Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi Dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi Di Indonesia

ANALISIS PERBANDINGAN PENGARUH KONSUMSI DAN KONDISI
INFRASTRUKTUR TERHADAP INFLASI INDONESIA

ENING DWI JAWATY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi berjudul Ananlisis Perbandingan
Pengaruh Konsumsi dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi di Indonesia adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telaah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya ilmiah saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Ening Dwi Jawaty
NIM. H14110110

iv

ABSTRAK
ENING DWI JAWATY. Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi dan Kondisi
Infrastruktur Terhadap Inflasi di Indonesia. Dibimbing oleh HERMANTO
SIREGAR.
Penelitian ini menitikberatkan fokus pada perhitungan besarnya pengaruh
konsumsi dan kondisi infrastruktur di Indonesia dalam menentukan variabilitas
inflasi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melihat variabel yang paling

berpengaruh dalam menyebabkan senjang antara inflasi aktual dan inflasi target,
sehingga implikasi kebijakan yang dirumuskan dapat tepat mengatasi senjang
tersebut. Semua data yang dihimpun merupakan data deret waktu dengan selang
periode 2004-2013 dan dianalisis dengan menggunakan metode vector error
correction model (VECM). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, variabel
konsumsi terbukti signifikan, di sisi lain, salah satu komponen variabel
infrastruktur yaitu infrastruktur kereta api terbukti tidak signifikan dalam
memengaruhi kinerja inflasi. Tidak hanya itu, hasil analisis membuktikan bahwa
infsrtruktur memiliki efek yang lebih besar daripada konsumsi dalam menentukan
variabilitas kinerja inflasi di Indonesia.
Kata kunci: inflasi, infrastruktur, konsumsi, VECM

ABSTRACT
ENING DWI JAWATY. Comparative Analysis of Impacts of Consumption and
Infrastructure on Inflation in Indonesia. Supervised by HERMANTO SIREGAR.
This study has focused on comparising impacts of consumption and
infrastructure on Indonesia’s inflation. The aim of this study is to deciding the most
influencing variables on causing inflation gap. This study used time series data
2004-2013 and analized using by the vector error correction model (VECM).
Analitically, consumption has significant effect. Whereas, one of infrastructure

components, i.e. railway infrastructure, has no significant effect on inflation. The
result also show that the infrstructure has bigger effect than consumption on
influencing inflation in Indonesia.
Keywords: inflation, infrastructure, consumption, VECM

v

ANALISIS PERBANDINGAN PENGARUH KONSUMSI DAN
KONDISI INFRASTRUKTUR TERHADAP KINERJA INFLASI
DI INDONESIA

ENING DWI JAWATY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

vi

vii

Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi dan Kondisi
Infrastruktur Terhadap Kinerja Inflasi di Indonesia
Nama
: Ening Dwi Jawaty
NIM
:H14110110

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec.
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr, Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Tanggal Lulus:

viii

PRAKATA
Alhamdulillahirabbilalamin. Puji syukur kehadirat Allah Swt. Yang Maha
Pengasih atas limpahan rahmat, berkah dan nikmat kepada penulis sejak memulai
proses studi sarjana hingga proses penyelesaian skripsi yang berjudul Analisis
Perbandingan Pengaruh Konsumsi dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Kinerja
Inflasi di Indonesia ini. Semua pencapaian selama proses-proses tersebut tentu tidak
dapat dipisahkan dari ridho Allah Yang Maha Memiliki Ilmu. Shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada junjungan hidup, Nabi Muhammad Saw. Karya ilmiah
ini sendiri memiliki tujuan untuk melihat besarnya pengaruh konsumsi dan kondisi
infrastruktur dalam memengaruhi kinerja inflasi di Indonesia. Implikasi kebijakan

yang dirumuskan pada skripsi ini, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam penyusunan kebijakan-kebijakan terkait inflasi dan menjadi bahan referensi
bagi penelitian di masa mendatang.
Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih sebesar-sebesarnya kepada seluruh pihak yang telah berperan aktif dalam
penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini, terutama kepada:
1. Ibu, Bapak, Ayah, Mbak Fenny M. Sari, Ragil T. A. Handini, dan Adnan AlFurqan yang telah menjadi muara dari semua resolusi. Terima kasih atas
dukungan di tiap langkah, keringat di tiap usaha, air mata di tiap gagal, dan
doa di tiap harap.
2. Ny. SMT Alfiana Ainurrahma, terima kasih atas tawa di tiap detik, semangat
di tiap hari dan mimpi di tiap doa. Terima kasih telah menjadi rumah di tanah
rantau.
3. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec. selaku dosen pembimbing atas semua
masukan, transfer ilmu dan inspirasi yang sangat berharga selama
penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. Sahara dan Dr. Eka Puspitawati selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan banyak saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini.
5. PT Bukit Asam (persero) Tbk. sebagai sponsor beasiswa penulis selama
menempuh pendidikan S1.
6. Rekan satu bimbingan (HER’s) atas semua semangat dan dukungan, atas

kepal tangan dan senyuman.
7. Eko, Ica, Jenal, Putri, Selva dan Shofiyanto yang telah menjadi peretas
kebahagiaan di sela keras perjuangan.
8. Sendy W. Ilmy, Triana E. Lubis dan Umi Khasanah yang telah menjadi
telinga untuk setiap keluh. Sahabat BEM FEM Kabinet Prioritas dan BEM
FEM Kabinet Simfoni atas dua tahun yang berharga.
9. Carla S. Wulandari, Dian Rahmadhani, Iswahyuni, Zulva Azijah dan
Keluarga Besar ESP 48 atas empat tahun sarat ilmu, empat tahun sarat
perjuangan dan empat tahun sarat impian.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun percayalah,
setiap dukungan sangat luar biasa berarti.
Bogor, Mei 2015

Ening D. Jawaty

ix

DAFTAR ISI
ii
DAFTAR ISI


ix

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Rumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA

8

Kebijakan Moneter dan Penargetan Inflasi


8

Inflasi

10

Demand Pull Inflation

10

Cost Push Inflation

13

Penelitian Terdahulu

14

Kerangka Pemikiran


19

Hipotesis Penelitian

20

METODE PENELITIAN

21

Jenis Data dan Sumber Data

21

Variabel dan Definisi Operasional

21

Metode Analisis dan Pengolahan Data

22

Pengujian Pra Estimasi

24

Uji Akar Unit

24

Penetapan Lag Optimal

25

Uji Kointegrasi

25

Impulse Response Function (IRF)

26

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

26

Model Penelitian

27

GAMBARAN UMUM

27

Kondisi Makroekonomi Indonesia

27

Tingkat Konsumsi Dan Kondisi Infrastruktur Masyarakat Di Indonesia

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

34

x

Pengujian Pra Estimasi

34

Uji Stasioneritas

34

Uji Lag Optimum

35

Uji Stabilitas VAR

36

Uji Kointegrasi

37

Hasil Estimasi VECM

37

Faktor-faktor Penyebab Tingginya Inflasi di Indonesia

38

Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Inflasi

38

Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Infrastruktur

39

Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Konsumsi

40

Kontribusi Konsumsi dan Infrastruktur dalam Memengaruhi Kinerja Inflasi di
Indonesia
41
Implikasi Kebijakan
SIMPULAN DAN SARAN

42
45

Simpulan

45

Saran

45

Daftar Pustaka

46

xi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tingkat Inflasi Pada Periode 1950-1965
Penelitian Terdahulu Terkait Inflasi
Jenis dan Sumber Data
Uji Stasioneritas pada Level
Uji Stasioneritas pada First difference
Hasil Uji Stabilitas VAR
Hasil Uji Kointegrasi
Hasil Estimasi Model VECM
Efek Guncangan Terhadap Kinerja Inflasi di Indonesia

2
15
21
36
36
37
38
38
43

DAFTAR GAMBAR
1 Tingkat Inflasi pada Periode 1995-Januari 2015
2 Tingkat Inflasi (%) dan Harga Minyak Dunia (Dolar/Barel) Periode
2005-Januari 2015
3 Inflasi Target dan Inflasi Aktual Periode 2001-Januari 2015
4 Kualitas Infrastruktur Indonesia Periode 2012-2015
5 Sepuluh Faktor Utama Penghambat Perkembangan Usaha di
Indonesia
6 Demand Pull Inflation
7 Cost Push Inflation
8 Kerangka Pemikiran
9 Inflasi Indonesia pada Periode 2001-Januari 2015
10 Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Periode 20012008
11 Cadangan Devisa Indonesia Periode 2004-2013 (US$)
12 Nilai Tukar Periode 2004-2013 (Rupiah)
13 Konsumsi dan Pendapatan Nasional Periode 2004-2013 (Miliar
Rupiah)
14 Rata-rata Pengeluaran per Kapita Masyarakat Indonesia Sebulan
untuk Konsumsi Makanan dan Bukan Makanan Periode 2004-2013
(Rupiah)
15 Panjang Jalan di Indonesia Periode 2004-2013 (Kilometer)
16 Volume Barang yang Diangkut Melalui Infrastruktur Kereta Api dan
Infrastruktur Laut Periode 2004-2013 (Ton)
17 Peringkat Kualitas Infrastruktur Negara-negara di Asia Tenggara pada
Tahun 2015
18 Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Variabel Inflasi
19 Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Infrastruktur
20 Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Konsumsi
21 Perbandingan Biaya Proyek yang Dilaksankan Oleh Pemerintah dan
Proyek Melalui Pendekatan PPP

2
3
4
6
7
12
14
20
28
29
30
31
32
33

34
34
35
36
37
38
45

xii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Uji Stasioneritas Inflasi pada Level
Uji Stasioneritas pada First Difference
Uji Stasioneritas LN_BONGKAR pada Level
Uji Stasioneritas LN_BONGKAR pada First Difference
Uji Stasioneritas LN_KA pada Level
Uji Stasioneritas LN_KA pada First Difference
Uji Stasioneritas LN_KONS pada Level
Uji Stasioneritas LN_KONS pada First Difference
Uji Stasioneritas LN_MUAT pada Level
Uji Stasioneritas LN_MUAT pada First Difference
Uji Stasioneritas LN_PJ pada Level
Uji Stasioneritas LN_PJ pada First Difference
Uji Lag Optimum
Uji Stabilitas Sistem VAR
Uji Kointegrasi
Estimasi VECM
Impulse Response Function
Grafik Impulse Response Function
Analisis Forecast Error Variance Decomposition
Grafik Forecast Error Variance Decomposition

51
51
52
54
55
55
56
57
58
59
60
60
62
63
63
65
70
76
77
87

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang terus menjadi masalah
pokok dan perdebatan para ekonom di setiap negara. Bank Indonesia secara
sederhana mendefinisikan inflasi sebagai meningkatnya harga-harga secara umum
dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat
disebut inflasi kecuali kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga)
pada barang lainnya. Menurut Friedman, inflasi merupakan sebuah fenomena
moneter yang selalu terjadi dimana pun dan tidak dapat dihindari. Inflasi terjadi jika
terdapat peningkatan harga yang berlangsung secara cepat dan terus-menerus.
Pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004).
Berdasarkan uraian berbagai definisi terkait inflasi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa inflasi merupakan peningkatan harga-harga barang secara bersamaan dan
berlangsung dalam waktu yang relatif cukup lama.
Inflasi tidak hanya merupakan sebuah fenomena ekonomi atau sekedar
indikator makroekonomi, namun menjadi elemen perekonomian penting yang
harus dijaga kestabilannya. Ketidakstabilan dan tingginya inflasi suatu negara tentu
menimbulkan berbagai dampak, baik dampak ekonomi maupun dampak sosial.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh inflasi antara lain adalah timbulnya
ketidakpastian yang membuat para pelaku ekonomi sulit membuat keputusan
ekonomi baik pilihan untuk berinvestasi maupun pilihan dalam produksi dan
konsumsi. Ketidakpastian ini tentu akan memberikan dampak negatif pada
pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak hanya itu, inflasi pun dapat menyebabkan
penurunan daya beli masyarakat sehingga standar hidup mengalami penurunan.
Penurunan standar hidup ini tentu bukan merupakan dampak akhir dari inflasi
namun dapat mengakomodir dampak negatif lain seperti meningkatkan kriminalitas
di suatu negara. Inflasi menjadi salah satu poin yang sangat diperhatikan oleh
investor asing dalam menanamkan modal yang mereka miliki di suatu negara.
Seorang investor tentu kurang memercayai (unprudence) negara dengan tingkat
inflasi yang tinggi karena produk domestik relatif lebih mahal terhadap produk luar
negeri dan mengalami penurunan competitiveness di pasar internasional.
Menyadari besarnya dampak inflasi terhadap kesehatan fundamental
makroekonomi, maka pemerintah membaca sinyal pentingnya melakukan
pengontrolan inflasi melalui penetapan target inflasi sebagai salah satu kerangka
kerja moneter yang tepat untuk menjaga kestabilan inflasi. Menurut Atmadja
(1999), pengendalian inflasi dapat dilakukan tidak hanya dengan membuat
kebijakan yang dapat mengantisipasi atau responsif terhadap kenaikan barangbarang luar negeri (imported inflation), namun juga dapat ditempuh melalui
peningkatan cadangan devisa dan supply pangan dalam negeri, mengurangi defisit
APBN serta memperbaiki struktur penawaran dalam negeri. Kebijakan penargetan
inflasi ini merupakan salah satu bentuk forward looking policy, di mana kebijakan
ini menjadi langkah antisipasif atas penetapan sasaran inflasi di masa mendatang.
Inflation targeting framework disusun untuk membentuk persepsi publik terkait
inflasi sehingga dapat berdampak pada kestabilan harga-harga. Inflation targeting
umumnya diimplementasikan di negara-negara yang sedang dilanda krisis, untuk
meningkatkan keefektifan penerapan kebijakan moneter dan upaya untuk

2

memulihkan kondisi perekonomian. Manfaat dari penetapan target inflasi antara
lain membuat target inflasi menjadi lebih jelas dan langkah-langkah kebijakan
moneter menjadi semakin mudah diobservasi.
Langkah yang dipilih oleh suatu negara untuk mengendalikan inflasi tentu
tidak dapat memberikan dampak yang tepat sama jika diterapkan di negara lain. Hal
ini tentu disebabkan oleh perbedaan kondisi fundamental perekonomian dan
perbedaan penyebab inflasi suatu negara dengan negara lain, sehingga sebelum
menetapkan kebijakan yang digunakan untuk melakukan pengendalian inflasi,
pemangku kebijakan ekonomi suatu negara harus dengan cermat mengenali
penyebab inflasi di negara terkait. Inflasi di Indonesia sendiri dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Pada tahun 1960-an, Indonesia pernah mengalami hyperinflation
karena pembiayaan defisit anggaran dilakukan oleh pencetakan uang. Hal ini
dijelaskan oleh tabel 1 berikut. Pada periode tahun 1955-1958, inflasi berada pada
level 26.6%, level ini meningkat dari periode tahun sebelumnya. Pada periode tahun
selanjutnya, tingkat inflasi mencapai tiga digit, yaitu 162.9%.
Tabel 1: Tingkat Inflasi Indonesia Pada Periode 1950-1965
Periode
Tingkat Inflasi Rata-rata
1950-1954
20.8
1955-1958
26.6
1959-1965
162.9
1
Sumber: Akhtar , 2005
Tiga dasawarsa ke depan, tepatnya pada tahun 1997-1998, Indonesia kembali
mengalami inflasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh gejolak krisis
moneter yang memorak-porandakan perekonomian Indonesia.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
Jan-15

2014

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

0

Gambar 1: Tingkat Inflasi Indonesia pada Periode 1995-Januari 2015 (persen)
Sumber: BPS, 2015 (diolah)
Indonesia pun sempat mengalami gejolak inflasi yang tinggi di tahun 20052013, di mana harga minyak dunia mengalami peningkatan sehingga dapat
1

Dikompilasi langsung oleh penulis dari berbagai sumber seperti: Arndt (1971), Thomson dan
Drysdale (1964), dan IMF, IFS Yearbook.

3

dipastikan bahwa harga bahan bakar dalam negeri pun melambung tinggi.
Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat bahwa peningkatan harga minyak dunia diikuti
dengan peningkatan inflasi, artinya jika terjadi kenaikan harga minyak dunia, inflasi
akan menyesuaikan. Puncak kenaikan harga minyak dunia selama satu dekade
terakhir berada pada tahun 2008, di mana harga minyak dunia mencapai US$
99.67/barel dan ditanggapi dengan kenaikan inflasi hingga level 11.06%.
Peningkatan harga bahan bakar tentu akan mengakomodir kenaikan harga barangbarang lain mulai dari harga input-input produksi sampai dengan harga bahan
makanan.
120
100
80
60
40
20
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jan15
Harga Minyak Dunia

Tingkat Inflasi

Gambar 2: Tingkat Inflasi Indonesia (persen) dan Harga Minyak Dunia
(USD/Barel) Periode 2005-Januari 2015
Sumber: US Energy Information Administration, BPS, 2015 (diolah)
Fenomena lain ditunjukan oleh beberapa negara seperti, Afghanistan,
Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan dan Nepal yang mengalami peningkatan inflasi
sebagai akibat dari peningkatan harga pangan. Berdasarkan penelitian Wahyuni
(2011), inflasi yang terjadi di suatu negara dapat disebabkan oleh berbagai hal
antara lain: expected inflation, nilai tukar dan upah riil pekerja/buruh. Penelitian
lainnya menunjukan bahwa peningkatan harga barang secara umum yang kemudian
mendorong terjadinya inflasi
lebih disebabkan karena rendahnya peran
infrastruktur dalam mendukung berbagai aktivitas nasional, tidak hanya aktivitas
perekonomian (tabel 2). Esrig (2010) menyatakan manajemen infrastruktur yang
baik dapat membantu menjaga kestabilan inflasi dalam jangka panjang maupun
jangka pendek. Sedangkan Nur (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara konsumsi dan inflasi, jika konsumsi mengalami penurunan, maka
tingkat inflasi akan menurun.
Rumusan Masalah
Kebijakan Penargetan Inflasi telah resmi diberlakukan pada Juli 2005.
Sejak penetapannya, kebijakan ini belum dapat berjalan sesuai target. Berbagai

4

kendala dalam penetapan kebijakan ini seperti rendahnya kredibilitas kebijakan
moneter menjadi alasan besar atas ketidakefektifan penetapan target inflasi di suatu
negara. Menurut Nuryati, et al. (2006), aspek kelembagaan Bank Indonesia masih
belum efektif meskipun telah dilakukan penyempurnaan melalui Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1999. Ketidakefektifan ini ditunjukan oleh fungsi, tujuan, dan
wewenang yang belum terkoordinasi dengan baik sehingga target-target yang
ditetapkan sebelumnya tidak dapat tercapai. Sejak tahun 2003, inflasi ditargetkan
oleh pemerintah dengan koefisien toleransi sebesar 1%.
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Inflasi Target

Inflasi Aktual

Gambar 3: Inflasi Target dan Inflasi Aktual Periode 2001-Januari 2015
Sumber: Bank Indonesia, 2015 (diolah)
Berdasarkan data yang disajikan pada gambar 3, dapat disimpulkan bahwa
dalam satu setengah dekade terakhir, sebagian besar inflasi yang terbentuk di
Indonesia tidak sesuai dengan inflasi yang ditargetkan oleh Bank Indonesia dan
pemangku kebijakan moneter lainnya. Sepanjang tahun 2001-Januari 2015, inflasi
sempat melebar dari target hingga 10 poin, seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan
2008. Pada tahun 2005, inflasi yang ditargetkan adalah sebesar 6 +1% dan inflasi
aktual yang terbentuk adalah 17.11%. Sedangkan pada tahun 2008, inflasi yang
ditargetkan adalah 5+1% dan inflasi aktual berada di titik 11.06%. Melihat kondisi
ini maka efektivitas penetapan target inflasi sebagai kerangka kerja yang
diharapkan dapat mengontrol tingkat inflasi di Indonesia menjadi dipertanyakan.
Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan matang bagi pemerintah dalam
merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah inflasi di Indonesia.
Mengenali sumber dan penyebab terjadinya inflasi harus dilakukan oleh pemerintah
agar kebijakan yang akan diimplementasikan dapat tepat guna dalam mengatasi
masalah inflasi. Menurut Boediono (1994), berdasarkan sumbernya, inflasi
dibedakan menjadi dua, yaitu demand pull inflation dan cost push inflation.
Demand pull inflation merupakan inflasi yang timbul karena adanya peningkatan
permintaan (demand) masyarakat terhadap berbagai komoditas baik barang
maupun jasa. Rakhman (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
mencerminkan tingkat produktivitas masyarakat di suatu negara. Semakin tinggi

5

produktivitas menunjukan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi juga akan menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi
pemerintah sehingga hal tersebut akan meningkatkan permintaan atas barang dan
jasa konsumsi kedua pelaku perekonomian tersebut. Apabila peningkatan dalam
keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply
barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga
menyebabkan tingkat harga menjadi naik. Dampak akhir dari proses ini adalah
timbulnya demand pull inflation. Meski menurut Keynes, demand pull inflation
lebih didorong oleh pengeluaran pemerintah terutama pengeluaran untuk pos
peperangan, namun konsumsi masyarakat yang tinggi pun diprediksi memiliki andil
dalam menyebabkan demand pull inflation.
Hal berbeda ditunjukan oleh cost push inflation. Cost push inflation
merupakan inflasi yang disebabkan oleh peningkatan harga-harga, terutama harga
input produksi yang menyebabkan kenaikan biaya produksi. Permana (2004)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya
biaya produksi dan berdampak pada inflasi. Faktor-faktor tersebut antara lain:
tuntutan kenaikan upah, perilaku monopolis yang dapat bertindak sebagai price
leader, kenaikan harga bahan baku, kebijakan pemerintah, faktor alam dan
imported inflation. Dalam penelitian yang sama pun dijelaskan bahwa inflasi dapat
dipicu oleh nilai tukar yang terdepresiasi (sehingga menyebabkan produsen harus
membayar imported production input lebih mahal) dan harga bahan bakar yang
meningkat. Rakhman (2012) dalam penelitiannya terkait faktor-faktor yang
memengaruhi inflasi di Pulau Jawa menambahkan kondisi infrastruktur sebagai
salah satu pemicu cost push inflation. Besarnya pengaruh faktor terakhir ini tentu
menarik untuk diteliti di Indonesia mengingat kondisi infrastruktur Indonesia yang
masih terbatas dan kurang mampu mendukung berbagai aktivitas perekonomian.
World Economic Forum menguraikan kondisi infrastruktur Indonesia selama
beberapa tahun terakhir dalam The Global Competitiveness Report. Gambar 4
menyajikan hasil penilaian kualitas infrastruktur di Indonesia. Secara keseluruhan,
kualitas infrastruktur memiliki kecenderungan mengalami peningkatan setiap
tahunnya, kecuali pada tahun 2013. Pada tahun tersebut kualitas infrastruktur
mengalami penurunan 0.2 poin dari tahun sebelumnya yaitu 3.9 menjadi 3.7.
Dengan nilai maksimal sebesar 7, kualitas infrastruktur Indonesia berada pada titik
4.2. Nilai ini tentu tergolong cukup rendah jika dibandingkan dengan negara
berdaya saing tinggi seperti Singapura dengan poin kualitas infrastruktur sebesar
6.54 dan Hongkong dengan poin kualitas infrastruktur sebesar 6.69. Hal serupa juga
ditunjukan oleh kualitas transportasi, baik kereta api, transportasi udara maupun
transportasi laut yang seharusnya mampu menjadi penghubung antarpulau dan
mendukung berbagai aktivitas di Indonesia. Transportasi udara contohnya, sejak
tahun 2012 kualitas infrastruktur ini cenderung statis, perubahannya hanya sebesar
0.1, yaitu dari 4.4 menjadi 4.5 di tahun 2015. Fasilitas penyedia listrik pun memiliki
kualitas yang belum tergolong tinggi. Di tahun 2015, infrastruktur ini hanya berada
di poin 4.3 dan statis dari tahun sebelumnya, 2014.

6

2015

2014

2013

2012

0

1

2

3

4

5

6

Kualitas Infrastruktur

Kualitas Fasilitas Penyedia Listrik

Kualitas Transportasi Udara

Kualitas Transportasi Laut

Kualitas Infrastruktur Kereta Api

Kualitas Jalan

7

`

Gambar 4: Kualitas Infrastruktur Indonesia Periode 2012-2015
Sumber: World Economic Forum, 2015 (diolah)
Tidak hanya itu, kualitas infrastruktur yang masih rendah pun ditandai dengan
terindikasinya keterbatasan infrastruktur sebagai salah satu pemicu lambannya
pertumbuhan bisnis di Indonesia. Berdasarkan gambar 5, dari sepuluh faktor utama
penyebab lambannya pertumbuhan bisnis di Indonesia menurut World Economic
Forum, rendahnya kualitas infrastruktur selalu menjadi tiga faktor utama dari tahun
ke tahun. Rendahnya kualitas infrastruktur bahkan sempat menjadi faktor yang
paling menyebabkan lambannya pertumbuhan bisnis di Indonesia pada tahun 2007.
Infrastruktur tentu memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung aktivitas
perekonomian di Indonesia dengan menjamin lancarnya proses penditribusian
berbagai komoditas. Infrastruktur yang baik dan masif tentu membuat produsen
mampu mendistribusikan hasil produksi mereka dengan cepat tanpa hambatan.
Sebaliknya, kualitas infrastruktur yang rendah membuat proses pendistribusian
menjadi sulit dilakukan terutama pada komoditas pertanian yang relatif tidak
mampu bertahan lama dan mudah rusak. Tanpa infrastruktur yang memadai, dunia
usaha seringkali terpaksa harus mengeluarkan investasi untuk mengadakan
infrastruktur itu sendiri, umumnya dengan biaya yang lebih tinggi dibanding
dengan infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah.

7

2015

2014

2013

2012

2011

2010

2009

0

5

10

15

20

Terbatasnya Tenaga Kerja Berpendidikan

Guncangan Pemerintahan

Inflasi

Etos Kerja Rendah

Regulasi Buruh yang Ketat

Instabiltas Kebijakan

Akses Keuangan

Rendahnya Kualitas Infrastruktur

Inefisiensi Birokrasi Pemerintahan

Korupsi

25

Gambar 5: Sepuluh Faktor Utama Penghambat Perkembangan Usaha di Indonesia
Sumber: World Economic Forum, 2015 (diolah)
Lemahnya infrastruktur dapat membawa pengaruh negatif kepada
produktivitas rumah tangga. Rendahnya kualitas infrastruktur tentu membuat biaya
produksi menjadi relatif lebih tinggi. Kenaikan biaya produksi ini tidak hanya
memberatkan produsen namun juga konsumen karena konsumen akan menerima
harga yang juga relatif lebih tinggi. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
bahwa kenaikan biaya produksi dapat mendorong terjadinya cost push inflation
maka rendahnya kualitas infrastruktur ini dikhawatirkan dapat memicu terjadinya
cost push inflation di kemudian hari. Mengingat kondisi konsumsi dan infrastruktur
yang sangat berpengaruh terhadap inflasi baik dari sisi permintaan maupun
penawaran maka penelitian ini akan memfokuskan studi pada poin-poin berikut:

8

1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab utama tingginya inflasi di
Indonesia?
2. Sejauh mana besarnya pengaruh tingkat konsumsi dan kondisi infrastruktur
terhadap kinerja inflasi?
3. Langkah apa yang harus diambil untuk menjaga tingkat inflasi di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan cakupan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi penyebab utama tingginya
inflasi di Indonesia
2. Mengaji sejauh mana besarnya pengaruh tingkat konsumsi dan kondisi
infrastruktur terhadap kinerja inflasi
3. Merumuskan langkah apa yang harus diambil untuk menjaga tingkat inflasi
di Indonesia
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi setiap pengambil kebijakan
khususnya Bank Indonesia dalam mengendalikan sasaran operasional pada
kebijakan inflation targeting. Tulisan ini pun diharapkan dapat dimanfaatkan
sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut dan menjadi bahan pertimbangan
bagi penarikan kebijakan moneter di kemudian hari, khususnya kebijakan yang
terkait dengan penargetan inflasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Moneter dan Penargetan Inflasi
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah atau otoritas
moneter dengan menggunakan peubah jumlah uang beredar dan suku bunga.
Jumlah uang beredar dan suku bunga merupakan peubah yang dapat dikendalikan
oleh bank sentral dalam memengaruhi permintaan agregat untuk mengurangi
ketidakstabilan perekonomian akibat adanya suatu guncangan (Nanga, 2001).
Yogi (2008) menyatakan, dalam merespon guncangan yang terjadi pada
perekonomian, terdapat dua alternatif kebijakan moneter yang dapat dilakukan.
Pertama, kebijakan moneter berdasarkan pola rules dan kedua adalah kebijakan
moneter berdasarkan pola discretion. Rules adalah strategi kebijakan moneter yang
otomatis, di mana bank sentral dalam mengeluarkan kebijakannya hanya
membutuhkan sedikit atau bahkan tanpa analisa atau alasan makroekonomi.
Misalnya saja kebijakan pertumbuhan uang yang konstan (constant-money-growth)
pada setiap periode tertentu oleh bank sentral. Kebijakan seperti ini ditetapkan
terbebas dari apapun kondisi makroekonomi yang sedang terjadi. Pendukung rules
beralasan bahwa dengan strategi kebijakan moneter seperti ini, hal ini berarti
menunjukkan adanya kedisiplinan dan kredibilitas bank sentral terhadap kebijakan
moneter yang harus diikuti komitmen masyarakat mengikuti kebijakan tersebut.
Sedangkan pihak yang mengkritik kebijakan ini beranggapan bahwa kedisiplinan
bank sentral tersebut tentu akan membutuhkan biaya yang tinggi bila ingin secara
konsisten dilaksanakan.

9

Berbeda dengan strategi rules, maka bank sentral yang menerapkan strategi
kebijakan moneter discretion tidak menuntut adanya komitmen dari masyarakat,
dalam arti tidak ada kewajiban bagi masyarakat mengikuti kebijakan yang
ditentukan bank sentral, kecuali dalam kondisi tertentu. Dengan strategi ini,
kebijakan moneter diatur secara berkala, misalnya bulan perbulan atau minggu
perminggu, disesuaikan dengan kondisi perekonomian yang berlaku. Pendukung
stategi kebijakan moneter discretion berargumen bahwa dengan strategi kebijakan
seperti ini, maka kebijakan moneter yang diterapkan akan lebih fleksibel. Bank
sentral pun dimungkinkan bisa merespon informasi baru atau perkembangan.
Menurut Abdullah (2003), setidaknya terdapat tiga landasan intelektual yang
mendasari perubahan paradigma tersebut. Pertama, secara teoritis maupun empiris,
dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh pada inflasi. Kedua,
kebijakan moneter yang secara aktif digunakan untuk mendorong pertumbuhan
seringkali justru berdampak pada ketidakstabilan, dan ketiga adalah kebijakan
moneter tanpa tujuan yang jelas pada kestabilan harga seringkali menjadi tidak
kredibel.
Menurut Bank Indonesia, penerapan inflation targeting merupakan kerangka
kerja kebijakan moneter dimana target inflasi diumumkan kepada publik dan
kebijakan moneter diarahkan sedemikian rupa agar target tercapai dalam kurun
waktu tertentu. Apabila inflation targeting berhasil tercapai maka akan memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian yaitu tercipta kestabilan hargaharga. Dengan demikian, inflation targeting sebagai sebuah kerangka kebijakan
moneter paling tidak dicirikan oleh tiga hal. Pertama, kebijakan moneter diarahkan
secara eksplisit pada pencapaian target inflasi yang diumumkan secara eksplisit
kepada publik. Kedua, dalam framework ini, kebijakan moneter dilakukan dengan
merespon perkembangan inflasi ke depan (forward looking). Ketiga, kebijakan
moneter dilakukan secara transparan dengan akuntabilitas yang terukur. Inflation
targeting yang disertai transparansi memberikan kontribusi yang positif bagi
pencapaian stabilitas harga pada khususnya dan perekonomian serta pasar keuangan
pada umumnya.
Umumnya Inflation targeting dilakukan bagi negara-negara yang mengalami
krisis dengan tujuan agar dapat mendorong terfokusnya pengendalian moneter
sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter dalam
menanggulangi inflasi yang merupakan kebijakan alternatif dari kebijakankebijakan sebelumnya yang kurang berhasil dan sebagai upaya dalam pemulihan
ekonomi.
Debelle, et al. (1998) mengemukakan tiga syarat utama dalam penargetan
inflasi sebagai strategi kebijakan moneter. Pertama, bank sentral harus independen
baik secara kelembagaan maupun dalam instrumen moneternya. Kedua,
menghindarkan penggunaan nominal anchor atau landasan lainnya seperti money
supply atau nilai tukar bersamaan dengan penerapan pentargetan inflasi. Dan ketiga,
Inflation targeting hendaknya tidak ditetapkan pada nilai tukar secara kaku tetapi
fleksibel. Menurut Taylor (2000), penargetan inflasi mengharuskan nilai tukar pada
kondisi fleksibel, artinya kebijakan moneter domestik ditujukan untuk
perekonomian domestik yang biasanya dengan menjaga inflasi tetap rendah dan
stabil. Kebijakan nilai tukar fleksibel bukan berarti nilai tukar tidak penting dalam
keputusan tingkat suku bunga atau kebijakan moneter, tetapi berada dalam

10

kerangka pentargetan inflasi dengan membuat kisaran selang nilai tukar yang lebih
longgar.
Inflasi
Inflasi menurut Mankiw (2007), adalah seluruh kenaikan harga output
perekonomian. Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan inflasi sebagai
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali kenaikan itu meluas
(atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Inflasi juga merupakan
proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Dengan kata lain, harga yang
dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dapat dikatakan terjadi
apabila tingkat harga yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan
pendapatan secara riil maka sudah dipastikan bahwa daya beli masyarakat semakin
melemah dan akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan akan semakin berkurang
(Rakhman, 2012).
Boediono (1994) membagi inflasi menjadi tiga jenis berdasarkan pada: asal
usulnya, tingkat keparahan dan sumber awalnya.
Inflasi Berdasarkan Asal Usulnya
1. Inflasi dalam negeri (domestic inflation)
2. Inflasi luar negeri (imported inflation)
Inflasi Berdasarkan Tingkat Keparahannya
1. Inflasi ringan (creeping inflation), merupakan inflasi yang terjadi berada
pada level dibawah 10 persen per tahun.
2. Inflasi sedang (moderate inflation), merupakan inflasi yang terjadi berada
pada level antara 10 sampai dengan 30 persen per tahun.
3. Inflasi berat, merupakan inflasi yang terjadi berada pada level antara 30
sampai dengan 100 persen per tahun.
4. Inflasi sangat berat (hyperinflation), merupakan inflasi yang terjadi berada
pada level diatas 100 persen per tahun.
Inflasi Berdasarkan Sumber Awalnya
1. Demand pull inflation
2. Cost Push Inflation
Demand Pull Inflation
Demand pull inflation merupakan inflasi yang timbul karena adanya
peningkatan permintaan (demand) masyarakat terhadap berbagai komoditas baik
barang maupun jasa. Permintaan masyarakat yang meningkat pada kondisi full
employment hanya akan meningkatkan harga tanpa mendorong peningkatan pada
jumlah komoditas yang ditawarkan. Jika kemudian terjadi pergeseran output
nasional, maka pergeseran output nasional ini akan memicu timbulnya inflationary
gap.

11

Konsumsi, Permintaan Agregat dan Inflasi
Case dan Fair (2002) menyatakan bahwa perilaku rumah tangga dalam
perekonomian makro, konsumsi rumah tangga tidak sekedar tergantung pada
pendapatan. Rumah tangga menentukan konsumsi dan penawaran tenaga kerja
secara serempak, dan melihat ke depan dalam mengambil keputusan mereka.
Mankiw (2007) mengartikan konsumsi sebagai pembelanjaan atas barang-barang
dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan. Mankiw pun membagi konsumsi menjadi tiga subelompok barang:
durable good, nondurable good, dan service. Keputusan konsumsi menjadi sangat
penting untuk analisis jangka pendek karena perannya menentukan permintaan
agregat. Konsumsi adalah dua pertiga dari GDP sehingga fluktuasi dalam konsumsi
adalah elemen penting dari booming dan resesi ekonomi.
Dalam teori konsumsi yang dikemukakan oleh Keynes, ekonom ini
membuat beberapa dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi
kasual, antara lain:
1. Kecenderungan konsumsi marginal (marginal propensity to consume)
berada antar nol dan satu.
2. Kecenderungan mengonsumsi rata-rata (average propensity to consume)
turun ketika pendapatan naik.
3. Pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat
bunga tidak memiliki peranan penting.
Berdasarkan tiga dugaan ini, diperoleh fungsi konsumsi Keynes yaitu sebagai
berikut:
C = C̅ + cY, C̅ > 0; 0 < c < 1
Keterangan:
C = Konsumsi
C̅ = Konsumsi Autonomous
c = Kecenderungan Konsumsi
Y = Pendapatan Disposabel
Fungsi tersebut memenuhi alasan pertama Keynes karena kecenderungan
mengonsumsi marjinal c adalah antara nol dan satu sehingga pendapatan yang lebih
tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi dan tabungan yang lebih tinggi.
Fungsi ini pun memenuhi alasan kedua Keynes karena fungsi rata-rata APC adalah
AC = C/Y = C̅/Y + c
Ketika Y meningkat, C̅/Y turun begitu pula dengan kecenderungan mengonsumsi
rata-rata C/Y turun. Pada akhirnya, fungsi konsumsi ini memenuhi alasan ketiga
Keynes karena tingkat bunga tidak dimasukan dalam persamaan ini sebagai
determinan konsumsi.
Model Keynesian yang paling sederhana kemudian menjelaskan bagaimana
pos konsumsi memengaruhi permintaan agregat dan bagaimana pengeluaran atau
permintaan agregat menentukan keseimbangan pendapatan. Pendapatan nasional
membagi GDP menjadi empat kelompok pengeluaran, yaitu: konsumsi, invetasi,
pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih.
AD = Y = C + I + G + NX

12

Keterangan:
AD = Agregate Demand (Permintaan Agregat)
C = Konsumsi
G = Pengeluaran Pemerintah
I = Investasi
NX = Ekspor bersih
Berdasarkan persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsumsi memiliki
pengaruh terhadap permintaan agregat suatu negara. Peningkatan pada konsumsi
secara langsung akan meningkatkan agregate demand dan menggeser kurva
permintaan ke kanan atas, seperti yang ditunjukan pada gambar 6.
AD3

P
AD2
SRAS2
AD1
P3

SRAS1

AD0

SRAS0

P2

P1
P0

Y*
Y1
Gambar 6: Demand Pull Inflation
Sumber: Lipsey, (1997)

Y1

Lebih jauh lagi, gambar 6 menjelaskan bahwa peningkatan permintaan
agregat akan mengakomodir kenaikan tingkat harga. Jika permintaan agregat
meningkat secara terus menerus, kondisi ini akan mendorong timbulnya inflasi.
Inflasi inilah yang disebut dengan demand pull inflation. Pernyataan ini sejalan
dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (tabel 2). Nur (2012)
mengungkapkan bahwa konsumsi memiliki pegaruh yang signifikan terhadap
inflasi. Terjadinya peningkatan konsumsi akan menyebabkan terjadinya
peningkatan permintaan agregat. Sesuai dengan teori demand-pull inflation,
peningkatan agregat demand (AD) akan menyebabkan terjadinya peningkatan
harga (inflasi). Sebaliknya, penurunan AD akan menyebabkan penurunan harga.

13

Cost Push Inflation
Cost push inflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh peningkatan
harga-harga, terutama harga input produksi yang menyebabkan kenaikan biaya
produksi. Kenaikan biaya produksi dapat menyebabkan penurunan penawaran
komoditas di pasar. Permana (2004) menjelaskan, kenaikan tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti tuntutan kenaikan upah, perilaku monopolis
yang dapat bertindak sebagai price leader, kenaikan harga bahan baku, kebijakan
pemerintah, faktor alam dan imported inflation (tabel 2). Jika kenaikan ini terus
terjadi maka total agregate supply akan mengalami penurunan dan mendorong
terjadinya cost push inflation.
Infrastruktur dan Inflasi
Infrastruktur dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik
pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor
publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar
perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Menurut Rutherford dalam The
Routledge Dictionary of economics (1995) infrastruktur merupakan pelayan utama
dari suatu negara yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat
sehingga dapat berlangsung melalui penyediaan transportasi dan fasilitas
pendukung lainnya. Infrastruktur sosial dan ekonomi seperti jalan, listrik, air,
telekomunikasi, dan semacamnya memfasilitasi dan mengintegrasikan kegiatan
ekonomi sehingga meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi yang dapat
menghasilkan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2006).
Beberapa studi yang berusaha melihat hubungan antara infrastruktur dan
inflasi telah dilakukan, seperti Rakhman (2012) dalam Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel dan Subekti (2011) dalam
Dinamika Inflasi Indonesia di Tataran Provinsi (lihat tabel 1). Menurut Rakhman
(2012), Kondisi infrastruktur mempunyai peranan penting di dalam aliran distribusi
produk. Semakin membaik kondisi infrastruktur tentunya akan semakin
memperlancar aliran distribusi produk dan penghematan dalam waktu perjalanan.
Penghematan biaya ini tentunya diprediksi akan berdampak pada penurunan harga
produk di dalam pasar. Peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan
biaya transpor terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu
wilayah, disamping itu juga akan meningkatkan volume ekspor dan impor suatu
wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih
cepat antar wilayah. Kondisi infrastruktur cenderung memberikan hubungan yang
negatif dengan inflasi. Saat terjadi penurunan persentase kondisi jalan baik, hal
tersebut kemudian memicu kenaikan inflasi pada beberapa provinsi di Pulau Jawa.
Hal serupa diungkapkan oleh Subekti (2011), hasil estimasi antara interaksi
dari perubahan kondisi infrastruktur terhadap inflasi memperlihatkan pengaruh
yang negatif terhadap volatilitas inflasi. Pengaruh yang negatif ini sesuai dengan
teori pertumbuhan regional yang menyatakan perbaikan infrastruktur akan
berpengaruh pada penurunan biaya transportasi dan teori standar perdagangan
internasional yang menyatakan makin tinggi derajat keterbukaan berarti semakin
tinggi pula volume dari ekspor dan impor dari suatu daerah dan untuk itu barangbarang ekspor maupun impor harus dapat bersaing, salah satunya dari sisi harga
sehingga akan memicu penurunan harga.

14
P
AD1

AD0

SRAS1
SRAS0

P1
P0

Y1
Y1

*

Y

Gambar 7: Cost Push Inflation
Sumber: Lipsey (1997)
Gambar 7 menjelaskan mekanisme terjadinya inflasi akibat penurunan
penawaran agregat. Kondisi infrastruktur yang kurang memadai tentu akan
menghambat proses pendistribusian barang. Seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, infrastruktur yang buruk seringkali mendorong dunia usaha untuk
mengeluarkan biaya investasi pengadaan infrastruktur pendukung sehingga
menyebabkan kenaikan biaya produksi. Dengan mengasumsikan semua variabel
tetap, kenaikan biaya produksi ini tentu akan menurunkan penawaran yang
ditunjukan oleh pergeseran kurva AS1 menjadi AS2 dan disertai dengan peningkatan
harga. Jika kondisi ini terus berlanjut, cost push inflation akan terjadi.
Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian terkait inflasi dan faktor yang memengaruhinya telah
bayak dilakukan. Berbagai penelitan terkait evaluasi kebijakan inflation targeting
pun telah dilakukan di berbagai negara. Mishra dan Mishra (2010) menganalisis
perbandingan efektivitas mekanisme transmisi moneter melalui monetary targeting
regime dengan pure inflation targeting regime di India. Penelitian terkait inflation
targeting framework di negara maju juga sudah dilakukan oleh Creel dan Hubert
(2008), di mana penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis implementasi
inflation targeting di Kanada, Swedia, dan Inggris.
Secara garis besar, penelitian terdahulu menunjukan bahwa terdapat
perbedaan kinerja inflation targeting di masing-masing negara. Penerapan inflation
targeting di India tergolong sudah konsisten. Hal ini ditunjukan oleh lebih
responsifnya variabel makroekonomi terhadap guncangan pada kebijakan inflation
targeting dibandingkan dengan multiple objective. Sama halnya dengan Meksiko

15

yang telah cukup berhasil dalam mengimplementasikan inflation targeting di mana
suku bunga direspon secara baik dan dapat berpengaruh terhadap inflasi yang
diharapkan (expected inflation). Hal sebaliknya terjadi pada emerging countries
seperti Meksiko dan Indonesia, di mana di kedua negara ini pengaruh nilai tukar
terhadap inflasi masih tergolong besar atau dengan kata lain pentargetan inflasi
masih menggunakan instrumen suku bunga. Pada negara maju seperti Kanada,
Swedia, dan Inggris, penerapan inflation targeting memberikan dampak yang
positif bagi kondisi perekonomian khususnya bagi pencapaian inflasi yang rendah
dan stabil. Penelitian terdahulu pun menunjukan bahwa penerapan inflation
targetingirelatif lebih berhasil diterapkan di negara high income daripada negara
low income. Penelitian lainnya diringkas dalam tabel 2 berikut:

No Peneliti
1

Atmadja
(1999)

2

Permana
(2004)

Tabel 2: Penelitian Terdahulu Terkait Inflasi
Objek/Tujuan
Metode dan
Hasil
Data
Mengenali
Analisis
1. Inflasi merupakan
penyebab inflasi
konseptual
fenomena jangka
dan cara
deskriptif
panjang.
pengendaliannya
2. Penekanan inflasi
dapat dilakukan
melaui menjaga
defisit APBN,
pembenahan sektor
pertanian dan
subsektor pangan
dan peningkatan
cadangan devisa.
1. menganalisis
Alat analisis
1. Variabel nilai
pengaruh nilai
yang digunakan
tukar berpengaruh
tukar terhadpa
alam penelitian
secara signifikan
laju inflasi
ini adalah
terhadap laju infasi
dalam rezim
metode
di Indonesia.
nilai tukar
ekonomterika
2. Harga BBM dan
mengambang.
melalui model
harga beras tidak
regresi linier
2. menganalisis
berpengaruh
berganda
pengaruh
secara signifikan.
dengan
ekspektasi
3. Kenaikan laju
adaptif terhadap menggunakan
inflasi dapat
data deret
laju inflasi di
diakibatkan oleh
waktu
Indonesia.
faktor psikologis
kuartalan tahun
3. menganalisis
para pelaku
1998-2003 dari
faktor-faktor
ekonomi dalam
variabel laju
yang
menilai harapan
inflasi, niali
emmengaruhi
inflasi di masa
tukar, harga
laju inflasi dari
mendatang.
BBM, harga
sisi penawaran.
beras, dan

16

3

Yogi
(2008)

1. Menganalisis
fungsi reaksi
kebijakan
moneter di
Indonesia.
2. Menganalisis
apakah BI
melakukan
penargetan
inflasi atau
penargetan nilai
tukar.

4

Casadio
dan
Paradiso
(2010)

Membandingkan
dua jenis fungsi
konsumsi untuk
melihat stable
cointegrating
relationship

5

Bednarik
(2010)

Menganalisi
indikator-indikator
makroekonomi
Amerika Serikat
dan
menggambarkan
variabel-variabel

ekspektasi
adaptif
Jenis data yang Hasil analisis ini
digunakan
menunjukan bahwa
dalam
sebenarnya Bank
penelitian ini
Indonesia selama
adalah data
periode penelitian
deret waktu
dapat dikatakan
bulanan
menganut
periode 1991fear of floating atau
2006 dan
dengan kata lain
melakukan
dianalisis
pentargetan nilai tukar
dengan
dengan
menggunakan
menggunakan
metode VAR.
Variabel terkait instrumen utama suku
antara lain: SBI bunga dalam
pentargetan nilai tukar
1 bulan, nilai
tersebut
tukar rupiah,
laju inflasi,
output gap, dan
cadangan
devisa.
Metode yang
1. Inflasi memiliki
digunakan
peran penting
antara lain:
dalam proses
Dynamic OLS,
stabilisasi dalam
Fully Modified
jangka panjang
OLS,
setelah periode
Canonical
1990-an
Cointegrating 2. Perubahan negatif
dalam suku bungan
Regretion dan
memiliki dampak
Multivariate
yang lebih besar
Procedure
jika dibandingkan
(Johansen)
dengan perubahan
positif dan
perubahan negatif
berpengaruh
signifikan.
Penelitian ini
1. Senjang antara
menggunakan
GDP riil dan GDP
variabel GDP
potensial sangat
potensial, GDP
besar.
riil, government 2. Kemungkinan
saving, dan
tekanan inflasi di
Federal Funds
masa mendatang
Rate
disebabkan oleh

17

pembangunan di
masa depan

6

Wahyuni
(2011)

7

Subekti
(2011)

kenaikan moneter
agregat yang
tinggi.
3. Defisit anggaran
Federal Reserve
cukup tinggi dan
disinyalir tidak
mengalami
penurunan.
1. Menggambarkan Data yang
1. Inflasi cenderung
perkembangan
digunakan
stabil selama
inflasi di
adalah data
periode sebelum
Indonesia
tahunan pada
krisis 1997-1998.
periode 1998periode 1998- 2. Variabel yang
2010.
2010 dengan
berpengaruh
2. Menganalisis
variabel inflasi,
signifikan terhadap
faktor yang
harga minyak
inflasi adalah nilai
memengaruhi
dunia, indeks
tukar rupiah.
variabilitas
harga komoditi
inflasi di
pangan dunia,
Indonesia dari
kurs, inflasi
sisi penawaran.
ekspektasi dan
tingkat upah.
Semua variabel
dianalisis
dengan
menggunakan
model VECM
karena tidak
semua variabel
stasioner dan
terdapat
kointegrasi di
antara variabelvariabel
tersebut.
Mengaji pengaruh
Metode
1. Dinamika inflasi
variabel non
detrending dan
dipengaruhi oleh
kebijakan dan
agresi panel
berbagai variabel
kebijakan yang
data dengan
baik variabel
dilakukan
menggunakan
kebijakan maupun
pemerintah serta
data panel yang
variabel nonotoritas moneter
diambil dari 29
kebijakan.
terhadap inflasi di
provinsi di
2. Penyesuaian gaji
Indonesia
Indonesia dari
pegawai dan
tahun 1999kondisi
2009. Variabel
infrastruktur secara
yang dianalisis
simultan dengan

18

8

Nur (2012) 1. Dampak inflasi,
pendapatan
disposabel,
interest rate,
dan konsumsi
periode
sebelumnya
terhadap
konsumsi di
Indonesia.
2. Dampak
konsumsi,
interest rate,
nilai tukar dan
jumlah uang
beredar terhadap
inflasi
Indonesia.

9

Rakhman
(2012)

1. Menganalisis
faktor apa saja
yang
memengaruhi
inflasi di Pulau
Jawa

antara lain:
perubahan derajat
harga (dengan
keterbukaan
proksi IHK),
perdagangan
output (dengan
berpengaruh
proksi PDRB),
signifikan pada
nilai tukar, BI
volatilitas inflasi di
Rate, jumlah
Indonesia.
uang beredar,
3. Inflasi tidak hanya
pengeluaran
sekedar fenomena
belanja
moneter namun
pemerintah
juga fenomena
daerah, indeks
fiskal
harga BBM,
upah minimum
nominal,
kondisi
infrastruktur
dan derajat
keterbukaan
perdagangan.
Metode
1. Inflasi, pendapatan
estimasi
disposabel, dan
persamaan
konsumsi periode
simultan
sebelumnya
dengan variabel
berpengaruh
inflasi,
signifikan terhadap
pendapatan
konsumsi di
disposabel suku
Indonesia.
bunga,
Sedangkan interest
konsumsi
rate tidak
periode
berpengaruh
sebelumnya,
signifikan.
nilai tukar dan 2. konsumsi, interest
rate, nilai tukar dan
jumlah uang
jumlah uang
beredar
beredar
berpengaruh
signifikan terhadap
inflasi di
Indonesia.
Variabel yang
Perubahan
digunakan
pengeluaran
dalam
pemerintah,
penelitian ini
perubahan
antara lain:
pertumbuhan
inflasi, jumlah
ekonomi,
uang beredar,
perubahan upah
pengeluaran
minimum,

19

2. Menemukan
implikasi
kebijakan
pengendalian
inflasi di Pulau
Jawa.

pemerintah,
pertumbuhan
ekonomi, harga
minyak dunia,
harga pangan,
tingkat upah
dan kondisi
inrastruktur.
Data yang
digunakan
merupakan data
tahunan
periode 20012010. Semua
variabel
dianalaisis
dengan metode
analisis regresi
data panel

perubahan kondisi
infrastruktur dan
perubahan harga
memiliki pengaruh
yang signifikan
terhadap
pergerakan inflasi
di Pulau Jawa.
Sedangkan variabel
perubahan jumlah
uang beredar dan
perubahan harg