The Potential of Forest Litter Penicillium and Trichoderma on IAA Production in Meranti Leaves Compost

(1)

POTENSI

PENICILLIUM

DAN

TRICHODERMA

ASAL

SERASAH HUTAN DALAM PRODUKSI AIA PADA

KOMPOS MERANTI

QURRATA A’ AYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Penicillium dan

Trichoderma asal Serasah Hutan dalam Produksi AIA pada Kompos Meranti adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011

Qurrata A’ayuni


(3)

ABSTRACT

QURRATA A’AYUNI. The Potential of Forest Litter Penicillium and Trichoderma on IAA Production in Meranti Leaves Compost. Supervised by GAYUH RAHAYU and ATOK SUBIAKTO.

Environmental manipulation through utilization of forest litter combined with microbial inhabiting rhizosphere is applied to achieve sustainable, prospective and healthy meranti (Shorea spp.) forest. Penicillium IPBCC 09 622 (SI1) and

Trichoderma IPBCC 09 620 (SI2) originated from Dipterocarp litter were known to be able to reduce C/N ratio of Dipterocarp litter as well as produce IAA (Indole-3-Acetic Acid) in vitro. This study is aiming to assess the potential of these two fungi as a single (SI1, SI2) or their consortium (SI3) inoculants in producing IAA in meranti leaves compost. The compost was consisted of a mixture of meranti leave litter (83%), rice bran (15%) and urea (2%) at 60% moisture content. About 100 g of this mixture were placed in each polybag and steamed at 104oC for 30 minutes. The mixture were then inoculated with fungal biomass (SI1, SI2, or SI3) and then kept for 4 months. Uninoculated compost (SI-), steamed compost containing 4 ppm IAA synthetic (SA), and unsteamed and uninoculated compost (S-I-) were used as control. Each treatment had 3 replications. Observation was done monthly on population of Penicillium and

Trichoderma, C/N ratio, water content (WC), organoleptic (color, texture and smell) and temperature (t) of the compost. At the end of decomposting period, minerals P, K, Ca and Mg, weight loss, decomposition rate analyses and bio-assay using shoot cutting of meranti tembaga (Shorea leprosula) were done. Observation indicated that Penicillium did not survive, but Trichoderma survived throughtout decomposition period. Penicillium did not have lignases, while

Trichoderma only had tyrosinase. Fungal contamination occured during composting periods in all compost. About 10 fungal species were isolated in which Trichoderma was dominant. This contamination might effect to the overall research result. C/N ratio, WC and t content fluctuated between 15.93-45.47, 12.88-67.31% and 26-30.33oC respectively. At the end of composting period, C/N ratio was 15.93-18.53, WC was 26.55-50.94%, t was 29.67-30.33oC and minerals (P, K, Ca and Mg) content were 0.27-0.39%, 0.32-2.58%, 0.67-1.34%, 0.26-0.94%, respectively. Weight loss and decomposition rates was low, approximately 2.33-10.67% and 0.0058-0.028/yr respectively. The color, texture and smell of the compost did not meet the criteria SNI no. 19-7030-2004, while the C/N ratio and WC met SNI criteria. IAA production more were higher if the compost were inoculated with Trichoderma or it was infested by Trichoderma. IAA varied betwen 0.17-10.91 ppm depending on treatments. IAA detected using HPLC (high performance liquid chromatography) was slightly lower than those obtained from Salkowsky reagent. At the end of the composting, the compost was mixed with sterilized soil (1:1) and used for planting media of stem cutting. Bio-assay indicated that only 0.00-13.33% shoot cuttings of meranti tembaga showed root initiation depending on the composts. In conclusion Penicillium was not a potential agent, but Trichoderma was potential for IAA production in meranti leaves litter compost.

Keywords: Penicillium, Trichoderma, compost quality, IAA production, root initiation.


(4)

RINGKASAN

QURRATA A’ AYUNI. Potensi Penicillium dan Trichoderma asal Serasah Hutan dalam Produksi AIA pada Kompos Meranti. Di bawah bimbingan GAYUH RAHAYU dan ATOK SUBIAKTO.

Pemanfaatan serasah hutan dan mikrobanya menjadi salah satu program pemerintah menuju hutan meranti yang sehat, prospektif dan lestari. Penicillium IPBCC 09.622 (SI1) dan Trichoderma IPBCC 09.620 (SI2) asal serasah hutan Dipterokarp telah dilaporkan berpotensi sebagai dekomposer sekaligus penghasil AIA (Asam Indol Asetat) secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi dua kapang tersebut secara tunggal (SI1, SI2) atau konsorsium (SI3) dalam mendekomposisi serasah meranti sekaligus menghasilkan AIA pada kompos meranti.

Penelitian ini meliputi pengomposan serasah meranti selama empat bulan, produksi AIA selama proses pengomposan dan pengujian kompos meranti terhadap inisiasi akar stek meranti. Bahan kompos terdiri atas campuran serasah meranti (83%), dedak (15%) dan urea (2%) pada kadar air 60%. Sekitar 100 g bahan kompos dimasukkan dalam setiap baglog, baglog disterilisasi menggunakan mesin panas uap (steam) pada suhu 104oC selama 30 menit. Bahan kompos diinokulasi biomasa kapang (SI1, SI2, atau SI3), selanjutnya diinkubasi selama empat bulan. Kompos tanpa inokulan (SI-), kompos disteam dengan 4 ppm AIA sintetik (SA) dan kompos tanpa disteam dan tanpa inokulan (S-I-) digunakan sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan setiap bulan selama empat bulan pengomposan terhadap populasi Penicillium dan Trichoderma, rasio C/N, kadar air (KA), suhu, organoleptik kompos (warna, tekstur dan bau) serta kadar AIA. Kandungan hara makro (P, K, Ca dan Mg), kehilangan bobot kompos dan laju dekomposisi diamati pada akhir pengomposan. Selanjutnya kompos yang diperoleh diuji pengaruhnya terhadap inisiasi akar stek meranti.

Hasil penelitian menunjukkan Trichoderma dapat bertahan hidup selama masa pengomposan dan populasinya stabil pada SI2 dan SI3 yaitu berkisar antara 5.33 x 106 hingga 15 x 106 koloni/g kompos dan 3.33 x 106 hingga 5.33 x 106

koloni/g kompos. Trichoderma juga ditemukan mengkontaminasi perlakuan lainnya

kecuali S-I-. Sebaliknya Penicillium tidak mampu bertahan hidup. Satu bulan setelah inokulasi, Penicillium tidak ditemukan lagi dan kompos diinfestasi oleh Trichoderma. Penicillium tidak memiliki enzim pendegradasi lignin, sedangkan Trichoderma hanya memiliki enzim tirosinase. Kapang kontaminan yang berhasil diisolasi selain Trichoderma selama pengomposan dari semua kompos sebanyak 9 jenis. Kapang-kapang tersebut adalah Acremonium, Apiocarpella, askomiset,

Aspergillus, Diplodia, Hymenella, Sphorothrix, Paecylomyces dan Phoma. Rasio C/N, kadar air dan suhu bahan kompos berfluktuasi berturut-turut 15.93-45.47, 12.88-67.31% dan 26-30.33oC. Pada akhir masa pengomposan rasio C/N kompos berkisar 15.98-18.53, KA antara 26.55-50.94%, suhu berkisar 29.67-30.33oC, P 0.27-0.39%, K 0.32-2.58%, Ca 0.67-1.34% dan Mg 0.26-0.94%. Kehilangan bobot kompos sebesar 2.33-10.67% dan laju dekomposisi serasah meranti rendah yaitu 0.0058-0.028/th. Warna, tekstur dan bau kompos belum memenuhi kriteria SNI kompos no. 19-7030-2004, sedangkan rasio C/N dan kadar air telah memenuhi kriteria SNI kompos tersebut.


(5)

Produksi AIA tertinggi terjadi pada kompos SI1 yaitu 48.63 ppm pada tiga bulan pengomposan. Namun, produksi AIA ini tidak disebabkan oleh inokulasi Penicillium karena kompos pada perlakuan itu terinfestasi oleh Trichoderma mulai satu bulan pengomposan. Pada akhir masa pengomposan kandungan AIA kompos berkisar antara 0.17-10.91 ppm. AIA yang terdeteksi pada kompos terpilih sedikit lebih besar daripada analisisnya dengan HPLC (high performance liquid chromatography) yaitu 4.36 ppm dan 5.06 ppm. Bioasai menunjukan bahwa semua kompos meranti tidak mampu merangsang pembentukan akar stek meranti tembaga. Hanya sekitar 0.00-13.33% stek pucuk memperlihatkan inisiasi akar bergantung komposnya. Penicillium tidak mampu menghasilkan AIA pada kompos, sebaliknya Trichoderma mampu menghasilkan AIA pada kompos meranti.

Kata kunci : Penicillium, Trichoderma, kualitas kompos, produksi AIA, pertumbuhan akar stek.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

POTENSI

PENICILLIUM

DAN

TRICHODERMA

ASAL

SERASAH HUTAN DALAM PRODUKSI AIA PADA

KOMPOS MERANTI

QURRATA A’AYUNI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Judul Tesis : Potensi Penicillium dan Trichoderma asal Serasah Hutan dalam Produksi AIA pada Kompos Meranti

Nama : Qurrata A’ayuni NRP : G351090021 Mayor : Mikrobiologi

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gayuh Rahayu Ir. Atok Subiakto, M.App.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Mikrobiologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Gayuh Rahayu Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penelitian yang berjudul Potensi Penicillium

dan Trichoderma asal Serasah Hutan dalam Produksi AIA pada Kompos Meranti dapat diselesaikan dengan baik.

Penghargaan dan terima kasih setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Bapak Ir. Atok Subiakto M.App.Sc. selaku pembimbing, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan saran dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan saran untuk perbaikan tesis ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak (almarhum) H. Abdussyakur Munaf dan Ibu (almarhumah) Hj. Imronah, Bapak dan Ibu mertua Muridi dan Mas’ah, suamiku Agus Salim dan ananda Sholahuddin Yusuf Al ayubi dan Fahma Kamila Salim, atas segala doa, dukungan dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan ini. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Kementrian Agama yang telah memberikan beasiswa selama pendidikan ini, serta kepada Ibu Emi dan Bapak Kus dan teman-teman sesama peneliti di laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB, rekan-rekan mikrotropisian 2009, Bapak Suhendar, Mbak Yuli dan staf pembibitan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor, yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

Tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis menerima kritik dan saran perbaikan. Namun penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat menambah optimisme membangun masa depan yang lebih baik.

Bogor, Oktober 2011


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, Banten pada tanggal 4 Mei 1978 dari bapak H. Abdussyakur Munaf dan ibu Hj. Imronah. Penulis merupakan anak ketujuh dari dua belas bersaudara.

Pendidikan diawali dengan bersekolah di MI Attaqwa Tangerang (1985-1990), kemudian MTS Attaqwa Tangerang (1990-1993) dan dilanjutkan di SMUN I Serpong (1993-1996). Tahun 1996 penulis menempuh pendidikan di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Pakuan Bogor dan mendapat gelar Sarjana Sains pada tahun 2001. Terhitung mulai Juli 2000 sampai 2009 penulis bekerja sebagai guru Biologi di Madrasah Aliyah Attaqwa Tangerang Banten.

Pada tahun 2009 penulis mendapat Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementrian Agama RI untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana, Mayor Mikrobiologi, Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, pada tanggal 21-26 September 2010 penulis berkesempatan mengikuti Summer Courses Program on Tropical Agricultural Sustainability di Institut Pertanian Bogor. Keikutsertaan penulis pada program tersebut didukung oleh dana I-MHERE (Indonesia-Managing Higher Education for Relevance and Efficiency) Institut Pertanian Bogor.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Meranti ... 3

Dekomposisi ... 4

Kapang Tanah Sebagai Dekomposer ... 6

Kapang Tanah Sebagai Penghasil ZPT... 7

Kompos ... 9

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Metode ... 11

Peremajaan Kultur Stok ... 11

Analisis Kualitatif Lignolitik ... 12

Pengomposan ... 13

Sintasan Penicillium dan Trichoderma ... 15

Penetapan Kadar AIA ... 15

Bioasai ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pengomposan ... 17

Produksi AIA selama Proses Pengomposan ... 23

Pengaruh Kompos Meranti terhadap Inisiasi Akar Stek Pucuk Meranti Tembaga (Shorea leprosula) ... 25

PEMBAHASAN Pengomposan ... 25

Produksi AIA selama Proses Pengomposan ... 30

Pengaruh Kompos Meranti terhadap Inisiasi Akar Stek Pucuk Meranti Tembaga (Shorea leprosula) ... 31

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 33


(13)

DAFTAR PUSTAKA ... 34 LAMPIRAN ... 38


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Daftar skor untuk warna, tekstur dan bau kompos ... 14

2 Komposisi kimia serasah meranti dan bahan kompos ... 17

3 Sintasan inokulan Penicillium dan Trichoderma ... 18

4 Kadar air kompos selama pengomposan ... 19

5 Kadar P, K, Ca dan Mg bahan kompos di akhir pengomposan ... 22

6 Laju dekomposisi bahan kompos ... 23

7 Pengaruh kompos terhadap inisiasi akar stek meranti pada 8 minggu setelah tanam ... 25


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Skema lintasan pembentukan AIA (a) lintasan bergantung

triptofan (b) lintasan tidak bergantung triptofan (Taiz & Zeiger 2002;

Davies 2004; Woodward & Bartel 2005) ... 8

2 Alur penelitian ... 12

3 Keragaman kapang selama pengomposan ... 20

4 Rasio C/N bahan kompos selama pengomposan ... 19

5 Penampakan kompos pada awal dan akhir pengomposan ... 21

6 Rataan suhu kompos selama pengomposan ... 21

7 Kehilangan bobot kompos selama pengomposan ... 22

8 Trichoderma dan Penicillium dalam uji tirosinase dan lakase ... 23


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur analisis KA dan C ... 39

2 Prosedur analisis N, P dan K ... 39

3 Prosedur analisis Ca dan Mg ... 39

4 Prosedur analisis AIA HPLC ... 39

5 Komposisi media Ekstrak Malt Pepton Agar (EMPA) ... 40

6 Komposisi media agar Czapek ... 40

7 Komposisi pereaksi Salkowski ... 40

8 Kualitas kompos SNI No. 19-7030-2004 ... 40


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meranti menjadi salah satu jenis pohon unggulan yang direkomendasikan oleh pemerintah dalam upaya rehabilitasi dan pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman. Pengelolaan hutan ini menerapkan silvikultur intensif agar terbentuk hutan yang sehat, prospektif dan lestari (Dephut RI 2006). Pengadaan bibit menjadi salah satu faktor penting dalam upaya rehabilitasi dan silvikultur intensif. Salah satu komponen yang sedang dikembangkan dalam program menuju hutan yang sehat, prospektif dan lestari adalah pemanfaatan serasah hutan dan mikrobanya. Hal tersebut dilakukan untuk menunjang pertumbuhan bibit tanaman. Hindersah dan Simarmarta (2004) menyatakan rhizosfer ekosistem hutan yang sehat akan dihuni oleh organisme yang menguntungkan, termasuk mikroba dekomposer dan penghasil zat pengatur tumbuh.

Pada penanaman meranti dengan menerapkan teknik silvikultur intensif, bibit-bibit meranti ditanam pada lubang-lubang yang telah diisi dengan serasah hutan. Seperti dinyatakan oleh Soekotjo (2009) yaitu serasah hutan digunakan sebagai kompos yang akan dicampur dengan tanah yang terdapat di sekitar pohon besar.

Di antara mikroba penghuni rhizosfer terdapat kapang. Lynd et al. (2002) menyatakan beberapa kapang terutama Penicillium dan Trichoderma merupakan dekomposer. Selain itu, potensi kapang dalam menghasilkan hormon tumbuh seperti auksin sudah banyak diketahui. Trichoderma virens dan T. atroviridae

yang diinokulasikan pada kecambah Arabidopsis menunjukkan kemampuan menghasilkan auksin. Hormon ini meningkatkan produksi biomasa dan meningkatkan panjang akar lateral (Cornejo et al. 2009). Selain itu, Imaningsih (2010) menemukan bahwa dua kapang asal serasah hutan yaitu Penicilium IPBCC 09.620 dan Trichoderma IPBCC 09.622 berpotensi sebagai dekomposer sekaligus penghasil AIA. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kedua kapang ini mampu menurunkan rasio C/N serasah meranti sebesar 66.61% dan 67% selama 3 minggu inkubasi.


(18)

Secara alami serasah meranti memerlukan masa pengomposan yang cukup lama untuk berubah menjadi kompos yaitu minimal 9 bulan (Osono et al. 2009). Untuk mempercepat proses pengomposan maka penambahan inokulum kapang dekomposer serasah perlu dilakukan. Jika kapang dekomposer juga penghasil AIA maka diharapkan di dalam kompos akan terbentuk AIA. Penambahan inokulan dapat berupa campuran beberapa kapang karena di dalam rhizosfer beberapa jenis kapang yang merupakan bagian dari suatu komunitas. Pengomposan serasah meranti dengan konsorsium kapang sebagai inokulan belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu penelitian mengenai potensi kapang sebagai inokulan tunggal dan konsorsium dalam mendekomposisi bahan serasah meranti sekaligus memperkaya kompos dengan AIA asal kapang perlu dikaji.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi Penicillium dan

Trichoderma asal serasah hutan dalam mendekomposisi serasah meranti dan dalam menghasilkan AIA pada kompos serasah meranti.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi kapang penghasil AIA dalam proses pengomposan serasah meranti untuk mendukung program rehabilitasi dan penerapan silvikultur intensif pada tahap pembibitan meranti.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA Meranti

Meranti adalah pohon berkayu yang berharga karena kualitas kayunya yang baik untuk dipergunakan sebagai bahan bangunan. Selain kayunya, getah (damar) dan buahnya (tengkawang) juga memiliki nilai ekonomi. Damar merupakan salah satu hasil metabolit sekunder dari pohon-pohon yang termasuk Dipterocarpaceae dan beberapa famili pohon hutan lainnya (Soekotjo 2007). Ada dua jenis damar yang dikenal berdasarkan kualitasnya. Pertama, damar batu sebagai damar yang bermutu rendah, berwarna coklat kehitaman yang keluar dengan sendirinya dari pohon yang terluka. Kedua, damar mata kucing yang bening atau kekuningan sebagai damar bermutu tinggi. Damar ini dipanen dengan cara melukai kulit pohon. Secara tradisional, damar digunakan sebagai bahan penerangan dan pendempul perahu, pembuatan dupa, bahan pewarna, perekat, bahan baku cat, industri batik tulis dan obat (Michon et al. 2000). Damar mata kucing sudah dibudidayakan oleh masyarakat Krui, yaitu wilayah yang terletak antara Lampung dan Bengkulu Selatan (Soekotjo 2007). Buah (tengkawang) mengandung lemak dapat dipergunakan sebagai bahan kosmetik, minyak makanan dan bahan baku obat-obatan (Sumadiwangsa 2001).

Meranti tergolong pohon yang lambat beregenerasi dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai tahap siap disadap. Pohon ini belum dapat dimanfaatkan sebelum diameternya mencapai sekitar 25 cm. Regenerasi spontan sulit terjadi karena masa berbunganya jarang dan tidak teratur, dan bijinya tidak mengalami dormansi (Michon et al. 2000). Saat ini jumlah pohon meranti mulai berkurang sehingga ketersediaannya tidak sebanding dengan permintaan pasokan kayu untuk industri. Hal ini sesuai dengan laporan Kemenhut RI (2006) tentang adanya kesenjangan antara permintaan pasokan bahan baku dengan ketersediaan kayu untuk industri pengelolahan kayu berdiameter besar di Indonesia.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan kayu di Indonesia seperti silvikultur intensif dan soft landing. Siran (2007) menyatakan bahwa penerapan teknik silvikultur intensif pada sistem tebang pilih Indonesia atau tebang pilih tanam Indonesia diharapkan dapat menjamin kelestarian fungsi hutan secara ekonomis, sosial dan lingkungan. Cara lain yaitu soft landing yang


(20)

artinya mengurangi luas areal penebangan hutan secara bertahap. Di samping pengelolaan penebangan pohon, upaya melestarikan hutan adalah dengan penanaman.

Sejak tahun 2005 pohon meranti ditanam dengan menerapkan teknik silvikultur intensif pada pengelolaan hutan alam dengan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (Soekotjo 2007). Di Indonesia, terdapat tujuh jenis meranti (Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johoriensis, S. platyclados, S. macrophylla, S. ovalis

dan S. smithiana) yang dianggap memiliki prospek masa depan untuk membangun hutan tanaman komersial (Soekotjo 2007). Shorea leprosula (meranti tembaga) merupakan pohon meranti memiliki tajuk berwarna tembaga dengan tinggi pohon dapat mencapai 60 m dengan tinggi banir 1.5 m, diameter 100 cm dan tinggi batang bebas cabang 35 m, daun lonjong sampai bulat telur dengan panjang 8-14 cm serta lebar 3.5-4.5 cm. Musim berbuahnya hanya 3 sampai 5 tahun sekali (Joker 2002).

Salah satu hasil penelitian yang telah dimanfaatkan secara luas khususnya yang berkaitan dengan penanaman meranti adalah pengadaan bibit melalui stek pucuk. Subiakto dan Sakai (2007) menyatakan bahwa stek pucuk merupakan teknik sederhana dalam perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Teknik ini memanfaatkan juvenilitas pucuk dari tumbuhan induk. Salah satu komponen silvikultur yang sedang dikembangkan adalah manipulasi mikroba tanah diantaranya kapang untuk menunjang kebugaran bibit.

Dekomposisi

Selulosa adalah komponen utama daun dan merupakan polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α-1,4–glikosida. Kandungan selulosa di dalam dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman. Selulosa berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Lynd et al. 2002).

Mekanisme penguraian selulosa dapat ditunjukkan melalui proses yang melibatkan enzim selulase dan berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama tahap menguraikan polimer selulosa secara random, kedua tahap penguraian selulosa 4


(21)

dari ujung pereduksi dan nonpereduksi, dan tahap terakhir adalah mengurai seloboisa menjadi glukosa (Lynd et al. 2002).

Enzim selulase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Endoglukanase atau dikenal 1,4-α–D-glukan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.4), mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α -1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi sebagai tahap pertama. Eksoglukanase, termasuk 1,4-α– D-glukan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.74) atau selodekstrinase dan 1,4-α– D-glukan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.91) atau selobiohidrolase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan glukosa sebagai tahap kedua. Enzim α-glukosidase (EC 3.2.1.21) atau α glukosida glukohidrolase mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa sebagai tahap yang ketiga atau terakhir (Lynd et al. 2002).

Komponen lain yaitu lignin juga diketahui berikatan dengan selulosa pada tanaman. Lignin menjadi salah satu dari polimer organik yang sangat lambat untuk didekomposisi dalam lingkungan karena struktur kimianya yang sangat kompleks (Erden et al. 2009). Kompleksitas struktur, bobot molekul yang tinggi dan sifat ketidaklarutan lignin dalam air membuat degradasi lignin sangat sulit. Degradasi lignin merupakan tahapan pembatas bagi kecepatan dan efisiensi yang berhubungan dengan selulosa (Simanungkalit et al. 2006). Tingkat degradasi lignin tergantung pada kondisi lingkungan dan jenis kapang yang terlibat (Mansur

et al. 2003).

Kapang memiliki kemampuan mendegradasi lignin karena kapang ini dapat menghasilkan enzim-enzim pendegradasi lignin. Mtui dan Nakamura (2007) menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok utama enzim ekstraseluler yaitu manganase peroksidase, lignin peroksidase dan lakase. Kelompok enzim tersebut diyakini berperan penting pada kapang dalam mendegradasi lignin.

Enzim lignolitik lainnya adalah fenoloksidase yang mengoksidasi gugus δ dan p-fenol serta gugus amina menjadi kuinon. Pada kelompok fenoloksidase terdapat enzim lakase dan tirosinase yang memberikan reaksi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan p-kresol (Hutchinson 1990).


(22)

Proses dekomposisi terdiri dari tiga tahapan yang diikuti oleh perubahan distribusi populasi mikroba, yaitu tahap mesofilik (20-40oC), tahap termofilik (40-80oC) dan tahap stabilisasi atau pendinginan (Silvia et al. 2005). Dekomposisi yang dilakukan koloni kapang pada tanaman hutan secara alami membutuhkan waktu yang cukup lama. Di alam proses dekomposisi oleh kapang dilakukan secara konsorsium. Osono et al. (2009) meneliti proses dekomposisi serasah di sekitar pohon meranti yang hidup di dalam hutan tropik musiman di Thailand. Kolonisasi kapang hanya meningkat 30% pada serasah daun selama proses dekomposisi yang berlangsung 9 bulan.

Kapang Tanah Sebagai Dekomposer

Sebagian besar kapang yang berasal dari serasah hutan adalah kapang penghuni tanah pengurai sisa-sisa organik makhluk hidup terutama tanaman menjadi unsur yang dapat digunakan kembali oleh tanaman. Lynd et al. (2002) menyatakan bahwa kapang diketahui melakukan dekomposisi selulosa secara aktif di alam dengan menghasilkan enzim selulose ekstraseluler. Kapang Aspergillus,

Bulgaria, Chaethomium, Clodosporium, Coriolus, Fusarium, Geotrichum,

Helotium, Myrothecium, Paecilomyces, Penicillium, Phanaerochaeta, Poria, Schizophyllium, Serpula, dan Trichoderma diketahui memiliki kemampuan mendekomposisi kayu.

Keberadaan kapang dan mikroorganisme perombak bahan organik di dalam hutan sangat penting karena berperan dalam daur hara dari bahan organik yang telah mati untuk dikembalikan ke dalam tanah dan atmosfir. Mikroorganisme di dalam tumpukan bahan organik tidak dapat langsung menggunakan partikel organik tidak larut. Mikroorganisme memproduksi dua sistem enzim ekstraseluler yaitu sistem hidrolitik dan oksidatif. Sistem hidrolitik menghasilkan hidrolase dan berfungsi untuk degradasi selulosa dan hemiselulosa. Sistem oksidatif yang bersifat lignolitik berfungsi mendepolimerisasi lignin (Simanungkalit et al. 2006). Unsur-unsur N, P, K, Ca, Mg, dan lain-lain akan masuk kembali ke dalam tanah. Senyawa CH4 dan CO2 akan dilepaskan ke

atmosfer. Unsur N, P, K, Ca dan Mg dalam tanah merupakan hara tanaman, sehingga siklus hara berjalan dan proses kehidupan di muka bumi ini dapat 6


(23)

berlangsung (Simanungkalit et al. 2006). Penicillium sp. dan Trichoderma sp. mampu menurunkan rasio C/N serasah meranti sebesar 66.61% dan 67% selama 3 minggu pengomposan (Imaningsih 2010).

Kapang Tanah Sebagai Penghasil ZPT

Mikroba yang menempati ekosistem rhizosfer diketahui memiliki peranan sebagai agen pemacu pertumbuhan tanaman dengan cara menghasilkan berbagai hormon, vitamin dan berbagai asam-asam organik dengan memanfaatkan substrat organik dan bahan organik atau eksudat tanaman sebagai sumber energi dan nutrisinya (Hindersah dan Simarmarta 2004).

Hormon pertumbuhan adalah senyawa-senyawa organik tumbuhan yang dalam konsentrasi yang rendah mempengaruhi proses-proses fisiologis. Proses-proses fisiologis ini terutama Proses-proses pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan tanaman (Davies 2004). Hormon pertumbuhan yang telah dikenal diantaranya auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan gas etilen (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004). Perkembangan pengetahuan biokimia dan dengan majunya industri kimia, banyak senyawa-senyawa yang mempunyai pengaruh fisiologis yang serupa dengan hormon tanaman ditemukan. Senyawa-senyawa sintetik ini pada umumnya dikenal dengan nama Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) tanaman (Widyastuti & Tjokrokusumo 2001)

Auksin berfungsi dalam: (1) inisiasi pembentukan akar lateral dan adventif; (2) perpanjangan sel dan pelenturan dinding sel; (3) diferensiasi sel, misalnya merangsang diferensiasi pada pada jaringan berkas pengangkut; (4) mempengaruhi dominasi apikal; dan (5) pada kondisi tertentu merangsang pembentukan gas etilen (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004).

Salah satu peranan penting auksin adalah berhubungan dengan proses memacu perkembangan meristem akar adventif. Auksin secara alami dihasilkan oleh tumbuhan, seperti AIA (Indole-acetic acid), PAA (Phenyl-acetic acid), 4-chloroAIA (4-chloro-indole acetic acid) dan IBA (Indolebutyric acid) (Stern et al. 2003). Reagen Salkowski dapat digunakan untuk mendeteksi dihasilkannya AIA, karena reagen ini umum digunakan untuk mendeteksi komponen indolik (Glickmann & Dessaux 1995).


(24)

Pembentukan AIA melalui dua jalur (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004; Woodward & Bartel 2005) yaitu lintasan bergantung triptofan dan lintasan tidak bergantung triptofan (Gambar 1)

Gambar 1 Skema lintasan pembentukan AIA (a) lintasan bergantung triptofan (b) lintasan tidak bergantung triptofan (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004; Woodward & Bartel 2005).

Mikroorganisme juga diketahui mampu menghasilkan AIA selain oleh tumbuhan (Sridevi & Mallaiah 2007). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kapang asal serasah hutan mampu menghasilkan ZPT terutama hormon auksin yaitu AIA seperti Sclerotium (Sarma et al. 2003), Fusarium (Hasan 2002) dan T. virens serta T. atroviridae (Cornejo et al. 2009).

Antranilat sintase

Khorismat Antranilat

Antranilat PR-transferase PR antranilat isomerase

5-fosforibosilantranilat 1-(o-karboksifenilamino) deoksiribosa 5-P

Indol gliserol fosfat sintase Triptofan sintase α

Serin +

Indol

Triptofan sintase β

3-Indol gliserol fosfat Indol sintase Indol Triptofan monooksigenase Triptofan Triptofan dekarboksilase 3-indol asetaldoksim Triptamin Triptofan transaminase

Asam 3-indol piruvat

Asam 3-indol piruvat dekarboksilase Amin oksidase 3-indol asetamat hidrolase 3-indol asetamat

Asam 3-indol asetaldehid 3-indol asetonitril

Nitrilase

Asam 3-indol asetat (AIA)

(b)

(a)

(a)

(a)

Asam 3-indol asetaldehid dehidrogenase


(25)

Kompos

Kompos diperoleh dari proses dekomposisi bahan organik. Pengomposan didefinisikan sebagai proses biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai agen yang merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip humus. Kompos yang dimanfaatkan sebagai pupuk dan pembenah tanah. Kompos memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak dapat digantikan oleh pupuk kimiawi, yaitu mampu mengurangi kepadatan tanah, meningkatkan penyerapan hara dan kemampuan mengikat air sehingga tanah menjadi gembur dapat menyimpan air lebih lama, menahan erosi tanah, mengurangi pencucian hara serta menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah (Aminah et al. 2003).

Proses pengomposan berlangsung pada kondisi aerob dan anaerob. Pengomposan aerob merupakan pengomposan bahan organik dengan menggunakan O2. Hasil akhir pengomposan anaerob terutama berupa CH4 dan

CO2 serta sejumlah senyawa hasil antara yang menimbulkan bau busuk karena

adanya H2S dan sulfur organik seperti merkaptan (Simanungkalit et al. 2006).

Silvia et al. (2005) menambahkan bahwa proses pengomposan melibatkan bahan organik yang tidak stabil, udara dan air. Akhir pengomposan akan menghasilkan bahan organik yang stabil (seperti humus), adanya panas, gas-gas seperti CO2 dan

NH3 serta biomasa dari mikroba.

Keuntungan utama dari pengomposan adalah adanya proses sanitasi. Hal ini dapat berhubungan dengan penghilangan patogen, larva serangga, parasit, bibit rumput liar dan kompos menjadi berisi bioenergi tersedia dari sampah yang tereduksi (Silvia et al. 2005).

Metode pengomposan bahan organik meliputi metode indore (indore heap method dan indore pit method), metode Barkeley (untuk bahan-bahan yang berselulosa tinggi atau C/N rasio tinggi) dan metode Jepang (Aminah et al. 2003). Metode pengomposan secara indore sesuai untuk diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi dengan proses pengomposan berlangsung selama lebih kurang 3 bulan. Indore heap method (bahan kompos di atas tanah) dilakukan dengan cara penimbunan bahan–bahan kompos secara berlapis-lapis setebal 10-25 9


(26)

cm dan bagian atasnya ditutupi kotoran ternak untuk mengaktifkan proses, kemudian timbunan disiram dengan campuran pupuk kandang dan abu, serta dibiarkan selama 3 bulan. Pembalikan pada hari ke 15, 30 dan 60 agar laju pengomposan lebih cepat. Indore pit method (bahan dipendam di dalam tanah) dilakukan dengan cara pemendaman bahan kompos pada lubang galian di tempat yang relatif tinggi. Bahan dasar kompos yang mudah terdekomposisi disebar secara merata di dalam lubang, diikuti kotoran ternak, tanah dan kompos matang, kemudian bahan kompos dibasahi secukupnya. Pembalikan dilakukan pada hari ke 15, 30 dan 60 disertai pembasahan agar kelembaban bahan terjaga. Pada metode Barkeley, bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis dengan lapisan bawah adalah kompos yang ber C/N rendah diikuti bahan yang ber C/N tinggi. Pada hari kedua atau ketiga akan terjadi peningkatan suhu, kemudian timbunan dibalik. Pembalikan selanjutnya dilakukan pada hari ketujuh dan kesepuluh, dan dalam tiga minggu kompos telah masak. Pada metode Jepang, bahan kompos ditumpuk di dalam bak penampung yang terbuat dari kawat, atau bambu atau kayu yang disusun secara bertingkat. Bagian dasar bak dilapisi bahan kedap air agar terhindar dari pencucian unsur hara ke dalam tanah di bawahnya. Bahan dasar kompos terdiri dari kotoran ternak, rumput atau limbah rumah tangga.

Proses dekomposisi bahan organik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan diantaranya suhu, pH dan substrat dan nisbah C/N. Kompos sebagai bentuk akhir bahan-bahan organik setelah mengalami dekomposisi untuk dapat digunakan oleh masyarakat harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Kompos yang memenuhi SNI memiliki kriteria sebagai berikut: rasio C/N mempunyai nilai (10-20):1, suhu harus sesuai dengan suhu air tanah, berwarna kehitaman dengan tekstur seperti tanah, berbau tanah, tidak mengandung semua bahan pengotor organik dan anorganik (logam, gelas, plastik dan karet). Karakteristik lainnya dari kompos adalah kandungan bahan organik dalam kompos minimal 27%. Kadar air yang diperbolehkan dalam kompos maksimal 50% (Standar Nasional Indonesia 2004).


(27)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2010 hingga Juni 2011 di Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan diantaranya adalah: AIA sintetik, akuades, dedak, isolat Penicillium IPBCC 09. 620 dan Trichoderma IPBCC 09.622; jagung, kemisitin, media PDA (Potato Dekstrose Agar), media EMPA (Ekstrak Malt Pepton Agar), media agar Czapek, media agar EMPT (Ekstrak Malt Pepton Tanat), media agar EMPG (Ekstrak Malt Pepton Galat), meranti tembaga (Shorea leprosula) umur 9 bulan, 1-naftol, p-kresol, reagen Salkowski, serasah meranti, tanah dan urea. Peralatan yang digunakan diantaranya adalah: autoklaf, cawan petri, cork borer, erlenmeyer, jarum inokulasi, laminar, tabung falkon, tabung reaksi, termometer, timbangan analitik, spektrofotometer, peralatan pembuatan

baglog, peralatan pengomposan dan peralatan bioasai.

Metode

Penelitian terdiri dari beberapa tahapan kerja (Gambar 2).

Peremajaan Kultur Stok

Kultur stok Penicillium IPBCC 09.620 dan Trichoderma IPBCC 09.622 diremajakan pada media PDA dan diinkubasi selama 7 hari pada kondisi ruang. Biakan ini digunakan sebagai kultur kerja. Sebanyak 3 potong (diameter 5 mm) biakan dari kultur kerja dipindahkan ke dalam 50 g media jagung dan diinkubasi dalam kondisi ruang selama 14 hari. Biakan dalam media jagung dijadikan sebagai sumber inokulum pada proses pengomposan.


(28)

peremajaan kultur stok pada

PDA

kultur kerja

pengumpulan serasah meranti

persiapan bahan kompos

produksi konidia pada media jagung

Gambar 2 Alur penelitian

Analisis Kualitatif Lignolitik

Analisis kualitatif lignolitik dilakukan untuk menetapkan aktivitas enzim fenoloksidase, lakase dan tironase dari kultur kerja. Sepotong biakan Trichoderma

dan Penicillium (± 5 mm diameter) ditumbuhkan pada media EMPA (Ekstrak Malt Pepton Agar) yang telah ditambahkan asam tanat 0.5 % (media agar EMPT) atau asam galat 0.5% (media agar EMPG). Biakan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Koloni kapang yang menampakkan aktifitas fenoloksidase akan membentuk zona berwarna coklat di bawah dan sekitar koloni (Bavendamm

pengomposan

perlakuan kapang tunggal (Penicillium,

Trichoderma) dan kombinasinya (1:1), KA 60% dan inkubasi 4 bulan

pengamatan setiap bulan

kadar AIA mutu kompos sintasan Penicillium dan

Trichoderma

pengamatan pada akhir pengomposan

kehilangan bobot

laju dekomposisi

bioasai

analisis lignolitik suhu


(29)

1928). Aktivitas fenoloksidase ditetapkan secara kualitatif berdasarkan rasio diameter zona berwarna di luar koloni terhadap diameter koloni.

Aktivitas lakase dan tirosinase ditetapkan menurut metode pewarnaan (Hutchinson 1990). Kultur kerja ditumbuhkan pada media EMPA hingga berumur 4 hari, selanjutnya koloni diberi 1-2 tetes naftol pada posisi pukul 12 dan kresol pada posisi pukul 6. Perubahan warna diamati 1 jam setelah penetesan dan diulang pada jam ke 24. Perubahan warna koloni dan media di sekitar tempat penetesan naftol menjadi biru sampai ungu menandakan adanya lakase. Pembentukan warna merah orange sampai coklat setelah penetesan kresol menandakan adanya tirosinase.

Pengomposan

Serasah meranti yang berasal dari hutan penelitian CIFOR Dramaga dikumpulkan. Kemudian serasah tersebut dicuci dengan air mengalir sampai bersih dan dikering udarakan. Sebanyak 100 g dari serasah yang telah dikering udarakan dipergunakan untuk penetapan kadar airnya (KA). Sejumlah serasah lainnya dihancurkan dengan menggunakan mesin pencacah. Cacahan serasah meranti selanjutnya ditambah 15% dedak dan 2% urea serta akuades hingga mencapai kadar air 60% dan dicampur dengan bantuan mesin pencampur. Sebanyak 100 g berat basah campuran bahan kompos dimasukkan ke dalam kantong plastik putih tahan panas (baglog) kemudian dipadatkan dan diberi cincin paralon pada ujungnya. Selanjutnya bahan kompos dalam baglog ditutup dengan kapas dan kertas lalu diikat dengan karet.

Baglog-baglog disterilisasi dengan mesin uap (steam) pada suhu 104ºC selama setengah jam. Bahan kompos yang tidak disteam digunakan sebagai pembanding (S-I-). Bahan kompos yang disteam kemudian dicampur dengan

suspensi konidia Penicillium (SI1) atau Trichoderma (SI2) sebagai inokulan tunggal sebanyak ± 10 g dalam media jagung atau inokulan campurannya (1:1) (SI3). Bahan kompos yang disteam saja digunakan sebagai kontrol negatif (SI-), sedangkan sebagai kontrol positif (SA) adalah bahan kompos yang ditambah AIA sintetik 4 ppm. Setiap perlakuan dibuat 80 kantong. Sebanyak tiga kantong setiap pelakuan diamati setiap bulan selama empat bulan dengan 13


(30)

variabel pengamatan meliputi: sintasan Trichoderma dan Penicillium, kualitas kompos (rasio C/N, KA dan uji organoleptik kompos), suhu serta kadar AIA. Pada bulan keempat dilakukan analisis hara makro (P, K, Ca dan Mg), pengukuran bobot kompos dan laju dekomposisi.

Laju dekomposisi dihitung berdasarkan persamaan Fioretto (2005) yaitu: k = - ln (Xt/Xo)

t

dengan k = laju dekomposisi Xo = berat awal substrat (g) Xt = berat tersisa

substrat (g) dan t = bulan.

Kualitas kompos meliputi analisis kadar air, rasio C/N, kadar hara makro (P, K, Ca dan Mg) serta uji organoleptik terhadap warna, tekstur dan bau kompos dilakukan dengan tiga responden. Warna, tekstur dan bau kompos ditetapkan berdasarkan sistem skor (Tabel 1) dan dinyatakan dalam rataan skor.

Tabel 1 Daftar skor untuk warna, tekstur dan bau kompos

Skor Warna Tekstur Bau

0 tidak hitam seperti bahan kompos seperti bahan kompos

1 Hitam seperti tanah seperti tanah

Penetapan kadar air (KA), rasio C/N dan kadar hara makro dilakukan pada sampel yang diambil dari kompos campuran 3 baglog. Analisis dilakukan oleh laboratorium Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis KA dan kandungan C ditetapkan secara berkesinambungan. Analisis KA menggunakan metode gravimetri dan kadar C dalam kompos diukur berdasarkan metode lost on ignation (Lampiran 1).

Analisis kadar N, P dan K diukur dengan menggunakan metode berturut-turut yaitu Kjeldahl, titrasi, pengabuan basah dan kalorimetri serta flamefotometer (Lampiran 2). Analisis kadar Ca dan Mg dilakukan dengan menggunakan metode pengabuan basah dan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) (Lampiran 3).


(31)

Sintasan Penicillium dan Trichoderma

Sintasan Penicillium dan Trichoderma ditetapkan berdasarkan perhitungan populasi Penicillium dan Trichoderma yang dapat diisolasi kembali dari kompos dan dinyatakan dalam jumlah koloni/gram kompos. Sebanyak 1 g kompos direndam dengan 9 mL akuades steril, dan diencerkan secara bertingkat sampai 106. Suspensi dihomogenisasi dengan menggunakan vortek. Sebanyak 1 mL suspensi dituangkan dan disebarkan pada permukaan media agar Czapek cawan yang mengandung kemisitin. Biakan diinkubasikan selama 3 hari pada masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Setelah 3 hari, koloni yang menggambarkan ciri Penicillium dan Trichoderma dihitung. Koloni kapang kontaminan diidentifikasi dan dihitung.

Penetapan Kadar AIA

Sebanyak 10 g kompos direndam dalam 90 mL akuades steril selama 15 menit dan divortek selama 1 menit. Filtrat dipisahkan dari serbuk kompos dengan jalan disentrifus pada 4500 rpm selama 30 menit. Supernatan dipergunakan sebagai sumber AIA. Sumber AIA sebanyak 1 ml ditambahkan ke dalamnya 4 ml reagen Salkowski (150 mL H2SO4 pekat, 7.5 mL 0.5 M

FeCl3, 250 mL akuades steril) (Patten & Glick 2002). Perubahan warna

menjadi merah jambu menandakan adanya AIA. Absorbansi dibaca dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang panjang gelombang 530 nm. Konsentrasi AIA (ppm) yang diproduksi diperoleh melalui konversi absorbansi pada kurva standar AIA (Ahmad et al. 2005). Analisis AIA dilakukan pada setiap perlakuan dengan 3 ulangan.

Adanya AIA dengan konsentrasi tinggi pada kompos terpilih dilanjutkan dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) pada panjang gelombang 530 nm. Analisis HPLC dilakukan di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Analisis HPLC dilakukan berdasarkan pada prosedur analisis dari lembaga tersebut (Lampiran 8). Analisis AIA ini menggunakan HPLC Shimadzu

L20344700989 35 Mpa, dengan kolom C18, fase gerak menggunakan metanol 60%, kecepatan aliran sekitar 5 mL/menit pada suhu 40oC dengan panjang 15


(32)

gelombang 530 nm dan waktu 15 menit. Konsentrasi AIA (ppm) ditentukan melalui konversi area kromatogram sampel terhadap kurva standar AIA dikali faktor pengenceran.

Bioasai

Stek pucuk dari bibit meranti tembaga (S. leprosula) yang berumur sembilan bulan digunakan sebagai indikator efektifitas pengomposan. Bahan stek yang digunakan memiliki ukuran minimal 2 ruas daun dengan sepasang daun yang telah dipotong ¾ bagian. Kompos berumur 4 bulan dari masing-masing perlakuan dicampur tanah steril (1:1). Campuran ini digunakan sebagai media tanam. Media tanam dimasukkan ke dalam potray ukuran 4.5 cm x 4.5 cm x 12 cm. Media tanam sebelumnya dibuat lubang tanam dengan menggunakan potongan batang kayu yang runcing, agar ujung stek tidak terluka pada saat penanaman.

Pada setiap pot ditanam 1 bahan stek, lalu media tanam dipadatkan dengan cara ditekan menggunakan 2 jari agar stek tidak bergoyang saat penyiraman. Sebanyak 30 bahan stek meranti ditanam pada setiap jenis kompos. Potray kemudian disungkup dan diletakan di rumah kaca yang dilengkapi dengan sistem pendingin atau sistem KOFFCO (Komatsu-FORDA Fog Cooling System). Setelah penanaman dilakukan penyiraman dengan percikan air yang halus. Penyiraman dilakukan setiap 3 hari pada minggu pertama, kemudian seminggu sekali pada minggu ketiga sampai minggu keempat dan selanjutnya penyiraman dilakukan setiap bulan. Setelah 2 bulan, jumlah stek yang berakar, jumlah dan panjang akar (cm) serta bobot kering (mg) akar stek diamati. Berat kering akar diukur dengan cara akar dikeringkan dengan oven pada suhu 70oC selama 2 x 24 jam selanjutnya ditimbang.


(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Pengomposan

Serasah meranti memiliki kadar air (KA) 10.69% dan komposisi kimia tertentu (Tabel 2). Penambahan urea 2% dan dedak 15% pada serasah meranti, mengakibatkan penurunan rasio C/N pada campuran bahan kompos menjadi sebesar 21.60, sedangkan kandungan P, K dan Ca menjadi lebih tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada kandungan Mg (Tabel 2). Penambahan air mengakibatkan kandungan KA bahan kompos di awal pengomposan menjadi ± 60%.

Tabel 2 Komposisi kimia serasah meranti dan bahan kompos

Sebanyak 10 g biomasa inokulan telah dimasukkan ke dalam baglog. Sintasan inokulan bervariasi selama masa pengomposan. Selain inokulan, sebanyak 9 jenis kapang yaitu Acremonium, Apiocarpella, Aspergillus,

Diplodia, Hymenella, askomiset, Sphorothrix, Paecylomyces dan Phoma

ditemukan menjadi kontaminan selama pengomposan termasuk Trichoderma

(Gambar 3).

Pada bulan kesatu, SI- terkontaminasi Aspergillus. SA terkontaminasi askomiset dan Trichoderma, S-I- terkontaminasi Acremonium dan Phoma, sedangkan semua bahan kompos yang diberi inokulan (SI1, SI2 dan SI3) terkontaminasi Trichoderma. Kontaminasi yang terdeteksi pada bulan kedua perlakuan SI-, SA dan S-I- berubah, sedangkan SI1, SI2 dan SI3 tetap terkontaminasi Trichoderma. Pada bulan ketiga dan keempat hampir semua kompos terkontaminasi Trichoderma kecuali S-I-. Dengan demikian,

Trichoderma mampu bertahan hidup selama proses pengomposan pada semua perlakuan. Populasi Trichoderma tergolong stabil yaitu, 1 x 106–30 x 106 koloni/g kompos pada SI1, 5.33 x 106-15 x 106 koloni/g kompos pada SI2 dan 3.33 x

Rasio C/N P (%) K (%) Ca (%) Mg (%) Serasah meranti 73.46 0.11 0.16 0.18 0.23


(34)

106-5.33 x 106 koloni/g kompos pada SI3 (Tabel 3). Trichoderma ini ditemukan

menjadi kontaminan di SA dan SI1 pada bulan kesatu hingga akhir masa pengomposan.

Tabel 3 Sintasan inokulan Penicillium dan Trichoderma

Keterangan: SI1 = Serasah disteam + Penicillium SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan Trichoderma (1:1)

Berbeda dengan Trichoderma, Penicillium tidak mampu bertahan hidup. Penicillium tidak terdeteksi pada bulan kesatu dan kompos diinfestasi oleh Trichoderma. Pada akhir masa pengomposan, diperoleh keragaman kapang yang tertinggi. Beberapa jenis kapang seperti Apiocarpella, Diplodia

dan Sphorotrix baru terdeteksi pada bulan keempat. Keragaman kapang selama proses pengomposan menunjukkan bahwa Trichoderma mendominasi hampir di semua perlakuan kecuali pada S-I- (Gambar 3).

Kualitas akhir kompos diharapkan memenuhi standar mutu SNI No. 19-7030-2004. Kualitas kompos meliputi rasio C/N, KA, kandungan hara, warna, tekstur dan bau. Rasio C/N di awal pengomposan sudah mendekati kriteria kompos menurut standar mutu kompos SNI (Gambar 4). Selama empat bulan pengomposan rasio C/N, berfluktuasi antara 15.93 hingga 45.47 (Gambar 4). Pada akhir masa pengomposan rasio C/N berkisar antara 15.93 hingga 18.53, sehingga kompos telah memenuhi kriteria C/N SNI tersebut.

KA kompos selama empat bulan pengomposan pada semua perlakuan juga berfluktuasi (Tabel 4) dan umumnya kurang dari KA awal pengomposan. Penurunan KA yang sangat nyata terjadi pada bulan kedua menjadi sekitar 12.88%-14.43%, dan meningkat lagi pada bulan ketiga dan keempat pengomposan. Umumnya KA kompos masih memenuhi kriteria kompos SNI No. 19-7030-2004 yaitu maksimum 50%.

Perlakuan Kapang Populasi (koloni x 106)/g kompos pada bulan

1 2 3 4

SI1 Penicillium 0 0 0 0 SI2 Trichoderma 5.33 15 7.33 6 SI3 Penicillium 0 0 0 0

Trichoderma 3.33 5.33 5.33 5.33 18


(35)

Gambar 4 Rasio C/N pada bahan kompos selama pengomposan

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma

Tabel 4 Kadar air kompos selama pengomposan

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma

Warna, tekstur dan bau kompos selama dekomposisi belum mencapai kriteria SNI kompos No. 19-7030-2004 (Gambar 5). Warna kompos belum kehitaman (rataan skor = 0), tekstur belum seperti tanah (rataan skor = 0) dan baunya belum seperti bau tanah (rataan skor = 0).

Perlakuan Kadar air (%) pada bulan ke

1 2 3 4

SI- 55.74 13.66 27.04 37.85

SA 53.52 13.24 30.17 26.55

S-I- 60.71 14.43 29.59 29.36

SI1 67.07 13.46 29.42 39.81

SI2 58.16 12.88 34.47 50.94

SI3 67.31 12.93 26.36 40.00


(36)

Gambar 3 keragaman kapang selama pengomposan

Keterangan : SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan

SI1 = Serasah disteam + Penicillium SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan Trichoderma

(1:1); B1 = Bulan ke 1 B2 = Bulan ke 2 B3 = Bulan ke 3 B4 = Bulan ke 4; Acr = Acremonium Api = Apiocarpella

Asc = Askomiset Asp = Aspergillus Dip = Diplodia Hym = Hymenella Sph = Sphorotrix Pae = Paecylomyces

Pho = Phoma Tri = Trichoderma


(37)

Gambar 5 Penampakan kompos a) pada awal dan b) akhir proses pengomposan

Variabel lain yang diamati meliputi suhu selama pengomposan, kadar hara makro (P, K, Ca dan Mg) dan kehilangan bobot kompos di akhir pengomposan. Suhu kompos berkisar antara 26oC hingga 30.33oC. Secara umum peningkatan suhu kompos terjadi pada bulan keempat (Gambar 6). Suhu tertinggi yaitu 30.33oC terjadi di bulan keempat, suhu terendah yaitu 26oC di bulan kesatu pada SA. Suhu terendah lainnya terjadi pada SI- dan SI1 di bulan kedua (Gambar 6). Proses mineralisasi dan penambahan dedak menyebabkan kandungan P, K, Ca dan Mg pada kompos berbeda dari bahan penyusunnya (Tabel 5).

Gambar 6 Rataan suhu kompos selama pengomposan

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma

b a


(38)

Tabel 5 Kadar P, K, Ca dan Mg bahan kompos pada akhir pengomposan

Perlakuan P (%) K (%) Ca (%) Mg (%)

SI- 0.39 1.03 0.80 0.55

SA 0.28 1.42 1.34 0.94

S-I- 0.27 0.32 0.79 0.26

SI1 0.32 1.57 0.67 0.29

SI2 0.39 2.58 1.21 0.93

SI3 0.32 2.10 0.70 0.70

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma

Kompos mengalami pengurangan bobot sebesar 2.33-10.67% selama empat bulan proses pengomposan. Kehilangan bobot tertinggi terjadi pada SI-, dan SI2 mengalami kehilangan bobot terendah (Gambar 7). Kehilangan bobot pada bahan kompos selama proses pengomposan berhubungan dengan laju dekomposisinya. Laju dekomposisi kompos berkisar antara 0.0058/th hingga 0.028/th (Tabel 6). Kompos SI- memiliki laju dekomposisi tertinggi, sebaliknya terjadi pada SI2. Laju dekomposisi bahan kompos yang diberi inokulan sangat rendah.

Gambar 7 Kehilangan bobot kompos selama pengomposan

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma


(39)

Tabel 6 Laju dekomposisi bahan kompos Perlakuan

SI- SA S-I- SI1 SI2 SI3

Laju dekomposisi 0.028 0.023 0.026 0.022 0.0058 0.0085

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma

Ketidakmampuan Penicillium untuk bertahan hidup dan laju dekomposisi yang rendah diduga berhubungan dengan kemampuan kedua kapang ini untuk merubah substrat. Hasil uji lignolitik menunjukkan bahwa hanya Trichoderma memiliki enzim tirosinase (Gambar 8). Enzim lainnya seperti fenoloksidase dan lakase tidak dimiliki oleh kedua kapang tersebut (Gambar tidak ditampilkan).

Gambar 8 Isolat Trichoderma (i) (– lakase, + tirosinase) dan Penicillium (ii) (- lakase, - tirosinase)

Produksi AIA selama Proses Pengomposan

Bahan kompos sudah mengandung AIA, dengan kadar berkisar antara 0.4-2.58 ppm. Produksi AIA bervariasi bergantung pada perlakuannya. Selama masa pengomposan, secara umum pada bulan kesatu, semua kompos yang diberi inokulan memiliki rata-rata kadar AIA yang lebih tinggi dibandingkan kadar AIA pada bulan sebelumnya, kecuali AIA pada S-I-.

Perlakuan SI1 dengan pengomposan selama tiga bulan menghasilkan konsentrasi AIA tertinggi (Gambar 10). Konsentrasi AIA pada S-I- cenderung rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 10). Pada S-I- tidak

a i

b

b

a

b ii


(40)

ditemukan Trichoderma, sedangkan pada perlakuan lainnya Trichoderma

merupakan kapang dominan.

Gambar 10 Konsentrasi AIA kompos selama pengomposan

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma

Produksi AIA mencapai konsentrasi maksimumnya pada bulan kedua atau ketiga pengomposan. Produksi AIA tertinggi terjadi pada SI1 (48.63 ppm) pada tiga bulan pengomposan (Gambar 10). Pada akhir masa pengomposan kandungan AIA pada SI-, SA, S-I-, SI1, SI2 dan SI3 berturut-turut adalah 10.91 ppm, 1.89 ppm, 0.17 ppm, 6.50 ppm, 2.40 ppm dan 2.63 ppm. Keberadaan kapang kontaminan mungkin mempengaruhi kadar AIA kompos. Kompos ini dicampur tanah steril, selanjutnya campuran tersebut digunakan sebagai media tanam pada bioasai stek pucuk meranti.

Hasil uji AIA menggunakan HPLC memperlihatkan adanya AIA dalam kompos terpilih. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya profil puncak pada retensi waktu yang sama dengan retensi waktu pada AIA sintetik yaitu 7.1. Produksi AIA setelah dikurangi AIA blangko yang diperoleh SI1 yaitu 5.06


(41)

ppm. Jumlah produksi AIA pada SI1 ini lebih besar dari pada SI- yaitu 4.36 ppm setelah dikurangi AIA blangko (Lampiran 9).

Pengaruh Kompos Meranti terhadap Inisiasi Akar Stek Pucuk Meranti Tembaga (S. leprosula)

Tanah yang digunakan sebagai media tanam stek bersama kompos memiliki karakteristik tanah seperti pH, rasio C/N, P, K, Ca, Mg dan tekstur berturut-turut adalah 5, 9.64%, 0.00025%, 0.004%, 0.02%, 0.01%, dan teksturnya (pasir 6.83%, debu 61.03% dan liat 32.14%). Pada 8 minggu setelah stek ditanam, kebanyakan stek belum berakar, kecuali stek yang ditanam pada SA atau SI3 (Tabel 7). Pembentukan akar serta jumlah, panjang dan berat kering akar stek sangat rendah sehingga kompos meranti cenderung tidak mampu merangsang pembentukan akar stek secara optimal.

Tabel 7 Pengaruh kompos terhadap inisiasi akar stek meranti pada 8 minggu setelah tanam

Perlakuan Stek berakar Akar

(%) Jumlah Panjang (cm) Berat kering (mg)

SI- - - - -

SA 1.11 1.66 0.16 0.3

S-I- - - - -

SI1 - - - -

SI2 - - - -

SI3 13.33 1.33 2.46 2.8

Keterangan: SI- = Serasah disteam + akuades SA = Serasah disteam + AIA sintetik 4 ppm S-I- = Serasah tanpa disteam dan tanpa inokulan SI1 = Serasah disteam + Penicillium

SI2 = Serasah disteam + Trichoderma SI3 = Serasah disteam + Penicillium dan

Trichoderma

PEMBAHASAN Pengomposan

Penicillium sebagai perlakuan tunggal maupun konsorsium tidak mampu bertahan hidup. Pada dasarnya Penicillium adalah kapang yang lambat tumbuh, sedangkan Trichoderma tergolong kapang yang cepat tumbuh. Pada kompos SI2 dan SI3, kompos dikuasai oleh Trichoderma. Selain itu

Penicillium tidak memiliki enzim lignase. Kompos-kompos yang diberi

Penicillium sebagai inokulan tunggal atau konsorsium, didominasi oleh 25


(42)

Trichoderma. Trichoderma yang cepat tumbuh dapat segera menguasai substrat. Populasinya stabil pada perlakuan SI2 maupun SI3.

Sekitar 9 jenis kapang berhasil diisolasi selama pengomposan selain

Trichoderma, yaitu diantaranya Aspergillus dan Acremonium. Kapang-kapang kontaminan ini mempengaruhi keseluruhan hasil penelitian. Trichoderma

ditemukan juga mengkontaminasi perlakuan lainnya kecuali S-I-, sehingga

Trichoderma merupakan kapang yang dominan hampir di semua jenis kompos. Yunasfi (2008) melaporkan bahwa Trichoderma, Acremonium dan Aspergillus

ditemukan pada tumpukan kayu Eucalyptus urophylla. Kapang Trichoderma ditemukan hampir setiap bulan pada dekomposisi daun hutan selama sembilan bulan di Jepang (Osono & Takeda 2002), rontokan daun (Anastasi et al. 2005) dan serasah daun meranti (Osono et al. 2009). T. harzianum, T. hamatum dan

T. koningii yang ditambahkan pada proses pengomposan daun kacang selama 12 bulan, telah menunjukkan peningkatan ukuran populasi, viabilitas, sintasan dan biomasanya. Kemampuan lain adalah mereduksi penyakit oleh Fusarium oxysporum (Haggag dan Sedera 2005).

Proses pengomposan memiliki salah satu karakter utama yaitu rasio C/N. Pada awal pengomposan rasio C/N bahan kompos 21.60. Rasio C/N bahan kompos tersebut telah turun sebesar 70.6% dari rasio C/N serasah meranti. Terjadinya penurunan rasio C/N pada bahan kompos disebabkan oleh penambahan dedak sebanyak 15% sebagai sumber C dan urea (CON2H4) 2%

sebagai sumber N dari luar. Pada penelitian ini, Penambahan dedak mengubah kandungan C dari 52.89% menjadi 52.13%, sedangkan penambahan urea 2% mengubah kandungan N dari 0.72% menjadi 2.42%. Menurut Sharif et al. (2009) dedak mengandung karbohidrat. Silvia et al. (2005) menyatakan bahwa penambahan sumber N dari luar bahan kompos dapat mengatasi kekurangan N dan mempercepat proses pengomposan. Selama proses pengomposan, rasio C/N pada bahan kompos dengan atau tanpa penambahan inokulan cenderung menurun.

Aktivitas kapang dalam mendegradasi senyawa organik berhubungan dengan rasio C/N, KA, suhu, organoleptik kompos (warna, tekstur dan bau), kehilangan bobot kompos dan laju dekomposisi. Rasio C/N yang cenderung


(43)

menurun selama pengomposan bukan hanya diakibatkan oleh penambahan urea 2% yang telah meningkatkan kandungan N sebesar 1.08%, tetapi juga oleh pemanfaatan sumber C oleh kapang. Yuwono (2006) menyatakan hal yang sama bahwa penambahan ± 2% urea dalam dekomposisi sampah organik tanpa aktivator kotoran kambing telah menurunkan rasio C/N menjadi 14.68 secara aerob dan 14.19 secara anaerob setelah pengomposan masing-masing selama 81 hari dan 74 hari. Selain itu, rasio C/N yang cukup rendah tersebut diduga akibat peningkatan penguraian protein pada bahan kompos. Hal yang sama dinyatakan oleh Haggag dan Sedera (2005) yang menyebutkan bahwa kandungan N meningkat dalam kompos daun kacang setelah penambahan

Trichoderma. Miyamoto & Hiura (2008) menyatakan peningkatan konsentrasi N disebabkan oleh pertumbuhan miselium dan degradasi protein serasah oleh kapang. Selain itu, meningkatnya konsentrasi N juga bisa disebabkan adanya aktifitas fungi berupa mobilisasi N pada hifa dan N di dalam enzim yang diekskresikan fungi ke substrat serasah (Miyamoto & Hiura 2008).

Rasio C/N pada kompos dengan penambahan inokulan relatif sama dengan kompos tanpa inokulan ataupun tanpa disteam. Hal ini mungkin disebabkan oleh perlakuan pemanasan 104oC tanpa tekanan yang tidak mampu menjangkau seluruh bagian bahan kompos. Kondisi ini mengakibatkan tumbuhnya kapang kontaminan. Adanya kapang-kapang kontaminan berpeluang mempengaruhi efektifitas pemberian inokulan. Aktivitas degradasi senyawa organik oleh kapang berhubungan dengan menurunnya KA dan meningkatnya suhu. Aktivitas kapang tersebut juga ditunjukkan dengan warna, tekstur dan bau kompos.

KA kompos selama empat bulan pengomposan umumnya kurang dari KA awal pengomposan. Berkurangnya KA kompos diduga diakibatkan oleh pemanfaatan air oleh kapang dalam aktivitas pendegradasian senyawa organik bahan kompos yang ditandai dengan adanya panas. Hal ini ditunjukan dengan peningkatan suhu. Silvia et al. (2005) menyebutkan proses pengomposan melibatkan bahan organik yang tidak stabil, udara dan air. Pada akhir pengomposan, bahan organik akan stabil (seperti humus), menghasilkan panas dan terbentuk gas-gas seperti CO2 dan NH3 serta biomasa dari mikroba. Silvia et al.


(44)

(2005) menyebutkan kelembaban optimum secara umum pengomposan adalah 40% dan 60%.

Suhu kompos hanya meningkat sekitar 4.33oC selama empat bulan pengomposan. Rendahnya peningkatan suhu diduga akibat penggunaan baglog

yang hanya bisa menampung 100 g bahan kompos. Kondisi ini tidak mampu menaikkan suhu kompos secara signifikan. Umumnya proses pengomposan dilakukan dalam skala besar misalnya sebanyak 300 kg (Ahmad et al. 2008). Proses pengomposan terdiri dari tiga tahapan yang disertai dengan perubahan distribusi populasi mikroba, yaitu tahap mesofilik (20-40oC), tahap termofilik (40-80oC) dan tahap stabilisasi atau pendinginan (Silvia et al. 2005). Suhu tidak berkorelasi dengan rasio C/N di akhir pengomposan (R2 = 0.18).

Warna, tekstur dan bau kompos setelah empat bulan pengomposan menunjukkan bahwa kompos ini belum matang. Warna, tekstur dan bau kompos belum mencapai kriteria SNI no 19-7030-2004. Kompos yang belum matang diduga akibat penambahan inokulan belum dapat mendegradasi bahan organik serasah secara optimal. Walaupun pada penelitian ini rasio C/N telah menurun. Osono et al. (2009) bahwa peningkatan 30% kolonisasi kapang pada serasah daun meranti terjadi setelah sembilan bulan dekomposisi. Ketidak optimalan kapang dalam mendegradasi senyawa organik mengakibatkan kehilangan bobot kompos yang rendah.

Pengurangan bobot kompos sebesar 2.33-10.67%, relatif lebih rendah dibandingkan pengurangan bobot serasah daun di hutan Jepang yang mencapai 15.1% hingga 57.67% (Osono & Takeda 2002). Menurut Osono (2009), kehilangan berat serasah menandakan adanya pelepasan komponen organik serasah meranti. Rendahnya pengurangan bobot kompos juga disebabkan oleh ukuran bahan kompos. Ukuran bahan kompos yang terlalu besar diduga telah menyulitkan kapang dalam mendegradasi senyawa organik. Silvia et al. (2005) menyatakan bahwa ukuran bahan kompos sangat penting karena berpengaruh terhadap pergerakan oksigen, mikroba dan aliran enzim ke substrat. Ukuran substrat yang besar mengakibatkan luas permukaan substrat bagi mikroba dan enzimnya semakin kecil. Rendahnya pengurangan bobot kompos telah mengakibatkan rendahnya laju dekomposisi.


(45)

Rasio C/N tidak berkolerasi dengan kehilangan bobot (R2 = 0.49) dan laju dekomposisi (R2 = 0.08). Laju dekomposisi berkorelasi dengan kehilangan bobot (R2 = 0.99). Laju dekomposisi juga berhubungan dengan kemampuan kapang dalam mendegradasi senyawa organik. Penicillium tidak memiliki enzim pendegradasi lignin dan Trichoderma hanya memiliki tirosinase. Menurut Imaningsih (2010) Trichoderma dan Penicillium memiliki kemampuan mendegradasi selulosa. Tidak lengkapnya enzim pengurai lignin menyulitkan Trichoderma dan Penicillium dalam mendegradasi lignin pada serasah meranti. Osono et al. (2009) menyebutkan bahwa kandungan lignin, holoselulosa dan karbohidrat terlarut pada serasah daun meranti berturut-turut adalah 35.9%, 33.8% dan 7.7% (Osono et al. 2009).

Degradasi senyawa organik pada serasah meranti dimulai dengan degradasi karbohidrat dan baru dilanjutkan dengan lignin. Degradasi senyawa karbohidrat ditandai dengan ditemukannya Aspergillus, Acremonium dan

Trichoderma yang dikenal sebagai pendegradasi selulosa. Yunasfi (2008) menyatakan keberadaan Trichoderma, Acremonium, dan Aspergillus di tumpukan kayu akan memungkinkan terjadi degradasi terhadap kayu. Osona et al. (2009) mengungkapkan selama sembilan bulan dekomposisi serasah daun meranti dimulai dengan mendegradasi karbohidrat terlarut dan polifenol di bulan pertama pengomposan lalu dilanjutkan dengan degradasi lignin.

Peningkatan kadar P, K dan Ca pada bahan kompos terjadi di awal pengomposan, sedangkan kadar Mg menurun. Peningkatan unsur–unsur tersebut diduga akibat pemberian dedak sebanyak 15% di awal pengomposan. Sharif et al. (2009) menyebutkan bahwa dedak memiliki kandungan mineral K, Ca dan Mg.

Mineralisasi P, K, Ca dan Mg sangat dipengaruhi oleh aktivitas kapang dalam kompos. Kapang diketahui memiliki peranan penting dalam proses mineralisasi di alam. Simanungkalit et al. (2006) menyebutkan kapang

Penicillium diketahui memiliki kemampuan sebagai kapang pelarut P. Selain kapang mengasimilasi P yang dibebaskannya, kapang tersebut menghasilkan sejumlah P terlarut sebagai kelebihan nutrisinya ke dalam larutan tanah. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga 29


(46)

berkemampuan tinggi dalam melarutkan K (Simanungkalit et al. 2006). Peningkatan mineralisasi P, K dan Mg juga diduga berhubungan dengan aktivitas kapang dalam produksi AIA pada kompos. Penambahan BAS (Biologically Active Substances) seperti AIA, giberelin dan kinetin telah meningkatkan kandungan hara makro dan mikro kompos (Zahir et al. 2007).

Produksi AIA selama proses pengomposan

Selama pengomposan bahan kompos yang tidak disteam dan disteam

saja juga memproduksi AIA. Produksi AIA tersebut diduga disebabkan oleh adanya aktivitas dari kapang pada kompos-kompos tersebut. Proses pemanas uap pada suhu 104oC tanpa tekanan tidak dapat membunuh kapang-kapang alami yang ada di dalam bahan kompos. Uap panas mungkin belum dapat menjangkau seluruh bagian bahan kompos dalam baglog atau mikroba tahan terhadap suhu 104oC tersebut selama 30 menit. Secara umum standar sterilisasi menggunakan panas uap adalah pada suhu 121oC tekanan 1 atm selama 15 menit. Bahan kompos yang digunakan juga sulit disterilisasi. Hal ini dibuktikan dengan pensterilan bahan kompos dengan panas uap suhu 121oC tekanan 1 atm selama 45 menit tidak mampu membunuh seluruh mikroba dalam bahan kompos. Pada bahan kompos tetap terjadi kontaminasi yang terdeteksi mulai hari ke tujuh setelah inkubasi.

Produksi AIA tertinggi diperoleh pada bulan ketiga pengomposan akibat perlakuan SI1 yang telah terkontaminasi kapang Trichoderma dan cenderung menurun pada semua kompos di akhir pengomposan. Hal ini sama dengan pernyataan Miezah et al. (2008) yang menyebutkan bahwa auksin yang dihasilkan kompos sampah rumah tangga setengah matang (4.5 bulan pengomposan) lebih tinggi (68.3 hingga 345.1 mg/kg) jika dibandingkan setelah sembilan bulan pengomposan (42 hingga 248.8 mg/kg). Tingginya AIA pada bulan ketiga tersebut telah mengakibatkan hanya satu jenis kapang yang ditemukan pada kompos tersebut. Hal ini diduga akibat peranan AIA sebagai antifungi. Slininger et al. (2004) membuktikan AIA mereduksi penyakit busuk akar dan pertunasan pada kentang.


(47)

Produksi AIA cenderung menurun di akhir pengomposan. Rendahnya produksi AIA di akhir pengomposan diduga disebabkan oleh komposisi substrat. Penicillium dan Trichoderma mampu memproduksi AIA pada media sintetik sebesar 32.23 ppm dan 76.81 ppm (Imaningsih 2010). Hal yang sama terjadi pada produksi AIA oleh Rhizobium sp. dalam medium sintetik sebesar 51.08 µ g/mL, sedangkan produksi AIA dalam medium serum lateks yang disuplementasi triptopan dari kotoran ayam produksi AIAnya hanya sebesar 11.91 µ g/mL (Suharyanto et al. 2009). Sebaliknya Haggag dan Sedera (2005) mengemukakan bahwa Trichoderma dalam kompos dapat menghasilkan antibiotik, enzim–enzim (kitinase, protease, selulase, β galaktosidase dan β -1,3-glukanase) dan senyawa-senyawa ini meningkat setelah 12 bulan pengomposan. Pada penelitian Haggag dan Sedera ini, aktivitas Trichoderma

tidak dianalisis setiap bulan pengomposan.

Hasil uji produksi AIA pada kompos terpilih dengan menggunakan HPLC sedikit lebih rendah daripada menggunakan pereaksi Salkowski yaitu 6.70 ppm dan 5.07 ppm. Rendahnya produksi AIA menggunakan HPLC diduga akibat pereaksi Salkowski sensitif bukan hanya terhadap AIA. Glickmann dan Dessaux (1995) menyatakan bahwa pereaksi Salkowski sensitif mendeteksi senyawa indol seperti AIA, indolepyruvic acid (IPA) dan indoleacetamide.

Pengaruh Kompos Meranti terhadap Inisiasi Akar Stek Pucuk Meranti Tembaga (S. leprosula)

Kompos meranti cenderung belum mampu merangsang pembentukan akar stek. Hal ini ditandai dengan pembentukan akar serta jumlah, panjang dan berat kering akar stek yang sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh belum matangnya kompos. Kompos yang belum matang dapat mengandung fitotoksin. Silvia et al. (2005) mengungkapkan kematangan kompos dapat diuji secara biologi dengan keberadaan fitotoksin atau penghambatan terhadap pertumbuhan bibit tanaman.

Perlakuan SA dan SI3 telah merangsang pembentukan akar stek walaupun masih sangat rendah. Selama pengamatan, umumnya stek mulai mati pada empat minggu setelah tanam (MST) dan terus bertambah hingga akhir 31


(48)

pengamatan. Pada stek yang mati (8 MST) ditemukan koloni putih seperti fungi pada batang stek. Kematian stek biasanya didahului dengan rontoknya daun, lalu terjadi busuk pada bagian pucuk dan atau pada bagian pangkal stek yaitu stek menjadi coklat kehitaman. Hal tersebut menunjukkan ketidakcocokan media tanam terhadap pertumbuhan akar stek.

Kematian stek juga dapat disebabkan oleh terlalu tingginya konsentrasi AIA pada media tanam. Padahal media tanam mengandung sekitar 0.17-10.91 ppm AIA. Pada penelitian ini, umumnya stek dapat dirangsang perakarannya pada konsentrasi AIA sebesar 1.89 ppm dan 2.63 ppm.

Siran (2007) melaporkan bahwa stek S. leprosula dengan rootone F (zat pengatur tumbuh komersial) di media air dan vermikulit pada 11–26 MST dihasilkan stek berakar sebanyak 51-75%, sedangkan media vermikulit saja tanpa rootone F pada 14 MST menghasilkan stek berakar sebesar 63%. Penggunaan rootone F atau zat pengatur tumbuh lainnya tidak selalu diperlukan, tergantung tingkat juvenilitas bahan stek. Danu (2009) menyebutkan bahwa kandungan endogen AIA stek S. leprosula umur lebih kurang 2 tahun, 10 tahun dan 25 tahun pada daun dan batang berturut -turut sekitar 141.07 ppm dan 82.24 ppm, 109.13 ppm dan 73.75 ppm serta 116.17 ppm dan 69.78 ppm. Stek meranti tumbuh dengan baik pada media tanah steril tanpa kompos meranti dengan dua perlakuan yaitu tanpa dan dengan rootone F. Tanpa penambahan rootone F pada stek menghasilkan panjang akar yang lebih panjang dibandingkan dengan penambahan rootone F (data tidak ditampilkan). Pengaruh kompos yang mengandung AIA terhadap pertumbuhan tanaman telah banyak dikaji. Diantaranya Zahir et al. (2007) mengemukakan bahwa penambahan AIA, giberelin dan kinetin telah meningkatkan pertumbuhan dan hasil produksi gandum. Hal yang sama terjadi terhadap pertumbuhan dan hasil produksi jagung (Ahmad et al. 2008). Perkecambahan biji jagung juga mengalami peningkatan dalam hal pemanjangan radikula dan koleoptil serta berat kotiledon setelah ditambahkan larutan yang mengandung AIA asal kompos maupun kompos setengah matang (Miezah et al. 2008).


(1)

Osono T et al. 2009. Fungal succesion and lignin decomposition on Shorea obusa leaves in a tropical seasonal forest in northern Thailand. Fungal Divers 36:101-119.

Patten CL, Glick BR. 2002. Role of Pseudomonas putida indole acetic acid in development of host plant root system. Appl Environ Microbiol 68:3795-3801.

Sarma BK, Singh UP, Singh KP. 2002. Variability in Indian isolates of Sclerotium rolfsii. Mycol 94:1051-1058.

Sharif MK, Butt MS, Anjum FM, Nawaz H. 2009. Preparation of fiber and mineral enriched defatted rice bran supplemented cookies. Pak J Nut 8:571-577.

Silvia DM, furhrmann JJ, Hartel PG, Zuberer DA. 2005. Principles and Application of Soil Microbiology. Ed ke-2. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati (Organic Fertilizer and Biofertilizer). Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Siran S. 2007. Status Riset Pengelolaan Dipterokarpa di Indonesia. Samarinda: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Slininger PJ, KD Burkhead, DA Schisler. 2004. Antifungal and sprout regulatory

bioactivities of phenylacetic acid, indole-3-acetic acid and tyrosol isolated from the potato dry rot suppressive bacterium Enterobacter cloacae S11:T:07. J Ind Microbiol Biotechnol 31:517-524.

Soekotjo. 2007. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sridevi M, Mallaiah KV. 2007. Production of indole-3-acetic acid by Rhizobium isolates from Sesbania spesies. Afr J Microbiol Res 1:125-128.

Standar Nasional Indonesia. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik (SNI no 19-7030-2004) Badan Standarisasi Indonesia.

Stern KR, Bidlack JE, Jansky SH, Uno GE. 2003. Introductory Plant Biology. New York: Mc Graw Hill.

Subiakto A, Sakai C. The Manual of KOFFCO System Nursery Management. 2007. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.


(2)

Suharyanto, Panji T, Gusnaniar. 2009. Produksi AIA oleh Rhizobium sp. dalam medium sintetik dan serum lateks dengan suplementasi triptofan. Men Perk 77:13-22.

Sumadiwangsa S. 2001. Nilai dan Daya Guna Penanaman Pohon Tengkawang (Shorea spp.) di Kalimantan. http://www.dephut.go.id/index.php.[20 Desember 2009].

Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiologi. Ed ke-3. sunderland: Sinauer Associates, Inc., Publishers.

Yunasfi. 2008. Fungi at Eucalyptus urophylla S.T. blake in log yard (TPK) PT. Toba Pulp Lestari Tbk Kabupaten Toba Samosir North Sumatera. J Hut Masy 3:79-88.

Yuwono T. 2006. Kecepatan dekomposisi dan kualitas sampah organik. J Inov Pert 4:116-123.

Widyastuti N, Tjokrokusumo D. 2001. Peranan beberapa Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) tanaman pada kultur In vitro. J Sains Teknol Indon 55-63.

Woodward AW, Bartel B. 2005. Auxin: regulation, action and interaction. Annals Bot 95:707-735.

Zahir AZ, Iqbal M, Arshad M, Naveed M, Khalid M. 2007. Effectiveness of AIA, GA3 and kinetin blended with recycled organic waste for improving growth

and yield of wheat (Triticum aestivum L). Pak J Bot 39:761-768. 37


(3)

(4)

Lampiran 1 Prosedur analisis KA dan kadar C

Sebanyak 5 g sampel ditimbang lalu sampel dimasukkan ke oven dengan suhu 105oC selama 24 jam untuk perhitungan kadar airnya. Selanjutnya proses pengabuan pada sampel dilakukan di movel pada suhu 700oC selama 3 jam, kadar C ditetapkan berdasarkan bobot yang hilang.

Lampiran 2 Prosedur analisis kadar N, P dan K

Analisis kadar N dilakukan sebagai berikut: sebanyak 0.25 g sampel yang dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ke dalam sampel ditambahkan 2.5 mL H2SO4 serta 0.25 g selenium lalu sampel didestruksi hingga jernih.

Larutan destruksi yang telah dingin ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40% kemudian campuran bahan tersebut didestilasi. Hasil destilasi dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi campuran 10 mL H3BO3 2% dan

2 tetes indikator Brom Cressol Green Methyl Red. Apabila destilat yang diperoleh telah mencapai 10 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Selanjutnya destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Kandungan nitrogen total ditentukan dengan rumus:

% N = (mL titrasi sampel – mL titrasi blanko) x NHCL x 14 x 100 mg sampel x 1000

Untuk analisis kandungan P dan K dalam kompos dilakukan dengan cara sampel dipreparasi terlebih dahulu. Sebanyak 1 g sampel ditambahkan 12.5 mL HCl 25% dan kemudian sampel didiamkan selama semalam. Larutan sampel yang diperoleh dipanaskan hingga mendidih ± 10 menit dan tahap selanjutnya larutan sampel disaring. Hasil penyaringan diencerkan dengan akuades hingga 100 mL untuk dilakukan uji selanjutnya.

Analisis kadar P dalam kompos menggunakan spektrometer dengan pereaksi PB dan PC pada panjang gelombang 660 nm. Pereaksi PB (larutan amonium molybdat) diperoleh melalui proses pelarutan 3.8 g amonium hepta molibdat dalam 300 mL air pada suhu 600oC dan didinginkan. Selanjutnya larutan tersebut dicampur dengan larutan 5 g H3BO3 dalam 500 mL yang telah

ditambah HCl pekat sebanyak 75 mL. Campuran kemudian diencerkan hingga mencapai 1 L. Pereaksi PC terdiri dari serbuk pereduksi baku yang kemudian dibuat larutan pereduksi. Serbuk pereduksi diperoleh dengan cara pencampuran dan penggilingan 2.5 g 1-amino2naphol4sulfanicacid, 5 g Na2SO3 dan 146 g Na2S2O5. Larutan pereduksi merupakan 5 g serbuk

pereduksi dalam 50 mL air yang dipanaskan. Setelah pemanasan larutan dibiarkan selama 12–16 jam sebelum digunakan sebagai pereaksi. Analisis kadar K dilakukan dengan menggunakan flamefotometer.

Lampiran 3 Prosedur analisis Ca dan Mg

Kadar Ca dan Mg dalam kompos dilakukan sebgai berikut sebanyak 1 g sampel ditambahkan 12.5 mL HCl 25% dan kemudian sampel didiamkan selama semalam. Larutan sampel yang diperoleh dipanaskan hingga mendidih ± 10 menit dan tahap selanjutnya larutan sampel disaring. Hasil penyaringan diencerkan dengan akuades hingga 100 mL untuk dilakukan uji selanjutnya. 39


(5)

kadar Ca dan Mg dilakukan dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy).

Lampiran 4 Prosedur analisis AIA dengan HPLC

Sebanyak 1 mL sampel ditambahkan dengan 1 mL eter, kemudian dikocok dengan vorteks selama 1 menit. Pembilasan dengan eter tersebut dilakukan sebanyak tiga kali. Filtrat eter ditampung dan dikeringkan, kemudian dilarutkan dengan 2 mL methanol 60% dan dikocok dengan vorteks. Selanjutnya filtrat disaring dengan milifor 0.45 µm, kemudian sebanyak 10 µL filtrat disuntikkan ke HPLC.

Lampiran 5 Komposisi media EMPA

Malt ekstrak : 20 g Pepton : 5 g

Agar : 15 g

Akuades : 1000 mL

Lampiran 6 Komposisi media agar Czapek

Sukrosa : 30000 mg

NaNo3 : 3000 mg

K2HPO4 : 1000 mg

KCl : 500 mg

MgSO4.7H2O : 500 mg

FeSO4.7H2O : 10 mg

Akuades : 1000 mL

Lampiran 7 Komposisi reagen Salkowski

H2SO4 pekat : 150 mL

FeCl3 0.5 M : 7.5 mL

Akuades steril : 250 mL

Lampiran 8 Kualitas kompos SNI No. 19-7030-2004

rasio C/N : (10-20):1 Suhu : suhu air tanah Warna : kehitaman Teksur : seperti tanah Kadar air : maksimal 50% Bau : seperti tanah

Bahan pengotor organik & anorganik (logam, gelas, plastik & karet) : tidak ada 40


(6)

BALAI PENELITIAN LINGKUNGAN PERTANIAN

LABORATORIUM RESIDU BAHAN AGROKIMIA

Jl. Laladon Raya no. 240, Ciomas Bogor 16610 Telp./Fax. (0251) 8638987

LAPORAN HASIL PENGUJIAN INDOL ACETIC ACID (IAA)

No. Administrasi 10/LHP/LRBAK/IV/2011

Pemohon Qurrata A`ayuni

Alamat IPB Darmaga Bogor

Jenis/Jumlah Contoh Serasah / 3 Contoh

Jenis Analisa I.A.A

Hal 1 dari 1

No. Kode Sampel

Konsentrasi (ppm)

I.A.A

1 Blanko 0,7515

2 P-2 5,1440

3 P-4 5,8115

Bogor, 24 Mei 2011 Penanggung Jawab Lab,

Eman Sulaeman,SP

NIP. 19711023.200604.1.012