Metagenome analysis to fingerprint bacterial and fungi communities in tempe
1
ANALISIS METAGENOM UNTUK PENCIRIAN KOMUNITAS BAKTERI
DAN FUNGI PADA TEMPE
CECILIA ANNA SEUMAHU
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ‘Analisis Metagenom
untuk Pencirian Komunitas Bakteri dan Fungi pada Tempe’ adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dalam disertasi ini.
Bogor, September 2012
Cecilia Anna Seumahu
G361080011
3
ABSTRACT
CECILIA ANNA SEUMAHU, Metagenome Analysis to fingerprint Bacterial and
Fungi Communities in Tempe. Supervised by ANTONIUS SUWANTO (Major
Advisor), IMAN RUSMANA, DEDY DURYADI SOLIHIN (Co advisor).
Tempe is an Indonesian traditional fermented food produced using
Rhizopus as a starter culture. In practice, however, the starter culture as well as
fermentation processes would involved a polymicrobial fermentation, which
generated a unique tempe flavor and texture. This condition makes Indonesian
tempe as one of the most complex fermented food, while at the same time would
make it difficult to scale up tempe production with uniform quality and
consistency. Because of complex microbial communities involved, cultureindependent methods or metagenomic analysis would be an essential tool to
unravel this complex microbial fermentation. The aim of this study was to
compare a number of tempe microbial communities based on Amplified
Ribosomal Intergenic Sequence Analysis (ARISA). Fresh tempe samples were
obtained from tempe producers in Java and Moluccas. 16S rRNA gene libraries
and DNA sequencing were employed to analyze further the nature of microbial
diversity in two selected tempe samples. The results of our study showed that
different tempe producer possessed different Bacterial ARISA (BARISA) or fungi
ARISA (FARISA) profiles. However, BARISA profiles were found to be more
discriminative than FARISA, and therefore BARISA would be more useful for
tempe genetic fingerprint or barcoding. Bacterial communities in two tempe
samples (EMP and SDJD) were further investigated employing DNA sequence
analysis of their 16S rRNA gene libraries. Sequences closely related to Klebsiella
sp were found to be the majority among bacterial communities present in SDJD
sample, while sequences closely related to Acetobacter sp. were found as
predominant isolates in EMP samples. These significant differences in bacterial
communities might reflect differences in tempe flavor or texture associated with
their unique production or locality.
Key Word: Tempe microbial community, ARISA, barcoding system.
4
RINGKASAN
Sebagai makanan fungsional tradisional Indonesia, tempe dikonsumsi
dalam jumlah yang relatif tinggi dan dapat ditemukan dalam berbagai variasi jenis
dan cara pengolahan. Variasi ini perlu dijaga karena menjadi ciri khas makanan
Indonesia yang dapat dikembangkan dalam menghadapi program perdagangan
bebas ASEAN. Walau demikian, database mikroorganisme yang terlibat dalam
proses fermentasi tempe belum pernah dibuat dan ditelaah peluang adanya
hubungan antara rasa tempe yang berbeda pada daerah sentra produksi terhadap
komposisi mikroorganisme dan jaminan keamanan pangannya
Dalam proses pengolahannya, fermentasi tempe tidak hanya melibatkan
cendawan tetapi juga melibatkan bakteri. Upaya mempelajari total komunitas
mikroorganisme yang terlibat, dapat dilakukan dengan menggunakan metode
deteksi yang cukup sensitif dalam memberi gambaran secara menyeluruh. Teknik
tidak terkultur merupakan teknik yang dapat memberi gambaran tentang
komposisi mikroorganisme terkultur maupun tidak terkultur dari suatu lingkungan
ekologi. Kendala yang dihadapi dalam menggunakan teknik ini adalah pada
metode ekstraksi DNA sebagai tahapan awal yang penting. Rendemen dan
kualitas DNA yang rendah dapat mengurangi profil keragaman yang dapat
diperoleh dari suatu lingkungan ekologi. Permasalahan ini dapat diatasi dengan
melakukan pemilihan dan optimasi metode analisa yang dapat memberikan hasil
yang reprodusibel. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi metode ekstraksi
DNA dari sampel tempe sehingga diperoleh suatu metode standar yang dapat
digunakan untuk mempelajari total komunitas mikroorganisme pada tempe.
Optimasi dilakukan dengan membandingkan kemampuan dua kit komersil
(Fermentas DNA Purification Kit-FDEK dan PowerFood Microbian DNA
Isolation Kit-PFMDIK) untuk melakukan analisis metagenom mikroorganisme
yang ada di tempe. Berdasarkan hasil dari beberapa parameter yang diamati,
metode PFMDIK sangat baik digunakan untuk menganalisis keragaman
mikroorganisme di tempe secara metagenomik. Metode ini memberikan rendemen
dan kualitas DNA tinggi sehingga dapat diperoleh hasil PCR yang reprodusibel
dan ragam mikroorganisme yang lebih tinggi daripada metode FDEK. Parameter
yang dipakai sebagai data penunjang hasil ini adalah pengukuran konsentrasi
5
DNA serta kemurnian DNA dengan rasio 260/280, amplifikasi gen 16S rRNA,
visualisasi hasil amplifikasi sekuen ITS 16S-23S rRNA serta analisis ARISA
untuk komunitas bakteri dan fungi di tempe.
Hasil penelitian selanjutnya juga menunjukkan bahwa sidik jari komunitas
mikroorganisme dari delapan tempe yang berasal dari delapan pengrajin berbeda
menunjukkan ragam dan komposisi mikroorganisme berbeda. Hasil analisis
BARISA menunjukkan bahwa tidak ada satupun Operational Taxonomic Unit
(OTU) dalam BARISA type dengan ukuran sama yang dapat ditemukan pada
kedelapan contoh tempe dari pengrajin berbeda. Sebaliknya diperoleh delapan
OTU dalam FARISA type yang ditemukan secara berulang pada tempe dari
delapan pengrajin. Data ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri diduga lebih
diskriminatif menentukan perbedaan karakteristik tempe. Hal ini diperkuat dengan
adanya analisis pustaka gen 16S rRNA dari dua tempe EMP dan SDJD. Analisis
ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri yang mendominasi populasi bakteri
pada dua contoh tempe tersebut sangat berbeda. Pada tempe EMP, komunitas
bakteri didominasi oleh bakteri Acetobacter dan Lactobacillus sedangkan pada
tempe SDJD, komunitas bakteri lebih didominasi oleh bakteri Klebsiella dan
Klebsiella yang tidak terkultur. Profil BARISA juga dapat menunjukkan bahwa
isolat Klebsiella dan Bacillus yang terdapat pada tempe secara genetik dapat
berbeda dengan spesies yang bersifat patogen pada manusia (Klebsiella
pneumoniae ATCC35657 dan Bacillus cereus ATCC10876).
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karyailmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala hikmat dan
kebijaksanaan yang telah dilimpahkan bagi penulis sehingga disertasi dengan
judul “Analisis Metagenom Untuk Pencirian Komunitas Bakteri dan Fungi pada
Tempe” ini dapat diselesaikan dengan baik. Bagian dari disertasi ini juga telah
dipublikasikan pada Hayati Journal of Bioscience Vol 19 No 2. Juni 2012 dengan
judul : “Comparison of DNA Extraction Methods for Microbial Community
Analysis in Indonesian Tempe Employing Amplified Ribosomal Intergenic
Spacer Analysis”.
Penelitian ini juga terlaksana atas bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis
sangat berterima kasih kepada berbagai pihak:
1. Para pembimbing: Prof. Dr. Antonius Suwanto, M.Sc., Dr, Iman Rusmana,
M.Si dan Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA atas segala bimbingan dan arahan
yang diberikan selama penelitian dan penulisan disertasi ini dilakukan.
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atas beasiswa pendidikan BPPS yang penulis terima.
3. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas dana
penelitian yang diberikan melalui penelitian Hibah Strategies Nasional dengan
nomor kontrak 524/SP2H/PP/DP2M/VII/2010, Tanggal 24 Juli 2010 dan
406/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2011, Tanggal 14 April 2011.
4. Dekan dan Civitas Akademika Fakultas Teknobiologi Atmajaya Indonesia di
Jakarta atas semua fasilitas laboratorium dan ijin penggunan isolat Klebsiella
pneumoniae ATCC35657 koleksi Fakultas Teknobiologi UNIKA Atmajaya
yang mendukung kelancaran penelitian ini.
5. Para Penguji Luar Komisi: Prof. Dr. Anja Meryandini, Prof. Dr. Suyanto
Pawiroharsono, Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi dan Dr. Yuri Sutanto yang
berkenan meluangkan waktu untuk menguji dan memberi masukan demi
perbaikan disertasi ini.
6. Dr. Tati Barus untuk kesediaannya memberikan ijin menggunakan dua isolat
koleksi: Klebsiella 135 dan Bacillus CR9 pada penelitian ini.
8
7. Arhad Kamahayanikam Vratyastoma dan Alvonsus Alvin atas semua bantuan
dan kebersamaan selama penelitian ini berlangsung di Lab Riset FTB UNIKA
Atmajaya.
8. Ibu Tati, Ibu Yunning, Pak Bambang, Pak Ridwan, Pak Dahrul, Pak Dahni dan
Pak Nurdin atas semua bantuan selama penelitian ini dilakukan.
9. Dr. Nikmans Hatu yang telah membantu pengurusan dana penelitian. Dra.
Cynthia Wattimena, M.Sc. yang telah meluangkan waktu untuk mencari
literatur yang penulis butuhkan. Sanita Suryani, M.Si dan Ibu Lisa HitalessyTelussa atas bantuannya selama penulis melakukan pengambilan sampel.
Handy E.P. Leimena, S.Si., M.Si. atas semua arahannya dalam bidang Ekologi.
Ir. Delly Matruti, M.Si yang selalu bersedia dititipkan sampel sebelum dibawa
ke lab.
10. Teman-teman seangkatan MIK 2008 dan 2009 atas kebersamaannya selama
kuliah.
11. Papa dan Mama (alm), Papa dan Mama mertua (alm) dan semua saudarasaudara: John, Odie, Ella, Ain, Anes, Ici dan Eten yang selalu memberi
dukungan Doa dan bantuan yang tidak terhingga.
12. Corinus Titihalawa dan Cecilia Daniela Titihalawa, suami dan anak tercinta
atas semua pengorbanan dan dukungannya selama penulis menempuh
pendidikan dan penelitian.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah
banyak memberikan kontribusi selama penelitian ini berjalan.
Atas semua kebaikan yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya. Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan ini namun
biarlah Tuhan yang empunya segala berkat melimpahkan berkat atas semua
kebaikan yang diberikan.
Bogor, September 2012
Cecilia Anna Seumahu
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 19 April 1972 dari ayah Drs.
Johannis Gerzon Seumahu, M.Pd. M.AppSc, dan Ibu Dra. Cecilia Cornelia
Haullussy. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Biologi FMIPA IPB
pada tahun 1997. Pendidikan S2 diselesaikan penulis pada tahun 2005 di Program
studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor dan pada tahun 2008 tercatat
sebagai mahasiswa program S3 di Mayor Mikrobiologi Departemen Biologi
FMIPA IPB.
Pada Tahun 1999, penulis diangkat sebagai tenaga pengajar tetap pada
jurusan pendidikan Biologi FKIP Universitas Pattimura dan pada Tahun 2000,
penulis ditetapkan sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Biologi FMPIA
Universitas Pattimura Ambon hingga saat ini
10
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…………………………………………………………...
Halaman
vii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..
ix
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………...
Perumusan Masalah……………………………………………………...
Tujuan Penelitian………………………………………………………..
Manfaat Penelitian……………………………………………………….
Kebaruan (Novelty)……………………………………………………………
Hipotesis Penelitian………………………………………………………
Bagan Alir Penelitian……………………………………………………
1
2
3
3
3
3
4
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Fermentasi yang Melibatkan Konsorsium Mikroba………..…….
Pentingnya Fingerprinting Komunitas Sebagai Sistem Barcoding pada
Proses Fermentasi…….…………………………………………….……
Teknik Culture-Independent untuk Mempelajari Mikroba yang Terlibat
dalam Suatu Proses Fermentasi Makanan..………………………………
Automated Intergenic Spacer Analysis (ARISA)….…………………….
Pustaka Gen 16S rRNA………………………………………………….
Tempe Sebagai Makanan Tradisional yang Kaya Nutrisi……………….
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………………
Bahan Penelitian…………………………………………………………
Pengambilan Sampel……………………………………………………
Penyiapan Sampel………………………………………………………..
Ekstraksi dengan Metode Fermentas DNA Purification Kit
(FDEK)…………………………………………………………………...
Ekstraksi dengan Metode Power Food Microbial DNA Isolation Kit
MOBIO (PFMDIK-MOBIO)…………………………………………….
Analisis Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Ekstraksi…………………..
Analisis Inhibitor PCR…………………………………………………..
Analisis Keragaman Komposisi Mikroorganisme……………………….
Kloning dan Sequencing Gen 16S rRNA………………………………..
Analisis Isolat Tunggal dengan ARISA………………………………....
HASIL
Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe………..………….
Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe…..
5
6
7
8
11
12
17
17
17
17
18
19
19
20
20
21
22
23
29
11
Analisis Gen 16s rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada
Tempe …………………..…………………………………………..……
Analisis profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis
Keamanan Pangan…………………………………………………..….
PEMBAHASAN
Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe………….…….
Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen
Tempe…………………………………………………………………….
Analisis Gen 16S rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada
Tempe ………...……………………………………………………….…
Analisis Profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis
Keamanan Pangan………………………………………………………..
39
40
45
50
57
63
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan…………………………………………………………….…..
Saran……………………………………………………………….……
65
65
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
67
LAMPIRAN………………………………………………………………….
77
12
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Bakteri dan khamir yang dilaporkan berasosiasi dengan proses fermentasi
tempe…………………………………………………………………………..
14
Konsentrasi DNA dan rasio A260/280 dan A260/230 untuk hasil ekstraksi
dengan menggunakan metode FDEK dan PFMDIK………..……………….
23
Perbandingan profil OTU BARISA type dan FARISA type yang diperoleh dari
DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK …………….………
25
4.
Profil perbedaan perlakuan proses pembuatan tempe pada berbagai produsen..
30
5.
Keragaman OTU pada BARISA type dan FARISA type dari Berbagai
Produsen tempe………………………………………………..…….……….
36
6.
Ukuran Profil BARISA Isolat Tunggal Bacillus………………………………
41
7.
Ukuran Profil BARISA Isolat Tunggal Klebsiella……………………………
42
2.
3.
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Prinsip dasar Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis……..
9
2.
Kedudukan primer ITSF dan ITSReub………………………………
10
3.
Kedudukan dan ukuran amplikon yang dihasilkan dari primer 2234C
dan 3126T……………………………………………………………..
11
4.
Amplifikasi PCR gen 16S rRNA dari sampel tempe…………………
24
5.
Profil BARISA type dari intergenic spacer yang diamplifikasi dengan
dua metode ekstraksi DNA…………………………………………..
25
Profil FARISA type dari daerah intergenic spacer yang diamplifikasi
dengan dua metode ekstraksi DNA…………………………………..
26
Profil BARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang
diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK……
27
Profil FARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang
diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK……
28
Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe…………………………………
32
Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe…………………………………
33
Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe..……………………………….
34
Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe..……………………………….
35
Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas bakteri
pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient…...
37
Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas fungi
pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient.......
38
Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe
SDJD…………………………………………………………………..
39
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13.
14
15.
16.
Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe
EMP………………………………………………………………….
40
14
17.
18.
Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Bacillus yang terkultur
dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC……..
41
Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Klebsiella yang terkultur
dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC………
43
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Proses pengolahan pada delapan produsen tempe yang diamati….……
79
2.
BARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan
berulang pada tempe…………….……………….………….….……….
80
FARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan
berulang (dishading) pada tempe………………………….………….
81
4.
Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU BARISA…..
82
5.
Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU FARISA…..
82
6.
Identitas bakteri hasil analisis sequencing dari gen 16S rRNA yang
berhasil dikloning ke vektor pGEMT-Easy…………………………….
83
3.
16
ANALISIS METAGENOM UNTUK PENCIRIAN KOMUNITAS BAKTERI
DAN FUNGI PADA TEMPE
CECILIA ANNA SEUMAHU
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor pada
Mayor Mikrobiologi
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
17
Penguji Luar Komisi Pembimbing:
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup (18 Oktober 2012)
1. Prof. Dr. Anja Meryandini (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA IPB)
2. Prof. Dr. Suyanto Pawiroharsono (Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan
Bioteknologi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,BPPT)
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka (14 November 2012)
1. Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA IPB)
2. Dr. Yuri Sutanto (Senior Scientist-Aquaculture Technology Division pada PT.
Central Proteinemaprima, Tbk)
18
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi
Nama
NRP
: Analisis Metagenom untuk Pencirian Komunitas
Bakteri dan Fungi pada Tempe
: Cecilia A. Seumahu
: G361080011
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Antonius Suwanto, M.Sc.
Ketua
Dr. Iman Rusmana, M.Si
Anggota
.
Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Anggota
Diketahui,
Ketua Mayor Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Anja Meryandini
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian Tebuka: 14 November 2012
Tanggal Lulus:
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai makanan tradisional Indonesia, tempe telah banyak diketahui
sebagai makanan yang dibuat dengan memanfaatkan fungi dari genus Rhizopus.
Perkembangan penelitian tempe mencatat bahwa proses fermentasi tempe tidak
hanya melibatkan Rhizopus saja tetapi juga melibatkan sejumlah bakteri dan
khamir yang berperan dalam peningkatan nilai gizi tempe (Liem et al. 1977; Klus
et al. 1993; Keuth & Bisping 1994; Denter et al. 1998; Klus & Bars 1998;
Moreno et al. 2002; Kim et al. 2006; Barus et al. 2008; Sari 2009; Stefania 2009).
Sampai saat ini penelitian yang dilakukan lebih diarahkan pada peran masingmasing mikroba secara terpisah-pisah padahal dalam suatu proses fermentasi
mikroba akan bekerja dalam bentuk suatu konsorsium (Ampe et al. 1999;
Randazo et al. 2002; Ogier et al. 2004; Scheirlinck et al. 2007, 2008).
Konsorsium mikroba serta kondisi proses fermentasinya perlu dilihat secara
menyeluruh karena sangat berpengaruh terhadap cita rasa, tekstur, kandungan
nutrisi serta jaminan keamanan tempe (Watanabe et al. 2007; Hubert et al. 2008;
Hugenholtz 2008; Rohm et al. 2010).
Indonesia merupakan negara yang mengkonsumsi tempe terbesar di dunia.
Konsumsi tempe rata-rata perkapita seminggu meningkat mulai dari tahun 2009
sebesar 0.135 kg menjadi 0.140 kg (Data BPS pada bulan Agustus 2011).
Indonesia juga dikenal karena tempe yang dihasilkan memiliki keunikan citarasa
dari daerah-daerah di Indonesia. Perbedaan standar prosedur pengolahan antara
satu produsen dengan produsen lain dapat menimbulkan variasi karakteristik
tempe (Astuti et al. 2000). Keunikan karakteristik ini dapat menjadi nilai tambah
tempe Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Sampai saat ini
di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh perbedaan
standar prosedur pengolahan di berbagai daerah terhadap komunitas mikroba total
yang terlibat. Informasi ini menjadi penting untuk pemuliaan tempe sebagai
makanan fungsional Indonesia yang unik dan konsisten. Informasi ini dapat
menjadi dasar perancangan kultur starter andal dan pengendalian proses
20
fermentasi untuk memperoleh tempe dengan kandungan nutrisi serta tingkat
keamanan pangan yang tinggi.
Perumusan Masalah
Tahapan penting dalam pemuliaan tempe sebagai makanan tradisional
bernilai gizi penting adalah perlunya dilakukan identifikasi mikroba yang
berperan dalam proses fermentasinya. Hal ini menjadi penting karena mikroba
yang terlibat selama proses fermentasi berperan dalam pembentukan cita rasa,
tekstur serta produksi komponen nutrisi pada makanan fermentasi. Informasi
tentang mikroba yang terlibat, dapat digunakan sebagai acuan dalam merancang
kultur starter dan dapat menjamin pengontrolan proses terkendali serta memiliki
jaminan keamanan pangan. Teknik yang digunakan dalam mempelajari bakteri
pada tempe sampai saat ini masih terbatas pada teknik culture-dependent saja.
Dalam suatu proses fermentasi dapat dilibatkan berbagai macam jenis
mikroba baik terkultur maupun tidak terkultur. Saat ini teknik yang berbasis
culture-independent telah dikembangkan dengan baik untuk mengontrol produksi
dan jaminan kualitas makanan. Teknik ini dapat memberi gambaran utuh tentang
mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe. Upaya pemuliaan tempe
dapat didasari dengan melakukan karakterisasi peran mikroba dalam memberi
kontribusi tertentu untuk kandungan gizi serta aspek keamanan pangannya.
Pengetahuan ini dapat menjadi aset penting dalam pemuliaan tempe sebagai
makanan tradisional. Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan masalah dasar penelitian ini:
1. Perlunya metode ekstraksi DNA yang bisa memberikan gambaran yang
menyeluruh tentang komunitas mikroba dalam proses fermentasi.
2. Bagaimana pengaruh variasi pola produksi tempe terhadap komunitas mikroba
pada produk akhir fermentasi Tempe?
3. Apakah profil komunitas bakteri atau fungi pada tempe dapat digunakan
sebagai penciri atau barcode?
4. Apakah bakteri yang selama ini teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae
dan Bacillus cereus pada tempe merupakan bakteri dengan kesamaan genetik
seperti bakteri patogen?
21
Tujuan Penelitian
Menganalisis
keragaman
komunitas
mikroorganisme
(bakteri
dan
cendawan) dan mencari sistem diagnostik keragaman komunitas terbaik yang
dapat digunakan sebagai penciri genetik (barcode) atau “fingerprinting” pada
tempe.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang memberikan informasi
tentang variasi keragaman mikroba yang terdapat dalam tempe Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat membuka jalan untuk identifikasi dan
inventarisasi mikroba pada tempe agar dapat membantu pengembangan proses
fermentasi yang lebih andal. Informasi ini juga menjadi batu loncatan untuk
pengembangan kontrol kualitas tempe.
Kebaruan (Novelty)
Penelitian ini merupakan penelitian pertama untuk pencirian tempe dan
melihat pengaruh keragaman mikroba terhadap perbedaan karakteristik tempe di
Indonesia. Penelitian ini tidak hanya dilakukan untuk melihat keberadaan mikroba
yang terkultur tetapi juga melihat keberadaan mikroba tidak terkultur. Penelitian
ini juga memberikan informasi tentang adanya plasma nutfah mikroba baru yang
masih dapat dieksplorasi lebih lanjut.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan, maka hipotesis yang
dapat dirumuskan adalah: Proses produksi tempe yang berbeda antar produsen
tempe di Indonesia memungkinkan munculnya mikroba dengan peran berbeda
dalam proses fermentasi. Mikroba yang muncul dalam proses fermentasi diduga
berasal dari lingkungan produksi dan memberikan pengaruh terhadap karakteristik
tempe Indonesia. Mikroba pada tempe Indonesia dapat merupakan plasma nutfah
mikroba khas yang mungkin belum pernah dieksplorasi. Beberapa mikroba yang
ditemukan pada tempe memiliki kesamaam ciri dengan mikroba patogen,
walaupun demikian mikroba tersebut belum tentu sama secara genetik.
22
Bagan Alir Penelitian
Sampel Tempe
Isolasi DNA Metode FDEK
Isolasi DNA Metode
PFMDIK
Pengukuran Kuantitas DNA dan Uji Penghambatan PCR
A
R
I
S
A
Profil DNA Metode
FDEK
Proil DNA Metode
PFMDIK
Metode Standar untuk Isolasi Mikroba dari
Tempe
Sampel Tempe Bogor
Sampel Tempe Ambon
Sampel Tempe Malang
Sampel Tempe Sidoarjo
Profil ARISA Mikroba dalam Proses Fermentasi Tempe
Pembuatan Pustaka Gen 16S rRNA dari Dua Tempe
Profil ARISA Dua Isolat Bakteri dari Tempe dengan dua Isolat
ATCC
Gambaran Struktur Komunitas Bakteri pada Tempe yang
Berbeda
Perbandingan Kesamaan Isolat secara Genetik
Novelty: Informasi dasar tentang keragaman mikroba pada tempe yang menyebabkan adanya keragaman
karakteristik tempe di Indonesia
23
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Fermentasi yang Melibatkan Konsorsium Mikroba
Makanan fermentasi adalah substrat makanan yang ditumbuhi oleh
mikroba, dapat dimakan (edible) dan mengandung berbagai macam enzim yaitu:
amilase, protease, lipase dan enzim penghidrolisis polisakarida. Selain itu pada
makanan fermentasi dapat ditemukan pula protein dan lipid sebagai produk non
toksik serta cita rasa, aroma serta tekstur yang menyenangkan dan menarik untuk
dikonsumsi oleh manusia (Steinkraus 1997). Proses fermentasi makanan dapat
dikategorikan menjadi proses fermentasi spontan yang tidak menggunakan kultur
starter (NKS) dan proses fermentasi menggunakan kultur starter (KS). Kultur
starter yang digunakan dapat berupa isolat tunggal atau kultur campuran. Proses
fermentasi spontan (NKS) maupun fermentasi KS, masih memungkinkan
masuknya berbagai mikroba lain yang akhirnya terlibat dalam proses fermentasi
tersebut (Holzapfel 2002). Proses tersebut dapat pula melibatkan berbagai jenis
bakteri terkultur maupun tidak terkultur (Ampe et al. 1999).
Tahapan proses fermentasi dapat didominasi oleh mikroba yang berbedabeda. Hal ini disebabkan karena adanya kondisi pertumbuhan yang dibentuk oleh
komunitas mikroba dalam proses fermentasi (Ampe et al. 1999; Randazo et al.
2002; Ogier et al. 2004). Variasi jenis dan lokasi mikroba pada proses fermentasi
juga melibatkan perannya yang berbeda-beda. Adanya interaksi mikroba yang
berkorelasi secara negatif maupun positif dengan menekan pertumbuhan
organisme tertentu atau mendukung pertumbuhan organisme lain (Caplice &
Fitzgerald 1999; Monier et al. 2008). Perubahan populasi mikroba dalam suatu
proses fermentasi terjadi karena metabolit tertentu dapat dibentuk oleh mikroba
tertentu untuk menunjang suksesinya dengan menciptakan lingkungan yang
memungkinkan pertumbuhannya (Van der Meulen et al. 2007). Jenis mikroba
berbeda dapat mensintesis metabolit berbeda walaupun pada bahan makanan yang
sama. Jenis metabolit yang disintesis pada bahan makanan tertentu sangat
dipengaruhi oleh jenis mikroba dalam proses fermentasinya (de Reu et al. 1994;
Bauman & Bisping 1995; Denter et al. 1998; Hubert et al. 2008).
24
Komposisi mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi makanan sangat
penting karena berkontribusi terhadap cita rasa, tekstur dan nilai gizi dari
makanan. Produksi komponen aroma juga dapat dihasilkan atau dimodifikasi dari
eksopolisakarida dan protein yang ada pada bahan makanan. Komponen nutrisi
seperti vitamin juga dapat dihasilkan karena peranan mikroba dalam proses
fermentasi (Holzaffel 2002; Hugenholtz 2008). Secara tradisional komposisi
mikroba dalam proses fermentasi yang menghasilkan produk tertentu dapat
digunakan kembali untuk mempercepat kondisi fermentasi pada proses fermentasi
selanjutnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kultur backslopping atau
dengan menggunakan residu fermentasi kering (Holzaffel 2002; Kourkoucas et al.
2006).
Pentingnya Fingerprinting komunitas Sebagai Sistem Barcoding Pada Proses
Fermentasi
Produk fermentasi yang beragam dapat dihasilkan dari bahan baku yang
sama. Mikroba merupakan parameter paling sulit untuk dikontrol selama proses
fermentasi. Mikroba dalam proses fermentasi keju, dapat berasal dari kultur
bakteri asam laktat yang ditambahkan maupun kultur bakteri asam laktat lain
dalam starter. Bakteri lain, khamir dan fungi dapat juga timbul secara spontan
dari lingkungan. Populasi mikroba yang tumbuh selama proses fermentasi sangat
sulit dikontrol karena kompleksnya dinamika dan interaksi antar mikroba.
Pengetahuan tentang struktur dan dinamika dari komunitas mikroba yang terlibat
menjadi penting karena dapat memberi pemahaman lebih baik tentang variasi
karakteristik produk fermentasinya. Hal ini disebabkan adanya pertumbuhan dan
metabolisme mikroba yang ada. Kontrol komposisi mikroba akan memudahkan
pemilihan karakteristik tertentu dan mencegah penurunan kualitas produk
fermentasi (Jani & Barbier 2008).
Komposisi mikroba dalam suatu proses fermentasi sangat tergantung pada
teknologi yang digunakan seperti pada keju (Ogier et al. 2004) serta daerah
geografis tempat proses fermentasi tersebut dilakukan (Scheirlinck et al. 2007).
Upaya memperoleh gambaran tentang hasil produksi fermentasi yang reprodusibel
perlu dilakukan dengan diawali tahapan pembuatan database dan fingerprinting
25
mikroba dalam proses fermentasinya secara menyeluruh (Ogier et al. 2004). Studi
tentang fingerprinting komunitas kultur starter akan membantu memberi
pemahaman hubungan antara keragaman mikroba dan karakteristik spesifik yang
dihasilkan. Analisis ini dapat menjadi dasar perancangan suatu kultur starter dan
pengontrolan proses fermentasi (Lv et al. 2012)
Teknik Culture-Independent untuk Mempelajari Mikroba yang Terlibat
dalam Suatu Proses Fermentasi Makanan
Upaya untuk mempelajari komunitas mikroba dalam suatu proses
fermentasi makanan secara tradisional perlu dilakukan dan tidak hanya terbatas
pada teknik culture-dependent saja tetapi juga penting untuk melihat keragaman
komunitas dengan menggunakan teknik berbasis culture-independent (Ampe et al.
1999). Keterbatasan metode culture-dependent dalam kurun waktu dua dekade
menyebabkan
adanya
pengembangan
teknik
culture-independent
yang
berdasarkan pada analisa asam nukleat. Teknik ini juga telah banyak digunakan
dalam mempelajari komunitas mikroba pada ekosistem makanan untuk
mengontrol produksi dan jaminan kualitas makanan yang baik (Juste et al. 2008).
Teknik culture-independent merupakan teknik yang mampu memberikan
gambaran komunitas dalam suatu sistem makanan. Keterbatasan teknik cultureindependent sangat dipengaruhi oleh kemampuan metode ekstraksi DNA yang
digunakan. Ekstraksi DNA dari makanan dan ada tidaknya nuklease maupun
inhibitor PCR yang dapat terekstraksi dari bahan makanan tersebut sangat
mempengaruhi kualitas DNA hasil ekstraksi (Metwally et al. 2008). Metode yang
digunakan haruslah metode terbaik untuk sampel spesifik, kriteria utamanya
didasarkan pada kualitas dan kuantitas DNA hasil ekstraksi (Jara et al. 2008).
Kuantitas dan kualitas DNA bersifat sangat kritis untuk interpretasi analisis
komunitas mikroba (Thakuria et al. 2008). Ekstraksi DNA dari tempe belum
banyak dipelajari padahal metode ekstraksi sangat bersifat spesifik untuk matriks
atau bahan dasar makanan yang berbeda (Abrioruel et al. 2006; Jara et al. 2008).
Teknik culture-independent umumnya melibatkan teknik PCR sehingga
penting untuk memperhatikan gen yang menjadi target dasar analisa serta metode
ekstraksi DNA-nya. Pemilihan gen sebagai marker genetik harus dapat
26
membedakan variasi organisme secara luas. Sekuen gen yang dipilih harus
memiliki sekuen variabel dan konservatif dimana domain yang variabel
memungkinkan diskriminasi dalam selang yang luas dari suatu tingkatan
taksonomi. Sekuen target ini harus diapit oleh daerah yang koservatif. Gen yang
dapat digunakan sebagai penanda (marker) dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu ubiquitously conserved genes dan functional genes (Juste et al. 2008).
Automated Intergenic Spacer Analysis (ARISA)
Metode rRNA Intergenic Spacer Analysis (RISA) merupakan salah satu
metode culture-independent yang melibatkan amplifikasi PCR daerah intergenik
antara gen 16S dan 23S rRNA. Daerah ini menunjukkan heterogenitas tinggi yang
bergantung pada spesies baik dalam hal panjang amplikon maupun sekuen yang
dihasilkan (Gambar 1). Kedua tipe variasi pada teknik ARISA ini telah banyak
digunakan untuk membedakan strain-strain maupun spesies yang berkerabat
secara dekat (Jensen et al. 1993; Maes et al. 1997) dan daerah ini dapat pula
digolongkan sebagai ubiquitously conserved genes. Fisher dan Triplett (1999)
menggunakan teknik ini dengan memodifikasi teknik RISA dan menggunakan
primer oligonukleotida terlabel fluoresens pada proses PCR. Teknik ini
selanjutnya disebut Automated RISA (ARISA). Metode ARISA sangat
memudahkan analisis data yang dihasilkan.
Analisis ARISA digunakan sebagai tahapan lanjut analisis konsorsium
mikroba tempe karena daerah sekuen intergenik 16S-23S rRNA memiliki variasi
panjang dengan variasi ketidak miripan (dissimilarity) sekuen yang tinggi (35100%) (Song et al. 2004). Organisme dengan 99% kesamaan pada analisis gen
16S rRNA dapat terdeteksi sebagai organisme berbeda dengan teknik ini. Teknik
ini mampu mengkarakterisasi dan membedakan struktur genetik komunitas
mikroba berdasarkan kehadiran masing-masing populasi mikroba dalam
komunitas tersebut (Ranjard et al. 2001; Danovaro et al. 2006). Tempe diproduksi
dengan standar prosedur bervariasi sehingga sangat membutuhkan teknik ARISA
untuk menganalisis konsorsium mikroba yang ada dan diduga cukup kompleks.
Teknik ini memungkinkan mempelajari struktur komunitas mikroba pada tempe
karena memiliki sensitivitas tinggi dan dapat mengukur intensitas profil yang
27
terdeteksi secara tepat (Ranjard et al. 2001). Profil ARISA (Gambar 1) sangat
bergantung pada jumlah kopi operon gen rRNA yang ada pada sel (Dafonchio et
al. 2003) dan bersifat spesifik karena mampu memilah keragaman mikroba
sampai pada tingkat strain (Jensen et al. 1993).
Gambar 1 Prinsip dasar Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis
(ARISA-Dafonchio et al, 2003).
Aplikasi teknik ARISA perlu ditunjang dengan penggunaan primer yang
tepat dan andal terutama dalam menganalisa bahan makanan. Hal ini perlu
diperhatikan agar tidak menutupi kemungkinan ditemukannya mikroba yang
secara teknis tidak diinginkan atau belum pernah terdeteksi keberadaannya pada
bahan makanan dan sulit teridentifikasi dengan teknik yang berbasis culturedependent (Ogier et al. 2004). Cardinale et al. (2004), telah mencoba
membandingkan satu set primer dan menemukan bahwa pasangan primer ITSF
dan ITSReub yang didisainnya mampu menunjang analisa ARISA. Pemanfaatan
28
primer tersebut mampu mengeksplorasi keragaman bakteri dengan memberikan
tingkat keragaman yang tinggi, tidak menyebabkan bias dan menghasilkan
fingerprinting molekuler yang mudah dianalisis (Gambar 2). Pasangan primer ini
telah diuji terhadap berbagai macam sumber sampel dan mampu mereduksi bias
dalam analisa ARISA yang memungkinkan diperolehnya gambaran secara global
tentang komunitas suatu sistem ekologi. Pada analisis keragaman fungi, Ranjard
et al. (2001) telah merancang pasangan primer 2234C dan 3126T yang mampu
mendeteksi variasi fungi dan dapat digunakan untuk melihat keragaman fungi
dalam kelompok taksonomi utama fungi (Gambar 3). Analisis keragaman
dilakukan dengan melihat fragmen DNA yang muncul dengan ukuran berbeda
sebagai peak dalam ARISA type. Fragmen DNA ini didefinisikan sebagai OTU
(Operational Taxonomic Unit) (Hewson & Fuhrman 2004; Ramete 2009).
Gambar 2 Kedudukan primer ITSF dan ITSReub (Cardinale et al. 2004).
Profil ARISA yang baik sangat bergantung pada kualitas DNA total hasil
isolasi. Metode ekstraksi DNA sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas DNA
untuk berhasilnya tahapan amplifikasi (Simon et al. 1996; Abriouel et al. 2006;
Thakuria et al. 2008). Metode yang digunakan dalam ekstraksi DNA total perlu
dioptimasi untuk mendapatkan metode terbaik untuk memberi gambaran
menyeluruh tentang total komunitas mikroba dalam suatu sistem ekologi. Bahan
makanan dapat mengandung bahan pengganggu PCR dan metode yang digunakan
harus mampu mengekstrak semua DNA dari sampel. Hal ini diperlukan agar dapat
memberikan profil yang sebenarnya tentang semua mikroba yang ada (Abriouel et
al. 2006; Ranjard et al. 2001). Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses
tersebut adalah korelasi nyata antara jumlah ribotipe reprodusibel yang dihasilkan
dan ekstrak DNA hasil ekstraksi. Metode yang digunakan dalam ekstraksi DNA
29
total juga perlu dioptimasi untuk mendapatkan metode terbaik (Ranjard et al.
2001).
Gambar 3 Kedudukan dan ukuran amplikon yang dihasilkan dari primer
2234C dan 3126T (Ranjard et al.2001).
Pustaka Gen 16S rRNA
Gen 16S rRNA merupakan gen yang selalu ada pada semua prokariot dan
menjalankan fungsi sama. Perubahan sekuen pada gen ini akan menandai jarak
evolusi antara mikroba yang berkerabat. Intensitas perubahan dapat terjadi dengan
kecepatan dan lokasi dalam gen 16S rRNA yang tidak seragam antara setiap
mikroba. Panjang gen 16S rRNA adalah sekitar 1550 bp dan tersusun atas daerah
variable dan konservatif. Gen ini cukup besar dan memiliki sifat polimorfisme
interspesifik yang dapat digunakan sebagai pembeda nyata secara statistik. Primer
universal dirancang sebagai fragmen komplemen pada awal dan ujung gen.
Daerah gen yang variable diapit oleh primer dan dapat digunakan dalam analisis
komparatif taksonomi (Clarridge 2004).
30
Weisburg et al. (1991) telah menemukan bahwa amplifikasi gen 16SrRNA, kloning dan sekuensing merupakan metode untuk mengidentifikasi
mikroorganime tanpa harus dikulturkan. Pendekatan pustaka gen 16S rRNA dapat
dimanfaatkan dalam mengidentifikasi spesies spesifik yang berpotensi sebagai
indikator dalam mempelajari struktur suatu komunitas (Hartman & Widmer,
2006). Marchesi et al. (1998) telah merancang sepasang primer yang dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA dari kelompok bakteri yang
disebut primer 63F dan 1387R.
Tempe Sebagai Makanan Tradisional yang Kaya Nutrisi
Kedelai merupakan bahan makanan yang unik karena kaya akan nutrisi.
Kedelai mengandung karbohidrat kompleks, protein nabati, lipid, serat,
oligosakarida, senyawa fitokimia (khususnya isoflavon) dan mineral. Protein
kedelai dikenal sebagai protein yang lengkap dan setara dengan albumin telur.
Substitusi protein hewani dengan protein kedelai akan mereduksi ekskresi kalsium
urin dan mereduksi osteoporosis. Kandungan serat yang larut dan tidak larut juga
memberi keuntungan bagi kesehatan, sedangkan oligosakaridanya berperan
sebagai komponen prebiotik di kolon. Isoflavon genistein dan daidzein dari
kedelai memiliki sejumlah fungsi biologis dan mineralnya berada dalam bentuk
yang tersedia sehingga menjadi penting karena mereduksi osteoporosis dan
hipertensi (Anderson et al. 1999). Kedelai juga mengandung asam lemak gliserid
seperti asam palmitat, stearat, oleat, linoleat dan linoleat (de Reu et al. 1994).
Zamora & Veum (1979) menyatakan bahwa nutrisi kacang kedelai yang
difermentasi dengan adanya fungi lebih signifikan meningkatkan average daily
gain (ADG) dan rasio gain:feed (G:F) dari tikus. Hal ini menunjukkan bahwa
proses fermentasi berperan penting dalam menyediakan nutrisi yang lebih siap
untuk diserap.
Tempe merupakan makanan fermentasi tradisional Indonesia yang secara
prinsip dibuat dari kedelai. Tempe di Indonesia terutama diproduksi oleh industri
skala kecil dengan skala produksi 10 kg sampai 4 metrik ton per hari. Diduga
terdapat lebih dari 100.000 produsen tempe yang tersebar di Indonesia (Astuti et
al. 2000). Chan et al. (2007) melaporkan bahwa tempe merupakan sumber zinc,
31
besi dan kalsium yang terbaik bagi bayi karena kandungan mineralnya relatif
tinggi dan kandungan phytat-nya rendah. Tempe yang berbahan dasar kedelai dan
diproses melalui fermentasi tradisional diproses melalui tahapan proses soaking
(perendaman dalam kondisi asam), dehulling (pengelupasan mantel biji), cooking
(perebusan) dan fermentasi. Karena kedelai sebagai bahan baku tempe
mengandung sejumlah senyawa antinutrisi dan senyawa yang bersifat toksik,
Egounlety & Aworh (2003) melaporkan bahwa tahapan preparasi sebelum proses
fermentasi perlu dilakukan sebagai tahapan persiapan substrat untuk selanjutnya
mengalami pemecahan secara enzimatik oleh fungi. Pada tahapan preparasi ini
juga, proses cooking secara signifikan mereduksi inhibitor trypsin pada kacangkacangan, dehulling mengeliminasi tannin dan fermentasi dengan Rhizopus
oligosporus mereduksi asam phytat sebanyak 30,7% pada kedelai. Proses
Soaking-dehulling-cooking
dan
fermentasi
dengan
Rhizopus
oligosporus
mengeliminasi stachyose yang merupakan oligosakarida yang sangat flatulent.
Galur Rhizopus yang digunakan sebagai starter sangat beragam. Baumann
& Bisping (1995) pernah melaporkan adanya 36 strain Rhizopus asal Indonesia
yang biasa digunakan untuk membuat tempe. Rhizopus yang digunakan dalam
pembuatan tempe mampu membentuk karotenoid dan menurunkan jumlah
tocopherol dengan jumlah vitamin E yang tetap, menurunkan asam lemak gliserid
(de Reu et al. 1994), mampu melakukan proteolisis, meningkatkan jumlah asam
amino bebas dalam suatu proses fermentasi tempe (Baumann & Bisping 1995),
serta memproduksi ergosterol (Denter et al. 1998). Proses fermentasi ini dapat
memberikan hasil yang berbeda bila galur fungi dikombinasikan dengan bakteri
dalam proses fermentasi (de Reu et al. 1994; Baumann & Bisping 1995; Denter et
al. 1998). Kemampuan proteolisis R. stolonifer, R. oryzae dan R oligosporus
dalam melakukan proteolisis sangat beragam, bahkan sangat bergantung pada
galur dan bukan spesies (Baumann & Bisping 1995). Rhizopus juga telah
dilaporkan mampu mensintesis β-carotene namun kemampuan ini tidak dimiliki
oleh semua spesies ini (Denter et al. 1998). Jenis asam lemak yang didegradasi
dan dihasilkan juga sangat beragam (de Reu et al. 1994).
Walaupun proses fermentasi tempe umumnya menggunakan kultur starter
tunggal yang terdiri atas fungi dari kelompok Rhizopus, beberapa penelitian telah
32
melaporkan adanya keterlibatan mikroba lain seperti bakteri dan kapang dalam
proses ini. Liem et al. (1977) pernah membuktikan peran bakteri dalam
membentuk vitamin B12 pada tempe (Tabel 1).
Tabel 1 Bakteri dan khamir yang dilaporkan berasosiasi dengan proses fermentasi
tempe
Bakteri dan Khamir
Produk yang dihasilkan
Sumber
Asam,
Asam, invertase
Asam
Asam, invertase
Asam, invertase, αgalactosidase
Asam
Vitamin B12
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Vitamin B12
Keuth & Bisping 1994; Barus et al.
2008
Brevibacterium epidermidis
Factor 2
Klus et al. 1993
Microbacterium aborescens
Factor 2 dan Glycitein
Klus et al. 1993
Micrococcus
Isoflavon polyhydroxylasi
Klus & Bars 1998
Arthrobacter
Isoflavon polyhydroxylasi
Klus & Bars 1998
Enterococcus faecium LMG 19827
Bakteriosin B1
Moreno et al. 2002
Enterococcus faecium LMG 19828
Bakteriosin B2
Moreno et al. 2002
Bacillus subtilis
Protease serin dari kelompok
subtilisin
Kim et al. 2006; Barus et al. 2008
Enterobacteria
bersifat proteolitik
Barus et al. 2008
Acetobacter indonesiensis
-
Barus et al. 2008
Flavobacterium sp.
-
Barus et al. 2008
Klebsiella sp.
-
Barus et al. 2008
Brevundimonas sp.
-
Barus et al. 2008
Bacillus sp.
-
Barus et al. 2008
Pseudomonas putida
-
Barus et al. 2008
Invertase
-
Barus et al. 2008
Mulyowidarso et al. 1989. 1991
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Lactobacillus casei
Streptococcus faecium
Sterptococcus dysgalactiae
Staphilococcus epidermidis
Citrobacter diversus
Enterobacter aglomerans
Enterobacter cloacae
Klebsiella pneumoniae
Klebsiella Ozaenae
Bacillus brevis
Citrobacter freundii
Klebsiella pneumoniae
Acinetobacter
Pichia burtonii (khamir)
Candida diddensiae (khamir)
Rhodotorula rubra (Khamir)
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Keuth & Bisping 1994
Analisa yang berdasarkan teknik culture-independent menggunakan
Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA) telah pula dilakukan
dan ditemukan 60 filotipe bakteri pada tempe tidak pahit (Stefania 2009) dan 58
filotipe bakteri dari tempe dengan rasa pahit (Sari 2009) yang menggambarkan
33
tingginya keragaman bakteri pada tempe. Keterlibatan khamir dalam fermentasi
tempe di Malaysia juga telah dilaporkan oleh Moreno et al. (2002).
Bakteri asam laktat juga telah dilaporkan berpengaruh terhadap komposisi
beberapa produk makanan dengan bahan baku kedelai. Bakteri ini dilaporkan
berpengaruh terhadap komposisi senyawa fitokimia dan sifat antioksidan dari
kecambah kedelai sebagai hasil proses fermentasinya (Hubert et al. 2008). Pada
produk pasta kedelai (doenjang), bakteri asam laktat dan bakteri-bakteri lain
seperti Bacillus dilaporkan berperan dalam membentuk komponen-komponen
pembentuk cita rasa, protein dan bakteriosin pada makanan ini (Kim et al. 2009).
Kondisi lingkungan yang berbeda antara daerah penghasil tempe juga dapat
berpengaruh terhadap hasil fermentasi. Baumann dan Bisping (1995) menyatakan
bahwa suhu yang rendah akan menurunkan kecepatan fermentasi, namun justru
dapat meningkatkan kandungan asam amino bebas pada tempe.
Mengacu pada penelitian yang dikemukakan di atas terlihat bahwa dalam
proses fermentasi tempe di Indonesia melibatkan sangat banyak spesies Rhizopus
sebagai kultur starter pada daerah produsen tempe yang berbeda-beda. Selain itu
karena kondisi lingkungan produsen tempe yang berbeda-beda, dapat terjadi
bahwa proses fermentasi melibatkan banyak sekali mikroba lain selain kultur
starter. Varietas biji kedelai yang digunakan produsen tempe juga berbeda pada
daerah penghasil tempe yang berbeda. Hal ini dapat berpengaruh pada hasil akhir
fermentasi. Peran kapang Rhizopus, selain menyediakan beberapa komponen
penting juga berperan untuk menyediakan substrat bagi bakteri dalam mensintesis
komponen cita rasa dan komponen nutrisi lain.
Perbedaan rasa pada tempe dari berbagai daerah di Indonesia diduga dapat
disebabkan karena adanya variasi komunitas mikroba, karena variasi bahan serta
tempat proses fermentasi yang juga beragam (Astuti et al. 2000). Hal ini tentu saja
menjadi faktor penunjang ciri khas rasa tempe yang dihasilkan pada daerah
berbeda di seluruh Indonesia. Scheirlinck et al. (2007, 2008) menemukan bahwa
dalam proses fermentasi sourdough yang dilakukan secara spontan melibatkan
suatu konsorsium mikroba. Penelitian tersebut menemukan bahwa tidak terdapat
kesamaan komunitas bakteri asam laktat pada proses fermentasi sourdough pada
daerah yang berbeda.
Skor plot dari Principal Component Analysis (PCA)
34
menunjukkan bahwa sampel sourdough yang berasal dari depositor yang sama
akan dikelompokkan bersama. Korelasi antara tipe tepung, propinsi penghasil atau
karakteristik teknologi (pH, waktu fermentasi dan suhu) tidak ditemukan
demikian pula asosiasi signifikan antara spesies bakteri asam laktat tertentu
dengan salah satu dari variabel yang diamati. Keragaman variasi komunitas
bakteri asam laktat ini secara signifikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan
bakery tempat terjadinya fermentasi sourdough.
Walaupun berkontribusi secara positif, ternyata mikroba yang terlibat
dalam proses fermentasi tempe dapat juga memberi dampak yang merugikan.
Rhizonin adalah hepatotoksik siklopeptida dari kultur fungi Rhizopus microspores
yang tumb
ANALISIS METAGENOM UNTUK PENCIRIAN KOMUNITAS BAKTERI
DAN FUNGI PADA TEMPE
CECILIA ANNA SEUMAHU
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ‘Analisis Metagenom
untuk Pencirian Komunitas Bakteri dan Fungi pada Tempe’ adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dalam disertasi ini.
Bogor, September 2012
Cecilia Anna Seumahu
G361080011
3
ABSTRACT
CECILIA ANNA SEUMAHU, Metagenome Analysis to fingerprint Bacterial and
Fungi Communities in Tempe. Supervised by ANTONIUS SUWANTO (Major
Advisor), IMAN RUSMANA, DEDY DURYADI SOLIHIN (Co advisor).
Tempe is an Indonesian traditional fermented food produced using
Rhizopus as a starter culture. In practice, however, the starter culture as well as
fermentation processes would involved a polymicrobial fermentation, which
generated a unique tempe flavor and texture. This condition makes Indonesian
tempe as one of the most complex fermented food, while at the same time would
make it difficult to scale up tempe production with uniform quality and
consistency. Because of complex microbial communities involved, cultureindependent methods or metagenomic analysis would be an essential tool to
unravel this complex microbial fermentation. The aim of this study was to
compare a number of tempe microbial communities based on Amplified
Ribosomal Intergenic Sequence Analysis (ARISA). Fresh tempe samples were
obtained from tempe producers in Java and Moluccas. 16S rRNA gene libraries
and DNA sequencing were employed to analyze further the nature of microbial
diversity in two selected tempe samples. The results of our study showed that
different tempe producer possessed different Bacterial ARISA (BARISA) or fungi
ARISA (FARISA) profiles. However, BARISA profiles were found to be more
discriminative than FARISA, and therefore BARISA would be more useful for
tempe genetic fingerprint or barcoding. Bacterial communities in two tempe
samples (EMP and SDJD) were further investigated employing DNA sequence
analysis of their 16S rRNA gene libraries. Sequences closely related to Klebsiella
sp were found to be the majority among bacterial communities present in SDJD
sample, while sequences closely related to Acetobacter sp. were found as
predominant isolates in EMP samples. These significant differences in bacterial
communities might reflect differences in tempe flavor or texture associated with
their unique production or locality.
Key Word: Tempe microbial community, ARISA, barcoding system.
4
RINGKASAN
Sebagai makanan fungsional tradisional Indonesia, tempe dikonsumsi
dalam jumlah yang relatif tinggi dan dapat ditemukan dalam berbagai variasi jenis
dan cara pengolahan. Variasi ini perlu dijaga karena menjadi ciri khas makanan
Indonesia yang dapat dikembangkan dalam menghadapi program perdagangan
bebas ASEAN. Walau demikian, database mikroorganisme yang terlibat dalam
proses fermentasi tempe belum pernah dibuat dan ditelaah peluang adanya
hubungan antara rasa tempe yang berbeda pada daerah sentra produksi terhadap
komposisi mikroorganisme dan jaminan keamanan pangannya
Dalam proses pengolahannya, fermentasi tempe tidak hanya melibatkan
cendawan tetapi juga melibatkan bakteri. Upaya mempelajari total komunitas
mikroorganisme yang terlibat, dapat dilakukan dengan menggunakan metode
deteksi yang cukup sensitif dalam memberi gambaran secara menyeluruh. Teknik
tidak terkultur merupakan teknik yang dapat memberi gambaran tentang
komposisi mikroorganisme terkultur maupun tidak terkultur dari suatu lingkungan
ekologi. Kendala yang dihadapi dalam menggunakan teknik ini adalah pada
metode ekstraksi DNA sebagai tahapan awal yang penting. Rendemen dan
kualitas DNA yang rendah dapat mengurangi profil keragaman yang dapat
diperoleh dari suatu lingkungan ekologi. Permasalahan ini dapat diatasi dengan
melakukan pemilihan dan optimasi metode analisa yang dapat memberikan hasil
yang reprodusibel. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi metode ekstraksi
DNA dari sampel tempe sehingga diperoleh suatu metode standar yang dapat
digunakan untuk mempelajari total komunitas mikroorganisme pada tempe.
Optimasi dilakukan dengan membandingkan kemampuan dua kit komersil
(Fermentas DNA Purification Kit-FDEK dan PowerFood Microbian DNA
Isolation Kit-PFMDIK) untuk melakukan analisis metagenom mikroorganisme
yang ada di tempe. Berdasarkan hasil dari beberapa parameter yang diamati,
metode PFMDIK sangat baik digunakan untuk menganalisis keragaman
mikroorganisme di tempe secara metagenomik. Metode ini memberikan rendemen
dan kualitas DNA tinggi sehingga dapat diperoleh hasil PCR yang reprodusibel
dan ragam mikroorganisme yang lebih tinggi daripada metode FDEK. Parameter
yang dipakai sebagai data penunjang hasil ini adalah pengukuran konsentrasi
5
DNA serta kemurnian DNA dengan rasio 260/280, amplifikasi gen 16S rRNA,
visualisasi hasil amplifikasi sekuen ITS 16S-23S rRNA serta analisis ARISA
untuk komunitas bakteri dan fungi di tempe.
Hasil penelitian selanjutnya juga menunjukkan bahwa sidik jari komunitas
mikroorganisme dari delapan tempe yang berasal dari delapan pengrajin berbeda
menunjukkan ragam dan komposisi mikroorganisme berbeda. Hasil analisis
BARISA menunjukkan bahwa tidak ada satupun Operational Taxonomic Unit
(OTU) dalam BARISA type dengan ukuran sama yang dapat ditemukan pada
kedelapan contoh tempe dari pengrajin berbeda. Sebaliknya diperoleh delapan
OTU dalam FARISA type yang ditemukan secara berulang pada tempe dari
delapan pengrajin. Data ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri diduga lebih
diskriminatif menentukan perbedaan karakteristik tempe. Hal ini diperkuat dengan
adanya analisis pustaka gen 16S rRNA dari dua tempe EMP dan SDJD. Analisis
ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri yang mendominasi populasi bakteri
pada dua contoh tempe tersebut sangat berbeda. Pada tempe EMP, komunitas
bakteri didominasi oleh bakteri Acetobacter dan Lactobacillus sedangkan pada
tempe SDJD, komunitas bakteri lebih didominasi oleh bakteri Klebsiella dan
Klebsiella yang tidak terkultur. Profil BARISA juga dapat menunjukkan bahwa
isolat Klebsiella dan Bacillus yang terdapat pada tempe secara genetik dapat
berbeda dengan spesies yang bersifat patogen pada manusia (Klebsiella
pneumoniae ATCC35657 dan Bacillus cereus ATCC10876).
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karyailmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala hikmat dan
kebijaksanaan yang telah dilimpahkan bagi penulis sehingga disertasi dengan
judul “Analisis Metagenom Untuk Pencirian Komunitas Bakteri dan Fungi pada
Tempe” ini dapat diselesaikan dengan baik. Bagian dari disertasi ini juga telah
dipublikasikan pada Hayati Journal of Bioscience Vol 19 No 2. Juni 2012 dengan
judul : “Comparison of DNA Extraction Methods for Microbial Community
Analysis in Indonesian Tempe Employing Amplified Ribosomal Intergenic
Spacer Analysis”.
Penelitian ini juga terlaksana atas bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis
sangat berterima kasih kepada berbagai pihak:
1. Para pembimbing: Prof. Dr. Antonius Suwanto, M.Sc., Dr, Iman Rusmana,
M.Si dan Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA atas segala bimbingan dan arahan
yang diberikan selama penelitian dan penulisan disertasi ini dilakukan.
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atas beasiswa pendidikan BPPS yang penulis terima.
3. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas dana
penelitian yang diberikan melalui penelitian Hibah Strategies Nasional dengan
nomor kontrak 524/SP2H/PP/DP2M/VII/2010, Tanggal 24 Juli 2010 dan
406/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2011, Tanggal 14 April 2011.
4. Dekan dan Civitas Akademika Fakultas Teknobiologi Atmajaya Indonesia di
Jakarta atas semua fasilitas laboratorium dan ijin penggunan isolat Klebsiella
pneumoniae ATCC35657 koleksi Fakultas Teknobiologi UNIKA Atmajaya
yang mendukung kelancaran penelitian ini.
5. Para Penguji Luar Komisi: Prof. Dr. Anja Meryandini, Prof. Dr. Suyanto
Pawiroharsono, Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi dan Dr. Yuri Sutanto yang
berkenan meluangkan waktu untuk menguji dan memberi masukan demi
perbaikan disertasi ini.
6. Dr. Tati Barus untuk kesediaannya memberikan ijin menggunakan dua isolat
koleksi: Klebsiella 135 dan Bacillus CR9 pada penelitian ini.
8
7. Arhad Kamahayanikam Vratyastoma dan Alvonsus Alvin atas semua bantuan
dan kebersamaan selama penelitian ini berlangsung di Lab Riset FTB UNIKA
Atmajaya.
8. Ibu Tati, Ibu Yunning, Pak Bambang, Pak Ridwan, Pak Dahrul, Pak Dahni dan
Pak Nurdin atas semua bantuan selama penelitian ini dilakukan.
9. Dr. Nikmans Hatu yang telah membantu pengurusan dana penelitian. Dra.
Cynthia Wattimena, M.Sc. yang telah meluangkan waktu untuk mencari
literatur yang penulis butuhkan. Sanita Suryani, M.Si dan Ibu Lisa HitalessyTelussa atas bantuannya selama penulis melakukan pengambilan sampel.
Handy E.P. Leimena, S.Si., M.Si. atas semua arahannya dalam bidang Ekologi.
Ir. Delly Matruti, M.Si yang selalu bersedia dititipkan sampel sebelum dibawa
ke lab.
10. Teman-teman seangkatan MIK 2008 dan 2009 atas kebersamaannya selama
kuliah.
11. Papa dan Mama (alm), Papa dan Mama mertua (alm) dan semua saudarasaudara: John, Odie, Ella, Ain, Anes, Ici dan Eten yang selalu memberi
dukungan Doa dan bantuan yang tidak terhingga.
12. Corinus Titihalawa dan Cecilia Daniela Titihalawa, suami dan anak tercinta
atas semua pengorbanan dan dukungannya selama penulis menempuh
pendidikan dan penelitian.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah
banyak memberikan kontribusi selama penelitian ini berjalan.
Atas semua kebaikan yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya. Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan ini namun
biarlah Tuhan yang empunya segala berkat melimpahkan berkat atas semua
kebaikan yang diberikan.
Bogor, September 2012
Cecilia Anna Seumahu
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 19 April 1972 dari ayah Drs.
Johannis Gerzon Seumahu, M.Pd. M.AppSc, dan Ibu Dra. Cecilia Cornelia
Haullussy. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Biologi FMIPA IPB
pada tahun 1997. Pendidikan S2 diselesaikan penulis pada tahun 2005 di Program
studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor dan pada tahun 2008 tercatat
sebagai mahasiswa program S3 di Mayor Mikrobiologi Departemen Biologi
FMIPA IPB.
Pada Tahun 1999, penulis diangkat sebagai tenaga pengajar tetap pada
jurusan pendidikan Biologi FKIP Universitas Pattimura dan pada Tahun 2000,
penulis ditetapkan sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Biologi FMPIA
Universitas Pattimura Ambon hingga saat ini
10
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…………………………………………………………...
Halaman
vii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..
ix
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………...
Perumusan Masalah……………………………………………………...
Tujuan Penelitian………………………………………………………..
Manfaat Penelitian……………………………………………………….
Kebaruan (Novelty)……………………………………………………………
Hipotesis Penelitian………………………………………………………
Bagan Alir Penelitian……………………………………………………
1
2
3
3
3
3
4
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Fermentasi yang Melibatkan Konsorsium Mikroba………..…….
Pentingnya Fingerprinting Komunitas Sebagai Sistem Barcoding pada
Proses Fermentasi…….…………………………………………….……
Teknik Culture-Independent untuk Mempelajari Mikroba yang Terlibat
dalam Suatu Proses Fermentasi Makanan..………………………………
Automated Intergenic Spacer Analysis (ARISA)….…………………….
Pustaka Gen 16S rRNA………………………………………………….
Tempe Sebagai Makanan Tradisional yang Kaya Nutrisi……………….
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………………
Bahan Penelitian…………………………………………………………
Pengambilan Sampel……………………………………………………
Penyiapan Sampel………………………………………………………..
Ekstraksi dengan Metode Fermentas DNA Purification Kit
(FDEK)…………………………………………………………………...
Ekstraksi dengan Metode Power Food Microbial DNA Isolation Kit
MOBIO (PFMDIK-MOBIO)…………………………………………….
Analisis Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Ekstraksi…………………..
Analisis Inhibitor PCR…………………………………………………..
Analisis Keragaman Komposisi Mikroorganisme……………………….
Kloning dan Sequencing Gen 16S rRNA………………………………..
Analisis Isolat Tunggal dengan ARISA………………………………....
HASIL
Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe………..………….
Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe…..
5
6
7
8
11
12
17
17
17
17
18
19
19
20
20
21
22
23
29
11
Analisis Gen 16s rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada
Tempe …………………..…………………………………………..……
Analisis profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis
Keamanan Pangan…………………………………………………..….
PEMBAHASAN
Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe………….…….
Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen
Tempe…………………………………………………………………….
Analisis Gen 16S rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada
Tempe ………...……………………………………………………….…
Analisis Profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis
Keamanan Pangan………………………………………………………..
39
40
45
50
57
63
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan…………………………………………………………….…..
Saran……………………………………………………………….……
65
65
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
67
LAMPIRAN………………………………………………………………….
77
12
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Bakteri dan khamir yang dilaporkan berasosiasi dengan proses fermentasi
tempe…………………………………………………………………………..
14
Konsentrasi DNA dan rasio A260/280 dan A260/230 untuk hasil ekstraksi
dengan menggunakan metode FDEK dan PFMDIK………..……………….
23
Perbandingan profil OTU BARISA type dan FARISA type yang diperoleh dari
DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK …………….………
25
4.
Profil perbedaan perlakuan proses pembuatan tempe pada berbagai produsen..
30
5.
Keragaman OTU pada BARISA type dan FARISA type dari Berbagai
Produsen tempe………………………………………………..…….……….
36
6.
Ukuran Profil BARISA Isolat Tunggal Bacillus………………………………
41
7.
Ukuran Profil BARISA Isolat Tunggal Klebsiella……………………………
42
2.
3.
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Prinsip dasar Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis……..
9
2.
Kedudukan primer ITSF dan ITSReub………………………………
10
3.
Kedudukan dan ukuran amplikon yang dihasilkan dari primer 2234C
dan 3126T……………………………………………………………..
11
4.
Amplifikasi PCR gen 16S rRNA dari sampel tempe…………………
24
5.
Profil BARISA type dari intergenic spacer yang diamplifikasi dengan
dua metode ekstraksi DNA…………………………………………..
25
Profil FARISA type dari daerah intergenic spacer yang diamplifikasi
dengan dua metode ekstraksi DNA…………………………………..
26
Profil BARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang
diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK……
27
Profil FARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang
diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK……
28
Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe…………………………………
32
Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe…………………………………
33
Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe..……………………………….
34
Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA
hasil ekstraksi dari beberapa tempe..……………………………….
35
Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas bakteri
pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient…...
37
Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas fungi
pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient.......
38
Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe
SDJD…………………………………………………………………..
39
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13.
14
15.
16.
Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe
EMP………………………………………………………………….
40
14
17.
18.
Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Bacillus yang terkultur
dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC……..
41
Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Klebsiella yang terkultur
dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC………
43
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Proses pengolahan pada delapan produsen tempe yang diamati….……
79
2.
BARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan
berulang pada tempe…………….……………….………….….……….
80
FARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan
berulang (dishading) pada tempe………………………….………….
81
4.
Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU BARISA…..
82
5.
Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU FARISA…..
82
6.
Identitas bakteri hasil analisis sequencing dari gen 16S rRNA yang
berhasil dikloning ke vektor pGEMT-Easy…………………………….
83
3.
16
ANALISIS METAGENOM UNTUK PENCIRIAN KOMUNITAS BAKTERI
DAN FUNGI PADA TEMPE
CECILIA ANNA SEUMAHU
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor pada
Mayor Mikrobiologi
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
17
Penguji Luar Komisi Pembimbing:
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup (18 Oktober 2012)
1. Prof. Dr. Anja Meryandini (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA IPB)
2. Prof. Dr. Suyanto Pawiroharsono (Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan
Bioteknologi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,BPPT)
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka (14 November 2012)
1. Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA IPB)
2. Dr. Yuri Sutanto (Senior Scientist-Aquaculture Technology Division pada PT.
Central Proteinemaprima, Tbk)
18
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi
Nama
NRP
: Analisis Metagenom untuk Pencirian Komunitas
Bakteri dan Fungi pada Tempe
: Cecilia A. Seumahu
: G361080011
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Antonius Suwanto, M.Sc.
Ketua
Dr. Iman Rusmana, M.Si
Anggota
.
Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Anggota
Diketahui,
Ketua Mayor Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Anja Meryandini
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian Tebuka: 14 November 2012
Tanggal Lulus:
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai makanan tradisional Indonesia, tempe telah banyak diketahui
sebagai makanan yang dibuat dengan memanfaatkan fungi dari genus Rhizopus.
Perkembangan penelitian tempe mencatat bahwa proses fermentasi tempe tidak
hanya melibatkan Rhizopus saja tetapi juga melibatkan sejumlah bakteri dan
khamir yang berperan dalam peningkatan nilai gizi tempe (Liem et al. 1977; Klus
et al. 1993; Keuth & Bisping 1994; Denter et al. 1998; Klus & Bars 1998;
Moreno et al. 2002; Kim et al. 2006; Barus et al. 2008; Sari 2009; Stefania 2009).
Sampai saat ini penelitian yang dilakukan lebih diarahkan pada peran masingmasing mikroba secara terpisah-pisah padahal dalam suatu proses fermentasi
mikroba akan bekerja dalam bentuk suatu konsorsium (Ampe et al. 1999;
Randazo et al. 2002; Ogier et al. 2004; Scheirlinck et al. 2007, 2008).
Konsorsium mikroba serta kondisi proses fermentasinya perlu dilihat secara
menyeluruh karena sangat berpengaruh terhadap cita rasa, tekstur, kandungan
nutrisi serta jaminan keamanan tempe (Watanabe et al. 2007; Hubert et al. 2008;
Hugenholtz 2008; Rohm et al. 2010).
Indonesia merupakan negara yang mengkonsumsi tempe terbesar di dunia.
Konsumsi tempe rata-rata perkapita seminggu meningkat mulai dari tahun 2009
sebesar 0.135 kg menjadi 0.140 kg (Data BPS pada bulan Agustus 2011).
Indonesia juga dikenal karena tempe yang dihasilkan memiliki keunikan citarasa
dari daerah-daerah di Indonesia. Perbedaan standar prosedur pengolahan antara
satu produsen dengan produsen lain dapat menimbulkan variasi karakteristik
tempe (Astuti et al. 2000). Keunikan karakteristik ini dapat menjadi nilai tambah
tempe Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Sampai saat ini
di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh perbedaan
standar prosedur pengolahan di berbagai daerah terhadap komunitas mikroba total
yang terlibat. Informasi ini menjadi penting untuk pemuliaan tempe sebagai
makanan fungsional Indonesia yang unik dan konsisten. Informasi ini dapat
menjadi dasar perancangan kultur starter andal dan pengendalian proses
20
fermentasi untuk memperoleh tempe dengan kandungan nutrisi serta tingkat
keamanan pangan yang tinggi.
Perumusan Masalah
Tahapan penting dalam pemuliaan tempe sebagai makanan tradisional
bernilai gizi penting adalah perlunya dilakukan identifikasi mikroba yang
berperan dalam proses fermentasinya. Hal ini menjadi penting karena mikroba
yang terlibat selama proses fermentasi berperan dalam pembentukan cita rasa,
tekstur serta produksi komponen nutrisi pada makanan fermentasi. Informasi
tentang mikroba yang terlibat, dapat digunakan sebagai acuan dalam merancang
kultur starter dan dapat menjamin pengontrolan proses terkendali serta memiliki
jaminan keamanan pangan. Teknik yang digunakan dalam mempelajari bakteri
pada tempe sampai saat ini masih terbatas pada teknik culture-dependent saja.
Dalam suatu proses fermentasi dapat dilibatkan berbagai macam jenis
mikroba baik terkultur maupun tidak terkultur. Saat ini teknik yang berbasis
culture-independent telah dikembangkan dengan baik untuk mengontrol produksi
dan jaminan kualitas makanan. Teknik ini dapat memberi gambaran utuh tentang
mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe. Upaya pemuliaan tempe
dapat didasari dengan melakukan karakterisasi peran mikroba dalam memberi
kontribusi tertentu untuk kandungan gizi serta aspek keamanan pangannya.
Pengetahuan ini dapat menjadi aset penting dalam pemuliaan tempe sebagai
makanan tradisional. Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan masalah dasar penelitian ini:
1. Perlunya metode ekstraksi DNA yang bisa memberikan gambaran yang
menyeluruh tentang komunitas mikroba dalam proses fermentasi.
2. Bagaimana pengaruh variasi pola produksi tempe terhadap komunitas mikroba
pada produk akhir fermentasi Tempe?
3. Apakah profil komunitas bakteri atau fungi pada tempe dapat digunakan
sebagai penciri atau barcode?
4. Apakah bakteri yang selama ini teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae
dan Bacillus cereus pada tempe merupakan bakteri dengan kesamaan genetik
seperti bakteri patogen?
21
Tujuan Penelitian
Menganalisis
keragaman
komunitas
mikroorganisme
(bakteri
dan
cendawan) dan mencari sistem diagnostik keragaman komunitas terbaik yang
dapat digunakan sebagai penciri genetik (barcode) atau “fingerprinting” pada
tempe.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang memberikan informasi
tentang variasi keragaman mikroba yang terdapat dalam tempe Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat membuka jalan untuk identifikasi dan
inventarisasi mikroba pada tempe agar dapat membantu pengembangan proses
fermentasi yang lebih andal. Informasi ini juga menjadi batu loncatan untuk
pengembangan kontrol kualitas tempe.
Kebaruan (Novelty)
Penelitian ini merupakan penelitian pertama untuk pencirian tempe dan
melihat pengaruh keragaman mikroba terhadap perbedaan karakteristik tempe di
Indonesia. Penelitian ini tidak hanya dilakukan untuk melihat keberadaan mikroba
yang terkultur tetapi juga melihat keberadaan mikroba tidak terkultur. Penelitian
ini juga memberikan informasi tentang adanya plasma nutfah mikroba baru yang
masih dapat dieksplorasi lebih lanjut.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan, maka hipotesis yang
dapat dirumuskan adalah: Proses produksi tempe yang berbeda antar produsen
tempe di Indonesia memungkinkan munculnya mikroba dengan peran berbeda
dalam proses fermentasi. Mikroba yang muncul dalam proses fermentasi diduga
berasal dari lingkungan produksi dan memberikan pengaruh terhadap karakteristik
tempe Indonesia. Mikroba pada tempe Indonesia dapat merupakan plasma nutfah
mikroba khas yang mungkin belum pernah dieksplorasi. Beberapa mikroba yang
ditemukan pada tempe memiliki kesamaam ciri dengan mikroba patogen,
walaupun demikian mikroba tersebut belum tentu sama secara genetik.
22
Bagan Alir Penelitian
Sampel Tempe
Isolasi DNA Metode FDEK
Isolasi DNA Metode
PFMDIK
Pengukuran Kuantitas DNA dan Uji Penghambatan PCR
A
R
I
S
A
Profil DNA Metode
FDEK
Proil DNA Metode
PFMDIK
Metode Standar untuk Isolasi Mikroba dari
Tempe
Sampel Tempe Bogor
Sampel Tempe Ambon
Sampel Tempe Malang
Sampel Tempe Sidoarjo
Profil ARISA Mikroba dalam Proses Fermentasi Tempe
Pembuatan Pustaka Gen 16S rRNA dari Dua Tempe
Profil ARISA Dua Isolat Bakteri dari Tempe dengan dua Isolat
ATCC
Gambaran Struktur Komunitas Bakteri pada Tempe yang
Berbeda
Perbandingan Kesamaan Isolat secara Genetik
Novelty: Informasi dasar tentang keragaman mikroba pada tempe yang menyebabkan adanya keragaman
karakteristik tempe di Indonesia
23
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Fermentasi yang Melibatkan Konsorsium Mikroba
Makanan fermentasi adalah substrat makanan yang ditumbuhi oleh
mikroba, dapat dimakan (edible) dan mengandung berbagai macam enzim yaitu:
amilase, protease, lipase dan enzim penghidrolisis polisakarida. Selain itu pada
makanan fermentasi dapat ditemukan pula protein dan lipid sebagai produk non
toksik serta cita rasa, aroma serta tekstur yang menyenangkan dan menarik untuk
dikonsumsi oleh manusia (Steinkraus 1997). Proses fermentasi makanan dapat
dikategorikan menjadi proses fermentasi spontan yang tidak menggunakan kultur
starter (NKS) dan proses fermentasi menggunakan kultur starter (KS). Kultur
starter yang digunakan dapat berupa isolat tunggal atau kultur campuran. Proses
fermentasi spontan (NKS) maupun fermentasi KS, masih memungkinkan
masuknya berbagai mikroba lain yang akhirnya terlibat dalam proses fermentasi
tersebut (Holzapfel 2002). Proses tersebut dapat pula melibatkan berbagai jenis
bakteri terkultur maupun tidak terkultur (Ampe et al. 1999).
Tahapan proses fermentasi dapat didominasi oleh mikroba yang berbedabeda. Hal ini disebabkan karena adanya kondisi pertumbuhan yang dibentuk oleh
komunitas mikroba dalam proses fermentasi (Ampe et al. 1999; Randazo et al.
2002; Ogier et al. 2004). Variasi jenis dan lokasi mikroba pada proses fermentasi
juga melibatkan perannya yang berbeda-beda. Adanya interaksi mikroba yang
berkorelasi secara negatif maupun positif dengan menekan pertumbuhan
organisme tertentu atau mendukung pertumbuhan organisme lain (Caplice &
Fitzgerald 1999; Monier et al. 2008). Perubahan populasi mikroba dalam suatu
proses fermentasi terjadi karena metabolit tertentu dapat dibentuk oleh mikroba
tertentu untuk menunjang suksesinya dengan menciptakan lingkungan yang
memungkinkan pertumbuhannya (Van der Meulen et al. 2007). Jenis mikroba
berbeda dapat mensintesis metabolit berbeda walaupun pada bahan makanan yang
sama. Jenis metabolit yang disintesis pada bahan makanan tertentu sangat
dipengaruhi oleh jenis mikroba dalam proses fermentasinya (de Reu et al. 1994;
Bauman & Bisping 1995; Denter et al. 1998; Hubert et al. 2008).
24
Komposisi mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi makanan sangat
penting karena berkontribusi terhadap cita rasa, tekstur dan nilai gizi dari
makanan. Produksi komponen aroma juga dapat dihasilkan atau dimodifikasi dari
eksopolisakarida dan protein yang ada pada bahan makanan. Komponen nutrisi
seperti vitamin juga dapat dihasilkan karena peranan mikroba dalam proses
fermentasi (Holzaffel 2002; Hugenholtz 2008). Secara tradisional komposisi
mikroba dalam proses fermentasi yang menghasilkan produk tertentu dapat
digunakan kembali untuk mempercepat kondisi fermentasi pada proses fermentasi
selanjutnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kultur backslopping atau
dengan menggunakan residu fermentasi kering (Holzaffel 2002; Kourkoucas et al.
2006).
Pentingnya Fingerprinting komunitas Sebagai Sistem Barcoding Pada Proses
Fermentasi
Produk fermentasi yang beragam dapat dihasilkan dari bahan baku yang
sama. Mikroba merupakan parameter paling sulit untuk dikontrol selama proses
fermentasi. Mikroba dalam proses fermentasi keju, dapat berasal dari kultur
bakteri asam laktat yang ditambahkan maupun kultur bakteri asam laktat lain
dalam starter. Bakteri lain, khamir dan fungi dapat juga timbul secara spontan
dari lingkungan. Populasi mikroba yang tumbuh selama proses fermentasi sangat
sulit dikontrol karena kompleksnya dinamika dan interaksi antar mikroba.
Pengetahuan tentang struktur dan dinamika dari komunitas mikroba yang terlibat
menjadi penting karena dapat memberi pemahaman lebih baik tentang variasi
karakteristik produk fermentasinya. Hal ini disebabkan adanya pertumbuhan dan
metabolisme mikroba yang ada. Kontrol komposisi mikroba akan memudahkan
pemilihan karakteristik tertentu dan mencegah penurunan kualitas produk
fermentasi (Jani & Barbier 2008).
Komposisi mikroba dalam suatu proses fermentasi sangat tergantung pada
teknologi yang digunakan seperti pada keju (Ogier et al. 2004) serta daerah
geografis tempat proses fermentasi tersebut dilakukan (Scheirlinck et al. 2007).
Upaya memperoleh gambaran tentang hasil produksi fermentasi yang reprodusibel
perlu dilakukan dengan diawali tahapan pembuatan database dan fingerprinting
25
mikroba dalam proses fermentasinya secara menyeluruh (Ogier et al. 2004). Studi
tentang fingerprinting komunitas kultur starter akan membantu memberi
pemahaman hubungan antara keragaman mikroba dan karakteristik spesifik yang
dihasilkan. Analisis ini dapat menjadi dasar perancangan suatu kultur starter dan
pengontrolan proses fermentasi (Lv et al. 2012)
Teknik Culture-Independent untuk Mempelajari Mikroba yang Terlibat
dalam Suatu Proses Fermentasi Makanan
Upaya untuk mempelajari komunitas mikroba dalam suatu proses
fermentasi makanan secara tradisional perlu dilakukan dan tidak hanya terbatas
pada teknik culture-dependent saja tetapi juga penting untuk melihat keragaman
komunitas dengan menggunakan teknik berbasis culture-independent (Ampe et al.
1999). Keterbatasan metode culture-dependent dalam kurun waktu dua dekade
menyebabkan
adanya
pengembangan
teknik
culture-independent
yang
berdasarkan pada analisa asam nukleat. Teknik ini juga telah banyak digunakan
dalam mempelajari komunitas mikroba pada ekosistem makanan untuk
mengontrol produksi dan jaminan kualitas makanan yang baik (Juste et al. 2008).
Teknik culture-independent merupakan teknik yang mampu memberikan
gambaran komunitas dalam suatu sistem makanan. Keterbatasan teknik cultureindependent sangat dipengaruhi oleh kemampuan metode ekstraksi DNA yang
digunakan. Ekstraksi DNA dari makanan dan ada tidaknya nuklease maupun
inhibitor PCR yang dapat terekstraksi dari bahan makanan tersebut sangat
mempengaruhi kualitas DNA hasil ekstraksi (Metwally et al. 2008). Metode yang
digunakan haruslah metode terbaik untuk sampel spesifik, kriteria utamanya
didasarkan pada kualitas dan kuantitas DNA hasil ekstraksi (Jara et al. 2008).
Kuantitas dan kualitas DNA bersifat sangat kritis untuk interpretasi analisis
komunitas mikroba (Thakuria et al. 2008). Ekstraksi DNA dari tempe belum
banyak dipelajari padahal metode ekstraksi sangat bersifat spesifik untuk matriks
atau bahan dasar makanan yang berbeda (Abrioruel et al. 2006; Jara et al. 2008).
Teknik culture-independent umumnya melibatkan teknik PCR sehingga
penting untuk memperhatikan gen yang menjadi target dasar analisa serta metode
ekstraksi DNA-nya. Pemilihan gen sebagai marker genetik harus dapat
26
membedakan variasi organisme secara luas. Sekuen gen yang dipilih harus
memiliki sekuen variabel dan konservatif dimana domain yang variabel
memungkinkan diskriminasi dalam selang yang luas dari suatu tingkatan
taksonomi. Sekuen target ini harus diapit oleh daerah yang koservatif. Gen yang
dapat digunakan sebagai penanda (marker) dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu ubiquitously conserved genes dan functional genes (Juste et al. 2008).
Automated Intergenic Spacer Analysis (ARISA)
Metode rRNA Intergenic Spacer Analysis (RISA) merupakan salah satu
metode culture-independent yang melibatkan amplifikasi PCR daerah intergenik
antara gen 16S dan 23S rRNA. Daerah ini menunjukkan heterogenitas tinggi yang
bergantung pada spesies baik dalam hal panjang amplikon maupun sekuen yang
dihasilkan (Gambar 1). Kedua tipe variasi pada teknik ARISA ini telah banyak
digunakan untuk membedakan strain-strain maupun spesies yang berkerabat
secara dekat (Jensen et al. 1993; Maes et al. 1997) dan daerah ini dapat pula
digolongkan sebagai ubiquitously conserved genes. Fisher dan Triplett (1999)
menggunakan teknik ini dengan memodifikasi teknik RISA dan menggunakan
primer oligonukleotida terlabel fluoresens pada proses PCR. Teknik ini
selanjutnya disebut Automated RISA (ARISA). Metode ARISA sangat
memudahkan analisis data yang dihasilkan.
Analisis ARISA digunakan sebagai tahapan lanjut analisis konsorsium
mikroba tempe karena daerah sekuen intergenik 16S-23S rRNA memiliki variasi
panjang dengan variasi ketidak miripan (dissimilarity) sekuen yang tinggi (35100%) (Song et al. 2004). Organisme dengan 99% kesamaan pada analisis gen
16S rRNA dapat terdeteksi sebagai organisme berbeda dengan teknik ini. Teknik
ini mampu mengkarakterisasi dan membedakan struktur genetik komunitas
mikroba berdasarkan kehadiran masing-masing populasi mikroba dalam
komunitas tersebut (Ranjard et al. 2001; Danovaro et al. 2006). Tempe diproduksi
dengan standar prosedur bervariasi sehingga sangat membutuhkan teknik ARISA
untuk menganalisis konsorsium mikroba yang ada dan diduga cukup kompleks.
Teknik ini memungkinkan mempelajari struktur komunitas mikroba pada tempe
karena memiliki sensitivitas tinggi dan dapat mengukur intensitas profil yang
27
terdeteksi secara tepat (Ranjard et al. 2001). Profil ARISA (Gambar 1) sangat
bergantung pada jumlah kopi operon gen rRNA yang ada pada sel (Dafonchio et
al. 2003) dan bersifat spesifik karena mampu memilah keragaman mikroba
sampai pada tingkat strain (Jensen et al. 1993).
Gambar 1 Prinsip dasar Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis
(ARISA-Dafonchio et al, 2003).
Aplikasi teknik ARISA perlu ditunjang dengan penggunaan primer yang
tepat dan andal terutama dalam menganalisa bahan makanan. Hal ini perlu
diperhatikan agar tidak menutupi kemungkinan ditemukannya mikroba yang
secara teknis tidak diinginkan atau belum pernah terdeteksi keberadaannya pada
bahan makanan dan sulit teridentifikasi dengan teknik yang berbasis culturedependent (Ogier et al. 2004). Cardinale et al. (2004), telah mencoba
membandingkan satu set primer dan menemukan bahwa pasangan primer ITSF
dan ITSReub yang didisainnya mampu menunjang analisa ARISA. Pemanfaatan
28
primer tersebut mampu mengeksplorasi keragaman bakteri dengan memberikan
tingkat keragaman yang tinggi, tidak menyebabkan bias dan menghasilkan
fingerprinting molekuler yang mudah dianalisis (Gambar 2). Pasangan primer ini
telah diuji terhadap berbagai macam sumber sampel dan mampu mereduksi bias
dalam analisa ARISA yang memungkinkan diperolehnya gambaran secara global
tentang komunitas suatu sistem ekologi. Pada analisis keragaman fungi, Ranjard
et al. (2001) telah merancang pasangan primer 2234C dan 3126T yang mampu
mendeteksi variasi fungi dan dapat digunakan untuk melihat keragaman fungi
dalam kelompok taksonomi utama fungi (Gambar 3). Analisis keragaman
dilakukan dengan melihat fragmen DNA yang muncul dengan ukuran berbeda
sebagai peak dalam ARISA type. Fragmen DNA ini didefinisikan sebagai OTU
(Operational Taxonomic Unit) (Hewson & Fuhrman 2004; Ramete 2009).
Gambar 2 Kedudukan primer ITSF dan ITSReub (Cardinale et al. 2004).
Profil ARISA yang baik sangat bergantung pada kualitas DNA total hasil
isolasi. Metode ekstraksi DNA sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas DNA
untuk berhasilnya tahapan amplifikasi (Simon et al. 1996; Abriouel et al. 2006;
Thakuria et al. 2008). Metode yang digunakan dalam ekstraksi DNA total perlu
dioptimasi untuk mendapatkan metode terbaik untuk memberi gambaran
menyeluruh tentang total komunitas mikroba dalam suatu sistem ekologi. Bahan
makanan dapat mengandung bahan pengganggu PCR dan metode yang digunakan
harus mampu mengekstrak semua DNA dari sampel. Hal ini diperlukan agar dapat
memberikan profil yang sebenarnya tentang semua mikroba yang ada (Abriouel et
al. 2006; Ranjard et al. 2001). Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses
tersebut adalah korelasi nyata antara jumlah ribotipe reprodusibel yang dihasilkan
dan ekstrak DNA hasil ekstraksi. Metode yang digunakan dalam ekstraksi DNA
29
total juga perlu dioptimasi untuk mendapatkan metode terbaik (Ranjard et al.
2001).
Gambar 3 Kedudukan dan ukuran amplikon yang dihasilkan dari primer
2234C dan 3126T (Ranjard et al.2001).
Pustaka Gen 16S rRNA
Gen 16S rRNA merupakan gen yang selalu ada pada semua prokariot dan
menjalankan fungsi sama. Perubahan sekuen pada gen ini akan menandai jarak
evolusi antara mikroba yang berkerabat. Intensitas perubahan dapat terjadi dengan
kecepatan dan lokasi dalam gen 16S rRNA yang tidak seragam antara setiap
mikroba. Panjang gen 16S rRNA adalah sekitar 1550 bp dan tersusun atas daerah
variable dan konservatif. Gen ini cukup besar dan memiliki sifat polimorfisme
interspesifik yang dapat digunakan sebagai pembeda nyata secara statistik. Primer
universal dirancang sebagai fragmen komplemen pada awal dan ujung gen.
Daerah gen yang variable diapit oleh primer dan dapat digunakan dalam analisis
komparatif taksonomi (Clarridge 2004).
30
Weisburg et al. (1991) telah menemukan bahwa amplifikasi gen 16SrRNA, kloning dan sekuensing merupakan metode untuk mengidentifikasi
mikroorganime tanpa harus dikulturkan. Pendekatan pustaka gen 16S rRNA dapat
dimanfaatkan dalam mengidentifikasi spesies spesifik yang berpotensi sebagai
indikator dalam mempelajari struktur suatu komunitas (Hartman & Widmer,
2006). Marchesi et al. (1998) telah merancang sepasang primer yang dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA dari kelompok bakteri yang
disebut primer 63F dan 1387R.
Tempe Sebagai Makanan Tradisional yang Kaya Nutrisi
Kedelai merupakan bahan makanan yang unik karena kaya akan nutrisi.
Kedelai mengandung karbohidrat kompleks, protein nabati, lipid, serat,
oligosakarida, senyawa fitokimia (khususnya isoflavon) dan mineral. Protein
kedelai dikenal sebagai protein yang lengkap dan setara dengan albumin telur.
Substitusi protein hewani dengan protein kedelai akan mereduksi ekskresi kalsium
urin dan mereduksi osteoporosis. Kandungan serat yang larut dan tidak larut juga
memberi keuntungan bagi kesehatan, sedangkan oligosakaridanya berperan
sebagai komponen prebiotik di kolon. Isoflavon genistein dan daidzein dari
kedelai memiliki sejumlah fungsi biologis dan mineralnya berada dalam bentuk
yang tersedia sehingga menjadi penting karena mereduksi osteoporosis dan
hipertensi (Anderson et al. 1999). Kedelai juga mengandung asam lemak gliserid
seperti asam palmitat, stearat, oleat, linoleat dan linoleat (de Reu et al. 1994).
Zamora & Veum (1979) menyatakan bahwa nutrisi kacang kedelai yang
difermentasi dengan adanya fungi lebih signifikan meningkatkan average daily
gain (ADG) dan rasio gain:feed (G:F) dari tikus. Hal ini menunjukkan bahwa
proses fermentasi berperan penting dalam menyediakan nutrisi yang lebih siap
untuk diserap.
Tempe merupakan makanan fermentasi tradisional Indonesia yang secara
prinsip dibuat dari kedelai. Tempe di Indonesia terutama diproduksi oleh industri
skala kecil dengan skala produksi 10 kg sampai 4 metrik ton per hari. Diduga
terdapat lebih dari 100.000 produsen tempe yang tersebar di Indonesia (Astuti et
al. 2000). Chan et al. (2007) melaporkan bahwa tempe merupakan sumber zinc,
31
besi dan kalsium yang terbaik bagi bayi karena kandungan mineralnya relatif
tinggi dan kandungan phytat-nya rendah. Tempe yang berbahan dasar kedelai dan
diproses melalui fermentasi tradisional diproses melalui tahapan proses soaking
(perendaman dalam kondisi asam), dehulling (pengelupasan mantel biji), cooking
(perebusan) dan fermentasi. Karena kedelai sebagai bahan baku tempe
mengandung sejumlah senyawa antinutrisi dan senyawa yang bersifat toksik,
Egounlety & Aworh (2003) melaporkan bahwa tahapan preparasi sebelum proses
fermentasi perlu dilakukan sebagai tahapan persiapan substrat untuk selanjutnya
mengalami pemecahan secara enzimatik oleh fungi. Pada tahapan preparasi ini
juga, proses cooking secara signifikan mereduksi inhibitor trypsin pada kacangkacangan, dehulling mengeliminasi tannin dan fermentasi dengan Rhizopus
oligosporus mereduksi asam phytat sebanyak 30,7% pada kedelai. Proses
Soaking-dehulling-cooking
dan
fermentasi
dengan
Rhizopus
oligosporus
mengeliminasi stachyose yang merupakan oligosakarida yang sangat flatulent.
Galur Rhizopus yang digunakan sebagai starter sangat beragam. Baumann
& Bisping (1995) pernah melaporkan adanya 36 strain Rhizopus asal Indonesia
yang biasa digunakan untuk membuat tempe. Rhizopus yang digunakan dalam
pembuatan tempe mampu membentuk karotenoid dan menurunkan jumlah
tocopherol dengan jumlah vitamin E yang tetap, menurunkan asam lemak gliserid
(de Reu et al. 1994), mampu melakukan proteolisis, meningkatkan jumlah asam
amino bebas dalam suatu proses fermentasi tempe (Baumann & Bisping 1995),
serta memproduksi ergosterol (Denter et al. 1998). Proses fermentasi ini dapat
memberikan hasil yang berbeda bila galur fungi dikombinasikan dengan bakteri
dalam proses fermentasi (de Reu et al. 1994; Baumann & Bisping 1995; Denter et
al. 1998). Kemampuan proteolisis R. stolonifer, R. oryzae dan R oligosporus
dalam melakukan proteolisis sangat beragam, bahkan sangat bergantung pada
galur dan bukan spesies (Baumann & Bisping 1995). Rhizopus juga telah
dilaporkan mampu mensintesis β-carotene namun kemampuan ini tidak dimiliki
oleh semua spesies ini (Denter et al. 1998). Jenis asam lemak yang didegradasi
dan dihasilkan juga sangat beragam (de Reu et al. 1994).
Walaupun proses fermentasi tempe umumnya menggunakan kultur starter
tunggal yang terdiri atas fungi dari kelompok Rhizopus, beberapa penelitian telah
32
melaporkan adanya keterlibatan mikroba lain seperti bakteri dan kapang dalam
proses ini. Liem et al. (1977) pernah membuktikan peran bakteri dalam
membentuk vitamin B12 pada tempe (Tabel 1).
Tabel 1 Bakteri dan khamir yang dilaporkan berasosiasi dengan proses fermentasi
tempe
Bakteri dan Khamir
Produk yang dihasilkan
Sumber
Asam,
Asam, invertase
Asam
Asam, invertase
Asam, invertase, αgalactosidase
Asam
Vitamin B12
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Vitamin B12
Keuth & Bisping 1994; Barus et al.
2008
Brevibacterium epidermidis
Factor 2
Klus et al. 1993
Microbacterium aborescens
Factor 2 dan Glycitein
Klus et al. 1993
Micrococcus
Isoflavon polyhydroxylasi
Klus & Bars 1998
Arthrobacter
Isoflavon polyhydroxylasi
Klus & Bars 1998
Enterococcus faecium LMG 19827
Bakteriosin B1
Moreno et al. 2002
Enterococcus faecium LMG 19828
Bakteriosin B2
Moreno et al. 2002
Bacillus subtilis
Protease serin dari kelompok
subtilisin
Kim et al. 2006; Barus et al. 2008
Enterobacteria
bersifat proteolitik
Barus et al. 2008
Acetobacter indonesiensis
-
Barus et al. 2008
Flavobacterium sp.
-
Barus et al. 2008
Klebsiella sp.
-
Barus et al. 2008
Brevundimonas sp.
-
Barus et al. 2008
Bacillus sp.
-
Barus et al. 2008
Pseudomonas putida
-
Barus et al. 2008
Invertase
-
Barus et al. 2008
Mulyowidarso et al. 1989. 1991
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Lactobacillus casei
Streptococcus faecium
Sterptococcus dysgalactiae
Staphilococcus epidermidis
Citrobacter diversus
Enterobacter aglomerans
Enterobacter cloacae
Klebsiella pneumoniae
Klebsiella Ozaenae
Bacillus brevis
Citrobacter freundii
Klebsiella pneumoniae
Acinetobacter
Pichia burtonii (khamir)
Candida diddensiae (khamir)
Rhodotorula rubra (Khamir)
Mulyowidarso et al. 1989
Mulyowidarso et al. 1989
Keuth & Bisping 1994
Analisa yang berdasarkan teknik culture-independent menggunakan
Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA) telah pula dilakukan
dan ditemukan 60 filotipe bakteri pada tempe tidak pahit (Stefania 2009) dan 58
filotipe bakteri dari tempe dengan rasa pahit (Sari 2009) yang menggambarkan
33
tingginya keragaman bakteri pada tempe. Keterlibatan khamir dalam fermentasi
tempe di Malaysia juga telah dilaporkan oleh Moreno et al. (2002).
Bakteri asam laktat juga telah dilaporkan berpengaruh terhadap komposisi
beberapa produk makanan dengan bahan baku kedelai. Bakteri ini dilaporkan
berpengaruh terhadap komposisi senyawa fitokimia dan sifat antioksidan dari
kecambah kedelai sebagai hasil proses fermentasinya (Hubert et al. 2008). Pada
produk pasta kedelai (doenjang), bakteri asam laktat dan bakteri-bakteri lain
seperti Bacillus dilaporkan berperan dalam membentuk komponen-komponen
pembentuk cita rasa, protein dan bakteriosin pada makanan ini (Kim et al. 2009).
Kondisi lingkungan yang berbeda antara daerah penghasil tempe juga dapat
berpengaruh terhadap hasil fermentasi. Baumann dan Bisping (1995) menyatakan
bahwa suhu yang rendah akan menurunkan kecepatan fermentasi, namun justru
dapat meningkatkan kandungan asam amino bebas pada tempe.
Mengacu pada penelitian yang dikemukakan di atas terlihat bahwa dalam
proses fermentasi tempe di Indonesia melibatkan sangat banyak spesies Rhizopus
sebagai kultur starter pada daerah produsen tempe yang berbeda-beda. Selain itu
karena kondisi lingkungan produsen tempe yang berbeda-beda, dapat terjadi
bahwa proses fermentasi melibatkan banyak sekali mikroba lain selain kultur
starter. Varietas biji kedelai yang digunakan produsen tempe juga berbeda pada
daerah penghasil tempe yang berbeda. Hal ini dapat berpengaruh pada hasil akhir
fermentasi. Peran kapang Rhizopus, selain menyediakan beberapa komponen
penting juga berperan untuk menyediakan substrat bagi bakteri dalam mensintesis
komponen cita rasa dan komponen nutrisi lain.
Perbedaan rasa pada tempe dari berbagai daerah di Indonesia diduga dapat
disebabkan karena adanya variasi komunitas mikroba, karena variasi bahan serta
tempat proses fermentasi yang juga beragam (Astuti et al. 2000). Hal ini tentu saja
menjadi faktor penunjang ciri khas rasa tempe yang dihasilkan pada daerah
berbeda di seluruh Indonesia. Scheirlinck et al. (2007, 2008) menemukan bahwa
dalam proses fermentasi sourdough yang dilakukan secara spontan melibatkan
suatu konsorsium mikroba. Penelitian tersebut menemukan bahwa tidak terdapat
kesamaan komunitas bakteri asam laktat pada proses fermentasi sourdough pada
daerah yang berbeda.
Skor plot dari Principal Component Analysis (PCA)
34
menunjukkan bahwa sampel sourdough yang berasal dari depositor yang sama
akan dikelompokkan bersama. Korelasi antara tipe tepung, propinsi penghasil atau
karakteristik teknologi (pH, waktu fermentasi dan suhu) tidak ditemukan
demikian pula asosiasi signifikan antara spesies bakteri asam laktat tertentu
dengan salah satu dari variabel yang diamati. Keragaman variasi komunitas
bakteri asam laktat ini secara signifikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan
bakery tempat terjadinya fermentasi sourdough.
Walaupun berkontribusi secara positif, ternyata mikroba yang terlibat
dalam proses fermentasi tempe dapat juga memberi dampak yang merugikan.
Rhizonin adalah hepatotoksik siklopeptida dari kultur fungi Rhizopus microspores
yang tumb