Sindrom Pulau Dalam Reintroduksi Rusa Timor Di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon

SINDROM PULAU DALAM REINTRODUKSI
RUSA TIMOR (Rusa timorensis, Blainville 1822)
DI PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PAIRAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Sindrom Pulau dalam
Reintroduksi Rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan
Taman Nasional Ujung Kulon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Pairah
NIM E361090051

RINGKASAN
PAIRAH. Sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor di Pulau Panaitan Taman
Nasional Ujung Kulon. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, LILIK BUDI
PRASETYO dan ABDUL HARIS MUSTARI.
Untuk membangun kembali populasi rusa timor di Pulau Panaitan dilakukan
reintroduksi dari Pulau Peucang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan teori
sindrom pulau melalui perbandingan habitat, ukuran tubuh, ukuran dan kepadatan
populasi, wilayah jelajah dan alokasi waktu.
Penelitian ini dilakukan dari bulan September 2012 hingga Desember 2013.
Komponen habitat yang diukur meliputi vegetasi, sumber air dan ketinggian.
Analisis vegetasi dilakukan dengan metode kuadrat, keanekagaraman tumbuhan
dihitung menggunakan indeks Shanon-Wiener, sumber air diidentifikasi langsung
di lapangan dan ketinggian menggunakan DEM yang diklasifikasi menggunakan
ekstensi spasial analisis pada ArcGIS 10.1. Pengamatan jenis pakan dilakukan
langsung di lapangan. Daya dukung dihitung berdasarkan ketersediaan pakan.

Ukuran tubuh rusa diukur menggunakan pita meter dan timbangan, penangkapan
menggunakan bius yang ditembakkan menggunakan sumpit dan dilakukan oleh
dokter hewan dan paramedis. Uji beda menggunakan Mann Whitney U. Ukuran
dan kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang menggunakan data Sudibyo
(2012) dan di Pulau Panaitan dilakukan inventarisasi menggunakan metode strip
transek. Pengamatan wilayah jelajah menggunakan metoda focal animal
sampling, estimasi wilayah jelajah menggunakan minimum convex polygon
menggunakan ekstensi hawth tool dan Xtool pro 11 pada ArcGIS 10.1.
Pengamatan alokasi waktu menggunakan metode focal animal samling dan Mann
Whitney U digunakan untuk mengukur potensi perbedaannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam ukuran
tubuh, ukuran populasi beserta kepadatannya, dan alokasi waktu antara rusa timor
di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Hal ini membuktikan bahwa manifestasi
sindrom pulau dapat ditemukan pada kedua pulau tersebut. Meskipun luas
wilayah jelajah rusa timor di kedua pulau tidak berbeda nyata, tetapi wilayah
jelajah individu rusa timor di Pulau Peucang yang lebih menetap dibanding di
Pulau Panaitan turut membuktikan manivestasi sindrom pulau. Pulau yang
berukuran lebih besar dan mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dapat
dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar.
Kata kunci: rusa timor, sindrom pulau, reintroduksi, pulau.


SUMMARY
PAIRAH. Island syndrome in reintroduction of timor deer in Panaitan Island
Ujung Kulon National Park. Supervised by YANTO SANTOSA, LILIK BUDI
PRASETYO and ABDUL HARIS MUSTARI
Re-establishment of the timor deer population in Panaitan Island was
conducted through reintroduction of the deer from peucang Island. The aim of this
study is to prove the theory of island syndrome by comparing habitat, body size,
population size and density, home range and time budget.
This study was conducted from September 2012 to December 2013. The
components of habitat which were measured was vegetation, water sources and
altitude. Vegetation analysis was done using squares method, plant diversity was
calculated using the Shannon-Wiener index, source of water was identified in
study area and altitude was measured by using the DEM which classified using
spatial analysis extension in ArcGIS 10.1. Forage observations was done directly
in the study area. Carrying capacity was calculated based on the availability of
food resources. Body size was measured using a band and scales, the animals
were captured using anesthetic that was done by veterinarian and paramedic
through blowpipe technique. Mann Whitney U was used to measure the potential
of differences. Sudibyo (2012) data on size and density of the timor deer

population was used for defining Peucang Island’s population, while inventory
using strip transect was conducted in Panaitan Island. The observations of home
range was using focal animal sampling method, estimation of home range size
was using the minimum convex polygon in Hawth extensions and Xtool pro tools
11 at ArcGIS 10.1. Observation of time budget was carried out with focal animal
sampling method and Mann Whitney U test was used to measure the potential of
differences.
The results showed that the differences in body size, population size and its
density, and the time budget among the timor deer on Peucang Island and
Panaitan Island proved that the manifestation of island syndrome could be found
on the two islands. Despite broad ranges in both islands of timor deer were not
significantly different, but the ranges of individuals of timor deer on Peucang
Island more settled than in Panaitan Island also proved the manifestation of the
island syndrome. The larger size among the island that has high biodiversity can
be used as an alternative destination of wildlife introduction.
Keywords: javan deer, island syndrome, reintroduction, island

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SINDROM PULAU DALAM REINTRODUKSI
RUSA TIMOR (Rusa timorensis, Blainville 1822)
DI PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PAIRAH

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Ris Dr Ir Abdullah Syarief Muchtar, MS
Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Drh Muhammad Agil, MSc.Agr
Dr Ir Novianto Bambang W, M.Si

Judul Disertasi: Sindrom Pulau dalam Reintroduksi Rusa Timor (Rusa timorensis,
Blainville 1822) di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon
: Pairah
Nama
: E361090051

NIM

Disetujui oleh


Komisi Pembimbing

tu

Prof Dr Yanto Santosa. DEA
Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo. MSc
Anggota

Dr Ir Abdul Haris Mustari" MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

ffi


5E
lGlr-rz#l eE
-'r?wl"@81
Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

Tanggal Ujian:

2: AUG 2014

",3ff3,

Tanggal Lulus:

2 9 AUo

2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Sindrom pulau dalam

reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan
Taman Nasional Ujung Kulon” ini berhasil diselesaikan. Dengan selesainya karya
ilmiah ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:
1.

Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA, Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo,
MSc dan Bapak Dr Ir Abdul Haris Mustari MSc selaku komisi pembimbing
yang telah memberikan bekal ilmu, bimbingan, koreksi dan saran serta
semangat sejak awal penulisan proposal hingga selesainya karya ilmiah ini.
2. Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika yang telah
memberikan perhatian, bimbingan, saran dan semangat selama proses
pembelajaran.
3. Institut Pertanian Bogor c.q. Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Kehutanan
yang telah memfasilitasi proses pembelajaran dan penelitian.
4. Bapak Prof Ris Dr Ir Abdullah Syarief Muchtar, MS, Bapak Dr Ir
Burhanuddin Masy’ud, MS, Bapak Dr Drh Muhammad Agil, MSc.Agr dan
Bapak Dr Ir Novianto Bambang W., M.Si selaku penguji luar yang telah
memberikan koreksi, saran dan masukan untuk penyempurnaan karya ilmiah
ini.
5. Kementerian Kehutanan c.q. Pusdiklat Kehutanan yang telah memberikan

beasiswa Program Doktor.
6. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang telah
memberikan ijin untuk melakukan penelitian ini.
7. Kepala beserta staf Balai Taman Nasional Ujung Kulon yang telah membantu
dalam proses pengumpulan data.
8. Tim bius Kebun Binatang Ragunan, tim bius International Animal Rescue
(IAR) dan tim bius Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi yang telah membantu dalam penangkapan rusa.
9. Teman-teman seperjuangan Dr Sri Harteti, Kartikawati, Hari Prayogo, Dr
Kissinger, Dr Mufti Sudibyo, Dr Gamin yang telah saling menyemangati
10. Sdr. Sofwan yang telah banyak membantu di bidang administrasi
kependidikan.
11. Bapak Dalimin Suyoto Utomo (alm.) dan Ibu Sudinah (alm.) atas doa dan
kasih sayangnya sepanjang hidupnya, suami tercinta (Andri Novi Susdihanto)
dan putriku tersayang (Faizah Ayyumna) yang selalu setia menemani dan
menyemangati selama pendidikan serta seluruh keluarga atas segala bantuan,
fasilitas dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
Bogor, Agustus 2014
Pairah


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan

1
1
4
4
5

2 PERBANDINGAN HABITAT, PAKAN, DAN DAYA DUKUNG
HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU
PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

5
5
5
9
13

3 PERBANDINGAN UKURAN TUBUH DAN KEPADATAN POPULASI
RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN
TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

15
15
15
17
20

4 PERBANDINGAN WILAYAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN
HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU
PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

21
21
21
22
29

5 PERBANDINGAN ALOKASI WAKTU RUSA TIMOR DI PULAU
PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG
KULON
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

30
30
30
32
37

6 PEMBAHASAN UMUM

38

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

42
42
42

DAFTAR ISI (lanjutan)
DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

49

RIWAYAT HIDUP

66

DAFTAR TABEL
2.1
2.2
3.1
4.1
4.2
4.3
5.1
5.2
5.3

Vegetasi Pulau Peucang dan Pulau Panaitan
Kelas ketinggian di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan
Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan
Hasil uji beda wilayah jelajah rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau
Panaitan
Penggunaan habitat oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau
Panaitan
Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau
Panaitan
Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan
Pulau Panaitan periode pagi hari
Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan
Pulau Panaitan periode siang hari
Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan
Pulau Panaitan periode sore hari

10
12
17
23
26
28
33
34
35

DAFTAR GAMBAR
3.1
3.2
3.3
3.4
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9
5.10
5.11

Betina dewasa di Pulau Peucang
Betina dewasa di Pulau Panaitan
Jantan dewasa di Pulau Peucang
Jantan dewasa di Pulau Panaitan
Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Peucang
Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Panaitan
Penggunaan ketinggian oleh rusa timor di Pulau Peucang
Penggunaan ketinggian oleh rusa timor di Pulau Panaitan
Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang
Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Panaitan
Peta lokasi penelitian
Alokasi waktu anak rusa di Pulau Peucang
Alokasi waktu anak rusa di Pulau Panaitan
Alokasi waktu betina muda di Pulau Peucang
Alokasi waktu betina muda di Pulau Panaitan
Alokasi waktu jantan muda di Pulau Peucang
Alokasi waktu jantan muda di Pulau Panaitan
Alokasi waktu betina dewasa di Pulau Peucang
Alokasi waktu betina dewasa di Pulau Panaitan
Alokasi waktu jantan dewasa di Pulau Peucang
Alokasi waktu jantan dewasa di Pulau Panaitan

18
18
18
18
25
25
27
27
28
29
31
32
32
33
33
35
35
36
36
37
37

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis-jenis tumbuhan pakan rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau
Panaitan
2 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi
di Pulau Peucang
3 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi
di Pulau Peucang
4 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe
vegetasi di Pulau Peucang
5 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi
di Pulau Peucang
6 Jenis-jenis strata semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai
tipe vegetasi di Pulau Peucang
7 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe
vegetasi di Pulau Peucang
8 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi
di Pulau Panaitan
9 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi
di Pulau Panaitan
10 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe
vegetasi di Pulau Panaitan
11 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi
di Pulau Panaitan
12 Jenis-jenis semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai tipe
vegetasi di Pulau Panaitan
13 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe
vegetasi di Pulau Panaitan

49
51
53
54
55
57
58
59
61
62
63
64
65

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tuhan Yang Maha Esa memberikan karunia yang besar kepada bangsa
Indonesia berupa sumber daya alam hayati yang melimpah. Menurut BAPPENAS
(2003) potensi keanekaragaman hayati Indonesia meliputi 515 jenis mamalia
(kedua di dunia), 511 jenis reptil (keempat di dunia), 1531 jenis burung (kelima di
dunia), 270 jenis amphibi (keenam di dunia) dan 2827 jenis invertebrata serta
38.000 jenis tumbuhan. Namun BAPPENAS (2003) melaporkan bahwa tingkat
kepunahan jenis dan ancamannya juga tinggi. Harimau bali dinyatakan punah
sejak tahun 1940, harimau jawa dinyatakan punah oleh International Union for
Conservation of Nature (IUCN) tahun 1980-an meskipun institusi lain belum
menyatakan punah dan diperkirakan di masa mendatang Indonesia akan
kehilangan satu sampai 50 spesies setiap tahun. Pada tahun 1988, 126 jenis
burung, 63 jenis mamalia, 12 jenis reptil dan 65 jenis satwa lainnya dinyatakan
menuju kepunahan. Empat tahun kemudian, IUCN mengindikasikan bahwa 772
jenis flora dan fauna yang meliputi 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis
reptil, 68 jenis ikan, 3 jenis moluska, 28 jenis satwa lain dan 384 jenis tumbuhan
terancam punah. Semakin panjangnya daftar flora dan fauna Indonesia yang
terancam punah dalam Red Data List IUCN dan dalam daftar jenis satwa yang
dilindungi mengindikasikan bahwa kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia
semakin terancam.
Undang-undang No. 5 tahun 1990 memberikan amanah kepada pemerintah
dan masyarakat Indonesia untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia melalui konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Satwa liar merupakan bagian dari sumber daya
alam hayati sehingga satwa liar juga perlu untuk dikonservasi. Beberapa nilai
satwa liar dikemukakan oleh Bailey (1984) yaitu komersial, rekreasional, biotik,
ilmu pengetahuan, filosofi, pendidikan, estetik dan sosial.
Salah satu strategi untuk meningkatkan populasi satwa liar adalah dengan
memperbanyak kantong habitat termasuk melakukan kegiatan introduksi maupun
reintroduksi. Introduksi adalah memindahkan organisme secara sengaja ke habitat
yang sebelumnya bukan merupakan habitat aslinya, sedang reintroduksi adalah
memindahkan organisme secara sengaja ke habitat yang sebelumnya pernah
ditempati namun telah punah sebagai akibat aktivitas manusia atau bencana alam,
dalam upaya untuk membangun kembali populasi satwa liar tersebut (IUCN/SSC
2013). Diharapkan dengan dibangunnya kembali populasi satwa liar ini dapat
memperbesar populasinya. Dalam arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional
2008–2018 disebutkan bahwa spesies dilindungi yang populasinya secara nasional
sudah cukup melimpah dapat dikeluarkan dari daftar spesies dilindungi melalui
Surat Keputusan Menteri (KEMENHUT 2008).

2
Salah satu contoh kegiatan reintroduksi yang berhasil adalah reintroduksi
rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan. Rusa timor
merupakan jenis satwa yang dilindungi di Indonesia (KEMENHUT 1999). Dalam
Red Data Book IUCN tahun 2008 rusa timor digolongkan dalam kategori rentan
(Vulnerable) karena jumlah populasi rusa timor dewasa di alam diperkirakan
kurang dari 10 000 individu dan diperkirakan terus menurun hingga 10% dalam
tiga generasi (minimum 15 tahun) sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi
habitat dan perburuan liar (Hedges et al. 2008).
Walter (2004) mendefinisikan pulau sebagai daratan yang dipisahkan dari
daratan yang lebih besar atau pulau lainnya oleh penghalang air yang mereduksi
aksessibilitas dan hubungan dan juga melindungi biota pulau dari beberapa
dampak daratan seperti predasi, kompetisi dan penyakit. Dalam studi biogeografi,
istilah pulau biasa digunakan pada pulau-pulau kecil yang mempunyai biota yang
berbeda dengan daratan benua yang berdekatan (Hare 2009). Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No 41 tahun 2000 menyebutkan bahwa pulau kecil adalah
pulau dengan luasan kurang atau sama dengan 2000 km2 atau 200 000 ha.
Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari daratan dan perairan
dengan beberapa pulau diantaranya Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Kawasan
Pulau Peucang memilliki luas ± 450 ha tersusun atas hutan lahan kering sekunder
(479.8 ha) dan padang rumput (0.45 ha). Selain sebagai habitat rusa timor (Rusa
timorensis), Pulau Peucang juga merupakan habitat bagi kijang (Muntiacus
muntjak) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai kompetitor serta
biawak (Varanus salvator) dan ular python (Python reticulatus) sebagai predator.
Jarak antara Pulau Peucang dan Semenanjung Ujung Kulon (daratan Pulau Jawa)
kurang lebih 500 m.
Pulau Panaitan dengan luas kawasan ± 17 500 ha tersusun atas hutan lahan
kering primer (1120.79 ha), hutan lahan kering sekunder (6789.03 ha), semak
belukar (1878.62 ha), hutan mangrove sekunder (696.71 ha), hutan rawa sekunder
(1201.53 ha), belukar rawa (477.72 ha) dan padang rumput (0.22 ha). Pulau
Panaitan juga merupakan habitat bagi kijang (Muntiacus muntjak), kancil
(Tragulus javanicus), monyet individu panjang (Macaca fascicularis) sebagai
kompetitor serta biawak (Varanus salvator), ular python (Python reticulatus) dan
buaya muara (Crocodilus porosus) sebagai predator. Jarak antara Pulau Peucang
dan Pulau Panaitan kurang lebih 10 km, demikian juga dengan jarak antara Pulau
Panaitan dan Semenanjung Ujung Kulon (daratan Pulau Jawa).
Pulau Peucang dan Pulau Panaitan merupakan habitat alami rusa timor
(Rusa timorensis) dan rusa timor yang saat ini hidup di Pulau Panaitan merupakan
hasil reintroduksi dari Pulau Peucang. Menurut Pieters dalam Hoogerwerf (1970),
rusa timor di Pulau Panaitan berasal dari Semenanjung Ujung Kulon yang
berenang menyeberang ke Pulau Panaitan dengan jarak ± 10 km ketika terjadi
bencana letusan Gunung Krakatau. Pada tahun 1920, Pieters menembak beberapa
individu rusa dalam kondisi yang buruk. Dalam kunjungan berikutnya selama 5
(lima) minggu di Pulau Panaitan, tidak ditemukan individu rusa maupun jejaknya,
meskipun ditemukan kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus) dan
babi hutan (Sus scrofa) (Hoogerwerf 1970). Kegiatan reintroduksi di Pulau
Panaitan bertujuan untuk membangun kembali populasi rusa timor yang telah
punah. Kegiatan reintroduksi dilakukan pada bulan Juli 1978 sejumlah 5 individu
(4 ♀: 1 ♂); Juli 1979 sejumlah 6 individu (5 ♀: 1 ♂); Agustus 1981 sejumlah 3

3
individu (2 ♀: 1 ♂) dan terakhir 2 ♀ pada bulan Agustus 1982. Pelepasan selalu
dilakukan pada lokasi yang sama yaitu di Legon Anggasa Pulau Panaitan.
Dalam perkembangannya, Biological Science Club Universitas Nasional
Jakarta (BScC) (1984) dalam BTNUK (1992) pernah menjumpai satwa rusa
secara langsung di Tanjung Panenjoan, Legon Sabini dan Legon Bajo Pulau
Panaitan, sementara BTNUK (1992) hanya menjumpai di Legon Haji Pulau
Panaitan. Hasil inventarisasi rusa pada tahun 1997 sejumlah 78 individu dan pada
tahun 2008 BTNUK menjumpai rusa tersebar di Legon Butun, Legon Bajo dan
Legon Kadam Pulau Panaitan dengan perkiraan populasi ± 400 individu dengan
ukuran tubuh yang nampak lebih besar daripada rusa timor di Pulau Peucang.
Evolusi ukuran tubuh merupakan salah satu dari respon yang paling
mendasar terhadap lingkungan pulau karena hal ini mempengaruhi sejumlah
karakteristik yang terkait dengan potensi immigrasi, interaksi ekologi dan
kebutuhan sumber daya (Lomolino 2005). Terjadinya perbedaan ukuran tubuh
diantara pulau-pulau dan daratan kemungkinan mengikuti Island Rule. Demetrius
(2000), menjelaskan bahwa Island Rule/Foster’s Rule (Foster 1964) adalah
perubahan ukuran tubuh yang terjadi karena perpindahan spesies dari daratan ke
pulau. Pola perubahan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (i) ukuran besar:
berevolusi menuju ukuran yang lebih kecil; (ii) ukuran menengah: tidak ada gejala
khas dalam perubahan ukuran; (iii) ukuran kecil: berevolusi menuju ukuran yang
lebih besar. Salah satu mekanisme yang berjalan pada satwa yang berbeda ukuran
(besar dan kecil) adalah yang dihubungkan dengan area wilayah jelajah dimana
pulau yang berukuran kecil wilayah jelajah bagi satwa yang berukuran besar
terbatas, tetapi tidak bagi satwa yang berukuran kecil. Pada wilayah jelajah yang
lebih kecil, sumber daya yang tersedia juga lebih sedikit dan ini akan berimplikasi
bahwa satwa yang berukuran besar harus menjadi lebih kecil di pulau. Satwa yang
berukuran kecil pada pulau dapat meningkatkan akses ke sumber daya jika lebih
besar, dan tidak ada kompetisi (Witting 1997).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan ukuran tubuh
pada populasi satwa di pulau dibanding pada daratan (Burung: Clegg dan Owen
2002; Primata: Bromham 2007), sementara hasil penelitian lainnya tidak
menunjukkan adanya perubahan ukuran tubuh ( ular: Boback 2003; karnivora:
Meiri et al. 2004; kadal: Meiri 2007). Menurut Meiri et al. (2008), lingkungan
biotik dan abiotik populasi itu sendiri yang akan menentukan bagaimana ukuran
tubuh.
Karakteristik populasi pulau lainnya adalah kepadatan yang tinggi dan stabil,
kelangsungan hidup yang lebih baik, peningkatan massa tubuh, dan penurunan
sifat agresif, hasil reproduksi dan penyebaran (Adler dan Levins 1994). Perubahan
dalam proses ekologi dan evolusi populasi pulau disebut sindrom pulau yang
komponennya meliputi perubahan dalam morfologi, demografi dan perilaku
(Blondel 2000). Sindrom pulau didorong oleh perbedaan dalam ukuran pulau dan
isolasi, ukuran pulau menentukan tingkat habitat dan kompleksitas rantai makanan,
sedangkan isolasi mengontrol laju migrasi ke dan dari pulau (Adler and Levins
1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011). Ketika area meningkat, predator,
kompetitor, dan struktur habitat meningkat dalam keanekaragaman, semakin kecil
area pulau maka keanekaragaman predator dan kompetitor juga semakin kecil
sehingga populasi pulau dapat mengakses sumberdaya tanpa harus berbagi dengan
kompetitor. Hal ini mendorong populasi pulau untuk meningkatkan massa tubuh

4
dan kepadatan populasi karena tercukupinya kebutuhan hidupnya terutama
sumberdaya pakan. Ketika kepadatan populasi tinggi, maka populasi pulau akan
menurunkan hasil reproduksi dengan cara menunda usia dewasa. Ketidakhadiran
predator menyebabkan populasi pulau mempunyai kelangsungan hidup yang lebih
baik dan menurunkan sifat agresif. Penurunan penyebaran terjadi karena isolasi
pulau. Pembatasan penyebaran ini juga dapat meningkatkan kepadatan populasi
pulau (Adler dan Levins 1994).
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 13 466 pulau di
antaranya terdiri dari pulau-pulau kecil (BIG 2007). Kementerian Kelautan dan
Perikanan (2000) menyebutkan bahwa salah satu kebijakan dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil ini adalah untuk kepentingan konservasi. Oleh karena itu pulaupulau kecil ini dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar.
Namun informasi mengenai keberhasilan introduksi satwa liar khususnya mamalia
berukuran sedang hingga besar di pulau berikut proses ekologinya masih terbatas.
Sementara menurut Frankham (1998), populasi pulau secara nyata merupakan
hasil perkawinan sekerabat (inbred) dan tekanan silang dalam (inbreeding)
merupakan salah satu penyebab kepunahan populasi pulau. Untuk itu maka
dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai sindrom pulau dalam
reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Panaitan ini sebagai contoh
kegiatan reintroduksi yang berhasil.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan teori sindrom pulau (Island
Syndrome) dalam reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Panaitan
Taman Nasional ujung Kulon melalui beberapa tujuan khusus yaitu:
1. Membandingkanhabitat, pakan dan daya dukung habitat rusa timor (Rusa
timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
2. Membandingkan ukuran tubuh dan kepadatan populasi rusa timor (Rusa
timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
3. Membandingkan wilayah jelajah dan penggunaan habitat rusa timor (Rusa
timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
4. Membandingkan alokasi wakturusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang
dan Pulau Panaitan.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan apakah
pulau kecil layak sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar dan diharapkan
dapat merekomendasikan tipologi pulau sebagai tujuan introduksi satwa liar
dalam upaya meningkatkan populasi satwa liar di Indonesia melalui introduksi ke
pulau-pulau kecil. Selain itu hasil dari penelitian ini juga diharapkan akan
memberikan informasi yang dapat membantu dalam pengelolaan rusa timor (Rusa
timorensis) di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung
Kulon.

5
Kebaruan
Penelitian tentang sindrom pulau telah banyak dilakukan diantaranya
sindrom pulau pada rodensia (Adler dan Levins 1994), burung (Blondel 2000),
kadal (Raia et al. 2010) dan tikus (Russell et al. 2011), namun penelitian
mengenai sindrom pulau pada ruminansia yang berukuran sedang hingga besar
belum pernah dilakukan di Indonesia. Kebaruan dari penelitian ini adalah kajian
teori sindrom pulau pada reintroduksi rusa timor di Pulau Panaitan dalam
kaitannya dengan mencari tipologi pulau sebagai lokasi tujuan introduksi satwa
liar.

6

2 PERBANDINGAN HABITAT, PAKAN DAN DAYA DUKUNG
HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN
PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Pendahuluan
Habitat adalah sumber daya dan kondisi yang terdapat pada suatu area yang
menghasilkan hunian bagi organisme tertentu untuk kelangsungan hidup dan
reproduksi (Krausman 1999). Habitat satwa merupakan susunan pakan, pelindung
dan air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan biologis satu atau lebih
individu spesies (Thomas 1979). Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe
vegetasi, seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak
terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan untuk bersembunyi
menghindar dari predator (Mukhtar et al. 2011).
Cara terbaik untuk mengelola satwa liar adalah dengan mengelola
habitatnya karena habitat mempengaruhi kehidupan satwa liar tersebut (Creighton
dan Baumgartner 1997). Shaw (1985) menyatakan bahwa salah satu konsep yang
paling penting dalam pengelolaan satwa liar adalah daya dukung yaitu jumlah
satwa sejenis yang dapat didukung dalam suatu area yang dinyatakan sebagai
jumlah per satuan luas dan pakan merupakan salah satu kebutuhan dasar satwa
yang turut menentukan jumlah satwa (Creighton dan Baumgartner 1997), karena
pakan berpengaruh terhadap kesejahteraan, pertumbuhan serta perkembangan
populasi satwa (Masy’ud et al. 2008).
Saat ini rusa timor dikategorikan rentan (vulnerable) karena jumlah populasi
rusa dewasa di alam diperkirakan kurang dari 10 000 individu dan diperkirakan
terus menurun hingga 10% dalam tiga generasi (minimum 15 tahun) sebagai
akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges et al.
2008). Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi rusa timor adalah dengan
melakukan introduksi. Pemindahan rusa timor dari Pulau Peucang (± 450 ha) ke
Pulau Panaitan (± 17,500 ha) merupakan salah satu contoh kegiatan reintroduksi
yang berhasil.
Ukuran pulau menentukan tingkat habitat sehingga perbedaan ukuran pulau
mendorong sindrom pulau yaitu terjadinya perubahan dalam morfologi, demografi
dan perilaku dalam proses ekologi dan evolusi populasi pulau (Adler and Levins
1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011). Mengingat pentingnya habitat dalam
sindrom pulau maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan habitat,
pakan, dan daya dukung habitat rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Metode Penelitian
Habitat
Vegetasi
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis, struktur, dan komposisi tumbuhan
yang ada pada kedua pulau ini dilakukan analisis vegetasi dengan menggunakan
metode kuadrat dengan ukuran petak sebagai berikut :

7


Petak ukuran 20 m x 20 m untuk pengambilan data vegetasi pohon
(diameter >20 cm)
 Petak ukuran 10 m x10 m untuk pengambilan data vegetasi pohon pada
tingkat pertumbuhan tiang (diameter 10 - 19 cm)
 Petak ukuran 5 m x 5 m untuk pengambilan data vegetasi tingkat
pertumbuhan pancang (diameter 1.5 m)
 Petak ukuran 1 m x 1 m untuk vegetasi tingkat semai (diameter 100
Jumlah

Pulau Peucang (Ha)
388.03
84.98
7.34
0.00
0.00
480.35

Pulau Panaitan (Ha)
6382.50
2635.46
1300.70
905.46
1097.65
12 321.77

Pakan
Terdapat 37 jenis tumbuhan pakan rusa timor yang berhasil diamati di Pulau
Peucang (Lampiran 1) yang terdiri dari 20 jenis pohon, 3 jenis perdu, 1 jenis liana,
11 jenis rumput/herba dan 2 jenis jamur. Pada jenis pohon terdapat beberapa
bagian yang dimakan antara lain daun, bunga dan tangkainya, buah, ranting muda.
Jenis-jenis pakan ini diperoleh rusa timor dengan cara memanen langsung pada
individu tumbuhan apabila dapat dijangkau atau dengan memungut yang sudah
jatuh baik yang masih segar (daun pada cabang pohon yang patah karena angin
kencang atau dijatuhkan oleh monyet individu panjang) maupun yang sudah
kuning. Jenis-jenis pakan dari jenis pohon paling banyak ditemukan pada vegetasi
dataran rendah. Haeruman et al. (1977) menemukan 46 jenis hijauan pakan rusa
timor di Pulau Peucang sementara Setio et al. (2011) menemukan 19 jenis pakan
rusa timor di Pulau Peucang.
Tumbuhan pakan rusa timor yang berhasil diamati di Pulau Panaitan
sejumlah 38 jenis yang terdiri dari 19 jenis pohon, 4 jenis perdu, 14 jenis
rumput/herba dan 1 jenis jamur. Bagian yang dimakan rusa timor di Pulau
Panaitan pada jenis pohon antara lain daun, bunga, tangkai bunga, buah, ranting
muda, dan kecambah. Pada herba, liana dan perdu bagian yang dimakan adalah
daunnya, sedang pada jamur dimakan seluruhnya (batang dan tudung). Rusa timor
di pulau ini paling sering terlihat makan vegetasi pantai seperti daun butun
(Barringtonia asiatica), waru laut (Thespesia populnes) dan kampis (Hernandia
peltata), sedang pada vegetasi hutan dataran rendah yang paling disukai terutama
oleh rusa timor jantan dewasa adalah daun rotan (Daemonorops melanochaetes).
Indeks similaritas antara pakan rusa di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan
rendah yaitu sebesar 37.33% yang berarti jenis pakan yang sama yang dimakan
rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan sedikit (14 jenis), meskipun rusa
timor di Pulau Peucang merupakan nenek moyang rusa timor di Pulau Panaitan.
Perbedaan temuan jenis pakan baik di Pulau Peucang dari waktu ke waktu
(1977; 2011; 2013) maupun antara Pulau Peucang dan Pulau Panaitan
kemungkinan karena rusa timor di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan
menggeser menu pakannya berkaitan dengan ketersediaan pakan seperti yang
ditemukan pada banteng di Taman Nasional Alas Purwo (Pairah 2007) atau untuk
menurunkan kompetisi dengan jenis lain (kijang, kancil dan monyet individu
panjang), seperti yang ditemukan pada grazer-grazer di Afrika (Sinclair 1985
dalam Barker 2005).
Berdasarkan komposisi jenis pakan diatas maka rusa timor di kedua pulau
tersebut dapat digolongkan sebagai mix feeder yaitu grazer dan browser (pemakan
rumput dan pemakan hijauan daun). Berdasarkan jumlah jenis tumbuhan pakan,
rusa timor di kedua pulau merupakan jenis satwa yang cenderung generalist dan

13
jenis satwa generalist akan lebih berhasil untuk bertahan hidup (Colles et al.
2009) karena satwa generalis mempunyai relung pakan yang luas, masing-masing
jenis pakan dapat saling menggantikan (satwa tidak akan terpaku pada satu jenis
pakan saja).
Daya Dukung
Pakan rusa timor di Pulau Peucang terdiri dari rumput, herba, hijauan daun,
bunga, buah (pada semak maupun pohon baik pada individu yang hidup maupun
pada cabang yang patah dan jatuh), material jatuh (daun, bunga, buah) dan jamur.
Hasil perhitungan produktivitas pakan rusa timor di Pulau Peucang dalam setahun
adalah sebesar 1 150 473.79 kg atau 3151.98 kg/hari. Menurut Sudibyo et.al.
(2012), kebutuhan pakan rusa timor sebesar 15% dari berat badan. Dengan
pertimbangan untuk kesejahteraan rusa timor maka kebutuhan pakan diukur dari
berat badan rusa dewasa meskipun berat badan anak dan remaja tentu akan lebih
kecil dibanding dewasa. Berat badan rusa timor dewasa untuk betina rata-rata 50
kg dan untuk rusa jantan 70 kg, apabila diambil rata-rata 60 kg maka kebutuhan
pakan rusa timor adalah 9 kg/individu/hari sehingga daya dukung Pulau Peucang
adalah 350 individu, dengan mengabaikan kompetitor dan produktivitas insidental
seperti daun segar pada cabang yang patah dan jatuh. Ukuran populasi rusa timor
di Pulau Peucang adalah 99 individu (Sudibyo et al. 2012), sehingga populasi rusa
timor di pulau ini masih berada di bawah daya dukung. Mukhtar (2004)
melaporkan bahwa daya dukung Pulau Peucang untuk tahun 2000 dan 2001
adalah sebesar 337 individu, kemudian pada tahun 2011 Setio et al. (2011)
melaporkan bahwa daya dukung Pulau Peucang untuk rusa timor sebesar 375
individu. Dari beberapa laporan tersebut menunjukkan bahwa daya dukung Pulau
Peucang tidak terlalu berfluktuasi. Hal ini didukung dengan hasil analisis vegetasi
di Pulau ini yang mempunyai indeks diversitas tinggi sehingga ekosistemnya
memiliki ekosistem yang stabil.
Hasil perhitungan produktivitas pakan di Pulau Panaitan adalah sebesar 105
593.8 kg/hari, jika kebutuhan pakan rusa timor sebesar 15% dari berat badan dan
berat badan rata-rata sebesar 80 kg, maka kebutuhan pakan rusa timor adalah 12
kg/individu/hari sehingga daya dukung Pulau Panaitan adalah sebesar 8799
individu. Estimasi ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan adalah 822±484
individu, sehingga masih jauh di bawah daya dukung dan kesejahteraan rusa timor
di pulau ini tampak pada ukuran tubuhnya yang cenderung lebih besar dibanding
rusa timor di Pulau Peucang.

Simpulan
Rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan merupakan pemakan
rumput, hijauan daun, bunga, tangkai bunga, buah, ranting muda dan jamur.
Berdasarkan jumlah jenis pakannya, baik rusa timor di Pulau Peucang maupun
Pulau Panaitan merupakan generalist. Hampir seluruh strata di seluruh tipe
vegetasi di kedua pulau mempunyai indeks diversitas yang tinggi menunjukkan
bahwa kedua pulau mempunyai ekosistem yang stabil. Ketersediaan air di Pulau
Panaitan lebih melimpah dibanding Pulau Peucang dengan adanya sungai besar
yang mengalir sepanjang tahun dan ekosistem rawa, sementara di Pulau Peucang

14
hanya terdapat kubangan dan rawa. Titik tertinggi Pulau Panaitan lebih tinggi
dibanding Pulau Peucang, namun ketinggian di kedua pulau ini masih merupakan
range habitat rusa timor. Daya dukung habitat di Pulau Peucang sebesar 350
individu dan di Pulau Panaitan sebesar 8799 individu. Temuan ini sesuai dengan
teori sindrom pulau bahwa ukuran pulau menentukan tingkat habitat.

15

3 PERBANDINGAN UKURAN TUBUH DAN KEPADATAN
POPULASI RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN
PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Pendahuluan
Rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) yang saat ini berada di Pulau
Panaitan merupakan reintroduksi dari Pulau Peucang pada tahun 1978 s/d 1982
sejumlah 16 individu. Kegiatan ini dilakukan untuk membangun kembali populasi
rusa timor di Pulau Panaitan setelah tahun 1920 tidak diketemukan lagi
(Hoogerwerf 1970).
Introduksi dikatakan berhasil jika mampu menghasilkan populasi yang
mandiri (Griffith et al. 1989). Pada tahun 1997, Balai Taman Nasional Ujung
Kulon melaporkan bahwa ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan ± 78
individu dan pada tahun 2008 meningkat menjadi ± 400 individu. Hal ini
mengindikasikan bahwa kegiatan reintroduksi ini cukup berhasil.
Selain ukuran populasi yang mengalami peningkatan, ukuran tubuh rusa
timor di Pulau Panaitan juga tampak lebih besar. Menurut Meiri et al. (2008),
lingkungan biotik dan abiotik populasi itu sendiri yang akan menentukan
bagaimana ukuran tubuh. Harmon et al. (2005) menyatakan bahwa fenotip spesies
lebih erat berkaitan dengan lingkungannya dari pada dengan nenek moyangnya.
Hal penting yang berkontribusi pada variasi ukuran tubuh adalah perbedaan
ketersediaan sumberdaya dan kualitas lingkungan (Amarello et al. 2010) dan
perbedaan morfologi berhubungan dengan penggunaan bagian lingkungan yang
berbeda (Harmon et al. 2005).
Perubahan pada beberapa karakteristik populasi pulau dalam proses ekologi
dan evolusi dinamakan sindrom pulau yang didorong oleh perbedaan ukuran
pulau dan isolasi (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011).
Ukuran pulau menentukan tingkat habitat yang akan berpengaruh pada ukuran
tubuh, sedang isolasi akan berpengaruh terhadap kepadatan populasi melalui
mekanisme migrasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandin