Pembentukan Harga Jagung Di Provinsi Lampung
PEMBENTUKAN HARGA JAGUNG
DI PROVINSI LAMPUNG
RATI PURWASIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pembentukan Harga
Jagung di Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Rati Purwasih
NIM H453130351
RINGKASAN
RATI PURWASIH. Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung. Dibimbing
oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SRI HARTOYO.
Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi Lampung,
akan tetapi jumlah produksi jagung di provinsi ini terus mengalami penurunan
selama 5 tahun terakhir yaitu dari 2 126 571 ton pada tahun 2010 menjadi
1 719 386 ton pada tahun 2014. Penurunan jumlah produksi tersebut mengikuti
trend penurunan luas panen jagung yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010
menjadi 338 885 hektar pada tahun 2014. Insentif bagi petani untuk berusaha tani
jagung yaitu harga. Rata-rata harga jagung yang diterima petani (produsen) dari
Januari 2009 sampai Desember 2014 yaitu sebesar Rp 1 820 per kilogram,
sedangkan rata-rata harga jagung di tingkat konsumen yaitu sebesar Rp 3 205 per
kilogram. Jika dilihat dari rata-rata harga jagung di tingkat produsen dan
konsumen tersebut, terdapat disparitas harga yang cukup besar antara produsen
dan konsumen di Provinsi Lampung yang mungkin disebabkan oleh panjangnya
rantai pemasaran atau penyalahgunaan market power. Selain itu, harga jagung di
tingkat konsumen lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan harga jagung di
tingkat produsen. Hal ini dapat disebabkan oleh proses transmisi harga yang
asimetri artinya saat harga jagung di tingkat konsumen naik akan diteruskan
secara perlahan-lahan dan tidak sepenuhnya ke tingkat produsen. Penyebab
transmisi harga asimetri di antaranya karena penyalahgunaan market power oleh
pedagang.
Pada pasar yang terhubung secara vertikal dengan pasar yang lain dalam
perdagangan, harga di pasar acuan akan mempengaruhi harga yang terbentuk di
pasar pengikut. Harga jagung juga dipengaruhi oleh jumlah produksi karena pola
produksi yang mengikuti musim. Selain itu, komoditas jagung memerlukan waktu
mulai dari proses pengolahan lahan sampai panen dan pemasaran hasil panen
sehingga harga jagung dipengaruhi juga oleh penyesuaian pasar.
Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat
konsumen ke tingkat produsen dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung.
Data yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat
konsumen ke tingkat produsen dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan harga jagung tingkat produsen yaitu data time series bulanan dari
Januari 2009 sampai Desember 2014 (72 bulan). Asymmetric Error Correction
Model (AECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996)
digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke
tingkat produsen. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung
tingkat produsen diestimasi dengan menggunakan metode pendugaan Ordinary
Least Squares (OLS).
Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen
mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Selanjutnya dilakukan estimasi
Asymmetric Error Correction Model (AECM) diperoleh hasil bahwa dalam
jangka pendek transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen
tidak berjalan simetri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi petani
mengenai harga jagung sedangkan pedagang memiliki market power dalam
mempengaruhi harga sehingga dalam jangka pendek perubahan harga jagung di
tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Sebaliknya
dalam jangka panjang transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat
produsen berjalan secara simetri artinya saat terjadi kenaikan harga jagung di
tingkat konsumen maka produsen akan merespon dengan kenaikan harga dan
sebaliknya saat terjadi penurunan harga jagung di tingkat konsumen maka
produsen akan merespon dengan penurunan harga pada kecepatan yang sama.
Setelah dilakukan uji Wald diperoleh hasil bahwa tidak terbukti terjadi transmisi
harga asimetri dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dalam jangka panjang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pemasaran jagung di
Provinsi Lampung efisien dari segi efisiensi harga.
Harga jagung yang terbentuk di tingkat produsen dipengaruhi oleh nilai
tukar, jumlah produksi, dan harga jagung di tingkat produsen pada periode
sebelumnya, sedangkan harga jagung tingkat konsumen dan harga jagung impor
tidak mempengaruhi harga jagung tingkat produsen. Harga jagung di tingkat
produsen kurang respon terhadap perubahan jumlah produksi. Hal ini terjadi
karena adanya kekuatan oligopsoni.
Kata kunci: asimetri, harga konsumen, harga produsen, transmisi harga
SUMMARY
RATI PURWASIH. Formation of Corn Prices in Lampung Province. Supervised
by MUHAMMAD FIRDAUS and SRI HARTOYO.
Corn is one of the leading commodities in Lampung Province, but its
production in the province has declined over the last 5 years from 2 126 571 tons
in 2010 to 1 719 386 tons in 2014. The decrease in production was due to a
decline in the corn harvested area from 447 509 hectares in 2010 to 338 885
hectares in 2014. The incentives for corn production for farmers is the price. The
average corn price received by farmers (producers) from January 2009 to
December 2014 amounted to Rp 1 820 per kilogram, while the average price of
corn at the consumer level was at Rp 3 205 per kilogram. If seen from the average
price of corn at the producer and the consumer level, there is a fairly large price
disparities between producers and consumers in Lampung that may be caused by
the length of the marketing chain or abuse of market power. Moreover, corn prices
at the consumer level are more volatile when compared with the price of corn at
the producer level. It can be caused by asymmetric price transmission meaning
that when the price of corn at the consumer level rises, this rise in price will be
slowly and not fully transmitted to the producer level. The cause of asymmetric
price transmission include the abuse of market power by traders.
In a vertically integrated market, the reference price in the market will affect
the prices established in the market follower. The price of corn is also affected by
the amount of production and the market adjustments from the time of land
management until harvesting and marketing of the crop.
The purpose of this study are to analyze the transmission of corn prices from
the consumer level to the producer level and analyze the factors affecting the
formation of corn prices at the producer level in Lampung Province. The data
used to analyze the corn price transmission from the consumer level to the
producer level and the factors that affect the formation of prices at the producer
level was a monthly time series data from January 2009 to December 2014
(72 month). Asymmetric Error Correction Model (AECM) developed by von
Cramon-Taubadel and Loy (1996) was used to analyze corn price transmission
from the consumer level to the producer level. The factors affecting the formation
of corn prices at the producer level was estimated using the Ordinary Least
Squares (OLS) method.
Causality test results indicate that corn prices at the consumer level affect
corn prices at the producer level. From AECM estimates obtained, the short run
corn price transmission from the consumer level to the producer level was
asymmetric. This occurs because the information available to the farmers on corn
prices are insufficient while the traders have a market power which enabled them
to influence prices so that changes in corn prices at the consumer level in the short
run is not immediately transmitted to the producer level. However, the long-run
transmission of corn prices from the consumer level to the producer was
symmetric. This means that when there is an increase corn price at the consumer
level, the producers will respond by also raising its prices and vice versa at the
same speed. After the Wald test, results obtained showed that there was no prove
of asymmetric price transmission from the consumer level to the producer level in
the long run. This condition indicates that in the long run, marketing of corn in the
Province of Lampung is efficient in terms of efficiency price.
The price of corn formed at the producer level are affected by exchange
rates, production quantity, and corn prices at the producer level in the previous
period, while corn prices at the consumer level and the import corn price has no
effect. Corn prices at the producer level is less responsive to changes in
production quantities. This occurs because of the strength oligopsony.
Keywords: asymmetric, consumer prices, price transmission, producer prices
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMBENTUKAN HARGA JAGUNG
DI PROVINSI LAMPUNG
RATI PURWASIH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Pembentukan Harga Jagung di
Provinsi Lampung berhasil diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku anggota komisi
pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan ilmu pengetahuan
yang terkait dengan tesis, ide, koreksi, dan saran dalam penyusunan tesis. Di
samping itu, ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc selaku
penguji luar komisi dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji wakil
komisi program studi pada ujian tesis yang telah memberikan pertanyaan, koreksi,
dan saran untuk perbaikan tesis.
Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia yang telah memberikan beasiswa BPPDN sehingga penulis dapat
menempuh pendidikan Program Magister di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga tersayang yaitu Ayahanda
A Rais, Ibunda Malwati, nenek, dan adik-adikku atas doa dan kasih sayang yang
selalu dicurahkan serta selalu memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Bogor, Oktober 2016
Rati Purwasih
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1
1
3
6
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
7
7
16
21
23
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
23
23
24
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Lampung
Perkembangan Harga Jagung di Provinsi Lampung
Perkembangan Harga Jagung Impor
Transmisi Harga Jagung dari Tingkat Konsumen ke Tingkat Produsen
di Provinsi Lampung
Faktor Pembentuk Harga Jagung Tingkat Produsen di Provinsi
Lampung
31
31
32
33
34
41
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
44
44
45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
50
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Jenis dan sumber data penelitian
Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen
di Provinsi Lampung
Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung antara produsen
dan konsumen di Provinsi Lampung
Hasil uji kointegrasi Johansen pada hubungan antara harga jagung
tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung
Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dan
konsumen di Provinsi Lampung
Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan
transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi
Lampung
Hasil uji Wald pada model transmisi harga jagung antara produsen dan
konsumen di Provinsi Lampung
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga
jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung
24
34
35
36
36
38
40
42
DAFTAR GAMBAR
1 Kontribusi produksi di provinsi sentra produksi jagung Indonesia dari
tahun 2009 sampai 2014
2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung
dari tahun 2009 sampai 2014
3 Perkembangan harga jagung di Provinsi Lampung dari Januari 2009
sampai Desember 2014
4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
5 Transmisi harga asimetri positif dan negatif
6 Kerangka pemikiran
7 Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009
sampai 2014
8 Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran di Provinsi Lampung
dari Januari 2009 sampai Desember 2014
9 Perkembangan harga jagung impor dari Januari 2009 sampai Desember
2014
2
3
4
9
10
22
31
32
34
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada level
dengan kriteria intercept no trend
Hasil uji sasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada first
difference dengan kriteria intercept no trend
51
51
DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada level
dengan kriteria intercept no trend
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada first
difference dengan kriteria intercept no trend
Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung di Provinsi
Lampung
Hasil uji kointegrasi antara harga jagung tingkat produsen dan
konsumen di Provinsi Lampung
Hasil uji kausalitas antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen
di Provinsi Lampung
Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada model
transmisi harga jagung di Provinsi Lampung
Hasil uji Wald untuk koefisien ECT positif dan ECT negatif pada model
transmisi harga jagung di Provinsi Lampung
Hasil uji normalitas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat
produsen di Provinsi Lampung
Hasil uji heteroskedastisitas pada model faktor pembentuk harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung
Hasil uji autokorelasi pada model faktor pembentuk harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung
Hasil uji multikolinieritas pada model faktor pembentuk harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung
Hasil estimasi faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di
Provinsi Lampung
52
52
53
54
54
55
56
56
56
57
57
57
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija yang memiliki
peranan penting di Indonesia. Permintaan pasar dalam negeri terhadap jagung dan
peluang ekspor cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik untuk
memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan (BPS RI 2015a). Selama tahun
2010 sampai 2014, impor jagung Indonesia terus meningkat baik dari sisi
kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 28.72 persen dari sisi kuantitas dan 32.49
persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Selain digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri
rumah tangga seperti emping jagung, wingko jagung, dan produk olahan jagung
lainnya. Tidak hanya itu saja, jagung juga digunakan sebagai bahan baku pakan
ternak dan ekspor (BPS RI 2015a). Seperti halnya dengan impor, pada periode
yang sama menunjukkan bahwa ekspor jagung Indonesia juga terus meningkat
baik dari sisi kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 34.21 persen dari sisi kuantitas
dan 23 persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Oleh sebab itu, jagung
dibutuhkan dalam jumlah besar. Kondisi ini memberikan peluang pasar yang
potensial bagi petani untuk mengusahakan tanaman jagung dan meningkatkan
produksi (BPS RI 2015a).
Jagung yang diekspor dan diimpor oleh Indonesia dalam bentuk segar dan
olahan. Berdasarkan data BPS RI, sebagian besar jagung segar yang diekspor
selama tahun 2010 sampai 2014 yaitu jagung pipilan dengan kontribusi nilai
ekspor sebesar 53.07 persen dari total ekspor jagung segar atau senilai 6.76 juta
US$, sedangkan jagung olahan yang banyak diekspor yaitu pati jagung dengan
kontribusi nilai ekspor sebesar 82.18 persen dari total ekspor jagung olahan atau
senilai 5.81 juta US$. Jagung yang dimpor dalam bentuk segar juga didominasi
oleh jagung pipilan dengan kontribusi nilai impor sebesar 98.34 persen dari total
impor jagung segar atau senilai 715.67 juta US$, sedangkan jagung yang diimpor
dalam bentuk olahan juga didominasi oleh pati jagung dengan kontribusi nilai
impor sebesar 65.48 persen dari total impor jagung olahan atau senilai 55.03 juta
US$ (Pusdatin Kementan 2015).
Produksi jagung dalam negeri masih belum bisa memenuhi permintaan
pasar lokal sehingga untuk memperoleh pasokan masih harus mengimpor jagung
dari luar negeri (BPS RI 2015a). Berdasarkaan data BPS RI (2015b) rata-rata
produksi jagung di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2014 yaitu sebesar
18 479 421 ton per tahun dengan pola pergerakan produksi yang berfluktuasi.
Penghasil jagung di Indonesia tersebar di seluruh provinsi antara lain Provinsi
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa
Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain. Kontribusi produksi di
daerah sentra produksi jagung Indonesia selama tahun 2009 sampai 2014 dapat
dilihat pada Gambar 1.
2
Sumber: BPS RI (2015b), diolah
Gambar 1 Kontribusi produksi di provinsi sentra produksi jagung Indonesia dari
tahun 2009 sampai 2014
Gambar 1 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan penghasil
jagung terbesar di Indonesia dengan kontribusi produksi jagung sebesar 31 persen
dari total produksi jagung nasional. Selanjutnya diikuti dengan Provinsi Jawa
Tengah dengan kontribusi produksi sebesar 16 persen dari total produksi jagung
nasional. Setelah itu, Provinsi Lampung menempati urutan ke 3 sebagai provinsi
sentra produksi jagung di Indonesia yaitu dengan kontribusi produksi sebesar 10
persen dari total produksi jagung nasional. Dengan kata lain, lebih dari 50 persen
produksi jagung di Indonesia dihasilkan oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
dan Lampung.
Produksi jagung di daerah sentra produksi sangat mempengaruhi
ketersediaan atau pasokan jagung di pasar. Sementara itu, pergerakan pasokan
mempengaruhi pergerakan harga jagung di pasar (Pusdatin Kementan 2015).
Salah satu provinsi yang merupakan penghasil jagung terbesar di Indonesia
selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu Provinsi Lampung. Produksi jagung di
Provinsi Lampung cenderung menunjukkan trend yang menurun. Selama tahun
2009 sampai 2010, produksi jagung di provinsi ini mengalami peningkatan. Akan
tetapi setelah tahun 2010 sampai 2014, produksi jagung di provinsi ini cenderung
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selama 6 tahun terakhir yaitu dari
tahun 2009 sampai 2014, puncak produksi jagung di provinsi ini terjadi pada
tahun 2010 yaitu sebesar 2 126 571 ton, sedangkan produksi terendah terjadi pada
tahun 2014 yaitu sebesar 1 719 386 ton. Penurunan produksi jagung mengikuti
perkembangan luas panen jagung yang terus menurun mulai dari tahun 2010
sampai 2014 yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010 menjadi 338 885 hektar
pada tahun 2014 (Gambar 2). Perkembangan luas panen dan produksi jagung di
Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat pada Gambar 2.
3
Sumber: BPS RI (2015b), diolah
Gambar 2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung
dari tahun 2009 sampai 2014
Pengembangan jagung masih menghadapi berbagai permasalahan seperti
keterbatasan penanganan pascapanen sehingga berpengaruh pada kualitas jagung
akibatnya akan berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Selain itu,
permasalahan juga terjadi pada pendistribusian jagung akibat rantai pemasaran
yang panjang sehingga keuntungan lebih dinikmati oleh pedagang pengumpul
dibandingkan dengan petani (Dirjen Tanaman Pangan 2014). Pola distribusi
perdagangan jagung saat ini diduga masih bermasalah sehingga perlu dikenali
karakteristik pelaku perdagangan seperti produsen dan pedagang, kualitas jagung
karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemasaran jagung,
disparitas atau perbedaan harga jagung lokal antar wilayah di Indonesia cukup
besar dibandingkan dengan disparitas harga jagung impor, marjin usaha, dan
peranan setiap wilayah yang menjadi sentra produksi dalam memasok jagung
nasional (BPS RI 2015a). Oleh sebab itu, dalam pengembangan jagung perlu
menciptakan sistem pemasaran jagung yang efisien sehingga masing-masing
pelaku pasar baik petani, pedagang, maupun konsumen dapat memperoleh
manfaat atas harga yang berlaku.
Perumusan Masalah
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki harga jagung di tingkat
petani yaitu memperbaiki sistem pemasarannya dengan cara meningkatkan
efisiensi pemasaran (Asmarantaka 1985). Perlunya sistem pemasaran yang efisien
agar produk yang ditawarkan dengan harga yang wajar dan mendorong produsen
untuk meningkatkan produksi (Omar et al. 2014). Salah satu ukuran yang
digunakan untuk menganalisis efisiensi pemasaran terutama efisiensi harga yaitu
transmisi harga. Sistem pemasaran dikatakan kurang efisien dari segi efisiensi
4
harga jika transmisi harga berjalan asimetri (Kohls and Uhl 2002). Hal ini karena
transmisi harga asimetri antara produsen dan konsumen dapat merugikan
keduanya yaitu produsen tidak memperoleh manfaat atas kenaikan harga di
tingkat konsumen, sedangkan konsumen tidak memperoleh manfaat atas
penurunan harga di tingkat produsen (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).
Transmisi harga antara produsen dan konsumen dapat berjalan asimetri karena
perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang terkonsentrasi.
Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha mempertahankan
kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan kenaikan dan
penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Pedagang lebih
mungkin meneruskan penurunan harga dari tingkat konsumen ke tingkat produsen
(petani) dibandingkan dengan kenaikan harga (Vavra and Goodwin 2005).
Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d) diperoleh rata-rata harga jagung
tingkat produsen selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014 di Provinsi
Lampung sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan harga jagung tingkat
konsumen sebesar Rp 3 205 per kilogram sehingga terdapat disparitas atau
perbedaan harga jagung antara produsen dan konsumen sebesar Rp 1 385 per
kilogram. Menurut Conforti (2004) bahwa besarnya disparitas harga dalam rantai
pemasaran dapat disebabkan oleh rantai pemasaran yang panjang atau
penyalahgunaan market power oleh pedagang sehingga menyebabkan marjin yang
terbentuk dalam pemasaran dari sektor hulu (produsen) ke sektor hilir (konsumen)
menjadi sangat besar akibatnya pemasaran menjadi tidak efisien. Perkembangan
harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dapat dilihat
pada Gambar 3.
Sumber: BPS RI (2015c) dan BPS RI (2015d), diolah
Gambar 3 Perkembangan harga jagung di Provinsi Lampung dari Januari 2009
sampai Desember 2014
5
Gambar 3 menunjukkan bahwa pergerakan harga jagung di tingkat
konsumen cenderung lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan pergerakan
harga jagung di tingkat produsen. Kondisi ini mengindikasikan harga jagung di
tingkat konsumen cenderung lebih cepat berubah dibandingkan dengan harga
jagung di tingkat produsen. Menurut Irawan (2007) bahwa fluktuasi harga di
tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan fluktuasi harga di tingkat
produsen disebabkan oleh adanya proses transmisi harga asimetri dari tingkat
konsumen ke tingkat produsen. Artinya saat harga di tingkat konsumen meningkat
maka peningkatan harga tersebut akan diteruskan oleh pedagang secara lambat
dan tidak sepenuhnya kepada produsen (petani). Sebaliknya jika terjadi penurunan
harga di tingkat konsumen maka penurunan harga tersebut akan diteruskan oleh
pedagang secara lebih cepat dan sepenuhnya kepada produsen.
Pola pergerakan harga jagung di tingkat produsen cenderung sama dengan
pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen mulai dari tahun 2009 sampai
tahun 2012, kemudian pada tahun 2013 sampai 2014 pola pergerakannya
cenderung berbeda (Gambar 3). Kondisi ini mengindikasikan terdapat
kemungkinan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen berjalan
secara asimetri. Akan tetapi untuk memastikan bagaimana transmisi harga jagung
antara produsen dan konsumen perlu dilakukan pengujian secara statistik.
Penelitian mengenai integrasi pasar jagung telah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya seperti Sari et al. (2012) menganalisis integrasi pasar jagung
antara petani, tengkulak, makelar, dan pedagang besar di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek antara pasar jagung di
tingkat petani dan pedagang besar terintegrasi secara kuat, sedangkan antara pasar
jagung di tingkat petani dengan tengkulak dan makelar memiliki integrasi yang
lemah. Sementara itu, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang kuat antara
pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak, makelar, dan pedagang besar.
Mandiri et al. (2015) juga menganalisis integrasi pasar jagung antara
produsen dan konsumen di Kabupaten Grobogan. Hasilnya menunjukkan bahwa
dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera
ditransmisikan ke tingkat produsen. Sebaliknya dalam jangka panjang perubahan
harga jagung tingkat konsumen tidak sepenuhnya ditransmisikan ke tingkat
produsen.
Penelitian mengenai integrasi pasar jagung di Provinsi Lampung pernah
dilakukan oleh Asmarantaka (1985) yaitu integrasi antara pasar jagung tingkat
petani di Kecamatan Katibung Lampung Selatan dan pasar jagung tingkat
konsumen di Bandar Lampung serta antara pasar jagung tingkat petani di
Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah dan pasar jagung tingkat
konsumen di Bandar Lampung yang memberikan kesimpulan bahwa pemasaran
jagung di Kecamatan Bangun Rejo lebih efisien dibandingkan dengan pemasaran
jagung di Kecamatan Katibung.
Pada komoditas pangan, harga di tingkat konsumen mempengaruhi harga di
tingkat produsen (Reziti and Panagopoulos 2008). Jumlah produksi yang
dihasilkan oleh tanaman berperan penting dalam mempengaruhi harga produk
pertanian (Piot-Lepetit and M’Barek 2011). Produk pertanian juga membutuhkan
waktu mulai dari proses produksi sampai menghasilkan output, oleh sebab itu
harga juga ditentukan oleh penyesuaian pasar seperti harga pada periode
sebelumnya (Norwood and Lusk 2008).
6
Berdasarkan latar belakang penelitian maka permasalahan yang perlu dikaji
dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen
di Provinsi Lampung ?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat
produsen di Provinsi Lampung ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian maka tujuan
penelitian ini yaitu:
1. Menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat
produsen di Provinsi Lampung.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini yaitu:
1. Jagung dalam penelitian ini difokuskan pada jagung pipilan.
2. Data yang digunakan dalam analisis transmisi harga yaitu harga jagung tingkat
produsen dan konsumen di Provinsi Lampung.
3. Harga jagung di tingkat produsen yaitu harga transaksi yang terjadi antara
petani jagung dan pedagang pengumpul (tengkulak).
4. Harga jagung di tingkat konsumen yaitu harga jagung eceran yang merupakan
harga transaksi yang terjadi antara pedagang dengan pembeli atau konsumen.
5. Data harga jagung tingkat produsen dan konsumen merupakan data harga
bulanan dari Januari 2009 sampai Desember 2014.
6. Transmisi harga yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu transmisi harga
secara vertikal antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi
Lampung.
7. Transmisi harga asimetri difokuskan pada transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan penyesuaian terhadap perubahan harga.
8. Data penelitian yang diperoleh dari petani dan pedagang pengumpul hanya
digunakan untuk menjelaskan perilaku pasar yang terkait dengan sistem
penentuan harga jagung.
9. Perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga dimaksudkan untuk
menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi dan menjelaskan faktor
pembentukan harga jagung.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu:
1. Transmisi harga dianalisis melalui hubungan harga yaitu antara harga jagung
di tingkat produsen dan konsumen dan biaya transaksi dalam pemasaran
dianggap konstan.
2. Harga jagung impor merupakan harga rata-rata impor yang diperoleh dari nilai
impor dibagi volume impor.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Konsep Efisiensi Pemasaran, Integrasi Pasar, dan Transmisi Harga
Efisiensi pemasaran produk pangan sering digunakan untuk mengukur
kinerja suatu pasar (market performance). Efisiensi pemasaran dibedakan menjadi
2 jenis yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional
menunjukkan situasi yaitu biaya pemasaran dikurangi tanpa harus mempengaruhi
output dari sisi rasio efisiensi (Kohls and Uhl 2002). Indikator yang sering
digunakan untuk menganalisis efisiensi operasional yaitu marjin pemasaran dan
fharmer’s share Asmarantaka (2012). Efisiensi harga menunjukkan kemampuan
sistem pasar dalam mengalokasikan sumber daya dengan efisien dan
mengkoordinasikan kegiatan mulai dari proses produksi sampai pemasaran ouput
sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga tercapai jika: (1) harga
sepenuhnya mewakili preferensi konsumen, sumber daya mengalir langsung dari
yang bernilai guna rendah ke yang bernilai guna tinggi, (3) mengkoordinasikan
kegiatan pembelian dan penjualan dari petani (produsen), lembaga pemasaran
yang terlibat dalam pemasaran, sampai ke konsumen (Kohls and Uhl 2002).
Sistem pemasaran dikatakan efisien jika suatu pasar terintegrasi dengan pasar
yang lain (Heytens 1986). Hall et al. (1981) menambahkan bahwa pemasaran
dikatakan efisien jika perubahan harga dari lembaga pemasaran yang satu segera
(langsung) ditransmisikan ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai
pemasaran. Sebaliknya, Kohls and Uhl (2002) menjelaskan bahwa jika perubahan
harga di suatu pasar misalnya penurunan harga di tingkat petani ditransmisikan
secara lambat dan tidak sepenuhnya ke konsumen maka kondisi ini
mengindikasikan kurang efisien dari segi efisiensi harga.
Integrasi pasar menunjukkan hubungan antara suatu pasar dengan pasar
yang lain dalam perdagangan yang dilihat melalui hubungan harga. Hubungan
harga pada suatu pasar yang terintegrasi dengan pasar yang lain akan berkorelasi
positif dari waktu ke waktu. Integrasi pasar digunakan untuk menggambarkan
seberapa dekat harga suatu komoditas di suatu pasar dengan pasar yang lain akan
bergerak bersama-sama (Heytens 1986). Integrasi pasar terjadi jika pergerakan
harga di suatu pasar dengan pergerakan harga di pasar yang lain saling berkorelasi.
Antara suatu pasar dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi jika harga
komoditas yang homogen di kedua pasar bergerak secara bersama-sama sehingga
mengindikasikan penyebaran informasi harga dan sistem pemasaran efisien (Omar
et al. 2014).
Integrasi pasar dikelompokkan menjadi 2 yaitu integrasi pasar horizontal dan
integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar horizontal (spasial) terjadi jika harga di
suatu pasar dengan harga di pasar yang lain pada lokasi yang berbeda memiliki
korelasi positif dari waktu ke waktu (Heytens 1986). Suatu pasar yang terpisah
secara geografis dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi secara spasial jika
produk dan informasi mengalir bebas di antara kedua pasar tersebut sehingga
perubahan harga produk di suatu pasar akan ditransfer ke pasar yang lain (Fossati
et al. 2007). Jika 2 negara melakukan perdagangan maka harga produk di negara
pengimpor akan sama dengan harga produk di negara pengekspor ditambah biaya
8
transportasi yang dikeluarkan dan harga produk di kedua negara tersebut akan
bergerak bersama-sama sehingga dapat dikatakan kedua pasar terintegrasi secara
spasial (Ravallion 1986). Perubahan harga produk di negara pengekspor akan
menyebabkan perubahan harga produk di negara pengimpor dengan arah yang
sama dan dari tingkat yang sama (Fossati et al. 2007). Integrasi pasar vertikal
digunakan untuk melihat keterkaitan antara lembaga pemasaran yang satu dengan
lembaga pemasaran lainnya yang terlibat dalam satu saluran pemasaran, misalnya
antara tingkat produsen (petani) dan tingkat konsumen (Asmarantaka 2012).
Integrasi vertikal pada produk pertanian yang kompleks merupakan salah satu
faktor yang menentukan struktur pasar dan daya saing produk pertanian (Grega
2003).
Seperti halnya integrasi pasar, transmisi harga juga dibedakan menjadi
transmisi harga spasial dan transmisi harga vertikal. Meyer and von CramonTaubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga spasial terjadi jika
perubahan harga produk yang sama pada suatu level ditransmisikan ke level yang
sama dalam rantai pemasaran tetapi di lokasi yang berbeda. Selanjutnya, von
Cramon-Taubadel (1998) menjelaskan bahwa transmisi harga vertikal yaitu
respon harga pada suatu level terhadap perubahan harga di level yang lain (level
yang berbeda) dalam satu rantai pemasaran, baik perubahan berupa kenaikan atau
penurunan harga. Vavra and Goodwin (2005) menambahkan bahwa transmisi
harga vertikal yaitu respon atau penyesuaian harga di tingkat produsen terhadap
perubahan harga di tingkat pedagang besar dan konsumen atau sebaliknya.
Penyesuaian terhadap perubahan harga di sepanjang rantai pemasaran dari tingkat
produsen ke konsumen atau sebaliknya merupakan karakteristik yang penting dari
fungsi pasar. Transmisi harga vertikal ditandai dengan besaran, kecepatan dan
sifat penyesuaian melalui rantai pasokan terhadap guncangan pasar yang
dihasilkan pada tingkat yang berbeda dalam proses pemasaran. Kecepatan pasar
menyesuaikan diri terhadap guncangan ditentukan oleh tindakan pelaku pasar
yang terlibat dalam transaksi yang terhubung dalam jaringan pemasaran yaitu
pedagang grosir, distributor, dan pedagang pengecer.
Kecepatan perubahan harga ditransmisikan dari tingkat produsen ke tingkat
konsumen atau sebaliknya dari tingkat konsumen ke tingkat produsen (bergantung
arah transmisi harga) dan tingkat penyesuaian terhadap perubahan harga tersebut
merupakan faktor yang penting dalam menggambarkan tindakan pelaku pasar di
tingkat pasar yang berbeda. Selain itu, kecepatan perubahan harga ditransmisikan
dari tingkat produsen ke tingkat konsumen atau sebaliknya bergantung pada jenis
produk. Produk yang mudah rusak dan mengalami pengolahan yang minimal
misalnya sayuran dan buah-buahan diduga memiliki kecepatan transmisi harga
yang relatif lebih cepat. Sebaliknya produk yang mengalami pengolahan tertentu
dan tidak mudah rusak diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang lebih
lambat (Reziti and Panagopoulos 2008).
Konsep Transmisi Harga Asimetri
Transmisi harga asimetri yaitu suatu kondisi yang menunjukkan suatu pasar
merespon secara berbeda antara kenaikan harga dan penurunan harga yang terjadi
di pasar lain (Bailey and Brorsen 1989). Transmisi harga asimetri dikelompokkan
menjadi 3 yaitu (Meyer and von Cramon-Taubadel (2004):
9
1. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
Jika perubahan harga di suatu pasar tidak segera ditransmisikan ke pasar
yang lain maka kondisi ini menunjukkan terjadi transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan (waktu) penyesuaian. Sebaliknya jika perubahan harga di suatu pasar
tidak ditransmisikan secara penuh ke pasar yang lain maka kondisi ini
menunjukkan bahwa transmisi harga berjalan asimetri dari sisi besaran. Transmisi
harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
Gambar 4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
Gambar 4(a) menunjukkan bahwa jika dilihat dari sisi besaran penyesuaian,
terdapat perbedaan respon oleh pout terhadap perubahan harga di Pin baik
perubahan berupa kenaikan dan penurunan harga. Saat terjadi kenaikan harga di
Pin, maka pout akan merespon kenaikan tersebut secara penuh. Artinya kenaikan
harga di pout sama dengan kenaikan harga yang terjadi di pin.. Sebaliknya, saat
terjadi penurunan harga di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Meyer
and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa besarnya respon terhadap
perubahan harga di pin bergantung pada arah perubahan. Transmisi harga asimetri
dari sisi besaran akan menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat
permanen dan besarnya kesejahteraan yang hilang bergantung pada perubahan
harga dan volume transaksi.
Gambar 4(b) menunjukkan bahwa harga di pin mengalami kenaikan saat t1.
Kemudian, pada saat yang sama pout akan segera merespon kenaikan harga
tersebut. Sebaliknya saat terjadi penurunan harga di pin, penurunan harga tersebut
tidak segera direspon oleh pout melainkan memerlukan waktu untuk melakukan
10
penyesuaian sehingga terdapat lag selama n. Oleh sebab itu, penurunan harga
yang terjadi di pin baru akan direspon oleh pout pada saat t1+n. Meyer and von
Cramon-Taubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang bersifat sementara. Besarnya
kesejahteraan yang hilang tersebut bergantung pada panjang interval waktu
transmisi antara t1 dan t1+n, serta perubahan harga dan volume transaksi.
Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan (waktu) dan besaran
penyesuaian pada Gambar 4(c) menunjukkan bahwa kenaikan harga di pin
membutuhkan waktu selama 2 periode untuk ditransmisikan secara penuh ke pout.
Artinya pada waktu t1, kenaikan harga di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke
pout, setelah t2 kenaikan harga di pin ditransmisikan secara penuh ke pout.
Sebaliknya penurunan harga di pin membutuhkan waktu selama 3 periode untuk
ditransmisikan ke pout. Jika dilihat dari besarannya, penurunan harga yang terjadi
di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan dan besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat
sementara dan permanen. Hilangnya kesejahteraan yang bersifat sementara dalam
jumlah besar akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan
hilangnya kesejahteraan yang bersifat permanen dalam jumlah kecil pada saat ini
(Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).
2. Transmisi harga asimetri positif dan negatif
Peltzman (2000) dalam Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
mengelompokkan transmisi harga asimetri menjadi dua yaitu transmisi harga
asimetri positif dan negatif. Transmisi harga asimetri positif dan negatif dapat
dilihat pada Gambar 5.
Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
Gambar 5 Transmisi harga asimetri positif dan negatif
Transmisi haga asimetri positif ditunjukkan pada Gambar 5(a). Transmisi
harga asimetri positif terjadi jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih
sempurna terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga di pin.
Sebaliknya jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih sempurna terhadap
penurunan harga dibandingkan dengan kenaikan harga di pin berarti terjadi
transmisi harga asimetri negatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(b).
11
3. Transmisi harga asimetri vertikal dan spasial
Transmisi harga asimetri vertikal misalnya kenaikan harga di tingkat petani
ditransmisikan lebih sempurna dan lebih cepat ke pedagang grosir dan pedagang
pengecer dibandingkan dengan penurunan harga di tingkat petani. Transmisi
harga asimetri spasial misalnya kenaikan harga di pasar internasional
ditransmisikan sepenuhnya dan lebih cepat ke pasar domestik dibandingkan
dengan penurunan harga di pasar internasional (Meyer and von Cramon-Taubadel
2004).
Konsep Penyebab Transmisi Harga Asimetri
Transmisi harga dari suatu pasar ke pasar yang lain atau dari lembaga
pemasaran yang satu ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai
pemasaran dapat berjalan asimetri karena beberapa faktor. Hall et al. (1981)
menjelaskan bahwa respon harga suatu lembaga pemasaran terhadap perubahan
harga di lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran tidak
berlagsung seketika disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya
penundaan yang disebabkan oleh pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan.
Penyebab lainnya yaitu ketidaksempurnaan pasar seperti kurangnya informasi dan
pasar non kompetitif. Misalnya pedagang pengecer menggunakan market power
yang cukup sehingga kenaikan harga ditransmisikan secara lebih cepat ke
konsumen dibandingkan dengan penurunan harga. Kemudian Bailey and Brorsen
(1989) menyatakan bahwa terdapat 4 kemungkinan penyebab terjadinya transmisi
harga asimetri yaitu adjustment cost yang asimetri, pasar yang terkonsentrasi,
informasi yang asimetri, dan laporan harga yang asimetri. Penjelasan mengenai
penyebab terjadinya transmisi harga asimetri yaitu:
1. Market power
Transmisi harga asimetri sebagian besar terjadi pada struktur pasar non
kompetitif. Transmisi harga asimetri positif atau negatif bergantung pada struktur
dan perilaku pasar. Transmisi harga asimetri positif dapat terjadi karena adanya
market power pada pasar monopoli murni (Meyer and von Cramon-Taubadel
2004). Sebaliknya, Ward (1982) menyatakan bahwa transmisi harga asimetri
negatif dapat disebabkan oleh adanya market power. Hal ini dapat terjadi apabila
perusahaan pada pasar oligopoli tidak mau mengambil risiko kehilangan pangsa
pasar dengan meningkatkan harga output (Meyer and von Cramon-Taubadel
2004). Pada pasar oligopoli, pedagang akan bereaksi lebih cepat terhadap
guncangan berupa kenaikan harga dibandingkan dengan guncangan berupa
penurunan harga sehingga terjadi transmisi harga asimetri dalam jangka pendek.
Pedagang akan bereaksi tidak sepenuhnya terhadap guncangan berupa penurunan
harga sehingga terjadi transmisi harga asimetri dalam jangka panjang (von
Cramon-Taubadel 1998). Tidak terjadinya transmisi harga yang simetri
disebabkan oleh perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang
terkonsentrasi. Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha
mempertahankan kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan
kenaikan dan penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya.
Pedagang lebih mungkin meneruskan penurunan harga di tingkat konsumen
kepada petani dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat konsumen (Vavra
and Goodwin 2005).
12
2. Adjustment cost
Transmisi harga asimetri dapat terjadi akibat adanya adjustment cost yang
sangat tinggi (Karantininis et al. 2011). Adjustment cost muncul saat perusahaan
mengubah jumlah output dan/atau harga input dan/atau harga output. Jika biaya
ini asimetri sehubungan dengan kenaikan atau penurunan jumlah output dan/atau
harga dapat menyebabkan transmisi harga asimetri (Meyer and Cramon-Taubadel
2004). Sejumlah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang untuk menyesuaikan
harga sehingga menyebabkan perubahan harga disebut dengan adjustment cost
(Vavra and Goodwin 2005). Adjustment cost mencakup biaya transportasi (Meyer
and Cramon-Taubadel 2004). Selain itu, misalnya biaya iklan dan pelabelan
(Vavra and Goodwin 2005).
3. Intervensi pemerintah
Intervensi pemerintah juga dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga
asimetri. Misalnya pedagang mungkin melihat kenaikan harga produk pertanian
bersifat permanen yang mungkin telah diantisipasi sebelumnya. Artinya kenaikan
harga tersebut ditransmisikan oleh pedagang dengan lebih cepat dan sempurna
(sepenuhnya) ke konsumen. Sebaliknya pedagang melihat penurunan harga hanya
bersifat sementara sehingga mengakibatkan penurunan harga tersebut
ditransmiskan lebih lambat dan tidak sempurna ke konsumen (Kinnucan and
Forker 1987).
Transmisi harga asimetri yang disebabkan oleh adjusment cost dan market
power memiliki perbedaan yang mendasar yaitu keduanya sama-sama dapat
menyebabkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi transmisi
harga asimetri yang disebabkan oleh market power mampu bertahan dalam jangka
waktu yang lama. Hal ini karena market power tidak hanya berpengaruh dari sisi
kecepatan tetapi juga dari sisi besaran (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).
Sebaliknya adjustment cost yang sangat tinggi terjadi dalam jangka pendek dan
sifatnya hanya menunda penyesuaian harga (Karantininis et al. 2011).
Konsep Metode Analisis Transmisi Harga Asimetri
Menurut Meyer and von Cramon-Taubadel (2004), pengujian transmisi
harga asimetri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu
pendekatan pre kointegrasi (berdasarkan first differences), analisis kointegrasi
(Error Correction Model dan metode threshold), dan metode miscellaneous.
Pengujian transmisi harga asimetri telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli.
Orang yang pertama kali memperkenalkan pengujian transmisi harga asimetri
yaitu Farrell (1952) yang mengestimasi fungsi permintaan irreversible
(irreversible demand functions). Kemudian Tweeten and Quance (1969)
mengestimasi fungsi penawaran irrreversible (irreversible supply functions)
dengan menggunakan teknik pemisahan variabel dummy. Kemudian model
Tweeten and Quance dikembangkan oleh Wolffram (1971) dengan melakukan
teknik pemisahan variabel pada perbedaan pertama (first difference). Model yang
dikembangkan oleh Wolffram (1971) kemudian dimodifikasi lagi oleh Houck
(1977) yang mirip dengan model Wolffram dan juga melakukan pemisahan
variabel pada perbedaan pertama dari kenaikan dan penurunan harga. Kemudian
Ward (1982) melakukan pengembangan lagi terhadap model Houck dengan
menambahkan lag variabel eksogen. Model yang dikembangkan oleh beberapa
13
ahli tersebut kemudian dikelompokkan menjadi teknik pengujian transmisi harga
asimetri yang disebut dengan pendekatan pre kointegrasi.
Von Cramon-Taubadel and Fahlbusch (1996) dalam von Cramon-Taubadel
and Loy (1996) menjelaskan bahwa pengujian transmisi harga asimetri dengan
pendekatan Houck tidak cocok untuk data yang memiliki hubungan jangka
panjang (terkointegrasi). Akan tetapi bukan berarti pengujian transmisi harga
asimetri tidak bisa dilakukan untuk data harga yang terkointegrasi. Oleh sebab itu
ada pendekatan lain yang menggabungkan kointegrasi dengan asimetri yang
didasarkan pada asumsi yaitu antara variabel Pi dan Pj memiliki hubungan jangka
panjang (terkointegrasi) yaitu dengan menggunakan konsep Error Correction
Model.
Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa ahli
ekonometrika telah mengembangkan uji untuk data yang tidak stationer dan
metode yang digunakan untuk menghindari masalah spurious regression yang
umumnya dikenal dengan kointegrasi. Metode ini sangat erat kaitannya dengan
studi transmisi harga asimetri karena banyak data series harga yang tidak stationer
dan rentan terhadap masalah spurious regression. Thomas (1997) menjelaskan
bahwa spurious regression menunjukkan kondisi saat hasil regresi menghasilkan
koefisien regresi yang sangat signifikan dan nilai koefisien determinasinya (R2)
sangat tinggi padahal kedua variabel sama sekali tidak memiliki hubungan.
Spurious yang sempurna akan memberikan hasil yang tidak autentik dan
hubungan kedua variabel tidak memiliki makna atau tidak berarti.
Pengujian transmisi harga asimetri dengan teknik kointegrasi juga telah
banyak dikembangkan oleh beberapa ahli seperti von Cramon-Taubadel and
Fahlbusch (1994) pertama kali melakukan pengujian transmisi harga asimetri
dengan menggunakan pendekatan kointegrasi. Kemudian dikembangkan lagi oleh
von Cramon-Taubadel and Loy (1996) dan von Cramon-Taubadel (1998).
Pengujian transmisi harga asimetri dengan menggunakan teknik kointegrasi ini
dikenal dengan Asymmetric Error Correction Model (AECM). Pada model ini
terdapat error correction term (ECT) yang merupakan lag residual dari persamaan
untuk mengukur penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang di antara
variabel. Kemudian ECT dipisahkan menjadi ECT positif dan ECT negatif.
Pendekatan Error Correction Model (ECM) mungkin hanya dapat
menggambarkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi
transmisi harga asimetri dari sisi besaran menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
respon secara permanen antara kenaikan dan penurunan harga (terjadi dalam
jangka panjang) dan ini hanya terjadi jika data tidak terkointegrasi, sedangkan
Error Correction Model merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang.
Von Cramon-Taubadel and Loy (1996) serta von Cramon-Taubadel (1998)
menjelaskan bahwa jika hubungan antara dua harga misalnya Pi dan Pj
terkointegrasi, berdasarkan teorema Granger (Engle and Granger 1987) maka
bentuk Error Correction Model yaitu:
ΔPi,t β0 β1 ΔPj,t β2 ECTt 1 B3 LΔPi,t 1 B4 LΔPj,t 1 εt 1.1
ECTt 1 Pi,t 1 α 0 α 1 Pj,t 1 1.2
14
Keterangan:
Pi
= Harga di pasar i
Pj
= Harga di pasar j
ECT = Error Correction Term
(L)
= Polynomial lags
Kemudian von Cramon-Taubadel and Loy (1996) mengembangkan Error
Correction Mod
DI PROVINSI LAMPUNG
RATI PURWASIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pembentukan Harga
Jagung di Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Rati Purwasih
NIM H453130351
RINGKASAN
RATI PURWASIH. Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung. Dibimbing
oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SRI HARTOYO.
Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi Lampung,
akan tetapi jumlah produksi jagung di provinsi ini terus mengalami penurunan
selama 5 tahun terakhir yaitu dari 2 126 571 ton pada tahun 2010 menjadi
1 719 386 ton pada tahun 2014. Penurunan jumlah produksi tersebut mengikuti
trend penurunan luas panen jagung yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010
menjadi 338 885 hektar pada tahun 2014. Insentif bagi petani untuk berusaha tani
jagung yaitu harga. Rata-rata harga jagung yang diterima petani (produsen) dari
Januari 2009 sampai Desember 2014 yaitu sebesar Rp 1 820 per kilogram,
sedangkan rata-rata harga jagung di tingkat konsumen yaitu sebesar Rp 3 205 per
kilogram. Jika dilihat dari rata-rata harga jagung di tingkat produsen dan
konsumen tersebut, terdapat disparitas harga yang cukup besar antara produsen
dan konsumen di Provinsi Lampung yang mungkin disebabkan oleh panjangnya
rantai pemasaran atau penyalahgunaan market power. Selain itu, harga jagung di
tingkat konsumen lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan harga jagung di
tingkat produsen. Hal ini dapat disebabkan oleh proses transmisi harga yang
asimetri artinya saat harga jagung di tingkat konsumen naik akan diteruskan
secara perlahan-lahan dan tidak sepenuhnya ke tingkat produsen. Penyebab
transmisi harga asimetri di antaranya karena penyalahgunaan market power oleh
pedagang.
Pada pasar yang terhubung secara vertikal dengan pasar yang lain dalam
perdagangan, harga di pasar acuan akan mempengaruhi harga yang terbentuk di
pasar pengikut. Harga jagung juga dipengaruhi oleh jumlah produksi karena pola
produksi yang mengikuti musim. Selain itu, komoditas jagung memerlukan waktu
mulai dari proses pengolahan lahan sampai panen dan pemasaran hasil panen
sehingga harga jagung dipengaruhi juga oleh penyesuaian pasar.
Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat
konsumen ke tingkat produsen dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung.
Data yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat
konsumen ke tingkat produsen dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan harga jagung tingkat produsen yaitu data time series bulanan dari
Januari 2009 sampai Desember 2014 (72 bulan). Asymmetric Error Correction
Model (AECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996)
digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke
tingkat produsen. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung
tingkat produsen diestimasi dengan menggunakan metode pendugaan Ordinary
Least Squares (OLS).
Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen
mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Selanjutnya dilakukan estimasi
Asymmetric Error Correction Model (AECM) diperoleh hasil bahwa dalam
jangka pendek transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen
tidak berjalan simetri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi petani
mengenai harga jagung sedangkan pedagang memiliki market power dalam
mempengaruhi harga sehingga dalam jangka pendek perubahan harga jagung di
tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Sebaliknya
dalam jangka panjang transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat
produsen berjalan secara simetri artinya saat terjadi kenaikan harga jagung di
tingkat konsumen maka produsen akan merespon dengan kenaikan harga dan
sebaliknya saat terjadi penurunan harga jagung di tingkat konsumen maka
produsen akan merespon dengan penurunan harga pada kecepatan yang sama.
Setelah dilakukan uji Wald diperoleh hasil bahwa tidak terbukti terjadi transmisi
harga asimetri dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dalam jangka panjang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pemasaran jagung di
Provinsi Lampung efisien dari segi efisiensi harga.
Harga jagung yang terbentuk di tingkat produsen dipengaruhi oleh nilai
tukar, jumlah produksi, dan harga jagung di tingkat produsen pada periode
sebelumnya, sedangkan harga jagung tingkat konsumen dan harga jagung impor
tidak mempengaruhi harga jagung tingkat produsen. Harga jagung di tingkat
produsen kurang respon terhadap perubahan jumlah produksi. Hal ini terjadi
karena adanya kekuatan oligopsoni.
Kata kunci: asimetri, harga konsumen, harga produsen, transmisi harga
SUMMARY
RATI PURWASIH. Formation of Corn Prices in Lampung Province. Supervised
by MUHAMMAD FIRDAUS and SRI HARTOYO.
Corn is one of the leading commodities in Lampung Province, but its
production in the province has declined over the last 5 years from 2 126 571 tons
in 2010 to 1 719 386 tons in 2014. The decrease in production was due to a
decline in the corn harvested area from 447 509 hectares in 2010 to 338 885
hectares in 2014. The incentives for corn production for farmers is the price. The
average corn price received by farmers (producers) from January 2009 to
December 2014 amounted to Rp 1 820 per kilogram, while the average price of
corn at the consumer level was at Rp 3 205 per kilogram. If seen from the average
price of corn at the producer and the consumer level, there is a fairly large price
disparities between producers and consumers in Lampung that may be caused by
the length of the marketing chain or abuse of market power. Moreover, corn prices
at the consumer level are more volatile when compared with the price of corn at
the producer level. It can be caused by asymmetric price transmission meaning
that when the price of corn at the consumer level rises, this rise in price will be
slowly and not fully transmitted to the producer level. The cause of asymmetric
price transmission include the abuse of market power by traders.
In a vertically integrated market, the reference price in the market will affect
the prices established in the market follower. The price of corn is also affected by
the amount of production and the market adjustments from the time of land
management until harvesting and marketing of the crop.
The purpose of this study are to analyze the transmission of corn prices from
the consumer level to the producer level and analyze the factors affecting the
formation of corn prices at the producer level in Lampung Province. The data
used to analyze the corn price transmission from the consumer level to the
producer level and the factors that affect the formation of prices at the producer
level was a monthly time series data from January 2009 to December 2014
(72 month). Asymmetric Error Correction Model (AECM) developed by von
Cramon-Taubadel and Loy (1996) was used to analyze corn price transmission
from the consumer level to the producer level. The factors affecting the formation
of corn prices at the producer level was estimated using the Ordinary Least
Squares (OLS) method.
Causality test results indicate that corn prices at the consumer level affect
corn prices at the producer level. From AECM estimates obtained, the short run
corn price transmission from the consumer level to the producer level was
asymmetric. This occurs because the information available to the farmers on corn
prices are insufficient while the traders have a market power which enabled them
to influence prices so that changes in corn prices at the consumer level in the short
run is not immediately transmitted to the producer level. However, the long-run
transmission of corn prices from the consumer level to the producer was
symmetric. This means that when there is an increase corn price at the consumer
level, the producers will respond by also raising its prices and vice versa at the
same speed. After the Wald test, results obtained showed that there was no prove
of asymmetric price transmission from the consumer level to the producer level in
the long run. This condition indicates that in the long run, marketing of corn in the
Province of Lampung is efficient in terms of efficiency price.
The price of corn formed at the producer level are affected by exchange
rates, production quantity, and corn prices at the producer level in the previous
period, while corn prices at the consumer level and the import corn price has no
effect. Corn prices at the producer level is less responsive to changes in
production quantities. This occurs because of the strength oligopsony.
Keywords: asymmetric, consumer prices, price transmission, producer prices
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMBENTUKAN HARGA JAGUNG
DI PROVINSI LAMPUNG
RATI PURWASIH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Pembentukan Harga Jagung di
Provinsi Lampung berhasil diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku anggota komisi
pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan ilmu pengetahuan
yang terkait dengan tesis, ide, koreksi, dan saran dalam penyusunan tesis. Di
samping itu, ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc selaku
penguji luar komisi dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji wakil
komisi program studi pada ujian tesis yang telah memberikan pertanyaan, koreksi,
dan saran untuk perbaikan tesis.
Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia yang telah memberikan beasiswa BPPDN sehingga penulis dapat
menempuh pendidikan Program Magister di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga tersayang yaitu Ayahanda
A Rais, Ibunda Malwati, nenek, dan adik-adikku atas doa dan kasih sayang yang
selalu dicurahkan serta selalu memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Bogor, Oktober 2016
Rati Purwasih
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1
1
3
6
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
7
7
16
21
23
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
23
23
24
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Lampung
Perkembangan Harga Jagung di Provinsi Lampung
Perkembangan Harga Jagung Impor
Transmisi Harga Jagung dari Tingkat Konsumen ke Tingkat Produsen
di Provinsi Lampung
Faktor Pembentuk Harga Jagung Tingkat Produsen di Provinsi
Lampung
31
31
32
33
34
41
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
44
44
45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
50
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Jenis dan sumber data penelitian
Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen
di Provinsi Lampung
Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung antara produsen
dan konsumen di Provinsi Lampung
Hasil uji kointegrasi Johansen pada hubungan antara harga jagung
tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung
Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dan
konsumen di Provinsi Lampung
Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan
transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi
Lampung
Hasil uji Wald pada model transmisi harga jagung antara produsen dan
konsumen di Provinsi Lampung
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga
jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung
24
34
35
36
36
38
40
42
DAFTAR GAMBAR
1 Kontribusi produksi di provinsi sentra produksi jagung Indonesia dari
tahun 2009 sampai 2014
2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung
dari tahun 2009 sampai 2014
3 Perkembangan harga jagung di Provinsi Lampung dari Januari 2009
sampai Desember 2014
4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
5 Transmisi harga asimetri positif dan negatif
6 Kerangka pemikiran
7 Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009
sampai 2014
8 Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran di Provinsi Lampung
dari Januari 2009 sampai Desember 2014
9 Perkembangan harga jagung impor dari Januari 2009 sampai Desember
2014
2
3
4
9
10
22
31
32
34
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada level
dengan kriteria intercept no trend
Hasil uji sasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada first
difference dengan kriteria intercept no trend
51
51
DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada level
dengan kriteria intercept no trend
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada first
difference dengan kriteria intercept no trend
Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung di Provinsi
Lampung
Hasil uji kointegrasi antara harga jagung tingkat produsen dan
konsumen di Provinsi Lampung
Hasil uji kausalitas antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen
di Provinsi Lampung
Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada model
transmisi harga jagung di Provinsi Lampung
Hasil uji Wald untuk koefisien ECT positif dan ECT negatif pada model
transmisi harga jagung di Provinsi Lampung
Hasil uji normalitas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat
produsen di Provinsi Lampung
Hasil uji heteroskedastisitas pada model faktor pembentuk harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung
Hasil uji autokorelasi pada model faktor pembentuk harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung
Hasil uji multikolinieritas pada model faktor pembentuk harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung
Hasil estimasi faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di
Provinsi Lampung
52
52
53
54
54
55
56
56
56
57
57
57
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija yang memiliki
peranan penting di Indonesia. Permintaan pasar dalam negeri terhadap jagung dan
peluang ekspor cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik untuk
memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan (BPS RI 2015a). Selama tahun
2010 sampai 2014, impor jagung Indonesia terus meningkat baik dari sisi
kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 28.72 persen dari sisi kuantitas dan 32.49
persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Selain digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri
rumah tangga seperti emping jagung, wingko jagung, dan produk olahan jagung
lainnya. Tidak hanya itu saja, jagung juga digunakan sebagai bahan baku pakan
ternak dan ekspor (BPS RI 2015a). Seperti halnya dengan impor, pada periode
yang sama menunjukkan bahwa ekspor jagung Indonesia juga terus meningkat
baik dari sisi kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 34.21 persen dari sisi kuantitas
dan 23 persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Oleh sebab itu, jagung
dibutuhkan dalam jumlah besar. Kondisi ini memberikan peluang pasar yang
potensial bagi petani untuk mengusahakan tanaman jagung dan meningkatkan
produksi (BPS RI 2015a).
Jagung yang diekspor dan diimpor oleh Indonesia dalam bentuk segar dan
olahan. Berdasarkan data BPS RI, sebagian besar jagung segar yang diekspor
selama tahun 2010 sampai 2014 yaitu jagung pipilan dengan kontribusi nilai
ekspor sebesar 53.07 persen dari total ekspor jagung segar atau senilai 6.76 juta
US$, sedangkan jagung olahan yang banyak diekspor yaitu pati jagung dengan
kontribusi nilai ekspor sebesar 82.18 persen dari total ekspor jagung olahan atau
senilai 5.81 juta US$. Jagung yang dimpor dalam bentuk segar juga didominasi
oleh jagung pipilan dengan kontribusi nilai impor sebesar 98.34 persen dari total
impor jagung segar atau senilai 715.67 juta US$, sedangkan jagung yang diimpor
dalam bentuk olahan juga didominasi oleh pati jagung dengan kontribusi nilai
impor sebesar 65.48 persen dari total impor jagung olahan atau senilai 55.03 juta
US$ (Pusdatin Kementan 2015).
Produksi jagung dalam negeri masih belum bisa memenuhi permintaan
pasar lokal sehingga untuk memperoleh pasokan masih harus mengimpor jagung
dari luar negeri (BPS RI 2015a). Berdasarkaan data BPS RI (2015b) rata-rata
produksi jagung di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2014 yaitu sebesar
18 479 421 ton per tahun dengan pola pergerakan produksi yang berfluktuasi.
Penghasil jagung di Indonesia tersebar di seluruh provinsi antara lain Provinsi
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa
Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain. Kontribusi produksi di
daerah sentra produksi jagung Indonesia selama tahun 2009 sampai 2014 dapat
dilihat pada Gambar 1.
2
Sumber: BPS RI (2015b), diolah
Gambar 1 Kontribusi produksi di provinsi sentra produksi jagung Indonesia dari
tahun 2009 sampai 2014
Gambar 1 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan penghasil
jagung terbesar di Indonesia dengan kontribusi produksi jagung sebesar 31 persen
dari total produksi jagung nasional. Selanjutnya diikuti dengan Provinsi Jawa
Tengah dengan kontribusi produksi sebesar 16 persen dari total produksi jagung
nasional. Setelah itu, Provinsi Lampung menempati urutan ke 3 sebagai provinsi
sentra produksi jagung di Indonesia yaitu dengan kontribusi produksi sebesar 10
persen dari total produksi jagung nasional. Dengan kata lain, lebih dari 50 persen
produksi jagung di Indonesia dihasilkan oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
dan Lampung.
Produksi jagung di daerah sentra produksi sangat mempengaruhi
ketersediaan atau pasokan jagung di pasar. Sementara itu, pergerakan pasokan
mempengaruhi pergerakan harga jagung di pasar (Pusdatin Kementan 2015).
Salah satu provinsi yang merupakan penghasil jagung terbesar di Indonesia
selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu Provinsi Lampung. Produksi jagung di
Provinsi Lampung cenderung menunjukkan trend yang menurun. Selama tahun
2009 sampai 2010, produksi jagung di provinsi ini mengalami peningkatan. Akan
tetapi setelah tahun 2010 sampai 2014, produksi jagung di provinsi ini cenderung
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selama 6 tahun terakhir yaitu dari
tahun 2009 sampai 2014, puncak produksi jagung di provinsi ini terjadi pada
tahun 2010 yaitu sebesar 2 126 571 ton, sedangkan produksi terendah terjadi pada
tahun 2014 yaitu sebesar 1 719 386 ton. Penurunan produksi jagung mengikuti
perkembangan luas panen jagung yang terus menurun mulai dari tahun 2010
sampai 2014 yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010 menjadi 338 885 hektar
pada tahun 2014 (Gambar 2). Perkembangan luas panen dan produksi jagung di
Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat pada Gambar 2.
3
Sumber: BPS RI (2015b), diolah
Gambar 2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung
dari tahun 2009 sampai 2014
Pengembangan jagung masih menghadapi berbagai permasalahan seperti
keterbatasan penanganan pascapanen sehingga berpengaruh pada kualitas jagung
akibatnya akan berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Selain itu,
permasalahan juga terjadi pada pendistribusian jagung akibat rantai pemasaran
yang panjang sehingga keuntungan lebih dinikmati oleh pedagang pengumpul
dibandingkan dengan petani (Dirjen Tanaman Pangan 2014). Pola distribusi
perdagangan jagung saat ini diduga masih bermasalah sehingga perlu dikenali
karakteristik pelaku perdagangan seperti produsen dan pedagang, kualitas jagung
karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemasaran jagung,
disparitas atau perbedaan harga jagung lokal antar wilayah di Indonesia cukup
besar dibandingkan dengan disparitas harga jagung impor, marjin usaha, dan
peranan setiap wilayah yang menjadi sentra produksi dalam memasok jagung
nasional (BPS RI 2015a). Oleh sebab itu, dalam pengembangan jagung perlu
menciptakan sistem pemasaran jagung yang efisien sehingga masing-masing
pelaku pasar baik petani, pedagang, maupun konsumen dapat memperoleh
manfaat atas harga yang berlaku.
Perumusan Masalah
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki harga jagung di tingkat
petani yaitu memperbaiki sistem pemasarannya dengan cara meningkatkan
efisiensi pemasaran (Asmarantaka 1985). Perlunya sistem pemasaran yang efisien
agar produk yang ditawarkan dengan harga yang wajar dan mendorong produsen
untuk meningkatkan produksi (Omar et al. 2014). Salah satu ukuran yang
digunakan untuk menganalisis efisiensi pemasaran terutama efisiensi harga yaitu
transmisi harga. Sistem pemasaran dikatakan kurang efisien dari segi efisiensi
4
harga jika transmisi harga berjalan asimetri (Kohls and Uhl 2002). Hal ini karena
transmisi harga asimetri antara produsen dan konsumen dapat merugikan
keduanya yaitu produsen tidak memperoleh manfaat atas kenaikan harga di
tingkat konsumen, sedangkan konsumen tidak memperoleh manfaat atas
penurunan harga di tingkat produsen (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).
Transmisi harga antara produsen dan konsumen dapat berjalan asimetri karena
perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang terkonsentrasi.
Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha mempertahankan
kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan kenaikan dan
penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Pedagang lebih
mungkin meneruskan penurunan harga dari tingkat konsumen ke tingkat produsen
(petani) dibandingkan dengan kenaikan harga (Vavra and Goodwin 2005).
Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d) diperoleh rata-rata harga jagung
tingkat produsen selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014 di Provinsi
Lampung sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan harga jagung tingkat
konsumen sebesar Rp 3 205 per kilogram sehingga terdapat disparitas atau
perbedaan harga jagung antara produsen dan konsumen sebesar Rp 1 385 per
kilogram. Menurut Conforti (2004) bahwa besarnya disparitas harga dalam rantai
pemasaran dapat disebabkan oleh rantai pemasaran yang panjang atau
penyalahgunaan market power oleh pedagang sehingga menyebabkan marjin yang
terbentuk dalam pemasaran dari sektor hulu (produsen) ke sektor hilir (konsumen)
menjadi sangat besar akibatnya pemasaran menjadi tidak efisien. Perkembangan
harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dapat dilihat
pada Gambar 3.
Sumber: BPS RI (2015c) dan BPS RI (2015d), diolah
Gambar 3 Perkembangan harga jagung di Provinsi Lampung dari Januari 2009
sampai Desember 2014
5
Gambar 3 menunjukkan bahwa pergerakan harga jagung di tingkat
konsumen cenderung lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan pergerakan
harga jagung di tingkat produsen. Kondisi ini mengindikasikan harga jagung di
tingkat konsumen cenderung lebih cepat berubah dibandingkan dengan harga
jagung di tingkat produsen. Menurut Irawan (2007) bahwa fluktuasi harga di
tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan fluktuasi harga di tingkat
produsen disebabkan oleh adanya proses transmisi harga asimetri dari tingkat
konsumen ke tingkat produsen. Artinya saat harga di tingkat konsumen meningkat
maka peningkatan harga tersebut akan diteruskan oleh pedagang secara lambat
dan tidak sepenuhnya kepada produsen (petani). Sebaliknya jika terjadi penurunan
harga di tingkat konsumen maka penurunan harga tersebut akan diteruskan oleh
pedagang secara lebih cepat dan sepenuhnya kepada produsen.
Pola pergerakan harga jagung di tingkat produsen cenderung sama dengan
pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen mulai dari tahun 2009 sampai
tahun 2012, kemudian pada tahun 2013 sampai 2014 pola pergerakannya
cenderung berbeda (Gambar 3). Kondisi ini mengindikasikan terdapat
kemungkinan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen berjalan
secara asimetri. Akan tetapi untuk memastikan bagaimana transmisi harga jagung
antara produsen dan konsumen perlu dilakukan pengujian secara statistik.
Penelitian mengenai integrasi pasar jagung telah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya seperti Sari et al. (2012) menganalisis integrasi pasar jagung
antara petani, tengkulak, makelar, dan pedagang besar di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek antara pasar jagung di
tingkat petani dan pedagang besar terintegrasi secara kuat, sedangkan antara pasar
jagung di tingkat petani dengan tengkulak dan makelar memiliki integrasi yang
lemah. Sementara itu, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang kuat antara
pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak, makelar, dan pedagang besar.
Mandiri et al. (2015) juga menganalisis integrasi pasar jagung antara
produsen dan konsumen di Kabupaten Grobogan. Hasilnya menunjukkan bahwa
dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera
ditransmisikan ke tingkat produsen. Sebaliknya dalam jangka panjang perubahan
harga jagung tingkat konsumen tidak sepenuhnya ditransmisikan ke tingkat
produsen.
Penelitian mengenai integrasi pasar jagung di Provinsi Lampung pernah
dilakukan oleh Asmarantaka (1985) yaitu integrasi antara pasar jagung tingkat
petani di Kecamatan Katibung Lampung Selatan dan pasar jagung tingkat
konsumen di Bandar Lampung serta antara pasar jagung tingkat petani di
Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah dan pasar jagung tingkat
konsumen di Bandar Lampung yang memberikan kesimpulan bahwa pemasaran
jagung di Kecamatan Bangun Rejo lebih efisien dibandingkan dengan pemasaran
jagung di Kecamatan Katibung.
Pada komoditas pangan, harga di tingkat konsumen mempengaruhi harga di
tingkat produsen (Reziti and Panagopoulos 2008). Jumlah produksi yang
dihasilkan oleh tanaman berperan penting dalam mempengaruhi harga produk
pertanian (Piot-Lepetit and M’Barek 2011). Produk pertanian juga membutuhkan
waktu mulai dari proses produksi sampai menghasilkan output, oleh sebab itu
harga juga ditentukan oleh penyesuaian pasar seperti harga pada periode
sebelumnya (Norwood and Lusk 2008).
6
Berdasarkan latar belakang penelitian maka permasalahan yang perlu dikaji
dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen
di Provinsi Lampung ?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat
produsen di Provinsi Lampung ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian maka tujuan
penelitian ini yaitu:
1. Menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat
produsen di Provinsi Lampung.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung
tingkat produsen di Provinsi Lampung.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini yaitu:
1. Jagung dalam penelitian ini difokuskan pada jagung pipilan.
2. Data yang digunakan dalam analisis transmisi harga yaitu harga jagung tingkat
produsen dan konsumen di Provinsi Lampung.
3. Harga jagung di tingkat produsen yaitu harga transaksi yang terjadi antara
petani jagung dan pedagang pengumpul (tengkulak).
4. Harga jagung di tingkat konsumen yaitu harga jagung eceran yang merupakan
harga transaksi yang terjadi antara pedagang dengan pembeli atau konsumen.
5. Data harga jagung tingkat produsen dan konsumen merupakan data harga
bulanan dari Januari 2009 sampai Desember 2014.
6. Transmisi harga yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu transmisi harga
secara vertikal antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi
Lampung.
7. Transmisi harga asimetri difokuskan pada transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan penyesuaian terhadap perubahan harga.
8. Data penelitian yang diperoleh dari petani dan pedagang pengumpul hanya
digunakan untuk menjelaskan perilaku pasar yang terkait dengan sistem
penentuan harga jagung.
9. Perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga dimaksudkan untuk
menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi dan menjelaskan faktor
pembentukan harga jagung.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu:
1. Transmisi harga dianalisis melalui hubungan harga yaitu antara harga jagung
di tingkat produsen dan konsumen dan biaya transaksi dalam pemasaran
dianggap konstan.
2. Harga jagung impor merupakan harga rata-rata impor yang diperoleh dari nilai
impor dibagi volume impor.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Konsep Efisiensi Pemasaran, Integrasi Pasar, dan Transmisi Harga
Efisiensi pemasaran produk pangan sering digunakan untuk mengukur
kinerja suatu pasar (market performance). Efisiensi pemasaran dibedakan menjadi
2 jenis yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional
menunjukkan situasi yaitu biaya pemasaran dikurangi tanpa harus mempengaruhi
output dari sisi rasio efisiensi (Kohls and Uhl 2002). Indikator yang sering
digunakan untuk menganalisis efisiensi operasional yaitu marjin pemasaran dan
fharmer’s share Asmarantaka (2012). Efisiensi harga menunjukkan kemampuan
sistem pasar dalam mengalokasikan sumber daya dengan efisien dan
mengkoordinasikan kegiatan mulai dari proses produksi sampai pemasaran ouput
sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga tercapai jika: (1) harga
sepenuhnya mewakili preferensi konsumen, sumber daya mengalir langsung dari
yang bernilai guna rendah ke yang bernilai guna tinggi, (3) mengkoordinasikan
kegiatan pembelian dan penjualan dari petani (produsen), lembaga pemasaran
yang terlibat dalam pemasaran, sampai ke konsumen (Kohls and Uhl 2002).
Sistem pemasaran dikatakan efisien jika suatu pasar terintegrasi dengan pasar
yang lain (Heytens 1986). Hall et al. (1981) menambahkan bahwa pemasaran
dikatakan efisien jika perubahan harga dari lembaga pemasaran yang satu segera
(langsung) ditransmisikan ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai
pemasaran. Sebaliknya, Kohls and Uhl (2002) menjelaskan bahwa jika perubahan
harga di suatu pasar misalnya penurunan harga di tingkat petani ditransmisikan
secara lambat dan tidak sepenuhnya ke konsumen maka kondisi ini
mengindikasikan kurang efisien dari segi efisiensi harga.
Integrasi pasar menunjukkan hubungan antara suatu pasar dengan pasar
yang lain dalam perdagangan yang dilihat melalui hubungan harga. Hubungan
harga pada suatu pasar yang terintegrasi dengan pasar yang lain akan berkorelasi
positif dari waktu ke waktu. Integrasi pasar digunakan untuk menggambarkan
seberapa dekat harga suatu komoditas di suatu pasar dengan pasar yang lain akan
bergerak bersama-sama (Heytens 1986). Integrasi pasar terjadi jika pergerakan
harga di suatu pasar dengan pergerakan harga di pasar yang lain saling berkorelasi.
Antara suatu pasar dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi jika harga
komoditas yang homogen di kedua pasar bergerak secara bersama-sama sehingga
mengindikasikan penyebaran informasi harga dan sistem pemasaran efisien (Omar
et al. 2014).
Integrasi pasar dikelompokkan menjadi 2 yaitu integrasi pasar horizontal dan
integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar horizontal (spasial) terjadi jika harga di
suatu pasar dengan harga di pasar yang lain pada lokasi yang berbeda memiliki
korelasi positif dari waktu ke waktu (Heytens 1986). Suatu pasar yang terpisah
secara geografis dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi secara spasial jika
produk dan informasi mengalir bebas di antara kedua pasar tersebut sehingga
perubahan harga produk di suatu pasar akan ditransfer ke pasar yang lain (Fossati
et al. 2007). Jika 2 negara melakukan perdagangan maka harga produk di negara
pengimpor akan sama dengan harga produk di negara pengekspor ditambah biaya
8
transportasi yang dikeluarkan dan harga produk di kedua negara tersebut akan
bergerak bersama-sama sehingga dapat dikatakan kedua pasar terintegrasi secara
spasial (Ravallion 1986). Perubahan harga produk di negara pengekspor akan
menyebabkan perubahan harga produk di negara pengimpor dengan arah yang
sama dan dari tingkat yang sama (Fossati et al. 2007). Integrasi pasar vertikal
digunakan untuk melihat keterkaitan antara lembaga pemasaran yang satu dengan
lembaga pemasaran lainnya yang terlibat dalam satu saluran pemasaran, misalnya
antara tingkat produsen (petani) dan tingkat konsumen (Asmarantaka 2012).
Integrasi vertikal pada produk pertanian yang kompleks merupakan salah satu
faktor yang menentukan struktur pasar dan daya saing produk pertanian (Grega
2003).
Seperti halnya integrasi pasar, transmisi harga juga dibedakan menjadi
transmisi harga spasial dan transmisi harga vertikal. Meyer and von CramonTaubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga spasial terjadi jika
perubahan harga produk yang sama pada suatu level ditransmisikan ke level yang
sama dalam rantai pemasaran tetapi di lokasi yang berbeda. Selanjutnya, von
Cramon-Taubadel (1998) menjelaskan bahwa transmisi harga vertikal yaitu
respon harga pada suatu level terhadap perubahan harga di level yang lain (level
yang berbeda) dalam satu rantai pemasaran, baik perubahan berupa kenaikan atau
penurunan harga. Vavra and Goodwin (2005) menambahkan bahwa transmisi
harga vertikal yaitu respon atau penyesuaian harga di tingkat produsen terhadap
perubahan harga di tingkat pedagang besar dan konsumen atau sebaliknya.
Penyesuaian terhadap perubahan harga di sepanjang rantai pemasaran dari tingkat
produsen ke konsumen atau sebaliknya merupakan karakteristik yang penting dari
fungsi pasar. Transmisi harga vertikal ditandai dengan besaran, kecepatan dan
sifat penyesuaian melalui rantai pasokan terhadap guncangan pasar yang
dihasilkan pada tingkat yang berbeda dalam proses pemasaran. Kecepatan pasar
menyesuaikan diri terhadap guncangan ditentukan oleh tindakan pelaku pasar
yang terlibat dalam transaksi yang terhubung dalam jaringan pemasaran yaitu
pedagang grosir, distributor, dan pedagang pengecer.
Kecepatan perubahan harga ditransmisikan dari tingkat produsen ke tingkat
konsumen atau sebaliknya dari tingkat konsumen ke tingkat produsen (bergantung
arah transmisi harga) dan tingkat penyesuaian terhadap perubahan harga tersebut
merupakan faktor yang penting dalam menggambarkan tindakan pelaku pasar di
tingkat pasar yang berbeda. Selain itu, kecepatan perubahan harga ditransmisikan
dari tingkat produsen ke tingkat konsumen atau sebaliknya bergantung pada jenis
produk. Produk yang mudah rusak dan mengalami pengolahan yang minimal
misalnya sayuran dan buah-buahan diduga memiliki kecepatan transmisi harga
yang relatif lebih cepat. Sebaliknya produk yang mengalami pengolahan tertentu
dan tidak mudah rusak diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang lebih
lambat (Reziti and Panagopoulos 2008).
Konsep Transmisi Harga Asimetri
Transmisi harga asimetri yaitu suatu kondisi yang menunjukkan suatu pasar
merespon secara berbeda antara kenaikan harga dan penurunan harga yang terjadi
di pasar lain (Bailey and Brorsen 1989). Transmisi harga asimetri dikelompokkan
menjadi 3 yaitu (Meyer and von Cramon-Taubadel (2004):
9
1. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
Jika perubahan harga di suatu pasar tidak segera ditransmisikan ke pasar
yang lain maka kondisi ini menunjukkan terjadi transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan (waktu) penyesuaian. Sebaliknya jika perubahan harga di suatu pasar
tidak ditransmisikan secara penuh ke pasar yang lain maka kondisi ini
menunjukkan bahwa transmisi harga berjalan asimetri dari sisi besaran. Transmisi
harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
Gambar 4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
Gambar 4(a) menunjukkan bahwa jika dilihat dari sisi besaran penyesuaian,
terdapat perbedaan respon oleh pout terhadap perubahan harga di Pin baik
perubahan berupa kenaikan dan penurunan harga. Saat terjadi kenaikan harga di
Pin, maka pout akan merespon kenaikan tersebut secara penuh. Artinya kenaikan
harga di pout sama dengan kenaikan harga yang terjadi di pin.. Sebaliknya, saat
terjadi penurunan harga di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Meyer
and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa besarnya respon terhadap
perubahan harga di pin bergantung pada arah perubahan. Transmisi harga asimetri
dari sisi besaran akan menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat
permanen dan besarnya kesejahteraan yang hilang bergantung pada perubahan
harga dan volume transaksi.
Gambar 4(b) menunjukkan bahwa harga di pin mengalami kenaikan saat t1.
Kemudian, pada saat yang sama pout akan segera merespon kenaikan harga
tersebut. Sebaliknya saat terjadi penurunan harga di pin, penurunan harga tersebut
tidak segera direspon oleh pout melainkan memerlukan waktu untuk melakukan
10
penyesuaian sehingga terdapat lag selama n. Oleh sebab itu, penurunan harga
yang terjadi di pin baru akan direspon oleh pout pada saat t1+n. Meyer and von
Cramon-Taubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang bersifat sementara. Besarnya
kesejahteraan yang hilang tersebut bergantung pada panjang interval waktu
transmisi antara t1 dan t1+n, serta perubahan harga dan volume transaksi.
Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan (waktu) dan besaran
penyesuaian pada Gambar 4(c) menunjukkan bahwa kenaikan harga di pin
membutuhkan waktu selama 2 periode untuk ditransmisikan secara penuh ke pout.
Artinya pada waktu t1, kenaikan harga di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke
pout, setelah t2 kenaikan harga di pin ditransmisikan secara penuh ke pout.
Sebaliknya penurunan harga di pin membutuhkan waktu selama 3 periode untuk
ditransmisikan ke pout. Jika dilihat dari besarannya, penurunan harga yang terjadi
di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Transmisi harga asimetri dari sisi
kecepatan dan besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat
sementara dan permanen. Hilangnya kesejahteraan yang bersifat sementara dalam
jumlah besar akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan
hilangnya kesejahteraan yang bersifat permanen dalam jumlah kecil pada saat ini
(Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).
2. Transmisi harga asimetri positif dan negatif
Peltzman (2000) dalam Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
mengelompokkan transmisi harga asimetri menjadi dua yaitu transmisi harga
asimetri positif dan negatif. Transmisi harga asimetri positif dan negatif dapat
dilihat pada Gambar 5.
Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
Gambar 5 Transmisi harga asimetri positif dan negatif
Transmisi haga asimetri positif ditunjukkan pada Gambar 5(a). Transmisi
harga asimetri positif terjadi jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih
sempurna terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga di pin.
Sebaliknya jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih sempurna terhadap
penurunan harga dibandingkan dengan kenaikan harga di pin berarti terjadi
transmisi harga asimetri negatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(b).
11
3. Transmisi harga asimetri vertikal dan spasial
Transmisi harga asimetri vertikal misalnya kenaikan harga di tingkat petani
ditransmisikan lebih sempurna dan lebih cepat ke pedagang grosir dan pedagang
pengecer dibandingkan dengan penurunan harga di tingkat petani. Transmisi
harga asimetri spasial misalnya kenaikan harga di pasar internasional
ditransmisikan sepenuhnya dan lebih cepat ke pasar domestik dibandingkan
dengan penurunan harga di pasar internasional (Meyer and von Cramon-Taubadel
2004).
Konsep Penyebab Transmisi Harga Asimetri
Transmisi harga dari suatu pasar ke pasar yang lain atau dari lembaga
pemasaran yang satu ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai
pemasaran dapat berjalan asimetri karena beberapa faktor. Hall et al. (1981)
menjelaskan bahwa respon harga suatu lembaga pemasaran terhadap perubahan
harga di lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran tidak
berlagsung seketika disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya
penundaan yang disebabkan oleh pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan.
Penyebab lainnya yaitu ketidaksempurnaan pasar seperti kurangnya informasi dan
pasar non kompetitif. Misalnya pedagang pengecer menggunakan market power
yang cukup sehingga kenaikan harga ditransmisikan secara lebih cepat ke
konsumen dibandingkan dengan penurunan harga. Kemudian Bailey and Brorsen
(1989) menyatakan bahwa terdapat 4 kemungkinan penyebab terjadinya transmisi
harga asimetri yaitu adjustment cost yang asimetri, pasar yang terkonsentrasi,
informasi yang asimetri, dan laporan harga yang asimetri. Penjelasan mengenai
penyebab terjadinya transmisi harga asimetri yaitu:
1. Market power
Transmisi harga asimetri sebagian besar terjadi pada struktur pasar non
kompetitif. Transmisi harga asimetri positif atau negatif bergantung pada struktur
dan perilaku pasar. Transmisi harga asimetri positif dapat terjadi karena adanya
market power pada pasar monopoli murni (Meyer and von Cramon-Taubadel
2004). Sebaliknya, Ward (1982) menyatakan bahwa transmisi harga asimetri
negatif dapat disebabkan oleh adanya market power. Hal ini dapat terjadi apabila
perusahaan pada pasar oligopoli tidak mau mengambil risiko kehilangan pangsa
pasar dengan meningkatkan harga output (Meyer and von Cramon-Taubadel
2004). Pada pasar oligopoli, pedagang akan bereaksi lebih cepat terhadap
guncangan berupa kenaikan harga dibandingkan dengan guncangan berupa
penurunan harga sehingga terjadi transmisi harga asimetri dalam jangka pendek.
Pedagang akan bereaksi tidak sepenuhnya terhadap guncangan berupa penurunan
harga sehingga terjadi transmisi harga asimetri dalam jangka panjang (von
Cramon-Taubadel 1998). Tidak terjadinya transmisi harga yang simetri
disebabkan oleh perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang
terkonsentrasi. Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha
mempertahankan kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan
kenaikan dan penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya.
Pedagang lebih mungkin meneruskan penurunan harga di tingkat konsumen
kepada petani dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat konsumen (Vavra
and Goodwin 2005).
12
2. Adjustment cost
Transmisi harga asimetri dapat terjadi akibat adanya adjustment cost yang
sangat tinggi (Karantininis et al. 2011). Adjustment cost muncul saat perusahaan
mengubah jumlah output dan/atau harga input dan/atau harga output. Jika biaya
ini asimetri sehubungan dengan kenaikan atau penurunan jumlah output dan/atau
harga dapat menyebabkan transmisi harga asimetri (Meyer and Cramon-Taubadel
2004). Sejumlah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang untuk menyesuaikan
harga sehingga menyebabkan perubahan harga disebut dengan adjustment cost
(Vavra and Goodwin 2005). Adjustment cost mencakup biaya transportasi (Meyer
and Cramon-Taubadel 2004). Selain itu, misalnya biaya iklan dan pelabelan
(Vavra and Goodwin 2005).
3. Intervensi pemerintah
Intervensi pemerintah juga dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga
asimetri. Misalnya pedagang mungkin melihat kenaikan harga produk pertanian
bersifat permanen yang mungkin telah diantisipasi sebelumnya. Artinya kenaikan
harga tersebut ditransmisikan oleh pedagang dengan lebih cepat dan sempurna
(sepenuhnya) ke konsumen. Sebaliknya pedagang melihat penurunan harga hanya
bersifat sementara sehingga mengakibatkan penurunan harga tersebut
ditransmiskan lebih lambat dan tidak sempurna ke konsumen (Kinnucan and
Forker 1987).
Transmisi harga asimetri yang disebabkan oleh adjusment cost dan market
power memiliki perbedaan yang mendasar yaitu keduanya sama-sama dapat
menyebabkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi transmisi
harga asimetri yang disebabkan oleh market power mampu bertahan dalam jangka
waktu yang lama. Hal ini karena market power tidak hanya berpengaruh dari sisi
kecepatan tetapi juga dari sisi besaran (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).
Sebaliknya adjustment cost yang sangat tinggi terjadi dalam jangka pendek dan
sifatnya hanya menunda penyesuaian harga (Karantininis et al. 2011).
Konsep Metode Analisis Transmisi Harga Asimetri
Menurut Meyer and von Cramon-Taubadel (2004), pengujian transmisi
harga asimetri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu
pendekatan pre kointegrasi (berdasarkan first differences), analisis kointegrasi
(Error Correction Model dan metode threshold), dan metode miscellaneous.
Pengujian transmisi harga asimetri telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli.
Orang yang pertama kali memperkenalkan pengujian transmisi harga asimetri
yaitu Farrell (1952) yang mengestimasi fungsi permintaan irreversible
(irreversible demand functions). Kemudian Tweeten and Quance (1969)
mengestimasi fungsi penawaran irrreversible (irreversible supply functions)
dengan menggunakan teknik pemisahan variabel dummy. Kemudian model
Tweeten and Quance dikembangkan oleh Wolffram (1971) dengan melakukan
teknik pemisahan variabel pada perbedaan pertama (first difference). Model yang
dikembangkan oleh Wolffram (1971) kemudian dimodifikasi lagi oleh Houck
(1977) yang mirip dengan model Wolffram dan juga melakukan pemisahan
variabel pada perbedaan pertama dari kenaikan dan penurunan harga. Kemudian
Ward (1982) melakukan pengembangan lagi terhadap model Houck dengan
menambahkan lag variabel eksogen. Model yang dikembangkan oleh beberapa
13
ahli tersebut kemudian dikelompokkan menjadi teknik pengujian transmisi harga
asimetri yang disebut dengan pendekatan pre kointegrasi.
Von Cramon-Taubadel and Fahlbusch (1996) dalam von Cramon-Taubadel
and Loy (1996) menjelaskan bahwa pengujian transmisi harga asimetri dengan
pendekatan Houck tidak cocok untuk data yang memiliki hubungan jangka
panjang (terkointegrasi). Akan tetapi bukan berarti pengujian transmisi harga
asimetri tidak bisa dilakukan untuk data harga yang terkointegrasi. Oleh sebab itu
ada pendekatan lain yang menggabungkan kointegrasi dengan asimetri yang
didasarkan pada asumsi yaitu antara variabel Pi dan Pj memiliki hubungan jangka
panjang (terkointegrasi) yaitu dengan menggunakan konsep Error Correction
Model.
Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa ahli
ekonometrika telah mengembangkan uji untuk data yang tidak stationer dan
metode yang digunakan untuk menghindari masalah spurious regression yang
umumnya dikenal dengan kointegrasi. Metode ini sangat erat kaitannya dengan
studi transmisi harga asimetri karena banyak data series harga yang tidak stationer
dan rentan terhadap masalah spurious regression. Thomas (1997) menjelaskan
bahwa spurious regression menunjukkan kondisi saat hasil regresi menghasilkan
koefisien regresi yang sangat signifikan dan nilai koefisien determinasinya (R2)
sangat tinggi padahal kedua variabel sama sekali tidak memiliki hubungan.
Spurious yang sempurna akan memberikan hasil yang tidak autentik dan
hubungan kedua variabel tidak memiliki makna atau tidak berarti.
Pengujian transmisi harga asimetri dengan teknik kointegrasi juga telah
banyak dikembangkan oleh beberapa ahli seperti von Cramon-Taubadel and
Fahlbusch (1994) pertama kali melakukan pengujian transmisi harga asimetri
dengan menggunakan pendekatan kointegrasi. Kemudian dikembangkan lagi oleh
von Cramon-Taubadel and Loy (1996) dan von Cramon-Taubadel (1998).
Pengujian transmisi harga asimetri dengan menggunakan teknik kointegrasi ini
dikenal dengan Asymmetric Error Correction Model (AECM). Pada model ini
terdapat error correction term (ECT) yang merupakan lag residual dari persamaan
untuk mengukur penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang di antara
variabel. Kemudian ECT dipisahkan menjadi ECT positif dan ECT negatif.
Pendekatan Error Correction Model (ECM) mungkin hanya dapat
menggambarkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi
transmisi harga asimetri dari sisi besaran menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
respon secara permanen antara kenaikan dan penurunan harga (terjadi dalam
jangka panjang) dan ini hanya terjadi jika data tidak terkointegrasi, sedangkan
Error Correction Model merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang.
Von Cramon-Taubadel and Loy (1996) serta von Cramon-Taubadel (1998)
menjelaskan bahwa jika hubungan antara dua harga misalnya Pi dan Pj
terkointegrasi, berdasarkan teorema Granger (Engle and Granger 1987) maka
bentuk Error Correction Model yaitu:
ΔPi,t β0 β1 ΔPj,t β2 ECTt 1 B3 LΔPi,t 1 B4 LΔPj,t 1 εt 1.1
ECTt 1 Pi,t 1 α 0 α 1 Pj,t 1 1.2
14
Keterangan:
Pi
= Harga di pasar i
Pj
= Harga di pasar j
ECT = Error Correction Term
(L)
= Polynomial lags
Kemudian von Cramon-Taubadel and Loy (1996) mengembangkan Error
Correction Mod