Alternatif pengganti paving semen dari batu kapur guna meningkatkan area resapan air di perkotaan

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

BRICKPORI : ALTERNATIF PENGGANTI PAVING SEMEN
DARI BATU KAPUR GUNA MENINGKATKAN AREA RESAPAN AIR DI
PERKOTAAN

BIDANG KEGIATAN :
Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian

Disusun oleh :
NAMA

NRP

TAHUN MASUK

I Made Teguh Wirayudha

A14090012

2009


Dhaniyanto Mayrendra Rasyid

C24080053

2008

I Gede Mahendra Wijaya

C54080004

2008

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
1

HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan


: Brickpori : Alternatif Pengganti Paving Semen dari
Batu Kapur Guna Meningkatkan Area Resapan Air di
Perkotaan

( √ ) PKMP
( ) PKMK ( ) PKMKC
( ) PKMT
( ) PKMM
Bidang Ilmu
: ( ) Kesehatan
( ) Pertanian
( ) MIPA
( √ ) Teknologi dan Rekayasa
( ) Sosial Ekonomi ( ) Humaniora
( ) Pendidikan
Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap
: I Made Teguh Wirayudha
b. NIM

: A14090012
c. Jurusan
: Manajemen Sumber Daya Lahan
d. Universitas/Institut /Politeknik
: Institut Pertanian Bogor
e. Alamat Rumah dan No Tel./HP : Dramaga Regency A no 3
081804994565/081999186095
f. Alamat email
: Hendra040590@yahoo.com
Anggota Pelaksana Kegiatan
: 2 orang
Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar
: Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si.
b. NIDN
: 0021106704
c. Alamat Rumah dan No Tel./ HP : Ciampea, Bogor
08128431454
Biaya Kegiatan Total
DIKTI

: Rp 9.068.000
Sumber Lain
: Jangka Waktu Pelaksanaan
: 4 Bulan

2. Bidang Kegiatan :
3.

4.

5.
6.

7.

8.

Bogor, 20 Agustus 2013

2


I

PENDAHULUAN

Latar belakang masalah
Air yang mencapai dua per tiga bagian permukaan bumi jumlahnya tidak
pernah berubah, hanya bentuknya berubah dalam siklus hidrologi yang terusmenerus, yakni air di daratan-air laut-uap air-air hujan). Tetapi perlu diperhatikan
dari seluruh air yang terdapat di muka bumi, 97,5% diantaranya merupakan air
asin yang terdapat di laut. Dan hanya 2,5% saja yang berupa air tawar. Dari
jumlah 2,5 persen air tawar (freshwater) yang dimiliki bumi pun hanya sebanyak
0,4 persen yang terdapat di permukaan tanah (surface) dan atmosfir (atmospheric
water). 0,4 persen air tawar inilah yang sering diperebutkan dan dikonsumsi oleh
milyaran penduduk bumi. Selebihnya berupa glasier (gletser; bongkahan es) yakni
sebesar 68,7%, ada pula yang tersimpan di dalam tanah dalam bentuk airtanah
(groundwater) sebesar 30,1 % dan sebanyak 0,8% tersimpan dalam bentuk tanah
beku (permafrost).
Kecilnya komposisi air tawar yang bisa kita konsumsi, serta
daya renewable (perbaharuan) air yang sangat lama (Kecepatan renewable air
adalah sepuluh pangkat minus dua cm per detik). Dengan kecepatan itu

dibutuhkan waktu hingga beberapa generasi bagi air untuk memperbaharui
dirinya), maka sudah saatnya kita menjadi bijak dalam menggunakan air.
Langkah-langkah seperti membuat sumur resapan atau menabung air hujan dapat
dijadikan alternative dalam menjaga ketersediaan air bersih demi kehidupan kita
dan generasi penerus kita kelak.
Jumlah air yang ada didunia sebenarnya tidak berubah, namun wujudnya
saja yang berubah dan memiliki jumlah tertentu. Secara umum siklus air dimulai
dari penguapan air laut yang kemudian menjadi awan, awan akan tertiup oleh
angin lalu terkumpul dan menjadi hitam, awan hitam inilah yang kemudian
terkondensasi menjadi hujan yang jatuh kedaratan ataupun kelautan. Air hujan
yang jatuh ke daratan ada yang masuk ketanah kemudian disimpan didalam tanah
ada juga yang masuk kedalam tanah lalu mengalir pada sungai bawah tanah, air
akan mengalir ke sungai, ada yang menguap dan ada juga yang kembali kelautan.
Air hujan yang jatuh pada hutan hujan tropis akan membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk kembali kelautan. Pada hutan hujan tropis, air yang jatuh
membutuhkan waktu untuk menyentuh dan meresap kedalam tanah. pasalnya air
yang jatuh akan ada yang tertahan di daun, batang dan humus-humus yang
menutupi tanah. air yang masuk kedalam pori-pori tanah dan ada yang tersimpan
ada pula yang mengalir pada sungai bawah tanah. air yang tidak masuk kedalam
tanah akan mengalir ke sungai, masuk kedanau dan ada juga yang menguap.

Dengan keadaan seperti ini air hujan akan membutuhkan waktu yang lama untuk
masuk kedalam sungai yang pada akhirnya terakumulasi di laut dan mengalami
siklus yang terus-menerus.
Laju pertambahan penduduk yang semakin cepat tentu berpengaruh pula
pada meningkatnya kebutuhan akan air bersih. Padahal ketersediaan air di muka
bumi ini sangat terbatas menurut ruang dan waktu, baik secara kuantitas maupun
secara kualitas. Penggunaan air tanah merupakan salah satu alternatif yang
dilakukan manusia guna memenuhi kebutuhan akan air, baik untuk kebutuhan
rumah tangga maupun kebutuhan industri. Masalah yang kemudian muncul adalah

3

penyedotan air tanah secara besar-besaran dapat mempengaruhi kualitas
lingkungan, dalam hal ini air dan permukaan tanah.
Percepatan laju pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi
lingkungan berakibat semakin besarnya air larian yang akhirnya mempengaruhi
jumlah air tanah. Berkurangnya tanah sebagai daerah resapan air serta pohonpohon yang menahan air mendukung semakin besarnya volume air larian. Air
tersebut menggenang di permukaan dalam jumlah yang berlebihan, yang kita
sebut banjir.
Terdapat beberapa penyebab yang menjadikan banjir di Jakarta sering kali

terjadi selain climate change dan kebiasaan masyarakat membuang sampah
sembarangan, banjir juga disebabkan oleh berkurangnya daerah resapan air di
daerah bogor. Penurunan daerah resapan air salah satunya diakibatkan oleh
maraknya pembangunan perumahan atau vila di daerah resapan air. Bogor yang
memiliki wilayah yang sangat indah dan dekat dengan Jakarta menjadi daya tarik
bagi warga Jakarta untuk mendirikan tempat istirahat. Pengembang perumahan
khususnya di wiliyah bogor sangat gencar melakukan promosi dan pembangunan
secara besar-besaran. Dengan adanya pembangunan perumahan ini dikhawatirkan
akan semakin mengurangi daerah resapan air yang entah seperti apa dampak
kedepannya. Survei yang dilakukan oleh Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) di
tahun 2001 menyebutkan bahwa perumahan di wilayah Bogor umumnya lebih
banyak berfungsi sebagai rumah kedua.
Wilayah Bogor yang memiliki curah hujan tinggi sebesar 3.201,8 mm per
tahun menyebabkan hampir setiap hari turun hujan dalam setahun (70%) sehingga
dijuluki sebagai "Kota Hujan". Wilayah Bogor sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan air warga Jabotabek, bisa dikatakan apabila dengan semakin
berkurangnya daerah resapan air di bogor maka krisis air akan terjadi di wilayah
jabodetabek tersebut. Oleh sebab itu dibutuhkan sejumlah tindakan efektif untuk
dapat menanggulangi dan mengantisipasi dari berkurangnya area resapan air yang
ada.

Berdasarkan atas sejumlah hal tersebut, maka dengan ini penulis
mengembangkan sebuah inovasi berupa brickpori sebagai alternatif pengganti
paving semen dari batu kapur yang berguna untuk meningkatkan area resapan air
di perkotaan.
Perumusan masalah
Adapun sejumlah masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
 Apa urgensi dari daerah resapan air?
 Bagaimana upaya konservasi daerah resapan air?
 Apakah brickpori efektif meningkatkan dan mempertahankan daerah
resapan air di perkotaan?
 Kenapa paving (betonisasi) semen di perkotaan perlu diganti
menggunakan brickpori?
 Bagaimana proses pembuatan brickpori ini dan apa kelebihannya?
Tujuan

4

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji seberapa efektifnya
penggunaan brickpori dalam meningkatkan dan membantu mempertahankan

sistem drainase pada daerah resapan air, khususnya dalam penerapannya di
perkotaan dengan mengganti paving menjadi brickpori.
Luaran yang diharapkan
Luaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebuah model pembuatan
sistem drainase baru pengganti paving semen yaitu berupa brickpori dengan
bentuk persegi panjang dan tersusun secara sistematis menyerupai keramik
dengan memiliki dimensi 60x60x60 cm.
Kegunaan
a) Bagi Pemerintah
Pemerintah dapat menggunakan hal ini (Brickpori) di perkotaan terutama
di sentra penting, padat penduduk, daerah rawan banjir dengan hanya mengganti
sejumlah areal paving semen menggunakan brickpori yang lebih ramah
lingkungan serta mampu mempertahankan sistem drainase air guna meningkatkan
daerah resapan air. Hal ini tentunya seperti di daerah Jakarta yang sangat rawan
banjir, penggunaan brickpori ini akan mampu mengurangi titik-titik rawan banjir
dengan fungsi sistematis yang di desain untuk dapat tetap mempertahankan daerah
resapan air.
b) Bagi mahasiswa
Penelitian ini merupakan salah satu hal yang dapat memberikan sejumlah
kompleksitas ilmu yang didapatkan selama mengikuti kegiatan perkuliahan di

kampus. Mahasiswa dapat mendesain sejumlah ide dan gagasan dari konsep baru
berupa brickpori yang lebih efisien serta ramah lingkungan dan berguna untuk
meningkatkan daerah resapan air di perkotaan.
c) Bagi Masyarakat
Output atau luaran dari penelitian ini dapat digunakan secara luas oleh
masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar sebagai pengganti paving
semen yang selama ini tidak efisien dan sangat tidak konservatif dalam
mempertahankan sistem drainase air sehingga sangat rawan terhadap bencana
banjir.
II

TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme Distribusi Hujan
Distribusi hujan dalam daur hidrologis, secara rinci diilustrasikan pada Gambar-1
(halaman berikut). Air hujan yang meresap kedalam tanah, melalui dua tahapan
yaitu infiltrasi, dan perkolasi. Infiltrasi merupakan proses meresapnya air ke
lapisan tanah, dan dalam perjalanannya (perkolasi) ada yang sebagian
menyimpang kearah samping menjadi air rembesan, sedangkan lainnya menuju ke
arah air bawah tanah (ground water). Kemampuan vegetasi dasar, dan kondisi
lapisan top soil yang kaya dengan bahan organik dan humus, sangat efektif dalam
meresapkan air kedalam tanah. Berbeda halnya dengan proses perkolasi yang

5

sangat ditentukan oleh struktur dan tektur tanah, dan bukan oleh jenis tanahnya.
Lapisan tanah pada horizon A, dan B (zona perakaran tumbuhan), dengan
kandungan pasir tinggi, memiliki porositas dan premabilitas yang tinggi dalam
melajukan air kedalam tanah. Proses perembesan kearah samping, terjadi karena
kurang mampunya sistem perakaran dalam menahan dan menjerap air.

Gambar 1. Ilustrasi Daur Hidrologis.
Secara matematis bahwa debit air perkolasi (Y), merupakan faktor dari
variabelvariabel besaran intensitas hujan (X1), porositas dan premabilitas tanah
(X2), konfigurasi lapang (X3), olah tanah (X4), dan penutupan vegetasinya (X5).
Kemampuan manusia sangat tidak mungkin dalam mengatur alam (hujan, sifat
fisik tanah, dan konfigurasi lapang), bahkan aktivitas terhadap olah tanah maupun
perlakuan terhadap vegetasi alam, menyebabkan terdegradasinya lahan. Padahal
vegetasi merupakan kunci masuknya air kedalam tanah.
Mencermati efektifitas proses masuknya air kedalam tanah, ada dua faktor
utama yaitu tutupan vegetasi dan struktur tanahnya. Dengan demikian
terdegradasinya tata air di pulau Jawa yang kini telah menunjukkan ketidak
seimbangan antara potensi ketersediaan air tanah pada musim kemarau dan
penghujan, ada kecenderungan disebabkan oleh tutupan vegetasi dan perubahan
struktur tanahnya.
Pada musim kemarau hampir semua sungai kering (Ciujung, Ciliwung,
Cimanuk, Citanduy, Serayu, Progo, Bengawan Solo, dan Brantas). Namun
sebaliknya pada musim penghujan dimana-mana muncul kelebihan air bahkan
banjir, khususnya di muara-muara sungai. Hasil penelusuran terhadap daur
hidrologi (global), pada beberapa DAS bagian hulu, di pulau Jawa secara rinci
disajikan pada tabel berikut.
Tabel-1. Daur Hidrologis Beberapa DAS Bagian Hulu di Pulau Jawa

Sumber : Penelitian Jurusan geografi FMIPA-UI (1994, 1997 dan 1999).
Mencermati tabel di atas, potensi sumber air memiliki kisaran yang sama, dan
besaran volume hujan tergantung luas tangkapannya. Terhadap besaran infiltrasi
(Ciliwung) menunjukkan nilai terendah, demikian halnya dengan distribusi lainlain. Besaran evapotranspirasi nampaknya juga memperlihatkan kemampuan yang
hampir seragam. Namun sebaliknya terhadap besaran air limpasan, bahwa
Ciliwung dan Serayu menunjukkan potensi lebih tinggi dibanding kedua sungai
lainnya. Kondisi ini nampaknya dipengaruhi oleh distribusi besaran lain-lain,

6

dimana Citanduy dan Brantas menunjukkan nilai lebih besar. Besaran lain-lain,
berdasarkan analisis nampaknya >70% terdistribusi sebagai air intersepsi
(vegetasi dan canopi bangunan). Dengan demikian untuk meningkatkan besaran
infiltrasi dan menekan laju limpasan air kata kuncinya adalah pengaturan
penutupan vegetasi dan lantai bangunan sebagai salah satu tindakan alternatifnya.
Karakteristik Daerah Resapan Air
Berdasarkan karakteristiknya litologinya, daerah resapan potennsial secara
spesifik ditandai oleh jalur-jalur biru yang merupakan satuan batuan, terbentuk
akibat evolusi bumi pada zaman tersier (200 juta tahun lalu), dan dikenal sebagai
alur-alur endapan alluvial sungai purba. Endapan ini memiliki ketebalan ± 10
meter, terdiri atas batuan pasir, lempung, dan lanau, yang sangat poros terhadap
pekolasi air. Alur-alur biru (sungai purba) berdasarkan bentang alamnya, lebih
mendominansi wilayah cekungan (lembah), dan secara alami memiliki ciri (a)
kondisi tanahnya yang poros, (porositas dan premabilitas tinggi), (b)
berkemampuan dalam meresapkan air (infiltrasi) kedalam tanah, serta (c)
perbedaan air tanah dangkal yang relatif mencolok pada musim kemarau dan
penghujan.
Dengan demikian, pemahaman makna daerah resapan dalam hamparan
bentang alam, paling tidak ada lima unsur utama sebagai penciri yang harus
dipenuhi yaitu: (a) kondisi tanahnya poros, (b) kemampuan dalam meresapkan air,
(c) memiliki perbedaan tinggi air tanah dangkal, dan (d) berada pada wilayah
dengan curah hujan cukup tinggi >2500 mm/tahun, serta (e) berpenutupan
vegetasi dengan sistem perakaran dalam serta memiliki strata (pelapisan) tajuk
dan tumbuhan bawah. Porositas dan premabilitas tanah, dipengaruhi oleh struktur
dan tektur tanahnya; dimana kandungan pasir dalam tanah sangat menentukan.
Semakin tinggi kandungan pasir dalam tanah, maka kesarangan tanah akan
semakin tinggi, dan berarti akan memacu terhadap peresapan air kedalam tanah,
termasuk laju perkolasimya.
Perbedaan (delta) tinggi/rendahnya air tanah dangkal pada musim kemarau
dan penghujan, dimaksudkan sebagai bukti adanya sirkulasi tata air baik kearah
samping maupun kearah dalam. Aliran sirkulasi kearah samping berperan untuk
mensuplai daerah sekitarnya (sumur), dan atau daerah yang air tanahnya lebih
dalam, sedangkan kearah dalam erat kaitannya dengan suplai air ke persediaan air
bawah tanah atau air tanah dalam (ground water). Pentingnya daerah yang
memiliki curuh hujan tinggi, dimaksudkan agar potensi air yang dapat
dimanfaatkan masuk kedalam tanah cukup besar. Adapun penutupan vegetasi
dengan strata tajuk, sistem perakaran dalam, dan vegetasi dasar, memiliki peranan
fungsi sebagai bio-filter baik terhadap sifat fisik-kimia tanah dan air, maupun
kemampuannya dalam mengendalikan besaran laju air limpasan.
Neraca Air
Neraca air menunjukkan hubungan antara komponen-komponen siklus
hidrologi yang dapat dinyatakan sebagai suatu persamaan sebagai berikut.
P = R+T+E+I+S
Dimana :
P

: Curah hujan

7

R
ET
I
S

: Limpasan (Run-off)
: Evapotranspirasi
: iInfiltrasi
: Cadangan air tanah

Gambar 2. Konsep Neraca Air.
Infiltrasi Air Tanah
Proses masuknya air hujan ke dalam lapisan permukaan tanah dan turun ke
permukaan air tanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi pertama-tama
diabsorpsi untuk meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun ke
permukaan air tanah dan mengalir ke samping. Dalam beberapa hal tertentu,
infiltrasi itu berubah-rubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi
setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung sesuai dengan
kecepatan absorpsi maximum setiap tanah yang terkait.
Kecepatan infiltrasi yang berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah
hujan umumnya disebut laju infiltrasi. Laju maksimum yang terjadi pada suatu
kondisi tertentu disebut dengan kapasitas infiltrasi (f). Kapasitas infiltrasi
memiliki nilai yang berbeda-beda tergantung dari kondisi permukaan tanah,
struktur tanah, tumbuhan, suhu, dan lain-lain.

Gambar 3. Laju Infiltrasi Air Tanah.
F = fc + (f0 – fc) e-kt
Dimana rumus ini berlaku apabila i > f
f
fc
f0

: Kapasitas infiltrasi saat waktu t
: Nilai infiltrasi setelah mencapai nilai grafik konstan
: Kapasitas infiltrasi saat mulai
8

k
t

: konstanta
: waktu

Aspek Pengelolaan Kawasan Resapan Air
Aplikasi pengelolaan kawasan resapan air dan pengembangan ekosistem perairan
pada dasarnya harus dirancang secara jelas, melalui penyusunan rencana tapak,
sebagai langkah awal. Penyusunan rencana tapak ini dimaksudkan sebagai
penjabaran dari rencana detail ruang berdasarkan hasil penyerasian antara IPR dan
kondisi eksis pada kawasan-kawasan strategis yang memiliki potensi sumberdaya
air yang perlu dipertahankan; dipaduserasikan dengan Rencana Rinci Tata Ruang
Wilayah (RRTRW).
Mencermati belum tersedianya data IPR wilayah DKI Jakarta, seyogianya
dapat diantisipasi melalui pemaduserasian berdasarklan potensi tata air tanahnya.
Demikian halnya terhadap pengembangan kawasan ekosistem perairan (situ-situ),
pengukuhan kawasan menjadi syarat mutlak untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya okupasi. Langkah berikutnya, perlu dukungan atas peranan fungsi jasa
penutupan vegetasi; selain berfungsi sebagai penyaring (filter) baik sifat fisik
maupun kimia air dan tanah, juga merupakan penopang dan dukungan nilai-nilai
estetika pengembangan ekosistem perairan yang erat kaitannya dengan siklus
geohidrologi tata air resapan.
Didasari atas konsepsi dasar pengelolaan kawasan resapan air dan
pengembangan lingkungan situ-situ secara terpadu berkelanjutan, seperti uraian di
atas, dengan memperhatikan aspek daya dukung fisik wilayahnya, untuk itu dalam
perencanaan pengelolaannya perlu memperhatikan beberapa aspek yang erat
kaitannya dengan keterpaduan, kelembagaan dan pendanaannya.
Studi Kasus Pengelolaan Daerah Resapan DKI Jakarta
Wilayah DKI Jakarta tercatat 65.000 ha, berdasarkan karakteristik kondisi
fisik bentang alamnya tercatat ± 43,53% (28.300 ha) yang dinilai efektif sebagai
daerah resapan air. Wilayah ini memiliki kisaran curah hujan antara 2000 dan
2.500 mm/tahun, prorositas dan premabilitas tanahnya mampu mendukung
terhadap distribusi air kedalam tanah (infiltrasi), serta mampu mendukung
kebutuhan air tanah dangkal lebih dari 5 juta penduduk.
Hamparan kawasan resapan air berdasarkan proses terbentuknya
(pesesaran) pada masa meosen awal, merupakan hamparan bentuk medan mulai
dari Bogor-Depok hingga sebagian Wilayah DKI Jakarta.
Menurut Waryono (2000), wilayah resapan potensial di wilayah DKI
Jakarta, meliputi Wilayah Kotamadya, Jakarta Selatan (87,72%), Jakarta Timur
(64,34%), Jakarta Barat (23,78%), dan Jakarta Pusat (7,21%). Lebih jauh
dikemukakan bahwa karakteristik kawasan resapan ini dicirikan oleh pengaruh air
permukaan dangkal, bersumber dari air hujan, dan laju besaran air perkolasi yang
tersimpan pada zona ground water (air tanah dalam). Hasil penelitian Waryono
(2000), yang dilakukan secara acak pada beberapa lokasi di sekitar bantaran
sungai (wilayah kikisan) DKI Jakarta, tercatat besaran hujan rata-rata 2.100
mm/tahun, terdistribusi menjadi evapotranspirasi (12,04%), infiltrasi (10,35%),
dan air limpasan (77,61%).
Telaah lebih jauh menginformasikan bahwa kenaikan dan penurunan daur
hidrologis di wilayah kikisan DKI Jakarta, selama kurun waktu 10 tahun
disebabkan meningkatnya alih fungsi penggunaan tanah untuk kepentingan

9

pengembang permukiman 4,97% dari luas wilayah kikisan. Terganggunya
peranan fungsi jasa komunitas vegetasi sebagai akibat dari alih fungsi penggunaan
tanah, semakin terdesaknya kawasan-kawasan resapan atau tandon air, baik
diwilayah Jakarta Timur, maupun Jakarta Selatan.
Berdasarkan Kepres No. 32 tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan
lindung secara jelas dituangkan bahwa pentingnya perlindungan terhadap
sumberdaya di bawahnya, yang memiliki manfaat besar terhadap kepentingan
umum (masyarakat luas). Perlindungan terhadap kawasan sempadan sungai,
secara jelas diberikan batasannya, demikian halnya terhadap sumber-sumber mata
air. Namun demikian terhadap hamparan medan yang luas dan merupakan
kawasan resapan air nampaknya masih kurang tegas ketentuan aturannya.
Persepsi perlindungan terhadap kawasan resapan air nampaknya
diantisipasi melalui pengaturan koefisien dasar bangunan (KDB). Dalam
implementasinya belum memperlihatkan kekuatan hukum yang jelas. Sebagai
contoh Wilayah Jakarta Selatan, ditetapkan sebagai kawasan resapan air; dan
KDB yang ditetapkan bersifat kualitatif yaitu “wilayah dengan KDB rendah”.
Lebih jauh dalam antisipasinya dianjurkan bahwa pemanfaatan lahan untuk
bangunan disarankan untuk menyisakan seluas 30%, yang dipergunakan sebagai
kawasan hijau privat.
Kondisi fisik kawasan resapan air dan kawasan tandon air (situ-situ), pada
hakekatnya merupakan kunci dasar pendekatan sebagai bahan pertimbangan
dalam manajemen penangananya. Potensi daya dukung kawasan resapan air dan
lingkungan situ-situ seperti penutupan vegetasi, selain memiliki peranan fungsi
jasa bio-hidro-logis, juga berperan sebagai pendukung nilai estetika pada
lingkungan situ-situ. Perlunya perlindungan kawasan resapan air selain berperan
dalam untuk mengendalikan kuantitas (persediaan air tanah) juga terhadap
kualitas airnya.
Hasil penelitian Hendrawan dan Waryono (1993), menginformasikan
kualitas air tanah dangkal pada berbagai tipe permukiman di wilayah Jakarta
Selatan memperlihatkan kecenderungan terganggunya kualitas air tanah, dan
dipengaruhi oleh pembuangan limbah rumah tangga yang tidak terkontrol. Lebih
jauh dikemukakan bahwa cemaran ditergen pada saat musim kemarau turun
kedalam tanah mengikuti turunnya kondisi air tanah dangkal, dan sekaligus
mencemari tanah-tanah pada kedalaman tertentu walaupun air tanah saat itu telah
kembali (naik kembali) karena suplai air hujan.
Mencermati fonemena permasalahan di atas, harapan munculnya
kebijakan sebagai kaidah dan rambu-rambu untuk tujuan penyelamatan,
pelestarian dan pemanfaatan secara optimal terhadap baik terhadap kawasan
resapan air maupun kawasan tandon air, akan mendudukan posisi strategis atas
kepeduliannya dalam mempertahankan fenomena spesifik daerah resapan.
III

METODE PENELITIAN

Variable Penelitian
1) Variable tak bebas
2) Variabel bebas

: Jumlah air dan kualitas air hasil infiltrasi, serta
luasan brickpori (m2)
: Porositas batuan yang digunakan sebagai

10

campuran brickpori
Model yang Digunakan
Model yang digunakan seperti digambarkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Rancangan Brickpori.
Pada model tersebut dibuat dengan menggunakan pemampatan bahan
berupa batuan kapur yang dibentuk menyerupai kubus. Pada potongan melintang
tersebut, daerah absorpsi yang tersusun oleh kapur, sedangkan bagian tengah
dibolongkan membentuk sirkulasi ‘S”. Sirkulasi yang terbentuk memanfaatkan
gaya gravitasi sebagai pemicu terjadinya aliran air sehingga sampai ke tanah.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini secara deskpritif membagi mikroskala dari hasil
ayakan batu kapar sehingga pengaturan porositas yang dihasilkan pada cetakan
nanti dapat digunakan sebagai pembanding.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah berupa data kecepatan infiltrasi air melalui
rembesan yang dihasilkan. Jadi akan didapatkan perbandingan parameter volume
awal air sebelum dan sesudah memasuki brickpori. Selain itu. nilai absorpsi
penyerapan limbah dianalisis dengan menggunakan uji lab antara sebelum dan
sesudah melewati celah air dari brickpori ini.
Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan adalah dengan menggunakan
Analisis dasar neraca air mengikuti kaidah pengukuran umum, yaitu:
P = R+T+E+I+S
Dimana :

11

P
: Curah hujan
R
: Limpasan (Run-off)
ET
: Evapotranspirasi
I
: iInfiltrasi
S: Cadangan air tanah
Sedangkan untuk laju inflitrasi digunakan rumus :
F = fc + (f0 – fc) e-kt
Dimana rumus ini berlaku apabila i > f
f
: Kapasitas infiltrasi saat waktu t
fc
: Nilai infiltrasi setelah mencapai nilai grafik konstan
f0
: Kapasitas infiltrasi saat mulai
k
: konstanta
t : waktu
Selanjutnya untuk uji kualitas air menggunakan uji laboratorium dengan
menggunakan pedoman standar baku mutu air tanah. Serta untuk analisis kekuatan
bahan dasar brickpori dilakukan analisis kekuatan press dari pemampatan kapur
menggunakan mesin press.
Cara Penyimpulan dan Penafsiran Hasil Penelitian
Hasil yang didapatkan nanti akan dianalisis seberapa efektifnya nilai
infiltrasi, absorpsi dari air yang melewati brickpori ini. Selain itu untuk
menunjukkan efektifitas peran kapur ini sebagai filter kimia, maka hasil
identifikasi dan analisis kualitas air digunakan sebagai data pendukung dari
keefektifan penggunaan brickpori.
IV

No

Jenis Kegiatan

JADWAL KEGIATAN
Tabel 2. Jadwal Kegiatan
Bulan keBulan ke-1
2
Bulan ke-3 Bulan ke-4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Studi Bahan Dasar
Pembuatan
Brickpori
2 Pembuatan Desain
3 Uji Ketahanan
Brickpori
4 Analisis
Laboratorium dan
Lapangan
5 Analisis Data
Lanjutan
6 Interpretasi Hasil
Penelitian
7 Pembuatan
Laporan akhir

12

Rancangan biaya
Tabel 3. Rincian Biaya
Alat dan Bahan

Jumlah/Durasi

Biaya pembelian Alat dan
Bahan
Semen
Pasir halus
Batu kerikil kecil
Batu Kapur
Ruble
Mesin Press (Press Machine)
Centong
Plastik tahan panas
Botol sampel 500 ml
Pipet tetes
Kertas tissue gulung
Lap kain
Bacto agar
Peptone
Yeast extract
Glicerol
Air laut
Air destilata
Papper disk
Objek glass
Alkohol 70%
Larutan pemutih
Kayu cetakan
Internet
Transportasi
Biaya Penggunaan Jasa
Identifikasi air sample
Uji ketahanan bahan Brickpori
Analisis Kualitas air
Pelaporan (Print + copy)
TOTAL

Harga Satuan
(Rp)

Total
(Rp)

2 sak
5 karung
5 karung
20 Karung
5 karung
1 set
1 buah
1 pak
10 buah
5 buah
2 gulung
1 buah
100 gram
100 gram
100 gram
50 ml
10 liter
10 liter
100 biji
1 pak
5 liter
2 botol
10 buah
4 bulan
4 bulan

49000
50000
45000
20000
15000
1000000
7500
15000
25000
2000
3750
5000
4000
4000
4000
4000
100
4000
2000
75000
18000
5000
5000
10000
250000

98000
250000
225000
400000
75000
1000000
7500
15000
250000
10000
7500
5000
400000
400000
400000
200000
10000
40000
200000
75000
90000
10000
50000
400000
500000

10 sampel
-

800000
800000
200000
350000

800000
800000
2000000
350000
9.068.000

13

V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengerjaan program penelitian ini hingga saat ini mencapai skala
maksimal 100%. Pengerjaan yang semula direncanakan akan berjalan dari awal
bulan Januari 2013 ternyata mengalami pengunduran program hingga akhirnya
merubah rencana yang telah ditetapkan dalam pengerjaan PKM ini. Pada tahap
pertama, team melakukan survey dan kajian terhadap beberapa lokasi pembuatan
paving, batako press, batako manual dan pengrajin batako sederhana yang
dilakukan di beberapa tempat di Bogor. Hasil survey ini mendeskripsikan masingmasing tingkat kerumitan dan pengerjaan pembuatan sebuah batako, paving
ataupun model yang digunakan sebagai bahan uji yang direncanakan dalam
pengerjaan PKM ini.
Desain umum yang telah ada di masyarakat dan memiliki tingkat
pemasaran yang cukup banyak sehingga mudah untuk didapatkan, namun karena
desain dari model yang kami ajukan ini memiliki perbedaan tentunya hal ini
menjadi sebuah pertimbangan dalam pengerjaan kami selanjutnya. Bentuk umum
yang didapati adalah balok dengan panjang maksimal 15x30 cm, sedangkan
desain yang kami inginkan 60x60 cm. Karena hal paling mendasar dalam
menciptakan sebuah model yang kami inginkan adalah menggunakan sirkulasi
“S” pada tengah saluran desain, maka hal ini pula yang menjadi sebuah
permasalahan mendasar dan sangat rumit untuk dikerjakan. Hampir dari beberapa
lokasi yang di survey, menjawab hal ini sangat susah untuk dibuat, bukan masalah
dari user / pembuatnya, namun lebih ke arah teknis dari desain cetakan yang akan
digunakan. Hal ini dikarenakan merubah cetakan akan merubah seluruh total
sistem yang akan digunakan dalam pembuatan batako atau paving tersebut.
Pengerjaan yang dilakukan dengan bentuk desain paving berukuran 60x60
cm ini tidak dapat dilakukan sekaligus, mengingat biaya yang digunakan nanti
dalam pembuatan cetakan sangat mahal karena memiliki ketebalan besi cetakan
yang tebal dan tentunya pengeluaran biaya dalam hal cetakan ini tidak dapat
sepenuhnya dikeluarkan mengingat bahwa masih banyak terdapat kebutuhan
biaya yang nantinya akan dikeluarkan selama penelitian ini. Sehingga kami
membagi tahap pengerjaan menjadi 2 kali pembuatan untuk satu kali proses
pembuatan batako yang dibuat (Karena desain sirkulasi “S” ini sangatlah rumit
untuk dikerjakan dengan menggunakan cetakan yang sudah dibuat). Uji coba
manual yang dilakukan menggunakan cetakan standar, dapat menghasilkan
sebuah batako press dengan ukuran yang sangat kecil dan desain sirkulasi “S”
yang diinginkan belum dapat dibuat karena membutuhkan proses pengerjaan
manual setelah batako tersebut jadi.
Selanjutnya setelah bentuk dari desain yang kami rencanakan jadi, kami
membutuhkan studi literatur terkait uji Instron ataupun uji kelayakan bahan yang
kami hasilkan, yaitu uji tekan material. Konsultasi ini dilakukan di Laboratorium
Teknik Mesin IPB, Laboratorium Kimia Lingkungan IPB, Laboratorium Litbang
Kementrian Kehutanan, dan Laburatorium Departemen Hasil Hutan (FahutanIPB). Hasilnya menunjukkan bahwa desain yang kami buat ini harus
dikonsultasikan kepada pihak yang mengerti hidrologi. Hal ini dimaksudkan
untuk dapat membuktikan secara teoritik apakah desain yang kami tawarkan ini
akan mempengaruhi drainasi ataupun sistem hidrologi terutama apabila

14

difungsikan di kota Jakarta. Sehingga uji kelayakan terhadap desain ini masih
sangat panjang.
Saat ini pengerjaan masih sampai pada uji sederhana mengenai konsep
desain yang telah dihasilkan. Selanjutnya yang akan dilakukan adalah uji terhadap
kualitas air input dan output yang dihasilkan dari sistem atau desain yang kami
buat ini. Dari uji air, kami akan melakukan kuantifikasi perubahan air per skala
liter masukan dan keluaran, selain itu akan dilakukan uji sample air input output
dengan menggunakan titrasi sederhana logam berat yang akan dicampur sehingga
nantinya dapat dilihat seberapa besar alat ini berfungsi secara maksimal apabila
digunakan untuk jenis limbah logam berat (Persentase limbah logam berat
sebelum dan sesudah memasuki sistem dari desain yang kami buat).
Selain itu pengerjaan selanjutnya yang kami prioritaskan adalah uji ISO
terhadap standarisasi bahan bangunan, karena desain dan hasil yang kami kerjakan
ini masuk dalam kategori bahan bangunan. Oleh sebab itu kajian literatur lanjutan
diperlukan mengingat dalamnya materi yang akan kami eksplorasi lebih lanjut.
Uji ISO ini merupakan uji lanjutan dari standarisasi desain yang kami hasilkan.
Hal ini dimaksudkan untuk memvalidasikan apakah bentuk desain yang kami buat
ini nantinya apabila ingin digunakan oleh masyarakat luas memiliki tingkat
keamanan dan keawetan dalam masa penggunaanya.
Hasil Uji Instron
Tabel 4. Hasil Uji Instron
Diameter (cm)

Maximum Load (KgF)

15

2884.06046

10

3474.78459

5

4096.62986

15

Gambar 4. Visualisasi Data Brickpori I.

Gambar 5. Visualisasi Data Brickpori II.

16

Gambar 6. Visualisasi Data Brickpori III.
Uji Kualitas Air
Tabel 5. Hasil Uji Kualitas Air
Parameter

Metode

DO

DO-METER

Ph

pH-METER

TDS

TDS-METER

Satuan

Konsentrasi
akhir

EFISIENSI

7,2

6,6

0,083333

5,08

6,14

-0,20866

mg/lt

182

156

0,142857

NTU

0,4

1,5

-2,75

ALKALINITAS TITRASI BCG-MR mg/lt Ca CO3 16

6

0,625

FOSFAT

MOLYBDATE

mg/lt

0,629

0,385

0,387917

NITRIT

SILFANILAMIDE mg/lt

0,054

0,0737

-0,36481

KEKERUHAN TUBIDYMETR

mg/lt

Konsentrasi
awal

17

NITRAT

BRUCINE

mg/lt

0,8007

0,654

0,183215

Kecepatan Infiltrasi
Nilai kecepatan infiltrasi untuk diameter 5 cm adalah sebesar 4.3633
liter/second, diameter 10 cm adalah 17.453 liter/second, dan untuk diameter 15
cm adalah 39.27 liter/second.
VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengujian yang didapatkan, maka dapat disimpulkan
bahwa degan semakin kecil diameter sirkulasi brickpori yang dibuat maka akan
memiliki maksimum load yang semakin besar dengan penurun kecepatan infiltrasi
dan begitu pula sebaliknya. Pemanfaatan brickpori ini mampu meningkatkan pH,
kekeruhan, dan Nitrit, serta mampu menurunkan kadar DO, TDS, Alkalinitas,
Fosfat, dan Nitrat. Jadi secara umum memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alkadri., CS., 1999. Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah.
Direktorat Kebijakan. Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT Jakarta.
[2] Anonim, 1999. Peraturan Daerah No. 6 tahun 1999, Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi. Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2010.
[3] Bapedalda, 1996. Kajian Spatial Kawasan Kumuh Berdasarkan Kriteria
Desa/ Kelurahan Miskin di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Badan Pengelola
Dampak Lingkungan Daerah dengan Pusat Pengkajian Geografi Terapan
Fakultas MIPA-Universitas Indonesia. Dinas Tata Kota Propinsi DKI Jakarta,
2001. Penyusunan Strategi dan Rencana Pengembangan RTH DKI Jakarta.
[4] Gunawan dan Waryono,. T., 1987. Kajian dan Prediksi Besaran Air Infiltrasi
dan Limpasan di Sekitar Kampus Universitas Indonesia. Jurusan Geografi
Universitas Indonesia.
[5] Hendrawan dan Waryono,. Tarsoen., 1993. Studi Kualitas Air Tanah Dangkal
di Beberapa Lokasi Strategis Resapan Air di Wilayah Kotatip Depok. Jurusan
Geografi Universitas Indonesia.
[6] Narwanto dan Waryono,. T., 1994. Prediksi Besaran Air Limpasan, Infiltrasi
dan Evapotranspirasi di Sekitar Kampus Universitas Indonesia. Jurusan
Geografi Universitas Indonesia.
[7] Soerjani., M,. 1987. Lingkungan Sumberdaya Alam dan Kependudukan
Dalam Pembangunan. Universitas Indonesia. Jakarta.UI Press 1087.
[8] Salim., E, 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3S. Jakarta.
[9] Wolf,. JCM., 1996. Urban Geomorphology in dry lands, pp. 234-253,
Clarendon Prees, Oxford.
[10] Waryono., T, 1996. Aspek Lingkungan Fisik Kritis Perkotaan dan Upaya
Pengendaliannya (Studi kasus DKI Jakarta). Diskusi panel Program Pasca
Sarjana Biologi Konservasi Universitas Indonesia.

18

[11] __________, 1997. Fenomena Kutub-kutub Panas Kota dan Upaya
Pengendaliannya (Studi kasus DKI Jakarta). Diskusi panel Program Pasca
Sarjana Biologi Konservasi Universitas Indonesia.
[12] __________, 1998. Peranan Fungsi Jasa Bio-Eko-Hidrologis Kawasan
Hijau Dalam Kancah Pembangunan Wilayah Perkotaan. Diskusi panel
Program Pasca Sarjana Biologi Konservasi Universitas Indonesia.
[13] __________, 2001. Beberapa Aspek Pengelolaan dan pengembangan
Situ-situ Sebagai Wahana Rekreasi dan Sumber PAD. Diskusi terbatas
pengembangan situ-situ di kota Depok, dalam Rangka Peringatan Hari
Lingkungan Hidup Sedunia; Pemda Kota Depok, Juni 2001.
[14] __________, 2001. Antisipasi Krisis Air Tanah pada Pertengahan Abad
XXI. Paparan Akademis dalam rangka Peringatan Hari Air Sedunia Kota
Depok, Oktober 2001.
[15] __________, 2002. Aspek Pengelolaan Wilayah Resapan Berbasis Ramah
Lingkungan. Warta Pembangunan Kota Depok. Edisi-1 tahun 2002.
[16] __________, 2002. Fungsi Jasa Hidrologis Vegetasi Riparian. Seminar
Dalam rangka Peringatan hari Jadi Air Sedunia tahun 2003. Dept. Kimpraswil
Jakarta, April 2003.
[17] __________, 2002. Bentuk Struktur dan Lingkungan bio-fisik sungai.
Seminar dan Kongres Geografi Nasional. Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung. Oktober 2002.
[18] __________, 2002. Pemberdayaan Masyarakat Squatter Situ Rawa Besar
Kota Depok. Paparan Akademis dalam rangka pemberdayaan peranan fungsi
situ-situ. Pemda Kota Depok, Oktober 2002.
[19] _________, 2002. Permberdayaan Teknologi sumur resapan di wilayah
Kotamadya Jakarta Selatan. Penelitian pemberdayaan teknologi tepat guna.
BPLHD Jakarta Selatan Tahun anggaran 2002.
[20] _________, 2002. Konsepsi pengelolaan DAS berbasis manajemen
bioregional. Paparan akademik dalam diskusi manajemen pengelolaan air
Kota depok, April 2002.
[21] _________, 2002. Permberdayaan Teknologi sumur resapan di wilayah
Kotamadya Jakarta Selatan. Penelitian pemberdayaan teknologi tepat guna.
BPLHD Jakarta Selatan Tahun Anggaran 2002.
[22] _________, 2003. Konsepsi Restorasi Ekologi Kawasan Penyangga
Sempadan sungai di DKI Jakarta. Seminar Evaluasi Pasca dan Rancang
Tindak Pengendalian Banjir. Wilayah Perkotaan. Dept. Kimpraswil, Jakarta
April, 2003.

19