POTRET PENGGUNAAN BAHASA BALI BAGI KOMUNITAS BALI DI KOTA MEDAN.

POTRET PENGGUNAAN BAHASA BALI BAGI KOMUNITAS BALI DI KOTA MEDAN
I Wayan Dirgeyasa
Universitas Negeri Medan
wayandirgayasa@yahoo.com
ABSTRAK
Dalam konteks kekinian, eksistensi bahasa-bahasa daerah termasuk bahasa Bali telah terjadi penomena penurunan
intensitas dan frekuensi penggunaannya di tengah masyarakat yang modern dan multilingual khususnya di kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan, dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengungkap penggunaan Bahasa Bali oleh penutur Bahasa Bali di Medan dengan pilihan bahasa 1) Bahasa Bali (BB)
dan Bahasa Indonesia (BI), 2) dominasi Bahasa Bali (dBB) dan dominasi Bahasa Indonesia (dBI), dan 3) mengetahui
kemampuan dan keterampilan generasi ke dua komunitas masyarkat Bali di Medan berbahasa Bali. Penelitian ini
adalah penelitian deskriptif kualitatif. Responden penelitian ini adalah komunitas Bali yang tinggal di Medan dan
sekitarnya yang diambil secara porpusive cluster random sampling. Responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu
generasi pertama dan generasi kedua. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam (in depth interview) and
angket. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Konteks penggunaan pilihan bahasa yang diteliti adalah tempat,
lawan mitra tutur, isi pembicaraan, situasi komunikasi. Indikator dominasi pilihan bahasa adalah rentangan antara
51-99%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pilihan penggunaaan bahasa bagi komunitas Bali di
Medan. Pertama, pada umumnya komunitas masyarakat Bali di Medan tidak menggunakan pilihan bahasa baik
Bahasa Bali (BB) maupun Bahasa Indonesia (BI) secara penuh pada suatu persitiwa interaksi dan komunikasi. Kedua,
komunitas masyarakat Bali di Medan menggunakan campur kode (code mixing) dan alih kode (code-switching)
dengan pilihan bahasa dominanasi Bahasa Indonesia (dBI) pada semua kontek komunikasi. Dan ketiga, secara

khusus, generasi kedua komunitas masayarakat Bali di Medan sangat tidak menguasai berbahasa Bali baik lisan
maupun tulisan. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa secara umum pengunaan pililhan Bahasa
Bali (BB) oleh komunitas masyarakat Bali di Medan secara penuh dan utuh dalam semua konteks komunikasi tidak
terjadi baik. Hal ini menunjukkan bahwa suatu saat ke depan Bahasa Bali akan mengalami kepunahaan sedikit demi
sedikit terutama oleh generasi kedua dan seterusnya bagi komunitas Bali yang lahir di Medan.
Kata kunci: bahasa Bali, bahasa Indonesia, dominasi bahasa Bali, dominasi bahasa Indonesia

PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir ini, realitas di lapangan menunjukkan bahwa bahasa-bahasa daerah, termasuk
bahasa Bali telah mulai mengalami penurunan frekuensi dan intensitas penggunaannya oleh penuturnya.
Antara (2016) mengatakan bahwa dari pengamatan sederhana saja, anak-anak sudah jarang berbahasa Bali,
terlebih lagi di daerah perkotaan. Hal ini terjadi karena penutur Bahasa Bali merasa gengsi jika mereka
menggunakan bahasa Bali. Ini memperlihatkan rasa fanatisme terhadap bahasanya kurang” ujarnya, Lebih
lanjut dia juga mengatakan bahwa dari kajian hasil penelitian Fakultas Sastra Universitas Udayana, frekuensi
pemakaian bahasa Bali memang rendah, khususnya di daerah perkotaan. Bahkan ini sudah mulai menyebar
ke daerah pedesaan di Bali.
Kenyataan ini kelihatanya juga di alami oleh komunitas Bali yang ada di beberapa kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, Yogyakarta, Bandar Lampung dan Medan. Padahal menurut
pandangan umum, masyarakat Bali atau komunits Bali memiliki prinsip yang kuat dalam mempertahankan
dan mengembangkan budaya, tradisi dan juga bahasa di manapun mereka berada. Penggunaan Bahasa Bali

di tengah masyarakat seperti itu merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk mempertahankan dan
mengembangkan bahasa itu sendiri.
Berkaitan dengan penggunaan Bahasa Bali, Marjohan dkk (1992) dalam penelitiannya menemukan
bahwa (80,87%) anggota sampel mengunakan bahasa Bali dalam situasi tak resmi ketika berbicara dengan
keluarga, tetangga, kerabat sekitar rumah dengan topik kegiatan sehari-hari, (19,23%) menggunakan bahasa
Bali dalam situasi resmi dengan topik kedinasan dan pendidikan.Sehubungan dengan menurunya
penggunaan Bahasa Bali, Dirgeyasa, (2010) dalam penelitian mengatakan bahwa Bahasa Bali telah
mengalami pergeseran, perubahan mungkin juga degradasi dalam penggunaan variasi Bahasa Bali seperti
penggunaan ragam tinggi atau ragam rendah di daerah transmigrasi Lampung. Code-mixing atau codeswitching sangat intens terjadi ketika mereka berkomunikasi dan transaksi sehari-hari.
Sejumlah hasil penelitian tersebut merupakan fenomena pemakaian Bahasa Bali yang terkait dengan
konteks sosial budaya Bali. Dalam konteks komunitas Bali di Medan dan sekitarnya, intesitas dan
frekwuensi serta kuantitas penggunaan Bahasa Bali oleh warga komunitas Bali di Medan dan sekitarnya
secara tentatif menurun dan berkurang. Untuk mendapatkan informasi dan realitas yang terpercaya dan valid,
432

tulisan ini membahas potret penggunaan pilihan Bahasa Bali di Kota Medan dan Sekitarnya oleh komunitas
Suka Duka Dirgayusa Medan dan kemampuan generasi II dalam menguasai Bahasa Bali.
KAJIAN TEORI
Komunitas Bali di Medan
Secara historis, keberadaan komunitas Bali di kota Medan dan sekitarnya sudah terjadi sejak tahun 1974.

Sebagian besar dari mereka berasal dari Bali atau daerah lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya,
Lampung dan sebagainya. Mereka pada umumnya mampu dan terampil menggunakan Bahasa Bali baik
secara lisan maupun tulisan. Saat ini, jumlah komunits Bali di Medan dan sekitarnya mencapai 80-90 kepala
kepala keluarga atau setara dengan 250-350 orang. Jumlah tersebut setiap tahunnya berubah karena selalu
ada maysarakat yang datang dan pergi setiap tahun. Dari jumlahnya tersebut sudah ada yang menjadi
generasi kedua yang lahir di Medan dengan rentangan umur 1-25 tahun.
Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas masyarkat Bali di Medan dan sekitarnya, secara umum
masih kuat dan teguh memegang tradisi dan budaya Bali baik secara individu maupun kolektif. Budaya
mereka masih relatif kuat dan dapat berkembang misalnya kehidupan beragama, kesenian, tatanan sosial
dalam bermasyarakat serta aturan (awig-awig) yang diterapkan untuk menjanga keberadaan dan
keberlangsungan komunitas Bali di Medan. Untuk itu, komunitas Bali di Medan dan sekitarnya mendirikan
paguyuban dan komunitas yang bernama Suka Duka Dirgayusa Medan (SDDYM) sejak tahun 1974.
Dalam kaitan penggunaan Bahasa Bali, komunitas Bali dalam berkomunikasi dan berinteraksi
sesame warga Bali relatif tidak sekuat aspek kesenian, tradisi, aturan-aturan (awig-awig) yang menjadi
indentitas ke-Baliannya. Padahal Bahasa Bali juga menjadi identitas masyarakat Bali di manapun mereka
berada.
Bahasa Bali
Bahasa Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “kekuatan”, jadi kata “Bali”
berarti “pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Maka dari itu, secara
normatif, Bahasa Bali merupakan bahasa ibu yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh semua

masyarakat Bali dalam setiap aktivitas baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk pula dalam
kegiatan agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat Bali.
Bahasa Bali merupakan bukti historis bagi masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, bahasa Bali
sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali dan sekaligus pula berkedudukan sebagai wahana ekspresi
budaya Bali yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, sosial, politik dan aspek-aspek lainnya
dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahasa Bali merupakan sebuah sistem kebahasaan dan budaya yang
berfungsi sebagai akar pelestari kebudayaan Bali itu sendiri.
Bahasa Bali dalam pemakaiannya memiliki sistem tingkatan-tingkatan yang dalam bahasa itu disebut
dengan Sor-Singgih Basa Bali (Sumitra, 2013) dalam http://balinesesudanglepet.blogspot.co.id/2013/08/bab-ipendahuluan-1.html/12/3/2016.
Dalam penggunaan Sor-Singgh Basa Bali dalam kehidupan bermasyarakat orang Bali, menurut
kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali (1990) menguraikan
bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti halus atau hormat. Jadi Sor-Singgih Basa Bali berarti aturan
tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendah yang menyangkut rasa/perasaan yang merujuk pada rasa
solidaritas dengan saling hormat menghormati dalam menggunakan bahasa Bali terhadap lawan bicara. Di
samping itu, orang Bali dalam menggunakan Bahasa Bali juga memperhatikan konsep (desa) tempat, (kala)
waktu, dan (patra) situasi dan kondisi.
Campur Kode dan Alih Kode
Ada tiga jenis bahasa yang dikenal dalam sosiolinguistik. Pertama adalah alih kode (code switching). Kode
pada dasarnya adalah istilah netral yang dapat mengacu pada bahasa dialek, sosiolek, atau ragam bahasa.
Jika Si A mempunyai B1 (Bahasa Bali), dan B2 (Bahasa Indonesia) serta juga menguasai Bahasa Inggris, dia

dapat beralih kode dengan tiga bahasa itu. Pilihan bahasa yang kedua adalah campur kode (code mixing).
Campur kode ini serupa dengan interferensi dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dalam campur kode,
penutur menyelipkan unsur – unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dan, ketiga adalah
variasi dalam bahasa yang sama (variation with in the same language). Dalam hal ini seseorang penutur
harus memilih ragam mana yang harus dipakai dalam situasi tertentu.
Berkaitan dengan hal itu, teori-teori yang digunakan sebagai acuan pada penelitian ini adalah adalah
Fishman (1976) yang menyatakan bahwa hal yang mendasar dalam kedwibahasaan adalah kedwibahasaan
masyarakat karena merupakan fenomena pemakaian dua bahasa atau lebih. Fasold (1984) menyatakan
433

bahwa walaupun sulit membedakan antara code mixing dan code switching, namun kedua bentuk ini masih
bisa dibedakan dan dikenal, misalnya melalui fenomena peminjaman kosakatanya. Penggunaan kata atau
frasa bahasa lain ke dalam suatu bahasa adalah peristiwa mencampur (mixing), penggunaan klausa dari suatu
bahasa ke dalam bahasa lain adalah peristiwa pertukaran (switching). Richards dkk. (1985) mengatakan
bahwa kode merupakan istilah netral sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek. Kemudian,
Wardhaugh (1998) dan Kachru (1978) menyatakanbahwa campur kode sebagai salah satu aspek
ketergantungan bahasa tidak dapat dihindarkan dalam tindak tutur dwibahasawan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakasanakan di Medan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi penelitian
adalah komunitas Bali di Medan dan sekitarnya yang terhimpun dalam paguyuban Suka Duka Dirgayusa

Medan (SDDY-Medan). Sampel penelitian diambil secara kluster bertujuan acak (purposive cluster random
sampling technique). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 35 orang untuk generasi pertama dan 15
orang untuk generasi kedua. Jadi total sampel dalam penelitiaan ini mencapai 50 orang. Data dikumpulkan
dengan and angket dan wawancara mendalam (in depth interview) untuk masalah pertama dan kedua.
Sedangkan tes penguasaan kosa kata dalam bentuk menterjemahkan digunakan untuk menjawab masalah
ketiga. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Konteks pilihan bahasa yang diteliti adalah tempat, lawan
mitra tutur, isi pembicaraan, situasi komunikasi dan saluran atau bentuk komunikasi. Sedangkan indikator
kategori dominasi pilihan bahasa adalah rentangan antara (51-99%) dari bahasa yang digunakan dan
indikator kemampuan berbahasa (penguasan kosa kata) adalah rentangan nilai (0 – 100).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dan pembahasan disajikan sesuai dengan masalah dalam penelitian yang meliputi 1) pilihan
penggunaan Bahasa Bali (BB) dan Bahasa Indonesia (BI), 2) pilihan dominanasi Bahasa Bali (dBB) dan
dominanasi Bahasa Indonesia (dBI), dan 3) kemampuan dan keterampilan generasi ke dua komunitas
masyarkat Bali di Medan berbahasa Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi tempat di mana
komunikasi itu berlangsung seperti rumah, pura, kantor atau tempat umumn, lawan bicara atau mitra tutur,
isi pembicaraan, situasi pembicaraan komunitas Bali bertemu mereka tidak menggunakan Bahasa Bali
ataupun Bahasa Indonesia secara utuh dan penuh.
Bila ditinjau dari penggunaan pilihan dominanasi Bahasa Bali (dBB) atau dominanasi Bahasa
Indonesia (dBI), komunitas Bali di Medan menggunakan dominasi pilihan bahasa cukup beragam tergantung

dengan tempat, lawan bicara atau mitra tutur, isi pembicaraan, situasi pembicaraan, tingkat keseriusan
pembicaraan, dan saluran atau bentuk komunikasi.
Pertama, berdasarkan tempat pembicaraan, komunitas Bali di Medan dan sekitarnya sebagian besar
menggunakan pilihan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) di tiga tempat peristiwa komunikasi yaitu rumah,
tempat ibadah (Pura), dan tempat umum. Hasil penelitian juga menunjukkan tempat ibadah (Pura) yang
seyogyanya menjadi tempat bagi mereka untuk menggunakan dominasi Bahasa Bali dalam berkomunikasi,
kenyataanya mayoritas dari mereka menggunakan dominasi Bahasa Indonesia (dBI).
Kedua, bila ditinjau dari usia lawan mitra tutur, bila lawan mitra tutur lebih tua maupun lebih muda,
sebagian besar responden menggunakan dominasi Bahasa Indonesia masing-masing (97,14%) dan (77,14%).
Namun bila lawan mitra tuturnya dalam usia yang sama atau relatif sama, dominasi Bahasa Bali (dBB)
cukup banyak walaupun sebagian besar (57,14%) responden masing menggunakan bahasa dengan dominasi
Bahasa Indonesia. Bila lawan mitra bicara berasal dari wangsa dan status sosial yang ‘tinggi’ maupun lebih
‘rendah’, sebagian responden menggunakan pilihan bahasa dengan dominasi Bahasa Indonesia. Sedangkan
bila lawan mitra tutur berasal dari wangsa yang sama dan status sosial yang sama, besarnya responden yang
menggunakan dBB dan dBI relatif sama.
Hasil di atas, juga tidak jauh berbeda dengan penggunaan pilihan bahasa apakah dBB atau dBI bila
ditinjau dari isi pembicaraan. Secara umum komunitas Bali di Medan dan sekitarnya menggunakan dominasi
Bahasa Indonesia dalam segala isi pembicaraan seperti profesi pekerjaan, sosial-ekonomi, dan percakapan
sehari-hari. Namun topik agama dan ritual keagamaan, dominasi Bahasa Bali (dBB) dan dominasi Bahasa
Indonesia (dBI) hampir sama dengan persentase masing-masing sebesar (48,57%) dan (51,42%).

Keempat, pilihan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) menjadi sangat dominan bagi komunitas Bali di
Medan dan sekitarnya dari berbagai situasi pembicaraan baik situasi formal, kurang formal, maupun tidak
formal, bahkan untuk situasi formal seperti rapat persentasenya hampir mencapai 100%.

434

Kelima, situasi pembicaraan dikelompokan menjadi kategori melucu atau mengejek dan menggosip.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominasi Bahasa Bali (dBB) relatif lebih tinggi atau intens dari pada
penggunaan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) masing masing sebesar (61,29%) dan (51,42%) berbanding
(45,71%) dan (48,57%).
Dan, keenam, saluran atau pola pembicaraan juga mempengaruhi pilihan dominasi penggunaan
bahasa komunitas Bali di Medan dan sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua saluran atau
bentuk pembicaraan seperti dharma wacana, dharma gita, dan rapat sangat didomunasi oleh dominasi
Bahasa Indonesia dengan rata rata mencapai lebih dari (80%). Sedangkan saluran pembicaraan dalam bentuk
arisan walaupun masih didominasi Bahasa Indonesia, namum persentse tidak seintens tiga saluran
sebelumnya.
Dari 15 orang generasi ke dua yang menjadi sampel dalam penelitian ini, secara umum mereka tidak
menguasai Bahasa Bali. Kemampuan dan keterampilan Bahasa Bali mereka secara persentase hampir
semuanya berada Bada level (0 – 29). Hanya (6,66%) yang memiliki kemampuan menguasai Bahasa Bali
dengan persentase sebesar (50-59), dan hampir tidak ada responden yang mampu dan menguasai Bahasa

Bali hingga (50 -59).
Pembahasan
Merujuk hasil penelitian pada bagian sebelumnya, pada umumnya komunitas masyarakat Bali di Medan
tidak menggunakan pilihan bahasa baik Bahasa Bali (BB) maupun Bahasa Indonesia (BI) secara penuh pada
suatu persitiwa komunikasi namun mereka cenderung menggunakan dominasi Bahasa Indonesia (dBI)
daripada dominasi Bahasa Bali (dBB) dalam semua konteks pembicaraan seperti tempat, lawan bicara atau
mitra tutur, isi pembicaraan, situasi pembicaraan, tingkat keseriusan pembicaraan, dan saluran atau bentuk
komunikasi. Padahal, komunitas Bali secara umum biasanya dalam pertemuan tingkat adat, meminang, atau
upacara adat pertemuan warga, dan atau upacara dan upakara agama lainya, mereka harus menggunakan
Bahasa Bali (Dhana 1994; Wiana, 2007).
Kemudian, dalam konteks penguasaan kemampuan dan keterampilan berbahasa Bali, generasi II
komunitas Bali di Medan dan sekitarnya, secara umum tidak menguasai Bahasa Bali. Hanya (6,66%) yang
memiliki kemampuan menguasai Bahasa Bali dengan level sebesar (50-59) sedangkan sisanya dikategorikan
tidak mampu atau tidak menguasai.
Berbicara tentang tingginya dominasi penggunaan Bahasa Indonesia (dBI) dari pada dominasi
Bahasa Bali (dBB) oleh komunitas Bali di Medan sesungguhnya yang terjadi adalah campur kode (code
mixing). Kenapa dominasi Bahasa Indonesia menjadi sangat dominan bagi komunitas Bali di Medan
sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa hal ini merupakan
sesuatu yang wajar. Mereka cenderung menggunakan bahasa yang dianggap mudah digunakan dalam
berkomunikasi (Rokhman,2003; Garminah. 2005).

Faktor yang mungkin juga berpengaruh adalah tingkat penguasaan Bahasa Bali bagi penuturnya.
Faktor kebahasaan misalnya kurangnya kosa kata dalam bahasa Bali. Jumlah kosa kata dalam bahasa Bali
sangat sedikit. Dengan keterbatasan tersebut, maka dalam memperlancar komunikasi unsur bahasa yang
tidak ada dalam bahasa Bali digunakan dari unsur bahasa lain. Hal yang sama juga dikatakan oleh
(Rusyana, 1989; Buda, 1991) dalam http//:wwwf. woseda.jp/buda/texts/language.htm!/6/20/2009.
Penghindaran penggunaan bahasa Bali secara utuh disebabkan oleh kurangnya penguasaan bahasa tersebut.
Rendahnya dominasi Bahasa Bali (dBB) bagi komunitas Bali di Medan dan sekitarnya juga
mungkin disebakan sikap penutur terhadap bahasanya sendiri. Sikap berujung pada positif dan negatif
penutur terhadap bahasanya. Artinya semakin positif dan militant sikap penutur terhadap bahasanya,
semakin intens mereka menggunakan bahasa tersebut (Malini, 2012). Antara (2016) menambahkan bahwa
ada rasa gengsi jika mereka menggunakan bahasa Bali.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa secara umum
pengunaan pilihan Bahasa Bali (BB) oleh komunitas masyarakat Bali di Medan secara penuh dan utuh
dalam semua konteks komunikasi tidak terjadi baik. Dominasi penggunaan Bahasa Indonesia (dBI) sangat
intens dan meluas dalam segala aspek kehidupan dari pada dominasi Bahasa Bali (dBB). Sedangkan
generasi II tidak menguasai Bahasa Bali. Hal ini menunjukkan bahwa suatu saat ke depan Bahasa Bali akan
mengalami kepunahaan sedikit demi sedikit terutama oleh generasi kedua dan seterusnya bagi komunitas
Bali yang lahir di Medan.
Pemertahanan Bahasa Bali bagi komunitas Bali di Medan masih kurang dan cenderung lemah. Di

masa depan, bila generasi pertama telah tiada, keberadaan dan eksitensi Bahasa Bali bagi komunitas Bali di
435

Medan diperkirakan akan punah dan mati. Hal ini terjadi karena generasi kedua tidak memiliki kemampuan
dan keterampilan dalam Bahasa Bali. Hal ini berbanding terbalik dengan pemertahanan seni dan budaya
yang masih bisa bertahan dan berkembang di Medan dan sekitarnya.Untuk itu, sangat disarankan kepada
orang tua untuk menggajarkan dan menggunakan Bahasa Bali kepada generasi penerusnya agar
kebertahanan Bahasa Bali bagi komunitas Bali dapat bertahan dan berkembang seperti seni dan budayanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dhana I Nyoman. 1994. Pembinaan Budaya Dalam Keluarga Daerah Bali. Jakarta
Dirgeyasa, I Wy. 2010. Potret Penggunaan Bahasa Bali Pada Masyarkat Bali di Daerah Transmigrasi (Studi Kasus
Penggunaan Bahasa Bali Di Kecamatan Seputih Raman Lampung Tengah, Lampung) dalam proceeding
Internasional Seminar on Language, Literature, and Culture in South East Asia, in affiliation with Phuket
Rajabath Univesity Thailand dan Graduate School of Linguistics, State University of North Sumatera.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. England: Basil Blackwell
Garminah. Ni Nyoman. 2005. Campur Kode dalam Pemakian Bahasa Bali pada Etnik Jawa di desa Tegallingah
Bulleleng Bali. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Singaraja.no 2 th xxxviii april 2005.p 156.
Fishman, J.A. 1976. The Sociolinguistic of Society. New York : Basil Blackwell.
Kachru, Braj.B. 1978. Toward Structuring Code Mixing. Paris: Mouto.
Malini, Nih Luh Nyoman Seri. 2012. “Kebertahanan Bahasa Bali pada Transmigran Bali di Provinsi Lampung” dalam
Jurnal Linguistik Indonesia, Agustus 2012. Tahun ke-30 Nomor.2, 167—181. Jakarta: Masyarakat Linguistik
Indonesia.
Rokhman, Fathur. (2003). Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik
Marjohan, Asril. 1992. Aspek Sosiokultural Pilihan Bahasa di desa Pegayaman. Laporan Penelitian. Singaraja: FKIP
UNUD Singaraja.
Buda. J.K. 1991. Language Choice. hhtp//wwwf.waseda.jp/buda/texts/language.html/6/20/2009.
Rusyana.Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualism). Jakarta: Depdikbud.
Sumitra (2013). Bahasa Bali Bukan Bahasa Feodal. http://balinesesudanglepet.blogspot.co.id/2013/08/bab-ipendahuluan-1.html
Tim Penyusun, 1990. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Wiana. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
: I Wayan Dirgeyasa
Institusi
: Universitas Negeri Medan
Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Negeri Jakarta
S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Lampung
Minat Penelitian
: • English for specific Purposes (ESP)
• Pengembangan Bahan Ajar
• Language Teaching
• Linguistik

436