EGFR and KRAS Genes Mutation Analysis Based on PCR-HRM (High Resolution Melting) and RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphisme) of Pleural Liquid from Lung Cancer Patients that Collected at Filter Paper

ANALISIS MUTASI GEN EGFR DAN KRAS BERBASIS PCRHRM (High Resolution Melting) DAN RFLP (Restriction
Fragment Length Polymorphisme) TERHADAP CAIRAN
PLEURA PASIEN KANKER PARU YANG DISIMPAN PADA
KERTAS SARING

ASEP MUHAMAD RIDWANULOH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

1

2

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Analisis Mutasi

Gen EGFR dan KRAS Berbasis PCR-HRM (High Resolution Melting) dan RFLP
(Restriction Fragment Length Polymorphisme) terhadap Cairan Pleura Pasien
Kanker Paru yang Disimpan pada Kertas Saring adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,

Maret 2013

Asep M. Ridwanuloh
NRP P051100081

4

RINGKASAN


ASEP MUHAMAD RIDWANULOH. Analisis Mutasi Gen EGFR dan KRAS
Berbasis PCR-HRM (High Resolution Melting) dan RFLP (Restriction Fragment
Length Polymorphisme) terhadap Cairan Pleura Pasien Kanker Paru yang
Disimpan pada Kertas Saring. Dibimbing oleh SUHARSONO, AHMAD R.H.
UTOMO dan JUDHI RACHMAT.
Penyakit kanker paru merupakan penyakit yang paling banyak
menyebabkan kematian akibat kanker di dunia, termasuk di Indonesia. Saat ini
pengobatan pasien kanker paru seperti terapi target telah banyak dikembangkan
untuk menurunkan angka kematian. Teknik pengobatan ini membutuhkan hasil
diagnosa yang cepat dan akurat berbasis analisis molekuler terhadap gen yang
mengalami mutasi seperti KRAS dan EGFR. Penelitian ini mengembangkan teknik
analisis PCR-HRM dan PCR-RFLP untuk mengetahui terjadinya mutasi gen
EGFR dan KRAS pada sampel efusi pleura pasien kanker paru. Hasil uji
sensitivitas menggunakan metode dilusi menunjukkan bahwa PCR-HRM mampu
mendeteksi mutasi gen KRAS dan EGFR pada konsentrasi 12,5% DNA mutan
dalam campuran DNA wild type, sedangkan metode PCR-RFLP mampu
mendeteksi adanya mutasi hingga konsentrasi DNA mutan dalam campuran DNA
wild type sebesar 3,125%. Penelitian ini menggunakan 63 sampel cairan pleura
pasien kanker paru yang disimpan dalam kertas saring. Hasil analisis
menunjukkan bahwa 1,6% (1/63) memiliki mutasi gen KRAS dan 15,9% (10/63)

memiliki mutasi gen EGFR. Mutasi EGFR yang terjadi pada pasien pria adalah
21,43% (6/28) dan pada wanita sebesar 15,3% (4/26). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa HRM dan RFLP merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi mutasi gen KRAS dan EGFR pada sampel pasien kanker paru. Kertas
saring memiliki potensi yang besar digunakan dalam analisis molekuler kanker
paru, khususnya sebagai media penyimpanan dan pengiriman sampel yang berasal
dari efusi pleura.
Kata kunci: kanker paru, efusi pleura, KRAS, EGFR, HRM, RFLP dan kertas
saring

5

SUMMARY

ASEP MUHAMAD RIDWANULOH. EGFR and KRAS Genes Mutation
Analysis Based on PCR-HRM (High Resolution Melting) and RFLP (Restriction
Fragment Length Polymorphisme) of Pleural Liquid from Lung Cancer Patients
that Collected at Filter Paper. Supervised by SUHARSONO, AHMAD R.H.
UTOMO and JUDHI RACHMAT.
Lung cancer is the most frequent cause of cancer-related mortality

worldwide, including in Indonesia. Today, a medical treatment for lung cancer
patient, such as targeted therapies, has been developed to decrease the mortality.
The methods need a rapid and a robust molecular characterisation technique to
diagnose any gene mutations such as the KRAS and the EGFR. We developed a
PCR-HRM and a PCR-RFLP for screening the EGFR and the KRAS mutations in
pleural effusion of lung cancer patients. Sensitivity studies using the dilution
assay revealed that the PCR-HRM was able to detect KRAS and EGFR mutations
as little as 12.5% of mutant DNA in wild type DNA, while the PCR-RPLF was
able to detect as little as 3.125 % of DNA mutant in wild type DNA. We analysed
63 of pleural effusion from lung cancer patient that were collected in filter paper.
From our sample, we found that 1.6% (1/63) of them had the KRAS mutation;
meanwhile 15.9 % (10/63) of them had the EGFR mutations. We also found that
the EGFR mutation was more prevalent in men 21.43% (6/28) compared to
women 15.3% (4/26). These results showed that the HRM and the RFLP are
useful methods to detect the KRAS and the EGFR mutations in the clinical
samples of lung cancer. The filter paper was also very potential material to be
used in molecular analysis of lung cancer, especially for collecting and
transferring the pleural effusion samples.
Key words: Lung cancer, pleural effusion, KRAS, EGFR, HRM, RFLP and filter
paper


6

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7

ANALISIS MUTASI GEN EGFR DAN KRAS BERBASIS PCRHRM (High Resolution Melting) DAN RFLP (Restriction
Fragment Length Polymorphisme) TERHADAP CAIRAN
PLEURA PASIEN KANKER PARU YANG DISIMPAN PADA
KERTAS SARING


ASEP MUHAMAD RIDWANULOH

Tesis
Sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
2013

8

Penguji Luar Komisi: Prof drh Dondin Sajuthi, MST PhD

9

Judul Penelitian


Nama
NIM

: Analisis Mutasi Gen EGFR dan KRAS Berbasis PCRHRM (High Resolution Melting) dan RFLP (Restriction
Fragment Length Polymorphisme) terhadap Cairan
Pleura Pasien Kanker Paru yang Disimpan pada Kertas
Saring
: Asep M. Ridwanuloh
: P051100081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Ketua

Ahmad R. H. Utomo, PhD
Anggota


Judhi Rachmat, PhD
Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Januari 2013

Tanggal Lulus: 20 Maret 2013

10


PRAKATA

Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Alloh SWT karena berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul
“Analisis Mutasi Gen EGFR dan KRAS Berbasis PCR-HRM (High Resolution
Melting) dan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphisme) terhadap
Cairan Pleura Pasien Kanker Paru yang Disimpan pada Kertas Saring”.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1.
Prof Dr Ir Suharsono, DEA sebagai ketua komisi pembimbing, Ahmad R.H.
Utomo, PhD dan Judhi Rachmat, PhD sebagai anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, arahan dan ilmunya kepada penulis.
2.
Prof drh Dondin Sajuthi, MST PhD selaku dosen penguji luar komisi yang
telah memberikan saran dan masukan yang sangat berguna demi
kesempurnaan tesis ini.
3.
Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa
pendidikan, hingga penulis bisa menyelesaikan studi pada program
Pascasarjana Bioteknologi IPB.

4.
dr Achmad Hudoyo, SpP(K) beserta tim dokter spesialis paru RS
Persahabatan Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melaksanakan sebagian dari proyek penelitian besarnya.
5.
Keluarga besar laboratorium Kalbe Genomic-SCI, PT Kalbe Farma, Tbk.,
dan keluarga besar laboratorium Diagnostik Kesehatan Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI yang telah banyak memberikan bantuan atas kelancaran
penelitian ini.
6.
Kedua orangtua beserta adik-adik yang telah memberikan begitu banyak
perhatian, dukungan dan do’anya kepada penulis.
7.
Segenap sahabat mahasiswa S2 Bioteknologi IPB angkatan 2010 yang telah
banyak memberikan motivasi dan bantuannya. Terimakasih atas
kebersamaan kita selama ini.
8.
Segenap karyawan serta staff administrasi Program Studi Bioteknologi IPB,
yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi.
Serta semua pihak yang telah banyak memberikan motivasi, dan dukungannya

serta menjadi inspirasi bagi penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2013
Asep Muhamad Ridwanuloh

11

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI

x

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan

1
1
3

TINJAUAN PUSTAKA
Kanker Paru
Biomarker Kanker Paru
High Resolution Melting Analysis (HRM)
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

4
4
6
11
13

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Prosedur Kerja

16
16
16
16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Mutasi Gen KRAS Menggunakan Metode HRM dan RFLP
pada DNA Standar Sel Kultur
Uji Sensitivitas Metode HRM dan RFLP dalam Analisis Mutasi Gen
KRAS
Analisis Mutasi Gen EGFR menggunakan Metode HRM dan RFLP
pada DNA Standar
Uji Sensitivitas Metode HRM dan RFLP dalam Analisis Mutasi Gen
EGFR
Isolasi DNA dari Sampel yang Disimpan dalam Kertas Saring
Analisis HRM dan RFLP Cairan Pleura Pasien Kanker Paru yang
Disimpan dalam Kertas Saring
Prevalensi mutasi gen KRAS dan EGFR
Potensi pengembangan kertas saring sebagai media pengiriman
sampel

18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

34
34
34

DAFTAR PUSTAKA

35

LAMPIRAN

42

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

45

18
21
23
24
26
26
29
32

12

DAFTAR TABEL

1
2
3

Halaman
Data prevalensi mutasi gen EGFR pada pasien kanker paru
7
Data prevalensi mutasi gen EGFR pada pasien kanker paru di beberapa
negara
31
Prevalensi mutasi gen EGFR dan KRAS berdasarkan jenis kelamin
31

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Halaman
4
5
7
8
9
10
11
12

Fase pertumbuhan kanker pada pasien perokok dan non-perokok
Anatomi pleura paru
Grafik prevalensi mutasi gen pada pasien kanker paru
Skema jalur transduksi sinyal EGFR
Mutasi EGFR exon 19 dan 21
Perubahan struktur asam amino pada mutasi gen EGFR exon 21
Siklus aktivasi protein Ras
Proses PCR-HRM yang diamati penurunan sinyal fluoresen
Pola pita DNA mutan dan DNA wild type pada analisis mutasi gen
KRAS dan EGFR menggunakan metode RFLP
14
Hasil analisis mutasi gen KRAS DNA standar sel kultur menggunakan
metode HRM
19
Hasil analisis mutasi gen KRAS menggunakan metode RFLP
20
Hasil uji sensitivitas analisis mutasi gen KRAS menggunakan metode
HRM.
21
Hasil uji sensitivitas metode RFLP dalam analisis mutasi gen KRAS 22
Hasil analisis mutasi gen EGFR menggunakan metode HRM
23
Hasil analisis mutasi gen EGFR menggunakan metode RFLP
24
Hasil uji sensitivitas analisis mutasi gen EGFR menggunakan metode
HRM
25
Hasil uji sensitivitas metode RFLP pada analisis mutasi gen EGFR
25
Grafik analisis mutasi gen KRAS pada sampel pasien kanker paru
27
Hasil analisis mutasi gen KRAS sampel pasien kanker paru menggunakan metode RFLP
27
Grafik analisis mutasi gen EGFR exon 19 pada sampel pasien kanker
paru
28
Grafik analisis mutasi gen EGFR exon 21 pada sampel pasien kanker
paru
29
Hasil analisis gel elektroforesis amplikon produk PCR-HRM DNA
sampel dalam analisis mutasi gen EGFR exon 21
29
Prevalensi mutasi gen KRAS dan EGFR pada pasien kanker paru
30

13

DAFTAR LAMPIRAN

1
2

Halaman
Ethical Clearance
41
Tabel hasil analisis mutasi gen KRAS dan EGFR pada sampel pasien
kanker paru menggunakan metode HRM dan RFLP
42

14

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kanker paru merupakan jenis penyakit kanker yang sulit disembuhkan,
sehingga telah menjadi penyebab kematian dengan frekuensi yang tinggi di dunia
(Dienstmann et al. 2011). Angka tahan hidup lima tahun penderita kanker paru
hanya sekitar 16%, jauh dibawah kanker kolon, kanker prostat, kanker payudara
dan kanker serviks yang rata-rata bisa mencapai lebih dari 70% (American Cancer
Society 2012). Di Indonesia, angka kematian akibat kanker paru juga cukup
tinggi. Rata-rata tercatat 1.000 pasien kanker paru setiap tahun dengan angka
tahan hidup rata-rata hanya sekitar 6 bulan (Hudoyo 2012).
Berbagai upaya pengobatan seperti pembedahan, radioterapi, dan
kemoterapi dilakukan untuk meningkatkan angka tahan hidup pasien kanker paru
(Spira & Ettinger 2004). Namun demikian, pasien kanker paru 80–90% diketahui
telah berada pada stadium III dan IV ketika diagnosa pertama dilakukan (Sone et
al. 2007). Tindakan pembedahan dan radioterapi pada stadium ini sudah tidak
efektif dilakukan karena sel kanker telah menyebar, sehingga pengobatan berbasis
kemoterapi merupakan pilihan utama yang saat ini dilakukan (Hudoyo 2012).
Dalam perkembangannya, target terapi dari jenis obat kemoterapi yang ada
terus dikembangkan untuk mengurangi terjadinya dampak negatif terhadap
pasien. Pengobatan berbasis sistem terapi target terhadap protein spesifik pada sel
kanker dalam berbagai bentuk seperti senyawa kimia sederhana dan antibodi
menjadi solusi yang saat ini telah dikembangkan (Shawver et al. 2002; Kim et al.
2005). Dua jenis protein yang menjadi target terapi pada kasus kanker paru
diantaranya adalah EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor) dan KRAS
(Kirsten Rat Sarcoma) (Mok et al.2009).
Protein EGFR dan KRAS merupakan dua jenis protein yang berperan
penting dalam mengendalikan pertumbuhan dan kematian sel (Sakurada et al.
2006; Ronen et al. 2006). Pada sel normal protein ini berperan mengatur jalannya
sinyal pertumbuhan sel secara teratur. Namun, pada sel kanker kedua protein ini
mengalami perubahan karakteristik akibat adanya perubahan struktur asam amino
penyusunnya (Rosell et al. 2006). Susunan asam amino protein tersebut
disandikan oleh gen EGFR dan gen KRAS (Sakurada et al. 2006; Ronen et al.
2006). Mutasi pada gen EGFR dapat menyebabkan perubahan karakteristik enzim
tirosin kinase, bagian dari protein EGFR, yang memicu proliferasi sel secara terus
menerus dan menghambat apoptosis (Sakurada et al. 2006). Mutasi pada gen
KRAS juga dapat menyebabkan dampak yang sama dengan mutasi pada gen
EGFR (Ronen et al. 2006).
Analisis perubahan karakteristik protein EGFR dan KRAS dapat dilakukan
dengan menggunakan metode analisis DNA berbasis biologi molekuler (Sung &
Cho 2008). Analisis mutasi gen berbasis biologi molekuler sebagai diagnosa
utama pasien kanker paru menjadi sangat penting dilakukan untuk memilih
tindakan pengobatan yang tepat antara obat kemoterapi yang umum dan obat
terapi target yang lebih spesifik agar pasien memperoleh peningkatan kualitas
kesehatan. Secara keseluruhan pengobatan kemoterapi dan terapi target
menunjukkan median survival yang sama sekitar 6 bulan, namun demikian hasil

15

analisis lebih lanjut penggunaan obat berbasis terapi target pada pasien yang tepat
dapat memperlama tingkat kekambuhan. Pengobatan kemoterapi pada pasien
yang mengalami mutasi gen EGFR hanya memberikan dampak peningkatan
ketahanan terhadap kekambuhan sekitar 5,4 bulan, sedangkan dengan
menggunakan obat terapi inhibitor tirosin kinase dapat meningkat hingga 10,4
bulan. Dampak sebaliknya terjadi jika obat inhibitor tirosin kinase diberikan
kepada pasien yang tidak mengalami mutasi gen EGFR, pasien dapat mengalami
penurunan ketahanan terhadap kekambuhan hingga dibawah 3 bulan (Mok et al.
2009).
Metode standar analisis mutasi gen yang digunakan saat ini adalah DNA
sekuensing. Teknik ini paling akurat untuk mendeteksi adanya perubahan
nukleotida pada sekuen DNA. Namun demikian, untuk aplikasi medis metode ini
memiliki kekurangan diantaranya limit deteksi mutasi yang rendah, sehingga
kurang cocok digunakan untuk sampel dengan frekuensi mutasi yang rendah
(Krypuy et al. 2006). Beberapa peneliti telah melakukan pengembangan teknik
deteksi yang cepat, dan memiliki sensitivitas serta akurasi yang tinggi, namun
sederhana dan mudah dilakukan sebagai alternatif dari teknik sekuensing seperti
teknik pyrosequensing (Ogino et al. 2005), mutant enrichment-PCR (Kawada et
al. 2008), Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE) (Siegfried et al.
1997), dan Denaturing High Performance Liquid Chromatography (DHPLC)
(Karim et al. 2011).
Teknik High Resolution Melting (HRM) dan Restriction Fragment Length
Polymorphisme (RFLP) merupakan teknik deteksi mutasi gen lainnya yang telah
dikembangkan. Teknik ini lebih sederhana, cepat dan memiliki akurasi serta
sensitivitas yang tinggi jika dibandingkan dengan teknik DNA sekuensing
(Krypuy et al. 2006; Kawada et al. 2008). Aplikasi kedua metode ini dalam
analisis sampel pasien kanker telah dikembangkan secara terpisah. Krypuy et al.
(2006) telah melakukan deteksi mutasi gen KRAS pada 30 sampel kanker paru
dari hasil biopsi menggunakan teknik HRM, dan berhasil mendeteksi mutasi gen
KRAS kodon 12 dan 13 dengan performa dan sensitivitas yang baik. Namoto et al.
(2006) telah melakukan analisis mutasi gen EGFR dari sampel sitologi kanker
paru menggunakan teknik HRM. Teknik RFLP telah dilakukan oleh Kawada et al.
(2008) untuk mengetahui terjadinya mutasi pada gen EGFR pada kasus kanker
paru menggunakan enzim restriksi spesifik untuk membedakan antara jenis gen
mutan dan wild type. Teknik RFLP juga telah dilakukan untuk mendeteksi mutasi
gen KRAS pada kanker kolon (Nollau et al. 1996).
Di Indonesia, analisis mutasi gen EGFR dan KRAS berbasis biologi
molekuler sebagai diagnosa utama untuk menentukan tindakan pengobatan belum
banyak dilakukan. Keterbatasan fasilitas pengujian sel kanker berbasis mutasi gen
merupakan kendala utama. Penyediaan sampel berbasis histologi yang saat ini
digunakan sebagai sampel standar untuk pengujian mutasi gen juga hanya dapat
dilakukan melalui proses operasi yang cenderung terbatas pada rumah sakit
tertentu, tersedia dalam jumlah sedikit dan bersifat invasif (melukai pasien) (Pang
et al. 2012). Cairan pleura yang banyak dihasilkan pada pasien kanker paru
stadium lanjut telah digunakan sebagai bahan untuk mengetahui adanya mutasi
gen melalui preparasi sampel sitologi, namun teknik ini juga terbatas hanya dapat
dilakukan oleh rumahsakit yang memiliki fasilitas analisis patologi sel. Rumah
sakit daerah yang memiliki fasilitas terbatas memiliki kesulitan untuk

16

mengirimkan sampel pada laboratorium rujukan yang telah memiliki fasilitas
lengkap. Penggunaan cairan pleura yang disimpan dalam kertas saring sebagai
media pengiriman sampel untuk analisis mutasi gen merupakan harapan solusi
yang belum pernah dilakukan.
Analisis mutasi gen sebagai diagnosa utama untuk menentukan tindakan
pengobatan yang tepat merupakan hal yang sangat penting, maka pengembangan
kombinasi metode analisis PCR-HRM dan RFLP untuk mengetahui adanya
mutasi gen pada sampel cairan pleura pasien kanker paru yang disimpan dalam
kertas saring sebagai media penyimpanan sementara dan pengiriman sampel
dilakukan dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini diarahkan untuk
mengetahui profil mutasi gen pada pasien kanker paru di Indonesia, sehingga
dapat dijadikan sebagai data awal untuk mengetahui karakteristik pola mutasi gen
pada pasien kanker paru di Indonesia.
Adapun analisis mutasi gen yang menjadi fokus utama pada penelitian ini
adalah analisis mutasi gen EGFR pada ekson 19 dan 21 serta mutasi gen KRAS
pada kodon 12 dan 13. Pemilihan jenis dan posisi gen ini didasarkan pada hasil
penelitian di beberapa negara yang menunjukkan bahwa kedua jenis mutasi ini
memiliki prevalensi yang dominan (Lynch et al. 2004). Mutasi gen EGFR sering
terjadi pada ekson 18, 19, 20 dan 21, namun menurut Lynch et al. (2004) mutasi
yang paling banyak ditemukan adalah delesi pada ekson 19 dan mutasi titik pada
ekson 21. Mutasi gen KRAS ditemukan pada ekson 2 kodon 12 dan 13 (sering)
dan ekson 3 kodon 59 dan 61 (jarang) (Cox & Der 2003; Molina & Adjei 2006).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan metode PCRHRM dan RFLP dalam mendeteksi adanya mutasi gen EGFR dan KRAS pada
sampel cairan pleura yang disimpan dalam kertas saring, dan untuk mengetahui
prevalensi mutasi gen EGFR dan KRAS pada pasien kanker paru.

17

TINJAUAN PUSTAKA

Kanker Paru
Kanker paru merupakan tumor ganas pada organ paru, dan terletak pada
daerah saluran nafas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker paru ditandai dengan
pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas dan cenderung merusak
jaringan normal (Herbst et al. 2008). Masa pertumbuhan kanker mulai dari fase
prakanker, stadium awal dan stadium lanjut dapat dilihat pada Gambar 1.
Normal

Pra kanker

Stadium awal

Stadium Lanjut

Perokok

Perbesaran

Asap rokok
Kerentanan
Faktor lain

Bukan
Perokok

Herbst et al. (2008)

Gambar 1 Fase pertumbuhan kanker pada pasien perokok dan non-perokok
Kanker paru terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Small-Cell Lung
Cancer (SCLC) dan Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). Kasus kanker paru
jenis NSCLC lebih banyak terjadi (85%) jika dibandingkan dengan jenis SCLC
(15%) (Herbst et al. 2008). NSCLC dapat dibagi menjadi tiga subtipe utama yaitu
squamous-cell carcinoma, adenocarcinoma, dan large cell lung cancer. Jenis
squamous-cell carcinoma dan small-cell lung cancer banyak ditemukan pada
pasien perokok, sedangkan jenis sel adenocarcinoma banyak ditemukan pada
pasien non-perokok .
Asap rokok dan polusi lingkungan lainnya dapat memicu terjadinya
karsinogenesis. Disamping itu, faktor lain seperti keturunan, hormonal dan virus
juga dapat menjadi pemicu karsinogenesis pada paru (Sun et al. 2007). Kerusakan
jaringan paru diawali dengan perubahan genetik dan epigenetik, seperti mutasi
gen dan metilasi yang tidak normal, dan perubahan transkriptomik, seperti
inflamasi dan apoptosis. Perubahan ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup
lama dan mengarah kepada terjadinya perubahan pada jalur regulasi sel, seperti
ketidakteraturan proses proliferasi dan apoptosis, sehingga sel berubah menjadi
ganas (Spira et al. 2004). Perubahan karakteristik molekuler juga menyebabkan
terjadinya angiogenesis, invasi dan metastasis sel (Sato et al. 2007).

18

Perubahan karakteristik molekuler pada setiap pasien kanker paru berbedabeda (Gambar 1). Pasien kanker paru yang memiliki riwayat merokok misalnya,
memiliki perbedaan karakteristik pola mutasi gen dengan pasien yang tidak
memiliki riwayat perokok. Mutasi gen KRAS banyak ditemukan pada pasien
perokok, sedangkan mutasi gen EGFR banyak ditemukan pada pasien nonperokok. Sel kanker pada pasien perokok umumnya terbentuk pada bagian saluran
utama sistem pertukaran udara, sedangkan pada kasus pasien non-perokok
umumnya terbentuk pada daerah perifer (Mao et al. 1997; Wistuba et al. 2000;
Zudaire et al. 2008)
Pasien kanker paru memiliki harapan kesembuhan lebih besar jika pada
saat dilakukan diagnosa pertama kali masih berada pada stadium awal (I dan II).
Pada kondisi ini sel kanker paru masih dapat diangkat melalui pembedahan.
Namun demikian, 80–90% pasien penderita kanker paru sudah diketahui berada
pada stadium III dan IV ketika diagnosa pertama kali dilakukan (Sone et al.
2007). Pada stadium ini sel kanker sudah menyebar menuju organ lain, dan pada
beberapa pasien umumnya disertai pembengkakan dan penumpukan cairan pada
rongga pleura, yang sering disebut efusi pleura.
Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan.
Membran ini menutupi jaringan paru dan terdiri atas 2 lapisan yaitu pleura
viseralis yang terletak pada bagian dalam, langsung menutupi permukaan paru,
dan pleura parietalis yang terletak pada bagian luar dan berhubungan dengan
dinding dada (Gambar 2a). Pada rongga pleura terdapat cairan yang keluar dari
pembuluh darah melalui pleura parietal dan kemudian diserap oleh pleura
viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali ke darah (Gambar 2b). Rongga
pleura dalam keadaan normal memiliki ukuran tebal 10-20 µm, berisi sekitar 1020 mL cairan jernih yang tidak berwarna, mengandung protein CGG) menyebabkan perubahan translasi asam amino leusin menjadi
arginin. Asam amino arginin bersifat hidrofil dan polar, sedangkan leusin bersifat
hidrofob dan cenderung nonpolar. Asam amino hidrofil lebih banyak berada di
bagian permukaan protein, sedangkan asam amino hidrofob memiliki struktur
berlipat dan hampir selalu ada di bagian dalam protein (Yun el al. 2007)

23

Gambar 6 Perubahan struktur asam amino pada mutasi EGFR exon 21. (a) EGFR
dengan asam amino Leusin; (b) EGFR dengan asam amino Arginin
Mutasi Gen KRAS
Penelitian mengenai gen RAS bukanlah hal yang baru dilakukan akhir-akhir
ini. Edward Scolnick dan tim risetnya sejak 30 tahun yang lalu telah
mengidentifikasi gen RAS (Rat Sarcoma Virus) sebagai suatu gen virus dengan
karakteristik yang bersifat onkogenik/memicu terjadinya tumor, dan kemudian
diidentifikasi merupakan gen yang terkait dengan karsinogenesis (Linordau et al.
2011). Gen RAS pada awalnya ditemukan dari virus penginduksi leukimia pada
tikus. Gen tersebut kemudian diidentifikasi sebagai HRAS (Harvey RAS) dan
KRAS (Kirsten RAS) setelah ditemukan dari turunan sekuen genom tikus. Pada
tahun 1982, penelitian mengenai kloning gen dari sel kultur manusia menemukan
adanya homologi gen manusia dengan gen HRAS dan KRAS. Satu tahun kemudian
jenis gen RAS yang lain, NRAS (Neuroblastoma RAS), ditemukan (Rielly et al.
2008).
Gen RAS mengekspresikan protein RAS yang termasuk kedalam famili
protein G (Guanine triphosphate-binding protein), suatu protein berukuran 20-40
kDa, yang berperan dalam proses penyampaian sinyal transduksi di dalam sel
(Linordau et al. 2011), dan berfungsi sebagai saklar molekuler penghubung
aktivasi tirosin kinase yang mengkonversi sinyal dari membran ke inti sel (Adjei
2001). Protein Ras teraktivasi secara langsung melalui faktor pertukaran
nukleotida guanin (Guanine nucleotide exchange factors/GEP) yang mengubah
guanosin diposfat (GDP) menjadi guanosin triposfat (GTP), dan kembali pada
keadaan tidak aktif ketika terjadi hidrolisis GTP menjadi GDP, suatu reaksi yang
dikatalisasi oleh enzim GTPase (Gambar 7) (Hall et al. 2002; Cox & Der 2003).

24

Tidak
aktif
Aktif

Efektor RAS
(Raf, MEK, Erk)
Respon sel

(Linardou et al. 2011)

Gambar 7 Siklus aktivasi protein RAS
Menurut Linordau et al. (2011) proses aktivasi RAS dibantu protein GRB2
dan SHC, protein adaptor yang mengikat RAS pada fosfotirosin spesifik. Interaksi
ini menjadi mediasi masuknya SOS ke dalam membran plasma yang akan
mendorong konversi RAS dari GDP menjadi bentuk GTP. Reseptor-reseptor lain
yang tidak secara langsung terintegrasi dengan tirosin kinase seperti Src-like
tirosin kinase juga mengaktivasi protein RAS. Proses inaktivasi RAS terjadi
melalui proses perubahan GTP menjadi GDP oleh GAPs, suatu proses yang belum
diketahui secara detail. Ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa fosforilasi
SOS oleh jalur Raf/MAP kinase dapat menginduksi disosiasi SOS dari GRB2
sebagai hasil peralihan menjadi bentuk GDP. Protein GAP p120 bertindak sebagai
regulator negatif RAS dan diatur oleh fosporilasi tirosin. Aktivasi RAS
menyebabkan fungsinya sebagai adaptor untuk mengaktifkan jalur-jalur sinyal
transduksi berikutnya berlangsung dan pada akhirnya menyampaikan sinyal ke
inti sel.
Mutasi gen RAS merupakan perubahan onkogen yang paling banyak terjadi
pada kasus kanker manusia. Mutasi gen RAS yang umum terjadi disebabkan
adanya substitusi satu basa nukleotida pada daerah kodon 12, 13 dan kodon 61
(Bos 1989). Letak mutasi KRAS yang jarang terjadi adalah pada kodon 11, 18 dan
59 (Cox & Der 2003; Molina & Adjei 2006; Krypuy et al. 2006) dan kodon 22
(Miyakura et al. 2002).
High Resolution Melting Analysis (HRM)
Analisis HRM adalah suatu metode yang dikembangkan untuk mengetahui
adanya mutasi atau variasi pada susunan basa nukleotida secara tepat dan cepat.
Metode ini mampu mendeteksi dan mengidentifikasi mutasi gen secara cepat,
mengidentifikasi variasi genetik tanpa sekuensing dan atau membedakan adanya
variasi genetik pada suatu populasi (Kapa Biosystem 2007). HRM banyak

25

digunakan untuk SNP (Single nucleotide polymorphisme) genotyping, analisis
DNA metilasi, fingerprint DNA, identifikasi spesies, dan penemuan adanya
mutasi DNA (Corbett Research 2006).
HRM merupakan teknik yang sederhana, tidak memerlukan proses
pemisahan DNA atau proses rumit lainnya. Teknik ini menjadi solusi yang tepat
untuk diagnostik setelah teknik HRM ini dikombinasikan dengan rapid cycle PCR
(Reed et al. 2007). Proses HRM diawali dengan amplifikasi sekuen DNA target
menggunakan teknik PCR. Senyawa dye ditambahkan agar dapat terikat pada
DNA utas ganda hasil PCR secara spesifik dan menghasilkan fluoresen yang jelas.
Dye tidak terikat dan memancarkan fluoresen pada DNA utas tunggal. Perbedaan
sinyal fluoresen ini digunakan untuk mengamati proses amplifikasi DNA dan
proses selama HRM. Analisis HRM dimulai setelah proses PCR selesai, DNA
yang dihasilkan didenaturasi secara bertahap dengan cara menaikkan temperatur
secara perlahan dengan tujuan untuk mendapatkan profil pola melting point DNA.
Pola ini dapat diamati dari penurunan fluoresen senyawa dye akibat perubahan
DNA dari utas ganda menjadi utas tunggal (Kapa Biosystem 2007).

DNA utas ganda

DNA utas tunggal

Gambar 8 Proses PCR-HRM yang diamati penurunan sinyal fluoresen
HRM menggunakan mesin PCR yang dilengkapi dengan instrumen
beresolusi tinggi untuk menentukan pola melting DNA, sehingga tidak semua
mesin PCR dapat digunakan. Pola melting yang terbentuk menunjukkan
karakteristik DNA yang terbentuk. Karakterisasi DNA dengan HRM dilakukan
berdasarkan pada panjang sekuen, kandungan basa guanin dan sitosin, serta
komplementaritas sekuen DNA. HRM sangat sensitif untuk mendeteksi adanya
perubahan satu basa nukleotida. Dengan demikian, adanya mutasi titik pada basa
DNA akan menghasilkan pola melting yang berbeda (Wittwer 2009).
HRM terjadi setelah proses PCR, sehingga sangat bergantung kepada
keberhasilan proses PCR. Tingkat sensitivitas yang tinggi sangat dipengaruhi oleh
kondisi PCR yang digunakan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan analisis seperti faktor mesin dan faktor proses PCR yang meliputi
desain primer, reagen PCR, senyawa dye dan kondisi siklus PCR perlu

26

diperhatikan. Sedikit perbedaan pada kondisi mesin dan kondisi campuran reagen
PCR dapat menyebabkan perubahan pada hasil analisis (Reed et al. 2007).
Kualitas DNA cetakan, primer, konsentrasi MgCl2, dan keberadan inhibitor dapat
mempengaruhi pola melting DNA. Selain itu keberadaan senyawa dye sebagai
indikator melalui sinyal fluoresen yang dihasilkan juga sangat penting. Beberapa
jenis dye yang telah dikembangkan diantaranya adalah SYBR green, LCGreen,
dan Syto9 (White & Potts 2006).
Penggunaan SYBR Green dapat menghambat proses PCR ketika
konsentrasi DNA utas ganda yang terbentuk telah mencapai jumlah yang hampir
jenuh. Hal ini dapat menyebabkan “dye jumping” selama proses melting amplikon
sehingga dapat menurunkan sensitivitas deteksi HRM (Wittwer et al. 2003).
LCGreen digunakan untuk menyempurnakan fungsi dye SYBR green. Dye ini
tidak menghambat proses amplifikasi selama PCR sehingga sensitivitas dan
spesifitas analisis lebih baik jika dibandingkan dengan SYBR Green (Wittwer et
al. 2003; Herrmann et al. 2006). Jenis dye berikutnya adalah SYTO9 yang
memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas deteksi yang lebih tinggi daripada
LCGreen. SYTO9 menunjukkan hasil analisis melting curve yang lebih
reprodusibel, tidak menghambat proses PCR dan tidak bersifat selektif terhadap
amplikon tertentu (Monis et al. 2004).
Restriction Fragment Lenght Polymorphisme (RFLP)
Metode RFLP merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk
mengetahui adanya variasi pada susunan basa DNA suatu organisme. Analisis
dilakukan pada DNA atau cDNA hasil amplifikasi, kemudian dipotong
menggunakan enzim restriksi dan dipisahkan menggunakan elektroforesis gel.
Meskipun teknik ini merupakan teknik yang sangat sensitif dan sangat mudah
digunakan untuk mengetahui variasi pada sekuen DNA, akan tetapi banyak
polimorfisme terjadi akibat adanya perubahan pada satu pasang basa nukleotida,
sehingga dibutuhkan enzim restriksi yang secara spesifik mengenali daerah
tempat terjadinya perubahan tersebut (Nakashima et al. 2003).
Teknik RFLP relatif sederhana, tidak membutuhkan peralatan yang rumit
dan mahal, namun dapat digunakan untuk analisis genotyping (Zhang et al. 2005).
Enzim restriksi endonuklease yang dapat memutuskan molekul DNA pada daerah
yang spesifik digunakan pada suhu dan jumlah tertentu. Daerah pengenalan enzim
restriksi umumnya berjumlah 4-6 basa. Semakin pendek daerah yang dikenali
maka semakin besar jumlah fragmen yang dihasilkan. Besar kecilnya ukuran
fragmen yang dihasilkan dapat dianalisis menggunakan gel elektroforesis (Lodish
et al. 2000).

27

(Nollau et al.1996)
(a)

MscI
PvuII

(Kawada et al. 2008)
(b)
Gambar 9 Pola pita DNA mutan dan DNA wild type pada analisis mutasi gen
KRAS dan EGFR menggunakan metode RFLP. (a) KRAS; (b) EGFR
Penggunaan metode RFLP dalam analisis mutasi gen KRAS dan EGFR telah
dilakukan oleh Nollau et al. (1996) dan Kawada et al. (2008). Analisis mutasi gen
KRAS dan EGFR menggunakan metode RFLP secara jelas dapat membedakan
DNA mutan dengan DNA Wild type (Gambar 9). Enzim BstN 1 memotong
susunan basa 5’-CC WGG-3’ (W= A atau T) pada kodon 12, sedangkan enzim
BglI memiliki situs pemotongan 5’-GCCNNNN NGGC-3’ (N= A, T, G, atau C).
Mutasi gen KRAS kodon 12 dapat diketahui dengan adanya pita tunggal berukuran
sekitar 157 pb setelah dipotong menggunakan enzim BstNI dan mutasi kodon 13
ditunjukkan dengan adanya pita berukuran sekitar 157 pb setelah dipotong
menggunakan enzim BglI. Kedua jenis enzim tersebut memotong DNA yang
tidak mengalami mutasi wild type (Nollau et al. 1996).
Analisis mutasi gen EGFR ekson 21 dapat dibedakan pada dua kodon yaitu
858 dan 861. Mutasi titik L858R ditunjukkan dengan adanya pita tunggal
berukuran sekitar 348 pb setelah dipotong menggunakan enzim MscI, dan mutasi
titik L861Q ditunjukkan dengan adanya dua pita berukuran sekitar 200 pb dan 148
pb setelah dipotong menggunakan enzim PvuII. Enzim MscI memotong daerah
5’-TGG CCA-3’ pada exon 21 kodon 858 dan enzim PvuII memotong daerah 5’CAG CTG-3’ pada ekson 21 kodon 861. Analisis mutasi EGFR ekson 19 tidak

28

membutuhkan proses restriksi. Profil hasil elektroforesis produk amplifikasi
menunjukkan adanya dua pita berukuran sekitar 254 dan 239 pb. Pita 254 pb
merupakan sekuen DNA Wild type dan pita 239 pb merupakan pita sekuen DNA
mutan. Delesi yang terjadi pada mutan ekson 19 menyebabkan kehilangan 15
pasang basa pada DNA wild type, sehingga ukuran sekuen hasil amplifikasi
menjadi lebih pendek (Kawada et al. 2008).

29

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai Bulan September 2011 sampai dengan Bulan
September 2012 di Laboratorium Kalbe Genomic, Stem cell and Cancer Institute
(SCI), PT Kalbe Farma, Tbk. Jakarta.

Bahan
Sel kultur yang digunakan sebagai kontrol adalah sel HCT-116 (Human
Colon Tumour), BT-549 (Human Breast Carcinoma), dan A-549 (Human Lung
Carcinoma), yang diperoleh dari koleksi sel kultur Laboratorium Kalbe Genomic,
SCI. DNA standar EGFR ekson 21 diperoleh dari IDT DNA (Iowa, USA) yang
telah memiliki sertifikat kemurnian dan ketepatan susunan basa yang teruji.
Sampel cairan pleura pasien kanker paru diperoleh dari Departemen Pulmonologi
dan Respirasi FKUI/SMF Paru Rumah Sakit Persahabatan Jakarta melalui
prosedur dan etika pengambilan sampel yang telah disetujui Komisi Etika
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Lampiran 1).
Sampel yang diperoleh dalam bentuk kertas saring. Koleksi sampel cairan pleura
dan pengeringan pada kertas saring dilakukan oleh dokter ahli dan secara selektif
dipilih dari pasien kanker paru, bukan dari penderita penyakit Tuberkulosis atau
infeksi lainnya.
Prosedur Kerja
Pengembangan metode HRM dan RFLP untuk mengenali mutasi gen KRAS
dan EGFR pada DNA standar
Dalam tahapan ini dilakukan penentuan pola grafik standar DNA wild type
dan DNA mutan pada hasil analisis HRM dan pola pita hasil pemotongan enzim
pada analisis metode RFLP. DNA yang digunakan sebagai DNA cetakan
diperoleh dari DNA sel kultur standar yang diketahui memiliki mutasi gen KRAS
dan sekuen DNA yang memiliki mutasi gen EGFR.

1)

Analisis PCR-HRM KRAS dan EGFR
Analisis HRM dilakukan menggunakan alat Real Time-PCR Rotor-Gene
6000TM (Corbett Research, Sydney, Australia). Analisis PCR-HRM KRAS
dilakukan sesuai dengan metode yang telah dilakukan Krypuy et al. (2006).
Reagen PCR terdiri atas: 1x PCR buffer, 2,5 mM MgCl2, 200 nM primer, 200 µ M
dNTPs, 5µM SYTO9, 0,5 U Enzim Taq Polymerase dan air PCR grade hingga
volume 20 µL. Kondisi PCR yang digunakan adalah praPCR pada suhu 950C
selama 15 menit, 40 siklus PCR dengan tahapan denaturasi pada suhu 950C
selama 15 detik, annealing pada suhu 67,50C selama 15 detik, polimerisasi pada
suhu720C selama 15 detik dan satu siklus post-PCR pada suhu 950C selama 1
detik, dilanjutkan dengan melting DNA (HRM) pada suhu 72–950C dengan
kecepatan kenaikan temperatur sebesar 0,20C/detik.

30

Analisis PCR-HRM EGFR dilakukan menurut Hongdo et al. (2008).
Reagen PCR terdiri atas: 1x PCR buffer, 2,5 nM MgCl2, 200-400 nM primer, 200
µM dNTPs, 5µM SYTO9, 0,5 U enzim Taq Polymerase dan air PCR grade hingga
volume 20 µL. Kondisi PCR yang digunakan adalah pra-PCR pada suhu 950 C
selama 15 menit, 50 siklus PCR dengan tahapan denaturasi pada suhu 950 C
selama 10 detik, annealing pada suhu 650C selama 10 detik, dan polimerisasi pada
suhu 720C selama 30 detik, dan post-PCR pada suhu 970C selama 1 detik,
dilanjutkan dengan melting DNA pada suhu 70–950C dengan kecepatan kenaikan
temperatur sebesar 0,20C/detik.
Analisis RFLP KRAS kodon 12 dan 13
Produk PCR gen KRAS diperoleh melalui 2 kali proses PCR, first PCR dan
nested PCR. Mix PCR terdiri atas 500 nM primer, 1 x PCR buffer+MgCl2, 200
nM dNTP, 1,25 U enzim TaqPolymerase, H2O dan DNA cetakan. Kondisi PCR
yang digunakan adalah 1 siklus pra-PCR pada suhu 950C selama 5 menit, 18-20
siklus PCR dengan tahapan denaturasi pada suhu 950C selama 1 menit, annealing
pada suhu 50 - 550C selama 1 menit, dan polimerisasi pada suhu 720C selama 2
menit, dan satu siklus post-PCR pada suhu 720C selama 2 menit. Untuk suhu
penempelan primer pada first PCR KRAS kodon 13 dilakukan pada suhu 630C
selama 1 menit. Suhu annealing PCR KRAS 12 dan 13 dilakukan secara gradien
pada suhu 50 – 630C. First PCR dilakukan selama 18 – 20 siklus dan nested PCR
dilakukan selama 30 – 35 siklus.
Analisis RFLP produk PCR KRAS kodon 12 menggunakan produk PCR
sebanyak 15 µL yang dipotong dengan 20 U enzim BstNI. Analisis RFLP hasil
nested PCR KRAS kodon 13 menggunakan produk PCR sebanyak 15 µL yang
dipotong dengan 20 U enzim Bgl I. Hasil RFLP dimigrasikan dengan
elektroforesis pada gel agarosa dengan konsentrasi agarosa 2,5%. Elektroforesis
dilakukan selama 60 menit pada tegangan 100 volt. Gel diwarnai dengan 0,5
µg/mL EtBr dan dilihat pita yang terbentuk menggunkan transiluminator UV.
Analisis RFLP EGFR ekson 21
Produk PCR gen EGFR ekson 21 diperoleh melalui 2 kali proses PCR, first
PCR dan nested PCR menurut prosedur Kawada et al. (2008). Larutan mix PCR
terdiri atas 0,2 µM primer, 1 x PCR buffer+MgCl2, 0,2 µM dNTP, 0,5 U enzim
taq polymerase, H2O dan DNA cetakan. Kondisi PCR yang digunakan adalah 1
siklus pra-PCR pada suhu 950C selama 15 menit, 18-20 siklus PCR dengan
tahapan denaturasi pada suhu 950C selama 30 detik, annealing pada suhu 630 C
selama 30 detik, polimerisasi pada suhu 720C selama 1 menit, dan satu siklus
post-PCR pada suhu 720C selama 3 menit. First PCR dan nested PCR masingmasing dilakukan selama 30 – 40 siklus.
Analisis RFLP produk PCR EGFR ekson 21 kodon L858R menggunakan
produk PCR sebanyak 10 µL yang dipotong dengan 5 U enzim MscI. Analisis
RFLP produk PCR EGFR ekson 21 kodon L861Q menggunakan produk PCR
sebanyak 10 µL yang dipotong dengan 10 U enzim PvuII. Hasil RFLP
dimigrasikan dengan elektroforesis pada gel agarosa dengan konsentrasi agarosa
2,5%. Elektroforesis dilakukan selama 60 menit pada tegangan 100 volt. Gel
diwarnai dengan 0,5 µg/mL EtBr dan dilihat pita yang terbentuk menggunkan
transiluminator UV.

31

2)

Uji sensitivitas Metode