The Origin of Madura Cattle Based on Mitochondrial DNA

1

ASAL USUL SAPI MADURA BERDASARKAN PENANDA
DNA MITOKONDRIA

NIRMALA FITRIA FIRDHAUSI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Asal Usul Sapi Madura Berdasarkan
Penanda DNA Mitokondria adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Nirmala Fitria Firdhausi
NIM G352080111

3

ABSTRACT
NIRMALA FITRIA FIRDHAUSI. The Origin of Madura Cattle Based on
Mitochondrial DNA. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and RR. DYAH
PERWITASARI
Madura cattle was one of native cattle from Indonesia. The origin of
madura cattle had not known clearly. Many reports said that madura cattle came
from the crosses of Bos javanicus (banteng), Bos taurus and Bos indicus. To
understand the maternal inheritance in madura cattle, we analyzed the nucleotide
sequence of Cyt b gen, tRNA Thr and Pro, also Dloop region from mitochondrial
genom. The reconstruction of phylogenetic tree using Neighbour Joining Method
based on Kimura 2 Parameter showed that madura cattle grouped into two types,
that are B. javanicus type and B. indicus type. This research result supported many
authors that there were a mixing of the maternal origin of madura cattle. Further

investigation is needed to determine the origin madura cattle based on paternal
liniages and mitochondrial diversity. This conservation investigation is needed to
improve quality of madura cattle.
Keyword: madura cattle, mitochondrial DNA, phylogenetic

4

RINGKASAN
NIRMALA FITRIA FIRDHAUSI. Asal Usul Sapi Madura Berdasarkan Penanda
DNA Mitokondria. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan RR DYAH
PERWITASARI.
Sapi madura adalah salah satu jenis sapi lokal Indonesia. Proses
persilangan hingga diperoleh sapi madura selama ini tidak tercatat dengan baik
dan masih terdapat perbedaan pada beberapa data hasil penelitian. Sapi madura
diperkirakan berasal dari persilangan antara B. indicus dengan B. javanicus. Ada
pula yang menyatakan bahwa sapi madura merupakan hasil persilangan antara
pejantan B. indicus dengan betina campuran B. javanicus atau B. taurus.
Penelusuran sejarah persilangan dan kekerabatan sapi madura dapat dilakukan
dengan menganalisis variasi genom mitokondria (mtDNA). Setiap individu yang
memiliki indukan yang sama akan memiliki tipe mtDNA yang sama. Hal ini

disebabkan karena mtDNA diturunkan melalui garis maternal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kejelasan asal usul
sapi madura berdasarkan garis keturunan maternal dengan menggunakan penanda
mtDNA Cyt b, tRNA Thr, tRNA Pro, dan Dloop. Penelitian ini diharapkan dapat
memberi informasi genetik dan asal-usul sapi madura, sehingga dapat digunakan
untuk membantu peningkatan program pemuliaan dan konservasi sapi madura.
Sampel darah sapi madura yang digunakan berasal dari beberapa desa di
Kabupaten Sampang dan Bangkalan. Sampel diekstraksi menggunakan metode
yang dikembangkan oleh Sambrook et al. (1989) dengan sedikit modifikasi.
Amplifikasi dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Proses
visualisasi yang dilakukan menggunakan tehnik elektroforesis gel poliakrilamid
(PAGE 6%) dan dilanjutkan dengan pewarnaan sensitif perak menurut Tegelstrom
(1986). Proses perunutan menggunakan metode Dideoxi Terminator dengan
dNTP berlabel (big dye terminator).
Analisa data meliputi penghitungan komposisi nukleotida, laju subtitusi,
jarak genetik dan rekonstruksi pohon filogeni. Penghitungan jarak genetik
dilakukan berdasarkan model subtitusi Kimura 2 Parameter. Rekonstruksi pohon
filogeni menggunakan metode Neighbour Joining (NJ) dengan boostrap 1000 kali.
Hasil runutan nukleotida yang didapatkan dari sampel sapi madura setelah
disejajarkan, terbagi menjadi 203 bp gen Cyt b, 70 bp gen tRNA Thr, 66 bp tRNA

Pro. Pada daerah Dloop terdapat hasil yang bervariasi yaitu 373 bp untuk sampel
madura 14 dan 26, 374 bp untuk madura 38, 534 bp untuk sampel madura 41 dan
29, 512 bp untuk madura 32. Variasi panjang runutan pada Dloop disebabkan
karena adanya ruas berulang. Ruas berulang hanya ditemukan pada sapi madura
sampel 29, 32, dan 41.
Hasil rekonstruksi pohon filogeni baik dengan menggunakan ruas mtDNA
yang stabil (Cyt b dan tRNA) maupun yang memiliki laju mutasi tinggi (Dloop)
menunjukkan sampel sapi madura terbagi menjadi dua kelompok dalam cabang
yang berbeda. Sapi madura I terlihat berkelompok dalam satu cabang dengan B.
indicus dan sapi madura tipe II berkelompok dengan B. javanicus. Percampuran
pada asal nenek moyang sapi madura kemungkinan disebabkan karena kecilnya
tingkat keberhasilan persilangan antara B. javanicus dengan B. indicus. Kecilnya
tingkat keberhasilan persilangan kemungkinan disebabkan karena perbedaan

5

bentuk kromosom Y diantara keduanya. Bos indicus memiliki bentuk kromosom
akrosentris sedangkan B. javanicus memiliki bentuk kromosom metasentris.
Perbedaan bentuk kromosom mengakibatkan gangguan pada proses
spermatogenesis, sehingga terkadang F1 jantan yang dihasilkan keduanya bersifat

steril.
Persilangan antara banteng dan B. indicus diperkirakan terjadi sejak
masuknya kebudayaan hindu yang dibawa oleh bangsa india ke Indonesia. Awal
masuknya bangsa india ke Indonesia terjadi sekitar 1800 tahun yang lalu dengan
membawa sapi-sapi dari jenis B. indicus. Sapi-sapi jenis B. indicus ini kemudian
disilangkan dengan banteng yang masih banyak dijumpai sebelum penggundulan
hutan sekitar 150 tahun yang lalu di Pulau Madura.
Kata kunci: sapi madura, DNA mitokondria, filogenetik

6

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjuan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


7

ASAL USUL SAPI MADURA BERDASARKAN PENANDA
DNA MITOKONDRIA

NIRMALA FITRIA FIRDHAUSI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Bio Sains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

8


Judul
Nama
NRP

: Asal usul Sapi Madura Berdasarkan Penanda DNA Mitokondria
: Nirmala Fitria Firdhausi
: G352080111

Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Dr. Ir. RR. Dyah Perwitasari, M.Sc.

Anggota

Anggota

Ketua Program Studi

Biosains Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Bambang Suryobroto

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 9 Agustus 2010

Tanggal Lulus:

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.

9

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2009 ini ialah mengenai Asal

Usul Sapi Madura Berdasarkan Penanda DNA Mitokondria.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Farajallah,
M.Si dan Ibu Dr. Ir. Dyah Perwitasari, M.Sc selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan saran. Selain itu, penulis mengucapkan terikasih kepada
Loka Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan yang telah memberikan banyak
informasi dan bantuan. Ungkapan terimakasih tak lupa penulis ucapkan kepada
ayahanda, ibunda, suami, dan kakak atas segala doa, kasih sayang dan
dukungannya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu hingga terselesaikannya karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010

Nirmala Fitria Firdhausi

10

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 25 Juni 1985 dari ayah Suwodjo dan
ibu Maryamin Nisak. Penulis merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara.

Penulis menikah dengan saudara Bahtiar Yusuf Habibi pada tahun 2010.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lumajang dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk Universitas Jember melalui jalur SPMB. Penulis
memilih jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten untuk mata kuliah Biologi
Dasar pada semester ganjil tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, serta mata
kuliah Ekologi pada tahun 2007/2008. Pada tahun 2005 penulis menjadi
pemakalah pada Seminar Hasil Karya Inovatif dan Penelitian Mahasiswa Kombi
Jurusan Biologi. Penulis lulus dari program sarjana pada tahun 2008.
Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana di Institut
Pertanian Bogor. Penulis memilih mayor Biosains Hewan Departemen Biologi,
FMIPA IPB.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................

xi

DAFTAR TABEL .....................................................................................


xii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................
Tujuan Penelitian ..............................................................................
Manfaat Penelitian ............................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Domestikasi dan Persebaran Sapi..........................................
Persilangan (Hibridisasi) Sapi ...........................................................
Tipe-tipe Sapi di Indonesia ................................................................
DNA Mitokondria .............................................................................

3
4
5
8

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
Koleksi Darah ...................................................................................
Isolasi DNA Total .............................................................................
Amplifikasi mtDNA ..........................................................................
Perunutan DNA.................................................................................
Analisis Data .....................................................................................

10
10
10
11
12
12

HASIL
Produk Amplifikasi dan Perunutan ....................................................
Mutasi Nukleotida dan Analisis Filogeni Berdasarkan Ruas Cyt b .....
Mutasi Nukleotida dan Analisis Filogeni Berdasarkan Ruas Dloop....
Mutasi nukleotida pada Ruas tRNA...................................................

13
14
16
19

PEMBAHASAN
Produk Perunutan dan Mutasi Nukleotida ..........................................
Analisis Filogeni ...............................................................................

21
24

KESIMPULAN .........................................................................................

27

SARAN .....................................................................................................

27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

28

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi basa (%) untuk mesing-masing sampel sapi madura ..............

13

2 Jumlah basa sama dan basa berbeda pada keempat ruas mtDNA .............

14

3 Nilai jarak genetik (di bawah diagonal) dan nilai perbandingan kejadian
transisi dengan tranversi (di atas diagonal) berdasarkan ruas Cyt b ..........

15

4 Nilai jarak genetik (di bawah diagonal) dan nilai perbandingan kejadian
transisi dengan tranversi (di atas diagonal) berdasarkan ruas Dloop.........

18

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Penampilan sapi bali dan banteng di Taman Nasional Alas Purwo ..........

6

2 Morfologi sapi madura ............................................................................

7

3 Struktur mtDNA pada mamalia Ursus thibetanus (beruang hitam) ..........

9

4 Pola pita DNA mitokondria hasil amplifikasi dalam PAGE 6% dan
produk hasil perunutan ............................................................................

14

5 Hasil rekonstruksi pohon filogeni berdasarkan runutan basa dan asam
amino dari gen Cyt b menggunakan metode NJ dengan boostrap 1000x ..

15

6 Sebagian ruas berulang sepanjang 22 nt pada Dloop................................

17

7 Letak ruas berulang (tandem repeat) dan TAS (terminated associated
sequence) pada wilayah Dloop mitokondria sapi madura .........................

17

8 Hasil rekonstruksi pohon filogeni berdasarkan ruas Dloop dengan
menggunakan metode NJ boostrap 1000x ...............................................

19

9 Perbandingan runutan basa nukleotida tRNA Thr ....................................

20

10 Perbandingan runutan basa nukleotida tRNA Pro ..................................

20

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta Lokasi Pengambilan Sampel ............................................................

33

2 Hasil penjajaran DNA ruas Cyt b,tRNA Thr, tRNA Pro dan Dloop
genom mitokondria sapi Madura dengan data GenBank ..........................

34

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak sapi merupakan hewan hasil domestikasi yang memiliki peranan
penting bagi kehidupan manusia. Domestikasi sapi diperkirakan dimulai sejak
4000 hingga 5000 tahun yang lalu dari Bos prigimineus (MacHugh 1997; Mannen
et al. 1998). Sapi hasil domestikasi B. prigimineus ada dua jenis, yaitu Bos taurus
dan Bos indicus. Kedua keturunan jenis sapi tersebut berkembang hingga saat ini.
Jenis sapi lain yang berkembang sebagai hewan ternak adalah Bos javanicus. Bos
javanicus merupakan salah satu jenis sapi asli Indonesia yang berbeda dengan B.
taurus maupun B. indicus (Nijman et al. 2003; Uggla 2008).
Bos javanicus sebagai sapi asli Indonesia didomestikasi menjadi sapi bali
yang kemudian tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain sapi bali, beberapa
sapi lokal yang berkembang di Indonesia antara lain sapi aceh, sapi pesisir, dan
sapi madura. Sapi aceh dan sapi pesisir berasal dari keturunan B. indicus yang
tersebar di wilayah Provinsi Aceh dan Sumatera bagian barat. Sapi madura
memiliki persebaran yang terbatas di sekitar Pulau Madura dan Pulau Jawa bagian
timur. Asal domestikasi sapi madura hingga saat ini belum jelas (Williamson &
Payne 1965; Uggla 2008; Kusdiantoro 2009).
Sapi madura memiliki ciri-ciri morfologi yang hampir mirip dengan sapi
bali. Kulit sapi madura berwarna coklat kemerahan dengan sedikit motif warna
putih pada bagian pantat dan kaki. Beberapa karakter sapi madura memiliki
kemiripan dengan B. indicus, antara lain lebih tahan terhadap kondisi cuaca panas,
tahan terhadap kondisi makanan yang terbatas, memiliki kualitas daging yang
baik, dan lebih resisten terhadap parasit (Payne & Hodges 1997).
Proses persilangan sapi hingga diperoleh sapi madura selama ini tidak
tercatat dengan baik dan masih terdapat perbedaan pada beberapa data hasil
penelitian. Sapi madura diperkirakan berasal dari persilangan antara B. indicus
dengan B. javanicus (Wiliamson & Payne 1965). Ada pula yang menyatakan
bahwa sapi madura merupakan hasil persilangan antara pejantan B. indicus
dengan betina campuran B. javanicus atau B. taurus. Asumsi sapi madura berasal
dari B. taurus disebabkan karena beberapa jenis B. taurus juga memiliki warna
yang sama dengan sapi madura yaitu merah kecoklatan (Maksum 1993).

2

Penelitian kusdiantoro (2009) berdasarkan SRY menemukan beberapa sampel
sapi madura merupakan keturunan dari B. taurus.
Namikawa (1981) menduga bahwa terdapat percampuran pada sapi madura
berdasarkan adanya hemoglobin beta x (Hb-β X). Munculnya Hb-β

X

pada darah

sapi madura diperkirakan berasal dari B. javanicus. Hemoglobin β X tidak pernah
dilaporkan muncul pada B. indicus maupun B. taurus.
Penelusuran sejarah persilangan dan kekerabatan sapi madura dapat
dilakukan dengan menganalisis variasi genom mitokondria (mtDNA). Setiap
individu yang memiliki indukan yang sama akan memiliki tipe mtDNA yang
sama. Hal ini disebabkan mtDNA diturunkan melalui garis maternal. Kelebihan
lain dari mtDNA adalah bersifat haploid (single copy) dan tidak mengalami
rekombinasi (Tapio & Grigaliunaite 2002).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kejelasan asal usul sapi
madura berdasarkan garis keturunan maternal dengan menggunakan penanda
mtDNA Cyt b, tRNAThr, tRNA Pro, dan Dloop.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi genetik dan asal usul
sapi madura. Sehingga dapat digunakan untuk membantu strategi peningkatan
program pemuliaan dan konservasi sapi madura. Upaya konservasi sapi madura
masih diperlukan guna memperkaya aset plasma nutfah nasional.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Domestikasi dan Persebaran Sapi
Sapi domestik termasuk dalam ordo Artiodactyla (Ungulata) dan merupakan
salah satu famili dari Bovidae. Sapi domestik merupakan hewan yang paling
berkembang dan dominan dalam familinya. Kerabat mereka yang paling dekat
antara lain sapi liar (banteng, gaur dan kouprey), yak, bison Amerika dan Eropa,
dan Kerbau (Fries & Ruvinsky 1999; Matthee & Davis 2001). Proses domestikasi
berlangsung sejalan dengan mulai berkembangnya kebudayaan manusia. Sapi
didomestikasi untuk membantu kehidupan manusia baik digunakan sebagai bahan
pangan ataupun diambil tenaganya (Loftus et al. 1993).
Sapi domestik yang berkembang saat ini merupakan hasil domestikasi dari
B. prigimineus yang diperkirakan mulai didomestikasi sejak 5000 hingga 4000
tahun yang lalu (Mannen et al. 1998). Terdapat tiga sub spesies dari B.
prigimineus yang diperkirakan merupakan asal dari sapi domestik yaitu B.
prigimineus subsp prigimineus yang wilayah persebarannya di Eropa, B.
prigimineus subsp namadicus yang persebarannya di Asia dan B. prigimineus
subsp ophistonomous yang memiliki persebaran di wilayah Afrika bagian utara
(MacHugh et al. 1997). Bos prigimineus diperkirakan telah punah sejak 2000
tahun yang lalu (Bollongino 1997).
Sapi domestik hasil domestikasi B. prigimineus terbagi menjadi dua yaitu
sapi tanpa punuk (humpless) dan sapi yang berpunuk (humped). Sapi yang tidak
berpunuk tergolong dalam B. taurus. Sapi yang berpunuk disebut juga dengan
zebu (B. indicus). Fungsi punuk pada B. indicus belum diketahui secara pasti.
Dilihat dari komposisi penyusunnya yaitu otot dan lemak, diperkirakan punuk ini
berfungsi sebagai penyimpan air (McHugh 1997).
Keturunan kedua jenis sapi B. taurus dan B. indicus berkembang menjadi
hewan ternak hingga saat ini. Jenis sapi lain yang berkembang sebagai hewan
ternak adalah B. javanicus (banteng) yang memiliki sejarah domestikasi yang
berbeda dari B. taurus maupun B. indicus. Bos javanicus merupakan sapi asli
Indonesia yang saat ini didomestikasi menjadi sapi bali (Nijman et al. 2003).

4

Bos indicus sebagian besar tersebar di wilayah Asia bagian selatan dan
Afrika. Awal masuknya B. indicus ke wilayah Asia diperkirakan dibawa oleh
pengembara Verdic Aryan dari daerah Irak ke India sekitar 2200 SM hingga 1500
SM melalui jalur utara. Persebaran B. indicus kemudian berlanjut ke arah selatan
menuju Srilangka dan ke arah timur menuju ke Birma, Thailand, Vietnam, Laos,
Kamboja dan Malaysia (Wiliamson & Payne 1965). B. indicus diperkirakan
masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya kebudayaan Hindu (Payne &
Wilson 1999)
Persebaran B. taurus sebagian besar di wilayah Eropa dan Afrika Barat.
Awal masuknya B. taurus ke wilayah Asia dibawa oleh bangsa nomaden menuju
ke Asia Tengah kemudian ke arah selatan dan tenggara menuju ke India. Bos
taurus dibawa menuju ke arah timur yaitu Cina oleh pengembara Ural Altaic
sekitar 2500 SM. Persebaran B. taurus dilanjutkan menuju ke Birma, Thailand,
Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sapi-sapi tersebut kemudian diimpor ke wilayah
selatan yaitu Malaysia dan Indonesia (Wiliamson & Payne 1965; MacHugh
1997).
Persilangan (Hibridisasi) pada Sapi
Proses persilangan pada sapi dapat terjadi secara langsung (spontan)
ataupun diatur oleh manusia. Proses persilangan pada sapi dilakukan untuk
mendapatkan tipe-tipe baru yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan manusia.
Proses persilangan dilakukan dengan jalan mengawinkan beberapa tipe sapi yang
tidak memiliki hubungan keluarga. Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi
kesuksesan dari proses persilangan diantaranya adalah kompatibilitas kromosom
(Cassell 2007).
Proses persilangan umumnya membutuhkan jumlah kromosom yang sama.
Bos taurus, B. indicus dan B. javanicus memiliki jumlah kromosom yang sama
yaitu 2n=60, sehingga persilangan diantara ketiganya dapat menghasilkan
keturunan. Anggota bovinae lain yang memiliki jumlah kromosom 2n=60 adalah
yak (B. grunnies), Bison amerika (Bison bison), dan Bison eropa (Bison bonasus).
Persilangan antara anggota Bos dengan Bison masih bisa dilakukan meskipun
menghasilkan F1 jantan yang steril (Lenstra & Bradley 1999).

5

Persilangan antara B. taurus dan B. indicus banyak dilakukan untuk
mendapatkan tipe sapi baru yang unggul. Beberapa contoh hasil persilangan
antara B. indicus dan B. taurus adalah sapi batangas, burmese, brangus, dan
brahmousin. Persilangan antara B. javanicus dengan B. indicus sedikit mengalami
hambatan dan terkadang menghasilkan F1 jantan yang steril. Hal ini diperkirakan
karena adanya perbedaan bentuk kromosom Y. Perbedaan bentuk kromosom
mengakibatkan gangguan pada proses spermatogenesis (Rollinson 1984; Lightner
2008).
Kromosom X pada anggota Bos dan Bison memiliki bentuk yang sama yaitu
submetasentris. Hal ini yang menyebabkan betina hasil persilangan diantara Bos
maupaun antara Bos dengan Bison menghasilkan F1 betina yang fertil (Lightner
2008).
Tipe-tipe Sapi di Indonesia
Sapi domestik di Indonesia sebagian besar berasal dari B. indicus. Tidak ada
data khusus yang menunjukkan awal masuknya B. indicus ke Indonesia. Bos
indicus diperkirakan masuk bersamaan dengan masuknya kebudayaan Hindu
sekitar 1500 tahun yang lalu (Payne & Wilson 1999)
Sapi lokal indonesia yang termasuk dalam keturunan B. indicus antara lain
sapi aceh dan sapi pesisir (Uggla 2008; Kusdiantoro et al. 2009). Selain itu
terdapat pula sapi bali dan sapi madura yang merupakan keturunan B. javanicus.
Sapi-sapi lokal tersebut banyak berfungsi sebagai ternak potong dan ternak
pekerja (Rouse 1972; Nijman 2003).
Sapi bali merupakan sapi domestik yang memiliki sejarah domestikasi yang
berbeda dengan sapi-sapi yang lain. Sapi bali didomestikasi langsung dari banteng
liar (B. javanicus). Domestikasi banteng telah dimulai sejak 3500 tahun yang lalu
(Nijman et al. 2003; Kusdiantoro et al. 2009). Sapi bali dipertahankan keasliannya
di Pulau Bali. Persebaran sapi bali sangat luas dibandingkan dengan jenis sapi
lokal lainnya. Sapi bali tersebar diseluruh wilayah Indonesia, terutama Jawa,
Sulawesi, Lombok, dan Pulau Timor (Vietmeyer 1983).
Karakter fisik dari sapi bali antara lain warna kulit coklat kemerahan pada
betina, sedangkan pada jantan terkadang berwarna hitam hingga kemerahan. Pada
kaki belakang hingga ke pinggang dan perut, dan pada bagian kaki dekat kuku

6

hingga ke lutut terdapat area berwarna putih. Pada telinga dan moncongnya
tumbuh rambut berwarna putih (Rollinson 1984; Payne & Hodges 1997).

Gambar 1 Penampilan sapi bali (atas) (Handiwirawan et al. 2003) dan B.
javanicus di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur (bawah).
Sapi pesisir merupakan keturunan dari B. indicus yang tersebar di wilayah
Sumatera bagian selatan. Sapi pesisir memiliki ciri-ciri morfologi bertubuh kecil,
warna badan coklat tua kehitaman, memiliki punuk, tanduk, dan gelambir. Sapi
pesisir sudah menempati wilayah Kabupaten Painan (Pesisir Selatan) Padang
sebelum tahun 1810 dan sudah beradaptasi dengan lingkungan lahan semak dan
pesisir. Sapi lokal keturunan B. indicus lain yang terdapat di wilayah Sumatera
adalah sapi aceh. Sapi aceh memiliki persebaran terbatas hanya di wilayah
Provinsi Aceh dan sekitarnya (Aryogi et al. 2007).
Sapi madura merupakan salah satu bangsa sapi lokal Indonesia yang telah
terseleksi secara alamiah dan dipertahankan keasliannya di Pulau Madura. Ciriciri morfologi sapi madura antara lain memiliki tanduk yang lebih kecil daripada
sapi bali. Jantan dan betina memiliki warna yang sama yaitu coklat kemerahan.
Hampir sama dengan sapi bali, pada sapi madura juga memiliki wilayah berwarna
putih pada pantat dan agak putih pada bagian lutut hingga kuku. Pada sapi madura

7

warna putih ini tidak nampak terlalu jelas dibandingkan dengan sapi bali. Pada
jantan tubuh bagian depan lebih teguh daripada tubuh bagian belakang. Memiliki
berat sekitar 350 kg dengan tinggi sekitar 118 cm (Rouse 1972).
Sapi madura memiliki persebaran terbatas di Pulau Madura, beberapa pulau
kecil disekitar Pulau Madura, dan Jawa Timur. Pulau Madura merupakan salah
satu pulau kecil di sebelah utara Jawa Timur yang memiliki luas sekitar 4497 km2.
Di Pulau Madura tidak terdapat padang rumput ataupun makanan ternak yang
mencukupi, akan tetapi di wilayah tersebut terdapat kurang lebih 600000-700000
ekor sapi madura. Sapi-sapi madura tersebut beradaptasi dengan kondisi
lingkungan yang sangat minim makanan dan kondisi lingkungan yang panas dan
kering. Mereka mampu bertahan hidup walaupun peternak-peternak hanya
memberikan makan daun-daun kering. Kondisi ini menyebabkan sapi madura
hanya menghasilkan sedikit susu untuk anak sapi mereka dan berkembang sangat
lambat (Maksum 1993; Payne & Hodges 1997).

Gambar 2 Penampilan sapi madura.

8

Mutu sapi lokal yang ada di Indonesia masih dibawah standar. Keberadaan
sapi-sapi lokal dinilai kurang memenuhi kebutuhan daging ataupun susu. Hal ini
menyebabkan pemerintah mengimpor sapi-sapi jenis lain dari luar wilayah
Indonesia. Sapi domestik impor yang dikembangkan di Indonesia berasal dari
keturunan B. indicus, B. taurus atau persilangan keduanya. Beberapa jenis sapi
impor tersebut adalah sapi ongole, peranakan ongole, brahman, simental, brangus,
limousin, santa getrudis, red danis dan lain-lain (Aryogi et al. 2007).
DNA Mitokondria
Analisis genetika molekular telah diaplikasikan dalam penelitian hewan
domestikasi sejak mulai digunakannya penanda Allozyme pada tahun 1960
sampai 1970. Penelitian dengan menggunakan runutan DNA dapat digunakan
untuk membantu memahami proses kejadian dalam domestikasi. Hal yang dapat
diamati dengan menggunakan metode analisis DNA antara lain proses evolusi,
keragaman genetik dan persebaran hasil domestikasi (Astuti 2004). Berbagai
macam penanda bisa digunakan untuk memahami proses tersebut, antara lain
DNA mitokondria, DNA inti, dan juga kromosom Y (Bradley 1996).
Analisis genetik secara molekuler dapat dilakukan dengan lebih cepat dan
akurat dengan berkembangnya tekhnologi DNA. Hal ini disebabkan karena DNA
sebagai unit keturunan terkecil mempunyai sekuen yang spesifik untuk setiap
spesies pada satu atau beberapa lokasi didalam kromosom. Sekuen DNA tertentu
hanya dapat ditemukan pada spesies tertentu. DNA pada organisme tingkat tinggi
terdapat didalam inti sel dan mitokondria (Tapio & Grigaliunaite 2003).
DNA mitokondria memiliki molekul tersendiri dengan ukuran kecil yang
susunannya berbeda dengan DNA inti. DNA mitokondria merupakan DNA utas
ganda yang pada umumnya berbentuk sirkuler mempunyai ukuran sekitar 16.00018.000 pasang basa. DNA mitokondria terdiri DNA utas berat (heavy strand) dan
DNA utas ringan (light strand). Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria
dibagi menjadi 2 bagian yaitu daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan
penyandi (non coding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen yaitu 13 gen
penyandi protein, 2 gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA (Gambar 3)
(Lemire 2005).

9

Gambar 3 Struktur mtDNA pada mamalia Ursus thibetanus (beruang hitam)
(Hou et al. 2006)
Bagian-bagian dari genom mitokondria memiliki laju evolusi yang berbedabeda, sehingga menjadi faktor penting yang menentukan penggunaan penanda
DNA dalam studi sistematika dan biogeografi. Gen yang berevolusi lambat dapat
dijadikan dasar penelusuran evolusi atau filogeni antar spesies. Sedangkan gen
yang evolusi cepat digunakan untuk perbandingan galur-galur baru (Roderick
1996).
Penelitian mengenai kekerabatan (filogeni) dan filogeografi dapat
dilakukan dengan menganalisa mtDNA. Dimana mtDNA digunakan sebagai
penanda untuk penelusuran pewarisan secara maternal. Kelebihan mtDNA antara
lain bersifat haploid, tidak ada rekombinasi, dan memiliki jumlah copi yang
banyak (Tapio & Grigaliunaite 2002).

10

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2009
bertempat di Laboratorium Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan
Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Koleksi Darah
Sampel darah sapi madura yang digunakan adalah sampel darah yang
diawetkan dalam alkohol absolut koleksi Laboratorium Fungsi Hayati dan
Perilaku Hewan Departemen Biologi FMIPA IPB. Sampel darah yang digunakan
berasal dari desa Polagan (sampel no.14), Tadan Tengah (sampel no. 13), desa
Golbung (sampel no. 26, 29 ,30, dan 32), Paterongan (sampel no. 3 dan 7) dan
desa Komis (sampel no. 38, 40, dan 41) yang berada di wilayah Kabupaten
Sampang, desa Anjun (sampel no 43 dan 49), Serabi Timur (sampel no. 51 dan
52) dan Patereman (sampel no. 54) yang berada di Kabupaten Bangkalan, Pulau
Madura (Lampiran 1).
Isolasi DNA Total
Sampel diekstraksi secara manual dengan menggunakan metode Sambrook
et al. (1989) dengan sedikit modifikasi. Sampel darah diambil 300 µl dimasukkan
kedalam tube 1.5 ml. Sel-sel darah dibersihkan dari alkohol dengan menambahkan
destilate water (DW) steril 1 ml. Sampel darah kemudian divorteks dan
disentrifugasi 5000 rpm selama 10 menit. Proses pencucian dilakukan sebanyak
dua kali. Selanjutnya sel-sel darah disuspensikan dalam buffer lisis STE (NaCl
1M, Tris HCL 10-1 M, EDTA 10-2 M, pH 8.0) sampai volume 300 µl. Sel-sel
darah kemudian dilisis dengan menggunakan Protease K 0,05 mg/ml dan Sodium
Dodesil Sulfat 1% sebanyak 40 µl. Sampel darah yang dilisiskan diinkubasi pada
suhu 55ºC selama 2 jam sambil diputar pelan dengan mesin tilting. Molekul DNA
dipisahkan dari bahan organik lain dengan menggunakan metode fenol-klorofomisoamil

alkohol.

Sel-sel

darah yang

telah dilisis

ditambahkan

CIAA

(Clorofom:Isoamilalkohol = 24:1) 400 µl, NaCl 5M 40 µl dan fenol 400 µ l
kemudian dikocok perlahan dengan tilting. Sampel kemudiaan disentrifuse 10000

11

rpm selama 10 menit. Bagian atas sampel yang berwarna bening diambil dan
dipindahkan dalam tube 1.5 ml. Molekul-molekul DNA yang mengendap dicuci
menggunakan alkohol 70% sebanyak 800 µl kemudian disentrifugasi 10000
selama 10 menit. Proses pencucian menggunakan alkohol dilakukan sebanyak dua
kali. Alkohol yang tersisa diuapkan dalam wadah vakum. Molekul-molekul DNA
disuspensikan dalam bufer TE (Tris-HCl 10-1 M EDTA 10-2 M pH 8.0) 60µl dan
disimpan dalam freezer hingga dikerjakan lebih lanjut.
Amplifikasi mtDNA
Amplifikasi genom mitokondria menggunakan pasangan primer koleksi Dr
Ir Achmad Farajallah, M.Si, yaitu AF22

(forward) 5’GCGTACGCAAT

CTTACGATCA-3’ dan AF23 (reverse) 5’ ATGCAGTTAAGTCCAGCTAC-3’.
Primer AF22 menempel pada basa ke 14979 dan primer AF23 menempel pada
basa ke 16098 B. indicus (no akses AF492350). Ukuran mtDNA yang diharapkan
dari proses amplifikasi ini adalah sebesar 1120 bp. Pasangan primer AF22 dan
AF23 mengapit ruas tengah hingga akhir Cyt b, tRNA Pro, tRNA Thr dan juga
bagian awal hingga tengah Dloop. Proses amplifikasi dilakukan secara in vitro
menggunakan tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction).
Komposisi 25µl reaksi PCR adalah sampel DNA 2 µl (10-100 ng), RBC
Bioscience taq polymerase 1,25 unit beserta sistem bufernya, dNTP 10 nmol
sebanyak 1 µL, MgCl2 2µl, primer AF22 dan AF23 masing-masing sebanyak 1µ l,
dan DW steril. Seluruh bahan dicampur menjadi satu ke dalam tube PCR
kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 30 detik. Bahan yang telah disentrifuse
dimasukkan kedalam mesin Thermal Cycler TAKARA MP4 untuk dilanjutkan
proses amplifikasi.
Kondisi PCR yang digunakan untuk proses amplifikasi mtDNA adalah
tahap denturasi awal pada suhu 940C selama 3 menit, tahap denaturasi pada suhu
940C selama 45 detik, tahap penempelan primer (annealing) pada suhu 580C
selama 30 detik, dan tahap polimerasi (extension) pada suhu 720C selama 1 menit
yang diulang selama 30 siklus. Reaksi PCR diakhiri dengan polimerasi (final
extension) pada suhu 720C selama 5 menit.
Visualisasi produk PCR dilakukan menggunakan tehnik elektroferesis gel
poliakrilamid (PAGE) 6% dalam bufer 1xTBE (Tris-HCl 10 mM, asam borat 1 M,

12

EDTA 0.1 mM). Elektroforesis dijalankan pada kondisi 200 mV selama 50 menit.
Proses dilanjutkan dengan pewarnaan sensitif perak (Tegelstrom 1986) dengan
sedikit modifikasi.
Perunutan DNA
Produk amplifikasi yang menunjukkan pita tunggal kemudian dimurnikan
dan dijadikan cetakan dalam reaksi PCR untuk perunutan nukleotida. Primer yang
digunakan dalam proses PCR sama dengan primer yang digunakan untuk
amplifikasi. Reaksi PCR dilakukan dengan menggunakan metode Dideoxi
Terminator dengan dNTP berlabel (big dye terminator). Perunutan nukleotida
menggunakan mesin ABI Prism 3700-Avant Genetic Analyzer.
Analisis Data
Runutan nukleotida yang diperoleh kemudian diedit dengan menggunakan
program bioedit versi 7.0.5. Urutan DNA yang telah diedit disejajarkan
menggunakan Clustal W Vs 1.8 yang masuk dalam program MEGA 4.0 (Tamura
et al. 2007) dengan beberapa urutan DNA dari kelompok Bovidae yang
dipublikasikan dalam GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov). Data yang diambil
sebagai pembanding yaitu B. javanicus 1 no. akses FJ556566, B. javanicus 2 no.
akses EU878389, B. javanicus 3 no. akses EF693809, B. taurus 1 no. akses
EU177815, B. taurus 2 (Friesian Holstein) no. akses DQ124416, B. taurus 3 (Beef
Cattle) no. akses DQ124402, B. indicus no. akses AF492350, dan Bubalus
bubalus no. akses AY702618.
Analisis yang dilakukan meliputi penghitungan komposisi nukleotida, laju
subtitusi, jarak genetik berdasarkan ruas Cyt b dan Dloop. Proses analisis
dilakukan menggunakan program MEGA versi 4.0 (Kumar et al. 2007).
Perhitungan nilai jarak genetik dilakukan berdasarkan model subtitusi Kimura-2parameter (K2P). Rekonstruksi pohon filogeni berdasarkan ruas Cyt b dan Dloop
dilakukan berdasarkan semua nukleotida yang bersifat parsimoni. Rekonstruksi
ketiganya dilakukan menggunakan metode Neighbour Joining (NJ) dengan
boostrap 1000 kali.

13

HASIL
Produk Amplifikasi dan Perunutan
Pada sampel yang teramplifikasi dihasilkan pita tunggal berukuran sekitar
1400-1500 bp. Sampel yang berhasil dirunutkan adalah beberapa sampel dari
Kabupaten Sampang (Gambar 4a). Hasil runutan nukleotida sampel sapi madura
terbagi menjadi 203 bp gen Cyt b, 70 bp gen tRNA Thr, 66 bp tRNA Pro. Pada
daerah Dloop terdapat hasil yang bervariasi yaitu 577 bp untuk sampel madura 14
dan 26, 578 bp untuk madura 38, 755 bp untuk sampel madura 41 dan 29, 624 bp
untuk sampel 32 (Gambar 4b).
Pada proses penjajaran dengan spesies pembanding, ruas Dloop yang
digunakan adalah sepanjang 373 bp untuk sampel sapi madura 14 dan 26, 374 bp
untuk madura 38, 534 bp untuk sampel 41 dan 29, 405 bp untuk sampel 32. Hal
ini disebabkan karena spesies pembanding yang digunakan yaitu B. javanicus
(AF693809) hanya memiliki panjang 552 bp.
Rata-rata komposisi basa pada sampel sapi madura terdiri atas 26.7% basa
T, 23.8% basa C, 36.3% basa A dan 13.1% basa G. Komposisi basa terbanyak
pada sampel sapi madura adalah A dan T yaitu sebesar 63.05% sedangkan G dan
C sebesar 36.95% (Tabel 1).
Runutan basa dari keempat ruas terbagi menjadi basa yang sama (conserve)
dan basa berbeda (variable). Basa yang berbeda terdiri dari dua jenis yaitu basa
parsimoni dan basa tunggal (singleton) (Tabel 2). Basa yang bersifat parsimoni
selanjutnya digunakan dalam analisis filogeni.
Tabel 1 Komposisi basa (%) untuk masing-masing sampel sapi madura
Sampel Sapi
Madura 14
Madura 26
Madura 29
Madura 32
Madura 38
Madura 41

% Basa
T
25.9
25.9
27.7
27.5
25.9
27.6

C
25.2
25.3
22.3
22.4
25.2
22.4

A
35.3
35.2
37.4
37.3
35.3
37.3

G
13.6
13.6
12.6
12.8
13.6
12.7

14

M

14

26

29

32

38

41

1000 bp

500 bp
(a)
AF2

AF2

tRNA Thr
70 bp

Cyt b
203 bp

tRNA Pro
66 bp

Dloop
577-755 bp

(b)
Gambar 4 (a) Pola pita DNA mitokondria hasil amplifikasi dalam PAGE 6%.
Sampel berurutan adalah marker DNA 100 bp (M), Madura 14,
Madura 26, Madura 29, Madura 32, Madura 38, dan Madura 41. (b)
Produk hasil perunutan
Tabel 2 Jumlah basa sama dan basa berbeda pada keempat ruas mtDNA
Basa berbeda
Parsimoni
Tunggal

Fragmen

Basa sama

Cyt b

161

29

13

tRNA Thr
tRNA Pro
Dloop

61
53
406

4
2
83

5
11
53

Mutasi Nukleotida dan Analisis Filogeni Berdasarkan Ruas Cyt B
Pohon filogeni dengan menggunakan urutan basa maupun asam amino Cyt
b menunjukkan topologi yang sama. Sapi madura terbagi menjadi dua kelompok.
Sapi madura tipe I berkelompok dalam satu cabang dengan B. indicus dengan nilai
boostrap 98% untuk pohon filogeni berdasarkan asam amino (Gambar 5a) dan
96% untuk pohon filogeni berdasarkan urutan basa (Gambar 5b). Sapi madura tipe
I dan B. indicus memiliki urutan nukleotida yang sama pada ruas Cyt b. Sapi
madura tipe II berkelompok dengan B. javanicus dengan nilai boostrap 63% untuk
pohon filogeni berdasarkan asam amino (Gambar 5a) dan 70% untuk pohon

15

filogeni berdasarkan urutan nukleotida (Gambar 5b). Pengelompokan antara sapi
madura tipe II dengan B. javanicus didukung dengan nilai jarak genetik sebesar
0.062 berdasarkan model Kimura 2 Parameter (Tabel 3).
Kecilnya nilai jarak genetik menunjukkan tingkat kekerabatan yang dekat
antara sapi madura tipe I dengan B. indicus dan sapi madura tipe II dengan B.
javanicus. Kedua kelompok sapi madura ini dibedakan oleh 18 titik mutasi. Jarak
genetik terbesar ditemukan antara Bubalus bubalus dengan B. indicus dan sapi
madura tipe I yaitu 0.172. Jarak terbesar diantara anggota Bos ditemukan antara B.
taurus 1, B. taurus BC, dan B. taurus FH dengan sapi madura 29 sebesar 0.133
berdasarkan model Kimura 2 Parameter (Tabel 3).
Tabel 3 Nilai jarak genetik (di bawah diagonal) dan nilai perbandingan kejadian
transisi dengan tranversi (di atas diagonal) berdasarkan ruas Cyt b dengan
menggunakan metode Kimura 2 Parameter (K2P).
1
1

2

3

4

5

24/3

27/3

24/3

24/3

7/0

0/0

0/0

7/0

7/0
0/0

6

7

8

9

10

11

27/0

27/0

27/3

27/3

27/3

25/3

25/3

24/3

16/3

16/3

7/0

7/0

7/0

21/1

21/2

22/2

11/3

11/3

0/0

0/0

0/0

16/2

16/2

17/2

16/3

16/3

7/0

7/0

7/0

21/2

21/2

22/2

16/3

16/3

7/0

7/0

7/0

21/2

21/2

22/2

0/0

11/3

11/3

11/3

9/3

9/3

10/3

11/3

11/3

11/3

9/3

9/3

10/3

0/0

0/0

16/2

16/2

17/2

0/0

16/2

16/2

17/2

16/2

16/2

17/2

0/0

1/0

2

0.152

3

0.172

0.036

4

0.152

0.000

0.036

5

0.152

0.000

0.036

0.000

6

0.155

0.102

0.073

0.012

0.102

7

0.155

0.102

0.073

0.102

0.102

0.000

8

0.172

0.036

0.000

0.036

0.036

0.073

0.073

9

0.172

0.036

0.000

0.036

0.036

0.073

0.073

10

0.172

0.036

0.000

0.036

0.036

0.073

0.073

0.000

0.000

11

0.159

0.127

0.097

0.127

0.127

0.062

0.062

0.097

0.097

0.097

12

0.159

0.127

0.097

0.127

0.127

0.062

0.062

0.097

0.097

0.097

0.000

13

0.152

0.133

0.103

0.133

0.133

0.068

0.068

0.103

0.103

0.103

0.005

0.000

12

13

1/0
0.005

Keterangan: (1) Bubalus bubalus, (2) B. taurus 1, (3) B. indicus, (4) B. taurus BC, (5) B.
taurus FH, (6) B. javanicus 1, (7) B. javanicus 2, (8) Madura 14, (9) Madura 26, (10)
Madura 38, (11) Madura 32, (12) Madura 41, (13) Madura 29.

16
B

A

Madura_26
Madura_14
Madura_38
Bos indicus

96

60

Bos taurus1
Bos taurus BC
Bos taurus FH

89

Bos javanicus1
Bos javanicus2
Madura_29
Madura_41
Madura_32

Tipe I

97

70
99

Tipe II

Bubalus bubalus
0,05

Gambar 5 Hasil rekonstruksi pohon filogeni berdasarkan runutan nukleotida (A)
dan asam amino (B) dari gen Cyt b menggunakan metode NJ dengan
boostrap 1000x.
Mutasi Nukleotida dan Analisis Filogeni Berdasarkan Ruas Dloop
Ruas Dloop sampel sapi madura memiliki panjang yang bervariasi. Variasi
disebabkan adanya proses delesi dan insersi. Pada sapi madura tipe II ditemukan
basa sepanjang 22 nt yang mengalami pengulangan secara beruntun (tandem
repeat).

Motif

berulang

yang

muncul

adalah

GTACATAATATTA

ATGTAATAA. Pada genus Bos ruas berulang selalu diawali dengan motif
GTAAT.
Berdasarkan data hasil penjajaran, ruas berulang ditemukan pada semua
spesies yang disejajarkan. Pada B. indicus, sapi madura tipe I, B. taurus dan
Bubalus bubalus ruas berulang hanya berulang satu kali. Ruas berulang pada
sampel B. javanicus, sapi madura 41, sapi madura 29, berulang sebanyak sembilan
kali dan pada sampel sapi madura 32 berulang tiga kali (Gambar 6 dan Lampiran
2).
Pada Bubalus bubalus terdapat mutasi pada motif GTACATAATATTA
ATGAATAA dimana terjadi perubahan basa T menjadi basa G pada basa
pertama (basa no. 15543 pada Gambar 6). Mutasi juga muncul pada basa ke
sembilan pada motif ruas berulang dimana pada B. indicus dan B. taurus terjadi
perubahan basa T menjadi C (basa no. 15549 pada Gambar 6).

17

1111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111
5555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555
5555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555
1122222222223333333333444444444455555555556666666666777777777788888
8901234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901234
B.javanicus3
Madura 29
Madura 41
Madura 32
B. Taurus
B. indicus
Madura 14
Madura 26
Madura 38
Bub bubalus

GATAA-------------------GTACATAATATTAATGTAATAAGTACATAATATTAATGTAATAA
GATAA-------------------GTACATAATATTAATGTAATAAGTACATAATATTAATGTAATAA
GATAA-------------------GTACATAATATTAATGTAATAAGTACATAATATTAATGTAATAA
GATAA-------------------GTACATAATATTAATGTAATAAGTACATAATATTAATGTAATAA
-CCTA------CGCAAGGGGTAATGTACATAACATTAATGTAATAA----------------------CCCA------GGCAAGAGGTAATGTACATAACATTAATGTAATAA----------------------CCCA------GGCAAGAGGTAATGTACATAACATTAATGTAATAA----------------------CCCA------GGCAAGAGGTAATGTACATAACATTAATGTAATAA---------------------CCCCA------GGCAAGAGGTAATGTACATAACATTAATGTAATAA---------------------CCCTACTACTCCGAATGGGGGGGGGGACATAACATTAATGTAATAA----------------------

Ruas berulang

Gambar 6 Bagian yang berwarna abu-abu merupakan sebagian ruas berulang
sepanjang 22 nt. Keterangan: tiga baris pertama menunjukkan nomor
posisi nukleotida dibaca secara vertikal, referensi dari B. indicus
(AF492350).
Ruas berulang pada sapi madura tipe II terletak di dekat tRNA Pro tepatnya
pada basa ke-190 sebelum ruas Terminated Associated Sequence (TAS) (Gambar
7).

Ruas

TAS

pada

sapi

TACATTACATTAC pada

madura

tipe

sampel sapi

II

terdeteksi dengan

madura II

dan B.

urutan

javanicus,

TACATTAAATTAT pada sapi madura tipe I, B. indicus dan B. taurus, dan
TACATTATATTAT pada Bubalus bubalus. Primer AF 23 yang digunakan hanya
dapat mengamplifikasi ruas awal sampai tengah Dloop sehingga ruas Conserve
Sequence Block (CSB) sebagai pengatur replikasi untuk utas berat (heavy strand)
tidak dapat terdeteksi.

Gambar 7 Letak ruas berulang (tandem repeat) dan TAS (terminated associated
sequence) pada wilayah Dloop mitokondria sapi madura. Gambar
berdasarkan Matson & Baker (2001).

18

Pada ruas Dloop nilai jarak genetik terkecil berdasarkan model Kimura 2
Parameter ditemukan antara Bos javanicus dengan Madura 41 dengan nilai
sebesar 0.000. Bubalus bubalus dengan Bos taurus (Friesian Holstein) memiliki
nilai jarak genetik paling besar yaitu sebesar 0.293, dengan nilai perbandingan
kejadian transisi dan tranversi sebesar 56/33 (Tabel 4). Kejadian subtitusi baik
transisi maupun tranversi pada ruas Dloop lebih sering terjadi daripada ruas Cyt b
ataupun tRNA. Hal ini menunjukkan bahwa ruas Dloop merupakan ruas yang
memiliki laju mutasi yang lebih tinggi.
Topologi filogeni berdasarkan ruas Dloop sama dengan topologi
berdasarkan ruas Cyt b, yaitu terjadi dua pengelompokan sapi madura. Sapi
madura tipe I berkelompok dengan B. indicus dengan boostrap 91% dan sapi
madura tipe II dengan B. javanicus dengan boostrap 96% (Gambar 8).
Berdasarkan runutan nukleotida, dua kelompok sapi madura dapat
dibedakan dengan munculnya insersi/delesi sepanjang 17 basa (basa ke 1543015446) pada awal ruas Dloop. Insersi/delesi tersebut hanya ditemukan pada sapi
madura tipe II dan B. javanicus. Insersi/delesi yang membedakan dua kelompok
sapi madura juga ditemukan pada basa ke 15486-15489, 15529-15541, 15809 dan
15881-15887 (Lampiran 2)
Tabel 4 Nilai jarak genetik (di bawah diagonal) dan nilai perbandingan kejadian
transisi dengan tranversi (di atas diagonal) berdasarkan ruas Dloop
dengan menggunakan metode Kimura 2 Parameter (K2P).
1
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

55/33

56/33

55/33

48/34

49/34

49/34

50/34

62/41

62/41

62/41

59/40

1/0

2/0

25/1

24/1

23/1

24/1

51/24

51/24

48/24

49/23

1/0

24/1

23/1

22/1

23/1

50/24

50/24

47/24

48/23

23/1

22/1

21/1

22/1

49/24

49/24

46/24

47/23

3/0

4/0

3/0

42/25

42/25

39/25

40/24

1/0

0/0

41/25

41/25

38/25

39/24

1/0

41/25

41/25

38/25

39/24

41/26

41/26

38/26

39/25

0/0

5/0

1/0

2

0.290

3

0.297

0.004

4

0.290

0.008

0.004

5

0.262

0.091

0.086

0.081

6

0.269

0.086

0.081

0.076

0.013

7

0.269

0.086

0.081

0.076

0.013

0.000

8

0.269

0.086

0.081

0.076

0.013

0.000

0.000

9

0.275

0.260

0.253

0.247

0.227

0.221

0.221

0.221

10

0.275

0.260

0.253

0.247

0.227

0.221

0.221

0.221

0.000

11

0.282

0.247

0.240

0.234

0.215

0.209

0.209

0.209

0.017

0.017

5/0

12

0.269

0.253

0.247

0.240

0.221

0.215

0.215

0.215

0.004

0.004

1/0
4/0

0.013

Keterangan: (1) Bubalus bubalus, (2) B. taurus 1, (3) B. taurus FH, (4) B. taurus BC, (5)
B.indicus, (6) Madura 14, (7) Madura 26, (8) Madura 38 (9) B. javanicus 3, (10) Madura 41, (11)
Madura 29, (12) Madura 32.

19

Madura_26
77
73

Madura_38
Madura_14
Bos indicus

91

Bos taurus BC
90
65

Bos taurus 1
Bos taurus FH

Madura_29
Madura_ 32

96
81

72

Bos javanicus 3
Madura_41
Bubalus bubalus

0.1

Gambar 8 Hasil rekonstruksi pohon filogeni berdasarkan ruas Dloop dengan
menggunakan metode NJ dengan boostrap 1000x.

Mutasi pada Ruas tRNA
Ruas tRNA Thr terbagi menjadi empat belas wilayah sesuai dengan
urutannya pada saat melipat membentuk struktur daun semanggi (clover leaf)
seperti yang terlihat pada gambar 9. Urutan basa pada ruas tRNA Thr relatif stabil
pada spesies berdekatan. Mutasi hanya ditemukan di beberapa titik antara lain
pada wilayah Batang D (D stem) dimana terjadi perubahan basa C pada B.
javanicus dan keturunannya (sapi madura tipe I) menjadi basa T pada B. taurus,
B. indicus dan keturunannya (sapi madura tipe II). Pemisahan antara B. javanicus
dan keturunannya dengan B. taurus, B. indicus dan keturunannya juga terlihat
pada mutasi yang terjadi pada wilayah daerah beragam (variable region) yaitu
basa A menjadi G dan pada wilayah Gelung T (T loop) dimana basa TC berubah
menjadi CT (Gambar 9). Seluruh kejadian mutasi yang terjadi pada wilayah tRNA
Pro adalah transisi, dimana perubahan terjadi hanya pada basa purin dengan purin
atau pirimidin dengan pirimidin.
Struktur sekunder dari tRNA Pro juga sama dengan tRNA Thr, dimana
membagi ruas tRNA Pro menjadi empat belas wilayah. Sedikit berbeda dengan
tRNA Thr, Urutan basa nukleotida pada tRNA Pro terlihat lebih stabil. Hal ini
dapat dibuktikan dengan hanya ditemukan dua mutasi basa. Mutasi pertama

20

ditemukan pada wilayah Gelung T (T loop) dimana basa T berubah menjadi basa
C hanya pada B. taurus. Mutasi kedua ditemukan pada wilayah batang antikodon
(anticodon stem) dimana B. taurus, B. javanicus dengan keturunanya terpisahkan
dari B. indicus dan keturunannya dengan adanya perubahan basa A menjadi basa
G (Gambar 10).
1111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111
5555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555
2222222333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333
9999999000000000011111111112222222222333333333344444444445555555555666
3456789012345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012
Bjavanicus3
Madura 29
Madura 41
Madura 32
B.taurus
B.indicus
Madura14
Madura26
Madura38

GTCTTTGTAGTACATCTAATACACTGGTCTTGTAAACCAGAAAAGGAGAACAATCAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATACACTGGTCTTGTAAACCAGAAAAGGAGAACAATCAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATACACTGGTCTTGTAAACCAGAAAAGGAGAACAATCAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATACACTGGTCTTGTAAACCAGAAAAGGAGAACAATCAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATATACTGGTCTTGTAAACCAGAGAAGGAGAACAACTAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATATACTGGTCTTGTAAACCAGAGAAGGAGAACAACTAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATATACTGGTCTTGTAAACCAGAGAAGGAGAACAACTAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATATACTGGTCTTGTAAACCAGAGAAGGAGAACAACTAACCTCCCTAAGACT
GTCTTTGTAGTACATCTAATATACTGGTCTTGTAAACCAGAGAAGGAGAACAACTAACCTCCCTAAGACT

a

b

c

d

e f

g

h

i

j

l

k

m

n

Keterangan: a. Batang asam amino (acceptor stem), b. Penghubung 1 (connector 1), c. Batang D
(D stem), d. Gelung D (D loop), e. Batang D (D stem), f. Penghubung 2 (connector 2), g. Batang
anti kodon (anticodon stem), h. Gelung anti kodon, i. Batang anti kodon, j. Daerah beragam
(variable region), k. Batang T (T stem), l. Gelung T (T loop), m. Batang T (T stem), n. Batang
asam amino (Acceptor stem) (Wakita et al 1994; Helm et al 2000). Bagian yang berwarna abu-abu
adalah basa yang mengalami mutasi.

Gambar 9 Perbandingan runutan basa nukleotida tRNA Thr pada genus Bos.
111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111
555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555
333333333333333333333333333333333333344444444444444444444444444444
666666677777777778888888888999999999900000000001111111111222222222
345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012345678
B.