Keragaman cendawan Botryodiplodia theobromae dari berbagai tanaman inang berdasarkan morfologi dan pola RAPD

KERAGAMAN CENDAWAN Botryodiplodia theobromae
DARI BERBAGAI TANAMAN INANG
BERDASARKAN MORFOLOGI DAN POLA RAPD

FITRI KEMALA SANDRA
A34063054

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK
FITRI KEMALA SANDRA. Keragaman Cendawan Botryodiplodia theobromae
dari Berbagai Tanaman Inang Berdasarkan Morfologi dan Pola RAPD. Dibimbing
oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan SURYO WIYONO.
Cendawan Botryodiplodia theobromae Pat. menjadi penyebab penyakit
pada berbagai tanaman serta memiliki kisaran inang yang luas yang dapat
menurunkan kualitas maupun kuantitas produksi tanaman.
Variabilitas gejala penyakit dan kisaran inang yang dimiliki oleh

cendawan ini menunjukkan bahwa mungkin terdapat keragaman dalam karakter
morfologi maupun molekulernya. Pendekatan terhadap karakter morfologi
cendawan B. theobromae dilakukan berdasarkan pengamatan bentuk, ukuran, dan
warna dari struktur hifa, konidia, dan piknidia. Hasil pengamatan cendawan B.
theobromae secara morfologi dapat dikonfirmasi menggunakan metode molekuler
dengan teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) untuk menganalisis
keragaman genetiknya.
Penelitian bertujuan untuk membandingkan keragaman morfologi dan pola
DNA molekuler berdasarkan teknik RAPD dari isolat B. theobromae yang
diperoleh dari berbagai tanaman inang.
Sebanyak lima isolat B. theobromae yang diperoleh dari Klinik Tanaman,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang
berasal dari tanaman dari berbagai daerah, yaitu Jeruk dari Jember, Jawa Timur;
Karet dari Pematang Siantar, Sumatra Utara; Pisang dari Bogor, Jawa Barat;
Manggis dari Bukit Tinggi, Sumatra Barat; dan Kakao diperoleh dari Taman
Nasional (TN) Lorelindu, Sulawesi Tengah berdasarkan pengamatan morfologi
mempunyai penampilan koloni dan morfologi cendawan yang bervariasi baik dari
segi bentuk maupun ukuran; hifa, miselium, konidia, dan piknidia. Piknidia yang
ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) terbentuk pada isolat asal
jeruk dan isolat asal karet sedangkan pada media Water Agar (WA) yang diberi

bahan induksi berupa potongan jerami terbentuk pada semua isolat kecuali isolat
asal manggis. Piknida isolat asal manggis hanya dapat terbentuk pada media WA
yang diberi bahan induksi berupa kulit manggis. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam pembentukan piknidia diperlukan nutrisi tertentu agar dapat
memaksimumkan pembentukannya.
RAPD-PCR yang dilakukan terhadap isolat-isolat cendawan B.
theobromae yang berasal dari tanaman inang yang berbeda berhasil menunjukkan
terbentuknya pola fragmen DNA yang beragam baik melalui RAPD dengan
primer OPB 01 maupun dengan primer OPB 07, dengan ukuran maupun jumlah
pita DNA yang berbeda. Melalui primer OPB 01 dihasilkan pola yang beragam
antar kelima isolat kecuali antara isolat asal karet dan manggis yang menunjukkan
pola identik sedangkan menggunakan primer OPB 07 dihasilkan pola yang
beragam antar kelima isolat kecuali antara isolat asal jeruk dan pisang yang
menunjukkan pola identik.

KERAGAMAN CENDAWAN Botryodiplodia theobromae
DARI BERBAGAI TANAMAN INANG
BERDASARKAN MORFOLOGI DAN POLA RAPD

FITRI KEMALA SANDRA

A34063054

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul Skripsi

: Keragaman Cendawan Botryodiplodia theobromae dari
Berbagai Tanaman Inang Berdasarkan Morfologi dan
Pola RAPD

Nama Mahasiswa


: Fitri Kemala Sandra

NRP

: A34063054

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi

Dr. Ir. Suryo Wiyono MSc.Agr

NIP. 19680602 199303 1003

NIP. 19690212 199203 1003


Mengetahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Dadang, MSc.
NIP. 19640204 199002 1002

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 10 Januari 1988
sebagai anak ke-8 dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Kosih Sandra
Djuhara dan Ibu Dewi Setiawaty.
Pendidikan yang ditempuh mulai dari Sekolah Dasar Negeri Kayu Ambon
1 Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung pada tahun 1994-2000, dilanjutkan di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Bandung pada tahun 2000-2001 kemudian
berpindah sekolah ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Baleendah Kabupaten
Bandung pada tahun 2001-2002. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan
di Sekolah Menengah Atas Negeri 11 Bandung dan lulus pada tahun 2006. Pada
tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007 penulis diterima di
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.


Selama kuliah penulis memperoleh pengalaman organisasi sebagai Staf
Departemen Kebijakan Publik

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

(DKP KAMMI) pada tahun 2007, Bendahara Dewan Perwakilan Mahasiswa
Fakultas Pertanian (DPM A) pada tahun 2008 dan 2009. Penulis juga telah
mengikuti kegiatan magang di Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian pada tahun 2008 dan menjadi Asisten mata kuliah Pendidikan
Agama Islam Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor pada tahun
2008 dan 2009.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan
nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Keragaman Cendawan Botryodiplodia theobromae dari Berbagai Tanaman Inang
Berdasarkan Morfologi dan Pola RAPD”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Kikin

H. Mutaqin, MSi., Dr. Ir Suryo Wiyono MSc.Agr. sebagai Dosen Pembimbing
Tugas Akhir, Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, MSi. sebagai Dosen Penguji Tamu,
dan Dr. Ir. Nina Maryana, MSi. sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pak Dadang (Laboran
Laboratorium Mikologi) dan Bu Ita (Staf Klinik Tanaman Departemen Proteksi
Tanaman) atas semua bantuannya. Terimakasih kepada Aisah, Eka, Yeyen, Weni,
Dedek, Arni, Eva, Alvian, Rodiah, Oci atas doa dan dukungannya, dan mahasiswa
Departemen Proteksi Tanaman angkatan 43 atas semua dukungan dan
bantuannya. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
ayahanda yang telah berpulang ke rahmatullah, ibunda tercinta, Teh Rina, Teh
Novi, Aulya Rachman, Aulya Rachim, dan Teh Lia juga seluruh keluarga besar
di kampung halaman atas do’a dan dorongan yang telah diberikan.

Bogor, Maret 2011
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ..... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................. ..........


ix

PENDAHULUAN ...........................................................................................

1

Latar Belakang .....................................................................................

1

Tujuan ..................................................................................................

2

Manfaat Penelitian ...............................................................................

2

Hipotesis...............................................................................................


2

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................

3

Nilai Ekonomi Cendawan Botryodiplodia theobromae .......................

3

Gejala Penyakit Blendok pada Berbagai Tanaman ..............................

3

Gejala pada tanaman jeruk .............................................................

3

Gejala pada tanaman kakao ............................................................


4

Gejala pada tanaman karet .............................................................

4

Gejala pada tanaman pisang ...........................................................

4

Gejala pada tanaman manggis ........................................................

5

Pengendalian Penyakit B. theobromae................................................

5

Taksonomi & Morfologi Cendawan B. theobromae ............................


6

Taksonomi Cendawan B. theobromae ...........................................

6

Morfologi Cendawan B. theobromae .............................................

6

Polymerase Chain Reaction (PCR)......................................................

7

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD-PCR) ..........................

8

Penggunaan RAPD dalam Analisis DNA Cendawan ..........................

9

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ........................................................

11

Tempat dan Waktu ...............................................................................

11

Karakterisasi Morfologi Cendawan B. theobromae .............................

11

Penyiapan isolat cendawan ..........................................................

11

Peremajaan dan Isolasi ...................................................................

11

Penyiapan preparat .........................................................................

11

Pengamatan morfologi ...................................................................

12

Analisis data ...................................................................................

12

Deteksi Molekuler Menggunakan Teknik RAPD-PCR .......................

12

Ekstraksi DNA cendawan ..............................................................

12

RAPD-PCR ....................................................................................

13

Elektrophoresis Hasil RAPD-PCR.................................................

13

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................

15

Karakter Morfologi B. theobromae ......................................................

15

Karakter Molekuler B. theobromae......................................................

22

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................

26

Kesimpulan ..........................................................................................

26

Saran.....................................................................................................

26

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

27

LAMPIRAN .....................................................................................................

30

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

Piknidia dan konidia cendawan B. theobromae ......................................

2.

Peralatan elektroforesis. A. Gel tray, B. Cara mencetak gel agarose. C.

7

Peralatan lengkap untuk elektroforesis. ..................................................

14

3.

Koloni isolate cendawan B. theobromae .................................................

15

4.

Grafik pertumbuhan koloni cendawan B. theobromae pada
media PDA. ............................................................................................

16

5.

Morfologi hifa dan klamidospora pada manggis ....................................

17

6.

Piknidia B. theobromae yang terbentuk pada media WA + jerami padi dan
WA + kulit manggis ................................................................................

7.

18

Piknidia yang pecah mengeluarkan konidia (pewarnaan dengan laktofenol)
pada isolat B. theobromae ......................................................................

18

8.

Konidia muda isolat cendawan B. theobromae ......................................

22

9.

Konidia matang isolat cendawan B. theobromae ...................................

22

10.

Profil DNA lima isolat cendawan yang diamplifikasi dengan RAPD-PCR
menggunakan primer OPB 01 .................................................................

11.

24

Profil DNA lima isolat cendawan yang diamplifikasi dengan RAPD-PCR
menggunakan primer OPB 07 .................................................................

25

ix

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Pembentukan Piknidia cendawan B. theobromae pada berbagai media .

2.

Ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia muda cendawan B.
theobromae pada lima tanaman inang ..................................................

3.

21

Ukuran fragmen DNA cendawan B. theobromae menggunakan
primer OPB 01 .......................................................................................

5.

20

Ukuran panjang dan lebar konidia matang cendawan B. theobromae pada
tiga tanaman inang .................................................................................

4.

19

24

Ukuran fragmen DNA cendawan B. theobromae menggunakan
primer OPB 07 .......................................................................................

25

x

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae (Patouillard)
Griffon dan Maublanc ditemukan pada lebih dari 280 genus tanaman inang yang
berbeda di daerah tropis dan subtropis di dunia (Nunes et al. 2008). Kisaran inang
cendawan B. theobromae sangat luas, sehingga sumber infeksi selalu ada.
Ekundayo (1978) menyebutkan bahwa B. theobromae dapat menyerang tanaman
pisang, kakao, karet, kelapa, dan kelapa sawit.
Cendawan B. theobromae dilaporkan telah menyebabkan berbagai
penyakit diantaranya mati ujung, busuk akar, busuk buah, bercak daun, dan sapu
setan (Punithalingam 1980). Pada jeruk, B. theobromae menyebabkan kematian
cabang, pada kakao dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker
batang, pada karet menyebabkan mati pucuk, pada pisang dan manggis cendawan
B. theobromae dapat menyebabkan busuk buah.

Cendawan B. theobromae

dianggap sebagai masalah serius bagi pertanian karena hal ini terkait dengan
penyebab beberapa penyakit pada buah-buahan tropis (Nunes et al. 2008).
Variabilitas gejala penyakit dan kisaran inang yang dimiliki oleh
cendawan ini menunjukkan bahwa mungkin terdapat keragaman dalam karakter
morfologi maupun molekulernya. Shah (2010) menyebutkan bahwa variabilitas
gejala penyakit dan kisaran inang cendawan B. theobromae menunjukkan adanya
kemungkinan spesies ini memiliki beberapa strain. Oleh karena itu diperlukan
analisis terhadap karakter yang dimiliki oleh cendawan B. theobromae dengan
pendekatan morfologi dan molekuler. Pendekatan terhadap karakter morfologi
cendawan B. theobromae dilakukan berdasarkan pengamatan bentuk, ukuran, dan
warna dari struktur hifa, konidia, dan piknidia. Hasil pengamatan terhadap
karakter cendawan B. theobromae secara morfologi dapat dikonfirmasi
menggunakan metode molekuler dengan teknik Random Amplified Polymorphic
DNA (RAPD) untuk menganalisis keragaman genetiknya. Menurut Suryanto
(2003) Salah satu analisis keragaman genetik yang dapat digunakan adalah teknik
molekuler dengan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Metode
ini pada dasarnya adalah Polymerase Chain Reaction (PCR), namun

menggunakan suatu primer acak yang tidak didasarkan pada organisme tertentu
dengan desain berupa primer tunggal yang pendek. Analisis keragaman genetik
dilakukan terhadap cendawan B. theobromae untuk mengetahui apakah B.
theobromae dari berbagai tanaman itu memiliki kesamaan atau perbedaan genetik.
Informasi tentang perbedaan morfologi dan genetik cendawan B.
theobromae belum tersedia banyak di Indonesia. Oleh karena itu dilakukan
penelitian tentang keragaman cendawan B. theobromae dari berbagai tanaman
inang secara morfologi dan melalui analisis RAPD.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk membandingkan keragaman

morfologi dan

pola DNA molekuler berdasarkan RAPD isolat-isolat B. theobromae dari berbagai
tanaman inang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang karakter
morfologi dan molekuler B. theobromae dari berbagai tanaman inang.
Hipotesis
Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah
1. Isolat Botryodiplodia theobromae dari berbagai tanaman tidak dapat
dibedakan secara morfologi.
2.

Isolat Botryodiplodia theobromae dari tanaman yang berbeda dapat
dibedakan dengan teknik RAPD.



TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Ekonomi Cendawan Botryodiplodia theobromae
B. theobromae dilaporkan telah menyebabkan berbagai penyakit
diantaranya mati ujung, busuk akar, busuk buah, bercak daun, dan sapu setan
(Punithalingam 1980). Pada jeruk, B. theobromae menyebabkan kematian cabang,
pada kakao dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker batang, pada
karet menyebabkan mati pucuk, pada pisang dan manggis cendawan B.
theobromae dapat menyebabkan busuk buah.
Di pulau Jawa, cendawan B. theobromae mempunyai arti penting terutama
di daerah dataran rendah. Jenis jeruk keprok (Citrus nobilis) dan jeruk besar
(Citrus grandis) sering sangat menderita karena serangannya. Di Kabupaten
Magetan sekitar 500 ha pertanaman jeruk besar yaitu 85% dari jumlah pohon telah
terserang oleh cendawan ini dengan tingkat serangan ringan sampai sedang (22 37%) (Wiratno dan Nurbanah 1997). Serangan juga terjadi di Kamerun pada
tahun 1985 pada kakao dan menjadi faktor pembatas produksi kakao (Mbenoun et
al. 2008). Pohon karet di Vietnam tahun 1921 terdeteksi terserang cendawan ini
dan menjadi wabah pertama pada tahun 1998 di daerah penanaman karet
tradisional di Vietnam (Pha et al. 2010).

B. theobromae telah diketahui

menyerang pada pisang sejak 1931 dan mampu menyebabkan pembusukan cepat
buah pisang di gudang (Goos et al. 1961). Di Brasil, cendawan ini dianggap
sebagai masalah utama bagi pertanian karena hal ini terkait dengan beberapa
penyakit buah-buahan tropis (Nunes et al. 2008).
Gejala Penyakit Blendok pada Berbagai Tanaman
Gejala pada tanaman jeruk (penyakit kulit diplodia)
Cendawan B. theobromae menyerang kulit kayu seperti pada ranting jeruk
keprok dan batang jeruk limau (Davis et al. 1987). Serangan ditandai dengan
keluarnya blendok (gum) yang berwarna kuning emas dari batang atau cabangcabang yang besar. Kadang-kadang serangan terbatas pada jalur yang sempit.
Setelah beberapa lama kulit yang mengelupas dan luka menjadi sembuh namun
sering penyakit berkembang terus sehingga meluas dan menyerang hingga masuk

 
 

ke dalam kulit kayu, merusak kambium, kemudian cabang digelang dan mati.
Serangan patogen dengan gejala seperti ini disebut diplodia basah. Pada diplodia
kering lebih berbahaya, karena gejala permulaan sulit diketahui. Infeksi baru
diketahui jika daun telah menguning sehingga cabang yang sakit tidak dapat
tertolong. Kulit mengering, dan jika dipotong, kulit dan kayu di bawahnya
berwarna hitam kehijauan. Kulit yang sakit membentuk celah-celah kecil, dari
dalamnya keluar massa spora yang semula berwarna putih, tetapi akhirnya
berwarna hitam (Semangun 2007). B. theobromae tumbuh secara saprofit di kayu
mati untuk meningkatkan potensi inokulum sebelum dapat menyebabkan
kerusakan yang signifikan pada jaringan sehat (Davis et al. 1987).

Gejala pada tanaman kakao (penyakit botryodiplodia)
Cendawan B. theobromae berperan sebagai parasit lemah pada cabang dan
ranting. Cendawan ini hanya dapat menginfeksi jaringan-jaringan yang lemah,
atau menjadi patogen sekunder, atau menginfeksi melalui luka-luka karena
serangga. Botryodiplodia dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker
batang (Semangun 2000).

Gejala pada tanaman karet
Gejala awal ditandai dengan terbentuknya pustul secara sporadis dan
kemudian mereka menyatu menjadi lesio luas pada batang karet. Infeksi berat
menyebabkan perdarahan pada lateks, retak, kulit membusuk dan gumosis. Pada
tanaman yang masih muda, infeksi awal pada tunas muda berupa lesio kecil
berwarna cokelat gelap, menyebar cepat, kemudian kulit membusuk, bagian daun
yang terinfeksi menjadi kuning karena kurangnya pasokan gizi dan air. Infeksi
yang parah menyebabkan kematian pada ranting mulai dari ujung (mati pucuk)
(Pha et al. 2010).

Gejala pada tanaman pisang (busuk buah)
Serangan Cendawan B. theobromae mengakibatkan buah yang mulai
matang-peram mengalami pembusukan menjadi berwarna cokelat atau hitam.
Spora cendawan sudah terdapat pada permukaan buah di lapangan sehingga


 

apabila buah mulai matang spora akan berkecambah dan mengadakan infeksi.
Gejala mulai timbul pada tangkai buah kemudian meluas ke seluruh bagian buah.
Gejala yang timbul yaitu buah menjadi lunak dan berair, serta mengeluarkan bau
(aroma) yang khas. B. theobromae menyebabkan busuk ujung buah (tip rot),
busuk telapak, dan busuk pangkal. Penyakit ini merusak buah pisang yang matang
dalam pengangkutan atau simpanan (Semangun 2007).

Gejala pada tanaman manggis
Penyakit busuk buah manggis menunjukkan gejala awal berupa kerak atau
burik pada buah muda. Burik berwarna cokelat, pecah-pecah, dan mengeluarkan
getah berwarna kuning. Burik biasanya berawal dari ujung buah, lalu menjalar
kearah sepal atau sebaliknya (AgroMedia 2009). Kulit tampak kehitaman dan
mengkilat kemudian menjadi burik karena cendawan membentuk banyak
piknidium yang menghasilkan konidium (Semangun 2007).
Pengendalian Penyakit B. theobromae
Bentuk kegiatan pengendalian penyakit B. theobromae dapat dilakukan
dengan cara kultur teknis, mekanis dan kimia. Pengendalian secara kultur teknis
yaitu dengan menjaga kebersihan kebun, memangkas ranting-ranting kering, dan
memperbaiki drainase kebun. Pengendalian secara mekanis yaitu dengan
memotong bagian cabang yang terinfeksi dan bekas potongannya diolesi parafin,
membakar atau menimbun bekas pemangkasan, pemotongan dan pembongkaran.
Pengendalian secara kimia yaitu dengan menjaga kebersihan alat pertanian seperti
pisau, gunting pangkas maupun gergaji atau alat lainnya, sebelum dan setelah
digunakan diolesi kapas yang dibasahi alkohol 70% atau 10% pemutih atau
klorox, menyaput batang utama, cabang primer dan sekunder dengan fungisida
yang ada (bahan aktif benomil atau Cu) atau dengan bubur California yang dapat
dibuat sendiri. Penyaputan batang dilakukan paling sedikit dua kali setahun, yaitu
pada awal dan akhir musim hujan. Bagian tanaman yang akan disaput, dibersihkan
dari blendok dan kulit kering yang mengelupas dengan cara disikat (Wiratno dan
Nurbanah 1997).


 

Taksonomi & Morfologi Cendawan B. theobromae
Taksonomi Cendawan B. theobromae
Menurut Semangun (2007) penyakit kulit diplodia disebabkan oleh
cendawan Botryodiplodia theobromae Pat., yang dulu banyak dikenal dengan
nama Diplodia natalensis P. Evans.

Klasifikasi B.

theobromae adalah

(Alexopoulos 1960) :
Kingdom : Fungi
Phylum

: Deuteromycota

Kelas

: Deuteromycetes

Ordo

: Sphaeropsidales

Famili

: Sphaeropsidaceae

Genus

: Botryodiplodia

Spesies

: Botryodiplodia theobromae

Morfologi Cendawan B. theobromae
Botryodiplodia theobromae (Pat.) merupakan sinonim dari Lasiodiplodia
theobromae (Pat.) Griff. & Maubl.

yang memiliki perkembangbiakan secara

aseksual dari genus Botryosphaeria rhodina (Berk. & MA Curtis) ARX (Mohali
2005). Lasiodiplodia theobromae adalah bentuk anamorf dari Botryosphaeria
rhodina (Berkeley & Curtis) von ARX dan sebagai cendawan yang memiliki kelas
deuteromycetes (Nunes 2008).
Punithalingam (1976) menyebutkan bahwa karakter morfologi cendawan
B. theobromae ditandai dengan pertumbuhan miselia dari isolat B. theobromae
seperti benang rambut halus atau kapas, miselium udara berlimpah. Koloni mulamula berwarna sepia berubah menjadi abu-abu kemudian menjadi hitam. Piknidia
sederhana, bergerombol, sering agregat, stromatik, ostiolate, lebar sampai dengan
5 mm. Konidia awalnya uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoidooblong, berdinding tebal, memotong seperti sekat; konidia matang uniseptate,
coklat seperti warna kayu manis, berukuran 20-30 µm x 10-15 µm.
Pada jeruk B. theobromae membentuk piknidium yang tersebar, mulamula tertutup, kelak pecah, hitam, berpapil, berukuran 150 - 180 µm. Konidium
jorong, bersekat satu, tidak berkonstriksi, berwarna gelap, rata-rata berukuran 24


 

µm x 15 µm, eksosporanya mempunyai jalur-jalur (Semangun 2007). Berbeda
dengan pada jeruk, pembentukan piknidium cendawan B. theobromae pada kakao
memerlukan cahaya. Piknidium berukuran 135 - 230 µm x 95 - 155 µm. konidium
(piknidiospora) mula-mula berwarna coklat muda dan tidak bersekat, tetapi
menjelang dilepaskan coklat tua dengan satu sekat melintang, dengan dinding
spora sekunder. Konidium berukuran 24 - 30 µm x 11.5 - 13.5 µm, keluar melalui
lubang ostiol seperti masa lengket berwarna putih sampai coklat muda.
(Semangun 2000). Botryodiplodia theobromae pada pisang memiliki konidia
berbentuk elips, mula-mula hialin dan uniseluler kemudian menjadi coklat dan
bersekat tunggal. Konidia berukuran 20-30 µm x 10-18 µm (Goos et al. 1961).

A,B: Piknidia

C: Sel konidiogen
dan konidia

D: Konidia
Gambar 1 Piknidia dan konidia cendawan B. theobromae (Punithalingam 1976).
Pavlic et al. (2004) dalam penelitiannya menemukan ciri umum pada isolat
B. theobromae yang berasal dari Amerika Serikat, Amerika Selatan, Afrika
Selatan dan Asia memiliki konidia berukuran 18–30 x 10–15 µm.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah
metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen

 

nukleotida tertentu secara in vitro. Metode PCR sangat sensitif. Sensitivitas
tersebut membuatnya dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA.
Dengan metode PCR, dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA sebesar
200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit. Hal ini
menunjukkan bahwa pelipatgandaan suatu fragmen DNA dapat dilakukan secara
cepat. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan
dengan menggunakan template DNA dalam jumlah sangat sedikit (Yuwono
2006).
Prosedur reaksi PCR terdiri dari tiga tahap yaitu denaturasi, annealing
(penempelan primer) dan ekstensi (sintesis DNA). Reaksi PCR ditentukan oleh
kondisi suhu, denaturasi template, primer, annealing (penempelan primer) dan
ekstensi (sintesis DNA). Pada langkah pertama, denaturasi template DNA untai
ganda pada suhu 90-95 °C. Kemudian suhu diturunkan hingga sekitar 55 °C,
primer menempel ke ujung 5 pada template yang telah terpisah menjadi untai
tunggal. Untuk langkah ekstensi, suhu dinaikkan menjadi 72 °C dan primer-target
berfungsi sebagai titik awal untuk sintesis DNA baru. Waktu untuk setiap langkah
biasanya 1-2 menit. Tiga langkah berurutan ini disebut sebagai satu siklus PCR.
Pada siklus kedua, untai DNA yang baru disintesis dipisahkan dari untai asal oleh
denaturasi dan masing-masing untai berfungsi lagi sebagai template dalam
penempelan dan ekstensi. Secara teoritis, siklus PCR memungkinkan amplifikasi
2n kali lipat DNA target. Biasanya PCR dilakukan sebanyak 30-40 siklus. Namun
banyaknya siklus tergantung pada konsentrasi DNA target didalam campuran
reaksi (Edel 1998).
Random Amplified Polymorphic DNA Polymerase Chain Reaction (RAPDPCR)
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) merupakan salah satu
teknik molekuler berupa penggunaan penanda tertentu untuk mempelajari
keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR
yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara in vitro. Teknik ini melibatkan
penempelan primer tertentu yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer
dapat berbeda untuk menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda.
Penggunaan teknik RAPD memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme


 

fragmen DNA yang diseleksi dengan menggunakan satu primer arbitrasi, terutama
karena amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat
dengan adanya PCR. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan mudah
dalam hal penyiapannya. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu
menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat
membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak
diketahui latar belakang genomnya. Teknik RAPD sering digunakan untuk
membedakan organisme tingkat tinggi (eucaryote). Namun demikian beberapa
peneliti menggunakan teknik ini untuk membedakan organisme tingkat rendah
(procaryote) atau melihat perbedaan organisme tingkat rendah melalui piranti
organel sel seperti mitokondria (Suryanto 2003).
Menurut WSSP (2009) RAPD PCR memiliki keterbatasan diantaranya
hampir semua penanda RAPD adalah dominan karena tidak mampu membedakan
apakah suatu segmen DNA dari lokus yang heterozigot (1 salinan) atau homozigot
(2 salinan). PCR adalah reaksi enzimatik, sehingga kualitas dan konsentrasi DNA
template, konsentrasi komponen PCR, dan kondisi siklus PCR dapat sangat
mempengaruhi hasil dari amplifikasi DNA. Ketidaksesuaian antara primer dan
DNA template dapat berpengaruh terhadap total produk PCR serta penurunan
dalam jumlah produk sehingga mengakibatkan hasil RAPD sulit diinterpretasikan.
Penggunaan RAPD-PCR dalam Analisis DNA Cendawan
Teknik RAPD-PCR memanfaatkan primer acak oligonukleotida pendek
(dekamer) untuk mengamplifikasi DNA genom organisme. Prinsip teknik RAPD
didasarkan pada kemampuan primer menempel pada DNA template. Primer yang
didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat menempel secara acak pada
DNA genom organisme. Dengan demikian akan terdapat banyak pola fragmen
DNA. Perbedaan ini dapat dilihat dengan adanya pola pita pada gel agarosa
setelah diwarnai dengan pewarnaan DNA seperti seperti etidium bromide
(Sambrook et al. 1989).
Saat ini pendekatan RAPD PCR banyak digunakan untuk menghasilkan
molekul penanda yang berguna untuk taksonomi dan untuk karakterisasi populasi


 

cendawan. Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah informasi terkait urutan
DNA sebelumnya tidak diperlukan, sehingga setiap primer acak dapat diuji untuk
mengamplifikasi DNA setiap cendawan. Primer RAPD dipilih secara empiris dan
diuji eksperimental untuk menemukan pola pita RAPD yang polimorfik diantara
taksa yang diteliti. Metode RAPD telah berhasil digunakan untuk membedakan
dan mengidentifikasi cendawan pada tingkat intraspesifik dan tingkat interspesifik
(Edel 1998).

10 
 

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian

dilakukan

di

Laboratorium

Mikologi

Tumbuhan

dan

Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan
Februari 2010 sampai November 2010.
Karakterisasi Morfologi Cendawan B. theobromae
Penyiapan isolat cendawan
Isolat cendawan B. theobromae

diperoleh dari Klinik Tanaman yang

berasal dari tanaman di berbagai daerah antara lain Jeruk dari Jember, Jawa
Timur; Karet dari Pematang Siantar, Sumatera Utara; Pisang dari Bogor, Jawa
Barat; Manggis dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat (koleksi Dr. Ir. Suryo Wiyono
MSc.Agr); dan Kakao diperoleh dari Taman Nasional (TN) Lorelindu, Sulawesi
Tengah (koleksi Efi Toding Tondok SP.MSc.Agr).

Peremajaan dan Isolasi
Inokulum B. theobromae ditanam dalam media Potato Dextrose Agar
(PDA) dan Water Agar (WA) yang diberi potongan jerami padi, pelepah pisang
yang kering, kulit manggis steril dengan ukuran ± 0,5 cm kemudian diinkubasi
dalam suhu ruang selama kurang lebih tujuh hari. Konfirmasi cendawan dilakukan
terhadap isolat yang telah diremajakan dengan menggunakan kunci identifikasi
Barnett dan Hunter (1999).

Penyiapan preparat
Cendawan B. theobromae yang tumbuh dibuat preparat menggunakan
gelas objek, gelas tutup, dan laktofenol. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop
cahaya dan dipotret dengan menggunakan kamera digital.

 
 

Pengamatan Morfologi
Pengamatan koloni cendawan yang tumbuh dilakukan setiap hari selama
tujuh hari sejak 1 Hari Setelah Isolasi (HSI) terhadap bentuk, warna, dan diameter
koloni pada media PDA. Pengamatan dibawah mikroskop cahaya dilakukan
terhadap struktur cendawan berupa hifa, piknidia, dan konidia sampai dengan 34
HSI.
Analisis data
Data tentang ukuran konidia dan rasio panjang/lebar diolah dengan analisis
ragam menggunakan program SAS ver. 9.1 dan dilanjutkan dengan uji
perbandingan nilai tengah Duncan's Multiple Range Test (DMRT) untuk peubah
pengamatan ukuran konidia dan rasio panjang/lebar.
Deteksi Molekuler Menggunakan Teknik RAPD-PCR
Deteksi molekuler DNA cendawan dengan teknik RAPD-PCR meliputi
tiga tahap kegiatan, yaitu ekstraksi DNA cendawan, RAPD-PCR, dan
elektroforesis hasil RAPD-PCR.

Ekstraksi DNA Cendawan
Ekstraksi DNA dilakukan untuk menyiapkan DNA template dalam PCR.
Ektraksi DNA cendawan dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi yang
digunakan Moller et al. (1992). Miselium cendawan B. theobromae dan
Rhizoctonia sp. (kontrol) yang telah ditumbuhkan di media PDA digunakan
sebanyak 0,1 gram. Miselium ditumbuk dalam mortar yang sebelumnya
didinginkan dalam freezer dan ditambahkan 600 µl TES (100 mm Tris, pH 8, 10
mM EDTA, 2% SDS) kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 oC
dengan melakukan pencampuran secara perlahan setiap 10 menit sekali.
Konsentrasi garam diatur sampai 1,4 M dengan menambahkan 5 M NaCl (=140
µl) kemudian ditambahkan CTAB 10% sebanyak 65 µl 1/10 vol dan
diinkubasikan selama 10 menit pada suhu 65 oC. Secara perlahan ditambahkan 1
vol SEVAG (Isoamyl alcohol, Chloroform dengan perbandingan 1:24) sebanyak
700 µl lalu diinkubasi selama 30 menit, pada suhu 0 oC, kemudian disentrifuse
selama 10 menit, 4 oC, 12000 rpm. Sebanyak 200 µl supernatan dipindahkan ke
12 
 

dalam tabung 1,5 µl, kemudian ditambahkan sebanyak 225 µl NH4Ac dengan
konsentrasi 5 M, selanjutnya dicampurkan secara perlahan. Tabung dimasukkan
ke dalam kulkas selama 30 menit, kemudian disentrifus selama 10 menit, 4 oC,
12000 rpm. Supernatan dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambahkan
isopropanol 0,55 volume (= 510 µl) untuk mengendapkan DNA, lalu dimasukkan
ke dalam freezer selama 15 menit selanjutnya suspensi disentrifuse selama 5
menit, 4 oC, 12000 rpm. Supernatan yang telah disentrifuse dibuang untuk
diperoleh peletnya. Pelet dicuci dua kali dengan etanol dingin 70%, kemudian
diperoleh pelet kering dan dilarutkan dalam sekitar 50 µl Buffer TE. Pelet
disimpan untuk selanjutnya digunakan dalam proses RAPD-PCR.

RAPD-PCR
PCR disiapkan terpisah untuk masing-masing primer (OPB01 dan OPB07)
dalam total volume 25 μl/reaksi. Air sebanyak 16,2 µl dicampurkan dengan buffer
PCR 10 + Mg2+ sebanyak 2,5 µl, MgCl 2+ dengan konsentrasi 25 µm sebanyak 0,5
µl, dNTPs 2 mM sebanyak 2,5 µl, primer 10 µM/µl, dan Taq DNA 5U/µl
sebanyak 0,5 µl. Template DNA yang telah dilarutkan dalam buffer TE diambil
sebanyak 2 µl kemudian dimasukan ke dalam tabung ependorf 200 µl yang telah
berisi campuran komponen bahan RAPD-PCR. Kemudian proses PCR dilakukan
dengan program RAPD. Program untuk menjalankan mesin PCR untuk 45 siklus
diatur masing-masing suhu denaturasi 94 oC selama 2 menit 30 detik; suhu
annealing 40 oC selama 1 menit; suhu ekstensi 72  oC selama 1 menit dan suhu
ekstensi akhir 72 oC selama 7 menit.

Elektrophoresis Hasil RAPD-PCR
Elektroforesis DNA digunakan untuk membaca hasil amplifikasi RAPD
dari mesin PCR. Produk hasil PCR dianalisis dengan gel agarose 1.5%. Gel
agarose disiapkan dengan melarutkan agarose sebanyak 0,75 gr, 50 ml larutan
buffer TAE (242 g tris-base; 57,1 g asam asetat glacial; 100 ml EDTA 0,5 M pH
8; dilarutkan dalam akuades hingga 1000 ml), dan 10 µl EtBr,

kemudian

dipanaskan untuk dihomogenkan dengan temperatur medium selama 4 menit
secara bertahap (2-1-1 menit). Larutan dituangkan ke dalam baki gel agarosa yang

13 
 

telah dipasangkan sisir pencentak sumuran, kemudian dibiarkan hingga berubah
menjadi gel yang padat. Baki yang telah berisi gel agarosa dimasukkan ke dalam
bak elektroforesis yang telah diisi dengan larutan bufer TAE (gel dipastikan
terendam seluruhnya dalam TAE). Loading dye 4 µl dicampurkan dengan tiap
sample cendawan hasil PCR sebanyak 10 µl diatas kertas parafilm menggunakan
mikropipet kemudian di campurkan dan ditempatkan dalam sumuran pada agarose
yang telah diletakkan di mesin elektrophoresis. Selanjutnya dilakukan proses
running elektrophoresis selama 60 menit pada tegangan listrik 75 V. Hasil
elektroforesis divisualisasikan dengan transluminator ultraviolet. Pita DNA yang
terbentuk pada hasil elektrophoresis tersebut diamati dan difoto dengan
menggunakan kamera digital.

Gambar 2 Peralatan elektroforesis. A. Gel tray, B. Cara mencetak gel agarose. C.
Peralatan lengkap untuk running elektroforesis (Fatchiyah 2006 ).
 

 
 

14 
 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Morfologi B.theobromae
Hasil pengamatan karakter morfologi pada penelitian ini menunjukkan
bahwa pertumbuhan maksimum miselium B. theobromae dari berbagai tanaman
inang pada media PDA dalam cawan petri berdiameter 9 cm secara umum pada 3
- 5 HSI. Pada awalnya, miselium isolat asal jeruk, kakao, karet, pisang berwarna
putih sampai dengan 3 HSI kemudian berubah warna menjadi abu-abu muda
sampai dengan umur 4 - 5 HSI dan setelah 10 HSI bertambah gelap sesuai dengan
pertambahan umur isolat. Isolat cendawan asal manggis awalnya berwarna putih
sampai dengan 3 HSI kemudian berubah warna menjadi dominan gelap sampai
dengan umur 4 - 5 HSI dan bertambah gelap sesuai dengan pertambahan umur
isolat.

Gambar 3 Koloni isolat cendawan B. theobromae dari berbagai tanaman pada
umur 21 Hari Setelah Isolasi (HSI) pada media PDA. Jeruk (A); kakao
(B); karet (C); pisang (D); manggis (E).

Punithalingam

(1976)

dalam

penelitiannya

menyebutkan

karakter

morfologi cendawan B. theobromae ditandai dengan pertumbuhan miselium dari
isolat B. theobromae seperti benang rambut halus atau kapas, miselium udara
berlimpah. koloni mula-mula berwarna sepia berubah menjadi abu-abu kemudian
menjadi hitam. Pertumbuhan koloni secara teratur membentuk lingkar sampai
koloni memenuhi cawan petri. Koloni yang telah memenuhi cawan petri pada
umur isolat 21 HSI tidak hanya memperlihatkan perbedaan warna namun juga
telah membentuk piknidia. Warna dan penampilan koloni isolat B. theobromae
yang diamati sangat bervariasi. Koloni jeruk berwarna abu-abu muda, kakao
berwarna abu-abu, karet berwarna abu-abu gelap, pisang berwarna coklat, dan
manggis berwarna dominan hitam (Gambar 2).
Hasil pengamatan yang ditunjukkan Gambar 3 memperlihatkan bahwa
pertumbuhan koloni B. theobromae isolat asal jeruk, kakao, karet, pisang, dan
manggis pada media PDA memenuhi cawan setelah mencapai 4 HSI. Pada isolat
asal jeruk, karet, dan pisang pertumbuhan koloni lebih cepat dibandingkan isolat
asal kakao dan manggis. Rata-rata pertumbuhan koloni diantara kelima isolat B.
theobromae memperlihatkan perbedaan kecepatan tumbuh.

Gambar 4 Grafik pertumbuhan koloni cendawan B. theobromae pada media PDA
16
 

Secara mikroskopis, bentuk hifa B. theobromae bersekat pada isolat asal
jeruk, kakao, karet, dan pisang sedangkan pada isolat asal manggis hifa muda
membengkak seperti ‘sate’. Hifa awalnya hialin kemudian berubah warna menjadi
coklat. Khlamidospora terbentuk pada isolat asal manggis secara interkaler
(Gambar 4).

A

B

Gambar 5 Morfologi hifa dan klamidospora pada manggis. Hifa membengkak
seperti sate (A); pembentukan klamidospora secara interkaler (B),
dengan perbesaran 40x.
Piknidia B. theobromae isolat asal jeruk, kakao, karet, pisang, dan manggis
terbentuk secara berkelompok pada media WA yang diberi bahan induksi berupa
potongan jerami padi dan kulit manggis (Gambar 5). Ciri ini yang membedakan
piknidia B. theobromae dengan piknidia yang dihasilkan oleh Diplodia sp.
Menurut Barnett dan Hunter (1999) piknidia B. theobromae terbentuk secara
bergerombol dan berwarna hitam sedangkan piknidia Diplodia sp. tunggal atau
tidak berkelompok.

17
 

Gambar 6 Piknidia B. theobromae yang terbentuk pada media WA + jerami padi
(A, B, C, D) dan WA + kulit manggis (E). Jeruk (A); kakao (B); karet
(C); pisang (D); manggis (E) dengan perbesaran 100x.

 

Gambar 7

Piknidia yang pecah mengeluarkan konidia (pewarnaan dengan
laktofenol) pada isolat B. theobromae.

Piknidia B. theobromae yang ditumbuhkan pada media PDA dapat
terbentuk pada isolat asal jeruk dan isolat asal karet sedangkan pada media WA
yang diberi bahan induksi berupa potongan jerami terbentuk pada semua isolat
kecuali isolat asal manggis. Piknida isolat asal manggis hanya dapat terbentuk
pada media WA yang diberi bahan induksi berupa kulit manggis (Tabel 1). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam pembentukan piknidia diperlukan nutrisi tertentu agar
dapat memaksimumkan pembentukannya. Menurut Winarsih (2007) jerami padi
mengandung serat sampai 67%. Kandungan serat yang tinggi ini yang memicu
pertumbuhan dan merangsang sporulasi cendawan. Salah satu enzim yang penting
18
 

dihasilkan cendawan adalah enzim selulase. B.theobromae adalah salah satu
cendawan yang menghasilkan enzim selulase. Menurut Shivas dan Beasley (2005)
media agar-agar yang kaya sumber gulanya merupakan kondisi yang tidak baik
untuk terjadinya sporulasi pada kebanyakan cendawan patogen tanaman.
Sporulasi biasanya ditingkatkan dengan penambahan material daun inang yang
telah disterilkan, misalnya jerami gandum, daun jagung, daun bunga anyelir, atau
media yang ‘kurus’ seperti WA.

Tabel 1 Pembentukan piknidia cendawan B. theobromae asal beberapa tanaman
pada berbagai media sampai dengan 34 HSI
Media pembentukan
Piknidia B. theobromae asal
piknidia
Jeruk
Kakao
Karet
Pisang Manggis
PDA
+
+
WA + jerami padi
+
+
+
+
WA + pelepah pisang
WA + kulit manggis
+
Keterangan:
+ Piknidia terbentuk
Piknidia tidak terbentuk

Konidia B. theobromae secara umum berbentuk jorong atau ovoid, hialin,
tidak bersekat, dan memiliki dinding ganda saat muda dan saat matang berwarna
coklat, bersekat, dan memiliki dinding tunggal. Pada konidia isolat asal jeruk,
kakao, karet yang masih muda konidia hialin, tidak bersekat, dan memiliki
dinding ganda namun setelah matang menjadi berwarna coklat, bersekat tebal
seperti membentuk dua buah sel, dan memiliki dinding tunggal yang tebal.
Barnett dan Hunter (1999) mendeskripsikan cendawan B.theobromae memiliki
kekhasan yang ditandai dengan piknidia berwarna gelap dan terbentuk secara
berkelompok dalam stroma, konidia berwarna gelap dan memiliki dua buah sel
saat matang, berbentuk jorong atau ovoid.
Konidia B. theobromae asal isolat jeruk, kakao, karet, pisang, dan manggis
memiliki ukuran yang berbeda-beda (Tabel 2). Konidia pada jeruk berukuran 2429 µm x 10-15 µm, konidia kakao berukuran 23-24 µm x 12-15 µm, konidia karet
berukuran 22-26 µm x 10-16 µm, konidia pisang berukuran 14-16 µm x 9-11 µm,
dan konidia manggis berukuran 10-16 µm x 6-10 µm. Menurut Semangun (2007)
rata-rata konidia pada jeruk berukuran 24 µm x 15 µm, sedangkan pada kakao
19
 

konidia berukuran 24 - 30 µm x 11,5 – 13,5 µm (Semangun 2000). B. theobromae
pada pisang memiliki konidia berukuran 20-30 µm x 10-18 µm (Goos 1961).
Ukuran konidia bervariasi yaitu panjangnya 10,00 µm – 28,64 µm, lebarnya 6,36
µm – 15,91 µm, dan tebal dindingnya 0,80 µm – 2,50 µm. Pavlic et al. (2004)
menemukan ciri umum pada isolat B.theobromae yang berasal dari Amerika
Serikat, Amerika Selatan, Afrika Selatan dan Asia memiliki konidia berukuran
18–30 µm x 10–15 µm.
Hasil uji lanjut Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada tabel 2
menunjukkan bahwa ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia muda
berbeda sangat nyata pada isolat asal jeruk, kakao, karet, pisang, dan manggis.
Perbedaan yang ditunjukkan oleh konidia muda memperlihatkan keragaman
ukuran konidia cendawan B. theobromae yang diperoleh dari inang berbeda. Pada
konidia muda asal isolat jeruk memiliki rasio panjang/lebar tertinggi yaitu 2,18
dan konidia muda asal isolat manggis memiliki nilai rasio panjang/lebar terendah
yaitu 1,50. Hal ini menunjukkan bentuk konidia yang semakin elips memiliki nilai
rasio panjang/lebar yang tinggi dan cenderung bulat untuk nilai rasio
panjang/lebar yang rendah.
Tabel 2 Ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia muda cendawan B.
theobromae pada lima tanaman inang
Ukuran Konidia
B.
theobromae
Jeruk

25,68 ± 1,62 a

Rasio
panjang/lebar
11,95 ± 1,44 b 2,18 ± 0,34 a

Kakao

23,26 ± 0,53 b

14,02 ± 1,20 a

1,82 ± 0,12 b

1,91 ± 0,15 a

Karet

24,77 ± 1,80 ab

13,79 ± 2,00 a

1,69 ± 0,22 bc

1,80 ± 0,40 a

Pisang

15,32 ± 0,68 c

10,32 ± 0,91 c

1,67 ± 0,18 bc

1,52 ± 0,17 b

Manggis

13,45 ± 2,08 d

8,09 ± 0,88 d

1,50 ± 0,36 c

1,34 ± 0,21 bc

Panjang (µm)

Lebar (µm)

Tebal dinding
(µm)
1,23 ± 0,28 c

Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
(uji selang ganda Duncan, α = 0,01).
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ukuran panjang, lebar, dan tebal
dinding konidia cendawan B. theobromae berbeda nyata pada isolat asal jeruk,
kakao,
 

dan

karet.

Perbedaan

yang

ditunjukkan

oleh

konidia

matang
20

memperlihatkan keragaman ukuran konidia cendawan B. theobromae yang
diperoleh dari inang berbeda. Pada konidia matang asal isolat jeruk memiliki rasio
panjang/lebar 1,96, konidia asal isolat kakao 1,90, dan konidia asal isolat karet
1,83. Hasil pengukuran rasio panjang/lebar menunjukkan bahwa ukuran konidia
kelima cendawan > 1 (bentuk jorong). Punithalingam (1976) dalam penelitiannya
menyebutkan konidia B. theobromae memiliki bentuk subovoid-elipsoid oblong.

Tabel 3 Ukuran panjang dan lebar konidia matang cendawan B. theobromae pada
tiga tanaman inang
B. theobromae
Jeruk
Kakao
Karet

Panjang (µm)
26,88 ± 2,52 a
25,38 ± 1,56 ab
24,50 ± 1,34 b

Ukuran konidia
Lebar (µm)
Rasio panjang/lebar
13,88 ± 0,59 a
1,96 ± 0,22 a
13,75 ± 0,71 a
1,90 ± 0,07 a
13,00 ± 1,05 b
1,83 ± 0,20 a

Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
(uji selang ganda Duncan, α = 0.05).
Konidia secara umum berbentuk jorong atau ovoid, hialin, tidak bersekat,
dan memiliki dinding ganda saat muda dan saat matang berwarna coklat, bersekat,
dan memiliki dinding tunggal. Pada konidia jeruk, kakao, karet yang masih muda
konidia hialin, tidak bersekat, dan memiliki dinding ganda (Gambar 7) namun
setelah matang menjadi berwarna coklat, bersekat tebal seperti membentuk dua
buah sel, dan memiliki dinding tunggal yang tebal (Gambar 8). Barnett dan
Hunter (1999) mendeskripsikan cendawan B.theobromae memiliki kekhasan yang
ditandai dengan piknidia berwarna gelap dan terbentuk secara berkelompok dalam
stroma. Konidia hialin dan tidak bersekat saat muda. Konidia berwarna gelap dan
memiliki dua buah sel saat matang. Konidia berbentuk jorong atau ovoid.

21
 

Gambar 8 Konidia muda isolat cendawan B. theobromae dari berbagai tanaman
inang. Jeruk (A); karet (B); kakao (C); manggis (D); pisang (E) dengan
perbesaran 100x.

Gambar 9 Konidia matang isolat cendawan B. theobromae dari berbagai tanaman
inang.Jeruk (A); karet (B); kakao (C) dengan perbesaran 100x.

Karakter Molekuler B. theobromae
Penanda molekuler DNA telah digunakan untuk mengenali dan
mengkarakterisasi populasi cendawan. Teknik RAPD sering digunakan untuk
membedakan organisme tingkat tinggi atau kelompok eukaryote (Suryanto 2003).
B. theobromae termasuk ke dalam kelompok eukaryote sehingga teknik ini dapat
digunakan untuk menganalisis DNA cendawan tersebut.
Teknik RAPD melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang
sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer

dapat berbeda untuk menelaah

keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda (Suryanto 2003). Analisis
molekuler dilakukan dengan teknik RAPD-PCR dengan menggunakan dua primer
yaitu OPB 01 dan OPB 07.
Hasil elektroforesis produk RAPD-PCR pada Gambar 10 dan Gambar 11
menunjukkan bahwa kedua primer yang digunakan mampu mengamplifikasi
22
 

DNA cendawan B. theobromae dari berbagai tanaman pada lokasi yang berbeda.
Keberhasilan amplifikasi DNA genom dalam teknik RAPD ditentukan salah
satunya oleh kesesuaian primer dan efisiensi serta optimasi proses PCR (Suryanto
2003).
Kualitas pita yang tajam dipengaruhi oleh konsentrasi semua komponen
dalam reaksi campuran (Edel 1998). Menurut Takamatsu (1998) komponen reaksi
Mg 2+, DNA polimerase, primer, template DNA, dan suhu yang digunakan
mempengaruhi konsistensi produk amplifikasi DNA.
Shah et al. (2010) melaporkan bahwa pendekatan RAPD mampu
mendeteksi keanekaragaman genetik B. theobromae. Dalam penelitian Henuk
(2010) melalui pendekatan PCR, cendawan B. theobromae telah berhasil
diidentifikasi dengan menghasilkan produk PCR yang sesuai dengan yang
dilaporkan Begoude et al. (2009).
Profil DNA antara kelima isolat cendawan yang ditunjukkan Tabel 4
memperlihatkan bahwa jumlah dan ukuran pita DNA yang dihasilkan berbedabeda kecuali antara isolat asal karet dan manggis menunjukkan pola yang serupa.
Jumlah dan ukuran pita DNA yang dihasilkan oleh isolat asal karet dan manggis
memiliki kesamaan. Hal ini menunjukkan berdasarkan penggunaan primer OPB
01 antara isolat cendawan asal jeruk, kakao, dan pisang memiliki perbedaan
genetik kecuali antara isolat asal karet dan manggis. Berbeda dengan pada pita
DNA yang dihasilkan oleh primer OPB 07 (Tabel 5) memperlihatkan bahwa
jumlah dan ukuran pita DNA yang dihasilkan berbeda-beda kecuali antara isolat
asal jeruk dan pisang. Hal ini menunjukkan berdasarkan penggunaan primer OPB
07 antara isolat cendawan asal kakao, karet, dan manggis memiliki perbedaan
genetik kecuali antara isolat asal jeruk dan pisang. Berdasarkan penggunaan kedua
primer dalam RAPD tersebut ditunjukkan bahwa antara kelima isolat cendawan B.
theobromae terdapat perbedaan genetik.

23
 

2072-

600-

Gambar 10 Profil DNA lima isolat cendawan B. theobromae yang diamplifikasi
dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPB 01. M1 molecular
marker (DNA leader); isolat jeruk (J); isolat kakao (C); isolat karet
(K); isolat pisang (P); isolat manggis (M); pembanding R. solani asal
nanas (N).
Tabel 4 Ukuran fragmen DNA cendawan B. theobromae asal berbagai tanaman
inang menggunakan primer OPB 01
Isolat
Ukuran pita DNA (bp)
B. theobromae

1

2

3

4

5

6

7

Jeruk
Kakao

500
500

700
600

900
1500

1200
2072

> 2072
> 2072

Karet

500

600

900

1200

1300

1500

2072

Pisang

500

700

900

1200

1500

2072

Manggis

700

1200

2072

Kontrol

700

1300

24
 

2072-

600-

Gambar 11 Profil DNA lima isolat cendawan B. theobro