11. Piper aduncum L.
Seuseureuhan Piper aduncum Gambar 16 merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan INP terendah diantara spesies asing lainnya. INP spesies ini
hanya 1,08 atau peringkat ke -37 dalam komunitasnya. Rendahnya INP spesies dipengaruhi oleh jumlah populasi dan frekuensi perjumpaanya yang rendah untuk
setiap komunitas yang di teliti. Hal ini juga erat kaitannya dengan kebutuhan spesies ini terhadap cahaya yang berupa cahaya penuh atau termasuk spesies
intoleran.
Gambar 16 Seuseureuhan Piper aduncum L. P. aduncum berasal dari Amerika Utara Meksiko dan Amerika Selatan
daerah tropis dan Karibia Webber 2003. Pertama kali diintroduksi di Kebun Raya Bogor pada tahun 1900-an, dan saat ini telah tersebar ke seluruh Indonesia
Biotrop 2011. Dilihat dari sisi ekologis dan tempat tumbuh spesies ini dapat tumbuh pada ketinggian 0-1200 mdpl di sepanjang jalan di daerah hutan terbuka
dan tanah lembab Haertmink 2010. Habitat aslinya ada di hutan selalu hijau yang berdekatan dengan sumber air. Berkembang biak dengan biji, dan
penyebarannya dibantu oleh angin, kelelawar dan burung, namun dapat juga tersebar oleh aktivitas manusia di dalam hutan Haertmink 2010. Berdasarkan
sifat bioekologisnya tersebut, spesies ini dapat berkembang lebih banyak lagi di Kampus IPB Darmaga apabila kondisinya lingkungannya mendukung.
5.2.3 Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif
Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di Kampus IPB Darmaga memiliki pola penyebaran mengelompok clumped, sesuai
dengan nilai indeks penyebaran Morishita yang diperoleh dari hasil analisis data
pola penyebaran spesies-spesies tersebut. Data mengenai nilai Indeks Morishita disajikan secara lengkap pada Tabel 6.
Tabel 6 Nilai Indeks Penyebaran Morishita spesies tumbuhan asing invasif
No. Nama Spesies
Indeks Morishita
Pola Penyebaran
1. Agratum conyzoides L.
0,61 Mengelompok
2. Chromolaena odorata L. King H.E. Robins
0,58 Mengelompok
3. Clidemia hirta G. Don.
0,52 Mengelompok
4. Elaeis guineensis Jacq
0,54 Mengelompok
5. Lantana camara L.
0,58 Mengelompok
6. Mikania micrantha H. B. K.
0,52 Mengelompok
7. Mimosa pudica Duchass. Walp.
0,66 Mengelompok
8. Piper aduncum L.
0,67 Mengelompok
9. Rubus moluccanus L.
0,63 Mengelompok
10. Spathodea campanulata Beauv.
0,69 Mengelompok
11. Swietenia macrophylla King.
0,61 Mengelompok
Nilai indeks Morishita menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan dalam suatu komunitas. Menurut Morishita 1965 diacu dalam Krebs 1972,
apabila nilai indeks Morishita0, maka pola penyebaran spesies tersebut adalah mengelompok Gambar 17. Pola penyebaran dari spesies tumbuhan asing invasif
yang mengelompok erat kaitannya dengan faktor lingkungan dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkannya. McNaughton dan Wolf 1990 mengemukakan
bahwa kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan faktor lingkungan yang paling berperan dalam penyebaran suatu spesies di alam. Ketersediaan unsur
hara yang cukup pada sekitar induk tanaman akan menyebabkan tumbuhan cenderung membentuk pola penyebaran mengelompok.
Gambar 17 Penyebaran mengelompok pada tumbuhan. Kelapa sawit Elaeis guineensis A dan Tembelekan Lantana camara B.
A B
Soegianto 1994 juga menyatakan bahwa pola penyebaran organisme di alam jarang ditemukan dalam pola yang seragam, tetapi umumnya mempunyai
pola penyebaran mengelompok. Hal ini dikarenakan adanya naluri-naluri dari individu-individu spesies tersebut untuk mencari lingkungan tempat hidup yang
sesuai dengan kebutuhannya. Lebih jauh, Ewusie 1980 juga mengemukakan, pada umumnya pengelompokkan dalam berbagai tingkat pertumbuhan suatu
spesies merupakan pola yang paling sering ditemukan apabila mengkaji sebaran individu di alam. Pola penyeberan spesies asing invasif di Kampus IPB Darmaga
menunjukkan pola yang sama, namun untuk perjumpaanya di setiap lokasi contoh penelitian menunjukkan frekuensi yang berbeda-beda setiap spesies Tabel 7.
Tabel 7 Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di Kampus IPB Darmaga
No. Nama Spesies
Lokasi ditemukan
1. Elaeis guineensis Jacq.
1,2,3,4,5,7,8, 9,10 2.
Mikania micrantha H. B. K. 1,2,3,4,5,6,8,10
3. Clidemia hirta G. Don.
1,2, 4,5,6,9 4.
Chromolaena odorata L. King H.E. Robins 2,3,6,10
5. Piper aduncum L.
5,8,9,10 6.
Lantana camara L. 2,5,6
7. Mimosa pudica Duchass. Walp.
2,3,10 8.
Ageratum conyzoides L. 1,3,10
9. Rubus moluccanus L.
5,9 10.
Spathodea campanulata Beauv. 3,4
11. Swietenia macrophylla King.
1 Keterangan : 1. Arboretum Fahutan, 2. Arboretum Hutan Tropika, 3. Arboretum Lanskap, 4. Hutan Al-
Hurriyyah, 5. Hutan Cikabayan, 6. Tegakan Karet Rusunawa, 7. Tegakan Karet Asrama C4 Silva, 8. Tegakan Jati Sengked, 9. Tegakan Pinus Cangkurawok, 10. Tegakan Sengon
Rektorat.
Spesies yang paling tinggi frekuensi ditemukannya di lokasi penelitian adalah Kelapa sawit Elaeis guineensis dan Sembung rambat Mikania
micrantha dengan frekuensi masing-masing sembilan dan delapan lokasi dari sepuluh lokasi yang diteliti. Sementara spesies dengan frekuensi paling sedikit
adalah Mahoni daun lebar Swietenia macrophylla, dengan frekuensi hanya satu lokasi dari sepuluh lokasi yang diteliti.
Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif dilihat dari segi ditemukannya spesies tersebut di setiap lokasi contoh penelitian berbeda-berbeda jumlahnya.
Lokasi dengan spesies tumbuhan asing invasif terbanyak adalah Arboretum Hutan Tropika, Arboretum Lanskap, Hutan Cikabayan, dan Tegakan Sengon Rektorat,
dengan masing-masing sebanyak enam spesies. Sedangkan lokasi yang paling sedikit yaitu Tegakan Karet di depan Asarama C4 Sylva dengan dua spesies.
Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif untuk tiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Peta Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di setiap lokasi penelitian di Kampus IPB Darmaga.
Elaeis guineensis berdasarkan Tabel 7 dan Gambar 18 tersebar hampir di seluruh lokasi contoh penelitian di Kampus IPB Darmaga. Penyebaran spesies ini
di Kampus IPB Darmaga diduga disebabkan oleh Bajing kelapa Callosciurus notatus atau satwa pengerat lainnya. Hal ini sejalan dengan Meyer et al. 2008
yang mengungkapkan bahwa penyebaran E. guineensis di Lembah Tahiti dan Raiatea banyak disebabkan oleh tikus hutan dan babi hutan.
Penyebaran E. guineensis di Kampus IPB Darmaga juga didukung dengan daya tahan tumbuhan tersebut terhadap gangguan baik oleh manusia maupun
secara alami. Hal ini terkait dengan pengelolaan kebun percobaan dan ruang terbuka hijau yang ada di Kampus IPB Darmaga. Dalam pengelolaannya, untuk
mengurangi vegetasi semak dan supaya terlihat bersih, pengelola kampus sering
melakukan pemotongan tumbuhan bawah di area-area kebun percobaan dan ruang terbuka hijau tersebut. Berdasarkan pengamatan di Tegakan Sengon di depan
gedung SEAFAST Centre, spesies ini mampu bertahan dan tumbuh kembali setelah dipotong, sehingga dapat dikatakan keberadaannya dalam komunitas
tumbuhan yang ada di Kampus IPB Darmaga tidak terganggu dengan adanya pemotongan tersebut Gambar 19.
Gambar 19 Bekas pemotongan pada Kelapa sawit Elaeis guineensis A dan Kondisinya setelah pemotongan B.
E. guineensis merupakan spesies tumbuhan asing invasif yang menunjukkan sifat invasifnya berdasarkan nilai INP di komunitasnya dan
penyebarannya di setiap komunitas tumbuhan yang diteliti di Kampus IPB Darmaga. Hal ini apabila dianalogikan terhadap kawasan konservasi
mengindikasikan bahwa perkembangan spesies ini di Indonesia melalui perkebunan-perkebunan besar menjadi ancaman tersendiri secara ekologis bagi
kawasan konservasi yang merupakan tempat perlindungan keanekaragam hayati, terutama yang berbatasan langsung atau di sekitar perkebunan tersebut.
Perkembangan perkebunan E. guineensis di Indonesia terus mengalami peningkatan beberapa tahun terkahir. Pada tahun 2003 luas seluruh kebun E.
guineensis di Indonesia mencapai 5,237 juta ha, terdiri dari perkebunan pemerintah 0,645 juta ha, perkebunan rakyat 1,827 juta ha, dan perkebunan
swasta 2,765 ha Goenadi et al. 2005. Pada tahun 2005 luas perkebunan E. guineensis di Indonesia mencapai 5,6 juta ha, terdiri dari perkebunan pemerintah
0,7 ha, perkebunan rakyat 1,9 juta ha, dan perkebunan swasta 3,0 juta ha Tryfino 2006. Serta pada tahun 2009 mencapai 7,3 juta ha TAMSI DMSI 2010.
A B
Sebagian besar lahan perkebunan E. guineensis di Indonesia terletak di Pulau Sumatera 69 dan Kalimantan 26 Tryfino 2006. Sementara itu,
Pemerintah Repulik Indonesia masih memiliki rencana membangun 850 km perkebunan E. guineensis sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia di
Kalimantan. Apabila pembanguan tersebut terealisasi, maka pada tahun 2020 diprediksikan luas perkebunan spesies ini di Indonesia mencapai 9 juta ha,
sehingga komposisinya menjadi 35 di Kalimantan dan 56 di Sumatera Tryfino 2006. Selain itu, di Pulau Sumatera perkembangan perkebunan E.
guineensis juga semakin meluas, bahkan beberapa kawasan konservasi juga telah dirambah. Perkembangan dan rencana pembangunan yang signifikan ini tentu
akan berkorelasi terhadap kawasan konservasi, terutama yang berbatasan langsung atau bahkan merambah kawasan konservasi yang ada di kedua pulau
tersebut Gambar 20.
Gambar 20 Perkebunan Kelapa sawit E. guineensis yang berbatasan dengan hutan kawasan konservasi di kalimantan A dan pembongkaran
E. guineensis yang merambah kawasan TN Tesso Nilo, Riau B.sumber: www.mongabay.com dan www.antaranews.com.
Pulau Sumatera dan Kalimantan memiliki 19 Taman Nasional dengan 11 diantaranya di Sumatera dan delapan lainnya di Kalimantan, dan kawasan
konservasi lainnya berupa Suaka Margasatwa dan Cagar Alam yang menjadi tempat konservasi plasma nutfah dan sumberdaya alam hayati di Indonesia,
khususnya pulau Sumatera dan Kalimantan DJPHKA 2010. Pengembangan perkebunan E. guineensis di kedua pulau tersebut dapat mengancam
keanekaragaman hayati di kawasan konservasi yang ada di sekitarnya. Hal ini dikarenakan potensi penyebaran E. guineensis secara alami sangat besar apabila
dilihat dari biji yang dihasilkan setiap tandannya.
A B
Buah biji rata-rata yang dihasilkan untuk setiap satu tandan E. guineensis adalah 1600 buah, dengan potensi tandan yang dihasilkan untuk tanaman normal
mencapai 20-22 tandan per tahun dan tanaman tua sekitar 12-14 tandan per tahun Liang 2007. Apabila diasumsikan bahwa peluang biji berkecambah dan bertahan
hidup sekitar 10 saja setiap tahunnya, maka untuk satu batang E. guineensis dapat menghasilkan sekitar 3200-3520 anakan untuk tanaman normal dan 1920-
2240 anakan untuk tanaman tua. Oleh karena itu, perkembangan perkebunan E. guineensis di Indonesia terutama yang berdekatan dengan kawasan konservasi
perlu mendapat perhatian serius, mengingat potensi invasinya yang dapat mengancam kelestarian dan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi
tersebut.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Spesies yang tergolong tumbuhan asing invasif di Kampus IPB Darmaga
ditemukan sebanyak 11 spesies dari sembilan famili yaitu; Ageratum conyzoides L. Asteraceae, Chromolaena odorata L. King H.E. Robins
Asteraceae, Clidemia hirta G. Don. Melastomataceae, Elaeis guineensis Jacq. Arecaceae, Lantana camara L. Verbenaceae, Mikania micrantha
H.B.K Asteraceae, Mimosa pudica Duchass. Walp. Fabaceae Piper aduncum L. Piperaceae, Rubus moluccanus L. Rosaceae, Spathodea
campanulata Beauv. Bignoniaceae, dan Swietenia macrophylla King. Meliaceae. Namun, dari sebelas spesies tersebut, hanya Elaeis guineensis
Jacq. Arecaceae yang menunjukkan sifat invasif. 2.
Pola penyebaran seluruh spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di Kampus IPB Darmaga adalah mengelompok clumped.
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan kegiatan pemantauan terhadap perkembangan spesies
tumbuhan asing invasif terutama Kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq. di Kampus IPB Darmaga. Hal ini juga dapat dianalogikan pada kawasan hutan di
Indonesia, terutama kawasan konservasi yang berbatasan atau di sekitar perkebunan Kelapa sawit, agar tidak terjadi invasi spesies ini di kawasan
konservasi tersebut. 2.
Perlu dilakukan inventarisasi spesies tumbuhan asing invasif di lokasi atau tipe habitat yang belum diteliti di Kampus IPB Darmaga.