, 2008, Stan Pembangunan Pendidkan
Nasional, Jakarta, Depdiknas.
Hatten, K.J, & Rosenthal, S.R., 2001, Reaching for
the Knowledge Edge, New York,
American Management Association.
Herrison, L.E., & Huntington, S.P., 2000, Cultures
Matters, New York, Basic Books.
Ohmae, K., 1995, The End of the Nation State; The
Rise of Regional Economies, New York,
The Free Press.

276

Parakitri, 1993, Negara Bangsa atau Negara
Wangsa , Salatiga. Seminar tentang
Nasionalisme.
Kartodirdjo, S., 1991, Fungsi Sejarah Dalam
Pembangunan
Bangsa:
Kesadaran
Sejarah, Identitas, dan Kepribadian
Nasional, Semarang, Seminar Sejarah
Nasioanal V.
Kayam, U., 1981, Transformasi Budaya Kita ,
Jakarta, Sinar Harapan.
Kurniawan, Hilda, 2010, Media Pendidikan Dan
Multikulturalisme:
http://komjakarta.org/media-pendidikandan-multukulturanisme.htm#more
Natsir, M., 2010, Mencari Corak Perdamaian
Dengan Sistem Multikultur ;
http://aceInformasibudaya.blogspot.com/2010/01/p
erdamaian-sistem-kultur.html
Rosyada, Dede, 2010, Pendidikan Multikultural
Melalui Pendidikan Agama Sebuah
Gagasan Konsepsional:
http://www.google.co.id/search?hl=id&cli
ent=firefox-a&rls=org.mozilla:enUS:official&q=MULTI+KULTUR&start
=30&sa=N
Soedjatmoko, 1999, Keprihatinan Tentang Masa
Depan, Yogyakarta,Tiara Wacana.
Suparsa, I Made, 2010, peranan Multikultur Dalam
Pendidikan Nasional;
http://suparsa.blogspot.com/2010/01/peran
an-multicultur-dalam-pendidikan.html
Sowell, Thomas, 1989, Mosaik Amerika: Sejarah
Etnis Sebuah Bangsa , Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan.
Supriadi, D., 2000, Reformasi Pendidikan Dalam
Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta,
Adicita.
UNESCO, 1996, Learning: Treasure Within, New
York, UNESCO Publishing.
Undang-Undang
Dasar
1945
Dan
Amandemennya , 2008, Jakarta, Media
Centre.
Watson, Bill, 2004, Multiculturalism: Its Strenth
and Weaknesses, dalam JPIPS, No.23,
Tahun XIII, Desember 2004.