Analisis Penulis SANKSI BAGI PENGHULU ILEGAL
Sebagaimana dikutip dalam pembahasan diatas mengenai pasal 3 ayat 2 dan ayat 4, maka jelaslah bagi seseorang yang tidak mempunyai kewenangan
dan atau bagi penghulu resmi yang menyalahi kewenangan peraturan perundang- undangan yang berlaku terkena sanksi hukum.
Dalam pasal 3 ayat 2 tersebut mengisyaratkan bagi penghulu resmi yang mempunyai kewenangan agar menghindari terjadinya praktek-praktek pernikahan
yang tidak sesuai ketentuan Negara maupun ketentuan Agama, yang sudah jelas mengatur dan melindungi setiap warga negara. Misalnya pernikahan sirri, tidak
tercatat, perkawinan di bawah umur, perkawinan di bawah ancaman kekerasan, menikahkan pasangan poligami yang tidak mendapat izin dari Pengadilan Agama,
pasangan kawin kontrak, pasangan nikah sejenis, dan lain sebagainya. Sanksi pidana yang dimaksud dalam pasal 3 ayat 4 tersebut ditujukan
bagi para penghulu yang memungut bayaran melebihi dari ketentuan yang dipatok oleh Departemen Agama. Sehingga apabila ada penghulu yang melakukan hal
tersebut, maka orang tersebut bisa dijerat dengan sanksi pidana yang dimaksudkan dalam Undang-undang tersebut.
Kualifikasi sanksi dalam pasal 3 ayat 2 dan ayat 4 tersebut terbagi kedalam dua bagian, yang pertama terkait dengan denda dan yang kedua terkait
dengan kurungan. Terkait dengan denda, kalau kita bandingkan antara kurun waktu tahun 1954 dan tahun 2014, nilai denda Rp. 100,- ini tidak ada nilai dan
harganya. Sehingga perlu adanya penyesuaian dengan kondisi perekonomian sekarang ini.
Terkait dengan penyesuaian nilai rupiah dalam Undang-undang No. 22 tahun 1946 tersebut, harus berpedoman pada SEMA No. 04 Tahun 1970 tentang
Penegasan Mahkamah Agung Mengenai Pembayaran Uang Menurut Nilai Uang Lama. Peraturan terbaru Mahkamah Agung Mengenai penyesuaian nilai rupiah
diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Kedua aturan tersebut
mensyaratkan, bahwa Mahkamah Agung melakukan penyesuaian nilai uang yang sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu berdasarkan nilai harga
emas sekarang ini. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan penegak hukum khususnya hakim, memberikan keadilan terhadap perkara yang diadilinya.
Yang menarik dari PERMA No. 2 Tahun 2012 ini adalah, bahwa bukan rahasia umum harga emas akan selalu naik dari tahun ketahun, msialnya saja
perbandingan nilai emas pada tahun 1960 dengan tahun 2012 adalah 10.077 kali lipat, Mahkamah Agung berpendapat bahwa untuk mempermudah penghitungan
maka menetapkan kenaikan nilai rupiah tersebut tidak dikalikan 10.077 namun cukup 10.000 kali.
Oleh karena itu dapat kita asumsikan terkait denda bagi penghulu ilegal dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946, yang besarannya yaitu Rp. 100,-
dengan asumsi bahwa harga emas pada waktu itu adalah Rp. 2gram, maka denda bagi penghulu ilegal adalah seharga 50 gram emas. Apabila kita analogikan
dengan harga emas pertahun ini, maka pada tahun 2013 adalah Rp. 500.000gram,
maka total denda bagi penghulu ilegal adalah Rp. 25.000.000 dua puluh lima juta rupiah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 ini sebenarnya sudah out of date ketinggalan jaman, namun sampai
sekarang kenyataannya memang belum ada undang-undang terbarunya, kebijakan legislatif pengaturan terkait dengan sanksi bagi penghulu ilegal belum ada norma
yang mengaturnya dalam suatu undang-undang khusus, namun kekosongan hukum tersebut menemui titik terang dengan adanya RUU Hukum Materil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Sejatinya usaha kearah pembentukan Undang-undang perkawinan telah
dimulai semenjak tahun 1950 dengan Surat Putusan Menteri Agama No. B24299 tanggal 1 Oktober 1950 dengan membentuk panitia penyidik peraturan
hukum perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan. Setelah mengalami bebarapa kali perubahan personalia, maka pada
tanggal 1 April 1961 di bentuk panitia baru yang di ketuai oleh Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto.
4
Kelahiran RUU HMPA Bidang Perkawinan tersebut didasarkan atas niatan untuk menaikkan status Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam KHI menjadi Undang-Undang. Niatan tersebut dilatar belakangi absennya Instruksi Presiden dalam hierarki Peraturan Perundang-
4
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 116. Lihat juga Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Jakarta:Bulan Bintang, 1981, h. 9
undangan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Absennya Instruksi Presiden tersebut tentu menimbulkan rasa cemas bagi Peradilan Agama. Karena selama hampir 20 tahun, KHI menjadi amunisi para
Hakim Peradilan Agama ketika akan memutus perkara yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang melibatkan umat muslim.
Perkembangan baru mengenai Undang-undang Perkawinan akan terwujud dengan disiapkannya RUU HMPA sehingga akan terjadi perubahan yang
signifikan dalam peraturan peundang-undangan bidang perkawinan. Salah satu perubahannya adalah mengenai sanksi pidana bagi pelanggarnya. Ketentuan
Pidana dimaksud diatur dalam Pasal 143 sampai Pasal 154 RUU HMPA, yang terkait dengan:
a Pelaksanaan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah
b Perkawinan mut’ah, perkawinan poligami tanpa izin pengadilan
c Penceraian isteri tidak didepan sidang pengadilan
d Perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga hamil
sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya e
Pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah f
Siapapun yang bertindak sebagai Pejabat Pencatat Nikah danatau wali hakim g
Siapapun yang tidak berhak sebagai wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah. Pidana yang dikenakan kepada pelaku tindak
pidana diatas ada yang berupa pidana denda, pidana kurungan, danatau pidana
penjara, yang penindakannya didasarkan pada laporan masyarakat atau pihak- pihak yang berkepentingan, setelah melalui penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Yang menarik dari RUU HMPA Bidang Perkawinan ini adanya sanksi
pidana bagi para pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah sirri, poligami, maupun nikah kontrak. Terkait dengan penghulu yang melanggar
kewajibannya sebagai seorang penghulu, maka sanksi pidananya diatur dalam pasal 148, rumusan pasal tersebut adalah:
“Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama satu tahun
atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- dua belas juta rupiah”.
Sedangkan bagi seorang yang bertindak seolah-olah sebagai penghulu, atau wali hakim, maka ketentuannya diatur dalam pasal 149 berikut:
“Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan atau wali hakim sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun”.
Ketentuan pidana dalam RUU tersebut terbagi kedalam dua bagian, pertama terkait dengan Pelanggaran Pasal 143, 145, 146, 148, dan kedua terkait
dengan Tindak Pidana Kejahatan Pasal 144, 147, 149, 150. Penghulu yang melanggar kewajibannya termasuk dalam jenis pelanggaran, yang dilarang pada
pasal 148 ini adalah bagi Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya untuk mencatat menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Sedangkan pasal 149 termasuk pada tindak pidana kejahatan, yang dilarang dalam Pasal ini adalah orang yang melakukan kegiatan seolah-olah
sebagai Pejabat Pencatat NikahPenghulu. Bertindak sebagai wali hakim yang sebenarnya ia tidak berhak.
Terkait dengan kepenghuluan khususnya, akhir-akhir ini timbul persoalan tentang gratifikasi bagi penghulu, terkait dengan persoalan gratifikasi ini
menimbulkan beragam tanggapan dari berbagai kalangan, juga dari penghulu sendiri. Di daerah jawa timur, 661 penghulu dalam Forum Komunikasi Kepala
Kantor Urusan Agama FKK-KUA se-Jawa Timur berdemo, bahkan demo ini menjalar di daerah Kuningan Jawa Barat. Para penghulu menolak pernikahan di
luar balai nikah KUA alias menolak panggilan menikahkan calon mempelai di masjid atau di rumah.
Dalam masyarakat kita terkait dengan pelaksanaan perkawinan memiliki Pakem-pakem tertentu yang dianggap sakral oleh masyarakat, sehingga perlu
waktu khusus, hari khusus atau bahkan tempat khusus. Kepercayaan inilah yang menimbulkan pemaksaan terhadap PPNPenghulu untuk bekerja ekstra diluar hari
dan jam kerja, serta memicu keengganan masyarakat untuk menikah di balai nikah KUA, padahal KUA tidak memiliki Mata Anggaran untuk transportasi
PPNPenghulu yang menghadiri akad nikah di luar balai Nikah KUA, sehingga
pihak calon pengantin harus menyediakan sendiri anggaran transportasi PPNPenghulu yang menghadiri akad nikahnya.
Menarik untuk dipertanyakan, transport yang diterima oleh PPNPenghulu selain yang sudah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan PP Nomor 51 Tahun
2000 jo. PP 47 tahun 2004 jo PMA Nomor 11 Tahun 2007 yang ditetapkan sebesar Rp. 30.000 per peristiwa itu termasuk dalam kategori gratifikasi?
Pengertian gratifikasi merujuk pada Penjelasan Pasal 12B Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, bahwa: “Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”. Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat 1 di atas, kalimat yang
termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari
penjelasan pasal 12B Ayat 1 juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif
dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12 B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu
bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12 B saja.
Gratifikasi dapat masuk dalam kategori tindak pidana korupsi yakni suap, Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi tindak pidana korupsi, perlu dilihat
rumusan Pasal 12 B Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, ....” Berdasarkan rumusan diatas, maka gratifikasi atau pemberian hadiah
berubah menjadi perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah apabila Penyelenggara Negara atau Pegawai
Negeri tersebut menerima gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian itu diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun
pekerjaannya. Praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak
dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu-rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai NegeriPenyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi
yang dapat dianggap suap. Memberikan hadiah kepada orang lain adalah perbuatan yang baik dan terpuji, dalam Islam pun mengajarkan untuk saling
memberi kepada sesama. Sudah menjadi kebiasaan yang berkembang di masyarakat kita adalah
pemberian tanda terima kasih atas jasapelayanan yang telah diberikan oleh PPNpenghulu, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang sebagai pengganti
transport. Hal ini sebetulnya dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi
korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri yang dalam hal ini PPNPenghulu, apabila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatankewenangan yang dimiliki serta dapat dianggap
suap, maka sebaiknya dihindari. Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik pelaku
pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana. Dalam pasal 5 disebutkan :
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama
5 lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 250.000.000,00 dua ratus lima puluh
juta rupiah setiap orang yang: a.
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Kemudian lebih lanjut, dalam pasal 12 disebutkan : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 satu miliar rupiah: a.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; Sebetulnya permohonan pelaksanaan akad nikah diluar balai nikah KUA
dapat ditolak oleh PPNKepala KUA yang memiliki kewenangan berdasarkan PMA 11 tahun 2007 pasal 21 yang menyatakan pada ayat 1 Akad Nikah
dilaksanakan di KUA. Pada ayat 2 Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.
Sesuai dengan aturan tersebut seharusnya Kepala KUA selaku PPN mempertimbangkan locus wilayah kerja yang dihadapi sebelum mengabulkan
permohonan akad nikah diluar balai nikah, namun apakah masyarakat kita benar- benar sudah siap jika pelaksanaan akad nikah semuanya diwajibkan dibalai nikah
KUA? penulis menilai akan terjadi gejolak besar di masyarakat apabila pelaksanaan akad nikah diwajibkan dibalai nikah KUA, mengingat masyarakat
kita memiliki kultur budaya serta pakem-pakem khusus terkait pernikahan. Pemerintah
juga seharusnya
menganggarkan biaya
transportasi PPNPenghulu yang menghadiri akad nikah di luar balai nikah KUA dengan
system dan metode pembayarannya tertentu, sebagaimana dalam kaidah ushul :
Sudah seyogyanya apabila pemerintah memerintahkan sesuatu, maka juga harus memerintahkan sesuatu yang muncultimbul dari perintah itu, jadi apabila
pemerintah dalam aturannya masih membuka celah untuk pelaksanaan akad nikah di luar balai nikah KUA maka pemerintah juga harus mempersiapkan segala
sesuatu yang timbul dari perintah itu yakni transportasi untuk PPNPenghulu, apabila tidak, maka sebetulnya pemerintah telah melakukan kedzaliman dengan
membebankan biaya transport kepada PPNPenghulu yang menghadiri akad nikah
atau membebankannya kepada calon pengantin sehingga sama halnya dengan melegalkan praktek gratifikasi atau pungli.
Problem tersebut akan dapat diatasi dengan baik jika pengambil kebijakan mempunyai ide cemerlang yang yang dituangkan serta diramu dalam regulasi
perundangan yang jelas yang dapat menyejukkan semua pihak, baik untuk PPN, Penghulu maupun masyarakat.