Biodelignifikasi Kayu Sengon untuk Produksi Bioetanol dengan Teknik Sakarifikasi Fermentasi Simultan Sel Teramobil

BIODELIGNIFIKASI KAYU SENGON UNTUK PRODUKSI
BIOETANOL DENGAN TEKNIK SAKARIFIKASI
FERMENTASI SIMULTAN SEL TERAMOBIL

AZMI AZHARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biodelignifikasi Kayu
Sengon untuk Produksi Bioetanol dengan Teknik Sakarifikasi Fermentasi
Simultan Sel Teramobil adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Azmi Azhari
NIM G851120141

RINGKASAN
AZMI AZHARI. Biodelignifikasi Kayu Sengon untuk Produksi Bioetanol dengan
Teknik Sakarifikasi Fermentasi Simultan Sel Teramobil. Dibimbing oleh MARIA
BINTANG dan SYAMSUL FALAH.
Delignifikasi adalah suatu proses pendahuluan penghilangan lignin pada
material berlignoselulosa. Batang kayu sengon adalah salah satu biomassa
lignoselulosa yang potensial sebagai sumber bahan baku etanol karena memiliki
kadar selulosa yang tinggi dan kadar lignin yang cukup rendah. Penelitian ini
bertujuan untuk mendelignifikasi kayu sengon dengan menggunakan Trametes
versicolor untuk produksi etanol dengan teknik sakarifikasi dan fermentasi
simultan menggunakan Trichoderma viride dan Zymomonas mobilis yang
diamobilisasi Ca-Alginat. Metode yang digunakan meliputi pengamatan
pertumbuhan Trametes versicolor dibandingkan dengan Phanerochaete
chrysosporium, uji kualitatif degradasi lignin pada lindi hitam, delignifikasi kayu
sengon, dan pengukuran kadar kimia sebelum dan setelah delignifikasi

menggunakan Trametes versicolor dan produksi bioetanol.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Trametes versicolor dapat lebih
cepat mendelignifikasi dibandingkan dengan Phanerochaete chrysosporium
dalam uji kualitatif degradasi lignin pada lindi hitam. Kadar lignin dari kayu
sengon mengalami penurunan sebesar 37.31% setelah delignifikasi oleh Trametes
versicolor pada suhu ruang dalam waktu 20 hari. Uji kimia kayu sengon setelah
proses delignifikasi menunjukkan penurunan kadar zat ekstraktif larut etanol
benzena, holoselulosa, dan selulosa serta kenaikan kadar hemiselulosa. Kadar
etanol yang dihasilkan selama 5 hari fermentasi tanpa teknik amobilisasi sel
Zymomonas mobilis dengan pengambilan sampel pada jam ke-24, 48, 72, 96, dan
120, hasilnya berturut-turut sebesar 1.79 g/L, 2.62 g/L, 5.87 g/L, 7.37 g/L, dan
10.4 g/L. Hasil fermentasi selama 5 hari dengan teknik amobilisasi sel Z. mobilis
dengan pengambilan sampel pada jam ke-24, 48, 72, 96, dan 120, hasilnya
berturut-turut sebesar 2.02 g/L, 5.49 g/L, 9.96 g/L, 10.06 g/L, dan 11.91 g/L.
Produksi etanol dengan menggunakan teknik amobilisasi sel bakteri Z. mobilis
menghasilkan kadar etanol lebih tinggi dibandingkan dengan produksi etanol
tanpa amobilisasi sel.
Kata kunci: Bioetanol, kayu sengon, Trametes versicolor, Trichoderma viride,
Zymomonas mobilis


SUMMARY
AZMI AZHARI. Biodelignification of Falcata Wood for Bioethanol Production
by Simultaneous Saccharification Fermentation Technique using Immobilized
Cells. Supervised by MARIA BINTANG and SYAMSUL FALAH.
Delignification is a lignin degradation preliminary process of lignocellulose
materials. Falcata wood is one of potensial lignocelullose for making bioethanol
because it has high levels of cellulose and low level of lignin. The aim of this
study was delignification Falcata wood by using Trametes versicolor, and
bioethanol production by simultaneous saccharification fermentation technique
using Trichoderma viride and immobilized Zymomonas mobilis with Ca-Alginat.
The methods used include observation growth of Trametes versicolor compared
with Phanerochaete chrysosporium, the rate of of lignin degradation (black
liquor), delignification of Falcata wood using Trametes versicolor and the
chemical assay of Falcata wood before and after delignification and bioethanol
production.
The results of this study showed that lignin degradation at black liquor by
Trametes versicolor is faster than Phanerochaete chrysosporium. Delignification
by Trametes versicolor reduced lignin from Falcata wood by 37.31 % within 20
days at room temperature. Chemical assay performed on delignified Falcata wood
showed decreased level of ethanol benzene soluble extractive substances,

holocellulose, and cellulose and an increase of hemicellulose level. Ethanol
production by fermentation for 5 days without cells immobilization technique of
Zymomonas mobilis with sampling at 24, 48, 72, 96, and 120 hours, the results
were 1.79 g/L, 2.62 g/L, 5.87 g/L, 7.37 g/L, and 10.4 g/L. Ethanol production by
fermentation for 5 days with immobilization of Zymomonas mobilis cells with
sampling at 24, 48, 72, 96, and 120 hours, the results were 2.02 g/L, 5.49 g/L,
9.96 g/L, 10.06 g/L, dan 11.91 g/L Production of ethanol using immobilized
Zymomonas mobilis cells was higher than the production of bioethanol nonimmobilized Zymomonas mobilis cells.
Keywords: Bioethanol, Falcata wood, Trametes versicolor, Trichoderma viride,
Zymomonas mobilis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


BIODELIGNIFIKASI KAYU SENGON UNTUK PRODUKSI
BIOETANOL DENGAN TEKNIK SAKARIFIKASI
FERMENTASI SIMULTAN SEL TERAMOBIL

AZMI AZHARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. I. Made Artika, M.App.Sc


Judul Tesis
Nama
NIM

: Biodelignifikasi Kayu Sengon untuk Produksi Bioetanol dengan
Teknik Sakarifikasi Fermentasi Simultan Sel Teramobil
: Azmi Azhari
: G851120141

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS
Ketua

Dr. Syamsul Falah, S.Hut, M.Si
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi Biokimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 10 Juni 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat, berkah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Tesis ini berjudul Biodelignifikasi Kayu Sengon untuk Produksi Bioetanol
dengan Teknik Sakarifikasi Fermentasi Simultan Sel Teramobil. Kegiatan
penelitian ini yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar magister sains

di Departemen Biokimia Sekolah Pascasarjana IPB. Kegiatan penelitian ini
dilakukan dari bulan September hingga Februari 2014 bertempat di Laboratorium
Biokimia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing yaitu dengan
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS sebagai ketua dan Dr. Syamsul Falah, S.Hut,
M.Si. sebagai anggota yang telah memberikan masukan dan saran serta kritik
membangun demi penyusunan laporan penelitian ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, dan semoga bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Azmi Azhari

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis

1
1
2
2
2

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Metode

3
3

3
3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Phanerochaete chrysosporium dan Trametes versicolor
Degradasi Lignin pada Lindi Hitam oleh Trametes versicolor dan
Phanerochaete chrysosporium
Delignifikasi Kayu Sengon dengan Trametes versicolor
Produksi Bioetanol

7
7
9
10
14

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


18
18
18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan jamur Phanerochaete chrysosporium dan Trametes
versicolor dalam media PDA pada suhu ruang (28ºC)
2 Degradasi lignin pada media PDA yang mengandung lindi hitam oleh
Phanerochaete chrysosporium dan Trametes versicolor
3 Kayu sengon berukuran 80 mesh
4 Delignifikasi kayu sengon dengan Trametes versicolor
5 Kadar etanol pada fermentasi tanpa amobilisasi sel dan amobilisasi sel
Z. mobilis
6 Kadar gula pereduksi pada fermentasi tanpa amobisasi sel
dan amobilisasi sel Z. mobilis

8
10
11
11
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Bagan alir penelitian
2 Kromatogram standar etanol
3 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-24
4 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-48
5 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-72
6 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-96
7 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-120
8 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-24
9 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-48
10 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-72
11 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-96
12 Kromatogram kadar etanol kayu sengon
Zymomonas mobilis pada jam ke-120

23
24
tanpa amobilisasi sel
24
tanpa amobilisasi sel
25
tanpa amobilisasi sel
25
tanpa amobilisasi sel
26
tanpa amobilisasi sel
26
dengan amobilisasi sel
27
dengan amobilisasi sel
27
dengan amobilisasi sel
28
dengan amobilisasi sel
28
dengan amobilisasi sel
29

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan energi yang baru dan terbaharukan dewasa ini menjadi wacana
penting dunia. Hal ini disebabkan karena energi fosil diambang krisis sedangkan
kebutuhan manusia terhadap energi semakin lama semakin meningkat. Oleh sebab
itu, diperlukanlah sebuah solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Pengembangan
energi dengan bahan baku nabati (bioetanol) diharapkan bisa memberikan
kontribusi bagi ketersediaan energi dunia.
Produksi bahan bakar minyak (BBM) nasional Indonesia pada tahun 2006
mencapai 40.9 juta kilo liter atau turun sekitar 3.9% dibandingkan tahun
sebelumnya. Kebutuhan BBM nasional pada tahun 2030 diproyeksikan dapat
dipenuhi jika pemerintah mengimpor BBM sebesar 71.8% dari total kebutuhan
atau sekitar 2,5 kali lipat produksi BBM nasional. Oleh sebab itu, kebijakan
energi nasional melalui Perpres No. 5 Tahun 2006 yaitu alternatif bahan bakar
nasional dapat berasal dari pemanfaatan bahan bakar nabati (bioetanol)
(Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral 2008).
Sumber bahan baku penyediaan biofuel adalah bahan bergula, bahan berpati,
dan bahan berlignoselulosa. Penyediaan bahan baku bioetanol yang berasal dari
sumber pangan tidak dapat direkomendasikan, karena menimbulkan masalah baru
bagi ketersediaan pangan. Salah satu bahan baku pembuatan etanol yang potensial
berasal dari berlignoselulosa karena jumlahnya cukup besar di Indonesia.
Pemanfaatan lignoselulosa sebagai sumber bahan bakar alternatif diharapkan akan
menjadi salah satu cara untuk mengatasi krisis energi (Hermiati et al. 2010). Salah
satu sumber lignoselulosa adalah kayu sengon. Kayu sengon (Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen) adalah salah satu jenis pohon cepat tumbuh (fast growing
species) dan banyak ditanam oleh masyarakat Indonesia. Sengon pada umumnya
ditebang pada umur 5 sampai 7 tahun (Krisnawati et al. 2011). Biomassa ini
mempunyai sumber selulosa yang cukup tinggi, namun kandungan ligninnya tidak
terlalu besar sehingga dapat dijadikan sumber selulosa yang cukup potensial
(Siagian et al. 2003).
Bahan penyusun lignoselulosa terdiri atas lignin dan polisakarida
(hemiselulosa dan selulosa). Lignin berikatan kuat dengan hemiselulosa dan
selulosa yang membentuk dinding sel tanaman. Pemanfatan polisakarida untuk
produksi bioetanol dapat terganggu oleh adanya lignin. Oleh sebab itu, proses
degradasi lignin (delignifikasi) perlu dilakukan. Delignifikasi yang digunakan
dalam industri saat ini tidak ramah lingkungan karena menggunakan sulfat, alkali
dan bahan kimia lainnya yang dapat menyebabkan masalah pencemaran. Selain
itu, proses secara kimiawi ini membutuhkan penanganan khusus karena
membutuhkan energi tinggi, reaktor yang tahan tekanan tinggi, dan tahan korosi
(Fitria et al. 2006; Martina et al. 2002).
Delignifikasi menggunakan proses biologis lebih ramah lingkungan,
penanganannya cukup mudah dan lebih murah. Agen biologis yang dapat dipakai
untuk proses delignifikasi adalah mikroorganisme dari golongan Actinomycetes
(Zeng et al. 2006) dan Basidiomycetes (Tuomela et al. 2000). Jamur pelapuk
putih (white-rot fungi) dari golongan Basidiomycota seperti Trametes versicolor

2
dan Phanerochaete chrysosporium paling efektif dalam mendegradasi lignin kayu
(Perez et al. 2002). Keduanya memiliki enzim pendegradasi lignin cukup lengkap
seperti lakase, manganase peroksidase, dan lignin peroksidase (Hossain dan
Ananthraman 2006). Menurut penelitian Anita et al. (2011) T. versicolor dapat
menghasilkan enzim ligninase lebih cepat dibandingkan P. chrysosporium.
Delignifikasi sengon dalam penelitian ini menggunakan T. versicolor.
Sampel sengon hasil delignifikasi digunakan sebagai substrat untuk proses
sakarifikasi dan fermentasi simultan menggunakan Trichoderma viride dan
Zymomonas mobilis yang diamobilisasi Ca-Alginat. Keutamaan proses
sakarifikasi dan fermentasi simultan ini dapat mempersingkat waktu proses dan
rendemen etanol (Hermiati et al. 2010). Selain itu, teknik amobilisasi sel
memiliki keuntungan seperti penggunaan sel yang dapat dipakai berulang,
melindungi sel dari kerusakan, dan relatif mudah dalam pemisahan produk
(Goksungur dan Zorlu 2001).
Dengan adanya penelitian pembuatan bioetanol dari kayu sengon dengan
menggunakan teknik biodelignifikasi, dan proses sakarifikasi simultan sel yang
diamobil, diharapkan akan memberikan kontribusi besar bagi ketersediaan energi
yang baru dan terbaharukan di masa mendatang.
Perumusan Masalah
Produksi etanol dari kayu sengon meliputi delignifikasi, dan sakarifikasi
fermentasi simultan. Proses delignifikasi menggunakan cara kimiawi tidak mudah
penanganannya, mahal dan tidak ramah lingkungan, sehingga proses delignifikasi
menggunakan cara biologis dapat dijadikan alternatif. Proses sakarifikasi dan
fermentasi secara terpisah kurang efektif sehingga sakarifikasi fermentasi yang
dilakukan secara simultan diharapkan dapat menyingkat proses. Selain itu,
teknologi amobilisasi sel diharapkan dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan
produksi bioetanol.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Melakukan uji kualitatif degradasi lignin pada lindi hitam oleh Trametes
versicolor dan Phanerochaete chrysosporium.
2. Mendelignifikasi kayu sengon secara biologis dengan menggunakan
Trametes versicolor.
3. Melakukan sakarifikasi dan fermentasi secara simultan kayu sengon
dengan menggunakan Trichoderma viride dan Zymomonas mobilis
teramobil dan tanpa amobil untuk produksi bioetanol.
Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini yaitu :
1. Lignin dalam lindi hitam dapat didegradasi oleh Trametes versicolor dan
Phanerochaete chrysosporium.
2. Kayu sengon dapat didelignifikasi oleh Trametes versicolor.

3
3. Etanol dapat diproduksi dari kayu sengon dengan teknik sakarifikasi
fermentasi simultan dengan menggunakan Trichoderma viride dan
Zymomonas mobilis yang diamobil dan tanpa amobil.

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan (September 2013-Februari 2014).
Tempat pelaksanaannya di Laboratorium Biokimia, Departemen Biokimia, Institut
Pertanian Bogor, BB Biogen (Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya
Genetik Pertanian), dan Laboratorium Kimia Hasil Hutan Insitut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biomassa kayu sengon
yang berasal dari daerah Sumedang Jawa Barat yang berumur 5 tahun.
Mikroorganisme yang digunakan untuk uji degradasi lignin pada lindi hitam dan
delignifikasi adalah Phanerochaete chrysosporium dan Trametes versicolor,
sedangkan Trichoderma viride dan Zymomonas mobilis digunakan dalam
fermentasi bioetanol. Bahan lain yang digunakan antara lain media PDA (Potato
Dextrose Agar), media PDB (Potato Dextrose Broth), media NA (Nutrient Agar),
media NB (Nutrient Broth), etanol benzena, akuades, H2SO4, Na2ClO3,
CH3COOH, NaOH, HNO3, Na2SO3, (NH4)2PO4, MgSO4.7H2O, ekstrak yeast, 3,5dinitrosalisilat, glukosa, CaCl2, dan Na-alginat.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas cawan Petri,
tabung reaksi, labu Erlenmeyer, autoklaf, plat pemanas, pengaduk magnetik,
jarum ose, laminar, oven, inkubator, mesin penggiling Willey Mill, saringan 80
mesh, sokhlet, corong buchner, jidal (Thimble), filter gelas, penangas air,
pengaduk, pipet, lemari pendingin, syringe, spektrofotometer UV-Vis, dan
kromatografi gas Pye Unicam PU4500.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pengamatan
pertumbuhan P. chrysosporium dan T. versicolor, uji kualitatif degradasi lignin
(lindi hitam) oleh P. chrysosporium dan T. versicolor, uji kimia kayu sengon
sebelum dan setelah delignifikasi, delignifikasi dengan T. versicolor dan produksi
bioetanol dengan teknik sakarifikasi dan fermentasi simultan sel Zymomonas
mobilis yang diamobilisasi Ca-Alginat, dan analisis hasil fermentasi.
Pengamatan Pertumbuhan Phanerochaete chrysosporium dan Trametes
versicolor
P. chrysosporium dan T. versicolor ditumbuhkan pada cawan Petri berisi
media PDA dan diamati pertumbuhannya pada hari ke 1, 2, 5, dan 16. Pengamatan
terdiri atas perbandingan visual kecepatan tumbuh yang dilihat dari ukuran
besar/luas koloni kedua jamur tersebut.

4
Uji Kualitatif Degradasi Lignin pada Lindi Hitam
Inokulasi P. chrysosporium dan T. versicolor sebanyak 1 ose dilakukan
pada media PDA yang mengandung lindi hitam dengan perbandingan 1:1 dan
diamati selama 20 hari. Lindi hitam yang digunakan berasal dari 20 kali
pengenceran dari proses kraft (40%) biomassa lignoselulosa. Pengamatan yang
dilakukan adalah perubahan warna pada media padat. Degradasi lignin telah
terjadi jika warna coklat medium berkurang (Risdianto et al. 2007).
Delignifikasi Sengon oleh Trametes versicolor dan Pengukuran Kadar Kimia
Sengon
Kayu sengon tanpa kulit dipotong kecil-kecil, digiling dalam mesin Willey
mill dan disaring sehingga diperoleh ukuran 80 mesh. Sampel lalu ditimbang
sebanyak 150 gram dalam wadah plastik tahan panas, direndam selama 24 jam
dalam akuades, dan disterilisasi dengan menggunakan autoklaf 1210C selama 15
menit. Setelah itu, diinokulasikan dengan 100 ml suspensi T. versicolor dalam
media PDB dari labu Erlenmeyer 250 ml telah ditumbuhkan sebelumnya selama 7
hari. Sampel tersebut lalu diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 hari. Analisis
sampel sebelum dan setelah delignifikasi meliputi kadar zat ekstraktif, kadar
lignin, holoselulosa, hemiselulosa, dan selulosa. Kontrol tanpa penambahan jamur
diperlakukan dengan kondisi yang sama, dan dianalisis pada hari ke-20
(modifikasi Akhtar et al. 1997).
Pengukuran Kadar Zat Ekstraktif
Pengukuran ini berdasarkan SNI nomor 1032. Serbuk sengon kering
berukuran 80 mesh ditimbang 2 gram, lalu dimasukkan ke dalam jidal dalam alat
sokhlet. Jidal ditutup dengan kasa halus untuk menghindari hilangnya spesimen.
Kemudian serbuk sengon diekstrak dengan etanol-benzena (1:2 v/v) selama 6 jam.
Setelah itu, sengon dipindahkan ke dalam corong buchner, pelarut dihilangkan
dengan vakum, jidal dicuci dengan etanol untuk menghilangkan benzena. Sengon
dipindahkan ke dalam jidal, lalu diekstraksi dengan etanol 95% selama 4 jam.
Sengon dipindahkan ke dalam corong buchner, pelarut dihilangkan dengan vakum,
jidal dicuci dengan akuades untuk menghilangkan etanol. Selanjutnya sengon
dipindahkan ke dalam gelas piala 1000 mL dan ditambahkan 500 mL akuades
panas. Serbuk sengon dikeringkan di udara dan disimpan dalam wadah tertutup
(BSN 1989).
Zat ekstraktif = bobot kering sampel - bobot kering hasil ekstrak (g) / bobot
kering sampel (g) x 100%
Pengukuran Kadar Lignin
Pengukuran ini berdasarkan SNI nomor 0492. Sebanyak 1 gram sampel
sengon dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan larutan H2SO4 72%
sebanyak 15 mL. Penambahan asam dilakukan secara perlahan dan bertahap
sambil diaduk dengan suhu dijaga pada 20ºC. Setelah tercampur sempurna, gelas
piala disimpan pada suhu 20 ºC selama 2 jam sambil diaduk sesekali. Akuades
sebanyak 300-400 mL ditambahkan ke dalam labu Erlenmeyer 1000 mL, sampel
dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer. Sampel dilarutkan dengan akuades
hingga mencapai konsentrasi 3% dengan total volume 575 mL. Sampel dididihkan

5
selama 4 jam, volume sampel dijaga dengan menambahkan akuades panas. Lignin
disaring dengan gelas filter dan dicuci dengan akuades panas hingga bebas asam.
Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC hingga bobotnya konstan,
didinginkan, dan ditimbang (BSN 2008).
Kadar lignin = bobot lignin (g)/ bobot kering sampel (g) x 100%
Pengukuran Kadar Holoselulosa
Sebanyak 2 gram sampel sengon dimasukkan ke dalam labu Erlenmenyer
250 mL dan ditambahkan 80 ml akuades, 1 gram Na2ClO3, dan 0.5 mL
CH3COOH glasial. Setelah itu, dipanaskan pada penangas air dengan suhu 70 ºC.
Permukaan air dalam penangas air dijaga agar tidak lebih tinggi dari larutan di
dalam labu Erlenmeyer. Lalu, ditambahkan 1 gram Na2ClO3 dan 0,5 mL
CH3COOH setiap interval pemanasan selama 1 jam, penambahan dilakukan
sebanyak 4 kali. Sampel disaring dengan menggunakan gelas filter dan dicuci
dengan akuades panas lalu ditambahkan 25 mL CH3COOH 10%, lalu dicuci
dengan akuades panas hingga bebas asam. Sampel di oven pada suhu 105 ºC
hingga beratnya konstan dan ditimbang (Browning 1967).
Holoselulosa = bobot holoselulosa (g)/ bobot kering sampel (g) x 100%
Pengukuran Kadar Selulosa
Sebanyak 2 gram sampel sengon dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
300 mL, ditambahkan 125 mL larutan HNO3 3.5% dan dipanaskan dalam
penangas air selama 12 jam pada suhu 80ºC. Lalu sampel disaring dengan akuades
hingga tidak berwarna, lalu dikeringkan di udara. Sampel dimasukkan ke dalam
labu Erlenmeyer, lalu ditambahkan 125 mL larutan campuran NaOH dan Na2SO3
dan dipanaskan selama 2 jam pada suhu 50ºC. Sampel disaring dengan gelas filter
dan dibilas dengan akuades hingga filtrat tidak berwarna dan ditambahkan 50 mL
larutan Na2ClO3 10% dan dicuci dengan akuades hingga diperoleh endapan
berwarna putih. Lalu ditambahkan 100 mL CH3COOH 10% dan dicuci hingga
bebas asam. Sampel dikeringkan ke dalam oven pada suhu 105ºC dan ditimbang
hingga bobotnya tetap (Cross dan Bevan 1912).
Selulosa = bobot selulosa (g)/ bobot kering sampel (g) x 100%
Pengukuran Kadar Hemiselulosa
Prinsip metode ini adalah holoselulosa bebas lignin diberi perlakuan sodium
hidroksida dan asam asetat. Residu dinyatakan sebagai alfa selulosa dan fraksi
terlarut dinyatakan sebagai kadar hemiselulosa. Penentuan kadar alfa selulosa
sebagai berikut, sebanyak 2 gram holoselulosa sengon dimasukkan ke dalam gelas
piala 250 mL. Sebanyak 10 mL larutan NaOH 17,5% ditambahkan pada suhu
20ºC dan diaduk pelan. Setelah itu, setiap interval waktu 5 menit, ditambahkan 5
mL larutan NaOH 17,5%. Penambahan ini dilakukan sebanyak 3 kali sehingga
volume total NaOH 17,5% sebanyak 25 mL. Saat penambahan terakhir, sampel
dibiarkan selama 30 menit sehingga total waktu perlakuan selama 45 menit.
Kemudian ditambahkan 33 mL akuades, diaduk, dan dibiarkan selama 1 jam pada
suhu 20ºC. Sampel disaring dengan cawan saring lalu dibilas dengan 100 mL

6
NaOH 8.3%. Pembilasan dilanjutkan dengan akuades hingga semua sampel
terpindahkan ke dalam cawan saring. Setelah itu pembilasan dilanjutkan dengan
250 mL akuades. Sampel dikeringkan pada suhu 105ºC selama 24 jam. Kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya hingga konstan (BSN 2009).
Alfa selulosa = bobot alfaselulosa (g) / bobot kering sampel (g) x 100%
Produksi Bioetanol
Sampel sengon hasil delignifikasi oleh Trametes versicolor, digunakan
untuk fermentasi bioetanol. Mikroba yang digunakan untuk fermentasi bioetanol
adalah Trichoderma viride dan Zymomonas mobilis. Peremajaan Trichoderma
viride dilakukan pada media PDA dengan suhu 30 ºC selama 7 hari. Peremajaan
Zymomonas mobilis dilakukan pada media NA dengan suhu 30ºC selama 48 jam.
Amobilisasi sel
Amobilisasi hanya dilakukan pada bakteri Zymomonas mobilis. Sebelum
melakukan amobilisasi, dilakukan optimasi konsentrasi alginat terlebih dahulu
dengan menggunakan variasi natrium alginat steril 1%, 2%, 3%, dan 4%. Butiran
gel yang terbentuk paling baik digunakan untuk amobilisasi sel seperti tidak
terlalu kaku dan tidak terlalu mudah pecah. Sel ditambahkan ke dalam Na-alginat
steril. Butiran gel yang dibuat dengan meneteskan suspensi sel dalam natrium
alginat dengan syringe ke dalam 50 mL larutan CaCl2 0.2 M steril sambil diaduk
dengan pengaduk bermagnet dengan kecepatan 100 rpm. Butiran gel yang sudah
terbentuk dibiarkan selama 2 jam dalam larutan CaCl2 0.2 M pada suhu 4ºC
supaya gel yang terbentuk lebih mengeras. Selanjutnya butiran gel disaring
dengan kertas saring steril kemudian dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer steril
untuk dicuci dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Pencucian dengan akuades
steril bertujuan untuk menghilangkan larutan CaCl2 yang masih menempel pada
butiran gel dan sel yang tidak terjebak oleh natrium alginat (modifikasi Becerra et
al. 2001).
Fermentasi Bioetanol
Sengon hasil delignifikasi oleh Trametes versicolor ditimbang sebanyak 3
gram dan dimasukkan ke dalam media fermentasi (100 mL) dengan komposisi
(NH4)2HPO4 1 g/L, MgSO4.7H2O 0.05 g/L, dan ekstrak yeast 2 g/L dengan pH
media 7. Setelah itu, ditambahkan 5% isolat Trichoderma viride dan 10%
inokulum cair Zymomonas mobilis (v/v) yang telah diamobilisasi dengan Caalginat yang optimum dari tahapan sebelumnya. Inkubasi selama 5 hari tanpa
agitasi pada suhu 30ºC. Setiap 0, 24, 48, 72, 96, 120 jam dilakukan pengambilan
sampel, kemudian dianalisis kadar gula pereduksi, dan etanol. Fermentasi
bioetanol tanpa amobilisasi sel juga dilakukan sebagai pembanding (modifikasi
Ito et al. 2003).
Pengukuran Kadar Gula Pereduksi
Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan
mereduksi 3,5-dinitrosolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Kurva baku dibuat dengan
mengukur nilai gula pereduksi pada glukosa 0.011%, 0.022%, 0.033%, 0.044%,

7
dan 0.056% mg/L dan dicari nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS.
Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linier. Sebanyak 1 mL
sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 3 mL pereaksi DNS,
dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian didinginkan sampai
suhu kamar dan sampel diukur pada panjang gelombang 550 nm (Miller 1959).
Pengukuran Kadar Etanol
Pengukuran kadar etanol sampel amobil dan tanpa amobil dilakukan
menggunakan GC (Gas Chromatography) Pye Unicam PU4500. Kolom yang
digunakan adalah kolom OV-17. Gas pembawa adalah nitrogen. Laju alir 20-50
ml/menit dengan detektor FID (Flame Ionization Detector). Penentuan dilakukan
dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standar etanol.
Standar etanol yang diinjeksikan dengan konsentrasi 1% (v/v).
Kadar etanol = luas area sampel / luas area standar x konsentrasi standard

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Phanerochaete chrysosporium dan Trametes versicolor
Jamur pelapuk putih seperti P. chrysosporium dan T. versicolor adalah
jamur yang dapat mendegradasi lignin (Akhtar et al. 1996; Hossain dan
Ananthraman 2006; Irawati et al. 2009).. Lignin adalah bagian dari lignoselulosa
yang berikatan cukup kuat dengan polisakarida. Pada proses konversi
lignoselulosa menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Selulosa
tidak dapat dikonversi menjadi etanol karena berasosiasi dengan lignin (Ingram
dan Doram 1995). Oleh sebab itu, lignin ini harus dihilangkan. Pengamatan ini
bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan P. chrysosporium dan T.
versicolor pada suhu ruang (28ºC). Pada Gambar 1, diperlihatkan kultur fungi
yang tumbuh baik pada media PDA dengan suhu ruang (28ºC). Kedua jamur ini
dipilih karena keduanya adalah jamur pelapuk putih yang memiliki enzim
ligninase cukup lengkap (Hossain dan Ananthraman 2006). Pengamatan
pertumbuhan pada suhu ruang ini dilakukan karena uji kualitatif degradasi lignin
pada lindi hitam dan deliginifikasi kayu sengon dilakukan juga pada suhu ruang.
Berdasarkan pengamatan visual pertumbuhan selama 16 hari, T. versicolor
lebih lama pertumbuhannya dibandingkan dengan P. chrysosporium. Pada hari
pertama kedua jamur belum terlihat pertumbuhannya. Pada hari kedua P.
chrysosporium sudah terlihat penyebaran koloninya namun T. versicolor belum
terlihat. Pada hari kelima, isolat P. chrysosporium sudah meyebar dalam cawan
Petri sedangkan T. versicolor baru tumbuh ditengah cawah Petri. Pada hari
keenam belas, kedua jamur terlihat sudah menutupi cawan Petri dan memiliki hifa
yang berwarna putih.. Dari pengamatan hari keenam belas, T. versicolor
mempunyai hifa yang lebih tebal daripada P. chrysosporium. Pengamatan pada
hari keenam belas bertujuan untuk membandingkan penyebaran dan pertumbuhan
kedua jamur sehingga dapat dipelajari kecepatan pertumbuhannya. Dari hasil
tersebut, kedua jamur dapat tumbuh pada suhu ruang (28ºC).

8
A)

B)

umur 1 hari

umur 1 hari

umur 2 hari

umur 2 hari

umur 5 hari

umur 5 hari

umur 16 hari

umur 16 hari

Gambar 1 Pertumbuhan jamur Phanerochaete chrysosporium (A) dan Trametes
versicolor (B) dalam media PDA pada suhu ruang (28ºC)
Pada Gambar 1, keduanya memiliki hifa berwarna putih mirip dengan kapas.
Bentuk morfologi jamur ini sesuai dengan penelitian Guererro (2011) yang
menunjukan bahwa jamur T. versicolor berhifa putih dan berbentuk seperti kapas.
Pengamatan jamur P. chrysosporium juga seperti penelitian Fraser (2005) dan

9
Nakasone (1990) yang memiliki hifa berwarna putih. Pada awalnya P.
chrysosporium terlihat lebih cepat pertumbuhannya dilihat pada umur 5 hari,
dengan ditunjukkan hifa yang sudah menyebar dan menutupi cawan Petri. Namun,
pada hari keenam belas, T. versicolor terlihat lebih adaptif pada suhu ruang,
ditunjukkan dengan tebalnya hifa dibanding dengan P. chrysosporium. Dengan
dilihatnya perbandingan kedua pertumbuhan jamur pelapuk putih ini, dapat
dijadikan pilihan untuk delignifikasi pada suhu ruang. Penelitian ini juga sesuai
dengan penelitan Fadillah (2008), bahwa P. chrysosporium memiliki suhu
optimum pertumbuhan 40ºC.
Degradasi Lignin pada Lindi Hitam oleh Trametes versicolor dan
Phanerochaete chrysosporium
Pada tahapan ini, dibandingkan hasil degradasi lignin oleh kedua jamur
pelapuk putih pada lindi hitam. Media yang digunakan dalam uji ini, berisi PDA
yang ditambahkan lindi hitam. Lindi hitam berasal dari proses kraft yaitu proses
pemasakan material berlignoselulosa dengan bahan kimia NaOH, dan Na2S 40%.
Proses ini dapat melarutkan lignin, sehingga lignin dapat terisolasi (Fengel dan
Wegener 1995). Media PDA yang ditambahkan lindi hitam mengandung lignin
yang berwarna coklat gelap, sehingga perlakuan ini dapat dipakai sebagai
pendahuluan uji kualitatif jamur pendegradasi lignin. Gambar 2 menunjukkan
perbandingan kecepatan degradasi lignin antara P. chrysosporium dan T.
versicolor.
Degradasi lignin terjadi diperlihatkan dengan adanya perubahan warna
coklat menjadi coklat keputihan (Gambar 2). Warna putih ini dipengaruhi oleh
hifa putih kedua jamur tersebut yang menutupi media PDA yang mengandung
lindi hitam, namun warna yang lebih terang mengindikasikan terjadinya
kemampuan degradasi lignin sampai hari kedua puluh. Berdasarkan pengamatan
pada Gambar 2, cawan Petri yang ditumbuhkan T. versicolor mengalami
perubahan warna lebih terang dibandingkan P. chrysosporium. Warna antara
keduanya memperlihatkan perbedaaan yang tidak cukup signifikan. Namun,
dengan adanya perbedaan perubahan warna ini mendasari digunakannya isolat T.
versicolor untuk mendelignifikasi kayu sengon.
Pada penelitian ini telah diperlihatkan bahwa kedua jamur dapat
mendegradasi lignin dengan ditunjukkan perubahan warna pada Gambar 2. Kedua
jamur ini memiliki kemampuan mendegradasi lignin karena memiliki enzim
lakase dan perokidase yang terdiri atas lignin peroksidase dan manganese
peroksidase (Howard et al. 2003). Pada awalnya media PDA ini berwarna coklat
gelap karena adanya lignin, namun setelah ditumbuhkan jamur pelapuk putih,
warnanya menjadi coklat keputihan. Hal ini dikarenakan terjadi degradasi lignin.
Penelitian ini diperlukan sebagai uji pendahuluan sebelum delignifikasi kayu
sengon selama 20 hari dalam suhu ruang dengan menggunakan jamur tersebut.
Dengan adanya pemilihan jamur yang mendegradasi lignin lebih cepat dalam suhu
ruang selama 20 hari, diharapkan dapat mendegradasi lignin lebih banyak.
Pada pengamatan degradasi lignin pada lindi hitam oleh P. chrysosporium
dan T. versicolor, perubahan warna coklat yang tercepat pada T. versicolor.
Jamur ini memiliki ligninase yang cukup lengkap, sehingga dapat dipakai untuk
delignifikasi kayu sengon (Perez et al. 2002). Hasil penelitian ini juga sebanding

10
dengan penelitian Anita et al. (2011) yang menunjukkan bahwa T. versicolor
mampu menghasilkan enzim yang lebih cepat dibandingkan dengan P.
chrysosporium. Ermawar et al. (2006) melaporkan juga bahwa T. versicolor
memiliki aktivitas terbaik pertama pada jamur pendegradasi lignin pada jerami
padi.
A)

B)

2 hari

2 hari

10 hari

10 hari

20 hari

20 hari

Gambar 2 Degradasi lignin pada media PDA yang mengandung lindi hitam oleh
jamur (A) Phanerochaete chrysosporium dan (B) Trametes versicolor
pada pengamatan hari ke 2, 10 dan 20 dibandingkan kontrol negatif
pada pada suhu ruang (28ºC)
Delignifikasi Kayu Sengon dengan Trametes versicolor
Lignoselulosa adalah salah satu komponen organik yang berada di alam
yang terdiri atas tiga tipe polimer seperti lignin, hemiselulosa dan selulosa.
Komponen tersebut dapat digunakan sebagai sumber bahan baku produk seperti
gula dari proses fermentasi, dan bahan bakar seperti etanol. Lignoselulosa dapat
diperoleh dari bahan kayu, jerami, rumput-rumputan, limbah pertanian atau hutan
dan bahan berserat lainnya. Kadar komponen lignoselulosa tergantung pada jenis
bahannya. Salah satu contohnya adalah kadar selulosa kayu sekitar 45%, kadar
hemiselulosa 25-30% (Perez et al. 2002), dan kadar lignin sekitar 20-40%
tergantung jenis kayunya (Maryana 2006).
Pemanfaatan polisakarida yang berasal dari lignoselulosa dapat dilakukan
yang sebelumnya diberi perlakuan delignifikasi. Proses ini berguna dalam
pelepasan selulosa dan hemiselulosa dari ikatan kompleks lignin. Selulosa dan
hemiselulosa ini dapat dipakai untuk fermentasi gula untuk produksi etanol.

11
Beberapa mikroorganisme yang dapat mendegradasi lignin adalah
Omphalina sp, Pleurotus ostreatus (Widyastuti et al. 2007), Lentinus
squarrosulus, Psathyrella atroumbonata (Wuyep et al. 2003), P. chrysosporium
(Irawati et al. 2009; Fadilah 2008), Lentinus edodes (Samsuri et al. 2007) dan
Ceriporiopsis subfermispora (Lobos et al. 2001). Pada penelitian ini, jamur yang
digunakan untuk proses delignifikasi adalah Trametes versicolor. Jamur ini cukup
efektif dalam mendegradasi lignin (Akhtar et al. 1997).
Sengon yang memiliki kadar lignin yang tidak terlalu tinggi, dan sumber
selulosa yang cukup tinggi, dapat menjadi sumber selulosa potensial untuk
berbagai keperluan (Siagian 2003). Delignifikasi dilakukan pada kayu sengon
segar yang berukuran 80 mesh (Gambar 3). Hal ini bertujuan agar T. versicolor
lebih mudah tumbuh menyebar dalam sampel tersebut. Pemotongan dan
penggilingan 80 mesh diharapkan akan meningkatkan daya serang enzim
ligninase dari jamur tersebut. Foody et al. (1999) menyatakan bahwa perlakuan
fisik seperti pemotongan dan penggilingan akan membantu untuk memperluas
permukaan sehingga mudah didegradasi dalam pengurangan kadar lignin,
sehingga pelakuan ini diperlukan untuk mengefektifkan proses delignifikasi.
Proses delignifikasi dilakukan selama 20 hari pada media yang sudah
disterilisasi sebelumnya (Gambar 4). Sterilisasi bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme yang dapat mengganggu proses delignifikasi. Selain itu, proses
sterilisasi dengan menggunakan suhu panas pada mesin autoklaf dapat
menurunkan kadar lignin. Perlakuan panas ini dapat mempengaruhi ikatan lignin
dan polisakarida (Foody et al. 1999). Sampel kayu sengon yang digunakan dalam
proses delignifikasi telah direndam selama 24 jam dengan akuades dengan tujuan
untuk membuat kelembaban pada sampel dan jamur T. versicolor dapat tumbuh
dengan subur. T. versicolor tumbuh menyebar diatas kayu sengon (Gambar 4).

Gambar 3 Kayu sengon berukuran 80 mesh

Gambar 4 Delignifikasi kayu sengon menggunakan Trametes versicolor

12
Inkubasi selama 20 hari (Gambar 4) diharapkan akan mengurangi kadar
lignin karena pada tahapan sebelumnya lignin pada lindi hitam sudah didegradasi
oleh Trametes versicolor. Isolat T. versicolor sebelum digunakan dalam proses
delignifikasi ditumbuhkan dalam media PDB yang mengandung sedikit glukosa.
Penambahan glukosa ini bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan, dan
menyediakan sumber karbon bagi T. versicolor untuk pertumbuhannya. Penelitian
Fadilah et al. 2009 menunjukkan penambahan sedikit glukosa pada sampel untuk
memacu pertumbuhan sel dan dapat membantu penurunan lignin karena dipakai
untuk sumber energi dalam sintesis enzim ligninase. Selain itu, jamur tersebut
ditumbuhkan dalam PDB dalam waktu tujuh hari agar pada saat dikulturkan
dalam sampel, jamur tersebut sudah optimal (Morris et al. 1996).
Kandungan kimia kayu sengon telah diteliti pada saat sebelum dan sesudah
delignifikasi (Tabel 1). Hal ini bertujuan membandingkan pengaruh delignifikasi
Trametes versicolor terhadap kandungan kimia kayu sengon. Dari tabel tersebut,
terjadi pengurangan kadar zat ekstraktif, kadar lignin, kadar selulosa, dan kadar
holoselulosa sedangkan kadar hemiselulosa mengalami peningkatan.
Kadar lignin dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan metode
Klason lignin. Prinsip metode ini adalah melarutkan polisakarida dengan
menggunakan asam sulfat 72%, dan meninggalkan lignin sebagai sisa. Lignin
yang dihitung harus benar-benar murni tanpa bahan lainnya untuk menghindari
pengukuran menjadi bias. Oleh sebab itu, sebelum kadar lignin diuji, terlebih
dahulu dilakukan bebas ekstraktif dengan etanol-benzena karena zat ekstraktif ini
dapat berkondensasi dengan lignin sehingga mengganggu pembacaan (Fengel dan
Wegener 1995).
Kadar zat yang terekstrak dengan dengan etanol-benzena setelah perlakuan
delignifikasi mengalami penurunan sebesar 61.01% (Tabel 1). Perlakuan
delignifikasi dapat menurunkan kadar ekstraktif. Menurut Daud (2010),
kandungan zat ekstraktif dapat mengganggu proses hidrolisis selulosa menjadi
gula sederhana, sehingga dengan adanya penurunan zat ekstraktif ini dapat
membantu proses tersebut.
Kadar lignin dalam sampel kayu sengon setelah perlakuan delignifikasi
terjadi penurunan sebesar 37.31% (Tabel 1). Lignin adalah polimer dengan
struktur aromatik yang terbentuk dalam unit fenilpropan dan memiliki struktur
kompleks dan heterogen sehingga sulit didegradasi (Perez et al. 2002). Namun, T.
versicolor mampu menghidrolisis lignin dengan cara mengeluarkan enzim
ligninase (Hossain dan Ananthraman 2006). Irawati et al. (2009) melakukan
penelitian delignifikasi kayu sengon dengan P. chrysosporium selama 30 hari.
Kadar lignin mengalami penurunan sebesar 2,51%-12.59%. Jika dibandingkan
dengan penelitian tersebut, T. versicolor mampu mendegradasi lignin lebih besar
dibandingkan dengan P. chrysosporium pada kayu sengon.
Tabel 1 Kandungan kimia kayu sengon
Jenis Uji
(% bobot / bobot)
Zat Ekstraktif
Kadar Lignin
Kadar Holoselulosa
Kadar Selulosa
Kadar Hemiselulosa

Rataan kadar sebelum
delignifikasi
9.83%
23.96%
81.01%
54.94%
26.06%

Rataan kadar setelah
delignifikasi
3.83%
15.02%
64.18%
26.3%
37.88%

Total pengurangan
kadar
61.01%
37.31%
20.77%
52.14%
-45.35%

13
Beberapa penelitian tentang delignifikasi menggunakan proses biologis
telah dilakukan. P. chrysosporium mendelignifikasi batang jagung sebesar 81.4%
selama 30 hari dengan suhu 38ºC (Fadillah 2008). P. ostreatus dan T. versicolor
dapat mendelignifikasi bambu betung dengan penurunan lignin berturut turut
12.20% dan 12.06% selama 30 hari (Fatriasari et al. 2009). Trametes sp.
menurunkan kadar lignin sebesar 18.7% (15 jam) pada Paraserianthes sp.
(Widjadja dan Andriyani 2002).
Holoselulosa adalah salah satu penyusun pada dinding sel tanaman yang
terdiri atas hemiselulosa dan selulosa. Selulosa merupakan komponen utama
dalam penyusun dinding sel tanaman yang berikatan β-1,4 glukosida dalam rantai
lurus (Lynd et al. 2002; Daniel 2003). Kadar holoselulosa dan selulosa setelah
perlakuan delignifikasi mengalami penurunan secara berturut 20.77% dan 52.14%.
Penurunan ini terjadi karena T. versicolor ini termasuk jamur non selektif dan
mampu mendegradasi seluruh komponen lignoselulosa (Akhtar et al. 1997).
Kadar selulosa ini turun sejalan dengan turunnya kadar lignin. Hal ini terjadi
karena T. versicolor merombak lignin dan menggunakan selulosa sebagai sumber
karbonnya. Namun, jika dibandingkan P. ostreatus, T. versicolor menunjukkan
kinerja yang lebih baik dalam pendegradasian lignin dibandingkan pendegradasi
terhadap polisakarida (hemiselulosa dan selulosa) (Fatriasari et al. 2009).
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Irawati et al. (2009), setelah
perlakuan delignifikasi pada kayu sengon selama 30 hari dengan P.
chrysosporium, kadar selulosa sengon mengalami penurunan sebesar 21,0642,41%. Dengan perbandingan penelitian ini dan penelitian Irawati et al. (2009),
pengurangan kadar selulosa pada kayu sengon ini termasuk cukup besar, sehingga
harus dijadikan pertimbangan dalam pemilihan jamur pelapuk putih untuk
delignifikasi karena selulosa akan dipakai untuk keperluan tahapan selanjutnya.
Kadar hemiselulosa setelah perlakuan mengalami peningkatan sebesar
45.53%. Peningkatan kadar hemiselulosa ini diduga karena berkurangnya kadar
selulosa dalam kayu, sehingga rasio hemiselulosa berbanding selulosa dalam
holoselulosa menjadi meningkat. Perbandingan ini berdasarkan perhitungan
konsentrasi hemiselulosa dari pengurangan holoselulosa dengan alfa-selulosa.
Prinsip dari metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah holoselulosa
bebas lignin diberi perlakuan sodium hidroksida dan asam asetat. Residu
dinyatakan sebagai alfa selulosa dan fraksi terlarut dinyatakan sebagai kadar
hemiselulosa. Semakin banyak selulosa yang hilang, maka hemiselulosa yang
dibaca akan semakin besar. Penelitian ini juga sebanding dengan hasil penelitian
Camarero et al. (2001) yang mengatakan bahwa perlakuan menggunakan enzim
peroksidase yang menyerang karbohidrat pada holoselulosa jerami gandum dapat
meningkatkan nilai rendemen polisakarida dan penelitian Irawati et al. (2009),
kadar hemiselulosa kayu sengon naik 205.3%-370.3% setelah didelignifikasi oleh
P. chrysosporium.
Penelitian ini menunjukkan terjadinya penurunan kadar zat ekstraktif, dan
penurunan kadar lignin pada kayu sengon oleh T. versicolor. Hal ini dapat
membantu hidrolisis selulosa dalam produksi etanol sehingga dapat meningkatkan
produksi etanol. Kadar holoselulosa dan selulosa yang mengalami penurunan,
dapat disiasati dengan melakukan optimasi dalam perlakuan delignifikasi
misalnya dengan memberikan gula sederhana (Fadilah 2009) dan perlakuan

14
lainnya. Dengan adanya teknik ini diharapkan proses delignifikasi dengan cara
biologis dapat menjadi alternatif pilihan bagi industri dan lainnya karena murah,
mudah, dan ramah lingkungan.
Produksi Bioetanol
Bahan baku yang digunakan untuk produksi etanol dapat berasal dari tiga
kelompok yaitu gula, pati dan selulosa. Lignoselulosa adalah substrat yang cukup
banyak tersedia di alam namun belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber
produksi etanol. Hal ini disebabkan karena lignoselulosa memiliki struktur yang
cukup kompleks sehingga harus melalui beberapa tahapan, seperti delignifikasi,
sakarifikasi dan fermentasi. Delignifikasi dengan tujuan untuk dapat melepas
hemiselulosa dan selulosa dari ikatan kompleks lignin. Sakarifikasi bertujuan
untuk menghidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dan fermentasi merubah
gula sederhana menjadi etanol (Anindyawati et al. 2009).
Pada proses sakarifikasi dan fermentasi simultan (SFS), hidrolisis dan
fermentasi tidak dilakukan terpisah atau bertahap, namun secara simultan.
Mikroba yang digunakan pada proses SFS dalam penelitian ini adalah kapang
penghasil enzim selulase, seperti Trichoderma viride dan dikonversi langsung
menjadi etanol oleh Zymomonas mobilis. Proses ini menggabungkan kedua
mikroba tersebut dalam satu reaktor. Proses ini memiliki keuntungan yaitu
polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida langsung difermentasi
menjadi etanol (Samsuri et al. 2007).
Produksi etanol dengan menggunakan teknik SFS menghasilkan kadar
etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik sakarifikasi fermentasi
terpisah (Loebis 2008). Penelitian Loebis ini membandingkan fermentasi SFS dan
sakarifikasi fermentasi terpisah menggunakan Trichoderma sp dan
Saccharomyces cerevisiae. Suhu yang digunakan dalam proses SFS ini
merupakan kombinasi antara suhu optimum penghasil selulase yaitu Trichoderma
viride dan suhu optimum Zymomonas mobilis yang dapat mengkonversi gula hasil
hidrolisis menjadi etanol yaitu 300C.
Trichoderma viride adalah kapang yang dapat menghasilkan enzim selulase
(Winarno 2010) yang cukup lengkap meliputi eksoselulase dan endoselulase.
Inkubasi T. viride dilakukan selama 7 hari, karena kapang tersebut telah
menghasilkan enzim selulase (Arnata 2009). Proses hidrolisis selulosa
menggunakan enzim selulase memiliki efektifitas dan efesiensi dibandingkan
dengan proses hidrolisis dengan asam karena tanpa proses netralisasi. Selulase
dari T. viride memiliki aktivitas enzim selulase yang cukup tinggi dan dapat
menghasilkan rendemen gula yang cukup baik (Kamara 2006) yang akan dipakai
untuk fermentasi etanol. Beberapa mikroba lain yang dapat menghasilkan enzim
selulase adalah Trichoderma reesei (Sim dan Oh 1993), Scopulariopsis
brevicaulis TOF 1212 (Nakatani et al. 1998) , Ruminococcus albus (Ohara et al.
1998), Clostridium, Cellulomonas, Trichoderma, Penicillium, Neurospora,
Fusarium, Aspergillus, dan lain-lain (Chandel et al. 2007).
Zymomonas mobilis adalah salah satu mikroba yang dapat menghasilkan
etanol. Pemakaian mikroba ini dalam industri pembuatan etanol mempunyai
beberapa keuntungan antara lain kemampuan untuk tumbuh secara anaerob, hasil
produksi lebih tinggi, dan kemampuan fermentasi lebih spesifik dibandingkan

15
dengan khamir (Ismail et al. 2009). Hemiselulosa yang telah terhidrolisis menjadi
xilosa dapat difermentasikan menjadi etanol. Namun, bakteri Zymomonas mobilis
tidak dapat memfermentasi xilosa atau xilitol. Mikroba yang dapat
memfermentasikan xilosa adalah Pachysolen tannophilus, Candida shehatae
(Sanchez et al. 1999) dan Saccharomyces cerevisiae (Samsuri 2007). Zymomonas
mobilis memfermentasikan glukosa melalui jalur Entner Doudoroff. Bakteri ini
menghasilkan enzim piruvat dekarboksilase yang merubah piruvat menjadi
asetaldehida dan diubah menjadi etanol oleh enzim alkohol dehidrogenase.
Beberapa mikroorganisme lain yang dapat memproduksi etanol adalah
Saccharomyces cerevisiae, Kluyveromyces dan Candida (Lin dan Tanaka 2006).
Penelitian ini menggunakan Z. mobilis yang diamobilisasi dengan
menggunakan Ca-alginat. Ca-alginat ini adalah bentuk produk setelah reaksi Naalginat dan CaCl2. Alginat adalah heteropolisakarida linear dari asam Dmanuronat dan asam L-guluronat. Natrium alginat diperoleh dari isolasi galur
alga seperti ganggang coklat Sargassum dan Turbinaria (Surini et al. 2003).
Campuran sel dan natrium alginat (Na-alginat) yang diteteskan ke dalam larutan
yang mengandung kation multivalen, misalnya kalsium klorida (CaCl2), akan
membentuk reaksi antara alginat dan kation multivalen (Ca-alginat). Matriks
ini biasa digunakan pada amobilisasi sel (Najafpour et al. 2004).
Penggunaan amobilisasi sel memiliki banyak keuntungan dibandingkan
sel bebas, diantaranya pemisahan produk mudah dilakukan, penggunaan
kembali biokatalis, produktivitas volumetrik tinggi, meningkatkan kendali proses,
dan mengurangi kontaminasi (Guksungur dan Zorlu 2001; Ahmed 2006;
Carvalho et al. 2002). Menurut Carvalho et al. (2002), metode penjebakan sel
adalah metode yang paling efektif dalam proses fermentasi. Alginat adalah
matriks yang umum dipakai dalam amobilisasi sel karena murah, mudah
digunakan, dan tidak beracun dan telah digunakan pada amobilisasi sejumlah
sel seperti khamir, bakteri, sianobakteri, alga, fungi, protoplast tumbuhan, sel
hewan, dan sel tumbuhan (Guksungur dan Zorlu 2001).
Pada proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dalam penelitian ini
dibandingkan hasil produksi etanol antara Zymomonas mobilis yang teramobil
menggunakan Ca-Alginat dan fermentasi tanpa amobil. Menurut Muryanto (2012)
produksi etanol dengan amobilisasi dengan menggunakan Ca-Alginat
menghasilkan data produksi etanol lebih tinggi dibandingkan tanpa amobil. Selain
itu, menurut Darmawan et al. (2010) produksi etanol dari Z. mobilis termutasi
yang diamobil dengan matriks Ca-alginat menghasilkan produksi konsentrasi,
yield, dan produktivitas etanol lebih besar dibandingkan dengan matriks Kkaraginan. Dari beberapa penelitian tersebut, didasari penggunaan Ca-alginat
dalam penelitian ini.
Produksi etanol dibandingkan dari kultur campuran T. viride dan Z. mobilis
yang diamobil dibandingan dengan Z. mobilis tanpa amobil. Kadar etanol dalam
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas (Gambar 5).
Kadar etanol yang dihasilkan dengan sel yang diamobil lebih tinggi dibanding