Effect of shading intensity on the growth and leaf bioactive compounds of two accession of javanese long pepper (Piper retrofractum Vahl)

PENGARUH INTENSITAS NAUNGAN TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN BIOAKTIF
DAUN DUA AKSESI TANAMAN CABE JAWA
(Piper retrofractum Vahl.)

DWIWANTI SULISTYOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh Intensitas
Naungan terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Bioaktif Daun Dua Aksesi
Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.) adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor,

Oktober 2010

Dwiwanti Sulistyowati
NRP A252080141

ABSTRACT
DWIWANTI SULISTYOWATI. Effect of Shading Intensity on The Growth and
Leaf Bioactive Compounds of Two Accession of Javanese Long Pepper (Piper
retrofractum Vahl.). Under direction of MAYA MELATI and SANDRA ARIFIN
AZIZ.
The aims of this research were (1) to study the morphology, physiology and plant
growth of two accessions of javanese long pepper in some shading intensites, and
(2) to analyze the nutrients content and bioactive compounds in the leaves of two
accessions of javanese long pepper. The research was conducted in June 2009 to
February 2010, in Field Experimental Station, Darmaga, Bogor Agricultural
University. Split Plot Design was used with three replications. The main plots
were shading intensities: 0, 25 and 55%, while the subplot were plant accessions,

namely Lampung and Madura. Statistically, there was no effect of shading
intensities on morphological and physiological characteristics of plants except of
potassium (K) and alkaloid content of leaf. Shading increased K content in
leaves, while shading intensity of 25% reduced alkaloid content. Accessions had
different plant characteristics in some variables, namely leaf size, branch number,
and chlorophylls. In Bogor, Lampung accession tended to have higher values of
morphological characteristics than those of Madura. Although not statistically
different, there was a general trend of shading effects on different accessions. In
Bogor, Lampung accession can grow well with shading intensity up to 55%
(shade loving plant), and Madura grow well without shading (sun loving plant).
Qualitative bioactive compound test results showed that the leaves of javanese
long pepper contained alkaloid and steroid. Increasing shading intensity
significantly increased leaf alkaloid, but tends to reduce leaf steroid.
Keywords : alkaloid, secondary metabolite, leaf nutrient, leaf anatomy.

RINGKASAN
DWIWANTI SULISTYOWATI. Pengaruh Intensitas Naungan terhadap
Pertumbuhan dan Kandungan Bioaktif Daun Dua Aksesi Tanaman Cabe Jawa
(Piper retrofractum Vahl.). Dibimbing oleh MAYA MELATI dan SANDRA
ARIFIN AZIZ.

Saat ini pemanfaatan tanaman obat sebagai ramuan semakin meningkat,
bahkan tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat dalam negeri juga di luar negeri.
Ramuan tradisional tanaman obat warisan nenek moyang ini dipercaya oleh
masyarakat dan penggunaannya relatif lebih aman. Cabe jawa termasuk 10 besar
simplisia nabati yang diserap oleh industri obat tradisional dan menempati
peringkat ke-enam. Prospek pengembangan cabe jawa cukup cerah, sejalan
dengan perkembangan industri obat tradisional dan modern, didukung pula oleh
kecenderungan back to nature dimana kebutuhan obat-obatan yang berasal dari
alam meningkat.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mempelajari mekanisme fisiologi dan
morfologi pertumbuhan dua aksesi tanaman cabe jawa pada beberapa intensitas
naungan, dan (2) menganalisis kandungan hara dan bahan bioaktif dalam daun
dua aksesi cabe jawa. Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (Split
Plot Design) dalam Rancangan Acak Kelompok. Petak utama adalah intensitas
naungan dengan ukuran 0, 25 dan 55%, sedangkan sebagai anak petak asal bahan
tanam (aksesi), yaitu Lampung dan Madura, dengan ulangan 3 kali. Terdapat 18
unit percobaan, masing-masing unit percobaan terdiri atas 5 tanaman.
Naungan tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah karakter
morfologi tanaman. Naungan tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah
karakter fisiologi daun, kecuali pada kadar hara K daun yaitu meningkatkan kadar

K daun. Terdapat kecenderungan bahwa naungan meningkatkan kandungan
klorofil a, klorofil b, klorofil total, rasio klorofil b/a, dan tebal daun, namun
cenderung menurunkan kerapatan stomata.
Perbedaan aksesi menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah daun
aksesi Lampung cenderung lebih tinggi daripada aksesi Madura. Panjang dan
lebar daun terbesar pada 26 MST dan lebar sel palisade aksesi Madura nyata lebih
tinggi daripada aksesi Lampung. Kandungan klorofil a, klorofil total dan rasio
klorofil b/a pada aksesi Lampung nyata lebih tinggi daripada aksesi Madura.
Secara umum karakter morfologi dan fisiologi aksesi Lampung lebih baik
dibandingkan aksesi Madura untuk kondisi naungan dan adaptasi iklim di Bogor.
Interaksi perlakuan aksesi dan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman, jumlah daun serta panjang dan lebar daun terbesar, tetapi
memberikan perbedaan yang nyata pada jumlah cabang sekunder umur 14 MST
dan jumlah cabang primer pada semua umur pengamatan. Tidak terdapat interaksi
antara naungan dan aksesi terhadap karakter fisiologi daun, kecuali pada rasio
klorofil b/a. Meskipun tidak nyata, terdapat kecenderungan umum bahwa
pengaruh naungan berbeda untuk kedua aksesi. Naungan memperbaiki karakter
morfologi aksesi Lampung namun menurunkan nilai peubah pertumbuhan aksesi
Madura, sehingga serapan hara N, P, K, Mg daun aksesi Lampung lebih tinggi
daripada aksesi Madura. Oleh karena itu, pertumbuhan tanaman selama ± 32

MST di Bogor menunjukkan bahwa aksesi Lampung dapat tumbuh baik dengan
intensitas naungan sampai 55% (shade loving plant), sedangkan aksesi Madura
tumbuh baik tanpa naungan (sun loving plant).

Analisis kualitatif bioaktif daun menunjukkan bahwa daun tanaman cabe
jawa mengandung alkaloid dan steroid, sedangkan flavonoid, saponin, tannin dan
triterpenoid tidak terdeteksi. Kandungan alkaloid daun pada naungan 55% dan
tanpa naungan nyata lebih tinggi daripada intensitas naungan 25%. Naungan pada
aksesi Lampung meningkatkan kandungan alkaloid daun, tetapi pada aksesi
Madura cenderung menurun. Naungan cenderung menurunkan kandungan steroid
daun pada kedua aksesi tanaman. Kandungan steroid daun pada aksesi Madura
cenderung lebih tinggi daripada aksesi Lampung.
Kata kunci : alkaloid, metabolit sekunder, hara daun, anatomi daun.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB.

PENGARUH INTENSITAS NAUNGAN TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN BIOAKTIF
DAUN DUA AKSESI TANAMAN CABE JAWA
(Piper retrofractum Vahl.)

DWIWANTI SULISTYOWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010


Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi

Judul Tesis

: Pengaruh Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan dan
Kandungan Bioaktif Daun Dua Aksesi Tanaman Cabe Jawa
(Piper retrofractum Vahl.)
: Dwiwanti Sulistyowati
: A252080141

Nama
NRP

Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua

Anggota


Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc.

Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS

Diketahui

Ketua Mayor Agronomi dan
Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Tipe pertumbuhan yang merambat membuat cabe jawa biasa dibudidayakan
di bawah pohon tahunan (terkena naungan).

Prospek pengembangan dan

permintaan bahan baku tanaman obat khsususnya cabe jawa yang termasuk
peringkat ke-6 dari 10 besar simplisia nabati yang diserap oleh industri obat
tradisional dan modern mendorong upaya untuk mencari teknis budidaya yang
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman obat. Sampai saat ini belum
diketahui karakteristik tanaman cabe jawa yang menyebar di berbagai daerah di
Indonesia terutama sentra cabe jawa (Lampung, Madura dan Lamongan).
Penelitian mengenai naungan dan aksesi diharapkan mampu meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi tanaman obat cabe jawa. Tesis yang berjudul
Pengaruh Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan dan Kandungan
Bioaktif Daun Dua Aksesi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.)
mencoba memberikan salah satu jawaban upaya peningkatan kualitas dan
kuantitas tanaman obat cabe jawa.
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan tesis ini dengan baik. Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih pada Dr. Ir. Maya Melati MS, MSc dan Dr.

Ir. Sandra Arifin Aziz, MS sebagai komisi pembimbing atas kesabaran beliau
membimbing penulis menyelesaikan studi dan penelitian. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Kepala Kebun Percobaan Babakan, Bapak Adang serta Staf
Laboratorium IPB, Bapak Yudiansyah dan Bapak Joko Mulyono yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan atas dukungan yang selalu diberikan oleh suami, ayah
mertua, ibu, anak-anak, dan teman-teman serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

Bogor,

Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jepara, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 11 April
1967 sebagai anak ke dua dari pasangan Rachmat Sutopo dan Pujiwati.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang dan lulus pada
tahun 1990. Penulis pertama kali bekerja sebagai guru di SPP/SPMA Negeri
Sembawa, Palembang tahun 1992-1997, kemudian mutasi dan bekerja sebagai

dosen di Jurusan Penyuluhan Pertanian, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian
Bogor sejak tahun 1997 sampai sekarang.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2008 di Mayor Agronomi
dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB dengan biaya sendiri. Selama
mengikuti program S2, penulis masih aktif menjalankan tugas mengajar di
instansi tempat penulis bekerja.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................
Tujuan....................................................................................................
Hipotesa .................................................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Asal dan penyebaran …………………………………………… 5
Botani dan Morfologi ............................................................................. 5
Khasiat dan Manfaat............................................................................... 7
Lingkungan Tumbuh Tanaman …………………………………………. 8
Naungan ………………………………………………………………… 9
Aksesi .................................................................................................... 12
METODOLOGI
Tempat dan Waktu .................................................................................
Bahan dan Alat.......................................................................................
Metode Percobaan ..................................................................................
Pelaksanaan Penelitian ...........................................................................
Pengamatan ……………………………………………………………...
Morfologi Tanaman ……………………………………………….......
Fisiologi Tanaman …………………………………………………….
Analisis Kandungan Bioaktif Daun.....................................................

15
15
15
16
17
18
18
19

HASIL DANPEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian ..................................................................... 21
Hasil……………………………………………………………………… 22
Pembahasan ........................................................................................... 34
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ............................................................................................ 41
Saran ...................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 43
LAMPIRAN.................................................................................................... 49

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh taraf naungan dan aksesi
tanaman cabe jawa terhadap peubah yang diamati....................................... 23
2 Karakter morfologi tanaman cabe jawa pada berbagai intensitas
naungan dan aksesi tanaman ....................................................................... 25
3 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap jumlah daun cabe
jawa ........................................................................................................... 26
4 Jumlah cabang primer pada interaksi perlakuan intensitas naungan
dan aksesi tanaman cabe jawa .................................................................... 27
5 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap jumlah cabang
sekunder daun cabe jawa............................................................................. 28
6 Kerapatan stomata, mesofil dan tebal daun tanaman cabe jawa pada
berbagai intensitas naungan dan aksesi tanaman.......................................... 29
7 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap bobot kering,
kadar hara dan serapan hara daun cabe jawa................................................ 30
8 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap krorofil daun cabe
jawa ............................................................................................................ 32
9 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap skor kandungan
bahan bioaktif dan bobot kering daun cabe jawa ......................................... 33

xii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Pohon glirisidia sebagai tanaman panjat, tanaman cabe jawa dan
buah cabe jawa kering .............................................................................. 15

2

Tanaman cabe jawa yang terkena penyakit busuk pangkal batang,
bercak daun, serta nematoda dan patogen Fusarium oxysporum................ 22

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Denah penelitian ........................................................................................ 49
2 Pengaruh intensitas naungan dan aksesi terhadap skor kandungan bioaktif
daun cabe jawa .......................................................................................... 50
3 Data analisis tanah sebelum percobaan................................................. ….. 51
4 Data analisis tanah setelah percobaan......................................................... 51
5 Data iklim lokasi percobaan ................................................................. ….. 52
6 Deskripsi tanaman cabe jawa aksesi Lampung dan Madura umur 32 MST
(intensitas naungan 0-55%) pada kondisi iklim di Dramaga Bogor ............ 53

xiv

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berkembangnya gerakan ”kembali ke alam” atau back to nature membuka
kesadaran manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Hal ini
juga tampak dalam bidang kesehatan, yaitu dengan semakin meningkatnya
penggunaan tanaman obat. Menurut Wahid (1998), tumbuhan obat adalah setiap
jenis tumbuhan (flora) yang produk atau bagian tubuh (organ)nya dapat digunakan
atau memiliki khasiat sebagai obat atau bahan baku obat.
Saat ini pemanfaatan tanaman obat sebagai ramuan semakin meningkat,
bahkan tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat dalam negeri, tetapi juga
konsumsi luar negeri. Ramuan tradisional tanaman obat warisan nenek moyang
ini dipercaya oleh masyarakat dan penggunaannya relatif lebih aman.
Pengetahuan tradisional tentang ramuan ini telah dikuasai dengan baik, dengan
menggunakan bagian-bagian tanaman yang tepat berupa akar, rimpang, batang,
daun, bunga atau buah (Bermawie et al. 2007).
Cabe jawa termasuk 10 besar simplisia nabati yang diserap oleh industri
obat tradisional dan menempati peringkat ke-enam. Serapannya sebesar 9.5% dari
total simplisia. Pemakaian simplisia ini menunjukkan adanya peningkatan dari
tahun ke tahun, dengan kecenderungan peningkatan rata-rata per tahun sebesar
20.81% dalam kurun waktu 1985-1990. Prospek pengembangan cabe jawa cukup
cerah, sejalan dengan perkembangan industri obat tradisional dan modern,
didukung pula oleh kecenderungan back to nature dimana kebutuhan obat-obatan
yang berasal dari alam meningkat (Balitro 2003).
Hampir semua bagian tanaman cabe jawa mengandung zat kimia yang
berkhasiat obat. Bagian yang paling penting sebagai bahan baku obat adalah
daun, buah dan akarnya (Rukmana 2006). Bagian daun cabe jawa berfungsi untuk
mengobati kejang perut dan sakit gigi (Yuniarti 2008; Muslihah 2007). Buah
cabe jawa mengandung piperine acids, tetrahydropiric acids, l-undecylenyl-3, 4—
methylenedioxy benzene, piperidine, minyak atsiri, n-isobutil-decatans-2-trans-4dienamide, dan sesamin (Van Valkenburg 2002); Akar-akarnya mengandung zat
piperine, piplartine, dan piperlonguminine (Muslihah 2007).

Senyawa biokimia

2

yang dikandung buah cabe jawa antara lain adalah beberapa jenis alkaloid di
samping senyawa lain dan minyak atsiri. Alkaloid utama yang terdapat di dalam
buah cabe jawa adalah piperin (3%), di samping itu terdapat dienamida, guinensia,
pipersida, piridina, protein, karbohidrat, gliserida, tanin, dan lain-lain (Balitro
2003).
Melihat peluang kebutuhan untuk dalam negeri dan ekspor yang semakin
meningkat maka tanaman ini dapat dijadikan sebagai pilihan komoditas yang
berpotensi dan diharapkan menjadi kegiatan usahatani di daerah yang mempunyai
ekologi sesuai dengan syarat tumbuh tanaman ini sehingga tanaman ini dapat
diharapkan menjadi komoditas unggulan suatu daerah.
Menurut Sjamsuhidajat dan Nurendah (1992), terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kandungan zat kimia dalam tanaman antara lain habitat,
pemupukan dan umur tanaman. Darusman et al. (2003) menambahkan bahwa
bahan bioaktif tanaman dikendalikan oleh kemampuan metabolisme tanaman
yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Tanaman cabe jawa umumnya dibudidayakan tidak sebagai tanaman utama
sehingga teknologi budidayanya kurang optimal (Soleh et al. 2001; Soleh 2003).
Saat ini penelitian cabe jawa hanya sampai pada pembibitan, oleh karena itu
pengkajian di lapangan sangat diperlukan antara lain dikaitkan dengan kebiasaan
tumbuhnya di bawah tegakan tanaman tahunan (kondisi ternaungi). Naungan
diduga akan mempengaruhi karakter morfologi, fisiologi maupun kandungan
bioaktif daun, buah, akar atau bagian tanaman lainnya
Pengaruh naungan kemungkinan akan memberikan pengaruh yang berbeda
untuk jenis/aksesi cabe jawa yang berbeda. Hasil penelitian Rachmawaty (2005),
menunjukkan bahwa perlakuan jenis pegagan yang berbeda memberikan pengaruh
nyata sampai sangat nyata terhadap peubah panjang tangkai daun, jumlah daun,
anakan, dan panjang stolon, serta tidak berbeda nyata pada bobot basah dan kering
daun, serta pada bobot panen.
Bahan tanaman unggul diperoleh melalui seleksi terhadap aksesi yang
diketahui karakteristik, baik morfologi, genetik maupun kimia serta sifat
agronomisnya. Karakteristik tanaman dapat dicirikan oleh antara lain penampilan
fenotipnya melalui karakterisasi morfologi. Akan tetapi lingkungan tumbuh yang

3

berpengaruh terhadap fisiologi tanaman, dapat merubah penampilan fenotip
tanaman (Rostiana et al. 2003).
Di Indonesia cabe jawa banyak ditemukan terutama di Jawa, Sumatera, Bali,
Nusa Tenggara dan Kalimantan. Daerah sentra produksi utamanya adalah Madura
(Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep), Lamongan dan Lampung. Sampai
saat ini belum diketahui apakah karakteristik tanaman yang dibudidayakan
tersebut sama atau tidak (Rostiana et al. 1994). Perlu dilakukan pengamatan
untuk memastikan sifat pembeda dari masing-masing aksesi dikaitkan dengan
faktor intensitas naungan, sehingga melalui penelitian ini dilakukan pengkajian
sifat morfologi, fisiologi dan bahan bioaktif, namun karena keterbatasan waktu
penelitian hanya sampai pada pertumbuhan vegetatif dan analisis bioaktif daun.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh intensitas naungan
terhadap karakter morfologi tanaman, fisiologi dan bahan bioaktif daun dua aksesi
tanaman cabe jawa.
Hipotesa
-

Intensitas naungan tertentu menghasilkan karakter morfologi tanaman,
fisiologi dan bahan bioaktif terbaik pada daun cabe jawa.

-

Aksesi cabe jawa tertentu menghasilkan karakter morfologi tanaman,
fisiologi dan bahan bioaktif terbaik pada daun cabe jawa.

-

Interaksi aksesi cabe jawa pada naungan tertentu menghasilkan karakter
morfologi tanaman, fisiologi dan bahan bioaktif terbaik pada daun cabe
jawa.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Asal dan Penyebaran
Cabe jawa atau lada panjang (Piper retrofractum Vahl.), dikenal juga
dengan nama cabe jamu (Balitro 2004). Nama daerah cabe jawa adalah campli
puta (Aceh), lada panjang (Minang), cabe jamu/cabe sula (Jawa Barat), cabe
jamo/cabe onggu (Madura), cabe (Jawa Tengah/Jawa Timur/umum) (Balitro
2003).
Selain di Indonesia jenis tanaman ini dapat tumbuh di kawasan Indochina,
Thailand sampai bagian Selatan Asia Tenggara (Balitro 2004). Awalnya
penanaman cabe jawa hanya terkonsentrasi di Jawa, namun saat ini tanaman cabe
jawa banyak ditanam di berbagai daerah, di antaranya Jawa, Madura, Lampung,
Sulawesi dan Ambon (Rukmana 2006).
Botani dan Morfologi
Cabe jawa (Piper retrofractum Vahl; long pepper) termasuk famili
Piperaceae yang tumbuh merambat seperti lada. Karakteristik morfologi tanaman
cabe jawa mirip dengan tanaman lada. Menurut Dirjenbun (2007) tanaman cabe
jawa mempunyai dua jenis akar, yaitu akar utama berada di dalam tanah yang
berfungsi untuk menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah, dan akar lekat
yang berfungsi untuk melekatkan batang sehingga tanaman dapat memanjat.
Menurut Balitro (2003) ciri tanaman cabe jawa di antaranya adalah
sebagai berikut :
-

Buah muda berwarna hijau, setelah cukup tua berwarna kuning gading
dan setelah tua berwarna merah.

-

Daun berbentuk bundar telur sampai lonjong, dari pangkal daun bentuk
jantung membundar dan ujungnya meruncing.

-

Mempunyai batang yang memiliki akar panjat pada ruasnya, sehingga
tanaman ini dapat melekat erat pada tiang panjat atau batang pohon.
Batang ini disebut juga sulur panjat. Tanaman ini juga memiliki sulur
cabang buah, yaitu batang tempat keluarnya buah dan sulur cacing, yaitu

6

batang yang keluar dari pangkal batang yang menjalar di permukaan
tanah.
-

Batang yang telah tua berkayu, berwarna hijau tua.

-

Buah berbentuk silinder, pendek-panjang.
Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Obat (2007) menambahkan

ciri-ciri morfologi cabe jawa sebagai berikut :
-

Daun berbentuk bulat telur sampai lonjong, tunggal berseling, pangkal
tumpul, ujung meruncing, bertulang menyirip terdiri dari 3–5 pasang,
permukaan daun bagian atas licin dan bagian bawah berbintik, daun
muda berwarna hijau muda kekuningan dan daun tua berwarna hijau tua
mengkilap, lebar daun dapat mencapai 5–10 cm serta panjang 14–19 cm.
Panjang tangkai daun antara 1.5–2.5 cm.

-

Bunga majemuk, berkelamin tunggal. Bunga majemuk tersebut tersusun
dalam bentuk bulir. Panjang tangkai bunga tersebut dapat mencapai 0.5
–2.0 cm. Benang sari berjumlah 2–3 buah, tangkai sari pendek, dan
berwarna kuning.

Putik berjumlah 2–3 buah dan berwarna hijau

kekuningan.
-

Buah cabe jawa berbentuk silinder, berukuran 4–6 cm. Buah muda
berwarna hijau, setelah cukup tua berwarna kuning gading dan setelah
masak akan berwarna merah

-

Batang berupa sulur, berbuku-buku, dan bentuk silindris. Batang muda
berwarna hijau agak lunak, sedangkan batang tua berwarna cokelat dan
berkayu agak keras. Diameter batang dapat mencapai 4–6 cm. Panjang
ruas batang atau jarak antar buku mencapai 5–12 cm. Panjang sulur atau
tinggi tanaman dapat mencapai 8–10 m. Setiap ruas akan tumbuh akar
lekat, kadang-kadang juga tumbuh daun dan cabang. Batang utama yang
memanjat ini juga disebut sulur panjat.

Cabang tumbuh dari buku

batang utama. Cabang-cabang yang keluar dari batang utama juga
disebut cabang atau sulur buah karena dari sulur ini akan keluar buah.
Sulur buah ini tumbuh mendatar dan tidak memiliki akar lekat.
-

Tanaman cabe jawa mempunyai dua jenis akar, yaitu : Akar utama,
berada di dalam tanah yang berfungsi untuk menyerap unsur hara dan air

7

dari dalam tanah. Akar lekat berada di atas permukaan tanah yang
berfungsi untuk melekatkan batang sehingga tanaman dapat memanjat.
Khasiat dan Manfaat
Penggunaan cabe jawa dalam bentuk simplisia termasuk dalam 10 besar
bahan baku yang diserap oleh industri obat tradisional, dan menempati peringkat
ke-enam, yaitu 9.5% dari total simplisia. Pemakaian simplisia ini menunjukkan
adanya peningkatan rata-rata per tahun 20.81% dalam kurun waktu 1985-1990
(Januwati et al. 2000). Kebutuhan cabe jawa berdasarkan ragam penggunaan
(khasiat obat) adalah 47.73% (Kemala et al. 2003). Cabe jawa merupakan salah
satu dari 9 tanaman unggulan Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan
dikelompokkan sebagai tanaman berkhasiat afrodisiak (Sampurno 2003).
Cabe jawa merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang diketahui
memiliki efek stimulan terhadap sel-sel syaraf sehingga meningkatkan stamina
tubuh.

Efek hormonal atau non hormonal dari tumbuhan seperti itu dikenal

sebagai afrodisiak. Secara umum kandungan senyawa tumbuhan yang memiliki
efek afrodisiak adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin dan senyawa lain
yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001).
mengandung

minyak

atsiri,

piperina,

piperidina,

asam

Buah cabe jawa
palmitat,

asam

tetrahidropiperat, undecylenyl 3-4 methylenedioxy benzene, N-isobutyl decatrans2 trans-4 dienamida, sesamin, eikosadienamida, eikosatrienamida, guinensia,
oktadekadienamida, protein, karbohidrat, gliserida, tannin, kariofelina (Aliadi et
al. 1996; Depkes 1977; Hargono 1992; Kardono 1992). Diduga bahan bioaktif
yang berkhasiat afrodisiak di dalam buah cabe jawa adalah piperin.
Syukur dan Hernani (2002) menyatakan bahwa cabe jawa banyak digunakan
untuk bahan baku pembuatan obat tradisional, obat modern, dan campuran
minuman. Selain itu, cabe jawa bermanfaat sebagai obat kolera, influenza, lemah
syahwat, bronkitis, dan sesak nafas. Selanjutnya Permadi (2008) menambahkan
bahwa cabe jawa berkhasiat sebagai obat masuk angin, gangguan pencernaan,
penguat lambung, obat kumur, dan pereda kejang perut. Bagian tanaman yang
digunakan dan dimanfaatkan adalah daun dan biji dalam keadaan segar serta
seluruh bagian tanaman yang dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.

8

Yuniarti (2008) dan Muslihah (2007) juga menambahkan bahwa buah cabe
jawa bermanfaat untuk mengobati kejang perut, muntah-muntah, perut kembung,
mulas, sukar buang air besar, disentri, diare, sakit kepala, sakit gigi, batuk,
demam, sukar melahirkan, hidung berlendir, dan tekanan darah rendah. Bagian
akar dari cabe jawa berfungsi untuk mengobati perut kembung, pencernaan
terganggu, tidak dapat hamil karena rahim dingin, membersihkan rahim setelah
melahirkan, badan terasa lemah, dan stroke. Bagian daun cabe jawa berfungsi
untuk mengobati kejang perut dan sakit gigi.
Lingkungan Tumbuh Tanaman
Tanaman cabe jawa dapat tumbuh baik pada ketinggian 1-600 m dpl, dari
daerah pantai sampai di kaki perbukitan. Suhu yang cocok berkisar antara 20ºC
(minimum) dan 34ºC (maksimum). Kisaran suhu terbaik adalah 23-32ºC dengan
suhu rata-rata siang hari 29ºC dan mempunyai derajat kelembaban dengan kisaran
60– 80%. Cabe jawa menghendaki daerah dengan curah hujan antara 1500–3000
mm/tahun. Tidak terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan < 60 mm/bulan,
karena pertumbuhan tanaman dapat tertekan dan menjadi layu (Balitro 2003;
Dirjenbun-Deptan 2009). Cabe jawa dapat tumbuh pada lahan terbuka atau pada
lahan agak terlindung (radiasi surya 50-75%) (Dirjenbun 2009).
Tanaman cabe jawa dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah Andosol,
Latosol, Grumosol, Regosol, dan Podsolik; tekstur liat yang mengandung pasir,
subur, gembur, porous, drainase yang baik dengan kemasaman tanah (pH) antara
5.5 –7.0. Tempat tumbuh tanaman merambat pada tembok, pagar, pohon lain,
atau rambatan yang dibuat khusus. Cabe jawa cocok ditanam di tanah yang tidak
lembab dan banyak mengandung pasir ( Balitro 2003).
Budidaya cabe jawa di tingkat petani biasanya diperlakukan sebagai
tanaman sela di bawah tanaman tahunan. Tanaman ini mempunyai sulur panjat
yang memerlukan pohon panjat di dalam pertumbuhannya. Jenis pohon panjat
bermacam-macam antara lain kayu jaran (Lannea grandis), dadap (Erythrina
subumbran), glirisidia (Glyrisidia sepium), kedawung (Parkia roxburghi) yang
berfungsi pula sebagai tanaman obat. Apabila penanaman dilakukan di bawah
tegakan pepohonan dengan kanopi yang cukup rindang tidak perlu dibuat naungan
(Balitro 2004). Cabe jawa dapat diusahakan sebagai tanaman liana (memanjat)

9

dengan memakai berbagai pohon panjat yang ditanam di sepanjang galengan atau
batas petakan kebun dalam pola budidaya tumpangsari. Namun akhir-akhir ini
telah banyak diusahakan penanaman secara khusus monokultur. Petani di Jawa
Timur, seperti di daerah Madura dan Kabupaten Lamongan menanam cabe jawa
pada galengan/guludan dan pembatas dengan jarak yang cukup lebar, dengan
maksud agar petani dapat menanam palawija pada musim penghujan sebagai
tanaman tumpangsari dengan tanaman cabe jawa (Bermawie et al. 2007).
Januwati dan Yuhono (2003) menyatakan bahwa di Tawangmangu, Jawa
Tengah misalnya, cabe jawa tidak dapat berbuah dengan sempurna dan cenderung
menghasilkan daun daripada buah. Di Wonogiri-Jateng tanaman asli Indonesia ini
menghasilkan daun dan buah yang kecil-kecil. Sebaliknya, di Madura-Jatim cabe
yang tidak pedas ini membentuk buah dengan ukuran yang lebih besar. Menurut
Purbani dan Puspita (2006), Madura adalah tempat ideal bagi pertumbuhan cabe
jawa, karena kondisi lingkungannya, baik suhu maupun tanah di sana, dirasa
paling cocok. Saat ini daerah pengembangan cabe jawa meliputi Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Lampung.
Naungan
Tanaman memerlukan intensitas cahaya dalam jumlah yang berbeda-beda.
Tanaman yang memerlukan cahaya dalam jumlah sedikit memerlukan adanya
naungan.

Menurut Rezkiyanti (2000), naungan dilakukan untuk mengurangi

intensitas cahaya yang sampai pada tanaman dan berfungsi untuk menghindari
dari terpaan air hujan secara langsung pada tanaman saat musim hujan. Selain itu
naungan juga berfungsi untuk memodifikasi lingkungan mikro, yaitu dengan
mengurangi atau menurunkan kualitas dan kuantitas faktor-faktor lingkungan
yang ada di sekitar tanaman.
Pertumbuhan suatu tanaman di bawah kondisi yang kurang optimum
menunjukkan adanya penurunan kemampuan tumbuh dan berproduksi pada
tanaman tertentu. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya tambahan masukan
yang dapat mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman yaitu dengan pemberian
pupuk alami. Industri obat masih mensyaratkan penanaman tanaman obat
menggunakan bahan alami saja.

10

Cabe jawa memerlukan naungan dan tempat rambatan berupa pohon
panjat. Pengaruh naungan terhadap karakter morfologi, fisiologi dan produksi
bahan bioaktif cabe jawa dapat dicari dengan suatu pendekatan, mempelajari
pengaruh naungan terhadap jenis tanaman obat lainnya yang sama-sama toleran
atau memerlukan naungan.
Januwati dan Muhammad (1992) menyatakan bahwa salah satu jenis
tanaman obat yang toleran terhadap naungan adalah pegagan. Perbedaan jumlah
daun pegagan yang tumbuh di bawah naungan dipengaruhi oleh adanya perbedaan
intensitas cahaya yang diperoleh sehingga energi foton yang dibutuhkan untuk
proses fotosintesis menjadi berkurang. Laju fotosintesis berkurang mengakibatkan
fotosintat yang dihasilkan berkurang sehingga pertumbuhan vegetatif terutama
pertumbuhan daun terhambat. Dwijoseputro (1980) menambahkan bahwa tingkat
naungan yang ekstrim untuk tanaman tertentu bisa mengakibatkan kematian
jaringan tanaman dan diikuti kematian tanaman itu sendiri.
Semakin tinggi tingkat naungan maka semakin besar luas daun yang
merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman intensitas
cahaya rendah yang berfungsi untuk memperbesar area penangkapan cahaya. Hale
dan Orcutt (1987) mengemukakan bahwa tanaman beradaptasi terhadap cekaman
naungan melalui dua cara yaitu dengan peningkatan luas daun sebagai
photosynthetic area dan pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan
yang direfleksikan.
Fitter dan Hay (1998) serta Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa
daun tanaman yang ternaungi menjadi lebih tipis dibanding daun tanaman yang
tidak ternaungi, disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil.
Sugito (1999) menyatakan bahwa daun yang tipis dimaksudkan agar lebih banyak
radiasi matahari yang dapat diteruskan ke bawah sehingga distribusi cahaya
merata sampai pada bagian daun bagian bawah. Penurunan tebal daun diiringi
dengan pelebaran atau penambahan luas daun dimaksudkan agar penerimaan
cahaya matahari lebih banyak.
Misalnya pada tanaman pegagan dapat tumbuh dengan baik di tempat
dengan naungan yang cukup.

Pada kondisi tersebut, tanaman akan tumbuh

dengan helaian daun lebih besar dan tipis dibandingkan tanaman yang tumbuh di

11

tempat terbuka. Apabila pegagan tumbuh pada tempat yang terlalu kurang cahaya
helaian daun akan menipis dan warnanya memucat (Januwati dan Muhammad
1992). Tanaman ini juga dapat tumbuh baik dengan intensitas cahaya 30–40 %,
sehingga dapat dikembangkan sebagai tanaman sela musiman maupun tahunan
(Januwati dan Yusron 2004).
Semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan maka tanaman akan
melakukan adaptasi atau penghindaran terhadap cekaman naungan dengan cara
meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya tiap unit area fotosintetik. Adaptasi
yang dilakukan tanaman adalah dengan meningkatkan jumlah klorofil per unit
luas daun dan rasio klorofil b/a (Levitt 1980). Hale dan Orcutt (1987) menyatakan
bahwa efisiensi penangkapan cahaya tergantung pada jumlah klorofil per unit luas
daun, untuk sebagian tanaman tetap konstan terhadap cakupan intensitas cahaya
yang luas. Pembentukan klorofil pada daun yang ternaungi dipengaruhi antara
lain oleh cahaya, karbohidrat dalam bentuk gula serta komponen utama
pembentuk klorofil yaitu unsur N dan Mg (Dwijoseputro 1980).
Lada tergolong satu famili dengan cabe jawa, yaitu famili Piperaceae. Oleh
karena itu cabe jawa memiliki sifat morfologi dan fisiologi yang menyerupai lada.
Syarat tumbuh dan teknologi budidaya tanaman cabe jawa dapat menggunakan
pendekatan menggunakan syarat tumbuh dan teknologi budidaya lada, baik lada
merambat maupun lada perdu, karena kedua lada tersebut memiliki syarat tumbuh
tanaman yang sama.
Lada tergolong tanaman adaptif terhadap naungan, namun untuk mendukung
pertumbuhan dan produksinya memerlukan kisaran radiasi surya yang optimal.
Menurut Syakir (1994) tanaman lada berproduksi baik pada tingkat intensitas
radiasi minimal 50% atau setara dengan energi radiasi rata-rata 251.8
kalori/cm2/hari. Lebih jauh Wahid et al. (1999) melaporkan bahwa di antara
varietas tanaman lada perdu terdapat perbedaan respon terhadap intensitas radiasi
surya. Intensitas radiasi 100% (cahaya penuh) produksi tanaman lada perdu
terbaik oleh varietas Petaling 1. Intensitas radiasi 50-75% produksi terbaik
ditunjukkan oleh varietas Bengkayang. Secara umum tanaman lada perdu tumbuh
dan berproduksi dengan baik pada kisaran intensitas radiasi surya 50-75%.

12

Berdasarkan kebutuhan intensitas radiasi surya, tanaman lada perdu
sebaiknya dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan yang dapat
meloloskan radiasi surya 50-75%. Di antara tanaman tahunan tersebut, kelapa
merupakan tanaman yang sangat berpotensi dan sering dipolatanamkan dengan
lada perdu. Hal ini disebabkan terdapat kesesuaian lingkungan antara prasyarat
tumbuh tanaman kelapa dan kondisi lahan di bawahnya dengan prasyarat tumbuh
tanaman lada perdu. Pengembangan tanaman lada perdu di bawah tegakan
tanaman tahunan juga dapat menekan tingkat kematian tanaman akibat cekaman
lingkungan. Hasil penelitian Wahid et al. (1995) menunjukkan bahwa akibat
tingkat cekaman air tanaman lada perdu yang ditanam di bawah tegakan kelapa
mencapai 28.9%, sedangkan secara monokultur 34.1%.
Tanaman tahunan lainnya yang cukup berpotensi untuk dipolatanamkan
dengan tanaman lada perdu adalah sengon (Paraserianthes falcataria).
Disamping tanaman sengon memiliki bintil akar yang dapat mengikat nitrogen
bebas, hasil pengamatan Pramudya (2000) menunjukkan bahwa rata-rata
intersepsi radiasi surya pada tanaman sengon berbagai umur yang ditanam
dengan jarak lebih dari 3 m x 3 m dapat mencapai 49.92%, artinya tanaman
sengon masih dapat meloloskan intensitas radiasi surya sebesar 50.08%. Ratarata suhu dan kelembaban udara pada areal pertanaman sengon tersebut masingmasing mencapai 7.92oC dan 79.17%, artinya iklim mikro, di bawah tegakan
sengon yang ditanam dengan jarak lebih dari 3 m x 3 m masih sesuai dengan
prasyarat tumbuh lada perdu.
Awad et al. (2001) menyatakan bahwa cahaya pada kondisi naungan
memiliki kandungan sinar UV-A, biru, hijau dan sinar merah yang sedikit,
namun kaya akan sinar infra merah. Hal ini berpengaruh terhadap produksi
bahan bioaktif yang terkandung pada tanaman.
Aksesi
Tanaman cabe jawa di Indonesia banyak dibudidayakan di lahan kering
Madura, Lamongan dan Wonogiri serta daerah pengembangan baru di Sumatera
yaitu Jambi (Dirjenbun 2007). Hasil inventarisasi tanaman cabe jawa di sentra
produksi tahun 1992/1993 memperlihatkan bahwa di Madura ditemukan cabe
jawa dengan tipe buah yang berbeda ukuran buah (besar, sedang dan kecil)

13

dengan warna bervariasi dan mutu berlainan. Cabe jawa dari Kabupaten Sumenep
memiliki kandungan minyak 1.56-1.66% (Rostiana et al. 1994; Yuliani et al.
2001).
Hasil eksplorasi tahun 2003 menunjukkan bahwa kandungan piperin,
oleoresin dan minyak atsiri aksesi cabe jawa yang berhasil dikumpulkan dari
beberapa sentra produksi juga berbeda-beda. Kadar piperin tertinggi (17.24%)
diperoleh pada aksesi asal Bali, dengan bentuk buah lonjong, pipih dan kecil serta
berwarna kuning. sedangkan kadar minyak atsiri tertinggi(1.40%) diperoleh dari
aksesi asal Pamekasan, Cabe jawa yang berasal dari Sumenep menunjukkan
kadar oleoresin tertinggi, yaitu 6.10% (Rostiana et al. 2003). Dengan demikian
perbedaan komponen produksi dari masing-masing tipe cabe jawa yang tersebar
di sentra produksi belum diketahui dengan jelas. Sampai saat ini belum diketahui
apakah karakteristik tanaman yang dibudidayakan tersebut sama atau tidak
(Rostiana et al. 1994).
Perolehan sediaan jamu atau fitofarmaka afrodisiak dari cabe jawa yang
terstandar, perlu didukung dengan penyediaan hulu yang memadai. Industri
afrodisiak mengharapkan mutu simplisia dan ekstrak yang akan digunakan
terjamin kebenarannya. Faktor yang berpengaruh terhadap mutu simplisia adalah
kejelasan spesies/varietas tumbuhan serta potensi genetiknya, lingkungan tumbuh,
bagian yang digunakan, waktu panen dan perlakuan pasca panen (Sinambela
2003).

14

15

METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni 2009 sampai dengan
Pebruari 2010. Analisis hara tanah dan hara daun dilakukan di Balai Penelitian
Tanah, Bogor.

Analisis anatomi daun dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi,

analisis kandungan klorofil dilakukan di Laboratorium Spectrophotometry, dan
bahan bioaktif dilakukan secara kualitatif di Laboratorium Micro Technique,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Percobaan ini mempergunakan bibit dua aksesi cabe jawa (Lampung dan
Madura), pohon glirisidia sebagai tanaman panjat, pupuk kandang, urea, SP18 dan
KCl, paranet intensitas naungan 25 dan 55%, bahan kimia untuk uji klorofil dan
bioaktif daun cabe jawa. Peralatan yang digunakan antara lain timbangan, oven,
kamera, spektrofotometer, mikroskop listrik, waterbath, alat-alat laboratorium
untuk analisis kimia dan alat penunjang lainnya. Pohon glirisidia sebagai tanaman
panjat, tanaman cabe jawa serta buah cabe jawa dapat dilihat pada Gambar 1.

(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Pohon glirisidia sebagai tanaman panjat (a), tanaman cabe jawa (b)
dan buah cabe jawa kering (c).
Metode Percobaan
Percobaan dilaksanakan di lapangan dengan menggunakan rancangan
petak terpisah (split plot design) dengan perlakuan intensitas naungan (N)
ditempatkan dalam petak utama dan aksesi (A) sebagai anak petak sesuai denah

16

percobaan pada Lampiran 1. Petak utama terdiri atas tiga taraf intensitas naungan
yaitu 0, 25 dan 55%. Anak petak terdiri dari dua aksesi yaitu Lampung dan
Madura.

Terdapat 6 kombinasi perlakuan, setiap perlakuan diulang 3 kali,

ulangan terpisah dari taraf naungan, sehingga diperoleh 18 unit percobaan. Setiap
unit percobaan terdiri dari 5 tanaman.
Model statistika untuk rancangan petak terpisah adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + αi +Kk+δik+βj+(αβ)ij+εijk
keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j,
ulangan ke-k
µ

= nilai rata-rata umum

αi

= pengaruh perlakuan intensitas naungan taraf ke-i (i = 1, 2, 3).

Kk

= pengaruh ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

δik

= galat petak utama (intensitas naungan)

βj

= pengaruh perlakuan aksesi taraf ke-j (j = 1, 2)

(αβ)ij = interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan anak petak ke-j
εijk

= galat anak petak (asal bibit)
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh

nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5 atau 10%.
Pelaksanaan Penelitian
Pra penanaman. Pohon panjat glirisidia dan naungan sesuai perlakuan
berupa paranet dipersiapkan sebelum penanaman cabe jawa ke lapangan. Pohon
glirisidia telah ditanam pada tahun 2008 (umur tanam pohon panjat ± 1 tahun).
Cabe jawa ditanam dengan membuat lubang tanam berukuran 50 cm x 50 cm x 50
cm, jarak tanam dalam barisan 1.5 m. Penanaman pohon panjat dilakukan dengan
jarak tanam dalam baris 1.5 m dan antar baris 2 m. Jarak penanaman bibit dari
pohon panjat kira-kira 20-30 cm.

Bibit ditanam dalam alur dangkal di atas

guludan dengan kemiringan 45° menghadap pohon panjat. Lubang tanam diisi
dengan campuran tanah dan pupuk kandang, dengan dosis pupuk kandang 5
kg/lubang tanam (sebelumnya pupuk kandang dibiarkan ± 2 minggu dihamparkan
dalam lubang tanam).

17

Penanaman.

Bibit cabe jawa ditanam pada lubang tanam dengan

menimbun campuran tanah dan pupuk kandang, jarak 20 cm dengan kemiringan
45° menghadap pohon panjat. Tanaman cabe jawa dan pohon panjat berada di
bawah paranet sesuai perlakuan.
Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan selama percobaan
meliputi penyulaman,

pengairan, penyiangan, pemupukan susulan dan

pengendalian hama penyakit, pemangkasan tanaman panjat.

Penyulaman

dilakukan pada umur 2-4 minggu setelah tanam dengan menggunakan bibit
seumur. Pengairan dilakukan dengan cara penyiraman dengan melihat kondisi
kebutuhan tanaman.

Penyiangan dilakukan sesuai dengan keadaan gulma di

lapangan, biasanya frekuensinya antara 4-6 minggu. Pemupukan susulan dimulai
saat berumur 2-3 bulan setelah dipindah ke kebun dengan 25-40 g urea, 20-50 g
SP 18 dan 10-25 g KCl /tanaman/tahun, sesuai dengan anjuran dari Balitro (2004).
Pengendalian hama penyakit dilakukan pada saat terlihat ada serangan yang
membahayakan tanaman. Pemangkasan pohon panjat dengan cara mengurangi
jumlah daun dan membuang semua cabang sekunder yang tumbuh.
Pengamatan
Peubah yang diamati adalah komponen pertumbuhan vegetatif tanaman
(karakter morfologi). Komponen vegetatif yang diamati yaitu tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah cabang primer, jumlah cabang sekunder, serta panjang dan
lebar daun terbesar.
Pengamatan juga dilakukan terhadap karakter fisiologi tanaman berupa
mesofil daun yang meliputi ukuran sel palisade, sel bunga karang dan tebal daun,
serta kandungan klorofil daun (klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio
klorofil b/a). Analisis bahan bioaktif daun dilakukan secara kualitatif meliputi
kandungan alkaloid, flavonoid, triterpenoid/steroid, saponin dan tanin,. Sebagai
data penunjang dilakukan analisis hara daun untuk mengetahui serapan hara di
daun oleh tanaman selama pertumbuhannya.

18

Morfologi Tanaman
Tinggi tanaman (cm).

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap 2

minggu sekali dengan cara mengukur dari pangkal sampai titik tumbuh yang
terletak di ujung batang tanaman.
Jumlah daun. Perhitungan jumlah daun dilakukan setiap 2 minggu sekali
dengan cara menghitung jumlah daun yang keluar dari batang tanaman.
Panjang dan lebar daun terbesar (cm). Pengukuran panjang dan lebar daun
terbesar dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan cara memilih daun terbesar dari
tanaman tersebut dan mengukur panjang dan lebar daunnya.
Jumlah cabang primer.

Perhitungan jumlah cabang primer dilakukan

setiap 2 minngu sekali dengan cara menghitung jumlah cabang yang keluar dari
batang utama.
Jumlah cabang sekunder. Perhitungan jumlah cabang sekunder dilakukan
setiap 2 minggu sekali dengan cara menghitung jumlah cabang yang keluar dari
ketiak daun.
Fisiologi Tanaman
Tinggi dan lebar sel palisade (nm). Pengukuran tinggi dan lebar sel
palisade dilakukan dengan cara mengiris tipis daun secara melintang, kemudian
mengukur tinggi dan lebar sel palisade di bawah mikroskop listrik.
Tinggi dan lebar sel bunga karang (nm). Pengukuran tinggi dan lebar sel
bunga karang dilakukan dengan cara mengiris tipis daun secara melintang,
kemudian mengukur tinggi dan lebar sel bunga karang di bawah mikroskop listrik.
Ketebalan daun (nm). Pengukuran ketebalan daun dilakukan dengan cara
mengiris tipis daun secara melintang, kemudian mengukur ketebalan daun di
bawah mikroskop listrik.
Kerapatan stomata (mm-2).

Pengukuran kerapatan stomata

dilakukan

dengan cara mengupas epidermis bawah daun dengan menggunakan kutek bening
dan selotip bening, kemudian diamati di bawah mikroskop listrik dan
mengabadikan dengan kamera digital untuk dapat dihitung jumlah stomatanya.
Kerapatan stomata dihitung dengan rumus :

19

jumlah stomata
Kerapatan stomata =
luas bidang pandang
Apabila : Diameter bidang pandang = 5 x 10-1 = 0.5 mm.
Luas bidang pandang = ¼ x η x d2
= ¼ x 3.14 x 0.52
= 0.19625 mm2.
(Keterangan : η = 3,14; d = diameter bidang pandang).
Serapan hara. Serapan hara dilakukan untuk mengetahui jumlah suatu
hara yang diserap oleh tanaman. Serapan hara dihitung dengan rumus :
Serapan hara = kadar hara daun x bobot daun
Bobot daun = jumlah daun x bobot kering 1 daun
Analisis klorofil.

Analisis klorofil dilakukan untuk mengetahui

kandungan klorofil a dan b sehingga dapat menentukan rasio klorofil b/a. Metode
analisis yang digunakan adalah modifikasi dari Arnon (1949). Contoh daun segar
dihaluskan, selanjutnya 50 mg contoh tersebut ditambah dengan 2 ml aseton 80%
dan disentrifuge.

Ekstraksi diulang sampai tidak terbentuk warna.

Volume

ekstrak yang terkumpul kemudian ditera sampai 10 ml. Penentuan kadar klorofil
(mg/mg) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 645 nm (klorofil a) dan 663 nm (klorofil b).
Analisis Kandungan Bioaktif Daun
Analisis kandungan bioaktif daun dilakukan secara kualitatif, untuk
menganalisis kandungan alkaloid, triterpenoid/steroid, saponin, flavonoid dan
tanin. Analisis data dilakukan pada skor kandungan bioaktif masing-masing jenis.
Identifikasi kandungan bahan bioaktif (Tunggal, 2004)
-

Pembuatan ekstrak : contoh daun kering dihaluskan, selanjutnya 10 g
contoh

tersebut direndam dalam metanol selama 24 jam pada suhu

kamar. Ekstrak kemudian disaring dan diuapkan dengan alat rotavapor
(suhu 30 0C) hingga didapatkan residunya.
-

Pengujian alkaloid : 2 mg residu kering ditambah dengaan 10 ml
kloroform-amoniak kemudian disaring. Filtrat ditambah beberapa tetes 2
M H2SO4 kemudian dikocok sampai terbentuk larutan keruh dan bening.

20

Larutan bening dipipet dan dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi,
selanjutnya masing-masing diberi beberapa tetes reagen Dragendorf dan
Mayer. Uji alkaloid positif bila dihasilkan endapan warna jingga dengan
reagen Dragendorf dan warna putih kekuningan dengan reagen Mayer.
-

Pengujian triterpenoid : 2 mg residu kering dilarutkan dalam dietil eter
sampai larut. Fraksi yang larut dalam dietil eter ditambah dengan pereaksi
Liebermann-Buchard (3 tetes asam asetat anhidrat + 1 tetes H2SO4 pekat).
Uji steroid positif jika timbul warna hijau; sedangkan triterpenoid ditandai
dengan adanya warna merah atau ungu.

-

Pengujian saponin, flavonoid dan tanin : 2 mg residu kering ditambah
dengan aquades secukupnya, kemudian dipisahkan 3 ml filtrat ke dalam 3
tabung reaksi.
1. Tabung pertama ditambah dengan logam Mg, beberapa HCl
pekat dan larutan amil alkohol, kemudian dikocok.

Uji

flavonoid positif ditunjukkan dengan timbulnya warna kuning
kemerahan.
2. Tabung kedua dikocok secara vertikal, dan bila timbul busa
yang stabil setinggi ± 1 cm selama 10 menit menandakan uji
saponin