Bagaimana Pancasila mengkritisi Black Campaign dalam etika berpolitik

Bagaimana Pancasila mengkritisi Black Campaign dalam etika berpolitik?

Kata-kata mampu menembus benteng atau geladak kapal yang paling tahan meriam
sekalipun. Napoleon lebih takut kata-kata daripada moncong meriam. Dia bisa lebih lembut
dari sutera tetapi bisa lebih tajam dari samurai Toyotomi Hideyosi, pendekar Jepang jaman
Azuchi Momoyama.
Black campaign itu ada. Apalagi disaat-saat calon kepala daerah mengkampanyekan diri
kepada publik. Black campaign merupakan sisi lain keping uang. Disatu sisi model kampanye
bersih terbuka dan disisi lain kampanye terselubung dengan maksud menjatuhkan lawan.
Kampanye offensive yang mencoreng muka lawan untuk dijauhi pemilih. Seturut dengan UU
No. 32/2004 “kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya
disebut kampanye adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan
menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon” (pasal 1 ayat 23). Berbeda dengan
kampanye hitam yang selalu bermuatan menjatuhkan lawan.

Kenali black campaign
Secara harafiah black campaign bisa diartikan sebagai kampanye kotor menjatuhkan lawan
dengan menggunakan isu negatif tidak berdasar. Dahulu “kampanye hitam ini” juga dikenal
sebagai whispering campaign melalui mulut ke mulut, bisa bisa lebih canggih dengan
menggunakan media elektronik.
Secara umum black campaign memiliki ciri yang sangat pokok yaitu lebih banyak bual

daripada fakta. Memang mungkin saja terdapat satu atau dua fakta tetapi dia akan diolah
sedemikian rupa untuk dilontarkan untuk mempengaruhi opini publik kearah yang negatif.
Black campaign bisa merupakan serangan terbuka. Metode ini sangat mudah dikenali berniat
menjatuhkan lawan. Berisi sisi negatif lawan dan selalu dilebih-lebihkan dengan fakta yang
tidak jelas kebenarannya. Para pemilih harus mengamati mana yang fiktif dan yang
sebenarnya.
Kampanye kotor juga bisa dilakukan secara sporadis dengan menunggu momen yang tepat
dan hilang dalam waktu yang cepat. Biasanya dia selalu menunggu saat yang tepat untuk
menyerang, misalnya menunggu opini tertentu sebagai pembuka jalan. Jika pembahasan
mereda ketika itulah “sang penyerang” hilang sementara.
Model lain adalah dengan melakukan bunuh diri. Biasanya “sang penyerang” melakukan hal
ini juga dengan tertutup. Hebatnya ini adalah model black campaign yang sistematis.
Kelompok lawan akan berupaya menyusupkan “orangnya” masuk ke kubu lawan. Bila si
penyusup sudah masuk maka dia akan berupaya membuat sesuatu yang merugikan kelompok
yang disusupi. Seringkali pernyataan yang keluar
justru kontraproduktif, misalnya membuat pernyataan yang membuat pemilih marah, benci
dan kehilangan simpati. Hal ini tentu akan merugikan kelompok yang disusupi dengan
merusak citra.
Tetapi yang pasti dari semua pola kampanye itu sangat sulit dibuktikan “pelaku intelektual”
dibalik serangan tendensius dan negatif itu.


Dua unsur yang menonjol dalam black campaign ini adalah berita yang keluar dari fakta,
membesarbesarkan kenyataan, tendensius, dan berpotensi membunuh karakter. Ini tentu juga
merugikan publik karena publik berhak mendapatkan berita yang benar dan berdasarkan
fakta. Mengumandangkan sebuah pesan yang tidak berdasar pada fakta adalah pelanggaran
terhadap hak publik.

Bagaimana menghadapi black campaign?
Secara karikatur, aktor dibalik kampanye negatif itu ibarat bayang-bayang raksasa yang
sedang tertawa. Dia ada diantara kerumunan massa yang bimbang. Tidak ada yang menduga
bagaimana rupanya, kadang bisa seperti malaikat berwajah lembut tetapi bisa berwatak liar
dengan mata nanar.
Mari kita lihat, adakah peluang untuk menghadapinya?
I. Bila anda kandidat
Black campaign, dalam beberapa pola, akan menjadi semakin kuat bila dilawan. Karena kita
sedang menghadapi hantu dengan demikian kita tidak tahu siapa musuh. Sudah menjadi
hukum alam bahwa aksi sebanding dengan reaksi. Ketika kita memukul tembok maka
reaksinya bisa berbeda. Semakin keras kita memukul maka semakin keras penolakan. Bila
lembut kita memukul maka lembut pula tolakan dari tembok.
Dalam kasus seperti ini black campaign akan hilang bila tidak dilawan. Tujuan kampanye

negatif ini salah satunya untuk menarik perhatian massa. Bila kita terpancing maka kasus
menjadi besar dan kemudian akan menjadi perhatian publik. Salah satu target kampanye
negatif tercapai. Namun dia akan hilang bila kita santai menghadapi.
Tentu tidak semua kampanye negatif harus didiamkan. Adakalanya kita harus menanggapi
tetapi tentu dengan santai dan sebisa mungkin guyon. Guyonan cerdas berpotensi
mengalihkan isu tersebut. Jadi santai saja jangan emosional. Tidak akan ada untungnya
bertarung dengan hantu.
Kita menghamburkan energi. Model lain untuk mengalihkan isu adalah dengan membalikan
dia menjadi senjata kita. Teori kelemahan menjadi kekuatan adalah model cerdas. Kita tidak
perlu hambur energi untuk menghimpun kampanye. Cukup menunggu lalu cerdas menjawab,
misalnya dengan mengatakan kita terdzolimi. Terkadang upaya ini ampuh menampung
simpati massa. Yang sulit adalah pola tersistematis dengan penyusupan pihak lawan untuk
menghancurkan dari dalam. Maka yang harus dilakukan adalah sterilisasi kelompok kita,
dengan mengenali kawan dan lawan. Infiltrasi dari luar yang masuk ke dalam jauh lebih
berbahaya dari musuh didepan mata. Dalam teori manajemen konflik hal ini hanya bisa
diatasi dengan menjaga setiap kawan dan mengawasi setiap lawan. Bila ada yang terindikasi
sebagai penyusup tidak elok juga bila kita reaktif. Hal itu seringkali justru itu sebagai “bunuh
diri”. Yang cerdas adalah rawat dia baik-baik, raih simpatinya, namun jangan beri ruang
terlalu luas untuk speak out. Niscaya keuntungan akan menjadi milik kita. Dan menghadapi
pola ini evaluasi akan menjadi penting.

Dari setiap kampanye negatif, tidak semua berada pada area negatif. Terkadang pada
kampanye seperti itu yang keluar dari orang yang tidak berkepentingan langsung dengan
kompetisi yang sedang berlangsung adalah cermin.

Umumnya kampanye ini tidak menyerang sisi subyektif tetapi sisi obyektif. Tidak
menyangkut pribadi tetapi lebih mengarah pada kinerja atau program. Kalau memang dia
senyatanya maka tentu dia berguna sebagai cermin. Kita dapat berkaca darinya.
II. Bila anda masyarakat
Kenali setiap kandidat yang tampil. Berpikirlah obyektif dan tidak subyektif. Kinerja yang
dihasilkan bukan berdasarkan latar belakang dirinya tetapi apa yang hendak dilakukannya
tentu berdasarkan data pengalaman yang nyata. Ini fakta empirik. Karena itu penting bagi
masyarakat sebagai massa pemilih untuk mengenali lebih jauh setiap kandidat yang tampil.
Tetapi persoalannya adalah sejauh mana dia mampu memberikan ksejahteraan kepada seluruh
masyarakat.
III. Bila anda aparat
Aparat di daerah sangat berpotensial meredam aksi black campaign. Setiap aparatur didaerah
yang akses informasinya lemah maka akan menjadikan aparat daerah sebagai tempat
bertanya. Bila demikian maka jawablah dengan proporsional. Katakan yang sebenarnya bila
tahu sebenar-benarnya tetapi katakan tidak bila memang tidak tahu. Atau jangan katakan
apapun bila kemudian akan mendiskreditkan calon lain secara subyektif. Sesuai dengan UU

maka setiap aparat wajib untuk bersikap netral, tidak memihak. Aparat juga bertanggung
jawab menolak kampanye negatif.

Seberapa ampuh black campaign?
Kampanye adalah upaya mengangkat citra baik dimata massa pemilih untuk meraih simpati.
Tetapi dia juga berpotensi memberikan citra buruk dimata setiap konstituen. Sepintas black
campaign menjanjikan kemenangan. Namun dia tidak akan berarti apa-apa bila kita cerdas
mengolahnya menjadi kekuatan kita.
Kultur politik kita memang dalam masa transisi, peralihan, dan mungkin masih belajar.
Secara sistem kunci dari itu semua adalah penegakan hukum. Dan secara non-sistem marilah
kita belajar untuk jujur terhadap diri sendiri.
Bangsa ini akan mundur bila praktek ketidak jujuran masih berjalan. Karena ini sangat
menentukan tingkat kedewasan kita dalan berdemokrasi yang sesuai dengan kaidah dan
koridor etika berpancasila.