1.4 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat Sebelum menentukan uji korelasi untuk mengindentifikasi hubungan
kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan metode analisis Skewness dan Kurtosis. Dari hasil uji,
didapat bahwa variabel kecerdasan emosional dan variabel perilaku caring tidak terdistribusi normal, sehingga uji yang dilakukan untuk menganalisis kedua
variabel adalah uji non-parametrik Spearman rho. Pada analisis data hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe didapati
koefisien korelasi Spearman rho atau �=0.109 yang menunjukkan ada hubungan
kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat dengan kekuatan hubungan sangat lemah dan arah hubungan positif, yaitu semakin tinggi kecerdasan
emosional perawat maka semakin baik pula perilaku caringnya terhadap pasien.
Tabel 5.7 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat
Variabel Koefisien Korelasi
Signifikan Kecerdasan Emosional
�=0.109 p=0.471
Perilaku Caring
2. Pembahasan
Dalam pembahasan ini peneliti mencoba membahas pertanyaan penelitian yaitu bagaimana kecerdasan emosional perawat, perilaku caring perawat, dan
Universitas Sumatera Utara
hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe.
2.1 Kecerdasan Emosional Perawat Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah perawat
memiliki kecerdasan emosional tinggi yaitu 30 orang 65.2 dan 16 orang 34.8 memiliki kecerdasan emosional sedang serta tidak ada perawat yang
memiliki kecerdasan emosional dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perawat memiliki kemampuan yang cukup baik untuk mengenali
perasaannya dan perasaan orang lain serta mampu memotivasi dan mengelola emosi dengan baik dalam berhubungan dengan orang lain. Nurhidayah 2006
mengatakan bahwa perawat adalah sebuah profesi yang berpusat kepada pelayanan yang bersifat jasa yang memerlukan keterampilan dalam memanajemen
emosional. Hasil penelitian tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Akbar 2013
yaitu perawat di RSUD Banjarbaru memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi sebesar 23.72 dan tingkat kecerdasan emosional sedang sebesar 42.37.
Rudyanto 2013 juga mendapatkan hasil yang hampir sama dalam penelitiannya yaitu tingkat kecerdasan emosional dalam kategori sedang sebesar 78.
Salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya perawat di RSU Kabanjahe memiliki kecerdasan emosional rendah oleh karena dalam pengisian
kuesioner diisi oleh masing-masing perawat artinya setiap perawat melakukan penilaian terhadap diri sendiri.
Berdasarkan motivasi diri perawat didapatkan bahwa 27 orang perawat 58.7 memiliki tingkat motivasi diri yang tinggi dan 19 orang perawat 41.3
Universitas Sumatera Utara
memiliki motivasi diri yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa perawat secara umum mampu menggunakan hasrat yang paling dalam menuju sasaran sehingga
mampu bertahan dan tetap memiliki harapan meskipun ada halangan. Ardiana 2010 mengatakan bahwa perawat perlu memiliki kecakapan kecerdasan
emosional memotivasi diri karena perawat yang mampu memotivasi diri cenderung lebih gigih ketika berhadapan dengan situasi sulit, aneh dan kritis serta
mampu mencari solusi tanpa takut terhadap kegagalan. Berdasarkan kemampuan memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan
orang lain empati perawat didapatkan bahwa 25 orang perawat 54.3 memiliki empati yang tinggi dan 21 orang perawat 45.7 memiliki empati yang
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah perawat mampu merasakan yang dirasakan oleh orang lain, dan mampu menumbuhkan hubungan
saling percaya dengan bermacam-macam orang. Kecerdasan emosional dalam memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain sangat penting bagi
perawat. Hasil penelitian Ardiana 2010 menggambarkan bahwa perawat yang memiliki kecakapan memahami dan mendukung perasaan orang lain empati
yang tinggi berpeluang 2.567 kali lebih berprilaku caring menurut persepsi pasien dibandingkan perawat yang memiliki kecakapan memahami dan mendorong
perasaan orang lain empati yang rendah. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Nurhidayah 2006 bahwa perawat yang merupakan orang yang paling dekat
dengan pasien perlu memiliki tingkat emosional yang baik karena akan dapat lebih mudah menyesuaikan diri dalam lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan keterampilan sosial perawat didapatkan bahwa 25 orang perawat 54.3 memiliki tingkat keterampilan sosial yang tinggi dan 21 orang
perawat 45.7 memiliki keterampilan sosial yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah perawat mempunyai kemampuan membina hubungan
keterampilan sosial yang tinggi, yang menunjukkan bahwa perawat secara umum telah mampu membina hubungan dengan pasien, keluarga pasien, dokter,
dan rekan sejawat. Martin 2003 mengatakan bahwa seorang perawat harus dapat mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sejawat, bawahan dan juga
pasien.
2.2 Perilaku Caring Perawat Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah perawat
memiliki perilaku caring yang cukup baik yaitu 40 orang 51.3 dan 38 orang 48.7 memiliki perilaku caring baik. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku
caring masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan karateristik perawat didapatkan mayoritas perawat 84.8 adalah perempuan dan lebih dari setengah 67.9
pasien sebagai responden untuk menilai perilaku caring perawat juga adalah perempuan. Peneliti berasumsi bahwa persamaan jenis kelamin antara perawat
dengan pasien menyebabkan pasien menilai perilaku caring lebih baik. Tingkat pendidikan perawat terbanyak 56.5 adalah tamatan akademi keperawatan serta
diikuti tamatan sarjana keperawatan 39.1. Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut didapatkan bahwa perawat memiliki tingkat kognitif yang cukup baik.
Hasil penelitian Prabowo, Ardiana, Wijaya 2014 menyatakan bahwa adanya
Universitas Sumatera Utara
hubungan antara tingkat kognitif perawat dengan aplikasi praktik caring di ruang rawat inap RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso serta perawat yang memiliki tingkat
kognitif yang baik akan berpeluang 4,4 kali lebih berprilaku caring. Dalam rangka meningkatkan perilaku caring perawat perlu diperhatikan
beberapa hal seperti peningkatan pengetahuan dan pengertian tentang caring melalui pelatihan dan seminar dapat membantu perawat mulai mengenali dunia
klien dan mengubah cara pendekatan pelayanan keperawatan mereka. Selain itu membuat lingkungan kerja yang dapat membuat perawat memperagakan perilaku
caring seperti memperkenalkan fleksibilitas dalam struktur lingkungan kerja, memberikan penghargaan untuk perawat berpengalaman, dan mengembangkan
kepegawaian perawat yang dapat meningkatkan caring perawat. Membangun hubungan yang baik dan mengetahui banyak tentang klien dalam praktik sehari-
hari dapat meningkatkan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan terhadap pasien Watson, 2003 dalam Potter Perry, 2009.
Berdasarkan faktor proses belajar mengajar yang interpersonal didapatkan bahwa 30 orang perawat 38.5 memiliki perilaku yang baik, 27 orang perawat
34.6 memiliki perilaku yang cukup baik, dan 21 orang perawat 26.9 memiliki perilaku yang buruk. Hal ini menggambarkan bahwa perawat masih
kurang memfasilitasi dan memberikan informasi kepada pasien terkait perawatan dan pengobatan yang dijalani, padahal faktor karatif ini adalah faktor penting
yang membedakan caring dengan curing. Perawat berada pada posisi yang ideal untuk memberikan informasi, pendidikan, dan dorongan serta dukungan kepada
Universitas Sumatera Utara
pasien dalam rangka memandirikan dan melibatkan pasien dalam mencapai kondisi kesehatannya McQueen, 2000 dalam Ardiana, 2010
Berdasarkan faktor lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual didapatkan bahwa 72
orang perawat 92.3 memiliki perilaku yang baik, 5 orang perawat 6.4 memiliki perilaku yang cukup baik, dan 1 orang perawat 1.3 memiliki perilaku
yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian seluruh faktor karatif caring perawat didapatkan bahwa faktor lingkungan memiliki nilai yang terbaik. Hal ini berarti
lingkungan RSU Kabanjahe merupakan lingkungan yang nyaman dan memberikan kepuasan bagi pasien serta sangat mendukung bagi pemulihan
kesehatan pasien dan merupakan hal yang perlu dipertahakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tanjung 2012 tentang harapan pasien dalam kepuasan
perilaku caring perawat di RSUD Deli Serdang yaitu faktor lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial dan
spiritual adalah faktor karatif caring yang juga paling tinggi dan paling berkontibusi terhadap harapan caring perawat.
Berdasarkan faktor pemenuhan kebutuhan manusia didapatkan bahwa 3 orang perawat 3.8 memiliki perilaku yang baik, 24 orang perawat 30.8
memiliki perilaku yang cukup baik, dan 51 orang perawat 65.4 memiliki perilaku yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa perawat masih kurang
memperhatikan pemenuhan kebutuhan pasien. Dibuktikan dari hasil distribusi pernyataan dari pasien bahwa 87.2 perawat lampiran peryataan perilaku caring
nomor 21 tidak pernah membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
seperti makan, minum, BAK, BAB, mandi dan lain-lain. Pernyataan yang lain juga yang mendukung adalah bahwa 66.7 perawat tidak pernah membantu
pasien memenuhi kebutuhan keagamaanya. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Ardiana 2010 tentang hubungan kecerdasan emosional yang
menunjukkan 73 perawat tidak membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti mandi, BAK, BAB, dan lain-lain yang disebabkan oleh beban kerja
perawat RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso tinggi. Hasil observasi peneliti didapatkan bahwa salah satu faktor perawat tidak membantu pasien dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari bukan karena beban kerja yang tinggi, namun karena adanya keluarga yang mendampingi pasien selama 24 jam. Hal tersebut
menyebabkan segala kebutuhan sehari-hari pasien bahkan pemberian obat oral dikerjakan oleh keluarga pasien.
2.3 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat di RSU Kabanjahe
Hasil uji korelasi Spearman yang dilakukan pada penelitian hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe
diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi � sebesar 0.109. Hal ini menunjukkan
hubungan antara kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe sangat lemah dengan arah koefisien korelasi positif. Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ardian 2010 tentang hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat
pelaksana menurut persepsi pasien di ruang rawat inap RSU Dr. H. Koesnadi
Universitas Sumatera Utara
Bondowoso. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dimensi memahami dan mendukung emosi orang lain dengan
perilaku caring perawat. Lokasi penelitian tersebut adalah di rumah sakit tipe B yang merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Bondowoso yang memiliki
beban kerja perawat, sedangkan lokasi penelitian ini juga adalah rumah sakit rujukan di Kabupaten Karo namun tergolong rumah sakit tipe C.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain Goleman, 2001. Kecerdasan emosional penting dalam dunia kerja, karena
dengan kecerdasan emosional seseorang dapat mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sejawat maupun bawahan atau juga pelanggan Martin,
2003.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN