Membaca Realitas Sosial Bangsa Indonesia Dalam Perspektif Hegel dan BG

manusia atheist membutuhkan “spiritualitas” yang membingkai hidupnya untuk menghayati hidupnya menuju tujuan yang ia konsepkan.

4. Membaca Realitas Sosial Bangsa Indonesia Dalam Perspektif Hegel dan BG

“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apa memang dia ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?”, demikian tulis Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Tulisannya ini diangkat dari ceramahnya di Taman Izmail Marzuki pada tanggal 6 April 1977. Beliau melukiskan sosok manusia Indonesia berdasarkan pengalaman dan fakta: Manusia Indonesia itu artistik dan hipokrit; manusia Indonesia itu segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; manusia Indonesia itu berjiwa feodal; manusia Indonesia itu percaya akan takhyul; manusia Indonesia itu berwatak lemah dan kurang kuat memperjuangkan keyakinannya; manusia Indonesia itu tidak hemat dan tidak bekerja keras, mau kaya seketika dan sebagainya. Dalam harian Kompas, Selasa 5 Juli 2005, hlm. 15, Budiarto Shambazy menambahkan lagi 5 ciri tambahan: manusia Indonesia itu mengutamakan gengsi; pemalas; manusia konsumtif; angkuh dan pandai berekayasa. Lima ciri tambahan itulah menjadi topeng kita. Itulah realitas konkrit manusia Indonesia. Kita kembali kepada filsafat Hegel dan BG tentang manusia ideal yang mereka gambarkan. Manusia ideal, yang menyata dalam masyarakat ideal atau kerajaan ideal, adalah subyek-subyek yang berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu roh, yaitu belenggu material yang menghalangi pencapaian jati diri subyek baik dalam arti individual maupun dalam arti kollektif. Ketika kita konfrontasikan konsep manusia ideal ini dengan realitas historis konkrit pada masa Hegel dan pada masa BG, maka realitas historis-konkrit manusia pada masa mereka sama sekali tidak sesuai dengan manusia ideal mereka. Manusia ideal mereka hanyalah satu cita-cita yang membantu mengobarkan semangat manusia konkrit untuk tetap “berjuang” melawan belenggu material yang menindas realitas manusia historis-konkrit. Pada masa BG antara tahun 400-200 seb. M. masa epos dan lanjutan dari masa Upanishad, masyarakat India berada dalam situasi penuh konflik antara kelompok Brahman dan kelompok ksatrya, malah mungkin juga ada peperangan antara mereka. Kelompok Brahmana menguasai seluruh bidang kehidupan, terutama bidang keagamaan yang menyentuh upacara korban. Kenyataan ini menimbulkan irih hati dan menyebabkan ketiadaan autoritas kelompok lain, khususnya kaum ksatrya, untuk berperan aktif dalam membangun hidup bersama. Banyak Ksatrya memberontak, tapi mereka diteror dan ditumpas oleh kaum Brahmana. Banyak kaum ksatrya menyingkir dan menyepi, dan di sana mereka menemukan kebijaksanaan hidup. Arjuna melambangkan manusia yang kalah dalam politik kekuasaan dan mengungsi ke pembuangan, dan di sana dia menemukan kebijaksanaan yang diajarkan Kresna. Dia harus kembali ke tengah masyarakat untuk berperang melawan kezaliman. Situasi sosial-historis Hegel bukan juga merupakan cerminan masyarakat ideal seperti yang digambarkan Hegel. Hegel yang hidup dari tahun 1770-1831 hidup dalam kerajaan Prusia, yang pada awal abad 19 sedang berjuang untuk memperoleh kemerdekaan penuh dan kedaulatan penuh bangsa Jerman dari kekuatan asing, khususnya kerajaan Austria. Melalui kongres di Wina pada tahun 1815 sesudah kekalahan Napoleon, satu ikatan kesatuan Jerman di bawah kerajaan Prusia didirikan dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan politik Jerman secara lebih luas. Konflik di dalam masyarakat Jerman sudah ada pada masa ini, teristimewa konflik antara kekuasaan Prusia yang protestan dan gereja katolik yang menyata dalam kekaiseran Austria. Tujuan ini tercapai ketika terjadi revolusi Maret 1848 yang dijalankan oleh kelompok cendekiawan Jerman dan rakyat banyak untuk menuntut pembentukan satu kerajaan Jerman atas dasar kebebasan dan kedaulatan rakyat. Kerajaan Jerman baru terbentuk pada tahun 1871 di bawah raja Wilhem I dari Prusia dan perdana mentrinya Otto von Bismarck. Hegel tentu sangat 10 dipengaruhi oleh situasi historis-konkrit masyarakatnya yang sedang berada dalam konflik dengan kekuatan asing, dan roh kollektif yang beroperasi dalam gagasan filosofisnya adalah ide kebebasan dan kedaulatan yang menuntut kesadaran subyek untuk membebaskan diri dari belenggu asing. Melihat kenyataan historis-konkrit manusia pada zaman BG dan Hegel dan kemudian realitas historis-konkrit manusia Indonesia seperti yang dilukiskan oleh Mochtar Lubis, tampaknya tidak ada hubungan, tapi gagasan filosofis Hegel dan BG tentang manusia ideal memberi inspirasi bahwa ada satu titik temu sistematis antara gagasan mereka dengan konsep pemahaman konsep pemahaman manusia ideal Indonesia. Titik temu itu adalah titik temu meta-historis. “Historis” menunjuk kepada realitas historis-konkrit yang berbeda-beda, tetapi “meta” menunjuk kepada sesuatu di balik situasi historis-konkrit, sesuatu yang melampaui situasi historis-konkrtit. Dan sesuatu yang melampaui situasi historis konkrit hanya bisa dikenakan bukan pada hal partikular dan khas, tapi pada “hal universal” yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Hal universal yang ditunjuk oleh Hegel dan BG adalah manusia ideal sebagai manusia yang merdeka dan yang berada dalam proses perjuangan untuk keluar dari belenggunya. Elemen universal inilah yang berlaku juga di Indonesia dewasa ini. Maka dalam konteks Indonesia, manusia yang merdeka dan yang berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu apa pun direfleksikan dan direkonstruksikan. Manusia Indonesia yang merdeka merupakan realitas diri manusia Indonesia, yaitu “kediriannya yang terbentuk dalam proses perkembangannya, dalam sejarahnya”. Kedirian Indonesia bukanlah sesuatu yang statis, tapi dinamis dan berkembang dalam proses. Di bawah payung NKRI, realitas kedirian Indonesia adalah realitas perpaduan berbagai macam tradisi budaya dan pandangan hidup yang ada di bumi Indonesia sejak dulu sampai sekarang, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang berasal dari luar dan telah menyerap ke dalam diri manusia Indonesia. Secara ideal, kedirian itu masih tercermin bagus di dalam motto “bhineka tunggal ika”: berbeda-beda tapi tetap satu, juga dalam Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, realitas kedirian manusia Indonesia terumus dalam figur “manusia pancasilais” yang berusaha mewujudkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi gambaran jati-diri manusia Indonesia yang disebut terakhir itu hanyalah gambaran ideal yang harus dikonfrotasikan dengan realitas historis-konkrit. Realitas historis konkrit manusia Indonesia berbicara lain dan dapat mengubah gambaran ideal itu menjadi satu figur jati-diri yang lain. Perkataan Mochtar Lubis “wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas” menyingkapkan sedikit realitas diri manusia Indonesia. Dalam bahasa psikologi, wajah yang demikian memperlihatkan satu realitas diri manusia Indonesia “yang bermuka dua” antara manusia lama yang wajahnya penuh borok dan manusia baru yang wajahnya adalah topeng yang menyembunyikan sosok diri yang sejati. Manusia Indonesia yang bermuka dua ini, yaitu wajah lama yang penuh borok dan wajah baru yang bertopeng manusia wayang betul dipelihara dalam satu strategi yang canggih, yaitu politik rekayasa yang dipraktekkan manusia Indonesia di segala bidang kehidupan seperti yang disinyalir oleh Budiarto Shambazy tentang pandai berekayasa pada manusia Indonesia. Politik seperti ini justru menyembunyikan kebenaran dan menggerogoti kebebasan dan keadilan yang menjadi hak dan milik semua manusia. Penutup Makalah di atas merupakan hasil dari satu usaha pendalaman terhadap tema yang dibahas Romo Reksosusilo dalam hubungan dengan perbandingan filsafat timur dan filsafat barat. Pada akhir dari artikel yang beliau tulis, beliau berkata: “I end this work, with the hope that it will stimulate further comparisions between Eastern and Western philosophical writings, and by so doing contribute to a closes unity between East and West”. 11 K E P U S T A K A A N Bhaktivedanta Swami Prabhupāda, Śrī Śrīmad, A. C.: Bhagavad-Gītā. Menurut Aslinya. Jakarta: Penerbit Hanuman Sakti, 1986. Coreth, Emerich Ehlen, Peter Schmidt, Joseph: George Wilhem Friedrich Hegel. Dalam: Philosophie des 19. Jahrhunderts. Stuttgart: Verlag W. Kohlhammer, 1989. D’souza, Rudolf V.: The Bhagavadgītā and St. John of the Cross. Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash, 1997. Edwards, Paul Ed.: Hegel, George Wilhelm Friedrich. Dalam: The Encyclopedia of Philosophy. Volume Three. New York: Macmillan Publishing Co. Inc. The Free Press, 1967, hlm. 441-443. Hegel, G. W. F: Phaenomenologie des Geistes. Hamburg: Verlag von Felix Meiner, 1952. Pendit, Nyoman S.: Bhagavadgita. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. Reksosusilo, S. Dr., CM: Sejarah Awal Filsafat Timur. Malang: Lumen Christi, 2008. Sequeira, Ronald: Die Philosophien Indiens. Aachen: Ein-Fach-Verlag, 1996. Sermada, Donatus: Filsafat Bhattacharya: Sumbangan untuk Filsafat Kebudayaan. Dalam: Mengabdi Kebenaran. Ceunfin, Frans Baghi, Felix ed.. Maumere: Penerbit Ledalero, 2005. 12