pita yang lebih jelas dan jumlah pita polimorfik yang lebih tinggi yaitu OPY-06 dan OPY-08 Gambar 24 dan Tabel 7, yang selanjutnya digunakan untuk
mengamplifikasi DNA dari 16 sampel daun gaharu yang diteliti.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 24. Profol DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 1: OPO-06, 2: OPO-09, 3: OPO-10 , 4: OPO-14, 5: OPO-18, 6: OPY-02, 7: OPY-06, 8: OPY-08, 9: OPY-09 dan 10: OPY-11.
Tabel 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu
No Primer Urutan
Basa Jumlah Pita
Polimorfik 1. OPO-06
5’CCACGGGAAG’3 3 2. OPO-09
5’TCCCACGCAA’3 2
3. OPO-10 5’TCAGAGCGCC’3
4 4. OPO-14
5’AGCATGGCTC’3 4
5. OPO-18 5’CTCGCTATCC’3 3
6. OPY-02 5’CATCGCCGCA’3
3
7. OPY-06 5’AAGGCTCACC’3 5
8. OPY-08 5’AGGCAGAGCA’3
5
9. OPY-09 5’GTGACCGAGT’3
10. OPY-11 5’AGACGATGGG’3 3
Tidak terjadinya amplifikasi segmen DNA eksplan tunas aksilar dan tunas adventif dengan primer di atas disebabkan oleh DNA genom eksplan tunas
aksilar dan adventif tidak mempunyai sekuen komplemen dengan primer-primer tersebut, karena salah satu syarat untuk terjadinya amplifikasi DNA dengan
primer arbitrary tunggal adalah kedua utas mempunyai sekuen komplemen dengan
primer yang digunakan. Dalam penelitian ini pencampuran DNA dilakukan secara komposit terhadap 16 sampel yang dianalisis. DNA yang tidak teramplifikasi
diduga terjadi karena tingkat kemurnian DNA template hasil ekstraksi masih rendah atau masih terdapat senyawa kontaminan seperti polifenol yang dapat
menghambat terjadinya reaksi PCR. Dalam penelitian ini pencampuran DNA contoh bulking didasarkan pada
asumsi bahwa jika primer yang digunakan dapat mengamplifikasi bagian genom yang berbeda antara 16 sampelgenom tanaman maka perbedaan tersebut akan
terdeteksi pada pola pita yang dihasilkan. Primer yang menghasilkan amplifikasi pita DNA yang sedikit dan polimorfis yang rendah tidak digunakan untuk analisis
keragaman genetik tanaman dengan metode RAPD, sehingga dalam penelitian ini hanya digunakan 2 primer yang memberikan resolusi pita-pita yang tajam dan
jelas untuk dianalisis RAPD pada 16 sampel daun gaharu sebelum hingga sub kultur II yaitu OPY-06 dan OPY-08.
Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat dengan jelas. Hal ini disebabkan oleh jumlah fragmen yang diamplifikasi terdapat pada
tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom tanaman, maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom
tanaman lebih kurang 90 dari DNA genom merupakan urutan berulang Weising et al. 1995. Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah yang banyak dan fragmen lainya sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi
DNA hasil amplifikasi terlihat tidak jelas adalah kemurnian dan konsistensi cetakan DNA, DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawa-
senyawa seperti polisakarida dan polifenol, dan konsentrasi cetakan DNA yang terlalu kecil sering menghasilkan penanda RAPD yang kabur dan redup.
Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama pada individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas,
jumlah dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang dihasilkan oleh setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman
Grattapaglia et al. 1992. Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman, maka semakin banyak
primer yang digunakan akan semakin terwakili bagian-bagian genom dan semakin tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Sebaran situs
penempelan primer pada DNA genom, jumlah fragmen yang diamplifikasi, serta kemurnian dan konsentrasi DNA genom dalam reaksi mempengaruhi intensitas
pita DNA hasil amplifikasi Weising et al. 1995. Adanya perbedaan hasil intensitas ini disebabkan karena 1 makin banyak
fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman genom, maka intensitas pita DNA yang dihasilkan semakin tegas, 2 adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit, 3 kemurnian dan konsentrasi
cetakan DNA mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik
seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang kabur. Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan
hasil dari beberapa tipe kejadian, yaitu 1 insersi DNA berukuran besar pada fragmen diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak
amplifikasi terlalu besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak teramplifikasi, 2 delesi pada bagian genom yang membawa satu atau dua situs
penempelan primer sehingga mengakibatkan hilangnya fragmen, 3 substitusi nukleotida yang mengubah homologi antara primer dengan DNA genom sehingga
menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran fragmen, 4 insersi atau delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen yang
diamplifikasi Weising et al. 1995.
DNA Pohon Induk Hasil RAPD
Dalam penelitian ini primer yang menghasilkan amplifikasi pita DNA yang sedikit dan polimorfisme yang rendah tidak digunakan untuk analisis keragaman
genetik dengan metode RAPD. Dua primer yang digunakan dalam proses amplifikasi sampel DNA dari pohon induk pi1 sampai dengan pi6 yaitu OPY-06
dan OPY-08 Tabel 7. Penggunaan dua primer ini didasarkan atas seleksi terhadap 10 primer yang telah dilakukan sebelumnya. Dua primer ini dianggap
menghasilkan amplifikasi yang lebih banyak dibanding 8 primer lainnya.
Berdasarkan hasil analisis dari dua primer yang digunakan untuk PCR DNA pohon induk memperlihatkan pola pita yang dihasilkan cukup bervariasi seperti
yang terlihat pada Gambar 25.
M pi1 pi2 pi3 pi 4 pi5 pi6
A M pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6
B 200 pb
1300 pb 1000 pb
300 pb 1700 pb
1000 pb
Gambar 25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD.
Keterangan: M: Marker, A: Primer OPY-06, B: Primer OPY-08 dan pi1-pi6: Jumlah Sampel
Profil pita DNA pohon induk hasil amplifikasi dengan setiap primer untuk setiap sampel pohon gaharu diinterpretasikan sebagai lokus untuk ukuran pita
yang sama. Lokus tersebut diubah dalam bantuk data biner yang digunakan untuk menyusun matriks kemiripan. Berdasarkan Gambar 25 di atas, maka dilakukan
Cluster analysis untuk mengelompokan aksesi-aksesi yang diuji berdasarkan
kedekatan kekerabatannya. Sehingga dari Gambar 25 diperoleh dendogram kemiripan genetik pohon induk seperti yang terlihat pada Gambar 26.
pi1 pi2
pi3
pi4 pi5
Coefficient
pi6
0,00 0,18
0,37
Gambar 26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk.
0,55 0,73
Gambar 26 adalah dendogram sampel dari populasi pohon induk yang menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang dianalisis terdapat 5 sampel yang
membentuk satu kelompok besar pi2 sampai dengan pi6 dan satu sampel terpisah pi1. Hal ini menunjukkan bahwa hanya lima sampel yaitu pi2 hingga
pi6 yang memiliki tingkat kekerabatan dan jarak genetik yang lebih dekat yaitu 0 sampai dengan 0,37, sedangkan sampel pi1 terdapat pada jarak genetik 0,37
sampai dengan 0,73. Jarak genetik yang terkecil ditunjukkan oleh sampel pi5 dengan pi6 yaitu nol Lampiran 3A.
Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 6 sampel dari pohon induk memiliki nilai rata-rata he heterozigositas harapan sebesar 24,54 dengan lokus
polimorfik 69,44. Populasi pohon induk menghasilkan jarak pasang basa antara 200 pb sampai 1400 pb untuk primer OPY-06 dan 300 pb sampai 2000 pb untuk
primer OPY-08 dengan 19 lokus untuk OPY-06 dan 17 lokus untuk OPY-08 Lampiran 5. Ini mengindikasikan bahwa 6 individu dalam populasi tersebut
memiliki variasi genetik yang cukup tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem perkawinan tanaman gaharupohon induk, tanaman gaharu adalah jenis tanaman
biseksual atau hermaprodit yang menghasilkan gamet jantan dan betina pada tanaman yang sama. Gamet dari tanaman yang sama mempunyai potensi untuk
bertemu dan bersatu membentuk zigot. Hal ini dapat terjadi dalam satu bunga sering disebut menyerbuk sendiri selfing, antar bunga dalam satu individu
Geitonogami atau penyerbukan dari tanaman yang berbeda Xenogami
Finkeldey, 2005. Jenis pohon yang tumbuh dalam kerapatan populasi yang tinggi lebih bervariasi dibanding kerapatan populasinya rendah, tetapi nilai he
dapat tinggi untuk banyak jenis walaupun pada populasi dengan kerapatan rendah. Tabel 8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk
Jumlah Sampel
na ne he Rata-rata
St. Dev 6
1,6944 0,4672
1,3996 0,3262
0,2454 0,1803
na : Jumlah allel yang diamati, ne: Jumlah allel yang efektif, he: Keragaman genetik. Jumlah lokus
polimorfik 25 dan persentase lokus polimorfik 69,44.
Dalam penelitian ini, populasi pohon induk untuk analisis keragaman genetik ditanam pada areal tidak luas dan jumlah individu yang ditanam cukup
rapat hanya berjarak 3 sampai 4 meter Gambar 27, dengan demikian kemungkinan terjadinya perkawinan silang open pollination antar individu
cukup besar sehingga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik pada keturunan berikutnya.
Gambar 27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok, Bogor.
DNA Hasil RAPD Sebelum Hingga Sub Kultur II
Dua dari sepuluh primer hasil seleksi yang digunakan yaitu OPY-06 dan OPY-08 dapat mengamplifikasi DNA tanaman gaharu, baik sampel yang berasal
dari tunas aksilar bibit maupun sampel yang berasal dari tunas adventif planlet. Pada gambar 25 terlihat 16 sampel yang diamplifikasi dengan primer OPY-06 dan
pada gambar 26 dengan primer OPY-08. Nomor sampel ad1 sampai dengan ad8 adalah eksplan berasal dari tunas adventif planlet dan nomor sampel ak1 sampai
dengan ak8 adalah eksplan berasal dari tunas aksilar bibit.
Amplifikasi dengan mengunakan dua primer yaitu OPY-06 dan OPY-08 menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran yang bervariasi yaitu 225 pb sampai
dengan 1200 pb pada OPY-06 dan 325 pb sampai 1200 pb pada OPY-08 Gambar 28 dan 29. Jumlah pasang basa tersebut dihitung berdasarkan jumlah lokus yang
dihasilkan dari proses amplifikasi DNA. Perbedaan hasil amplifikasi karena adanya perbedaan jumlah tempat penempelan primer dan jarak antara dua primer
yang menempel pada DNA cetakan, sedangkan untuk perbedaan ketajaman dari intensitas pita DNA yang terlihat merupakan hasil dari banyaknya situs
penempelan yang serupa dari sekuen DNA berulang. Variasi kuantitas DNA hasil amplifikasi dicerminkan oleh variasi intensitas
pendaratan pita DNA di dalam gen. Semakin banyak fragmen DNA maka pita DNA akan semakin jelas di atas sinar ultra violet. Menurut Finkeldey 2005,
amplifikasi dari potongan-potongan tersebut juga tergantung pada ada tidaknya sekuensi komplementer terhadap primer pendek, sehingga penanda RAPD ini
hanya bersifat dominan dan tidak mungkin mengenali individu yang bersifat heterozigot.
DNA hasil PCR sampel mulai dari sebelum hingga sub kultur II pada dua sumber eksplan, selanjutnya dilakukan skoring terhadap ada atau tidaknya pita
yang teramplifikasi, hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai he dalam individu maupun populasi. Menurut Finkeldey 2005, nilai he ditentukan berdasarkan
struktur alelik, ditambahkan juga bahwa suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika frekuensi dari alel yang paling sering ditemukan adalah kurang dari 95.
Penggunaan primer OPY-06 menghasilkan 19 lokus dan OPY-08 menghasilkan 17 lokus Lampiran 5. Masing-masing sumber eksplan
menunjukkan perbedaan jumlah pita yang dihasilkan mulai dari sebelum kultur hingga sub kultur II. Seperti yang terlihat pada bibit pertama ak1 dengan primer
OPY-06 hanya menghasilkan 9 lokus yang diberi nilai 1 yang memperlihatkan adanya pita DNA, sedangkan sisanya 10 lokus tidak memperlihatkan pita DNA
diberi nilai 0, dan selanjutnya untuk OPY-08 masih pada bibit pertama menghasilkan 5 lokus yang diberi nilai 1 dan 12 lokus diberi nilai nol, perubahan
genetik sebelum hingga sub kultur II tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.
Eksplan Tunas Aksilar ak Eksplan Tunas Adventif ad
Gambar 28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06
Gambar 29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08
Keterangan Gambar 25 dan 26. ad1, ad3, ad5, ad7: sampel eksplan tunas adventif, sebelum hingga sub kultur II dengan perlakuan BAP 0,5 ppm; ad2, ad4, ad6, ad8: eksplan
tunas adventif, sebelum hingga sub kultur II perlakuan BAP 1,0 ppm, dan ak1, ak3, ak5, ak7: eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP
0,5 ppm; ak2, ak4, ak6, ak8: eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP 1,0 ppm.
Banyaknya jumlah lokus yang dihasilkan dari dua primer tersebut merupakan penggabungan dari hasil skoring sampel pohon induk dengan sampel
325 pb 700 pb
1000 pb 1200 pb
M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Eksplan Tunas Aksilar ak Eksplan Tunas Adventif ad
M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
225 pb 750 pb
1000 pb 1200 pb
sebelum hingga sub kultur II. Terlihat bahwa jumlah DNA pohon induk yang teramplifikasi menghasilkan jumlah lokus yang lebih banyak dibanding DNA
yang berasal dari sampel sebelum hingga sub kultur II Gambar 25, 28, 29, meskipun analisis RAPD dilakukan secara terpisah.
Untuk melihat perbedaan nilai he pada masing-masing tahapan mulai dari pohon induk, sebelum dikultur, hasil kultur, sub kultur I dan subkultur II pada dua
sumber eksplan yang diteliti yaitu eksplan tunas aksilar bibit dan eksplan tunas adventif planlet dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan he Per Tahapan
Bibit 1 Bibit 2
Planlet 1 Planlet 2
Tahapan Kode Nomor Sampel
he Pohon Induk
pi1 – pi6 0,2454
Sebelum Kultur
ak1 ak2 ad1 ad2 0,0729 Hasil
Kultur ak3 ak4 ad3 ad4 0,0833 Sub
Kultur I ak5 ak6 ad5 ad6 0,0903
Sub Kultur
II ak7 ak8 ad7 ad8 0,0382
Keterangan: ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar dan ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif.
Pada Tabel 9 terdiri dari 5 tahapan kultur, tahapan sebelum kultur hingga sub kultur II terdiri dari 4 sampel per tahapan. Pada tahapan pertama yaitu ak1,
ak2, ad1 dan ad2 yang memiliki nilai he = 0,0729, selanjutnya terjadi peningkatan nilai he pada tahap hasil kultur dan sub kultur I berturut-turut 0,0833 dan 0,0903
atau 8,33 dan 9,03. Namun pada tahap sub kultur II terjadi penurunan nilai he yang begitu signifikan yaitu 0,0382 atau 3,82. Nilai he tertinggi dihasilkan oleh
sampel dari pohon induk yaitu 0.2454 atau 24,54. Besarnya keragaman genetik dalam setiap tahapan ditentukan berdasarkan
hubungan kemiripan genetik antara individu dengan individu lain dalam tahapan yang sama, dengan cara membandingkan pita DNA dari setiap individu tanaman.
Berdasarkan pita DNA gaharu hasil amplifikasi dengan menggunakan dua primer acak yang terseleksi, ditentukan matrik kemiripan genetik matrik jarak genetik
untuk menentukan hubungan kemiripan genetik antar individu dan antar tahapan Lampiran 3A-F.
Jika dilakukan perbandingan keragaman genetik dari pohon induk dengan tahap sebelum hingga sub kultur II pada dua sumber eksplan yang diteliti, terlihat
berbeda sangat nyata yaitu untuk pohon induk 0,2454 atau 24,54, sedangkan nilai pada semua tahap hanya 0,0968 atau 9,68. Hal ini dapat dikatakan pada
tingkat populasi induk variasi genetik pohon induk gaharu lebih tinggi dibanding pada semua tahap kultur. Variasi genetik pada tahap sebelum hingga subkultur II
hanya berkisar antara 3,82 - 9,03. Nilai tertinggi diperoleh pada tahap sub kultur II dan yang terendah pada tahap subkultur II Tabel 9.
Pada tahap sebelum kultur, hasil kultur dan sub kultur I terjadi peningkatan nilai he, meskipun tidak signifikan tetapi dapat diduga bahwa terjadi perubahan
genetik pada tiga tahapan kultur jaringan tersebut. Meskipun variasi genetik atau variasi somaklonal yang terjadi jauh lebih rendah dibanding dengan variasi
genetik dari pohon induk. Variasi somaklonal dikatakan tidak terjadi apabila nilai he
pada tahap sebelum kultur hingga sub kultur II adalah tetap atau tidak berubah. Untuk melihat jarak genetik dan pengelompokan dari tiap tahapan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 30. pi1
SBK HK
SubK1 SubK2
0,01 0,10
0,18 0,26
0,34
Coefficient
Gambar 30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan mulai dari Pohon Induk, sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan. pi: Pohon Induk, SBK: Sebelum Kultur, HK: Hasil Kultur, SubK1: Sub Kultur I dan SubK2: Sub Kultur II.
Gambar 30 memperlihatkan bahwa sampel yang berasal dari tahap sebelum kultur hingga sub kultur II membentuk satu kelompok besar, sedangkan sampel
dari pohon induk membentuk garis tersendiri, tetapi masih memiliki hubungan dengan kelompok sebelum kultur hingga sub kultur II. Jarak genetik yang
terkecil terlihat pada tahap hasil kultur HK dengan Sub Kultur I SubK1 yaitu 0.0142, dan jarak genetik yang tertinggi dihasilkan antara pohon induk pi
dengan tahap Sub Kultur II SubK2 yaitu 0.3654 Lampiran 3F. Kemiripan genetik untuk masing-masing tahapan dapat dilihat pada Lampiran 3A-E.
Skirvin et al
. 1993 dalam Soedjono 2003, menyatakan bahwa keragaman dapat terjadi karena pembiakan vegetatif melalui kultur in vitro menggunakan
media dengan bahan kimia murni, atau lingkungan yang mengalami gangguan. Variasi somaklonal berasal dari kultur sel pucuk, daun, akar atau organ tanaman
yang lain. Tanaman yang berasal dari variasi somaklonal dinamakan somaklon, protoklon untuk yang dari protoplas, gametoklon dari gamet, dan kaliklon yang
berasal dari kalus. Pada umumnya setiap siklus regenerasi menghasilkan 1 −3
variasi somaklonal, meskipun tingkat perbedaannya dari 0 − 100. Penggunaan
mutagen fisika atau kimia dosis tinggi terhadap hasil regenerasi sel seperti kalus, protokorm atau eksplan sebelum membentuk plantlet secara in vitro, dapat
menghasilkan keragaman genetik yang lebih luas Soertini et al. 1996 dalam Soedjono, 2003.
Sementara itu pada tahap sub kultur II menunjukkan bahwa nilai variasi genetik yang diperoleh lebih rendah dibandingkan pada tahap yang lain, hal ini
diduga mulai terjadi stabilisasi genetik karena media yang digunakan adalah media MS tanpa ZPT dan ukuran eksplan yang digunakan pada tahap sub kulur II
lebih besar dibanding pada waktu penanaman awal. Selain itu, penurunan nilai he pada tahap sub kultur II diduga disebabkan oleh pengaruh hormonal mulai
berkurang, sehingga diduga ada kemungkinan terjadinya aberasi genetik. Yeoman dan Mc Leod 1977 dalam Harjadi et a.l 1986, menyatakan bahwa secara
umum eksplan yang berukuran besar menguntungkan karena jumlah selnya banyak sehingga kemungkinan keberhasilan regenerasi dari jaringan yang ditanam
lebih besar. Untuk melihat kemiripan atau perubahan genetik yang terjadi pada bibit 1
ak1, ak3, ak5 ak7, bibit 2 ak2, ak4, ak6, ak8, planlet 1 ad1, ad3, ad5, ad7 dan planlet 2 ad2, ad4, ad6, ad8, mulai dari sebelum dikultur hingga sub kultur II
dapat dilihat pada dendogram atau Gambar 28, 29, 30 dan 31, sedangkan matrik kemiripan genetik dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 31 adalah dendogram bibit 1 menunjukkan bahwa ak3 dengan ak7 dan ak5 dengan ak7 terlihat memiliki kemiripan genetik yang terendah yaitu
0.0572, sedangkan antara ak1 dengan ak3, ak5 dan ak7 memiliki kemiripan genetik 0.1178 Lampiran 4A. Gambar 32 adalah dendogram bibit 2
menunjukkan bahwa ak2, ak4 dan ak8 yang memiliki kemiripan genetik yang terendah yaitu 0.1178 Lampiran 4B.
Gambar 33 dan 34 adalah dendogram dari planlet 1 dan planlet 2, pada gambar 33 terlihat bahwa ad3 dengan ad7 dan ad5 dengan ad7 yang memiliki
kemiripan genetik yang terendah yaitu 0.0572, sedangkan yang tertinggi terdapat antara ad1 dengan ad3, ad5 dan ad7 yaitu 0.1178 Lampiran 4C.
Secara umum dapat dilihat bahwa bibit 1 Gambar 31 memiliki bentuk dendogram dan nilai kemiripan genetik yang sama dengan planlet 1 Gambar 33
dan bibit 2 Gambar 32 memiliki bentuk dendogram dan nilai kemiripan genetik yang sama dengan planlet 2 Gambar 34. Hal ini menunjukkan bahwa bibit 1
dengan planlet 1 memiliki kemiripan genetik yang sama dan tingkat kekerabatan yang dekat, begitu juga halnya pada bibit 2 dan planlet 2 yang memiliki kemiripan
genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat. Nilai dari kemiripan genetik antara bibit 1 dengan planlet 1 dan bibit 2 dengan planlet 2 dapat dilihat pada Lampiran
4.
ak1 ak3
ak7 ak5
0,06 0,07
0,09 0,10
0,12
Coefficient
Gambar 31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 ak1, ak3, ak5 ak7 sebelum hingga Sub Kultur II.
ak2 ak4
ak8 ak6
0,12 0,13
0,15 0,17
0,18 Coefficient
Gambar 32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 ak2, ak4, ak6, ak8 sebelum hingga Sub Kultur II
Gambar 33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 ad1, ad3, ad5, ad7 sebelum hingga Sub Kultur II
ad2 ad4
ad8 ad6
0,12 0,13
0,15 0,17
0,18 Coefficient
ad1 ad3
ad7 ad5
0,06 0,07
0,09 0,10
0,12
Coefficient
Gambar 34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 ad2, ad4, ad6, ad8 sebelum hingga Sub Kultur II.
Jarak Genetik Pohon Induk, Sebelum Kultur, Hasil Kultur, Sub Kultur I dan Sub Kultur II
Berdasarkan penanda RAPD dengan menggunakan 2 primer yang diturunkan dari matrik kemiripan genetik pada tanaman gaharu memperlihatkan
bahwa semua sampel yang diteliti terbagi dalam 3 kelompok Gambar 35. Sampel dari eksplan tunas aksilar dan tunas adventif terlihat berbaur dan
membentuk dua kelompok yaitu kelompok 1 dan 2, sedangkan sampel yang berasal dari pohon induk membentuk satu kelompok yaitu kelompok 3. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap kelompok memiliki tingkat kekerabatan yang dekat. Secara umum dapat digambarkan bahwa 6 sampel yang berasal dari pohon
induk tidak berbaur dengan 16 sampel lainnya yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif. Tetapi sampel yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif
terlihat lebih berbaur, karena diantara sampel-sampel tersebut berdasarkan analisis RAPD ada yang memiliki kemiripan genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat,
seperti contoh ak3 dan ad2 dalam satu garis yang sama pada kelompok 1 yang memiliki nilai kemiripan genetik sama dengan nol Lampiran 6.
1
2
3
Gambar 35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk, sebelum hingga Sub Kultur II.
Keterangan. ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar, ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif, dan pi1-pi6: Sampel Populasi Pohon Induk.
Hasil analisis RAPD terhadap semua sampel menunjukkan bahwa nilai he yang dihasilkan adalah 0,2575 atau 25,25, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan
dengan nilai he yang berasal dari pohon induk yaitu 0,2454 atau 24,54, dan kedua nilai ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pada 4 tahapan
yang telah diuraikan di atas yaitu 0,0968 atau 9,68. Hal ini mengindikasikan bahwa variasi genetik yang tertinggi hanya dihasilkan oleh sampel yang berasal
dari pohon induk. Hal ini diduga disebabkan oleh pohon induk yang tumbuh dan berkembang di alam adalah merupakan hasil perkawinan silang dalam maupun
antar individu pada populasi yang sama. Hasil penelitian Yunanto 2006, menunjukkan bahwa populasi alam tanaman Shorea johorensis memiliki
keragaman genetik lebih tinggi dibanding populasi biji, cabutan, stek dan tanaman. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika struktur genetik sebagai akibat
dari seleksi viabilitas, sehingga tiap siklus tanaman dari benih sampai dewasa berbeda-beda. Nilai heterozigositas he meningkat seiring dengan perkembangan
tanaman. Menurut Finkeldey 2005, di alam variasi genetik dapat terjadi karena disebabkan oleh mutasi, aliran gen dan migrasi, penghanyutan genetik, seleksi dan
sistem perkawinan. Jika dilihat hasil analisis pada tingkat individu yaitu dari 4 sumber eksplan
yang digunakan untuk dikultur bibit 1, bibit 2, planlet 1 dan planlet 2, maka nilai variasi genetik yang dihasilkan jauh lebih kecil dibanding pohon induk. Meskipun
demikian, apabila dilihat hasil analisis variasi genetik per tahapan yaitu dari tahap sebelum kultur, hasil kultur, subkultur I dan sub kultur II, terlihat adanya variasi
antar tahapan. Seperti yang terlihat pada Tabel 9, tahap sebelum kultur 7,29, hasil kultur 8,33, dan sub kultur I 9,03, terjadi peningkatan nilai he. Tetapi
pada sub kultur II turun menjadi 3,82. Dari tahap sebelum hingga sub kultur I dapat dikatakan bahwa kultur jaringan dapat menyebabkan perubahan genetik atau
variasi somaklonal, meskipun tidak terlalu tinggi dibanding pohon induk. Terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal pada tahap hasil kultur dan sub
kultur I diduga disebabkan oleh pengaruh bahan-bahan kimia dan ZPT yang terkandung di dalam media kultur, serta pengaruh lain saat proses pertumbuhan
eksplan.
Pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif hasil kultur in vitro terjadi mutasi, yang mana menurut Poespodarsono 1988, mutasi adalah perubahan
genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian dan pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi
pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas, biji dan sebagainya. Apabila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya
terjadi pada bagian itu saja dan dapat dilihat pada perkembangan sel atau jaringan ini, sedangkan apabila mutasi terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi
perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya. Menurut Ancora dan Sannino 1987 dalam Mattjik 2005, keadaan
eksplan dan keseimbangan ZPT dalam media kultur jaringan dapat mempengaruhi kestabilan genetik materi kultur. Kultur jaringan merupakan sumber potensial
untuk mendapatkan keragaman, yaitu dengan mengatur ZPT dalam komposisi media dan lamanya mengkulturkan.
Jacobsen 1987
dalam Mattjik 2005, menyatakan terdapat tiga cara untuk
mendapatkan variasi somaklonal dari eksplan yang telah berhasil dikerjakan yaitu 1 eksplan yang langsung membentuk tunas dan akar, 2 induksi kalus terlebih
dahulu kemudian dilanjutkan dengan penanaman sel tunggal dan 3 kultur protoplasma. Bahan kimia yang diberikan pada kultur jaringan dapat menjadi
mutagen, karena akan mengalami penetrasi pada jaringan dan sel, apabila dapat mencapai untai DNAnya akan dapat merubah susunan DNA tersebut sehingga
terjadi mutasi. Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu aberasi struktur kromosom yang meliputi dilesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Kemudian aberasi jumlah kromosom
yaitu monoploid atau haploid, diploid, triploid dan tetraploid. Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian
ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan
induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.
Ostry et al. 1994, menyatakan bahwa kultur jaringan tanaman dapat menampilkan sifat yang tidak stabil pada tingkat karyotipik, biokimia, morfologi
dan molekuler. Sejumlah eksplan yang di isolasi secara in vitro mengalami keragaman somatik secara umum fenomena ini dinamakan variasi somaklonal.
Dinyatakan juga, bahwa frekuensi terjadinya variasi tersebut sepenuhnya belum dipahami, hal ini tergantung dari sumber genotipe tanaman, sumber eksplan,
komponen media, dan lamanya siklus kultur. Ditambahkan pula oleh Jain 1997, menyatakan bahwa tingkat keragaman tersebut juga tergantung dari genotype,
umur tanaman donor, perubahan sitogenetik, metilasi DNA, tipe eksplan, dan hormon tanaman di dalam media kultur.
Berdasarkan analisis RAPD dapat disimpulkan bahwa variasi somaklonal pada eksplan dapat terjadi selama proses pengkulturan sehingga diharapkan dapat
menghasilkan klon baru yang unggul secara genetik lebih baik dari pada tanaman induknya dalam proses pertumbuhan maupun kualitas gaharu yang dihasilkan.
Untuk mengetahui hal tersebut, tentunya perlu dilakukan penanaman di lapangan. Penggunaan teknik analisis RAPD untuk mendeteksi terjadinya variasi
somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan pernah dilakukan oleh Gajdosova et al
, 2006 pada tanaman Vaccinium Sp. dan Rubus Sp., menunjukkan bahwa kultur jaringan dapat menyebabkan variasi somaklonal. Hal yang sama juga
pernah diteliti oleh Yulismawati 2006 pada tanaman nenas, menunjukkan bahwa dari 20 planlet hasil kultur dengan pemberian ZPT BA dan NAA, terdapat hanya
satu perlakuan yang sama dengan kontrol yaitu media yang diberi perlakuan BA 13,32 µM yang dikombinasikan dengan NAA 2 µM, sedangkan 19 perlakuan
lainnya terjadi variasi somaklonal. Sehingga dapat dikatakan bahwa media kultur yang diberi ZPT sitokinin dan thidiazuron pada level tertentu dapat menyebabkan
variasi somaklonal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Analisis DNA dengan teknik RAPD dapat digunakan untuk mendeteksi
variasi genetik tanaman gaharu sebelum dikultur pohon induk dan bibit maupun variasi somaklonal hasil kultur in vitro planlet. Dua primer yang
digunakan yaitu OPY-06 dan OPY-08 mampu mengamplifikasi DNA genom gaharu sehingga menghasilkan pita DNA polimorfik dengan jumlah lokus 19
dan 17 secara berturut-turut, dengan total lokus sebanyak 36. 2. Variasi genetik gaharu lebih tinggi dihasilkan oleh sampel yang berasal dari
pohon induk yaitu 24,54, sedangkan variasi somaklonal yang terjadi selama proses pengkulturan pada 4 tahapan yang diteliti masih dalam persentase yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan variasi genetik dari pohon induk yaitu sebelum kultur adalah 7,29, hasil kultur 8,33, sub kultur I 9,03 dan sub
kultur II 3,82. 3. Penambahan zat pengatur tumbuh BAP ke dalam media kultur, sumber
eksplan yang digunakan serta sub kultur dapat mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal.
4. Perlakuan zat pengatur tumbuh BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm merupakan konsentrasi yang optimum dan terbaik dalam menghasilkan jumlah tunas,
panjang tunas dan jumlah daun planlet gaharu, baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar bibit maupun tunas adventif planlet.
Saran
1. Perlu penelitian lanjutan yaitu melakukan penanaman di lapangan untuk setiap klon atau planlet yang memiliki berbagai variasi somaklonal hasil RAPD
untuk mengetahui keragaan bibit dan mutu gaharu yang dihasilkan. 2. Jika ingin menghasilkan tanaman yang lebih seragam secara genetik
sebaiknya lebih cermat dalam menggunakan teknik kultur jaringan sebagai metode perbanyakan tanaman, karena dapat menyebabkan variasi somaklonal.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh.
Bandung. Penerbit Angkasa Anonim, 2006. http:fig.cox.miami.edu~cmallery150genec7.19.17a.families.
rDNA.jpg 10 Desember 2006. Astuti, A.D. 2005. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh NAA Naphthalene Acetic
Acid dan IBA Indole Butryric Acid terhadap Perakaran Eksplan Tunas Gaharu Aquilaria malaccensis Lamk. dalam Kultur In Vitro serta
Aklimatisasinya. [Skripsi] Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB
Barden, A., Awang Anak, N., Mulliken, T., and Song, M. 2000. Heart of the Matter: Agarwood Use and Trade, and CITES Implementation for Aquilaria
malaccensis . TRAFFIC International.
Chakrabarty K, Kumar A, Menon V. 1994. Trade In Agarwood. TRAFFIC India and WWF India. New Delhi.
Chawla, H.S. 2002. Introduction to Plant Biotechnology. Second Edition. Science Publishers. Inc. Enfield NH USA.
Damayanti L. 2004. Kombinasi Konsentrasi Auksin dan Sitokinin Terhadap Pertumbuhan Anyelir Dianthus caryophillus dalam Kultur In Vitro.
[Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. FMIPA. Davies P.J. 2004. Plant Hormones. Biosynthesis, Signal Transduction, Action.
Ithaca. NY. USA. Cornell University. Kluwer Academic Publishers. Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Terjemahan. Gadjah Mada University Press.
Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Terjemahan. Bogor.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Gajdosova A, M. G. Ostrolucka, G. Libiakova, E. Ondruskova, D. Simala. 2006.
Microclonal Propagation Of Vaccinium Sp. and Rubus Sp. and Detection Of Genetik Variability In Culture In Vitro. Slovak Republic. Journal of Fruit
and Ornamental Plant Research Vol. 14 Suppl. 1
George E.F and P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture – Handbook and Directory of Comercial Laboratories. England. Exegetic Ltd.
Eversly, Basingstoke 709 hlm.
Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Departemen Pndidikan dan Kebudayaan. Grattapaglia, D., J. Chaparro, P. Wilcox, S. Mc Cord, D. Werner, H. Amerson, S.
Mc Keand, F. Bridgwater, R. Whetten, D. O’Malley and R, Sederoff. 1992. Mapping in Woody Plants with RAPD Markers: Application to Breeding in
Forestry and Horticulture. p. 37-40. In Application of RAPD Technology to Plant Breeding. Join Plant Breeding Symposia Series. November 1, 1992.
Minneapolis.
Gyves, E M D, C A Sparks, A F Fieldsend, P A Lazzeri And H D Jones. 2001. High Frequency of Adventitious Shoot Regeneration from Commercial
Cultivars of Evening Primrose Oenothera spp. Using Thidiazuron. Annals of Applied Biology. Volume 138 Issue 3.
Harjadi S S, L. Wanita, G. A. Wattimena. 1986. Penelitian Kultur Jaringan Beberapa Tanaman Hortikultura Penting. Bogor. Jurusan Budidaya
Pertanian Institut Pertanian Bogor Hartmann, H. T, DE Kester, FT Davies. 1990. Plant Propagation, Principle and
Practices. Fifth Edition. Prentice-Hall. Inc. London: International Edition. Hartmann, H. T, Kester D. E, Davis, Jr. F. T, Geneve R. L.1997. Plant
Propagation. Principles and Practices. Sixth Edition. Prentice-Hall. Inc. International Edition. Upper Saddle River, New Jersey. USA.
Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Jakarta. CV. Rajawali Press. Hendaroyono, D. P. S dan A. Wijayanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius.
Yogyakarta. Herawan, T. 2004. Kulur Jaringan. Protokol Kultur Jaringan Tanaman Hutan.
Biotiforda. Or. Id Herawan T dan T Hardi TW. 2005. Kultur Jaringan Tiga Spesies Murbei Hasil
Persilangan. Wana Benih. Vol. 6 No. 1 Hou D. 1960. Thymelaeceae In Van Stennis ed. Flora Malesiana series 1. Vol
ke-6. Groningen:Wolters-Noordoff. Huetteman, C.A. and J.E. Preece. 1992. Thidiazuron: a Potent Cytokinin for
Woody Plant Tissue Culture. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 33: 105-119. Hutchinson J.F. and M. Barlass, Knoxfield. 1995. Fundamentals of Plant
Propagation By Tissue Culture. State of Victoria. Department of Primary Industries. ISSN 1329-8062.
Jain. S. M. 1997. Micropropagation of Selected Somaclones of Begonia and Saintpaulia
. Helsinki. University of Helsinki, Plant Production Department. Khawar K M, C Sancak, S Uranbey, S .Zcan. 2004. Effect of Thidiazuron on
Shoot Regeneration from Different Explants of Lentil Lens culinaris Medik
. via Organogenesis. Turkey. Department of Field Crops, Faculty of Agriculture, University of Ankara, 06110, DÝßkapÝ, Ankara
Kimball, J. W. 1992. Biologi. Jakarta. Erlangga. Leong, L S. 2006. Molecular Marker Technologies. Malaysia. Training Workshop
On Forest Biodiversity. Forest Research Institute Malaysia. Lu, C.Y. 1993. The Use of Thidiazuron in Tissue Culture. In vitro. Cell Dev. Biol.
29:92-96. Mattjik, A. A, dan Sumertajaya, I. M. 2002. Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. Edisi Kedua. Bogor. IPB Press. Mattjik, A.N. 2005. Keragaman Somaklonal. Bahan Kuliah Mata Ajaran Kultur
Jaringan Tanaman. Bogor. Departemen Agronomi. Institut Pertanian Bogor. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka
Wirausaha Muda dan USESE Foundation. Murashige, T and F. Skoog. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and
Bioassays with Tobacco Tissue Culture. Phys. Plant. 15:473-497. Narayanaswamy, S. 1977. Regeneration of Plants from Tissue Culture, Applied
and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Springer – Verlag Berlin Heidelberg. New York. 178 – 207.
Nasir, M. 2002. Bioteknologi. Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang Pertanian. Jakarta. Rajawali Press.
Nei, M. W. Li 1979. Mathematical Model for Studying Genetik Variation in Terms of Restriction Endonucleases. In Proc. Natl. Acad. Sci.USA., 767,
5269- 5273. Ndoye M, I. Diallo dan Y. K. GassamaDia. 2003. In Vitro Multiplication of the
Semi-Arid Forest Tree, Balanites aegyptiaca L. Del. African Journal of Biotechnology Vol. 2 11, pp. 421-424. Available online at
http:www.academicjournals.orgAJB
Nugroho, A dan H Sugito. 1996. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Jakarta. Penebar Swadaya. 70 hlm.
Onamu R, S.D. Obukosia, N. Musembi and M.J. Hutchinson. 2003. Efficacy of Thidiazuron In In Vitro Propagation of Carnation Shoot Tips: Influence of
Dose and Duration of Exposure. Kenya. Department of Crop Science, University of Nairobi, P. O. Box 30197, Nairobi.
Ostry. M, W. Hackett, C. Michler, R. Serres, B. McCown. 1994. Influence of Regeneration Method and Tissue Source on The Frequency of Somatic
Variation in Populus to Infection by Septoria musiva. USDA Forest Service, North Central Forest Experiment Station. Plant Science.
Ozturk M , K. M. Khawar, H. H. Atar, C. Sancak and S. Ozcan. 2004. In Vitro Micropropagation of the Aquarium Plant Ludwigia Repens Turkey.
Department of Fisheries, Faculty of Agriculture, University of Ankara, 06110 Diskapi, Ankara
Pierik R. L. M., 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers. Dordrecht, The Netherland.
Ponirin, S. 1997. Budidaya Gaharu. Jakarta. Departemen Kehutanan.. Purwito, A. 2004. Kultur Jaringan. Diktat Bahan Kuliah. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Poespodarsono, S. 1987. Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. IUC. Life Sciences
Inter University. IPB. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor. Pusat
Antar Universitas. IPB. Rimbawanto, A dan T. Pamungkas. 2004. Compilation of Base Information
Pertaining to Conservation of Forest Genetik Resources CFGR. Consultancy Report. Yogyakarta. Centre for Forest Biotechnology and Tree
Improvement.
Rimbawanto, A , AYPBC Widyatmoko, S. Shiraishi, A. Watanabe. 2004. Identifikasi Genetik Jenis Pinus merkusi. Biotiforda.or.id. Populasi Genetik
Biotiforda.Or.Id Rohlf, F. J. 1993. NTSYS – PC. Numerical Taxonomy and Multivariate
Analysis System. New York, Exeter Software, p.10 – 13. Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ke-3. Bandung.
Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari Plant Physiology. Ed ke-4. Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Manitias. 1989. Molecular Cloning : a
Laboratory Manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York
Santoso, U dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Situmorang, J. 2000. Mikropropagasi Kayu Gaharu Aquilaria spp. asal Riau serta Indentifikasi Sifat Genetiknya Berdasarkan Analisis Isoenzim. [Tesis]
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam
Pemuliaan Tanaman. Bogor. Jurnal Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur.
Soehartono, T. 1997 dalam Barden et al. 2000. Heart of the Matter: Agarwood Use and Trade, and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis.
TRAFFIC International. Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di
Indonesia. Jakarta. JICA. Strabala TJ, Yan HW, Yi L. 1996. Combined Effect of Auxin Transport Inhibitor
and Cytokinin: Alterations of Organ Development in Tobacco. Plant Cell Physiol. 378: 1177-1182
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Jakarta. Penebar Swadaya. Suryowinoto, U dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM-Press
Universitas Muhammadiyah Malang. 191 hlm. Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta. Suttle, J.F. 1985. Involvement of Ethylen in The Action of The Cotton Defoliant
Thidiazuron. Plant Physiol. 78:272-276. Tang, H.-R., Ren, Z.-L., Krczal, G., 2000. Somatic Embryogenesis and
Organogenesis from Immature Embryo Cotyledons of Three Sour Cherry Cultivars Prunus cerasus L.. Sci. Hort. 83, 109–126.
Thomas, J.C. and F.R. Katterman. 1986. Cytokinin Activity Induced by Thidiazuron.. Plant Physiol. 81:681-683.
Thomas T D dan J T. Puthur. 2004. Thidiazuron Induced High Frequency Shoot Organogenesis in Callus from Kigelia pinnata L. India. Postgraduate and
Research Department of Botany, St. Thomas College, Pala, Arunapuram P.O, Kottayam Dt., PIN- 686 574, Kerala
Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. 1991. Bioteknologi Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.
Tiwari V, Tiwari KN, Singh BD. 2000. Comparative Studies of Cytokinins on In Vitro Propagation of Bacopa monniera. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture. Annu. Rev. Plant Physiol. 17:435-459. Wardoyo, T. 2004. Kajian Sterilisasi, Induksi dan Elongasi Tunas Gaharu
Aquilaria spp. Secara In Vitro. [Skripsi] Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Wattimena, G. A. 1992. Bioteknologi Tanaman, Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. 309 hal.
Wattimena, G. A, dan Mattjik, N. A. 1991. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas.
Institut Pertanian Bogor. Wende, J. F. and F. Weeden. 1989. Visualization and Interpretation of Plant
Isozymes, pp 5-45. In D. E. Soltis and P. S. Soltis eds. Isozymes In Plant Biology. Advances in Plant Sciences Series. Dioscorides Press. Portland,
Oregon. USA.
Weising, K, H. Nybom, K. Wolff, and W. Meyer. 1995. DNA Fengerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla.
Wiguna, I, 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus Edisi No. 438 – Mei 2006.
William, J. G. K, A. E. Kebelik, K. J. Livak, J. A. Rafalski and V. Tingey. 1990. DNA Polymorphism Amplified by Arbitrary Primer are Usefful as Genetic
Marker. Nucleic Acid Res. 18:6531-6535. Yunanto, T. 2006. Implikasi Genetik Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
TPTJ Pada Jenis Shorea johorensis Foxw di PT. Sari Bumi Kusuma Berdasarkan RAPD. Bogor. [Skripsi] Departemen Manajemen Hutan.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Yunita, R. 2004. Perbanyakan dan Transformasi Genetik Menggunakan Agrobacterium tumefaciens
pada Tanaman Melinjo Gnetum gnemon dengan Teknik Kultur Jaringan. Riau. Kelji Sumber Daya, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian. Yulismawati. 2006. Utilization Of Enhanced RAPD 4 Genetic Variability
Analysis on Planlets Of Smooth Cayenne Pineapple. Bogor. Departement of Agronomy. Bogor Agriculture Institute.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta. Agromedia Pustaka.
Lampiran 1. Komposisi Media MS Larutan
Nama Bahan Kimia
Konsentrasi mgl
Konsentrasi gl
Konsentrasi Penggunaan mll
A NH
4
NO
3
1650 82,5 20
B KNO
3
1900 95 20
C KH
2
PO
4
H
3
BO
3
Na
2
MoO
4.
2H
2
O COCl
2
. 6H
2
O Kl
170 6,2
0,25 0,025
0,83 34
1,24 0,05
0,005 0,66
5
D CaCl
2
2H
2
O 440 88 5
E MgSO
4
. 7H
2
O MnSO
4
. 4H
2
O ZnSO
4
. 7H
2
O CuSO
4
. 5H
2
O 370
22,3 8,6
0,025 74
4,4 1,72
0,005 5
F Na
2
EDTA FeSO
4
. 7H
2
O 37,3
27,8 5,57 5
Vitamin Thiamine HCl
Glycine Pyridoxine HCl
0,5 2,0
0,5 0,02
0,1 0,1
5 Myo-Inositol
100 10
10 Bahan Tambahan
Sucrosa 30
Agar 7
Sumber: Gunawan 1992 Sumber: Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 2. Tabel Sidik Ragam Hasil-hasil Kultur Jaringan Tanaman Gaharu. 1. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST. Sumber
Keragaman Jumlah
Kuadrat Derajat
Bebas Kuadrat
Tengah F. Hit
Sig. Perlakuan
16,251 3
5,417 83,454
0,000 Error
0,519 8
0,065 Total
262,749 12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
2. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 12,565
3 4,188
32,228 0,000
Error 1,040
8 0,130
Total 193,715
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
3. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 3,486
3 1,162
51,165 0,000
Error 0,182
8 0,023
Total 75,453
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
4. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Nerasal dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 2,913
3 0,971
106,124 0,000
Error 0,073
8 0,009
Total 68,413
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
Lanjutan Lampiran 2. 5. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Retara Jumlah Daun, Eksplan Berasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST. Sumber
Keragaman Jumlah
Kuadrat Derajat
Bebas Kuadrat
Tengah F. Hit
Sig. Perlakuan
7,832 3
2,611 51,033
0,000 Error
0,409 8
0,051 Total
378,649 12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
6. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Retara Jumlah Daun, Eksplan Berasal dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 6,783
3 2,261
42,540 0,000
Error 0,425
8 0,053
Total 366,478
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
7. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 19,916
3 6,639
23,728 0,000
Error 2,238
8 0,280
Total 278,841
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
8. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 14,710
3 4,903
46,177 0,000
Error 0,849
8 0,106
Total 194,432
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01
Lanjutan Lampiran 2. 9. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Adventif selama 12 MST. Sumber
Keragaman Jumlah
Kuadrat Derajat
Bebas Kuadrat
Tengah F. Hit
Sig. Perlakuan
2,483 3
0,828 12,879
0,002 Error
0,514 8
0,064 Total
52,488 12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
10. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 2,662
3 0,887
30,752 0,000
Error 0,231
8 0,029
Total 44,408
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
11. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 14,941
3 4,980
12,022 0,002
Error 3,314
8 0,414
Total 397,830
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
12. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F. Hit Sig.
Perlakuan 9,296
3 3,099
25,942 0,000
Error 0,956
8 0,119
Total 349,775
12
Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
Lampiran 3. Matriks Kemiripan Genetik per Tahapan Berdasarkan Pola Pita RAPD.
A. Sampel Daun Gaharu Pohon Induk
pi1 pi 2 pi3 pi4 pi5 pi6 pi 1
pi 2 pi 3
pi 4 pi 5
pi 6 1.0000
0.7503 1.0000 0.8755 0.2513 1.0000
0.5390 0.4925 0.2513 1.0000 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000
0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000
B. Sampel Daun Gaharu Sebelum Kultur
ak1 ak2 ad1 ad2 ak1
ak2 ad1
ad2 1.0000
0.0870 1.0000 0.1823 0.0870 1.0000
0.1178 0.0870 0.0572 1.0000
C. Sampel Daun Gaharu Hasil Kultur ak3 ak4 ad3 ad4
ak3 ak4
ad3 ad4
1.0000 0.0282 1.0000
0.1823 0.2162 1.0000 0.0870 0.1178 0.0870 1.0000
D. Sampel Daun Gaharu Subkultur I
ak5 ak6 ad5 ad6 ak5
ak6 ad5
ad6 1.0000
0.0870 1.0000 0.1178 0.2162 1.0000
0.1495 0.1178 0.0870 1.0000
E. Sampel Daun Gaharu Subkultur II
ak7 ak8 ad7 ad8 ak7
ak8 ad7
ad8 1.0000
0.0282 1.0000 0.0572 0.0870 1.0000
0.0572 0.0870 0.0000 1.0000
Lanjutan Lampiran 3. F. Pohon Induk, sebelum Kultur SBK, Hasil Kultur HK, Sub Kultur I, dan Sub
Kultur II. pi SBK HK SubK1 SubK2
pi SBK
HK SubK1
SubK2 1.0000
0.3497 1.0000 0.3372 0.0750 1.0000
0.3214 0.0749 0.0142 1.0000 0.3654 0.0550 0.0216 0.0236 1.0000
Lampiran 4. Matrik Kemiripan Genetik Bibit 1, Bibit 2, Planlet 1 dan Planlet 2, sebelum hingga Sub Kultur II.
A. Bibit 1
ak1 ak3 ak5 ak7 ak1
ak3 ak5
ak7 1.0000
0.1178 1.0000 0.1178 0.1178 1.0000
0.1178 0.0572 0.0572 1.0000
B. Bibit 2
ak2 ak4 ak6 ak8 ak2
ak4 ak6
ak8 1.0000
0.1178 1.0000 0.2513 0.1823 1.0000
0.1178 0.1178 0.1178 1.0000
C. Planlet 1
ad1 ad3 ad5 ad7 ad1
ad3 ad5
ad7 1.0000
0.1178 1.0000 0.1178 0.1178 1.0000
0.1178 0.0572 0.0572 1.0000
D. Planlet 2
ad2 ad4 ad6 ad8 ad2
ad4 ad6
ad8 1.0000
0.1178 1.0000 0.2513 0.1823 1.0000
0.1178 0.1178 0.1178 1.0000
Lampiran 5. Perubahan Genetik Tanaman Gaharu per Tahapan Menggunakan Primer OPY-06 dan OPY-08
Tahapan Primer
Bibit 1 Bibit 2
Planlet 1 Planlet 2
ak1 ak2 ad1 ad2
Sebelum Kultur OPY-06 OPY-08
1001 101001
1
0000 01
000 1010
11000100 100
00
1
01
001 0000
01 000
110
10 11000100
100
01
1
01
001 00
0101 000
11
010 11000100
100111
01
001 0000101
000
11
010 11000100
ak3 ak4 ad3 ad4
Hasil Kultur OPY-06
OPY-08 1001
1
101001 0000
1
01 000
1
1010 11000100
100
11
1
01
001
1
0000
1
01 000
110
10 11000100
100
11
1
10
001 00
1
0101 000
00
010
1
11000100 100111
01
001 0000101
000
00
010
1
11000100
ak5 ak6 ad5 ad6
Sub Kultur I OPY-06
OPY-08 1001
1
101001
1
0000
1
01 000
0010
1
11000100 100
11
1
10
001 0000
1
01 000
000
10
1
11000100 100
10
1
01
001
1
00 0101
000
11
010 11000100
100111
10
001
1
0000101 000
11
010 11000100
ak7 ak8 ad7 ad8
Sub Kultur II OPY-06
OPY-08 1001
1
101001 0000
1
01 000
0010 11000100
100
10
1
01
001 0000
1
01 000
000
10 11000100
100
11
1
01
001
1
00 0101
000
01
010 11000100
100111
01
001
1
0000101 000
01
010 11000100
Keterangan: - Angka yang diberi tanda merah adalah perubahan genetik - dengan primer OPY-06 dan tanda biru dengan primer OPY-08
- Dari kiri ke kanan ukuran pasang basa semakin rendah. - OPY-06 terdiri dari 19 lokus dan OPY-08 terdiri dari 17 lokus
87
Lampiran 6. Matriks Kemiripan Genetik Berdasarkan Pola Pita RAPD terhadap 22 Sampel Gaharu Tanaman Gaharu.
No ak1 ak 2 ak3 ak4 ak5 ak6 ak7 ak8 ad1 ad2 ad3 ad4 ad5 ad6 ad7 ad8 pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6
ak1 ak2
ak3 ak4
ak5 ak6
ak7 ak8
ad1 ad2
ad3 ad4
ad5 ad6
ad7 ad8
pi1 pi2
pi3 pi4
pi5 pi6
1.0000 0.0870 1.0000
0.1178 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000
0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 1.0000 0.2162 0.2513 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000
0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000
0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.1823 0.2162 0.1178 0.1495 1.0000 0.1178 0.0870 0.0000 0.0282 0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 1.0000
0.2513 0.2877 0.1823 0.2162 0.1178 0.0282 0.1178 0.1495 0.2513 0.1823 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.1178 0.0282 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0870 0.0870 1.0000
0.0572 0.0870 0.0572 0.0282 0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 0.1178 0.0572 0.2513 0.1495 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.0572 0.1495 0.1178 0.1495 0.1823 0.1495 0.0870 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000
0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.0000 1.0000
0.6931 0.6391 0.8109 0.8755 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.8109 0.8109 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.8109 0.8109 1.0000 0.5390 0.6931 0.6391 0.5878 0.4480 0.4925 0.5390 0.5878 0.7503 0.6391 0.5390 0.4925 0.6391 0.5878 0.5390 0.5390 0.7503 1.0000
0.6391 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.7503 0.6391 0.7503 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6391 0.8755 0.2513 1.0000 0.6391 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.7503 0.7503 0.6931 0.7503 0.6931 0.6391 0.6391 0.5390 0.4925 0.2513 1.0000
0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000 0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000
Keterangan : 0,0000 = jarak genetik terendah 0,8755 = jarak genetik tertinggi
88