Analisis Ekonomi Gumuk Pasir Di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta
ANALISIS EKONOMI GUMUK PASIR
DI DESA PARANGTRITIS, KABUPATEN BANTUL,
PROPINSI YOGYAKARTA
KHUSNUL KHATIMAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi Gumuk
Pasir di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Khusnul Khatimah
NIM 451140011
RINGKASAN
KHUSNUL KHATIMAH. Analisis Ekonomi Gumuk Pasir di Desa
Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta. Dibimbing oleh YUSMAN
SYAUKAT dan AHYAR ISMAIL.
Gumuk pasir merupakan fenomena unik seperti gundukan pasir yang
menyerupai bukit dan hanya terdapat di Desa Parangtritis dengan luas 62 ha. Pada
tahun 2013, muncul konversi menjadi lahan tambak udang hingga saat ini luasnya
mencapai 6,3 ha. Padahal dalam kondisi eksisting, gumuk pasir dapat memberikan
nilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung bagi masyarakat setempat.
Manfaat tersebut diantaranya sebagai tempat pariwisata, penghasil kayu bakar dan
pakan ternak, penahan abrasi, serta pelindung angin bagi lahan pertanian.
Penelitian ini dilakukan di Desa Parangtritis (Kecamatan Kretek), Desa
Srigading (Kecamatan Sanden), dan Desa Poncosari (Kecamatan Srandakan).
Penelitian ini melibatkan 354 responden, terdiri dari wisatawan, masyarakat, petani,
petambak, dan stakeholder. Tujuan umum penelitian adalah menganalisis manfaat
dan eksternalitas yang dapat ditimbulkan dari konversi gumuk pasir menjadi
budidaya udang, sedangkan tujuan khusus yakni mengestimasi perbandingan nilai
manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan jika dikonversi menjadi budidaya
udang, mengestimasi eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari budidaya
udang, mengestimasi besarnya willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap
existence value gumuk pasir, dan merumuskan kebijakan pengelolaan gumuk pasir
yang berkelanjutan. Metode analisis yang digunakan yaitu total economic value,
analisis pendapatan, change of productivity, replacement cost, contingent valuation
method, dan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan total nilai manfaat gumuk pasir mencapai
Rp124.368.658/ha/tahun. Nilai tersebut merupakan akumulasi manfaat sebagai
wisata (Rp77.639.361/ha/tahun), kayu bakar (Rp2.164.898/ha/tahun), pakan ternak
(Rp3.844.284/ha/tahun), penahan abrasi (24.279.070/ha/tahun), dan pelindung
angin (Rp16.441.043/ha/tahun). Total nilai manfaat budidaya udang di kawasan
gumuk pasir, yakni Rp99.501.439/ha/tahun. Hasil perbandingan menunjukkan nilai
manfaat gumuk pasir pada kondisi eksisting lebih besar 25%. Budidaya udang
berpotensi menimbulkan eskternalitas. Akumulasi pencemaran dapat berpotensi
menyebabkan penurunan produktivitas sekitar 42%. Selain itu, budidaya udang
juga berpotensi menimbulkan eskternalitas bagi masyarakat akibat terjadinya
intrusi air asin. Nilai kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan adalah sekitar
Rp52.000/RT/bulan. Selanjutnya nilai rata-rata WTP existence value gumuk pasir
diperoleh sebesar Rp8.271 sehingga besarnya non-use value dari eksisting gumuk
pasir mencapai Rp229.073.616/tahun. Kesediaan membayar WTP dipengaruhi
secara signifikan oleh nilai bid, jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, dan jumlah
tanggungan. Dalam penelitian ini, alternatif pengelolaan gumuk pasir secara
berkelanjutan dapat dilakukan melalui kebijakan jangka pendek maupun jangka
panjang.
Kata Kunci: gumuk pasir, budidaya udang, nilai ekonomi, valuasi ekonomi,
eksternalitas
SUMMARY
KHUSNUL KHATIMAH. Economic Analysis of Sand Dunes at Parangtritis
Village, Bantul Regency, Yogyakarta Province. Supervised by YUSMAN
SYAUKAT and AHYAR ISMAIL.
Sand dune is a unique phenomenon, hill-like and is only found in Parangtritis
Village with an area of 62 ha. In 2013, there was conversion of sand dune into
shrimp pond of which covers area of 6.3 ha at present. Besides, existing sand dune
can provide benefit value to the local communities such as tourist destination,
firewood and poultry feed producing area, natural retaining wall for abrasion, as
well as wind protector for the surrounding agricultural land.
The study was conducted in Parangtritis Village (Kretek Sub-district),
Srigading Village (Sanden Sub-district), and Poncosari Village (Srandakan Subdistrict). The study involved 354 respondents consisted of tourists, communities,
farmers, and shrimp farmers. The general objective of the study was to analyze the
benefit and externality that may result from the conversion of sand dune into shrimp
farming, while the specific objectives namely to estimate the ratio of benefit value
between sand dune in its existing state and after it is converted into shrimp farming,
to estimate the potential externality that may result from shrimp farming, to estimate
the amount of willingness to pay (WTP) for the community concerning the
existence value of sand dune, and to formulate policy of sand dune sustainable
management. The methods of analysis used were total economic value, income
analysis, change of productivity, replacement cost, contingent valuation method,
and qualitative descriptive analysis.
The results showed that the total benefit value of sand dune reached
Rp124,368,658/ha/year. The value was accumulation of benefit as tourist
destination (Rp77,639,361/ha/year), firewood (Rp2,164,898/ha/year), and poultry
feed producing area (Rp3,844,284/ha/year), natural retaining wall for abrasion
(24,279,070/ha/year), and wind barrier (Rp16.441.043/ha/year). Total benefit value
derived from the shrimp farming in sand dune area amounted to
Rp99,501,439/ha/year. The comparison showed that the benefit value of the
existing sand dune was 25% higher. Shrimp farming is potential to create
externality for the shrimp pond owners. Accumulation of pollution can lead to a
decrease in productivity of about 42%. In addition, shrimp farming also potentially
generated externality for society due to salt water intrusion with possible value of
loss reached Rp52,000/household/month. Furthermore, the average value of WTP
of existence sand dune was Rp8,271; thus, the amount of non-use value of existing
sand dune reached Rp229,073,616/year. WTP is significantly influenced by the
value of the bid, the amount of income, education level, and number of dependents.
In this study, the alternative management scheme of sand dune can be done through
regulation of shrimp culture management, establishment of an institution, and
formulating clear framework on sand dune management.
Keywords: sand dunes, shrimp pond, economic value, economic valuation,
externality
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS EKONOMI GUMUK PASIR
DI DESA PARANGTRITIS KABUPATEN BANTUL,
PROPINSI YOGYAKARTA
KHUSNUL KHATIMAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Meti Ekayani, SHut, MSc
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini
yakni dengan judul “Analisis Ekonomi Gumuk Pasir di Desa Parangtritis,
Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta”.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir.
Yusman Syaukat, M.Ec dan Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Dr. Meti Ekayani, S.Hut,
M.Sc dan Dr. Fifi Diana Thamrin, S.P, M.Si selaku penguji pada ujian tesis atas
saran dan masukan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak, Ibu, Kakak, Adek, Tante, calon suami, dan seluruh keluarga besar
atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Terakhir penulis
sampaikan terima kasih atas segala doa, motivasi, dan dukungannya kepada Teh
Sofi, Rere, Rany, Amalia, Ghisna, Song family, Nthung family, Roma squad, rekanrekan Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dan seluruh sahabat
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Khusnul Khatimah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
1
1
3
5
6
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekonomi Konversi Gumuk Pasir
Konsep Nilai Sumberdaya
Teknik Valuasi Ekonomi
Analisis Pendapatan
Eksternalitas Potensial Budidaya Udang
Penelitian Terdahulu yang Relevan
7
7
7
9
12
14
16
3 KERANGKA PENELITIAN
17
4 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Analisis Data
19
19
19
20
20
5 DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Keadaan Wilayah
Kependudukan
Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian
Sektor Pertanian
Karakteristik Responden
Gambaran Umum Budidaya Tambak Udang
30
30
30
31
33
36
42
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Manfaat Gumuk Pasir
Nilai Manfaat Budidaya Tambak Udang
Perbandingan Nilai Manfaat Gumuk Pasir Dan Budidaya Tambak Udang
Eksternalitas Potensial Budidaya Tambak Udang
Estimasi Existence Value Gumuk Pasir
Kebijakan Pengelolaan Gumuk Pasir yang Berkelanjutan
45
45
59
67
69
78
82
7 SIMPULAN DAN SARAN
86
Simpulan
Saran
86
87
DAFTAR PUSTAKA
87
LAMPIRAN
92
RIWAYAT HIDUP
109
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan konversi
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Komposisi penduduk berdasarkan usia di Desa Parangtritis tahun 2015
Komposisi penduduk berdasarkan tingkat lulusan pendidikan di Desa
Parangtritis tahun 2015
Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Parangtritis
tahun 2015
Luasan dan produksi hasil tanaman bahan makanan Desa Parangtritis
tahun 2015
Luasan dan produksi hasil perkebunan Desa Parangtritis tahun 2015
Luasan dan produksi hasil perikanan Desa Parangtritis tahun 2015
Jumlah hewan peternakan Desa Parangtritis tahun 2015
Luasan lahan perkebunan Desa Parangtritis tahun 2015
Karakteristik responden nilai manfaat pariwisata, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat kayu bakar, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat pakan ternak, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat penahan abrasi pantai, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat wind barrier, 2016
Karakteristik responden petambak udang vannamei, 2016
Karakteristik responden konsumsi air di kawasan gumuk pasir, 2016
Karakteristik responden willingness to pay gumuk pasir, 2016
Frekuensi kunjungan wisatawan ke gumuk pasir Parangtritis, 2016
Estimasi nilai manfaat wisata gumuk pasir Parangtritis, 2016
Faktor-faktor penentu jumlah kunjungan wisatawan ke gumuk pasir
Parangtritis, 2016
Estimasi nilai manfaat hasil kayu bakar gumuk pasir Parangtritis,2016
Estimasi nilai manfaat hasil pakan ternak gumuk pasir Parangtritis,2016
Estimasi nilai manfaat penahan abrasi pantai gumuk pasir Parangtritis,
2016
Estimasi nilai manfaat wind barrier gumuk pasir Parangtritis, 2016
Estimasi total nilai manfaat gumuk pasir Parangtritis, 2016
Komponen biaya investasi budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Komponen biaya non tunai budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Komponen biaya tunai budidaya udang di gumuk pasir dengan luas lahan
1 ha, 2016
Komponen penerimaan budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Komponen pendapatan budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Perbandingan nilai manfaat gumuk pasir Parangtritis kondisi eksisting
dengan budidaya tambak udang, 2016
Perubahan produktivitas sebelum dan sesudah pencemaran budidaya
tambak di Desa Poncosari dengan luas lahan 1 ha, 2016
2
20
31
32
32
33
34
34
35
35
36
37
37
38
38
39
41
41
47
49
50
51
52
54
56
57
60
61
63
66
67
68
71
34 Konsumsi air bersih skala RT pada masyarakat di kawasan gumuk pasir,
Desa Parangtritis, 2016
35 Perhitungan biaya pengganti air bersih skala RT pada masyarakat di
kawasan gumuk pasir, Desa Parangtritis, 2016
36 Faktor penentu WTP existence value gumuk pasir Parangtritis, 2016
76
77
80
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Grafik Produksi Udang Vannamei Kabupaten Bantul
Proses terjadinya intrusi air laut di pesisir
Alur kerangka pemikiran analisis ekonomi gumuk pasir Parangtritis
Peta Lokasi Penelitian
Persentase jumlah penduduk Desa Parangtritis menurut jenis kelamin
Karakteristik responden petambak menurut kepemilikan jumlah kolam
Karakteristik responden petambak menurut lama berdirinya tambak
Diagram fishbone pengelolaan gumuk pasir Parangtritis
Proporsi motivasi kunjungan responden wisatawan ke gumuk pasir
Parangtritis
Proporsi nilai manfaat eksisting gumuk pasir Parangtritis
Proporsi tindakan penanggulangan akibat perubahan produktivitas
Persepsi responden terhadap eksternalitas budidaya udang
Struktur elisitasi model single-bounded DC-CVM
Pola pengelolaan gumuk pasir Parangtritis secara berkelanjutan
3
16
18
19
31
40
40
46
48
58
72
75
79
83
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Hasil output analisis regresi linier berganda
Biaya investasi budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Biaya tunai budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Biaya non tunai budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Penerimaan budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Perhitungan pendapatan budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Konsumsi air bersih di Dusun Depok, Desa Parangtritis, 2016
Hasil output analisis regresi logistik
Peraturan daerah mengenai kawasan gumuk pasir Parangtritis
93
96
97
98
99
100
101
103
105
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selain menyediakan barang dan jasa, kawasan pesisir menjadi tulang
punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat. Di
Indonesia, kawasan pesisir telah dimanfaatkan sebagai kawasan wisata dan
memiliki fungsi lain seperti penggunaan untuk pemukiman, pertanian, perikanan,
pelabuhan, dan lain-lain (Dahuri et al. 1996). Oleh karena itu, kawasan pesisir
mudah terkena dampak akibat aktivitas manusia dalam upaya membangun
perekonomian. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mendorong
pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, akan tetapi saat ini muncul
kecenderungan meningkatnya aktivitas pemanfaatan yang mengancam kelestarian
sumberdaya pesisir (Tuwo 2011).
Salah satu daerah Indonesia yang memiliki kawasan pesisir yakni Kabupaten
Bantul. Kawasan pesisir terbentang dari Kecamatan Srandakan, Sanden, dan Kretek
dengan luas sebesar 6.446 ha (78% dari total luas lahan pesisir DIY) (BPS
Kabupaten Bantul 2014). Kawasan pesisir tersebut memiliki fenomena alam unik
yakni lahan pesisir yang berupa gumuk pasir (sand dunes). Lokasi gumuk pasir
tepatnya berada di pesisir Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, oleh karenanya
disebut sebagai gumuk pasir Parangtritis. Gumuk pasir adalah bentukan alam
seperti gundukan-gundukan pasir yang menyerupai bukit (BLH DIY 2013). Gumuk
pasir Parangtritis termasuk fenomena yang unik dikarenakan faktor
pembentukannya. Gumuk pasir biasanya hanya dapat terbentuk di daerah yang
beriklim tropis kering, namun di pesisir Kabupaten Bantul yang beriklim tropis
basah gumuk pasir dapat terbentuk dengan baik. Pembentukan gumuk pasir tersebut
termasuk jarang terjadi di dunia, bahkan merupakan satu-satunya di Asia Tenggara
(Suryanti et al. 2009). Menurut Sunarto (2014), gumuk pasir dapat terbentuk
dikarenakan adanya faktor angin yang membawa material pasir ke daerah pesisir.
Selain angin, pembentukkan gumuk pasir juga dipengaruhi oleh sinar matahari,
vegetasi, dan bentang alamnya.
Berdasarkan hasil wawancara pra-survei dengan dinas terkait, pada tahun
2015 Badan Informasi Geospasial (BIG) melakukan pemetaan terhadap kawasan
gumuk pasir dan membaginya menjadi tiga zonasi, yakni zona penyangga, zona
penunjang, dan zona inti. Zona penyangga memiliki luas sebesar 95,3 ha dan zona
penunjang seluas 176,4 ha. Zona penyangga dan penunjang merupakan kawasan
gumuk pasir yang tidak aktif. Zona tersebut pemanfaatannya dapat digunakan
sebagai pemukiman kepadatan sedang, fasilitas umum, hutan pantai, pertanian,
maupun Perdagangan. Selanjutnya, zona inti merupakan kawasan gumuk pasir
yang masih aktif di mana dapat terbentuk gumuk pasir yang baru. Selain itu, gumuk
pasir inti juga memiliki bentuk unik yakni seperti bulan sabit (tipe barchan).
Berdasarkan RTRW Kabupaten Bantul, zona inti gumuk pasir merupakan ‘kawasan
lindung geologi’ yang diperuntukkan sebagai tempat pengembangan ilmu
pengetahuan dan penelitian dengan luasan sekitar 62 ha. Keberadaan zona inti
seharusnya bebas dari peruntukan bangunan karena jika terdapat bangunan maka
dapat mengurangi luasan dan mempengaruhi pembentukan gumuk pasir yang baru.
2
Keberadaan gumuk pasir Parangtritis saat ini telah terdesak oleh kebutuhan
ekonomi masyarakat yang kurang sadar mengenai pentingnya manfaat gumuk pasir
terhadap kehidupan mereka. Menurut Saraswati (2004), kawasan gumuk pasir telah
mengalami berbagai tekanan di mana dalam pengelolaannya sering kali
bertentangan antara kegiatan ekonomi dengan kepentingan konservasi. Pada tahun
2013, masyarakat yang menganggap gumuk pasir sebagai lahan yang tidak
produktif mulai melakukan upaya konversi menjadi lahan pertambakan udang.
Pada mulanya, kegiatan konversi dilakukan oleh sekelompok masyarakat Desa
Parangtritis, kemudian sejak saat itu lahan tambak udang semakin meluas hingga
pada bulan Desember 2014 luasnya mencapai 6,30 ha (DKP Kabupaten Bantul
2015). Kegiatan konversi tersebut berdampak serius terhadap keberadaan gumuk
pasir. Padahal selama ini gumuk pasir telah memberikan manfaat bagi masyarakat.
Secara lebih rinci, berikut ini pemanfaatan gumuk pasir Parangtritis dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan konversi
No.
1.
Komponen
Manfaat
(benefit)
2.
Biaya
(cost)
Eksisting
Direct use value :
a. Pariwisata
b. Hasil kayu bakar
c. Hasil pakan ternak
Indirect use value :
a. Penahan abrasi
b. Wind barrier bagi
lahan pertanian
−
Konversi
Hasil produksi komoditas
udang vannamei
Biaya investasi dan biaya
operasional tambak udang
Pada kondisi eksisting, kawasan gumuk pasir memberikan manfaat langsung
(direct use) dan manfaat tidak langsung (indirect use) bagi masyarakat setempat.
Pembentukan gumuk pasir telah berlangsung sejak lama, namun pemanfaatannya
sebagai wisata geo-heritage oleh Pemda Kabupaten Bantul baru dimulai pada awal
tahun 2014 sehingga pada umumnya masyarakat Indonesia belum mengetahui
tentang potensi wisata di kawasan tersebut. Kawasan gumuk pasir juga terdapat
sumberdaya berupa kayu dan dedaunan yang dapat dijadikan sebagai pakan
tambahan ternak. Sebagian masyarakat menggunakan hasil kayu sebagai bahan
bakar sehari-hari. Selain memberikan manfaat ekonomi, gumuk pasir memiliki
fungsi ekologi seperti penahan abrasi pantai dan menjadi pelindung angin laut
(wind barrier) bagi lahan pertanian yang berada di sekitarnya. Menurut BPBD
Kabupaten Bantul (2014), wilayah pesisir Kabupaten Bantul hampir setiap tahun
mengalami bencana abrasi pantai. Bahkan pada tahun 2013, bencana abrasi pantai
terjadi di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dan telah
menimbulkan kerugian materi yang berupa kerusakan bangunan milik masyarakat.
Oleh sebab itu, Pemda Kabupaten Bantul mencanangkan program penanaman
pohon cemara udang untuk wilayah pesisir yang tidak memiliki gumuk pasir
sebagai pelindung daratan dari ancaman pengikisan gelombang laut. Berbeda
dengan kawasan gumuk pasir yang dikonversi menjadi lahan budidaya udang di
mana dapat memberikan manfaat berupa hasil produksi udang vannamei.
Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dapat dirasakan manfaatnya oleh
3
masyarakat secara luas, berbeda dengan jika dikonversi menjadi lahan budidaya
udang maka hanya sebagian kecil masyarakat (pelaku kegiatan konversi) yang
dapat merasakan pemanfaatan tersebut.
Berdasarkan Perda Kabupaten Bantul No. 04 Tahun 2011 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2010 − 2030 yakni Pasal 65 Ayat 4, kawasan
gumuk pasir merupakan kawasan strategis lindung yang berfungsi untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian, sehingga kegiatan konversi hanya
dapat diperbolehkan jika berkaitan dengan kepentingan konservasi. Selain
mengestimasi nilai manfaat dan eksternalitas, penelitian ini juga mengestimasi
seberapa besar kemampuan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) aspek
keberadaan (existence) gumuk pasir Parangtritis. Nilai tersebut penting untuk
dihitung mengingat gumuk pasir Parangtritis merupakan fenomena alam unik yang
satu-satunya terdapat di Asia Tenggara dan memiliki manfaat bagi masyarakat
sehingga keberadaannya penting untuk tetap ada di Kabupaten Bantul. Selanjutnya,
jika tidak ada keberlanjutan dan ketegasan dari pemerintah setempat, maka
pembukaan lahan tambak baru mungkin akan terjadi kembali di kawasan gumuk
pasir. Penelitian ini menjadi penting mengingat konflik pemanfaatan gumuk pasir
antara para petambak, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karenanya, hasil
penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah Kabupaten Bantul untuk
merumuskan alternatif keberlanjutan kebijakan terkait pengelolaan gumuk pasir
Parangtritis agar dapat bermanfaat secara berkelanjutan bagi semua pihak.
Perumusan Masalah
Pada awalnya tambak udang hanya dibudidayakan di Kecamatan Srandakan
dan Kecamatan Sanden, di mana sebagian telah memiliki izin dari Pemda
Kabupaten Bantul, namun terdapat pula beberapa tambak yang belum memiliki
perizinan. Berdasarkan pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa hasil produksi udang
vannamei Kabupaten Bantul mencapai 462 ton pada tahun 2011. Produksi udang
terus mengalami peningkatan setiap tahun hingga pada tahun 2014 mencapai titik
produksi tertinggi di Kabupaten Bantul yakni sebesar 925 ton atau meningkat
sebesar 60% jika dibandingkan dengan tahun 2013. Meskipun demikian,
peningkatan tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 2015 terjadi penurunan
produksi udang hingga jumlah produksinya menjadi 651 ton (DKP Kabupaten
Bantul 2015). Secara lebih rinci, produksi udang vannamei Kabupaten Bantul pada
tahun 2011 – 2015 dapat dilihat pada Gambar 1.
Produksi Udang Vannamei
925.418
Produksi (kg)
1.000.000
500.000
650.602
504.598 579.218
461.954
0
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Gambar 1 Grafik Produksi Udang Vannamei Kabupaten Bantul
4
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bantul, penurunan
produksi udang vannamei pada tahun 2015 (Gambar 1) disebabkan karena sebagian
tambak udang yang mengalami gagal panen di Kecamatan Srandakan. Kegagalan
panen udang terjadi diakibatkan udang terkena serangan penyakit kotoran putih
(White Feses Desease). Menurut Samboon et al. (2012) penyakit tersebut
disebabkan oleh infeksi bakteri Vibrio spp. Penyakit yang menyerang udang
merupakan dampak dari pengelolaan limbah yang kurang tepat di mana limbah
langsung dibuang ke perairan laut. Padahal, kebutuhan tambak terhadap air asin
diperoleh dari perairan laut. Jika perairan laut sudah tercemar maka dapat
menurunkan kualitas air tambak dan pada kondisi tersebut mendukung
pertumbuhan bakteri Vibrio spp. Oleh sebab itu, dalam jangka waktu tertentu
pencemaran limbah tambak akan menurunkan produktivitas tambak udang tersebut
(Wulandari et al. 2015).
Pada tahun 2013–2014 (Gambar 1), peningkatan produksi udang vannamei di
Kabupaten Bantul tidak terlepas dari adanya perluasan areal lahan tambak di
kawasan gumuk pasir Parangtritis Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek. Awalnya,
pembukaan tambak dibangun di gumuk pasir (zona inti) pada tahun 2013 oleh
sekelompok masyarakat dengan luas sekitar 1 ha. Menurut Widodo (2003), gumuk
pasir yang tidak produktif secara langsung terhadap perekonomian menjadi faktor
pendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan konversi. Sejak budidaya tambak
tersebut mulai beroperasi, keberadaannya memicu masyarakat lain untuk membuka
lahan tambak baru di kawasan gumuk pasir. Akibatnya, lahan tambak mulai banyak
dibangun pada tahun 2014 hingga pada tahun 2016 luasnya mencapai 6,30 (DKP
Kabupaten Bantul 2015). Meskipun demikian, tambak udang tersebut ternyata tidak
memiliki izin dari Pemda Kabupaten Bantul, disebabkan karena kawasan gumuk
pasir (zona inti) merupakan kawasan lindung sehingga tidak diperbolehkan untuk
kegiatan ekonomi kecuali untuk kepentingan konservasi.
Pengembangan tambak udang di gumuk pasir telah berlangsung sekitar dua
tahun, akan tetapi eksternalitas yang ditimbulkan belum terjadi secara signifikan.
Namun, apabila dilihat dalam jangka waktu tertentu, tambak udang berpotensi
menimbulkan eksternalitas bagi petambak maupun masyarakat. Menurut Kabid
Pengendalian Kerusakan dan Konservasi Lingkungan Kabupaten Bantul, Sunarso
mengungkapkan eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan tambak berasal dari
air limbahnya. Limbah tersebut ternyata dibuang langsung ke perairan laut melalui
pipa-pipa pembuangan yang berada di dalam gumuk pasir. Jika kadar limbah di
perairan tinggi maka akan menimbulkan pencemaran, sehingga dapat menurunkan
kualitas lingkungan pesisir dan laut sebagai penerima limbah tambak (Hein 2000).
Limbah utama dari kegiatan tambak adalah berasal dari sisa pakan udang
yang tidak termakan, bekas kulit karapas (molting), hasil ekskresi udang, dan
bangkai udang yang mengendap di dasar tambak. Menurut Barg (1992), semakin
tingginya kandungan amonia (NH3) dan nitrit (NO2) pada limbah tambak maka
kadar oksigen terlarut di dalam air semakin sedikit. Selanjutnya, dalam jangka
waktu tertentu dapat mempengaruhi kualitas lingkungan tambak, karena saat proses
budidaya tambak membutuhkan air asin yang berasal dari laut. Oleh sebab itu, jika
air laut sudah tercemar maka secara langsung dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan udang. Apabila udang sudah tidak dapat mentolerir kadar amonia dan
nitrit, karena kadarnya yang terlalu tinggi maka dapat menimbulkan kematian
massal udang seperti yang telah terjadi di Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan.
5
Selain menimbulkan eksternalitas bagi petambak, budidaya udang juga dapat
menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat yang memanfaatkan air tanah.
Kebutuhan air tawar, baik petambak maupun masyarakat diperoleh dari kegiatan
pengeboran gumuk pasir. Padahal, ketersediaan volume air tanah di gumuk pasir
jumlahnya terbatas. Jika terjadi pengambilan air tanah yang berlebihan (over
exploitation) maka dapat menyebabkan penurunan permukaan air tanah tawar,
sehingga akuifer air tawar dapat tercampur dengan air asin (Garno 2004). Oleh
karena itu, budidaya tambak di gumuk pasir potensial menyebabkan intrusi air laut.
Kegiatan konversi gumuk pasir memang memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat yang mengkonversinya. Namun di sisi lain, jika gumuk pasir dibiarkan
dalam kondisi eksisting dapat memberikan manfaat yang penting bagi semua pihak.
Gumuk pasir yang dialihfungsikan akan menghilangkan manfaat tersebut, bahkan
selain merusak alam, konversi akan menimbulkan eksternalitas yang berakibat bagi
petambak maupun masyarakat. Pada penelitian ini, estimasi terhadap nilai manfaat
dan eksternalitas konversi gumuk pasir menjadi tambak udang diperlukan untuk
memberikan rekomendasi bagi Pemda Kabupaten Bantul mengenai keberlanjutan
kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis di Desa Parangtritis, Kecamatan
Kretek, Kabupaten Bantul.
Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana perbandingan antara nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi
eksisting dan jika dikonversi menjadi lahan pertambakan udang?
2. Bagaimana nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi
gumuk pasir menjadi lahan pertambakan udang?
3. Berapa besarnya willingness to pay masyarakat terhadap existence value gumuk
pasir Parangtritis?
4. Bagaimana rekomendasi kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis yang
berkelanjutan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan
umum penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai manfaat gumuk pasir dalam
kondisi eksisting dan eksternalitas potensial budidaya udang di Desa Parangtritis,
Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Secara lebih terinci, penelitian ini memiliki
tujuan khusus yakni untuk :
1. Mengestimasi perbandingan nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting
dan jika dikonversi menjadi lahan pertambakan udang.
2. Mengestimasi nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi
gumuk pasir menjadi lahan pertambakan udang.
3. Mengestimasi besarnya willingness to pay masyarakat terhadap existence value
gumuk pasir Parangtritis.
4. Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis yang
berkelanjutan.
6
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang ekonomi
konversi gumuk pasir menjadi budidaya tambak udang di Desa Parangtritis,
Kecamatan Kretek. Informasi dari penelitian ini dapat digunakan oleh:
1. Akademisi dan peneliti, sebagai referensi untuk melakukan penelitian
selanjutnya terkait dengan bab penelitian ini.
2. Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai referensi dan bahan informasi dalam
merumuskan keberlanjutan kebijakan mengenai upaya pemanfaatan dan
pengelolaan gumuk pasir Parangtritis di Desa Parangtritis Kecamatan Kretek.
3. Masyarakat luas, sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan
mengenai analisis ekonomi konversi gumuk pasir menjadi budidaya tambak
udang.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian ini menganalisis nilai manfaat dan eksternalitas konversi gumuk
pasir menjadi budidaya tambak udang vannamei di Desa Parangtritis, Kecamatan
Kretek, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Objek yang diteliti adalah gumuk pasir
Parangtritis (zona inti) dengan luas 62 ha dan tambak udang vannamei dengan luas
6,30 ha pada tahun 2016. Beberapa alat analisis yang digunakan yaitu teknik valuasi
ekonomi, analisis pendapatan, change of productivity (CoP), biaya pengganti
(replacement cost), dan contingent valuation method (CVM). Terdapat beberapa
batasan pada penelitian ini, yakni sebagai berikut :
1. Nilai manfaat gumuk pasir yang dibandingkan dengan budidaya tambak udang
adalah penjumlahan dari nilai manfaat langsung (direct use value) dan nilai
manfaat tidak langsung (indirect use value) gumuk pasir.
2. Nilai manfaat langsung yang diestimasi adalah nilai manfaat dari pariwisata,
hasil kayu bakar dan pakan ternak bagi masyarakat sekitar.
3. Nilai manfaat tidak langsung yang diestimasi adalah nilai manfaat sebagai
penahan abrasi pantai dan pelindung angin (wind barrier) bagi lahan pertanian
di sekitarnya.
4. Nilai eksternalitas potensial konversi gumuk pasir menjadi tambak udang hanya
diestimasi pada potensi penurunan produktivitas tambak udang dan intrusi air
laut pada sumber air tanah masyarakat di kawasan gumuk pasir.
5. Dalam penelitian ini, terdapat lima jenis responden, yaitu :
a. Responden yang terlibat langsung dalam pemanfaatan gumuk pasir.
b. Responden petambak udang vannamei yang berada di gumuk pasir Desa
Parangtritis, Kecamatan Kretak.
c. Responden rumah tangga, yakni masyarakat Desa Parangtritis Kecamatan
Kretek.
d. Responden petambak udang vannamei non aktif di Desa Poncosari
Kecamatan Srandakan.
e. Responden petani lahan pasir di Desa Srigading Kecamatan Sanden.
6. Responden memiliki pengetahuan dan persepsi yang sama mengenai manfaat
gumuk pasir.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekonomi Konversi Gumuk Pasir
Salah satu fenomena dalam pemanfaatan lahan yakni adanya perubahan
penggunaan atau konversi lahan. Konversi lahan juga dapat terjadi di kawasan
pesisir. Kawasan pesisir potensial dijadikan sebagai sumber penghasilan
masyarakat pesisir sehingga muncul kecenderungan untuk melakukan kegiatan
konversi menjadi lahan pertambakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Sihaloho (2004), kegiatan konversi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni
(1) pertumbuhan penduduk, dikarenakan semakin tinggi jumlah populasi maka
kebutuhan lahan juga semakin meningkat, (2) keterdesakan ekonomi, di mana
mendorong motivasi seseorang untuk mengubah penggunaan lahan agar dapat
meningkatkan pendapatan, (3) faktor luar, misalnya intervensi dari pihak luar agar
masyarakat melakukan konversi lahan.
Lahan merupakan salah satu dari tiga faktor utama produksi pada ekonomi
klasik yakni selain tenaga kerja dan modal. Selain itu, lahan merupakan input utama
dalam memproduksi makanan dan menyediakan tempat tinggal. Sama halnya
dengan lahan pesisir. Penggunaan lahan pesisir merupakan tulang punggung
perekonomian bagi masyarakat pesisir. Konversi lahan pesisir sebenarnya juga
diperlukan dan merupakan hal penting dalam pembangunan ekonomi serta
kemajuan sosial. Konversi lahan pesisir memang dapat memberikan dampak positif
terhadap ekonomi dan sosial, namun dapat pula memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan pesisir jika dalam kegiatannya tidak mempertimbangkan
aspek lingkungan (Wujunjie 2008).
Menurut Tuwo (2011) berbagai masalah lingkungan yang terjadi pada
kawasan pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
pembangunan yang dilakukan di lahan pesisir. Konversi lahan pesisir untuk
kegiatan perikanan, pertanian, dan pemukiman telah menggeser keberadaan
lingkungan pesisir. Kawasan pesisir merupakan lahan yang paling rentan terhadap
alih fungsi menjadi budidaya tambak. Terbatasnya lahan pesisir memaksa manusia
untuk membangun lahan tambak di wilayah yang berada sangat dekat dengan laut,
karena kebutuhan air laut yang lebih mudah dijangkau. Perubahan penggunaan
lahan pesisir tersebut juga menjadi masalah di wilayah pesisir Pantai Parangkusumo
yakni di kawasan gumuk pasir. Peningkatan jumlah penduduk, harga, dan
kebutuhan ekonomi yang terjadi, namun ketersediaan lahan yang terbatas
mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan perekonomian cenderung terus
meningkat. Lahan pesisir yang tidak produktif secara ekonomi menyebabkan
tingginya kecenderungan untuk melakukan alih fungsi lahan sehingga dapat
memicu kegiatan yang sama oleh masyarakat lainnya.
Konsep Nilai Sumberdaya
Selain menghasilkan suatu barang yang dapat dikonsumsi, sumberdaya alam
juga menghasilkan jasa lingkungan yang memberikan manfaat bagi manusia.
Oleh karenanya, berdasarkan Fauzi (2006) sumberdaya alam dan lingkungan
(SDAL) yang menghasilkan output baik berupa barang maupun jasa perlu untuk
8
diberikan nilai/harga (price tag) agar dapat diketahui nilai manfaat secara ekonomi
dan aset sumberdaya tersebut dapat dievaluasi secara lebih jelas. Jika barang
tersebut dapat dijual di pasar, pengukuran dapat mudah dilakukan yakni dengan
melihat harga pasar barang tersebut. Lain halnya dengan barang atau jasa ekologi
yang tidak ditemukan di pasar maka akan sulit untuk mengukurnya karena
membutuhkan teknik penilaian yang kompleks.
Jantzen (2006) menyebutkan mengenai alasan pentingnya penilaian moneter
terhadap manfaat SDAL, yakni sebagai berikut :
a. Teknik penilaian SDAL dapat memberikan bukti riil yang dapat dipergunakan
untuk mendukung kebijakan konservasi ekosistem dengan mengukur nilai
ekonomi yang terkait dengan perlindungan SDAL.
b. Pengukuran nilai ekonomi SDAL merupakan langkah fundamental dalam
melestarikan SDAL karena potensi degradasi dan deplesi sumberdaya yang
begitu besar sehingga jika dilakukan perhitungan nilai ekonominya dan
ditunjukkan secara intensif kepada masyarakat maka kerusakan sumberdaya
tersebut dapat diminimalisir dan pemanfaatannya dapat lestari untuk generasi
masa depan.
c. Dengan memberikan nilai moneter untuk SDAL, maka nilai manfaat ekonomi
yang terkait dengan sumberdaya dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi
sumberdaya alternatif lainnya.
Konsep nilai sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) sering dibedakan
antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan konsep nilai
dari aspek ekologi yang memandang bahwa sesuatu memiliki nilai terlepas dari
sesuatu tersebut dimanfaatkan atau tidak. Konsep nilai tersebut dapat dikatakan
bahwa SDAL memiliki nilai secara alamiah. Sedangkan nilai instrumental
merupakan konsep nilai dari aspek ekonomi yang menekankan pada nilai moneter
di mana sumberdaya alam dinilai berdasarkan penggunaannya. Menurut Tuwo
(2011), nilai dari ekosistem pesisir dapat berarti pentingnya sebagai tempat wisata,
pencegah abrasi pantai, pelindung gelombang laut, dan fungsi ekologis lainnya.
Nilai Manfaat Gumuk Pasir
Ekosistem gumuk pasir merupakan bagian dari potensi sumberdaya pesisir
yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan manusia. Tidak semua wilayah
pesisir berbentuk ekosistem gumuk pasir. Gumuk pasir telah memberikan manfaat
barang dan jasa bagi masyarakat pesisir. Manfaat tersebut perlu diberikan harga
atau nilai moneter untuk mengestimasi nilai manfaat ekonomi gumuk pasir jika
dalam kondisi eksisting.
Berdasarkan RTRW Kabupaten Bantul, kawasan pesisir selatan dijadikan
sebagai kawasan wisata termasuk gumuk pasir. Gumuk pasir dapat dikembangkan
sebagai kawasan wisata pendidikan maupun penelitian berbasis keunikan morfologi
gumuk pasir. Suryanti et al. (2009) mengatakan saat ini gumuk pasir telah
dimanfaatkan sebagai tempat penelitian khususnya oleh Fakultas Geografi UGM.
Bahkan, gumuk pasir dijadikan sebagai tempat bermain sandboarding dikarenakan
memiliki karakteristik lokasi yang memenuhi standar. Sandboarding adalah sebuah
permainan berseluncur di atas bukit pasir. Selanjutnya, menurut Desai (2000),
kawasan pesisir memiliki beberapa jenis vegetasi khas mengenai tipe dan formasi
distribusi vegetasinya, sama halnya di gumuk pasir yang terdapat vegetasi yang
9
tumbuh di sekitarnya sehingga sebagian masyarakat memanfaatkan ranting pohon
sebagai bahan bakar sehari-hari. Selain menghasilkan kayu bakar, gumuk pasir juga
menyediakan manfaat berupa beberapa tanaman yang dapat dijadikan sebagai
pakan tambahan bagi hewan ternak seperti tanaman gamal, dedaunan pohon cemara
udang, jambu mete, dan akasia yang biasanya dikonsumsi hewan ternak sebagai
pakan tambahan di samping pakan utama.
Menurut Dahuri et al. (1996), gumuk pasir merupakan sistem perlindungan
alamiah (manfaat ekologi) bagi masyarakat. Letak pantai Kabupaten Bantul yang
berada di selatan garis Khatulistiwa dan berhadapan langsung dengan Samudera
Hindia menyebabkan tingkat gelombang air laut yang cukup tinggi. Gelombang
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan pantai atau disebut dengan
abrasi/erosi pantai. Di pesisir Kabupaten Bantul, sepanjang tahun proses abrasi
terjadi sedikit demi sedikit tepatnya di wilayah pesisir yang tidak memiliki gumuk
pasir. Bahkan tahun 2013 akibat terakumulasinya proses abrasi telah menimbulkan
puluhan bangunan rusak di Desa Srigading (Kecamatan Sanden). Meskipun
demikian, kerusakan tersebut tidak terjadi di pesisir Desa Parangtritis, pesisir yang
berupa gumuk pasir dapat menahan terjadinya proses pengikisan tersebut (Freski
dan Srijono 2013).
Selain abrasi pantai, gumuk pasir juga berfungsi sebagai pelindung angin laut
(wind barrier) bagi lahan pertanian di sekitarnya. Gumuk pasir memiliki tinggi
hingga mencapai 15 meter sehingga dapat menahan tiupan angin laut yang
membawa material uap air asin. Perlindungan tersebut berpengaruh terhadap
salinitas (NaCl) lahan pertanian di mana sebagian besar membudidayakan tanaman
seperti kacang tanah dan bawang merah. Apabila lahan tersebut kadar garamnya
semakin tinggi maka akan berpengaruh terhadap pH tanah yang kemudian akan
berdampak pada pertumbuhan tanaman dan nantinya dapat menurunkan
produktivitas. Oleh karena itu untuk meminimalisir hal tersebut, petani akan
melakukan berbagai upaya pencegahan melalui penambahan biaya produksi untuk
memperbaiki kesuburan lahan agar tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan
produktivitas pertanian. Menurut FAO (2005), terdapat beberapa upaya untuk
mengendalikan tingkat salinitas lahan agar kesuburan tanah tetap terjaga
kualitasnya, yakni melalui pencucian (leaching) garam di permukaan menggunakan
air bersih, pengerukan lapisan yang ada di permukaan untuk membuang endapan
garam, penambahan gypsum dan sulfur untuk mengurangi kadar garam, maupun
pemberian pupuk kimia lainnya.
Teknik Valuasi Ekonomi
Menurut Barbier et al. (1997), pendekatan valuation dilakukan untuk
menduga kontribusi pada sisi ekonomi dari suatu ekosistem tertentu terhadap
masyarakat. Teknik valuasi ekonomi terdiri dari tiga tahap, yakni melakukan
identifikasi manfaat sumberdaya, melakukan kuantifikasi manfaat sumberdaya, dan
melakukan pilihan alternatif pengelolaan sumberdaya tersebut (Dahuri et al. 1996).
Jika manfaat sumberdaya tersebut dapat dipasarkan maka pengukuran dapat
dilakukan melalui pendekatan harga pasar (market price). Namun beda halnya
dengan komponen sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan, untuk menilai
komponen tersebut terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yakni Stated
10
Preference Method (SP) dan Revealed Preference Method (RP). Metode SP
dilakukan dengan cara menanyakan langsung atas kesanggupan membayar
seseorang terhadap skenario jasa lingkungan yang ditawarkan. Nilai kesanggupan
yang diperoleh akan mencerminkan nilai jasa lingkungan dari sumberdaya.
Sementara pendekatan RP didasarkan pada perilaku yang teramati atau terungkap
terhadap pilihan yang dilakukan dengan kata lain data aktual yang diperoleh dari
pengeluaran seseorang dapat dijadikan ukuran WTP terhadap komponen SDAL.
Dalam pendekatan RP terdapat metode yang sering digunakan, yakni Travel Cost
Method (TCM) (Fauzi 2014).
Menurut Wattage (2011), mengetahui nilai ekonomi ekosistem pesisir
merupakan hal yang penting dilakukan sebagai salah satu faktor input kebijakan
untuk merancang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem pesisir yang
berkelanjutan. Menurut Munangsihe (1993), keputusan untuk mengembangkan
suatu ekosistem dapat dibenarkan (justified) jika pengembangan ekosistem tersebut
dapat memberikan nilai manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan
nilai manfaat ekonomi suatu ekosistem jika dibiarkan dalam kondisi eksisting.
Menurut Fauzi (2014), pengukuran direct use value dapat dilakukan dengan
metode pengukuran langsung yakni melalui proksi harga pasar (market price) untuk
komoditas yang langsung dapat diperdagangkan dari ekosistem yang diteliti.
Namun, jika manfaat langsung sumberdaya tidak tersedia di pasar maka dapat
menggunakan metode pengukuran tidak langsung seperti pemanfaatan sebagai
tempat wisata yang diperoleh melalui metode biaya perjalanan (travel cost method).
Beda halnya dengan nilai guna tidak langsung di mana komponen penyusun
biasanya melibatkan jasa lingkungan yang tidak dapat dipasarkan sehingga untuk
mengukur indirect use value gumuk pasir diperoleh berdasarkan pendekatan biaya
pencegahan (prevention cost expenditure) dan back of the envelope (BoE).
Selanjutnya penelitian juga menggunakan pendekatan contingent valuastion
method yakni melalui willingness to pay (WTP) untuk memperoleh existence value
gumuk pasir Parangtritis.
Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
Metode biaya perjalanan atau Travel Cost Method (TCM) dapat digunakan
untuk pengukuran nilai ekonomi secara tidak langsung. TCM menggunakan biaya
transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai suatu sumberdaya yang
dapat dijadikan sebagai tempat wisata. Biaya perjalanan dan waktu yang
dikorbankan individu untuk menuju obyek wisata dianggap sebagai nilai
lingkungan yang dibayar oleh individu (KLH 2012). Menurut Fauzi (2014), prinsip
dasar metode TCM adalah teori permintaan konsumen di mana nilai yang diberikan
individu pada sumberdaya (atribut yang tidak dipasarkan) dapat disimpulkan dari
biaya yang dikeluarkan ke lokasi wisata yang dikunjungi.
Secara umum terdapat tiga pendekatan TCM, yakni Individual Travel Cost
Method (ITCM), Zone Travel Cost Method (ZTCM), dan Random Utility Model
(RUM). ICTM dan ZTCM adalah metode yang paling banyak digunakan karena
relatif sederhana. Metode RUM lebih sulit untuk dihitung karena memerlukan
pendekatan ekonometrika yang tidak sederhana. ITCM didasarkan pada data primer
yang diperoleh melalui survei atas pengunjung ke tempat rekreasi. Data
pengeluaran biaya perjalanan dan variabel sosial ekonomi lainnya dijadikan sebagai
variabel penjelas dari biaya perjalanan yang dikeluarkan. Beda halnya dengan
11
metode ZTCM di mana didasarkan pada data sekunder. ZTCM membagi
pengunjung dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal
pengunjung. Jumlah kunjungan tiap minggu individu di setiap zona dibagi dengan
jumlah pengunjung per tahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu
penduduk. Penggunaan ZTCM sulit untuk dilakukan di Indonesia karena kebutuhan
data sekunder yang sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu, ITCM lebih sering
digunakan untuk menilai suatu sumberdaya sebagai tempat wisata.
Pendekatan Biaya Pencegahan (Prevention Cost Expenditure)
Pendekatan biaya pencegahan (prevention cost expenditure) dapat digunakan
untuk menilai jasa lingkungan suatu sumberdaya yang tidak dapat diduga nilainya,
baik pengeluaran aktual maupun potensi pengeluaran. Melalui teknik tersebut, nilai
jasa lingkungan dihitung berdasarkan hal-hal yang dilakukan masyarakat untuk
melakukan berbagai upaya pencegahan atau pengendalian akibat kerusakan
lingkungan, seperti biaya pemeliharaan taman nasional untuk memperbaiki
penurunan kualitas air, udara, dan lain-lain. Terdapat beberapa keunggulan dari
pendekatan ini, di antaranya (KLH 2012):
a. Kebiasaan manusia untuk mempertahankan sesuatu dapat dengan mudah
diamati.
b. Pengeluaran biaya untuk pencegahan cukup mudah untuk didapatkan
informasinya karena dapat diamati melalui pasar.
Pendekatan Back of The Envelope (BoE)
Teknik back of the envelope (BoE) adalah salah satu teknik valuasi ekonomi
untuk menilai kerusakan lingkungan sebagai akibat dari berkurangnya atau
hilangnya suatu sumberdaya sehingga estimasi nilai kerusakan tersebut merupakan
proksi untuk menentukan nilai manfaat ekonomi sumberdaya. Teknik BoE
mengandalkan teknik perhitungan secara kasar berdasarkan informasi dan
komponen-komponen utama yang tersedia. BoE dapat dipergunakan untuk
melengkapi beberapa komponen valuasi ekonomi terhadap sumberdaya di mana
data sukar diperoleh sehingga metode perhitungan baku tidak tepat jika digunakan.
BoE juga dapat digunakan secara ex-ante maupun ex-post terhadap kerugian yang
dapat ditimbulkan dari sumberdaya yang telah rusak. Pada analisis ex-ante, BoE
banyak digunakan untuk menduga biaya kerusakan atau kerugian ekonomi yang
terjadi akibat kerusakan lingkungan.
Secara umum, BoE mengandalkan informasi yang telah tersedia kemudian
informasi tersebut digunakan untuk menghitung nilai perubahan atau dampak yang
terjadi pada sumberdaya. Sebagai contoh, akibat degradasi lahan maka telah
menimbulkan kerugian bagi petani di mana produktivitas mereka menurun sebesar
25%. Persentase penurunan tersebut dijadikan sebagai informasi awal yang
kemudian nilainya dikalikan dengan harga produksi per ton. Perolehan nilai
tersebut dianggap mencerminkan nilai manfaat sumberdaya lahan yang telah rusak.
Pada beberapa kasus, informasi fisik mengenai kerusakan mungkin tidak tersedia
karena dampak kerusakan akan terjadi dalam jangka panjang (seperti perubahan
iklim), maka teknik konversi dari informasi yang sudah ada dapat digunakan untuk
memperoleh besaran kerugian yang dapat terjadi (Fauzi 2014).
12
Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM)
Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode penilaian ekonomi
melalui pertanyaan kemauan membayar seseorang atau sering disebut dengan
willingness to pay (WTP). Metode tersebut digunakan untuk menentukan nilai
ekonomi non-guna (non-use value) suatu sumberdaya dalam rangka perlindungan
keanekaragaman hayati (Fauzi 2014). Metode ini memungkinkan suatu komoditas
yang tidak dapat diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya.
Dengan demikian, nilai ekonomi suatu sumberdaya publik yakni gumuk pasir dapat
diukur melalui WTP. Namun, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
teknik CVM (Hanley dan Splash 1993):
a. Pasar hipotetik harus memiliki kredibilitas dan realistik.
b. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang dan jasa
lingkungan yang dimaksudkan dan alat pembayaran untuk mereka.
c. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya ditetapkan karena responden sering
kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.
Terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam proses
pelaksanaan CVM. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias tersebut
dapat timbul jika penilaian yang diberikan overstate maupun understate dari nilai
yang sebenarnya. Sumber bias dapat ditimbulkan oleh tiga penyebab, yakni (1) Bias
informasi: nilai hasil tidak terlepas dari informasi yang diberikan kepada responden
sehingga nilai WTP individu akan bergantung pada kuantitas dan kualitas peneliti
dalam memberikan informasi. (2) Bias strategis: bias ini dapat terjadi apabila
ditemui fakta bahwa responden mungkin akan menolak memberikan tanggapan atas
pertanyaan dalam survei atau tidak mengungkapkan nilai WTP sebenarnya karena
alasan-alasan t
DI DESA PARANGTRITIS, KABUPATEN BANTUL,
PROPINSI YOGYAKARTA
KHUSNUL KHATIMAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi Gumuk
Pasir di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Khusnul Khatimah
NIM 451140011
RINGKASAN
KHUSNUL KHATIMAH. Analisis Ekonomi Gumuk Pasir di Desa
Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta. Dibimbing oleh YUSMAN
SYAUKAT dan AHYAR ISMAIL.
Gumuk pasir merupakan fenomena unik seperti gundukan pasir yang
menyerupai bukit dan hanya terdapat di Desa Parangtritis dengan luas 62 ha. Pada
tahun 2013, muncul konversi menjadi lahan tambak udang hingga saat ini luasnya
mencapai 6,3 ha. Padahal dalam kondisi eksisting, gumuk pasir dapat memberikan
nilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung bagi masyarakat setempat.
Manfaat tersebut diantaranya sebagai tempat pariwisata, penghasil kayu bakar dan
pakan ternak, penahan abrasi, serta pelindung angin bagi lahan pertanian.
Penelitian ini dilakukan di Desa Parangtritis (Kecamatan Kretek), Desa
Srigading (Kecamatan Sanden), dan Desa Poncosari (Kecamatan Srandakan).
Penelitian ini melibatkan 354 responden, terdiri dari wisatawan, masyarakat, petani,
petambak, dan stakeholder. Tujuan umum penelitian adalah menganalisis manfaat
dan eksternalitas yang dapat ditimbulkan dari konversi gumuk pasir menjadi
budidaya udang, sedangkan tujuan khusus yakni mengestimasi perbandingan nilai
manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan jika dikonversi menjadi budidaya
udang, mengestimasi eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari budidaya
udang, mengestimasi besarnya willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap
existence value gumuk pasir, dan merumuskan kebijakan pengelolaan gumuk pasir
yang berkelanjutan. Metode analisis yang digunakan yaitu total economic value,
analisis pendapatan, change of productivity, replacement cost, contingent valuation
method, dan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan total nilai manfaat gumuk pasir mencapai
Rp124.368.658/ha/tahun. Nilai tersebut merupakan akumulasi manfaat sebagai
wisata (Rp77.639.361/ha/tahun), kayu bakar (Rp2.164.898/ha/tahun), pakan ternak
(Rp3.844.284/ha/tahun), penahan abrasi (24.279.070/ha/tahun), dan pelindung
angin (Rp16.441.043/ha/tahun). Total nilai manfaat budidaya udang di kawasan
gumuk pasir, yakni Rp99.501.439/ha/tahun. Hasil perbandingan menunjukkan nilai
manfaat gumuk pasir pada kondisi eksisting lebih besar 25%. Budidaya udang
berpotensi menimbulkan eskternalitas. Akumulasi pencemaran dapat berpotensi
menyebabkan penurunan produktivitas sekitar 42%. Selain itu, budidaya udang
juga berpotensi menimbulkan eskternalitas bagi masyarakat akibat terjadinya
intrusi air asin. Nilai kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan adalah sekitar
Rp52.000/RT/bulan. Selanjutnya nilai rata-rata WTP existence value gumuk pasir
diperoleh sebesar Rp8.271 sehingga besarnya non-use value dari eksisting gumuk
pasir mencapai Rp229.073.616/tahun. Kesediaan membayar WTP dipengaruhi
secara signifikan oleh nilai bid, jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, dan jumlah
tanggungan. Dalam penelitian ini, alternatif pengelolaan gumuk pasir secara
berkelanjutan dapat dilakukan melalui kebijakan jangka pendek maupun jangka
panjang.
Kata Kunci: gumuk pasir, budidaya udang, nilai ekonomi, valuasi ekonomi,
eksternalitas
SUMMARY
KHUSNUL KHATIMAH. Economic Analysis of Sand Dunes at Parangtritis
Village, Bantul Regency, Yogyakarta Province. Supervised by YUSMAN
SYAUKAT and AHYAR ISMAIL.
Sand dune is a unique phenomenon, hill-like and is only found in Parangtritis
Village with an area of 62 ha. In 2013, there was conversion of sand dune into
shrimp pond of which covers area of 6.3 ha at present. Besides, existing sand dune
can provide benefit value to the local communities such as tourist destination,
firewood and poultry feed producing area, natural retaining wall for abrasion, as
well as wind protector for the surrounding agricultural land.
The study was conducted in Parangtritis Village (Kretek Sub-district),
Srigading Village (Sanden Sub-district), and Poncosari Village (Srandakan Subdistrict). The study involved 354 respondents consisted of tourists, communities,
farmers, and shrimp farmers. The general objective of the study was to analyze the
benefit and externality that may result from the conversion of sand dune into shrimp
farming, while the specific objectives namely to estimate the ratio of benefit value
between sand dune in its existing state and after it is converted into shrimp farming,
to estimate the potential externality that may result from shrimp farming, to estimate
the amount of willingness to pay (WTP) for the community concerning the
existence value of sand dune, and to formulate policy of sand dune sustainable
management. The methods of analysis used were total economic value, income
analysis, change of productivity, replacement cost, contingent valuation method,
and qualitative descriptive analysis.
The results showed that the total benefit value of sand dune reached
Rp124,368,658/ha/year. The value was accumulation of benefit as tourist
destination (Rp77,639,361/ha/year), firewood (Rp2,164,898/ha/year), and poultry
feed producing area (Rp3,844,284/ha/year), natural retaining wall for abrasion
(24,279,070/ha/year), and wind barrier (Rp16.441.043/ha/year). Total benefit value
derived from the shrimp farming in sand dune area amounted to
Rp99,501,439/ha/year. The comparison showed that the benefit value of the
existing sand dune was 25% higher. Shrimp farming is potential to create
externality for the shrimp pond owners. Accumulation of pollution can lead to a
decrease in productivity of about 42%. In addition, shrimp farming also potentially
generated externality for society due to salt water intrusion with possible value of
loss reached Rp52,000/household/month. Furthermore, the average value of WTP
of existence sand dune was Rp8,271; thus, the amount of non-use value of existing
sand dune reached Rp229,073,616/year. WTP is significantly influenced by the
value of the bid, the amount of income, education level, and number of dependents.
In this study, the alternative management scheme of sand dune can be done through
regulation of shrimp culture management, establishment of an institution, and
formulating clear framework on sand dune management.
Keywords: sand dunes, shrimp pond, economic value, economic valuation,
externality
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS EKONOMI GUMUK PASIR
DI DESA PARANGTRITIS KABUPATEN BANTUL,
PROPINSI YOGYAKARTA
KHUSNUL KHATIMAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Meti Ekayani, SHut, MSc
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini
yakni dengan judul “Analisis Ekonomi Gumuk Pasir di Desa Parangtritis,
Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta”.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir.
Yusman Syaukat, M.Ec dan Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Dr. Meti Ekayani, S.Hut,
M.Sc dan Dr. Fifi Diana Thamrin, S.P, M.Si selaku penguji pada ujian tesis atas
saran dan masukan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak, Ibu, Kakak, Adek, Tante, calon suami, dan seluruh keluarga besar
atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Terakhir penulis
sampaikan terima kasih atas segala doa, motivasi, dan dukungannya kepada Teh
Sofi, Rere, Rany, Amalia, Ghisna, Song family, Nthung family, Roma squad, rekanrekan Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dan seluruh sahabat
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Khusnul Khatimah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
1
1
3
5
6
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekonomi Konversi Gumuk Pasir
Konsep Nilai Sumberdaya
Teknik Valuasi Ekonomi
Analisis Pendapatan
Eksternalitas Potensial Budidaya Udang
Penelitian Terdahulu yang Relevan
7
7
7
9
12
14
16
3 KERANGKA PENELITIAN
17
4 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Analisis Data
19
19
19
20
20
5 DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Keadaan Wilayah
Kependudukan
Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian
Sektor Pertanian
Karakteristik Responden
Gambaran Umum Budidaya Tambak Udang
30
30
30
31
33
36
42
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Manfaat Gumuk Pasir
Nilai Manfaat Budidaya Tambak Udang
Perbandingan Nilai Manfaat Gumuk Pasir Dan Budidaya Tambak Udang
Eksternalitas Potensial Budidaya Tambak Udang
Estimasi Existence Value Gumuk Pasir
Kebijakan Pengelolaan Gumuk Pasir yang Berkelanjutan
45
45
59
67
69
78
82
7 SIMPULAN DAN SARAN
86
Simpulan
Saran
86
87
DAFTAR PUSTAKA
87
LAMPIRAN
92
RIWAYAT HIDUP
109
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan konversi
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Komposisi penduduk berdasarkan usia di Desa Parangtritis tahun 2015
Komposisi penduduk berdasarkan tingkat lulusan pendidikan di Desa
Parangtritis tahun 2015
Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Parangtritis
tahun 2015
Luasan dan produksi hasil tanaman bahan makanan Desa Parangtritis
tahun 2015
Luasan dan produksi hasil perkebunan Desa Parangtritis tahun 2015
Luasan dan produksi hasil perikanan Desa Parangtritis tahun 2015
Jumlah hewan peternakan Desa Parangtritis tahun 2015
Luasan lahan perkebunan Desa Parangtritis tahun 2015
Karakteristik responden nilai manfaat pariwisata, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat kayu bakar, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat pakan ternak, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat penahan abrasi pantai, 2016
Karakteristik responden nilai manfaat wind barrier, 2016
Karakteristik responden petambak udang vannamei, 2016
Karakteristik responden konsumsi air di kawasan gumuk pasir, 2016
Karakteristik responden willingness to pay gumuk pasir, 2016
Frekuensi kunjungan wisatawan ke gumuk pasir Parangtritis, 2016
Estimasi nilai manfaat wisata gumuk pasir Parangtritis, 2016
Faktor-faktor penentu jumlah kunjungan wisatawan ke gumuk pasir
Parangtritis, 2016
Estimasi nilai manfaat hasil kayu bakar gumuk pasir Parangtritis,2016
Estimasi nilai manfaat hasil pakan ternak gumuk pasir Parangtritis,2016
Estimasi nilai manfaat penahan abrasi pantai gumuk pasir Parangtritis,
2016
Estimasi nilai manfaat wind barrier gumuk pasir Parangtritis, 2016
Estimasi total nilai manfaat gumuk pasir Parangtritis, 2016
Komponen biaya investasi budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Komponen biaya non tunai budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Komponen biaya tunai budidaya udang di gumuk pasir dengan luas lahan
1 ha, 2016
Komponen penerimaan budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Komponen pendapatan budidaya udang di gumuk pasir dengan luas
lahan 1 ha, 2016
Perbandingan nilai manfaat gumuk pasir Parangtritis kondisi eksisting
dengan budidaya tambak udang, 2016
Perubahan produktivitas sebelum dan sesudah pencemaran budidaya
tambak di Desa Poncosari dengan luas lahan 1 ha, 2016
2
20
31
32
32
33
34
34
35
35
36
37
37
38
38
39
41
41
47
49
50
51
52
54
56
57
60
61
63
66
67
68
71
34 Konsumsi air bersih skala RT pada masyarakat di kawasan gumuk pasir,
Desa Parangtritis, 2016
35 Perhitungan biaya pengganti air bersih skala RT pada masyarakat di
kawasan gumuk pasir, Desa Parangtritis, 2016
36 Faktor penentu WTP existence value gumuk pasir Parangtritis, 2016
76
77
80
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Grafik Produksi Udang Vannamei Kabupaten Bantul
Proses terjadinya intrusi air laut di pesisir
Alur kerangka pemikiran analisis ekonomi gumuk pasir Parangtritis
Peta Lokasi Penelitian
Persentase jumlah penduduk Desa Parangtritis menurut jenis kelamin
Karakteristik responden petambak menurut kepemilikan jumlah kolam
Karakteristik responden petambak menurut lama berdirinya tambak
Diagram fishbone pengelolaan gumuk pasir Parangtritis
Proporsi motivasi kunjungan responden wisatawan ke gumuk pasir
Parangtritis
Proporsi nilai manfaat eksisting gumuk pasir Parangtritis
Proporsi tindakan penanggulangan akibat perubahan produktivitas
Persepsi responden terhadap eksternalitas budidaya udang
Struktur elisitasi model single-bounded DC-CVM
Pola pengelolaan gumuk pasir Parangtritis secara berkelanjutan
3
16
18
19
31
40
40
46
48
58
72
75
79
83
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Hasil output analisis regresi linier berganda
Biaya investasi budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Biaya tunai budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Biaya non tunai budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Penerimaan budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Perhitungan pendapatan budidaya udang di kawasan gumuk pasir
Konsumsi air bersih di Dusun Depok, Desa Parangtritis, 2016
Hasil output analisis regresi logistik
Peraturan daerah mengenai kawasan gumuk pasir Parangtritis
93
96
97
98
99
100
101
103
105
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selain menyediakan barang dan jasa, kawasan pesisir menjadi tulang
punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat. Di
Indonesia, kawasan pesisir telah dimanfaatkan sebagai kawasan wisata dan
memiliki fungsi lain seperti penggunaan untuk pemukiman, pertanian, perikanan,
pelabuhan, dan lain-lain (Dahuri et al. 1996). Oleh karena itu, kawasan pesisir
mudah terkena dampak akibat aktivitas manusia dalam upaya membangun
perekonomian. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mendorong
pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, akan tetapi saat ini muncul
kecenderungan meningkatnya aktivitas pemanfaatan yang mengancam kelestarian
sumberdaya pesisir (Tuwo 2011).
Salah satu daerah Indonesia yang memiliki kawasan pesisir yakni Kabupaten
Bantul. Kawasan pesisir terbentang dari Kecamatan Srandakan, Sanden, dan Kretek
dengan luas sebesar 6.446 ha (78% dari total luas lahan pesisir DIY) (BPS
Kabupaten Bantul 2014). Kawasan pesisir tersebut memiliki fenomena alam unik
yakni lahan pesisir yang berupa gumuk pasir (sand dunes). Lokasi gumuk pasir
tepatnya berada di pesisir Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, oleh karenanya
disebut sebagai gumuk pasir Parangtritis. Gumuk pasir adalah bentukan alam
seperti gundukan-gundukan pasir yang menyerupai bukit (BLH DIY 2013). Gumuk
pasir Parangtritis termasuk fenomena yang unik dikarenakan faktor
pembentukannya. Gumuk pasir biasanya hanya dapat terbentuk di daerah yang
beriklim tropis kering, namun di pesisir Kabupaten Bantul yang beriklim tropis
basah gumuk pasir dapat terbentuk dengan baik. Pembentukan gumuk pasir tersebut
termasuk jarang terjadi di dunia, bahkan merupakan satu-satunya di Asia Tenggara
(Suryanti et al. 2009). Menurut Sunarto (2014), gumuk pasir dapat terbentuk
dikarenakan adanya faktor angin yang membawa material pasir ke daerah pesisir.
Selain angin, pembentukkan gumuk pasir juga dipengaruhi oleh sinar matahari,
vegetasi, dan bentang alamnya.
Berdasarkan hasil wawancara pra-survei dengan dinas terkait, pada tahun
2015 Badan Informasi Geospasial (BIG) melakukan pemetaan terhadap kawasan
gumuk pasir dan membaginya menjadi tiga zonasi, yakni zona penyangga, zona
penunjang, dan zona inti. Zona penyangga memiliki luas sebesar 95,3 ha dan zona
penunjang seluas 176,4 ha. Zona penyangga dan penunjang merupakan kawasan
gumuk pasir yang tidak aktif. Zona tersebut pemanfaatannya dapat digunakan
sebagai pemukiman kepadatan sedang, fasilitas umum, hutan pantai, pertanian,
maupun Perdagangan. Selanjutnya, zona inti merupakan kawasan gumuk pasir
yang masih aktif di mana dapat terbentuk gumuk pasir yang baru. Selain itu, gumuk
pasir inti juga memiliki bentuk unik yakni seperti bulan sabit (tipe barchan).
Berdasarkan RTRW Kabupaten Bantul, zona inti gumuk pasir merupakan ‘kawasan
lindung geologi’ yang diperuntukkan sebagai tempat pengembangan ilmu
pengetahuan dan penelitian dengan luasan sekitar 62 ha. Keberadaan zona inti
seharusnya bebas dari peruntukan bangunan karena jika terdapat bangunan maka
dapat mengurangi luasan dan mempengaruhi pembentukan gumuk pasir yang baru.
2
Keberadaan gumuk pasir Parangtritis saat ini telah terdesak oleh kebutuhan
ekonomi masyarakat yang kurang sadar mengenai pentingnya manfaat gumuk pasir
terhadap kehidupan mereka. Menurut Saraswati (2004), kawasan gumuk pasir telah
mengalami berbagai tekanan di mana dalam pengelolaannya sering kali
bertentangan antara kegiatan ekonomi dengan kepentingan konservasi. Pada tahun
2013, masyarakat yang menganggap gumuk pasir sebagai lahan yang tidak
produktif mulai melakukan upaya konversi menjadi lahan pertambakan udang.
Pada mulanya, kegiatan konversi dilakukan oleh sekelompok masyarakat Desa
Parangtritis, kemudian sejak saat itu lahan tambak udang semakin meluas hingga
pada bulan Desember 2014 luasnya mencapai 6,30 ha (DKP Kabupaten Bantul
2015). Kegiatan konversi tersebut berdampak serius terhadap keberadaan gumuk
pasir. Padahal selama ini gumuk pasir telah memberikan manfaat bagi masyarakat.
Secara lebih rinci, berikut ini pemanfaatan gumuk pasir Parangtritis dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan konversi
No.
1.
Komponen
Manfaat
(benefit)
2.
Biaya
(cost)
Eksisting
Direct use value :
a. Pariwisata
b. Hasil kayu bakar
c. Hasil pakan ternak
Indirect use value :
a. Penahan abrasi
b. Wind barrier bagi
lahan pertanian
−
Konversi
Hasil produksi komoditas
udang vannamei
Biaya investasi dan biaya
operasional tambak udang
Pada kondisi eksisting, kawasan gumuk pasir memberikan manfaat langsung
(direct use) dan manfaat tidak langsung (indirect use) bagi masyarakat setempat.
Pembentukan gumuk pasir telah berlangsung sejak lama, namun pemanfaatannya
sebagai wisata geo-heritage oleh Pemda Kabupaten Bantul baru dimulai pada awal
tahun 2014 sehingga pada umumnya masyarakat Indonesia belum mengetahui
tentang potensi wisata di kawasan tersebut. Kawasan gumuk pasir juga terdapat
sumberdaya berupa kayu dan dedaunan yang dapat dijadikan sebagai pakan
tambahan ternak. Sebagian masyarakat menggunakan hasil kayu sebagai bahan
bakar sehari-hari. Selain memberikan manfaat ekonomi, gumuk pasir memiliki
fungsi ekologi seperti penahan abrasi pantai dan menjadi pelindung angin laut
(wind barrier) bagi lahan pertanian yang berada di sekitarnya. Menurut BPBD
Kabupaten Bantul (2014), wilayah pesisir Kabupaten Bantul hampir setiap tahun
mengalami bencana abrasi pantai. Bahkan pada tahun 2013, bencana abrasi pantai
terjadi di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dan telah
menimbulkan kerugian materi yang berupa kerusakan bangunan milik masyarakat.
Oleh sebab itu, Pemda Kabupaten Bantul mencanangkan program penanaman
pohon cemara udang untuk wilayah pesisir yang tidak memiliki gumuk pasir
sebagai pelindung daratan dari ancaman pengikisan gelombang laut. Berbeda
dengan kawasan gumuk pasir yang dikonversi menjadi lahan budidaya udang di
mana dapat memberikan manfaat berupa hasil produksi udang vannamei.
Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dapat dirasakan manfaatnya oleh
3
masyarakat secara luas, berbeda dengan jika dikonversi menjadi lahan budidaya
udang maka hanya sebagian kecil masyarakat (pelaku kegiatan konversi) yang
dapat merasakan pemanfaatan tersebut.
Berdasarkan Perda Kabupaten Bantul No. 04 Tahun 2011 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2010 − 2030 yakni Pasal 65 Ayat 4, kawasan
gumuk pasir merupakan kawasan strategis lindung yang berfungsi untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian, sehingga kegiatan konversi hanya
dapat diperbolehkan jika berkaitan dengan kepentingan konservasi. Selain
mengestimasi nilai manfaat dan eksternalitas, penelitian ini juga mengestimasi
seberapa besar kemampuan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) aspek
keberadaan (existence) gumuk pasir Parangtritis. Nilai tersebut penting untuk
dihitung mengingat gumuk pasir Parangtritis merupakan fenomena alam unik yang
satu-satunya terdapat di Asia Tenggara dan memiliki manfaat bagi masyarakat
sehingga keberadaannya penting untuk tetap ada di Kabupaten Bantul. Selanjutnya,
jika tidak ada keberlanjutan dan ketegasan dari pemerintah setempat, maka
pembukaan lahan tambak baru mungkin akan terjadi kembali di kawasan gumuk
pasir. Penelitian ini menjadi penting mengingat konflik pemanfaatan gumuk pasir
antara para petambak, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karenanya, hasil
penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah Kabupaten Bantul untuk
merumuskan alternatif keberlanjutan kebijakan terkait pengelolaan gumuk pasir
Parangtritis agar dapat bermanfaat secara berkelanjutan bagi semua pihak.
Perumusan Masalah
Pada awalnya tambak udang hanya dibudidayakan di Kecamatan Srandakan
dan Kecamatan Sanden, di mana sebagian telah memiliki izin dari Pemda
Kabupaten Bantul, namun terdapat pula beberapa tambak yang belum memiliki
perizinan. Berdasarkan pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa hasil produksi udang
vannamei Kabupaten Bantul mencapai 462 ton pada tahun 2011. Produksi udang
terus mengalami peningkatan setiap tahun hingga pada tahun 2014 mencapai titik
produksi tertinggi di Kabupaten Bantul yakni sebesar 925 ton atau meningkat
sebesar 60% jika dibandingkan dengan tahun 2013. Meskipun demikian,
peningkatan tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 2015 terjadi penurunan
produksi udang hingga jumlah produksinya menjadi 651 ton (DKP Kabupaten
Bantul 2015). Secara lebih rinci, produksi udang vannamei Kabupaten Bantul pada
tahun 2011 – 2015 dapat dilihat pada Gambar 1.
Produksi Udang Vannamei
925.418
Produksi (kg)
1.000.000
500.000
650.602
504.598 579.218
461.954
0
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Gambar 1 Grafik Produksi Udang Vannamei Kabupaten Bantul
4
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bantul, penurunan
produksi udang vannamei pada tahun 2015 (Gambar 1) disebabkan karena sebagian
tambak udang yang mengalami gagal panen di Kecamatan Srandakan. Kegagalan
panen udang terjadi diakibatkan udang terkena serangan penyakit kotoran putih
(White Feses Desease). Menurut Samboon et al. (2012) penyakit tersebut
disebabkan oleh infeksi bakteri Vibrio spp. Penyakit yang menyerang udang
merupakan dampak dari pengelolaan limbah yang kurang tepat di mana limbah
langsung dibuang ke perairan laut. Padahal, kebutuhan tambak terhadap air asin
diperoleh dari perairan laut. Jika perairan laut sudah tercemar maka dapat
menurunkan kualitas air tambak dan pada kondisi tersebut mendukung
pertumbuhan bakteri Vibrio spp. Oleh sebab itu, dalam jangka waktu tertentu
pencemaran limbah tambak akan menurunkan produktivitas tambak udang tersebut
(Wulandari et al. 2015).
Pada tahun 2013–2014 (Gambar 1), peningkatan produksi udang vannamei di
Kabupaten Bantul tidak terlepas dari adanya perluasan areal lahan tambak di
kawasan gumuk pasir Parangtritis Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek. Awalnya,
pembukaan tambak dibangun di gumuk pasir (zona inti) pada tahun 2013 oleh
sekelompok masyarakat dengan luas sekitar 1 ha. Menurut Widodo (2003), gumuk
pasir yang tidak produktif secara langsung terhadap perekonomian menjadi faktor
pendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan konversi. Sejak budidaya tambak
tersebut mulai beroperasi, keberadaannya memicu masyarakat lain untuk membuka
lahan tambak baru di kawasan gumuk pasir. Akibatnya, lahan tambak mulai banyak
dibangun pada tahun 2014 hingga pada tahun 2016 luasnya mencapai 6,30 (DKP
Kabupaten Bantul 2015). Meskipun demikian, tambak udang tersebut ternyata tidak
memiliki izin dari Pemda Kabupaten Bantul, disebabkan karena kawasan gumuk
pasir (zona inti) merupakan kawasan lindung sehingga tidak diperbolehkan untuk
kegiatan ekonomi kecuali untuk kepentingan konservasi.
Pengembangan tambak udang di gumuk pasir telah berlangsung sekitar dua
tahun, akan tetapi eksternalitas yang ditimbulkan belum terjadi secara signifikan.
Namun, apabila dilihat dalam jangka waktu tertentu, tambak udang berpotensi
menimbulkan eksternalitas bagi petambak maupun masyarakat. Menurut Kabid
Pengendalian Kerusakan dan Konservasi Lingkungan Kabupaten Bantul, Sunarso
mengungkapkan eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan tambak berasal dari
air limbahnya. Limbah tersebut ternyata dibuang langsung ke perairan laut melalui
pipa-pipa pembuangan yang berada di dalam gumuk pasir. Jika kadar limbah di
perairan tinggi maka akan menimbulkan pencemaran, sehingga dapat menurunkan
kualitas lingkungan pesisir dan laut sebagai penerima limbah tambak (Hein 2000).
Limbah utama dari kegiatan tambak adalah berasal dari sisa pakan udang
yang tidak termakan, bekas kulit karapas (molting), hasil ekskresi udang, dan
bangkai udang yang mengendap di dasar tambak. Menurut Barg (1992), semakin
tingginya kandungan amonia (NH3) dan nitrit (NO2) pada limbah tambak maka
kadar oksigen terlarut di dalam air semakin sedikit. Selanjutnya, dalam jangka
waktu tertentu dapat mempengaruhi kualitas lingkungan tambak, karena saat proses
budidaya tambak membutuhkan air asin yang berasal dari laut. Oleh sebab itu, jika
air laut sudah tercemar maka secara langsung dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan udang. Apabila udang sudah tidak dapat mentolerir kadar amonia dan
nitrit, karena kadarnya yang terlalu tinggi maka dapat menimbulkan kematian
massal udang seperti yang telah terjadi di Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan.
5
Selain menimbulkan eksternalitas bagi petambak, budidaya udang juga dapat
menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat yang memanfaatkan air tanah.
Kebutuhan air tawar, baik petambak maupun masyarakat diperoleh dari kegiatan
pengeboran gumuk pasir. Padahal, ketersediaan volume air tanah di gumuk pasir
jumlahnya terbatas. Jika terjadi pengambilan air tanah yang berlebihan (over
exploitation) maka dapat menyebabkan penurunan permukaan air tanah tawar,
sehingga akuifer air tawar dapat tercampur dengan air asin (Garno 2004). Oleh
karena itu, budidaya tambak di gumuk pasir potensial menyebabkan intrusi air laut.
Kegiatan konversi gumuk pasir memang memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat yang mengkonversinya. Namun di sisi lain, jika gumuk pasir dibiarkan
dalam kondisi eksisting dapat memberikan manfaat yang penting bagi semua pihak.
Gumuk pasir yang dialihfungsikan akan menghilangkan manfaat tersebut, bahkan
selain merusak alam, konversi akan menimbulkan eksternalitas yang berakibat bagi
petambak maupun masyarakat. Pada penelitian ini, estimasi terhadap nilai manfaat
dan eksternalitas konversi gumuk pasir menjadi tambak udang diperlukan untuk
memberikan rekomendasi bagi Pemda Kabupaten Bantul mengenai keberlanjutan
kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis di Desa Parangtritis, Kecamatan
Kretek, Kabupaten Bantul.
Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana perbandingan antara nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi
eksisting dan jika dikonversi menjadi lahan pertambakan udang?
2. Bagaimana nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi
gumuk pasir menjadi lahan pertambakan udang?
3. Berapa besarnya willingness to pay masyarakat terhadap existence value gumuk
pasir Parangtritis?
4. Bagaimana rekomendasi kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis yang
berkelanjutan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan
umum penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai manfaat gumuk pasir dalam
kondisi eksisting dan eksternalitas potensial budidaya udang di Desa Parangtritis,
Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Secara lebih terinci, penelitian ini memiliki
tujuan khusus yakni untuk :
1. Mengestimasi perbandingan nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting
dan jika dikonversi menjadi lahan pertambakan udang.
2. Mengestimasi nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi
gumuk pasir menjadi lahan pertambakan udang.
3. Mengestimasi besarnya willingness to pay masyarakat terhadap existence value
gumuk pasir Parangtritis.
4. Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis yang
berkelanjutan.
6
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang ekonomi
konversi gumuk pasir menjadi budidaya tambak udang di Desa Parangtritis,
Kecamatan Kretek. Informasi dari penelitian ini dapat digunakan oleh:
1. Akademisi dan peneliti, sebagai referensi untuk melakukan penelitian
selanjutnya terkait dengan bab penelitian ini.
2. Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai referensi dan bahan informasi dalam
merumuskan keberlanjutan kebijakan mengenai upaya pemanfaatan dan
pengelolaan gumuk pasir Parangtritis di Desa Parangtritis Kecamatan Kretek.
3. Masyarakat luas, sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan
mengenai analisis ekonomi konversi gumuk pasir menjadi budidaya tambak
udang.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian ini menganalisis nilai manfaat dan eksternalitas konversi gumuk
pasir menjadi budidaya tambak udang vannamei di Desa Parangtritis, Kecamatan
Kretek, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Objek yang diteliti adalah gumuk pasir
Parangtritis (zona inti) dengan luas 62 ha dan tambak udang vannamei dengan luas
6,30 ha pada tahun 2016. Beberapa alat analisis yang digunakan yaitu teknik valuasi
ekonomi, analisis pendapatan, change of productivity (CoP), biaya pengganti
(replacement cost), dan contingent valuation method (CVM). Terdapat beberapa
batasan pada penelitian ini, yakni sebagai berikut :
1. Nilai manfaat gumuk pasir yang dibandingkan dengan budidaya tambak udang
adalah penjumlahan dari nilai manfaat langsung (direct use value) dan nilai
manfaat tidak langsung (indirect use value) gumuk pasir.
2. Nilai manfaat langsung yang diestimasi adalah nilai manfaat dari pariwisata,
hasil kayu bakar dan pakan ternak bagi masyarakat sekitar.
3. Nilai manfaat tidak langsung yang diestimasi adalah nilai manfaat sebagai
penahan abrasi pantai dan pelindung angin (wind barrier) bagi lahan pertanian
di sekitarnya.
4. Nilai eksternalitas potensial konversi gumuk pasir menjadi tambak udang hanya
diestimasi pada potensi penurunan produktivitas tambak udang dan intrusi air
laut pada sumber air tanah masyarakat di kawasan gumuk pasir.
5. Dalam penelitian ini, terdapat lima jenis responden, yaitu :
a. Responden yang terlibat langsung dalam pemanfaatan gumuk pasir.
b. Responden petambak udang vannamei yang berada di gumuk pasir Desa
Parangtritis, Kecamatan Kretak.
c. Responden rumah tangga, yakni masyarakat Desa Parangtritis Kecamatan
Kretek.
d. Responden petambak udang vannamei non aktif di Desa Poncosari
Kecamatan Srandakan.
e. Responden petani lahan pasir di Desa Srigading Kecamatan Sanden.
6. Responden memiliki pengetahuan dan persepsi yang sama mengenai manfaat
gumuk pasir.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekonomi Konversi Gumuk Pasir
Salah satu fenomena dalam pemanfaatan lahan yakni adanya perubahan
penggunaan atau konversi lahan. Konversi lahan juga dapat terjadi di kawasan
pesisir. Kawasan pesisir potensial dijadikan sebagai sumber penghasilan
masyarakat pesisir sehingga muncul kecenderungan untuk melakukan kegiatan
konversi menjadi lahan pertambakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Sihaloho (2004), kegiatan konversi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni
(1) pertumbuhan penduduk, dikarenakan semakin tinggi jumlah populasi maka
kebutuhan lahan juga semakin meningkat, (2) keterdesakan ekonomi, di mana
mendorong motivasi seseorang untuk mengubah penggunaan lahan agar dapat
meningkatkan pendapatan, (3) faktor luar, misalnya intervensi dari pihak luar agar
masyarakat melakukan konversi lahan.
Lahan merupakan salah satu dari tiga faktor utama produksi pada ekonomi
klasik yakni selain tenaga kerja dan modal. Selain itu, lahan merupakan input utama
dalam memproduksi makanan dan menyediakan tempat tinggal. Sama halnya
dengan lahan pesisir. Penggunaan lahan pesisir merupakan tulang punggung
perekonomian bagi masyarakat pesisir. Konversi lahan pesisir sebenarnya juga
diperlukan dan merupakan hal penting dalam pembangunan ekonomi serta
kemajuan sosial. Konversi lahan pesisir memang dapat memberikan dampak positif
terhadap ekonomi dan sosial, namun dapat pula memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan pesisir jika dalam kegiatannya tidak mempertimbangkan
aspek lingkungan (Wujunjie 2008).
Menurut Tuwo (2011) berbagai masalah lingkungan yang terjadi pada
kawasan pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
pembangunan yang dilakukan di lahan pesisir. Konversi lahan pesisir untuk
kegiatan perikanan, pertanian, dan pemukiman telah menggeser keberadaan
lingkungan pesisir. Kawasan pesisir merupakan lahan yang paling rentan terhadap
alih fungsi menjadi budidaya tambak. Terbatasnya lahan pesisir memaksa manusia
untuk membangun lahan tambak di wilayah yang berada sangat dekat dengan laut,
karena kebutuhan air laut yang lebih mudah dijangkau. Perubahan penggunaan
lahan pesisir tersebut juga menjadi masalah di wilayah pesisir Pantai Parangkusumo
yakni di kawasan gumuk pasir. Peningkatan jumlah penduduk, harga, dan
kebutuhan ekonomi yang terjadi, namun ketersediaan lahan yang terbatas
mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan perekonomian cenderung terus
meningkat. Lahan pesisir yang tidak produktif secara ekonomi menyebabkan
tingginya kecenderungan untuk melakukan alih fungsi lahan sehingga dapat
memicu kegiatan yang sama oleh masyarakat lainnya.
Konsep Nilai Sumberdaya
Selain menghasilkan suatu barang yang dapat dikonsumsi, sumberdaya alam
juga menghasilkan jasa lingkungan yang memberikan manfaat bagi manusia.
Oleh karenanya, berdasarkan Fauzi (2006) sumberdaya alam dan lingkungan
(SDAL) yang menghasilkan output baik berupa barang maupun jasa perlu untuk
8
diberikan nilai/harga (price tag) agar dapat diketahui nilai manfaat secara ekonomi
dan aset sumberdaya tersebut dapat dievaluasi secara lebih jelas. Jika barang
tersebut dapat dijual di pasar, pengukuran dapat mudah dilakukan yakni dengan
melihat harga pasar barang tersebut. Lain halnya dengan barang atau jasa ekologi
yang tidak ditemukan di pasar maka akan sulit untuk mengukurnya karena
membutuhkan teknik penilaian yang kompleks.
Jantzen (2006) menyebutkan mengenai alasan pentingnya penilaian moneter
terhadap manfaat SDAL, yakni sebagai berikut :
a. Teknik penilaian SDAL dapat memberikan bukti riil yang dapat dipergunakan
untuk mendukung kebijakan konservasi ekosistem dengan mengukur nilai
ekonomi yang terkait dengan perlindungan SDAL.
b. Pengukuran nilai ekonomi SDAL merupakan langkah fundamental dalam
melestarikan SDAL karena potensi degradasi dan deplesi sumberdaya yang
begitu besar sehingga jika dilakukan perhitungan nilai ekonominya dan
ditunjukkan secara intensif kepada masyarakat maka kerusakan sumberdaya
tersebut dapat diminimalisir dan pemanfaatannya dapat lestari untuk generasi
masa depan.
c. Dengan memberikan nilai moneter untuk SDAL, maka nilai manfaat ekonomi
yang terkait dengan sumberdaya dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi
sumberdaya alternatif lainnya.
Konsep nilai sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) sering dibedakan
antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan konsep nilai
dari aspek ekologi yang memandang bahwa sesuatu memiliki nilai terlepas dari
sesuatu tersebut dimanfaatkan atau tidak. Konsep nilai tersebut dapat dikatakan
bahwa SDAL memiliki nilai secara alamiah. Sedangkan nilai instrumental
merupakan konsep nilai dari aspek ekonomi yang menekankan pada nilai moneter
di mana sumberdaya alam dinilai berdasarkan penggunaannya. Menurut Tuwo
(2011), nilai dari ekosistem pesisir dapat berarti pentingnya sebagai tempat wisata,
pencegah abrasi pantai, pelindung gelombang laut, dan fungsi ekologis lainnya.
Nilai Manfaat Gumuk Pasir
Ekosistem gumuk pasir merupakan bagian dari potensi sumberdaya pesisir
yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan manusia. Tidak semua wilayah
pesisir berbentuk ekosistem gumuk pasir. Gumuk pasir telah memberikan manfaat
barang dan jasa bagi masyarakat pesisir. Manfaat tersebut perlu diberikan harga
atau nilai moneter untuk mengestimasi nilai manfaat ekonomi gumuk pasir jika
dalam kondisi eksisting.
Berdasarkan RTRW Kabupaten Bantul, kawasan pesisir selatan dijadikan
sebagai kawasan wisata termasuk gumuk pasir. Gumuk pasir dapat dikembangkan
sebagai kawasan wisata pendidikan maupun penelitian berbasis keunikan morfologi
gumuk pasir. Suryanti et al. (2009) mengatakan saat ini gumuk pasir telah
dimanfaatkan sebagai tempat penelitian khususnya oleh Fakultas Geografi UGM.
Bahkan, gumuk pasir dijadikan sebagai tempat bermain sandboarding dikarenakan
memiliki karakteristik lokasi yang memenuhi standar. Sandboarding adalah sebuah
permainan berseluncur di atas bukit pasir. Selanjutnya, menurut Desai (2000),
kawasan pesisir memiliki beberapa jenis vegetasi khas mengenai tipe dan formasi
distribusi vegetasinya, sama halnya di gumuk pasir yang terdapat vegetasi yang
9
tumbuh di sekitarnya sehingga sebagian masyarakat memanfaatkan ranting pohon
sebagai bahan bakar sehari-hari. Selain menghasilkan kayu bakar, gumuk pasir juga
menyediakan manfaat berupa beberapa tanaman yang dapat dijadikan sebagai
pakan tambahan bagi hewan ternak seperti tanaman gamal, dedaunan pohon cemara
udang, jambu mete, dan akasia yang biasanya dikonsumsi hewan ternak sebagai
pakan tambahan di samping pakan utama.
Menurut Dahuri et al. (1996), gumuk pasir merupakan sistem perlindungan
alamiah (manfaat ekologi) bagi masyarakat. Letak pantai Kabupaten Bantul yang
berada di selatan garis Khatulistiwa dan berhadapan langsung dengan Samudera
Hindia menyebabkan tingkat gelombang air laut yang cukup tinggi. Gelombang
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan pantai atau disebut dengan
abrasi/erosi pantai. Di pesisir Kabupaten Bantul, sepanjang tahun proses abrasi
terjadi sedikit demi sedikit tepatnya di wilayah pesisir yang tidak memiliki gumuk
pasir. Bahkan tahun 2013 akibat terakumulasinya proses abrasi telah menimbulkan
puluhan bangunan rusak di Desa Srigading (Kecamatan Sanden). Meskipun
demikian, kerusakan tersebut tidak terjadi di pesisir Desa Parangtritis, pesisir yang
berupa gumuk pasir dapat menahan terjadinya proses pengikisan tersebut (Freski
dan Srijono 2013).
Selain abrasi pantai, gumuk pasir juga berfungsi sebagai pelindung angin laut
(wind barrier) bagi lahan pertanian di sekitarnya. Gumuk pasir memiliki tinggi
hingga mencapai 15 meter sehingga dapat menahan tiupan angin laut yang
membawa material uap air asin. Perlindungan tersebut berpengaruh terhadap
salinitas (NaCl) lahan pertanian di mana sebagian besar membudidayakan tanaman
seperti kacang tanah dan bawang merah. Apabila lahan tersebut kadar garamnya
semakin tinggi maka akan berpengaruh terhadap pH tanah yang kemudian akan
berdampak pada pertumbuhan tanaman dan nantinya dapat menurunkan
produktivitas. Oleh karena itu untuk meminimalisir hal tersebut, petani akan
melakukan berbagai upaya pencegahan melalui penambahan biaya produksi untuk
memperbaiki kesuburan lahan agar tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan
produktivitas pertanian. Menurut FAO (2005), terdapat beberapa upaya untuk
mengendalikan tingkat salinitas lahan agar kesuburan tanah tetap terjaga
kualitasnya, yakni melalui pencucian (leaching) garam di permukaan menggunakan
air bersih, pengerukan lapisan yang ada di permukaan untuk membuang endapan
garam, penambahan gypsum dan sulfur untuk mengurangi kadar garam, maupun
pemberian pupuk kimia lainnya.
Teknik Valuasi Ekonomi
Menurut Barbier et al. (1997), pendekatan valuation dilakukan untuk
menduga kontribusi pada sisi ekonomi dari suatu ekosistem tertentu terhadap
masyarakat. Teknik valuasi ekonomi terdiri dari tiga tahap, yakni melakukan
identifikasi manfaat sumberdaya, melakukan kuantifikasi manfaat sumberdaya, dan
melakukan pilihan alternatif pengelolaan sumberdaya tersebut (Dahuri et al. 1996).
Jika manfaat sumberdaya tersebut dapat dipasarkan maka pengukuran dapat
dilakukan melalui pendekatan harga pasar (market price). Namun beda halnya
dengan komponen sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan, untuk menilai
komponen tersebut terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yakni Stated
10
Preference Method (SP) dan Revealed Preference Method (RP). Metode SP
dilakukan dengan cara menanyakan langsung atas kesanggupan membayar
seseorang terhadap skenario jasa lingkungan yang ditawarkan. Nilai kesanggupan
yang diperoleh akan mencerminkan nilai jasa lingkungan dari sumberdaya.
Sementara pendekatan RP didasarkan pada perilaku yang teramati atau terungkap
terhadap pilihan yang dilakukan dengan kata lain data aktual yang diperoleh dari
pengeluaran seseorang dapat dijadikan ukuran WTP terhadap komponen SDAL.
Dalam pendekatan RP terdapat metode yang sering digunakan, yakni Travel Cost
Method (TCM) (Fauzi 2014).
Menurut Wattage (2011), mengetahui nilai ekonomi ekosistem pesisir
merupakan hal yang penting dilakukan sebagai salah satu faktor input kebijakan
untuk merancang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem pesisir yang
berkelanjutan. Menurut Munangsihe (1993), keputusan untuk mengembangkan
suatu ekosistem dapat dibenarkan (justified) jika pengembangan ekosistem tersebut
dapat memberikan nilai manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan
nilai manfaat ekonomi suatu ekosistem jika dibiarkan dalam kondisi eksisting.
Menurut Fauzi (2014), pengukuran direct use value dapat dilakukan dengan
metode pengukuran langsung yakni melalui proksi harga pasar (market price) untuk
komoditas yang langsung dapat diperdagangkan dari ekosistem yang diteliti.
Namun, jika manfaat langsung sumberdaya tidak tersedia di pasar maka dapat
menggunakan metode pengukuran tidak langsung seperti pemanfaatan sebagai
tempat wisata yang diperoleh melalui metode biaya perjalanan (travel cost method).
Beda halnya dengan nilai guna tidak langsung di mana komponen penyusun
biasanya melibatkan jasa lingkungan yang tidak dapat dipasarkan sehingga untuk
mengukur indirect use value gumuk pasir diperoleh berdasarkan pendekatan biaya
pencegahan (prevention cost expenditure) dan back of the envelope (BoE).
Selanjutnya penelitian juga menggunakan pendekatan contingent valuastion
method yakni melalui willingness to pay (WTP) untuk memperoleh existence value
gumuk pasir Parangtritis.
Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
Metode biaya perjalanan atau Travel Cost Method (TCM) dapat digunakan
untuk pengukuran nilai ekonomi secara tidak langsung. TCM menggunakan biaya
transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai suatu sumberdaya yang
dapat dijadikan sebagai tempat wisata. Biaya perjalanan dan waktu yang
dikorbankan individu untuk menuju obyek wisata dianggap sebagai nilai
lingkungan yang dibayar oleh individu (KLH 2012). Menurut Fauzi (2014), prinsip
dasar metode TCM adalah teori permintaan konsumen di mana nilai yang diberikan
individu pada sumberdaya (atribut yang tidak dipasarkan) dapat disimpulkan dari
biaya yang dikeluarkan ke lokasi wisata yang dikunjungi.
Secara umum terdapat tiga pendekatan TCM, yakni Individual Travel Cost
Method (ITCM), Zone Travel Cost Method (ZTCM), dan Random Utility Model
(RUM). ICTM dan ZTCM adalah metode yang paling banyak digunakan karena
relatif sederhana. Metode RUM lebih sulit untuk dihitung karena memerlukan
pendekatan ekonometrika yang tidak sederhana. ITCM didasarkan pada data primer
yang diperoleh melalui survei atas pengunjung ke tempat rekreasi. Data
pengeluaran biaya perjalanan dan variabel sosial ekonomi lainnya dijadikan sebagai
variabel penjelas dari biaya perjalanan yang dikeluarkan. Beda halnya dengan
11
metode ZTCM di mana didasarkan pada data sekunder. ZTCM membagi
pengunjung dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal
pengunjung. Jumlah kunjungan tiap minggu individu di setiap zona dibagi dengan
jumlah pengunjung per tahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu
penduduk. Penggunaan ZTCM sulit untuk dilakukan di Indonesia karena kebutuhan
data sekunder yang sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu, ITCM lebih sering
digunakan untuk menilai suatu sumberdaya sebagai tempat wisata.
Pendekatan Biaya Pencegahan (Prevention Cost Expenditure)
Pendekatan biaya pencegahan (prevention cost expenditure) dapat digunakan
untuk menilai jasa lingkungan suatu sumberdaya yang tidak dapat diduga nilainya,
baik pengeluaran aktual maupun potensi pengeluaran. Melalui teknik tersebut, nilai
jasa lingkungan dihitung berdasarkan hal-hal yang dilakukan masyarakat untuk
melakukan berbagai upaya pencegahan atau pengendalian akibat kerusakan
lingkungan, seperti biaya pemeliharaan taman nasional untuk memperbaiki
penurunan kualitas air, udara, dan lain-lain. Terdapat beberapa keunggulan dari
pendekatan ini, di antaranya (KLH 2012):
a. Kebiasaan manusia untuk mempertahankan sesuatu dapat dengan mudah
diamati.
b. Pengeluaran biaya untuk pencegahan cukup mudah untuk didapatkan
informasinya karena dapat diamati melalui pasar.
Pendekatan Back of The Envelope (BoE)
Teknik back of the envelope (BoE) adalah salah satu teknik valuasi ekonomi
untuk menilai kerusakan lingkungan sebagai akibat dari berkurangnya atau
hilangnya suatu sumberdaya sehingga estimasi nilai kerusakan tersebut merupakan
proksi untuk menentukan nilai manfaat ekonomi sumberdaya. Teknik BoE
mengandalkan teknik perhitungan secara kasar berdasarkan informasi dan
komponen-komponen utama yang tersedia. BoE dapat dipergunakan untuk
melengkapi beberapa komponen valuasi ekonomi terhadap sumberdaya di mana
data sukar diperoleh sehingga metode perhitungan baku tidak tepat jika digunakan.
BoE juga dapat digunakan secara ex-ante maupun ex-post terhadap kerugian yang
dapat ditimbulkan dari sumberdaya yang telah rusak. Pada analisis ex-ante, BoE
banyak digunakan untuk menduga biaya kerusakan atau kerugian ekonomi yang
terjadi akibat kerusakan lingkungan.
Secara umum, BoE mengandalkan informasi yang telah tersedia kemudian
informasi tersebut digunakan untuk menghitung nilai perubahan atau dampak yang
terjadi pada sumberdaya. Sebagai contoh, akibat degradasi lahan maka telah
menimbulkan kerugian bagi petani di mana produktivitas mereka menurun sebesar
25%. Persentase penurunan tersebut dijadikan sebagai informasi awal yang
kemudian nilainya dikalikan dengan harga produksi per ton. Perolehan nilai
tersebut dianggap mencerminkan nilai manfaat sumberdaya lahan yang telah rusak.
Pada beberapa kasus, informasi fisik mengenai kerusakan mungkin tidak tersedia
karena dampak kerusakan akan terjadi dalam jangka panjang (seperti perubahan
iklim), maka teknik konversi dari informasi yang sudah ada dapat digunakan untuk
memperoleh besaran kerugian yang dapat terjadi (Fauzi 2014).
12
Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM)
Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode penilaian ekonomi
melalui pertanyaan kemauan membayar seseorang atau sering disebut dengan
willingness to pay (WTP). Metode tersebut digunakan untuk menentukan nilai
ekonomi non-guna (non-use value) suatu sumberdaya dalam rangka perlindungan
keanekaragaman hayati (Fauzi 2014). Metode ini memungkinkan suatu komoditas
yang tidak dapat diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya.
Dengan demikian, nilai ekonomi suatu sumberdaya publik yakni gumuk pasir dapat
diukur melalui WTP. Namun, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
teknik CVM (Hanley dan Splash 1993):
a. Pasar hipotetik harus memiliki kredibilitas dan realistik.
b. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang dan jasa
lingkungan yang dimaksudkan dan alat pembayaran untuk mereka.
c. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya ditetapkan karena responden sering
kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.
Terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam proses
pelaksanaan CVM. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias tersebut
dapat timbul jika penilaian yang diberikan overstate maupun understate dari nilai
yang sebenarnya. Sumber bias dapat ditimbulkan oleh tiga penyebab, yakni (1) Bias
informasi: nilai hasil tidak terlepas dari informasi yang diberikan kepada responden
sehingga nilai WTP individu akan bergantung pada kuantitas dan kualitas peneliti
dalam memberikan informasi. (2) Bias strategis: bias ini dapat terjadi apabila
ditemui fakta bahwa responden mungkin akan menolak memberikan tanggapan atas
pertanyaan dalam survei atau tidak mengungkapkan nilai WTP sebenarnya karena
alasan-alasan t