perilaku politik Nahdatul Ulama (studi komparatif perilaku politik Abdurahman Wahid dan Hasyim Muzadi)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang tidak bisa dilepaskan dari konteks politik,

karena manusia - sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles - adalah

zoon

politicon

, yakni makhluk yang berpolitik, ini terlihat ketika manusia menjalani

kehidupannya selalu membutuhkan orang lain, dan dalam interaksi dengan orang

lain tersebut terjadi sebuah proses atau perilaku politik dalam skala pengertian

perilaku politik yang bersifat makro.

Sementara perilaku politik dalam skala mikro, dalam hal ini dilihat dari

sudut pandang ilmu politik, menurut Ramlan Surbakti pada dasarnya merupakan

interaksi antara pemerintah dan masyarakat baik individu maupun kelompok

dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik,

1

dengan demikian, perilaku politik erat kaitannya dengan interaksi

individu-individu maupun kelompok atau organisasi dengan pemerintah.

Salah satu kelompok atau organisasi di Indonesia yang sejak kelahirannya

selalu berinteraksi dengan pemerintah adalah kumpulan para ulama yang

tergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi ini didirikan di Jawa

Timur pada tanggal 31 Januari 1926 M yang bertepatan dengan tanggal 16 Rajab

1344 H.

1


(2)

Dalam perjalanannya yang sangat panjang, NU memiliki dinamika

multidimensi, terutama jika dikaitkan dengan negara yang terpersonifikasi

dalam pemerintah, sehingga NU membutuhkan sebuah improvisasi dalam

menjalani perilaku politiknya.

Salah satu improvisasi perilaku politik NU yang sangat terkenal terjadi

pada tahun 1980-an, pada saat itu dalam tubuh NU terjadi dinamika politik

sebagai ekses dari perilaku politik J. Naro

2

yang menekan dan meminimalisir

peranan NU dalam tubuh PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Andree Feillard

menyebut keadaan ini dengan istilah de-NU-isasi,

3

para tokoh NU kemudian

mengambil sikap tegas dalam muktamar ke 27 di Situbondo dengan menyatakan

bahwa NU kembali ke

Khittah

1926,

4

keluar dari Partai Persatuan Pembangunan

2

Pada saat itu J. Naro adalah ketua umum PPP yang mempunyai kedekatan khusus dengan Presiden Soeharto, dan Soeharto melakukan resistensi terhadap kelompok-kelompok Islam termasuk NU. Menurut A. M Fatwa, pada tahun 1986-1985 merupakan fase marjinalisasi Islam, dalam fase ini keberadaan umat Islam sungguh sengsara. Islam dianggap sebagai kelompok pembangkang dan segala aspirasi politiknya selalu dicurigai. Bahasa yang sering digunakan oleh rezim orde baru saat itu adalah Koji (komando Jihad), golongan anti pancasila dan kelompok ekstrem kanan yang mempunyai cita-cita ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan semua istilah tersebut dimaksudkan untuk mendeskriditkan Islam dan dengan demikian Islam berada di tempat yang marjinal. semua terjadi dikarenakan pertama, pemerintah orde baru yang bersifat militeristik masih dibayangi oleh trauma sejarah terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Islam dan masih dianggap sebagai kelompok pengganggu stabilitas dan kesatuan bangsa. Kedua rezim orde baru didominasi oleh kelompok figur atau kelompok yang anti-Islam dan Islam fobia. Lihat A. M. Fatwa Satu Islam Multipartai, (Bandung: Mizan), 2000, cet. I, h. 37-38

3

Andree Feillard, NU vis a vis Negara, penj. Lesmana, (Jogjakarta: LKiS, 1999), cet. I, h.223-224

4

Keputusan Kembali Khittah 1926 berarti NU menyatakan kembali kepada jati dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang lebih beorientasi dan berkonsentrasi pada pembinaan ummat dari pada berkicimpung dalam dunia politik praktis. Walaupun secara kelembagaan NU tidak berpolitik praktis, namun secara individual membolehkan para kadernya untuk terlibat dalam politik praktis. Dalam proses perumusan kembali ke khittah 1926 Menurut Mitsuo Nakamura, ada dua dokumen penting yang harus dikaji secara teliti, kedua dokumen tersebut ditulis oleh KH Ahmad Siddik, yakni Khittah Nahdliyin yang diterbitkan beberapa bulan sebelum


(3)

(PPP) serta menerima Pancasila sebagai asas Organisasi.

5

Bukan hanya itu saja,

dalam muktamar tersebut Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus

Dur terpilih menjadi ketua umum tanfidziyah PBNU.

Mengenai konteks naiknya Gus Dur sebagai ketua umum PBNU

nampaknya bisa dilihat melalui pendekatan teori kepemimpinan klasik, yakni

teori sifat (

trait theori

) atau disebut juga dengan teori

the great man

, menurut

teori ini seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin

tanpa memperhatikan apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat

sebagai pemimpin, atau dengan kata lain pemimpin itu bukan dibuat, melainkan

diciptakan.

6

Begitu pun dengan Gus Dur, seolah ia dilahirkan untuk memimpin NU,

karena dalam diri Gus Dur mengalir darah kepemimpinan dua

founding father

NU, yakni KH. Hasyim Asy`ari dan KH. Bisri Syansuri, dan ditambah lagi

dikemukakannya dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo bulan Desember 1983, setahun sebelum Muktamar diadakan. Pemahaman terhadap arah dan tujuan kedua dokumen tersebut sangatlah penting jika ingin menyibak apa yang terjadi sepanjang periode ini. Semua terfokus pada ide-ide prospektif dari gerakan reformasi yang dimotori oleh Ahmad Siddik dan Abdurrahman Wahid. Sumber-sumber penting yang dicatat Nakamura adalah artikel Abdurrahman Wahid yang diangkat dari wawancara panjang dengannya berjudul Menerapkan pangkalan-pangkalan pendaratan menuju Indonesia yang kita cita-citakan. Dalam artikel tersebut Abdurrahman Wahid menyiratkan adanya keinginan yang lebih kuat untuk lebih intensif mengurusi persoalan-persoalan sosial, dan bukan persoalan-persoalan politik. Lihat Greg Barton & Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama - Negara, Penj. Ahmad Suaedy, dkk, (Yogyakarta: LKiS; 2010), cet. III, h. 122-123

5

Dalam proses penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi, internal NU mengalami kontroversi, dan persoalan utama yang ditimbulkan pancasila adalah bukanlah masalah tidak dicantumkannya syariat, tapi soal penganut kepercayaan dan animisme yang dituduh syirik oleh Islam. Namun kemudian KH Ahmad Shidik yang ditunjuk oleh para ulama besar untuk mengemukakan argumen-argumen fikih menyatakan bahwa Islam dan pancasila memang berbeda, namun memiliki persamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, h 219-222

6

Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2006), cet. I, h. 32


(4)

melihat potensi yang dimilikinya serta dengan dukungan beberapa tokoh senior

NU pada saat itu sehingga Gus Dur pun menjadi seorang pemimpin Tanfidziyah

PBNU.

Pada saat Gus Dur menjabat sebagai ketua umum, perilaku politik Gus

Dur di satu sisi bersikap akomodatif dengan pemerintah, sehingga hubungan NU

dengan pemerintah yang sebelumnya saling berhadapan menjadi membaik,

namun di sisi lain perilaku politik Gus Dur cenderung menjadi oposan

pemerintah karena Gus Dur sering mengkritisi pemerintah dengan lantang dan

alasan inilah yang membuat pemerintah sering melakukan intervensi terhadap

NU.

Pada tahun 1998 rezim Soeharto tumbang oleh gerakan mahasiswa dan

Gerakan Rakyat yang menuntut agar Soeharto melepaskan jabatan Presiden dan

diadakannya reformasi di Indonesia, setelah Soeharto turun dari jabatan Presiden

Republik Indonesia ia mengangkat Wakil Presiden B.J Habibie sebagai

penggantinya.

Dengan runtuhnya rezim Soeharto membawa implikasi euforia politik

pada rakyat Indonesia, dengan ditandai munculnya puluhan bahkan ratusan partai

politik termasuk partai politik ”milik” warga NU, pada waktu itu sebagian besar

warga NU menginginkan agar NU memiliki partai politik, dikarenakan desakan

dari warga NU semakin meningkat pada akhirnya usulan ini diterima oleh

PBNU dan kemudian dideklarasikanlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh


(5)

Gus Dur, partai tersebut dideklarasikan di kediamannya Gus Dur yang ada di

daerah Ciganjur Jakarta Selatan.

Namun setelah dilakukannya verifikasi terhadap partai politik hanya 42

partai politik yang diperbolehkan menjadi peserta pemilu, dan PKB termasuk

salah satu dari 42 partai politik tersebut. Setelah diadakannya pemilihan umum,

perolehan kursi di DPR dari PKB adalah sebanyak 41 kursi.

Pada saat pemilihan legislatif telah selesai, kemudian dilanjutkan dengan

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dalam proses pemilihan Presiden ini,

partai-partai Islam yang mendapatkan kursi di parlemen membentuk kaukus

Islam dengan nama poros tengah yang menjadikan Gus Dur sebagai Calon

Presidennya,

7

melalui Poros Tengah inilah kemudian Gus Dur menjadi Presiden

keempat Republik Indonesia, dan pada saat yang bersamaan Gus Dur masih

menjabat sebagai ketua umum PBNU. Gus Dur menjabat ketua Umum PBNU

selama tiga periode, yakni dari tahun 1984 sampai 1999.

Setelah Gus Dur tidak lagi memimpin NU, dalam muktamar ke-30 NU

pada tahun 1999 yang bertempat di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Hasyim

Muzadi terpilih menjadi ketua umum PBNU, dan jika memakai pendekatan teori

the great man,

naiknya Hasyim menjadi ketua umum lebih karena faktor

7

Koalisi Islam ini dipelopori oleh Amien Rais, lihat Bahtiar Effendy, ISLAM DAN NEGARA: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, LSI dan Prenida Media Group), 2009, Cet. II, h. 389


(6)

pendidikan dan pengalaman,

8

karena sebelumnya Hasyim pernah menjadi ketua

umum NU pada tingkat ranting, cabang dan wilayah.

Ketika Hasyim memimpin NU Gus Dur adalah Presiden keempat RI,

kedekatan secara kultural dan emosional antara pemerintah dan NU ini kemudian

membuat perilaku politik Hasyim Muzadi dan NU menjadi cenderung

menenggelamkan daya kritisisme terhadap pemerintah.

Misalnya Hasyim sering memberikan pernyataan-pernyataan yang seolah

memberikan legitimasi pada pernyataan dan kebijakan Gus Dur yang

kontroversial, seperti pada kontroversi pencabutan Tap MPRS No. 25 tahun 1966

tentang PKI dan kehalalan

Ajinomoto,

dalam setiap kesempatan Hasyim selalu

menyatakan hal yang sama dengan apa yang dinyatakan oleh Gus Dur.

9

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2004 perilaku politik

Hasyim bisa dikatakan sama dengan perilaku politik Gus Dur persamaan perilaku

politik ini dapat dilihat ketika menjabat ketua umum PBNU (terlepas dari

menang atau kalah) Hasyim mencalonkan diri menjadi wakil Presiden Republik

Indonesia yang bergandengan dengan Megawati dan kemudian dalam pemilihan

Presiden putaran kedua, pasangan Mega – Hasyim ini kalah suara oleh pasangan

8

Setelah mendapat pengaruh dari aliran perilaku dan pemikir psikologi, teori the great

man mendapat pengembangan dengan menyatakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan tidak

seluruhnya dilahirkan, tapi dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman, lihat Miftah

Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, h. 32-34

9

Bahrul Ulum, “BODOHNYA NU’ APA “NU DIBODOHI”?: Jejak langkah NU Era

reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta; Arruzz Press; 2002), cet. I, h. 49


(7)

SBY-JK. Hasyim Muzadi menjabat ketua umum PBNU selama dua Periode

yakni dari tahun 1999 sampai 2010.

Berangkat dari uraian di atas, antara Gus Dur dan Hasyim memiliki

persamaan berikut perbedaan perilaku politik ketika keduanya memimpin

organisasi besar yang bernama NU, Persamaan berikut perbedaan ini kemudian

sedikit banyaknya turut mempengaruhi pula perilaku politik NU sehingga perlu

adanya kajian mendalam untuk bisa dijadikan sebagai indikator dalam menilai

perilaku politik kedua tokoh tersebut ketika memimpin NU yang dirumuskan

dalam format judul skripsi

Perilaku politik Nahdlatul Ulama (Studi Komparatif

perilaku politik Abdurrahman Wahid Dan Hasyim Muzadi)

B.

Perumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terlihat sebuah perbedaan

berikut persamaan antara perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim

Muzadi, maka pembahasan skripsi ini akan dirumuskan pada beberapa persoalan

yang mencakup:

1.

Bagaimana perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi ketika

memimpin NU.

2.

Apa saja persamaan dan perbedaan perilaku politik dari dua tokoh tersebut.

3.

Apa implikasi perilaku politik kedua tokoh tersebut terhadap politik NU.

Kemudian, agar penelitian ini dapat lebih fokus, maka penulis membatasi

permasalahan-permasalahan di atas pada persoalan perilaku politik Abdurrahman

Wahid dan Hasyim Muzadi.


(8)

C.

Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki tujuan di antaranya:

1.

Mengetahui perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi saat

memimpin NU

2.

Membandingkan perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi,

3.

Mengetahui pengaruh kedua tokoh tersebut dalam NU

D.

Metodologi Penelitian

Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

pustaka dan dibarengi dengan penelitian lapangan. Dalam penelitian ini, penulis

lakukan dengan cara mempelajari dan mengkaji buku-buku, majalah, media

massa dan internet yang erat kaitanya dengan masalah yang akan dikaji serta

melakukan wawancara untuk pendalaman.

Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku

Pedoman

Karya Tulis Ilmiah; Skripsi, Tesis dan Disertasi

yang diterbitkan oleh

CeQDA

(Center for Quality Development and Assurance)

UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2006.

E.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini akan dibagi

dalam 5 bab yang terinci sebagai berikut:

BAB I: Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan

Penulisan, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan,


(9)

BAB II : Kerangka teori tentang perilaku politik, model perilaku politik dan

faktor yang mempengaruhi perilaku politik,

BAB III : Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi dalam Nahdlatul Ulama,

yang mencakup Kondisi Sosio-Politik dan Menjadi Kader dan Ketua Umum.

BAB IV : Perilaku Politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi yang

menyangkut Gaya Kepemimpinan, Pengaruh dan Wibawa, Faktor yang

mempengaruhi Perilaku politik, serta Gerakan Politik


(10)

BAB II

PANDANGAN UMUM TENTANG PERILAKU POLITIK

A.

Kerangka Teori Tentang Perilaku Politik

Secara etimologis perilaku politik merupakan terjemahan dari bahasa asing,

yakni

political behaviour

, kata tersebut terdiri dari suku kata

political

dan

behaviour

, di dalam kamus Oxford, arti kata

political

kurang lebih adalah hal-hal

yang menyangkut negara, warga negara, pemerintahan dan kebijakan.

8

Adapun

arti dari kata

behaviour

adalah cara seseorang dalam melakukan hubungan

dengan pihak luar.

9

Jika ditelusuri dari pengertian bahasa Indonesia, di dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, perilaku adalah adalah tanggapan atau reaksi individu yang

terwujud dalam gerakan atau sikap tidak saja badan dan ucapan,

10

dan politik

adalah segala urusan dan tindakan - seperti kebijakan, siasat, dan sebagainya -

mengenai pemerintahan negara atau negara lain.

11

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara etimologis perilaku politik

adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang terhadap pemerintahan atau

negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan atau sikap pemerintahan

atau negara terhadap individu.

8

The Oxford English Dictionary, (London: Oxford University Press; 1993), Volume I, cet. I, h. 772

9

The Oxford English Dictionary…, Volume VII, h. 1074 10

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka; 1988), cet. I, h. 671 11


(11)

Pada tataran terminologis, perilaku politik adalah kegiatan antara

pemerintah dengan masyarakat atau pun sebaliknya yang memiliki unsur

pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.

Pengertian secara terminologis ini sesuai dengan pengertian yang

dikemukakan oleh Ramlan Surbakti yang mengatakan bahwa interaksi antara

pemerintah dan masyarakat, di antara lembaga-lembaga pemerintah, dan di

antara kelompok individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,

pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan

perilaku politik.

12

Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang

dikembangkan oleh kaum

behavioralis

dengan melihat dan menekankan pada

aspek individual sebagai insan politik daripada melihat sistem-sistem ataupun

lembaga politik, pendekatan ini digunakan untuk mengamati

perilaku-perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik

dan tindakannya, termasuk di dalamnya adalah proses pembentukan pendapat

politik dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa

politik yang berlangsung.

13

Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum

behavioralis

terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis

besar protes mereka adalah

pertama

kelompok tradisional telah mengembangkan

12

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 15 13

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, penj. Setiawan Abadi, (Jakarta: LP3ES; 1987), cet. II, h. 209


(12)

ilmu politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik

yang

reliabel

, dan

kedua,

banyak pengetahuan politik yang

reliabel

dapat

diterima dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode

alternatif, namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang

pendekatan yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan

lembaga-lembaga yang ada dalam sistem politik tersebut.

14

Menurut Trubus Rahardiansyah, mengenai perilaku itu sendiri, baik

individu maupun kelompok pada dasarnya semuanya adalah aksi dan reaksi,

dan dalam hal ini ada ada dua cara pandang mengenai signifikansi tingkatan

perilaku.

Pertama, individualisme, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain

hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga

peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota

lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat

individu, dan begitu pun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang

diturunkan dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum

behavioralis.

Kedua, holisme, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang

diturunkan, dalam hubungan ini diakui bahwa kelompok pada dasarnya

merupakan serangkaian bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh

14

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan


(13)

kaum tradisional.

15

Pendekatan perilaku politik dipakai untuk melihat kegiatan dan dinamika

yang terjadi dalam lingkup kelembagaan negara. Selain itu, perilaku politik juga

dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang menekankan pada perilaku

individual sebagai objek utama analisis, dan juga lebih memusatkan perhatian

pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa kelompok tersebut adalah

interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang termasuk ke dalam

kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti pikiran, persepsi,

sikap dan keyakinan dan juga respon-respon eksternal seperti pemungutan suara,

gerak protes,

lobbying

, kaukus dan kampanye.

16

Menurut Prof. Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari

pendekatan perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan

lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi

informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini

lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam

lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah

gejala yang benar-benar dapat diamati.

Pendekatan ini pun menganggap bahwa lembaga-lembaga formal bukan

sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya

merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya, jika pendekatan ini

15

Ibid, h. 41 16

Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, penj. Drs. Edi S. Siregar, (Jakarta: CV. Rajawali; 1985), cet. I, h. 161


(14)

digunakan untuk mempelajari parlemen, maka yang akan dibahas adalah

perilaku anggota yang ada dalam parlemen tersebut seperti pola pemberian

suaranya (

voting behavior

) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,

pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya, kegiatan lobbying dan

latar belakang sosialnya.

17

Pemerintah dan masyarakat, baik individu maupun kelompok merupakan

objek yang dijadikan pusat perhatian dari pendekatan perilaku politik, dalam hal

ini pemerintah dan masyarakat yang dilihat sebagai subjek maupun

karakteristiknya, bukan dilihat dari fungsi pemerintahan maupun

fungsi-fungsi politik, karena jika fungsi-fungsi-fungsi-fungsi tersebut dijadikan sebagai pusat

perhatian maka pendekatannya adalah bukan pendekatan perilaku politik

melainkan pendekatan perilaku lembaga.

18

Menurut Gabriel Almond, seorang ilmuwan politik struktural-fungsional,

fungsi-fungsi tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni fungsi infrastruktur

politik, fungsi ini dipegang oleh masyarakat, baik oleh individu maupun

kelompok dan fungsi suprastruktur politik, fungsi ini dipegang oleh

lembaga-lembaga pemerintahan.

Fungsi infrastruktur politik terdiri dari sosialisasi dan rekrutmen politik,

agregasi kepentingan, artikulasi kepentingan dan komunikasi politik, dan fungsi

17

Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama;2008), Cet. I h. 74-75

18


(15)

suprastruktur adalah pembuatan peraturan

(

Rule making

), pelaksanaan peraturan

(

rule application

), dan peradilan peraturan

(

rule adjudication

).

19

Dalam suatu sistem politik, selalu ada aliran terus menerus mengalir dari

input

yang muncul dari infrastruktur politik kemudian terjadi proses dan

dinamika tertentu dan akhirnya menjadi

output

yang dilakukan oleh kelompok

suprastruktural politik dan setelah itu akan terbentuk kembali menjadi sebuah

input,

20

dan begitu seterusnya, sehingga terbentuk sebuah siklus dalam kehidupan

bernegara.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku politik merupakan

sebuah ”kaca mata” politik yang digunakan untuk melihat (dengan lebih

mengkonsentrasikan pada) perilaku seseorang dari pada perilaku lembaga politik.

B.

Model Perilaku Politik

Unit analisis dalam melakukan kajian politik dengan menggunakan

pendekatan perilaku politik, menurut Ramlan Surbakti dapat ditinjau dari

tiga kemungkinan, yakni ;

Pertama

individu sebagai aktor politik, dan yang masuk dalam kategori ini

adalah aktor politik yakni pemimpin, aktivis politik dan individu warga

negara biasa,

kedua,

Agregasi Politik yakni individu aktor politik secara

kolektif, seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, dan

lembaga-lembaga pemerintahan atau bangsa,

ketiga,

adalah tipologi

kepribadian politik yakni tipe - tipe kepribadian pemimpin otoriter,

machiavelist dan demokrat.

21

19

Lihat Ng. Philipus & Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2006), h. 106

20

Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 78 21


(16)

Pemimpin dalam model pertama adalah lebih cenderung kepada sosok

subjeknya dan pemimpin dalam model yang ketiga lebih menekankan pada

tipologi atau sifat seorang pemimpin.

Seperti yang telah dikemukakan, salah satu aktor politik adalah pemimpin,

dan salah satu tipe aktor politik yang mempunyai pengaruh dalam proses politik

adalah pemimpin politik dan pemerintahan. Mengenai konsep memiliki

kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, perbedaan ini

terletak pada sumber pengaruh dan tujuan penggunaan pengaruh.

Sebutan politik pada kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan

tersebut berlangsung dalam suprastruktur politik, yakni lembaga-lembaga

pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), dan yang berlangsung dalam

infrastruktur politik yakni masyarakat, individu maupun kelompok, seperti partai

politik dan organisasi kemasyarakatan.

Pemimpin politik pun di satu sisi dapat berbeda dengan pemimpin dalam

suatu instansi pemerintahan, perbedaan ini terlihat dalam cara, proses serta

komunikasi yang dibangun dengan jajaran dan pengikutnya, dalam mencapai

tujuan tertentu pemimpin politik lebih menggunakan hubungan-hubungan

informal dan personal untuk menggerakkan pengikutnya.

Pemimpin suatu instansi cenderung menggunakan kewenangannya dengan

cara

melakukan

hubungan-hubungan

formal

dan

impersonal

dalam

menggerakkan pengikutnya. Akan tetapi orang yang secara formal menjadi elit

politik atau pemimpin suatu instansi dapat memainkan peranan sebagai


(17)

pemimpin politik dengan catatan dapat memenuhi karakteristik kepemimpinan

politik.

22

Dengan demikian, kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai bagian dari

perilaku politik, dan secara definitif kepemimpinan kurang lebih adalah

sebuah aktifitas mempengaruhi orang lain untuk berusaha mencapai tujuan

bersama,

23

sehingga ketika terjadi sebuah aktifitas yang memiliki motivasi untuk

mempengaruhi orang lain, pada saat yang sama terjadi sebuah kepemimpinan.

Kepemimpinan merupakan bentuk

mashdar

, sementara pemimpin adalah bentuk

fa`il

(subjek).

Dalam perjalanannya, teori kepemimpinan mengalami perkembangan dari

waktu ke waktu, dan teori kepemimpinan yang paling awal muncul adalah teori

sifat atau

the great man

yang menganggap bahwa kepemimpinan merupakan

sifat bawaan yang ada sejak lahir. Pada perkembangan selanjutnya teori ini

kemudian mendapat masukan dari kalangan psikologi yang menilai bahwa tidak

semuanya kepemimpinan dibawa sejak lahir, kepemimpinan pun bisa lahir dari

sebuah pengalaman dan pendidikan.

24

22

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 133-134 23

Paul Harsey dan Kenneth H. Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi:

Pendayagunaan sumber Daya Manusia, Edisi keempat, penj. Agus Dharma (Jakarta: Erlangga; 1982), h. 98

24


(18)

Mengenai kategorisasi kepemimpinan, Ramlan Surbakti membaginya

menjadi tiga kriteria, yakni proses kepemimpinan berikut karakter pemimpin,

hasil kepemimpinan dan sumber kekuasaan.

25

Kategori proses kepemimpinan di antaranya autokratis dan demokratis.

Autokratis adalah sebuah tipologi pemimpin yang identik dengan pemusatan

otoritas pada pemimpin dan dalam pengambilan keputusan lembaga sangat

bergantung padanya. Demokratis adalah tipologi pemimpin yang berdasarkan

pada desentralisasi kekuasaan dan dalam pengambilan keputusan sering

melibatkan anggota yang lain,

26

Selanjutnya masih berkaitan dengan proses kepemimpinan yakni karakter

pemimpin. Karakter yang dimaksud berupa keaktifan pemimpin dalam

melakukan tugasnya serta penilaiannya terhadap tugas tersebut, dan berdasarkan

karakter pemimpin ini terbagi menjadi empat.

Pertama adalah pemimpin pasif-positif yang berarti pemimpin yang tidak

aktif dalam melaksanakan pekerjaan tetapi ia sangat menilai tinggi terhadap

pekerjaannya. Kedua, aktif-negatif yakni pemimpin yang aktif melaksanakan

pekerjaan tetapi kurang begitu tinggi dalam menilai pekerjaannya. Ketiga,

pasif-negatif yaitu pemimpin yang tidak aktif dalam melaksanakan pekerjaan dan juga

kurang menilai tinggi pekerjaannya. Dan terakhir adalah aktif-positif yaitu

25

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik,h. 138 26

S.G. Hunneryager & I. L. Heckman, ed. Kepemimpinan, (Semarang: Dahara Prize: 1992), cet. I, h. 10


(19)

pemimpin yang aktif dalam melaksanakan pekerjaan dan juga menilai tinggi

pekerjaannya.

Mengenai kepemimpinan yang dilihat dari hasil proses kepemimpinan

biasanya muncul ketika rezim lama telah berakhir dan digantikan oleh rezim

baru. Dalam konteks kepemimpinan ini dibagi menjadi dua, yaitu ekstrimis

dan moderat. Kepemimpinan model ini muncul ketika rezim lama berakhir.

Pemimpin moderat adalah seorang pemimpin yang lebih banyak

menggunakan dialog daripada tindakan kekerasan untuk mencapai tujuannya,

sedangkan pemimpin yang ekstrim adalah pemimpin yang berusaha

menghancurkan seluruh sistem rezim lama dan menggantinya dengan sistem

yang benar-benar baru serta lebih banyak menggunakan kekerasan dalam

mencapai tujuannya.

Tipe kepemimpinan selanjutnya adalah dilihat dari hubungan antara

pemimpin dan yang dipimpin, pemimpin model ini dibagi menjadi dua, yakni

pemimpin transformatif dan pemimpin transaksional, pemimpin transformatif

adalah pemimpin yang melakukan sesuatu untuk meningkatkan moral, motivasi

dan kegiatan yang lebih tinggi, sementara pemimpin transaksional adalah

pemimpin yang melakukan sesuatu dengan tujuan pertukaran nilai yang dianggap

penting.

Kategorisasi kepemimpinan yang terakhir adalah ketegorisasi yang

berdasarkan sumber kekuasaan, dan kepemimpinan model ini dibagi menjadi


(20)

tiga, yakni kepemimpinan rasional, kepemimpinan tradisional dan kepemimpinan

kharismatik.

Kepemimpinan rasional memiliki kekuasaan yang bersumber pada legalitas

kewenangan yang berasal dari pola-pola peraturan normatif,

kepemimpinan

tradisional memiliki kekuasaan yang bersumber dari kewenangan tradisional

yang lahir dari kepercayaan mapan terhadap tradisi dan legitimasi orang yang

memiliki kewenangan berdasarkan tradisi yang dianggap keramat tersebut

.

Dan

terakhir adalah sumber kekuasaan yang dimiliki oleh kepemimpinan kharismatik,

sumber kepemimpinan karismatik adalah berpegang pada kekaguman

masyarakat terhadap seorang pemimpin yang memiliki kelebihan luar biasa.

27

Menurut penulis konsep kepemimpinan tersebut tidak selamanya melekat

pada seseorang, hal ini disebabkan oleh faktor pengaruh dari situasi dan kondisi

di sekelilingnya, misalnya ketika seorang pemimpin berada dalam kondisi yang

sangat mendesak, kemungkinan besar ia akan menjadi seorang yang autokratis,

sebaliknya jika seorang pemimpin tersebut mengalami persoalan yang sangat

pelik, kemungkinan besar ia akan menjadi seorang yang demokratis.

Hal yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah kepemimpinan adalah

pengaruh dan wibawa dari seorang pemimpin, karena (seperti yang telah

dikemukakan dalam definisi kepemimpinan) pengaruh merupakan bagian dari

proses sebuah kepemimpinan.

27


(21)

Di sisi lain, wibawa pun merupakan bagian dari kepemimpinan karena

peran wibawa dapat dikatakan lebih luas dari pada pengaruh, peran pengaruh ada

dalam otoritas formal, sementara wibawa dapat berperan di luar otoritas formal.

28

Misalnya ketika seseorang memiliki kepemimpinan kharismatik, di dalam

maupun di luar lembaga ia akan memiliki sebuah pengaruh yang cukup dominan,

sementara kepemimpinan rasional belum tentu mendapatkan hal itu, karena ia

dibatasi oleh ruang dan waktu.

Kepemimpinan memang bagian dari perilaku politik, namun jika melihat

definisi perilaku politik yang telah dikemukakan pada bagian awal bab ini,

kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang memiliki korelasi dan

interaksi antara dua subjek, baik di dalam masyarakat maupun pemerintahan dan

interaksi tersebut memiliki muatan-muatan atau unsur-unsur dalam bentuk proses

pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.

C.

Faktor yang mempengaruhi perilaku politik

Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa

dilepaskan dari konteks maupun variabel-variabel lain yang ada di sekitarnya,

karena konteks dan variabel-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi

yang saling berkaitan satu sama lain.

Hal ini senada dengan pandangan kelompok struktural-fungsional, yang

menganggap bahwa kehidupan manusia dapat diibaratkan seperti halnya tubuh

28

DR. Thariq Muhammad as-Suwaidan & Faish. Umar Basyarahil, Penj. Samson Rahman, Sukses Menjadi Pemimpin Islami, (Jakarta: Maghfirah Pustaka; 2005), cet. I, h. 188


(22)

beserta organ-organnya, masing-masing organ dalam tubuh tersebut mempunyai

fungsi dan peran yang berbeda-beda namun memiliki saling keberkaitan satu

sama lain.

29

Begitu pun dalam kehidupan ini, masing-masing orang, lembaga dan lain

sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki

keberkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan

demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam

mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku politiknya, dan mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut adalah:

Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung, yang termasuk dalam

kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media

massa. Dan lingkungan tak langsung ini, selain mempengaruhi aktor politik juga

dapat mempengaruhi faktor-faktor selanjutnya, yakni;

Kedua, lingkungan sosial politik langsung, berupa keluarga, agama,

sekolah dan lembaga-lembaga lain yang yang menjadi media dalam pergaulan.

Dari lingkungan sosial politik langsung ini seseorang mengalami sosialisasi,

transformasi dan internalisasi nilai, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai

kehidupan bernegara dan pengalaman-pengalaman hidup pada umumnya.

Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu, untuk

memahami struktur kepribadian ini, terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu

29

Peter Westey, Pengantar Sosiologi; Sebuah Pembanding Jilid 2, Penj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya; 1992), cet. I, h. 244-245


(23)

kepentingan, penyesuaian dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur

kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang

terhadap sebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek

tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat

bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah

keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai struktur

kepribadian eksternalisasi dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian

seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginannya untuk mengatasi

atau paling tidak meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi di

dalam dirinya.

Keempat lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan

yang mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut

hendak melakukan sebuah kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan

ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok dan lain sebagainya.

30

Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melakukan

perilaku politiknya, sehingga ketika ada beberapa orang dengan perbedaan

faktor-faktor yang telah disebutkan diatas maka perilaku politik dari

masing-masing orang tersebut akan berbeda pula. Begitu pun dengan perubahan

faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dengan berubahnya

faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula perubahan pada perilaku politik

seseorang.

30


(24)

BAB III

ABDURRAHMAN WAHID DAN HASYIM MUZADI DALAM NAHDLATUL ULAMA

A. ABDURRAHMAN WAHID

Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipangil Gus Dur dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tahun 1940,31 nama Abdurahman Wahid kecil adalah Abdurrahman al-dakhil, nama tersebut merupakan bentuk tafaul 32

sang ayah kepada sosok Abdurrahman al-dakhil,33 seorang pendiri Daulah Umayyah di Spanyol.34

Gus Dur sempat mengenyam pendidikan formal di Perguruan Tinggi Timur Tengah, yakni di Universitas Al-Azhar Mesir dan karena sistem pendidikan di Al-Azhar dinilai tidak cocok karena mengandalkan sistem hafalan kemudian Gus Dur memutuskan untuk pindah ke Universitas Bahdad

31

Mengenai tanggal kelahirannya adalah tanggal empat bulan kedelapan tahun 1940, yang berarti tanggal 4 bulan Agustus 1940, namun menurut Greg Barton tanggal dan bulan tersebut dihitung menurut kalender Hijriyyah, yang berarti tanggal 4 bulan Sya`ban, dan tanggal 4 Sya`ban pada tahun 1940 bertepatan dengan tanggal 7 September, dengan demikian menurut Greg Barton, Gus Dur lahir pada tanggal 7 September 1940. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid, Penj. Lie Hua, (Yogyakarta: LKiS: 2010), cet. II, h. 25

32

Secara bahasa, tafaul (ﻞﺆﺎﻓﺗ ) adalah pengharapan nasib baik, lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif; 1997), cet. XXV, hal 1029, begitupun dengan Wahid Hasyim yang mengharapkan anaknya kelak mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh Abdurrahman al-Dakhil.

33

Abdurrahman al-dakhil adalah negarawan Muslim yang berhasil mendirikan kekhalifahan Bani Umayah di Andalusia (Spanyol). Ketika gerakan oposisi Abbasiyah pada tahun 750 M berhasil menggulingkan dan melakukan pembunuhan terhadap seluruh Bani Umayah di Damaskus, Abdurrahman yang pada waktu itu masih berusia 22 tahun berhasil lolos untuk menyelamatkan diri dan pada tahun 756 M, Dinasti Umayyah berdiri di Cordova, Abdurrahman kemudian digelari “al-dakhil”, yang berarti orang yang memasuki Andalusia. Abdurrahman al-dakhil memerintah dari tahun 756-788. Ia berhasil membangun peradaban di Andalusia, sehingga dibawah pemerintahannya Andalusia mengalami dan menikmati masa-masa kemajuan. Lihat Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Pragmatisme Politik, (Jakarta: DEPAG: 2004), Cet. I, h. 140-141

34


(25)

di Irak, namun intelektualitas yang dimiliki Gus Dur lebih banyak didapat dari belajar secara otodidak, melalui membaca dan diskusi bersama kawan-kawannya.

Setelah Pulang dari Baghdad, Gus Dur mengabdi di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, dan kemudian menjadi dosen sekaligus Dekan pada Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy`ari (Unhasy), sekitar tahun 1970-an, Dawam Rahardjo mengajak Gus Dur bergabung di Lembaga Penelitian Pengabdian dan Pengembangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Jakarta, sejak saat itu ia rajin menulis dan namanya mulai muncul pada kolom-kolom media cetak seperti Tempo dan Kompas serta majalah Prisma.35

1. Kondisi Sosio-Politik

Menjelang Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, ada

beberapa kondisi sosio-politik yang sedikit banyaknya turut

mempengaruhi karir Gus Dur dalam kepemimpinan nasional NU. Kondisi sosio-politik tersebut di antaranya adalah de-NU-isasi dalam tubuh PPP, Istilah de-NU-isasi ini mengacu pada pendapat Andree Feillard yang memandang bahwa sejak J. Naro terpilih sebagai ketua umum PPP pada tahun 1978, terjadi minimalisasi dan marjinalisasi peran dan porsi warga NU dalam tubuh PPP, hal ini tidak lepas dari campur tangan pemerintah yang ingin mengondisikan NU, karena pada waktu itu NU bisa dikatakan cukup vokal dalam mengkritisi pemerintah.36

35

Elyasa KH. Darwis, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. III, h. 69

36


(26)

Adapun bentuk marjinalisasinya adalah pertama berkurangnya jumlah warga NU dalam kepengurusan PPP, hal ini disebabkan oleh adanya dominasi dari kelompok modernis, yakni Muslimin Indonesia (MI) yang mempunyai pemikiran dan gerakan berseberangan dengan NU yang tradisionalis, kedua berkurangnya jumlah calon anggota legislatif (caleg) NU yang diajukan oleh PPP kepada pemerintah, sebab J. Naro menginginkan agar pembagian kursi di DPR pada pemilu 1982 dihitung menurut hasil pemilu 1955, ini berarti merugikan pihak NU dan sebaliknya menguntungkan pihak MI, karena MI adalah pewaris sah Masyumi, dan yang ketiga adalah berkurangnya peran majelis syura dalam kepengurusan PPP yang didominasi oleh NU, ini terlihat ketika kebijakan-kebijakan syura dalam PPP sering diabaikan oleh kalangan politisi dari PPP.37

Kondisi sosio-politik lain yang mempengaruhi terpilihnya Gus Dur sebagai ketua umum PBNU adalah konflik dalam tubuh NU yang terjadi pada tahun 1982, konflik ini terjadi antara KH. As`ad Syamsul Arifin dan tiga kiai senior NU lainnya dengan Idham Chalid, ketua umum tanfidziyah PBNU yang memimpin sejak tahun 1956.

Konflik bermula ketika Kiai As`ad Syamsul Arifin dari Situbondo, KH. Ali Ma`sum dari Krapyak, KH. Mahrus Aly dari Lirboyo dan KH. Masykur dari Jakarta mendatangi kediaman Idham Chalid di Jakarta dan meminta agar Idham Chalid mengundurkan diri dari jabatan ketua umum

37


(27)

PBNU karena ia dinilai lebih fokus pada PPP dari pada NU, ditambah lagi pada saat itu Idham Chalid sering sakit-sakitan, sehingga tugasnya di NU ikut terganggu.

Idham Chalid bersedia mengundurkan diri dengan menandatangani surat pengunduran diri yang telah disiapkan oleh Kiai As`ad, dan pengunduran diri ini kemudian mencuat di berbagai media massa sehingga mengundang kontroversi dan polemik dalam tubuh NU, sebagian menganggap pengunduran diri Idham Chalid adalah inkonstitusional karena media untuk naik dan turunnya seorang ketua umum tanfidziyah adalah muktamar, sebagian lagi menganggap bahwa hal itu sesuai dengan konstitusi, karena dalam AD/ART NU pasal 11 ayat 3 disebutkan bahwa syuriah mempunyai wewenang untuk menegur, menyarankan dan membimbing perangkat organisasi termasuk ketua umum tanfidziyah.38

Akibat konflik tersebut muncul dua kelompok yang saling bertentangan, yakni kelompok Situbondo yang didominasi oleh kelompok ulama, dan kelompok Cipete yang didominasi oleh kelompok politisi,39 dalam keadaan seperti ini Gus Dur menjadi aktif menjadi mediator di antara kedua kubu tersebut.40

Pada tahun 1983, Gus Dur pun sering melakukan perjalanan untuk

38

Untuk mengetahui lebih detail mengenai kronologisnya lihat Slamet Effendy Yusuf, dkk, DIMANIKA KAUM SANTRI; Menelusuri Jejak dan Pergolakan Kaum Santri, (Jakarta: CV. Rajawali; 1983), cet. I, h. 86-117

39

Nama Situbondo diambil dari tempat Pondok Pesantren yang dipimpin oleh KH. As`ad Syamsul Arifin, dan Cipete mengacu pada tempat kediaman Idham Chalid di Jakarta. Lihat Greg Fealy & Greg Barton, TRADISIONALISME RADIKAL: Persinggungan Nahdlatul Ulama – Negara, Penj. Ahmad Suaedy, dkk (Yogyakarta: LKiS; 2010), cet. III, h. 125-126

40


(28)

mengunjungi satu Pesantren ke Pesantren lainnnya dan menemui pemimpin-pemimpin Cabang NU yang ada di beberapa kota basis massa NU seperti di Jawa, Sumatra dan Kalimantan untuk memberikan pejelasan mengenai perlunya mengadakan pembaruan dan mendesak mereka untuk mengakui adanya keperluan tersebut,41 keadaan ini dengan sendirinya membuat Gus Dur cukup dikenal oleh para kyai dan pengurus-pengurus NU di daerah.

Kondisi sosio-politik selanjutnya yang turut mempengaruhi terpilihnya Gus Dur menjadi ketua umum PBNU adalah menguatnya wacana kembali ke Khittah NU 1926. Secara etimologis khittah adalah garis lurus, sementara jika dilihat dari terminologis dalam wacana

ke-NU-an khittah adalah garis pendirian, perjuangan dan kepribadian NU yang

harus dicerminkan dalam perorangan maupun organisasi, serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.42

KH. Ahmad Shiddiq adalah penggagas ide khittah, dalam mengartikan khittah KH. Ahmad Shiddiq mengungkapkannya dengan istilah sederhana, NU tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana,

kalimat tersebut mengindikasikan bahwa warga NU memiliki kebebasan dalam menyalurkan hak politiknya dalam partai politik mana pun yang sesuai dengan pilihannya.43 tidak seperti sebelumnya yang menjadikan PPP sebagai satu-satunya wadah politik bagi warga NU.

41

Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 159 42

Bahrul Ulum, “BODOHNYA NU’ APA “NU DIBODOHI" ?..., h. 86 43

H. Sulaiman Fadeli & Muhammad Subhan, ANTOLOGI NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, (Surabaya : Khalista : 2007), cet. I, h. 60-61


(29)

Inti dari rumusan Kembali ke Khittah 1926 adalah sikap NU yang tidak lagi memiliki afiliasi pada salah satu partai politik. Wacana kembali ke khittah 1926 sebenarnya sudah muncul dalam Muktamar ke-22 NU di Jakarta pada tahun 1959 yang diungkapkan oleh KH Achyat Chalimi dari pengurus cabang NU Mojokerto, ia mengatakan: “Peranan politik partai NU telah hilang dan peranannya dipegang oleh perorangan. Sehingga partai sebagai alat sudah hilang, karena itu diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926”

Dalam menanggapi pernyataan tersebut, KH Idham Chalid sebagai ketua umum PBNU memberikan pandangan umum dengan mengatakan: “Kita kembali kepada semangat dan jiwa ta`abudiyyah tahun 1926, tapi dalam perjuangan, kita berjuang di tahun 1952”

Gagasan kembali ke khittah 1926 kemudian muncul kembali dalam Muktamar ke-25 NU tahun 1974 di Surabaya, gagasan ini diungkapkan oleh KH. Dahlan, salah seorang Presidium kabinet dan Menteri Agama dari unsur NU, gagasan serupa juga disampaikan oleh rais amm PBNU, KH. Wahab Hasbullah yang menekankan pentingnya kembali ke khittah 1926. Namun

gagasan tersebut belum mendapatkan respon secara serius.

Pada Muktamar ke-26 NU tahun 1979 di Semarang kembali muncul ke permukaan, yang menginginkan agar NU sebagai organisasi yang berorientasi pada bidang sosial keagamaan bukan pada bidang politik. Hal ini didasarkan pada perkembangan politik yang tidak menguntungkan bagi


(30)

NU dan sekaligus peranan NU dalam urusan sosial keagamaan mulai terbengkalai.

Pada tahun 1983 dewan syuriah PBNU membentuk sebuah komite yang diketuai oleh KH. Ahmad Shiddiq dan sekretarisnya adalah Gus Dur, salah satu pembahasan dalam komite tersebut adalah mengenai keharusan NU untuk kembali ke khittah 1926 dengan menjadikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan.44

Dalam tataran konsepsional, menjadikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan telah berhasil namun dalam tataran operasional belum bisa dikatakan berhasil karena masih terikat dengan PPP, memulihkan khittah 1926 berhasil secara konsepsional dan operasional terjadi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo yang sebelumnya dibahas dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang dilaksanakan pada tahun 1983,45 sebuah momentum yang cukup mempopulerkan Gus Dur karena dalam Munas Alim Ulama tersebut Gus Dur ditunjuk sebagai ketua panitianya.

Dilaksanakannya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 bermula ketika persoalan pelik mulai menimpa NU, yakni mengenai rencana pemerintah yang akan menyeragamkan ideologi Pancasila terhadap semua ormas yang ada di Indonesia. Jika ada ormas yang menolak terhadap penyeragaman ideologi ini ormas tersebut akan langsung dibubarkan oleh pemerintah. Persoalan ini kemudian dibawa ke

44

Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 161 45


(31)

Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 46 yang dilaksanakan pada tahun 1983 di Situbondo.

Sebelum Munas Alim Ulama pada tahun 1983 dilaksanakan para tokoh senior menunjuk Gus Dur menjadi ketua panitianya, dan munas tersebut merupakan sebuah momentum yang cukup mempopulerkan Gus Dur, karena Gus Dur banyak berinteraksi dengan banyak pihak baik dengan internal maupun ekternal NU.

Dalam Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama tersebut, Gus

Dur mengemukakan pandangannya tentang Pancasila dengan

argumentatif, dan tidak sedikit peserta Munas yang menentang pandangan-pandangannya tersebut, namun setelah debat berjalan secara serius, pada akhirnya peserta munas dapat menerima pandangan Gus Dur tentang Pancasila.

Setelah debat selesai para tokoh senior NU memberikan apresiasi kepada Gus Dur, karena Gus Dur berhasil meyakinkan peserta Munas dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan ada sebagian yang menginginkan agar Gus Dur menjadi ketua umum PBNU berikutnya menggantikan Idham Chalid.47

2. Menjadi Kader dan Ketua Umum PBNU

Pada tahun 1970-an Gus Dur berpartisipasi aktif dalam sejumlah seminar, simposium dan konferensi tentang pembangunan nasional dan

46

Musyawarah Nasional (Munas) adalah forum tertinggi dalam NU di bawah Muktamar, kegiatan ini dilaksanakan setidaknya setiap lima tahun sekali di antara dua muktamar. Kegiatan Musyawarah Nasional berisi pembahasan masalah-masalah keagamaan yang menjadi porsi syuriah. H. Sulaiman Fadeli & Muhammad Subhan, ANTOLOGI NU...h. 82

47


(32)

melalui kesempatan inilah ia menarik perhatian publik pada peran pesantren sebagai agen pembangunan komunitas pedesaan dan pengembangan masyarakat demokratis di tingkat pedesaan.48

Melihat potensi yang dimiliki oleh Gus Dur kemudian Kakeknya dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri - yang pada saat itu menjabat sebagai

Rais `am PBNU - mengajak Gus Dur untuk terlibat dalam kepengurusan

Syuriah PBNU, Gus Dur baru menerima ajakan kakeknya tersebut pada tawaran yang ketiga, itu pun atas nasehat ibunya, dan Gus Dur pun masuk dalam jajaran kepengurusan PBNU, ia duduk sebagai sekretaris muda syuriah.49

Gus Dur mulai populer baik di lingkungan NU maupun Pemerintah setelah dilaksanakannya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, “kepopuleran” ini kemudian menjadikan Gus Dur terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo.

Proses pemilihan kepemimpinan pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo adalah dengan membentuk komisi khusus yang akan memutuskan

komposisi pemimpin baru, dalam tradisi sunni disebut dengan ahl al-halli

wa al-`aqdi, komisi ini dibentuk oleh KH. As`ad Syamsul Arifin dan

terdiri dari enam orang lainnya. Komisi tersebut kemudian mengangkat Gus Dur dan KH. Achmad Siddiq masing-masing menjadi ketua umum

48

ENSIKLOPEDI OXFORD DUNIA ISLAM MODERN, Penj. Eva Y. N, dkk, (Bandung: Mizan; 2001), Jilid I, cet. I, h. 16

49


(33)

dan Rais `Amm PBNU Periode 1984-1989.50

Gus Dur menjabat Ketua umum PBNU selama tiga periode berturut-turut, periode pertama dari tahun 1984-1989, periode kedua dari tahun 1989-1994 dan periode ketiga dari tahun 1984 sampai 1999, pada Muktamar ke-30 NU tahun 1999 di Lirboyo Gus Dur adalah Presiden RI, dengan demikian Gus Dur mesti turun dari jabatan ketua umum PBNU, hal ini bisa dikatakan ironis karena pada saat Gus Dur menjadi Presiden Gus Dur masih menjabat sebagai ketua umum PBNU.51

B. HASYIM MUZADI

Nama lengkap Hasyim Muzadi adalah Ahmad Hasyim Muzadi, ia dilahirkan di Bangilan, Tuban, Jawa Timur pada tanggal 8 Agustus 1944. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang terhitung sukses, walau pun secara

genealogis-biologis ayahnya bukan seorang Kiai yang memiiki pondok

pesantren, namun ayahnya Hasyim adalah seseorang yang memiliki kecintaan dan ke-takdzim-an kepada ulama,52 anak yatim dan anak-anak yang tidak mampu.53

Kecukupan secara materi dari keluarga menjadikan Hasyim mudah dalam mengenyam pendidikan formal, hingga Hasyim dapat mengikuti

50

Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 167-169 51

Disebut ironis karena hal ini jelas mencederai hasil Muktamar NU di Situbondo tahun 1984.

52

Sifat dan sikap sang ayah ini bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai pengaruhnya terhadap sosok Hasyim Muzadi, karena dalam kitab ta’lim al-muta`allim dijelaskan bahwa barang siapa yang menginginkan anaknya menjadi orang alim, maka seyogyanya ia menjaga, memuliakan, menghormati dan memberi segala sesuatu kepada alim ulama (fuqaaha). Syekh Azzarnuji, Ta`lim al-Muta`llim; thariqat al-ta`allum, (Semarang: Karya Thaha Putra; tt), h.17

53

Drs. Ibnu Asrori, Sh., MA., KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas & Cita-cita Good Governance, ( Sidoarjo: Citra Media; 2004), cet. I, h. 15-16


(34)

pendidikan di Kuliyyatul Mu`allimin Islamiyyah (KMI) Pondok Modern Gontor Ponorogo, sebuah lembaga pendidikan Islam yang mengembangkan khazanah pemahaman Islam yang berbasis pada modernisasi ajaran, dan lembaga ini pun dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi kedisplinan dan profesionalitas.

Setelah menamatkan pendidikan dan mengabdi di Gontor, pada tahun 1964 Hasyim melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN Sunan Ampel Malang dan tinggal bersama kakaknya KH. Muchid Muzadi, dari sinilah ia mendapatkan bimbingan dan arahan dari kakaknya yang pada saat itu telah menjadi seorang tokoh NU yang disegani oleh warga nahdliyyin karena kedalaman ilmu yang dimilikinya.54

Jiwa kepemimpinan Hasyim tumbuh ketika ia mulai aktif di organisasi yang berbasiskan NU, karena ia selalu terpilih menjadi ketua di beberapa organisasi tersebut, yakni Gerakan Pemuda Ansor, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia (KAMI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan tentunya Nahdlatul Ulama.55

1. Kondisi Sosio-politik

Menjelang Hasyim Muzadi terpilih sebagai ketua umum PBNU, ada beberapa kondisi yang sedikit banyaknya turut mempengaruhi karirnya dalam kepemimpinan nasional NU, di antaranya adalah momentum gerakan reformasi pada tahun 1998.

54

Drs. Ibnu Asrori, Sh., MA., KH. Hasyim Muzadi;….., h. 19-21 55


(35)

Setelah sekian lama berkuasa, akhirnya pada tahun 1998 Soeharto dijatuhkan oleh people power yang tergabung dalam gerakan reformasi karena salah satu agenda utama reformasi adalah menurunkan Soeharto dari tampuk kekuasaan.

Tokoh reformasi yang dikenal mendukung terhadap gerakan ini salah satunya adalah Gus Dur yang pada saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU, Gus Dur beserta tokoh-tokoh nasional lainnya membentuk kelompok yang dikenal dengan kelompok Ciganjur, tokoh-tokoh tersebut adalah Megawati Soekarno Putri, Amin Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono.

Pada perkembangan selanjutnya PBNU menghimbau kepada seluruh

jamiyah dan jama`ah NU agar dapat mengikuti agenda reformasi secara

aktif, yang kemudian ditunjukkan dengan digelarnya istighosah56 oleh warga NU di

berbagai daerah di Indonesia, istighosah ini dalam rangka memohon kepada

Allah Swt. agar menyelamatkan bangsa Indonesia dari krisis dan musibah yang sedang terjadi,57 yakni krisis moneter dan instabilitas politik yang berdampak pada kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat.

Kejadian yang tidak kalah fenomenal pada saat itu adalah kasus ninja dan “dukun santet” di Banyuwangi Jawa Timur, Hasyim yang ketika

56

Istighosah artinya memohon pertolongan kepada Allah Swt. Istighosah dianjurkan oleh agama terutama ketika sedang menghadapi permasalahan yang rumit. H. Sulaiman Fadeli & Muhammad Subhan, ANTOLOGI NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah.., h. 122

57


(36)

itu menjabat Ketua Umum Pengurus Wilayah NU Jawa Timur berhasil meredam gejolak ini terutama kepada warga NU yang ada di daerah-daerah,58 dan nama Hasyim Muzadi mulai banyak dikenal ketika berhasil menyelesaikan kasus tersebut.59

Setelah Rezim Orde baru tumbang dari kekuasaan di Indonesia, partai-partai politik mulai bermunculan, termasuk partai politik yang mengidentifikasikan dirinya sebagai partai politik NU dan partai politik yang pembentukannya difasilitasi oleh PBNU.

Hal ini bermula ketika usulan yang masuk ke PBNU tentang partai politik sangat beragam, ada yang mengusulkan agar PBNU membentuk partai politik (parpol), ada juga yang mengusulkan agar PBNU menjadi partai politik, dan dari berbagai usulan yang masuk ke PBNU tersebut tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan dan nama parpol yang paling banyak muncul adalah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Ummat dan Kebangkitan Bangsa.60

Setelah melalui berbagai rapat internal yang panjang, PBNU pada akhirnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Gus Dur yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua umum beberapa kali memberikan statement bahwa PKB adalah satu-satunya partai politik yang mendapat legitimasi dari NU.

58

Drs. Ibnu Asrori, Sh., MA., KH. Hasyim Muzadi..., h. 24 59

Risalah Nahdlatul Ulama, Edisi 14/Tahun III/1431 H, h. 11 60

Musa Khazim dan Alfian H.amzah., 5 Partai Dalam Timbangan, (Bandung: Pustaka H.idayah.; 1999), Cet. I, h. 237-238


(37)

Setelah PKB berdiri, kontroversi mulai mencuat, karena menganggap PBNU telah mencederai hasil muktamar ke-27 NU ditambah lagi dengan haluan partai yang menginginkan Negara sekuler, dari pro-kontra terhadap pembentukan PKB tersebut Hasyim Muzadi yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Umum PWNU Jawa Timur berada pada posisi yang pro, karena menurutnya di era multi partai ini NU harus memiliki kendaraan politik yang under control NU karena kepentingan NU tidak mungkin tumbuh dalam sebuah aliran politik yang kepentingannya berbeda secara diametral.61

Pasca Soeharto turun dari kursi kepresidenan, ia melantik wakilnya B. J. Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga, namun beberapa kalangan merasa bahwa Habibie merupakan pendukung rezim orde baru yang akan menjadi penghambat dalam proses reformasi di Indonesia, oleh sebab itu mesti dilakukan Pemilihan umum.

Untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum pemerintah membentuk KPU yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 77/M/1999,62 setelah pemilihan umum dilaksanakan, PKB berada di posisi ketiga dengan persentasi suara 10, 2 % setelah PDIP yang memperoleh 30, 8 %, Partai Golkar 24 % dan PPP 11, 8 %.63

Koalisi partai dalam parlemen untuk memilih Presiden diprediksikan akan terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu PDIP yang menjagokan Megawati sebagai calon Presidennya dan kubu Golkar yang menjadikan

61

Bahrul Ulum, “BODOH.NYA NU’ APA “NU DIBODOH.I”..., h. 136-141 62

Bahrul Ulum, “BODOH.NYA NU’ APA “NU DIBODOH.I”..., h. 154 63


(38)

Habibie sebagai calon Presidennya, namun beberapa waktu kemudian untuk mengimbangi kedua kekuatan tersebut Amien Rais membentuk kekuatan ketiga yang disebut dengan poros tengah, poros tengah ini merupakan koalisi partai-partai politik Islam yang ada di parlemen dan Gus Dur adalah calon presiden dari poros tengah.64

Pada perkembangan selanjutnya Habibie mengundurkan diri sebagai calon Presiden, dengan demikian yang menjadi kontestan dalam pemilihan Presiden adalah Gus Dur dan Megawati. Pemilihan Presiden dilaksanakan pada pada tanggal 20 Oktober 1999 dan menjelang detik-detik akhir pemungutan suara gemuruh lantunan shalawat mulai menggema di dalam gedung DPR/MPR hal ini merupakan simbol bahwa Gus Dur sudah bisa dipastikan akan menjadi Presiden Republik Indonesia,65 pada saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden Gus Dur masih menjabat ketua umum PBNU.

Tahun 1999 adalah masa berakhirnya kepemimpinan Gus Dur di PBNU, Gus Dur tidak mungkin maju lagi menjadi ketua umum atau rais `amm PBNU karena posisinya adalah Presiden Republik Indonesia. Jabatan ketua umum tersebut akan dilepaskan oleh Gus Dur pada Muktamar ke-30 NU, tempat yang dipilih dalam muktamar tersebut adalah Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.

Tempat dilaksanakannya muktamar ke-30 NU adalah di Jawa Timur, dan pada saat itu Hasyim Muzadi adalah ketua umum PWNU Jawa Timur, dan tentu Hasyim memiliki keterlibatan dalam menyiapkan agenda lima

64

Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 360-363 65


(39)

tahunan tersebut, termasuk di dalamnya adalah pemilihan ketua umum PBNU.

2. Menjadi Kader dan Ketua Umum PBNU

Hasyim Muzadi adalah kader NU yang merintis karir dan kepemimpinannya dari bawah, sejak tahun 1966 ia telah menjadi kader sekaligus ketua NU, pengalamannya dalam berorganisasi yang cukup panjang lambat laun mengantarkan karirnya terus menanjak.

Berikut ini adalah profil singkat karir Hasyim dalam NU yang terus menanjak dari waktu ke waktu; Ketua Ranting NU Bululawang-Malang, (1964), Ketua Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Bululawang-Malang (1965), Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Malang (1966), Ketua kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Malang (1966), Ketua Cabang GP Ansor Malang (1967-1971), Wakil Ketua Pengurus Cabang NU Malang (1971-1973), Ketua Pengurus Cabang PPP Malang (1973-1977), Ketua Pengurus Cabang NU Malang (1973-1977), Ketua Pengurus Wilayah GP Ansor Jawa Timur (1983-1987), Ketua Pengurus Pusat GP Ansor (1987-1991), Sekretaris Pengurus Wilayah NU Jawa Timur (1987-1988), Wakil Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur (1988-1992), Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur (1992-1999).66

Pada tahun 1999, NU mengadakan muktamar ke-30 yang bertempat di Lirboyo Jawa Timur, dalam muktamar tersebut Hasyim maju

66


(40)

sebagai calon ketua umum PBNU periode 1999-2004, bersaing dengan beberapa kandidat lain, namun saingan yang paling berat untuk Hasyim adalah Said Aqil Siradj, yang pada saat itu menjabat sebagai katib `amm

Syuriah PBNU dan sekaligus sebagai ketua panitia pusat muktamar ke-30 NU, hasil perolehan suara dari pemilihan tersebut Hasyim memperoleh 205 suara dan disusul oleh Said Aqil Siradj yang mengantongi 105 suara,67 dengan demikian Hasyim resmi terpilih menjadi ketua umum PBNU untuk periode 1999-2004.

Hasyim menjabat sebagai ketua umum PBNU selama dua periode, periode pertama dari tahun 1999 sampai 2004, pada periode ini Hasyim masuk dalam bursa calon wakil Presiden RI bergandengan dengan Megawati Soekarno Putri, ironisnya pada saat yang sama Hasyim masih menjabat ketua umum PBNU walau pun dengan status non-aktif,68 periode kedua kepemimpinan Hasyim di PBNU adalah dari tahun 2004 sampai tahun 2009 dan pada Muktamar ke-32 NU tahun 2009 di Makassar Hasyim turun dari jabatan ketua umum PBNU dan memilih untuk tidak maju lagi dalam bursa calon ketua umum PBNU periode 2009-2014.

67

Muhammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU; Refleksi Perjalanan KH. Hasyim Muzadi, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur; 2004), cet. I, h. 181

68

Disebut ironis karena hal ini jelas mencederai hasil Muktamar NU di Situbondo tahun 1984.


(41)

BAB IV

PERILAKU POLITIK ABDURRAHMAN WAHID DAN HASYIM MUZADI

A. Perilaku Politik Abdurrahman Wahid

Gus Dur menjabat ketua umum PBNU sejak terpilih dalam muktamar Situbondo tahun 1984, ia terpilih menjadi pemimpin NU karena sebelumnya ia sering berinteraksi dengan beberapa kalangan, baik dengan kalangan internal NU maupun eksternal NU, sehingga baik langsung maupun tidak langsung Gus Dur mendapatkan dukungan untuk menjadi pemimpin NU periode berikutnya.

Selain itu, menjelang muktamar NU di Situbondo dilaksanakan Gus Dur ditunjuk sebagai ketua panitia musyawarah nasional alim ulama NU, dalam musyawarah nasional alim ulama tersebut seakan turut mempromosikan pemikiran dan intelektualitas Gus Dur yang dinamis dan progresif, sehingga mengundang decak kagum baik dari kyai sepuh maupun para peserta Munas.

Gus Dur menjabat ketua umum PBNU selama tiga periode (dari tahun 1984 sampai 1999; masing-masing periode selama lima tahun), dan perilaku politik Gus Dur selama memimpin NU yang akan dijadikan objek penelitian adalah menyangkut gaya kepemimpinan, faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan, gerakan politik serta pengaruh dan wibawanya.


(42)

1. Gaya Kepemimpinan

Sejak Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, ia dikenal sebagai sosok yang kontroversial, kontroversi ini adalah sebagai ekses dari sikap Gus Dur yang mengambil kebijakan dan keputusan cenderung tidak melibatkan anggota yang lain.

Menurut tipologi kepemimpinan yang dilihat dari proses kepemimpinan, hal ini tidak bisa lepas dari seorang Gus Dur yang memiliki tipologi pemimpin yang autokratis, yakni sebuah tipologi pemimpin yang identik dengan pemusatan otoritas pada pemimpin dan dalam pengambilan keputusan lembaga sangat bergantung padanya.1 Menurut Greg Barton, Gus Dur memang memiliki gaya kepemimpinan seperti ini apalagi setelah KH. Ahmad Siddiq meninggal dunia.2

KH. Ahmad Siddiq sendiri merupakan sosok yang dikagumi dan disegani oleh Gus Dur, selain karena secara struktural KH. Ahmad Siddiq adalah atasannya di PBNU yang menjabat sebagai Rais `amm, KH. Ahmad Siddiq juga memiliki karisma dan wibawa tersendiri bagi Gus Dur, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam sebuah tulisannya di

Kompas.3

Masih menurut Greg Barton, selama Gus Dur menjabat ketua

1

S.G. Hunneryager & I. L. Heckman, ed. Kepemimpinan (Semarang: Dahara Prize: 1992), cet. I, h. 10

2

Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 227 3

Abdurrahman Wahid, In Memoriam: Kiai Achmad Shiddiq, dalam Frans M. Parera&T. Jakob Koekerits (Peny.), Gus Dur Menjawab Perubahan: Kumpulan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Kompas: 2000), cet. II, h. 95-101


(43)

umum PBNU ia selalu bertindak sendiri, hal ini bukan dikarenakan Gus Dur tidak dapat bergaul dengan orang lain atau tidak mampu membuat aliansi, melainkan hal ini dikarenakan beberapa alasan, salah satunya adalah kurangnya Sumber Daya Manusia.4 Gus Dur sering melakukan tindakan yang menurutnya dianggap benar.

Tipologi kepemimpinan Gus Dur ini misalnya adalah Gus Dur mendirikan sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma,5 padahal sebagian besar ulama NU mempersoalkan BPR Nusumma karena selain program tersebut bekerjasama dengan konglomerat Cina, yakni Edward Suryadjaja, BPR tersebut juga menganut sistem bunga bank dan menurut para ulama NU bunga tersebut adalah haram, namun Gus Dur tidak mempedulikan kritikan tersebut dan tetap melangkah sehingga BPR Nusumma tumbuh di berbagai daerah.6

Gus Dur mengakui bahwa dalam tradisi NU, kaidah fiqh merupakan hal utama dalam mengambil kebijakan dan menurut Gus Dur fiqh sendiri dalam memandang sesuatu terdapat aneka ragam pilihan hukum yang bisa disesuaikan dengan berbagai kondisi.7

Contoh lainnya adalah dalam melakukan rapat akbar untuk merayakan ulang tahun yang ke-66 berdirinya NU, Gus Dur hampir tidak melakukan konsultasi dengan rekan-rekannya, menurut Greg

4

Greg Barton, Biografi Gus Dur…, hal. 346-347 5

BPR ini merupakan hasil kerjasama antara NU dan Bank Summa, sehingga dinamai BPR Nusumma.

6

Drs. H. A. Nasir Yusuf, ed. NU dan Gus Dur…, h. 36-37. 7

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia&Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute; 2007), cet. I, h. 219


(44)

Barton hal ini merupakan gaya khasnya Gus Dur.8

Selain itu, jika dilihat dari hasil proses kepemimpinan, Gus Dur masuk dalam kategori pemimpin moderat, karena ketika memimpin NU, dalam mencapai tujuannya Gus Dur lebih memilih menggunakan dialog dari pada dengan tindakan-tindakan kekerasan serta masih menggunakan unsur-unsur dan sistem-sistem rezim lama dalam kepengurusan NU.

Hal ini merupakan sesuatu yang sudah menjadi prinsip dalam lingkungan NU, prinsip tersebut adalah muhafadzah ala qodim

al-shalih wa akhdzu bil jadid al-aslah (mempertahankan tradisi lama

yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), prinsip ini bisa diibaratkan seperti sebuah rel kereta api, NU adalah keretanya dan masinisnya adalah ketua umum, jadi siapa pun ketua umumnya akan selalu berada pada jalur rel tersebut.

Indikatornya adalah ketika menjadi ketua umum PBNU Gus Dur tidak tercatat melakukan sebuah tindakan yang menjadi ciri khas dari pemimpin ekstrem, yaitu tindakan-tindakan kekerasan untuk mencapai tujuannya.

Jika dilihat dari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, Gus Dur masuk dalam kategori pemimpin transformatif, karena Gus Dur mencoba melakukan peningkatan gairah berpikir dalam tubuh NU dengan cara memberikan restu serta mendukung gerakan halaqah dan

8


(45)

forum-forum kajian untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran, hal ini dilakukan agar pemikiran-pemikiran NU bisa dinamis dan fleksibel sesuai dengan konteks kekinian. Dengan demikian Gus Dur bisa dikatakan sebagai pemimpin transformatif.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tipologi

kepemimpinan Gus Dur yang dilihat dari proses kepemimpinan, Gus Dur masuk dalam kategori autokratis, namun jika dilihat dari karakter kepemimpinan, Gus Dur masuk dalam kategori pemimpin yang aktif-positif, karena ia sering terlibat dalam beberapa keputusan yang dibuat sendiri dan kemudian Gus Dur melaksanakan keputusan tersebut serta menganggap bahwa apa yang ia lakukan bernilai positif.

Karakter kepemimpinan ini mulai terlihat ketika Gus Dur menjabat ketua umum pada akhir periode pertama, sikap Gus Dur yang seolah melangkah sendiri dan tanpa menghiraukan kritik apalagi masukan dari orang lain menunjukkan bahwa ia merupakan pemimpin yang aktif-positif.

Misalnya ketika menjabat sebagai ketua umum PBNU Gus Dur memberikan apresiasasi dan menyokong terhadap rasionalitas yang diperkenalkan oleh Mu`tazilah dan usahanya dalam pribumisasi Islam di Indonesia, hal ini membuat resah kiai konservatif yang telah lanjut usia, namun Gus Dur memberikan dalih bahwa Jika NU ingin mendapatkan tempat di dunia modern maka NU harus melakukan hal


(46)

tersebut.9

Adapun Sumber kekuasaan yang dimiliki oleh Gus Dur adalah lebih bersumber dari kepemimpinan karismatik, karena walaupun secara legal-formal Gus Dur adalah ketua umum PBNU yang mendapat legitimasi secara konstitusi, namun sumber kekuasaan yang dimilikinya lebih pada asumsi bahwa Gus Dur adalah seorang yang mempunyai sebuah karisma tersendiri. Kekarismatikannya Gus Dur ini lahir sebagaimana yang disebutkan oleh Greg Barton mengatakan bahwa:

Walaupun Gus Dur, dalam banyak hal, adalah seorang manajer yang buruk dan hampir tidak melakukan reformasi apa pun dalam bidang administrasi organisasi, ia telah memberikan kontribusi besar dalam mengubah kultur kaum cendekiawan. Barangkali kontribusi Gus Dur yang terbesar kepada warga NU, dan khususnya yang muda-muda, adalah bahwa ia memberikan kepercayaan kepada mereka untuk menjelajahi ide-ide baru dan juga melakukan usaha-usaha baru. Walaupun popularitas Gus Dur di antara orang-orang muda NU sangat besar, ia tidak mau membina hubungan mentor-protege antara dirinya dan pemimpin-pemimpin muda. Tampaknya ia sengaja menciptakan suatu kondisi agar orang-orang muda ini dapat berkiprah dalam diskusi-diskusi kritis, tanpa dirinya harus secara langsung memberikan bimbingan. Lantas generasi muda NU menganggapnya sebagai tokoh karismatik dan bisa memberikan inspirasi. Gus Dur menurut mereka memberikan semacam izin untuk mencoba hal-hal baru dan menjelalahi ide-ide baru. 10

Bukan hanya itu saja, kekarismatikannya Gus Dur pun lahir dari sisi genealogis, karena secara genealogis Gus Dur merupakan cucu dari pendiri NU, baik dari pihak ibu maupun ayah, dalam tradisi NU para santri dan ’mantan’ santri harus menghormati kyai berikut keluarganya kyai, ini dilakukan agar bisa mendapatkan barokah dari kyai tersebut.

9

Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 211-212 10


(1)

67

melakukan tindakan-tindakan frontal atau tindakan-tindakan kekerasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan pemerintah.

Ketiga, Gus Dur dan Hasyim mendukung demokrasi dan demokratisasi di Indonesia, karena demokrasi merupakan sesuatu yang memang sesuai dengan nilai-nilai keislaman, namun dalam tataran aktualisasi dan implementasinya ada beberapa perbedaan di antara keduanya, sebagaimana yang dibahas pada perbedaan kedua tokoh tersebut.

Keempat Gus Dur dan Hasyim sepakat dengan ideologi Pancasila dijadikan sebagai dasar Negara Indonesia karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk (lebih spesifiknya pada tataran agama atau keyakinan), sehingga jika salah satu agama atau keyakinan tersebut digunakan untuk menggantikan posisi Pancasila dikhawatirkan akan terjadi dominasi mayoritas yang mengakibatkan penindasan terhadap minoritas.

Kelima, Gus Dur dan Hasyim menganggap bahwa NKRI sudah final sehingga tidak perlu lagi untuk digugat dan berdasarkan track record keduanya belum pernah tercatat menggugat tentang NKRI.


(2)

68 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan yang telah penulis deskripsikan di atas, yakni mengenai komparasi perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi khusunya yang ada pada bab III dan bab IV, penulis menyimpulkan bahwa perilaku politik Gus Dur dan Hasyim Muzadi selama memimpin NU memiliki beberapa persamaan berikut perbedaan. Persamaan dan perbedaan ini kemudian dengan sendirinya memberikan implikasi politik kepada NU terutama mengenai hubungan NU dengan pemerintah.

Adapun persamaannya adalah bisa dilihat dari sisi kepemimpinannya selama keduanya memimpin NU, yakni:

1. Persamaan

a. Kepemimpinan; moderat, aktif-positif dan transformatif, b. Memimpin NU dalam masa transisi,

c. Mencederai Hasil Muktamar 1984 di Situbondo.

2. Perbedaan

Selain memiliki persamaan, kedua tokoh yang pernah memimpin NU tersebut juga memilki perbedaan, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:


(3)

69

 Sumber kekuasaan kepemimpinan: Karismatik

 Pengaruh dan Wibawa: Lebih dominan dalam kultural NU  Gerakan Politik; cenderung menjadi oposan

 Faktor yang mempengaruhi: intelektualitas 2. Hasyim Muzadi:

 Sumber kekuasaan kepemimpinan: Rasional

 Pengaruh dan Wibawa: lebih dominan dalam struktural NU  Gerakan Politik: cenderung pro status quo

 Faktor yang mempengaruhi: manajemen organisasi 3.Titik Temu

1. Menginginkan agar NU menjadi civil society di Indonesia, namun demikian NU juga tidak boleh buta politik,

2. Dalam menyampaikan gagasan atau pemikiran kepada pemerintah keduanya menolak dengan cara-cara kekerasan,

3. Mendukung demokrasi dan demokratisasi di Indonesia,

4. Sepakat dengan ideologi Pancasila dijadikan sebagai dasar Negara Indonesia,

5. Menganggap bahwa NKRI sudah final sehingga tidak perlu lagi untuk digugat.

4. Implikasi terhadap politik NU

Ketika Gus Dur memimpin PBNU periode pertama (1984-1989), NU mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah, karena sejumlah keuntungan besar masuk kepada NU, misalnya adalah kerja sama yang


(4)

70

erat dengan departemen Agama, diangkatnya orang-orang NU masuk dalam birokrasi dan Golkar namun pada periode selanjutnya (1989-1999), NU sering mendapat intervensi dan intimidasi dari pemerintah, intervensi yang paling menonjol adalah penjegalan Soeharto terhadap Gus Dur dalam pemilihan ketua umum PBNU di Tasikmalaya. Hal ini merupakan efek dari perilaku politik Gus Dur yang pada periode pertama kepemimpinannya, Gus Dur memiliki kedekatan khusus dengan pemerintah, namun pada periode selanjutnya Gus Dur sering mengkritisi pemerintah dengan lantang.

Ketika Hasyim memimpin NU, hubungan NU dengan pemerintah berjalan dengan baik dan seolah-olah tidak ada konflik politik di antara keduanya, kalaupun ada tidak seperti konflik politik yang terjadi pada saat NU dipimpin oleh Gus Dur, sehingga NU terlihat adem ayem dengan pemerintah, hal ini dikarenakan Hasyim lebih memilih menjaga hubungan baik dari pada menjaga jarak dengan pemerintah.

B. Saran

1. Adanya penelitian lebih lanjut terhadap perilaku politik Gus Dur dan Hasyim Muzadi yang lebih mendalam dan universal.

2. Apa yang dilakukan penulis dalam tulisan ini masih sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, diharapkan ada tulisan yang lebih mendalam dan komprehensif yang membahas tentang masalah ini.


(5)

71

DAFTAR PUSTAKA

Apter, David E. Pengantar Analisa Politik, penj. Setiawan Abadi, (Jakarta: LP3ES; 1987), cet. II,

as-Suwaidan, Thariq Muhammad & Basyarahil, Faish Umar Penj. Samson Rahman, Sukses Menjadi Pemimpin Islami, (Jakarta: Maghfirah Pustaka; 2005), cet. I

Asrori, Ibnu Sh., Drs., MA., KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas & Cita-cita Good Governance, ( Sidoarjo: Citra Media; 2004), cet. I

Azzarnuji, Syekh, Ta`lim al-Muta`llim; thariqat al-ta`allum, (Semarang: Karya Thaha Putra; tt)

Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid, Penj. Lie Hua, (Yogyakarta: LKiS: 2010), cet. II

Barton, Greg & Fealy, Greg, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama - Negara, Penj. Ahmad Suaedy, dkk, (Yogyakarta: LKiS; 2010), cet. III

Budiardjo, Miriam, Prof. Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama;2008), Cet. I

Effendy, Bahtiar ISLAM DAN NEGARA: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, LSI dan Prenida Media Group), 2009, Cet. II Darwis, Elyasa KH. ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. III, Fatwa, A. M. Satu Islam multipartai, (Bandung: Mizan), 2000, cet. I

ENSIKLOPEDI OXFORD DUNIA ISLAM MODERN, Penj. Eva Y. N, dkk, (Bandung: Mizan; 2001), Jilid I, cet. I

Fadeli, H. Sulaiman & Subhan, Muhammad, ANTOLOGI NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, (Surabaya : Khalista : 2007), cet. I,

Feillard, Andree NU vis a vis Negara, penj. Lesmana, (Jogjakarta: LKiS, 1999), cet. I

Harsey, Paul dan Blanchard, Kenneth H., Manajemen Perilaku organisasi: Pendayagunaan sumber Daya Manusia, Edisi keempat, penj. Agus Dharma (Jakarta: Erlangga; 1982)

Hunneryager, S.G. & Heckman, I. L. ed. Kepemimpinan, (Semarang: Dahara Prize: 1992), cet. I

Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Pragmatisme Politik, (Jakarta: DEPAG: 2004), Cet. I

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka; 1988), cet. I

Khazim, Musa dan Hamzah, Alfian, 5 Partai Dalam Timbangan, (Bandung: Pustaka H.idayah.; 1999), Cet. I

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif; 1997), cet. XXV,

Plano, Jack C. dkk, Kamus Analisis Politik, penj. Drs. Edi S. Siregar, (Jakarta: CV. Rajawali; 1985), cet. I


(6)

72

Philipus, Ng. & Aini, Nurul Sosiologi dan Politik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2006)

Rahardiansah, Trubus, Pengantar Ilmu Politik: Konsep dasar, Paradigma dan Pendekatannya. (Jakarta: Universitas Trisakti: 2006), cet. I

Shodiq, Muhammad Dinamika Kepemimpinan NU; Refleksi Perjalanan KH. Hasyim Muzadi, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur; 2004), cet. I

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Grasindo: 1999), cet. IV The Oxford English Dictionary, (London: Oxford University Press; 1993),

Volume I, cet. I, _______, Volume VII, cet. I,

Thoha, Miftah, Kepemimpinan dalam Manajemen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2006), cet. I

Ulum, Bahrul, “BODOHNYA NU’ APA “NU DIBODOHI”?: Jejak langkah NU Era reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta; Arruzz Press; 2002), cet. I

Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia&Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute; 2007), cet. I

______, In Memoriam: Kiai Achmad Shiddiq, dalam Frans M. Parera&T. Jakob Koekerits (Peny.), Gus Dur Menjawab Perubahan: Kumpulan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Kompas: 2000), cet. II

______, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute: 2006), cet I

Westey, Peter, Pengantar Sosiologi; Sebuah Pembanding Jilid 2, Penj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya; 1992), cet. I Yusuf, Slamet Effendy, dkk, DIMANIKA KAUM SANTRI; Menelusuri Jejak dan

Pergolakan Kaum Santri, (Jakarta: CV. Rajawali; 1983), cet. I Majalah

Risalah Nahdlatul Ulama, Edisi 14/Tahun III/1431 H Internet:

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=20484, http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=22834