Tinjauan Terhadap Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Positif

Sementara itu untuk kewenangan pemberian suaka di Indonesia di atur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yaitu: Pasal 25 “kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan p residen dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”. Pasal 26 “ Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek internasional”. Pasal 27 “Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri” ayat ini menjelaskan pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi adalah masalah kemanusiaan, sehingga penanganannya dilakukan dengan sejauh mungkin menghindarkan terganggunya hubungan baik antara Indonesia dan negara asal pengungsi itu. Indonesia memberikan kerja samanya kepada badan yang berwenang dalam upaya mencari penyelesaian masalah pengungsi itu. 43 Dalam hukum internasional, hak negara secara umum untuk memberikan suaka di dalam perwakilan asing tidak diakui. Suaka dapat berikan di gedung perwakilan asing dalam tiga hal yang luar biasa: i Suaka dapat diberikan, untuk jangka waktu sementara, kepada orang perorangan yang memang secara fisik dalam bahaya karena adanya 43 Undang-undang No. 37 tahun 1999 dan penjelasannya. kekerasan masal atau dalam hal seorang buronan yang dalam bahaya karena melakukan kegiatan politik terhadap negara setempat; ii Suaka dapat juga diberikan dimana di negara itu terdapat kebiasaan yang sudah lama diakui dan mengikat; iii Suaka dapat diberikan juga jika terdapat perjanjian khusus antara negara dimana penerima suaka berasal dan negara dimana terdapat perwakilannya. Dalam perkembangan selanjutnya mengenai masalah suaka, Majelis umum PBB dalam sidangnya tanggal 14 Desember 1967 telah menyetujui suatu resolusi yang memberikan rekomendasi bahwa dalam praktiknya negara-negara haruslah mempertimbangkan sebagai berikut: i Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu ditolak atas dasar keamanan nasional dari rakyatnya. ii Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka haruslah meperhatikan langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui peranan dari negara-negara tertentu atau PBB. iii Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-negara lainnya haruslah menghormatinya. Selain perbedaan dalam dua bentuk, ada lagi pembagian dari pada suaka asylum yaitu: 1. Temporary asylum adalah bahwa pada waktu terjadi kerusuhan di mana pemohon meminta perlindungan maka suaka yang diberikan itu sifatnya adalah sementara sampai pejabat yang berwenang dari negara asal si pemohon memberikan jawaban kepada negara perlindungan agar individu tadi di serahkan. 2. Definitive asylum bahw si pemohon suaka tadi adalah di berikan perlindungan dan kepada dirinya diletakkan diluar juridiksi ngara asalnya. Konvensi PBB 1951 dan Protokol 1967 berkaitan dengan status dari pengungsi, konvensi tersebut memberikan kriteria pengungsi sebagai orang- orang yang : 1. Berada di luar negaranya atau negara tempat dimana dia tinggal; 2. Tidak dapat atau tidak berkeinginan untuk kembali atau bermaksud untuk mencari perlindungan dari negara lain karena ketakutan yang benar- bener nyata wellfounded fear bahwa mereka akan dituntut persecuted dengan alasan ras, agama,suku bangsa, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya; 3. Diatas segalanya, bukan merupakan pelaku kejahatan perang atau orang- orang yang telah melakukan kejahatan serius non politik. Konvensi ini tidak mewajibkan negara penandatangan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang tidak menghadapi ancaman penuntutan persecution dan yang telah meningalkan negara mereka atas dasar terjadinya perang, kelaparan, kerusakan lingkungan atau karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri atau keluarganya. 44 Menurut fiqih siyasah kontemporer, hubungan antar negara pada saat ini didasarkan pada prinsip damai, sesuai dengan Q.S. Al-Anfal :61. Prinsip damai ini telah menjadi kesepakatan atau perjanjian negara-negara di dunia dengan pembentukan PBB, dan perjanjian atau kesepakatan, dengan demikian berkenaan dengan masalah doktrin tentang perdamaian yang kuat dalam ajaran Islam, perang-perang Nabi harus dilihat sebagai respons atas realitas sosial, politik dan kultural, justru untuk menegakkan perdamaian itu sendiri. Perang-perang tersebut tidak saja dilakukkan untuk tujuan menciptakan perdamaian di antara manusia, tetapi cara dan teknik pelaksanaanya sendiri juga dengan sangat memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. 45 Selain itu, sebagaimana yang banyak tercantum di dalam pembahasan fiqh tentang bangsa-bangsa, menyebutkan bahwa eksistensi negara di dalam Islam didasarkan pada akidah yang dipeluk oleh segenap penduduknya secara 44 Sulaiman hamid, lembaga suaka dalam hukum internasional,.h. 79 45 Nurcholish Madjid, Islam agama peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2000,h. 223 rela tanpa paksaan. sementara dalam hubungan damai dengan negara non muslim, pentingnya mematuhi fakta-fakta perdamaian yang disepakati bersama, apa pun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatic dengan negara lain secara sepihak. Di samping itu, negara Islam juga wajib menghormati duta negara asing yang ditempatkan di negara Islam. Harta, jiwa dan raganya harus dilindungi. Tujuan setiap negara di dalam hubungannya dengan negara-negara lain adalah mengarahkan dan mempengaruhi hubungannya supaya mempunyai tanggung jawab untuk menyusun formula politik dan mengatur hubungannya mencapai persahabat dunia. Sebagaimana halnya Islam yang lebih mengutamakan perdamaian dan kerja sama dengan negara manapun. Karena itu, Allah SWT tidak membenarkan umat Islam melakukan peperangan, apalagi menjadi agresor negara lain. Perang hanya diizinkan dalam situasi yang terdesak dan hanya semata-mata untuk membela diri defensif. Pandangan ulama mengenai masalah suaka politik berpangkal dari pembagian mereka tentang dua negara dunia, yaitu dar al-Islam dan dar al- harb, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya. Di samping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan internasional. Dari pembahasan mereka tentang hal itu, ulama kemudian merumuskan pendapat mengenai warga negara yang meminta suaka politik ke dar al-Islam. Namun para ulama berbeda pendapat tentang berapa lamanya waktu mereka boleh menetap di dar al-Islam. Abu Hanifah dan sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa keizinan tinggal bagi pemohon suaka hanya berlaku selama setahun saja. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa mereka diizinkan tinggal di dar al-Islam selama empat bulan saja, kecuali bila kepala negara memandang perlu untuk memperpanjang izin tinggalnya. Sementara Malik berpendapat bahwa keizinan tinggal mereka tidak dibatasi oleh waktu. Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa pemberian suaka bisa dilakukan kepada dua bentuk, yaitu jaminan keamanan yang tetap mu’abadah sebagaimana pendapat Malik dan yang sementara mu’aqqatah seperti pandangan Abu Hanifah, Syafi’i dan sebagian pengikut Ahmad ibn Hanbal. Pencari suaka yang menetap hanya sementara adalah orang-orang non-muslim. Merekalah yang mendapat keizinan sementara untuk tinggal di dar al-Islam. Setelah habis waktunya, mereka dapat meninggalkan dar al-Islam. Bahkan kepala negara berhak mempercepat izin tinggal mereka sebelum habis waktunya kalau memang dipandang perlu. Dalam hal ini, mereka harus dikembalikan ke tempat yang aman, sebagaimana ditegaskan dalam surat at-Taubah di atas. 46 Sedangkan warga negara lain yang muslim yang berlindung ke dar al- Islam dapat menetap untuk selamanya. Demikian pula halnya dengan orang non-muslim yang mencari perlindungan di dar al-Islam dan berpindahnya ia ke agama Islam, maka statusnya pun berubah menjadi warga negara dar al- Islam, bukan lagi mu sta’min. Ia harus diperlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban sama seperti warga negara lainnya yang beragama Islam. Abu Hanifah menegaskan bahwa jiwa dan hartanya harus dilindungi. Mereka yang mendapat suaka dari dar al-Islam harus dilindungi keselamatan jiwa dan hartanya dari ganggunan dalam maupun luar negeri. Sebagai imbangnya, ia wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di dar al-Islam. Tentang hal ini semua ulama sepakat berpendapat demikian. Dalam hal ini As- Syaibani berkata, “Namun dalam hal apa saja yang harus mereka patuhi, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpandangan bahwa mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam masalah mu’amalah maliyah hubungan 46 Ya’thi syahri, “Konsep Pembagian Negara Menurut As-Syaibani dan relevansinya terhadap psuaka politik dalam hukum Internasional ”, artikel diakses pada 9 september 2011 dari http:bicara- hukum.blogspot.com201001konsep-pembagian-negara-menurut-as.html antara sesama manusia yang bersifat kebendaan, jumhur ulama menetapkan bahwa mereka harus mengikuti ketentuan dan hukum yang berlaku dalam dar al-Islam. Mereka tidak boleh melakukan praktek riba, menipu dan perilaku bisinis lainnya yang tidak dibenarkan agama Islam. ” Dalam masalah jarimah tindak pidana, Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka hanya diwajibkan mematuhui hukum-hukum yang berhubungan dengan hak-hak manusia saja huquh al- ‘ibad, yaitu tindak pidana yang secara langsung menimpa manusia sebagai korbannya. Sedangkan dalam masalah tindak pidana yang berhubungan dengan hak-hak Allah huquq Allah, kepada mereka tidak dapat dikenakan sanksi hukum Islam. Mereka dapat dijatuhu hukuman sebagaimana ditetapkan dalam hukum Islam bila melakukan tindak pidana seperti mencuri, merampok, membunuh dan menuduh orang lain berzina. Mereka dapat dikenai hukuman hudud dan qisas terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. Namun mereka tidak dapat dijatuhi hukuman hudud lainnya bila melakukan kejahatan seperti meminum khamr atau berzina. 76 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hal-hal yang penulis jelaskan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis mencoba memberikan hal-hal yang dapat disimpulkan bahwa.: 1. Suaka politik atau asylum adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu Negara kepada orang asing yang terlibat perkara atau kejahatan politik dinegara lain atau Negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karna tuntutan hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Setiap Negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik. 2. Dalam hubungan internasional, suaka dapat dibedakan menjadi suaka wilayah territorial asylum dan suaka diplomatik diplomatic asylum atau extra- territorial asylum. Suaka wilayah atau suaka teritorial adalah perlindungan yang diberikan suatu negara kepada orang asing di dalam negara itu sendiri. Sebagai contoh, negara Indonesia memberi suaka politik kepada orang asing yang masuk ke wilayah indonesia. Sedangkan suaka diplomatik adalah suaka yang diberikan oleh suatu kedutaan besar terhadap orang yang bukan warga negaranya. 3. Pandangan ulama mengenai masalah suaka politik berpangkal dari pembagian mereka tentang dua negara dunia, yaitu dar al-harb dan dar al-Islam. Di samping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan internasional. Dari pembahasan mereka tentang hal ini, ulama kemudian merumuskan pendapat mengenai warga negara yang meminta suaka politik ke dar al-Islam.

B. Saran-Saran

Ada beberapa hal yang ingin penulis kemukankan berupa saran, setelah mengetahui betapa pentingnya hak-hak suaka politik bagi asylum seeker atau pencari suaka, yaitu: a. Pemerintah atau lembaga yang menangani masalah pencari suaka dan pengungsi, haruslah lebih memperhatikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, karna semua hak-hak tersebut sudah di tetapkan oleh Undang-Undang baik internasional, maupun nasional, sebagaimana yang tecantum di dalam Universal Declaration of Human Right dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 G yakni, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain ”. b. Di samping itu para pencari suaka pun haruslah meminta suaka berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan sebagaimana yang tercantum dalam Undang- Undang HAM No. 39 Tahun 1999 pasal 28 ayat 2 yaitu,” hak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip perserikatan bangsa-bangsa. Dalam hal ini yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari suaka.