Bab II Landasan Teori ( Pemanfaatan Jelantah sebagai Bahan Baku Pembersih Lantai)

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Mutu Minyak Goreng
Setiap minyak goreng tidak boleh berbau dan sebaiknya beraroma
netral. Berbeda dengan lemak yang padat, dalam bentuk cair minyak
merupakan penghantar panas yang baik. Makanan yang digoreng tidak
hanya menjadi matang, tetapi menjadi cukup tinggi panasnya sehingga
menjadi cokelat. Suhu penggorengan yang dianjurkan biasanya berkisar
antara 177°C sampai 201°C.
Secara umum komponen utama minyak yang sangat menentukan mutu
minyak adalah asam lemaknya karena asam lemak menentukan sifat kimia
dan stabilitas minyak. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya,
yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang
menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Akrolein terbentuk dari hidrasi
gliserol. Titik asap suatu minyak goreng tergantung pada kadar gliserol
bebasnya. makin tinggi kadar gliserol makin rendah titik asapnya, artinya
minyak tersebut makin cepat berasap. Makin tinggi titik asapnya, makin
baik mutu minyak goreng (Winarno, 2004). Standart mutu minyak goreng
dapat dilihat di Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Standar Mutu Minyak Goreng

N

Kriteria Uji

Persyaratan

o
1
2
3
4
5
6
7

Bau
Rasa
Warna
Citra rasa
Kadar air

Asam lemak bebas
Titik asap

Normal
Normal
Muda jernih
Hambar
Max 0,3%
Max 0,3
Max 200
(SNI, 1995)

2. Bahaya Minyak Jelantah
Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan
pada suhu tinggi 160-250°C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi yang

menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton,
aldehid, dan polimer yang merugiakan bagi kesehatan manusia. Prosesproses tersebut menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Kerusakan
utama adalah timbulnya bau yang tengik, sedangkan kerusakan lain

meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), kenaikan bilangan
iodine, timbulnya kekeruhan minyak, terbentuknya busa, sertas adanya
kotoran-kotoran dari bumbu yang digunakan dan bahan yang digoreng
(Ketaren, 1986).
Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan
pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan
polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan bentuk yang kurang
menarik dan cita rasa yang tidak enak (getir), serta kerusakan sebagian
vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak.
Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena
reaksi polimerisasi dan adisi dari asam lemak tidak jenuh. Hal ini terbukti
dengan dengan terbentuknya bahan yang menyerupai gum yang
mengendap di dasar tempat penggorengan (Ketaren, 1986).
Sehubung dengan banyaknya minyak jelantah dari sisa industri
maupun rumah tangga dan menyadari adanya bahaya konsumsi minyak
jelantah, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk pemanfaatan minyak
jelantah ini dapat dilakukan dengan pemurnian agar tidak terbuang dan
mencemari lingkungan. Pemanfaatan minyak jelantah ini dapat dilakukan
dengan pemurnian agar dapat digunakan kembali sebagai media
penggorengan atau digunakan sebagai bahan baku produk berbasis minyak

seperti sabun dan pembersih lantai.

3. Pembersih Lantai
Pembersih lantai adalah cairan yang mengandung senyawa fenol atau
turunannya maupun senyawa lain yang bersifat antiseptik dengan atau
tanpa pewangi yang digunakan untuk membersihkan lantai (BSN 1995).
Pada dasarnya pembersih lantai memiliki sifat yang sama dengan sabun

atau detergen. Pembersih lantai maupun sabun adalah bahan kimia yang
berasal dari alam, seperti minyak yang direaksikan dengan basa. Basa
yang biasa digunakan antara lain NaOH dan KOH.
Proses pembentukan sabun dikenal sebagai reaksi penyabunan atau
saponifikasi, yaitu reaksi antara lemak/trigliserida dengan basa, seperti
terlihat pada gambar 2.1
O
||
CH2 – O – C – R
O
||
CH – O – C – R + 3NaOH/KOH

O
||
CH2 – O – C – R
Trigliserida
Basa
(Minyak atau Lemak)

CH2 – OH
CH – OH
CH2 – OH
Gliserol

+

O
||
H O – C – Na/K
O
||
H O – C – Na/K

O
||
H O – C – Na/K
Sabun

Gambar 2.1 Reaksi Saponifikasi
Pembersih lantai bersifat polar dan nonpolar. Ujung pembersih lantai
yang bersifat polar akan mengikat air, sedangkan ujung yang bersifat
nonpolar akan mengikat minyak atau kotoran organik yang bersifat
nonpolar juga. Perbedan antara pembersih lantai dengan sabun adalah
pembersih lantai lebih keras daya membersihkannya dibanding dengan
sabun. ( Secondion, 2012).

4. Uji Kualitas Pembersih Lantai
a. Uji Ph
Mengukur konsentrasi ion H+ yang terdapat dalam pembersih lantai.
b. Uji Stabilitas emulsi dalam air sadah
Mengukur stabilitas emulsi yang terbentuk dari pencampuran
pembersih lantai dengan air sadah. Cara uji dilakukan dengan


membuat larutan sadah dan masukan pembersih lantai dengan
perbandingan 100:1 kemudian diaduk, biarkan selama 6 jam, lihat
terjadi endapan (flok) atau terjadi dua lapisan.
c. Uji alkali bebas
Tujuan uji alkali bebas ini adalah untuk mengetahui alkali yang
terkandung dalam pembersih lantai supaya tidak menyebabkan iritasi
pada kulit.
d. Uji Viskositas
Tujuan uji viskositas ini adalah untuk mengetahui kekentalan dari
Minyak Penyaringan
larutan pembersih lantai
Larutan NaOH dan
Arpus
Mengaduk campuran
dengan motor pengaduk

Diamkan selama
semalam
(terbentuk dua
lapisan)

B. Kerangka Pemikiran
Lapisan bawah

Lapisan atas

Menurunkan pH
( diencerkan dan ditambah
asam sitrat)
Pengentalan (larutan
HEC)

Penambahan bahan
tambahan (texapon,
pewarna dan pewangi)
Mengaduk
hingga
homogen
Pembersih
Lantai


Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Pembersih Lantai