Pola sidik jari kromatogram klt untuk identifikasi keragaman kualitas jahe merah

ABSTRAK
HAIRUL ANWAR. Pola Sidik Jari Kromatogram KLT untuk Identifikasi
Keragaman Kualitas Jahe Merah. Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan EDY
DJAUHARI PK
Jahe merah (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu sebagai bahan
baku jamu. Jahe merah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari sentra
produksi di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perbedaan lokasi
produksi ini dapat menyebabkan kadar metabolit sekunder yang dihasilkan juga
dapat berbeda. Perbedaan kadar metabolit sekunder ini berpengaruh terhadap
kualitas dan khasiat jahe merah tersebut. Oleh karena itu untuk menjamin kualitas
dan khasiat pada jahe merah tersebut perlu dilakukan identifikasi sidik jari
kromatogram KLT. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pola
kromatogram jahe merah dari metode ekstraksi yang berbeda, yaitu maserasi dan
sonikasi. Ekstraksi yang menghasilkan pemisahan terbaik kemudian diujikan pada
jahe merah dari berbagai daerah untuk melihat perbedaan pola sidik jarinya.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan pelarut yang terpilih sebagai penyusun
fase gerak optimum adalah kloroform: etil asetat: n-heksana dengan perbandingan
1/6: 1/6: 2/3. Teknik ekstraksi terbaik untuk mengisolasi komponen kimia pada
jahe merah yaitu ekstraksi sonikasi pada bobot 1.5 g, dengan volume pelarut 5
mL, dan waktu ekstraksi 15 menit. Hasil elusi pada jahe merah dari lokasi yang
berbeda menunjukkan pola kromatogram yang mirip satu sama lain dan hampir

semua sampel jahe merah memiliki senyawa 6-gingerol.

1

PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia
kaya
akan
keanekaragaman obat tradisional. Lebih dari
30.000 spesies tanaman di Indonesia dan
940 spesies di antaranya diketahui
berkhasiat sebagai obat atau digunakan
sebagai bahan obat (Paimin & Murhananto
1999).
Setiap tanaman obat memiliki
khasiat yang berbeda-beda dan bergantung
pada komponen kimia yang terkandung
dalam tanaman obat tersebut. Kuantitas dan
mutu komponen kimia yang terkandung

dalam tanaman obat sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu letak geografis
(lokasi), waktu tanam, waktu panen, iklim,
dan curah hujan (Liang et al. 2004). Jahe
(Zingiber officinale Rosc) merupakan salah
satu tanaman obat yang sering digunakan
dalam industri jamu. Terdapat tiga jenis jahe
berdasarkan aroma, warna dan ukuran
rimpangnya, yaitu jahe gajah, jahe emprit,
dan jahe merah. Jahe merah lebih sering
digunakan sebagai bahan baku obat karena
memiliki kandungan senyawa kimia seperti
gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang
lebih tinggi dibanding dengan jahe gajah dan
jahe emprit (Tim Lentera 2004).
Jahe merah yang digunakan dalam
industri jamu umumnya berasal dari sentra
produksi di berbagai daerah di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Perbedaan lokasi ini dapat
menyebabkan kandungan komponen kimia

(metabolit sekunder) yang terkandung dalam
jahe merah juga dapat berbeda. Adanya
perbedaan
metabolit
sekunder
yang
dihasilkan juga berpengaruh terhadap
kualitas dan khasiat jahe merah tersebut.
Oleh karena itu untuk menjamin kualitas dan
khasiat pada jahe merah tersebut perlu
dilakukan identifikasi dan diferensiasi.
Identifikasi dan diferensiasi juga dilakukan
untuk menghindari adanya pemalsuan bahan
baku mengingat jahe merah yang di jual di
pasaran umumnya sudah dalam bentuk
rajangan kering
atau serbuk/simplisia,
sehingga sulit dibedakan baik terhadap jenis
jahe lainnya maupun dengan suku
Zingiberaceae lainnya seperti bangle dan

lengkuas. selain itu juga harga jual rimpang
jahe merah 2 sampai 3 kali lebih mahal
dibanding jahe gajah, jahe emprit, dan
lengkuas. sehingga hal inilah yang
memungkinkan dari semua jenis tanaman ini
dapat menjadi bahan pemalsu satu sama
lainnya.
Terdapat
dua
pendekatan
dalam
mengevaluasi kualitas tanaman obat, yaitu

melalui penetapan kadar senyawa penciri
dan
memprofilkan
senyawa
secara
keseluruhan (Zeng 2008). Dalam Monografi
Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume

1 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), gingerol ditetapkan sebagai
senyawa penciri pada tanaman jahe untuk
evaluasi kualitas bahan baku maupun
ekstrak sebelum dikonversi menjadi obat
herbal komersial. Saat ini pendekatan
memprofilkan senyawa secara keseluruhan
(metabolic profiling) lebih sering digunakan
karena
dapat
mempresentasikan
kompleksitas senyawa yang ada dalam
tanaman obat tersebut.
Analisis yang sering digunakan untuk
memprofilkan senyawa keseluruhan adalah
analisis pola sidik jari kromatografi. Salah
satu teknik kromatografi yang dapat
digunakan yaitu dengan kromatografi lapis
tipis (KLT). Pemilihan teknik KLT pada
penelitian ini didasarkan pada beberapa

keunggulan dari KLT tersebut, diantaranya
mudah
dalam
preparasi
sampel,
kesederhanaan dalam prosedur kerja, biaya
relatif murah karena sampel dan standar
dapat diujikan dalam waktu yang sama,
volume pelarut yang digunakan sedikit,
selektif, dan sensitif, serta kromatogramnya
dapat diamati secara visual (Kimura et al.
2008).
Keberhasilan proses pemisahan pada
KLT sangat bergantung pada fase gerak
yang digunakan. Oleh karena itu, perlu
dicari fase gerak yang optimum sehingga
didapatkan hasil pemisahan yang baik. Suatu
metode percobaan yang tepat diperlukan
untuk menggambarkan fase gerak yang
optimum. Beberapa rancangan yang sering

digunakan untuk menentukan kondisi
optimum antara lain rancangan faktorial
(factorial design), metode respon permukaan
(respon surface methodology), dan mixture
design (Nutan 2004). Pada penelitian ini
digunakan metode central composite design
untuk optimasi ekstraksi dengan sonikasi
dan simplex centroid design untuk optimasi
fase gerak. Kedua metode ini dipilih
karena memiliki keunggulan, diantaranya
biaya relatif murah, cepat, mudah, dan
menitikberatkan pada nilai yang konstan dari
penjumlahan tingkatan faktor untuk tiap-tiap
kombinasi. Berdasarkan metode tersebut
kondisi optimum dari fase gerak dapat
dilihat secara kualitatif maupun kuantitatif.
Secara
kualitatif
dengan
melihat

penampakan kurva tiga dimensi, sedangkan
secara kuantitatif dilihat berdasarkan

2

persamaan
regresi
yang
dihasilkan
(Anderson & Mclean 1974).
Penelitian ini bertujuan membandingkan
pola kromatogram jahe merah dari metode
ekstraksi yang berbeda, yaitu maserasi dan
sonikasi. Ekstraksi yang menghasilkan
pemisahan terbaik kemudian diujikan pada
jahe merah dari berbagai daerah untuk
melihat perbedaan pola sidik jarinya.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat
memberikan informasi pola kromatogram
sidik jari KLT jahe merah dari berbagai

sentra produksi di Pulau Jawa.

TINJAUAN PUSTAKA
Jahe Merah
Jahe merah diklasifikasikan kedalam
divisi
Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae, kelas Monokotyledonae,
ordo Zingiberales, family Zingiberaceae,
genus Zingiber, dan spesies Zingiber
officinale Rosc (Muhlisah 1999). Setiap
jenis jahe memiliki perbedaan fungsi yang
disesuaikan dengan karakteristik masingmasing varietas. Jahe gajah lebih banyak
digunakan untuk produk minuman, permen
dan asinan. Jahe emprit banyak digunakan
sebagai penyedap rasa makanan. Jahe merah
mempunyai keunggulan dari jumlah
kandungan senyawa kimianya sehingga
lebih sering digunakan sebagai bahan baku

obat (Herlina et al. 2002). Bagian jahe yang
banyak digunakan adalah rimpangnya.
Rimpang jahe yang biasa digunakan
berumur antara 9 sampai 11 bulan. Rimpang
jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan
daging berwarna merah atau jingga muda,
berukuran kecil dan memiliki serat yang
kasar (Koswara 1995).
Jahe (Zingiber officinale Rosc) adalah
tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi
30–60 cm. Daun tanaman jahe berupa daun
tunggal, berbentuk lanset dan berujung
runcing. Mahkota bunga berwarna ungu,
berbentuk corong dengan panjang 2 – 2.5
cm. Sedangkan buah berbentuk bulat
panjang berwarna cokelat dengan biji
berwarna hitam (Matondang, 2005).
Guzman
dan
Siemonsma

(1999),
menyatakan bahwa jahe merah sama seperti
varietas jahe yang lain yaitu merupakan
tanaman berbatang semu yang tumbuh tegak
tidak bercabang dengan tinggi tanaman
dapat mencapai 1.25 meter. Tanaman ini
tersusun atas pelepah daun berbentuk bulat
berwarna hijau pucat dengan warna pangkal

batang kemerahan dan bentuk daun
memanjang (Gambar 1).
Berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan
ukuran rimpangnya, jahe dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu jahe besar atau jahe badak,
jahe kecil atau jahe emprit dan jahe merah
atau jahe sunti (Sastroamidjojo 1997).
Herlina et al (2002) menambahkan bahwa
jahe gajah berwarna hijau muda, berbentuk
bulat, beraroma kurang tajam dan
mempunyai rasa kurang pedas, jahe emprit
memiliki ukuran rimpang kecil, berbentuk
sedikit pipih, berwarna putih beraroma agak
tajam dan mempunyai rasa pedas.
Sedangkan jahe merah berwarna kuning
kemerahan, berserat kasar, mempunyai rasa
sangat pedas dan beraroma tajam.
Jahe
merah
mempunyai
banyak
keunggulan dibandingkan dengan jenis jahe
lainnya. Terutama ditinjau dari segi
kandungan senyawa kimianya yang terdiri
atas zat gingerol, oleoresin, dan minyak
atsiri yang tinggi sehingga lebih banyak
digunakan sebagai obat (Tim Lentera 2004).
Rimpang jahe mengandung beberapa
komponen kimia lain seperti air, pati, serat
kasar dan abu, komposisi setiap komponen
berbeda-beda berdasarkan varietas, iklim,
curah hujan, dan topografi atau kondisi
lahan (Koswara 1995). Kandungan kimia
jahe merah antara lain gingerol, sineol,
geraniol, zingiberan, zingeron, zingiberol,
shagol, farnesol, d-borneol, linalool, kavikol,
metilzingediol, dan resin (Wijayakusuma
2006).
Senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan tumbuhan Suku Zingiberaceae
umumnya dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen yang merugikan
kehidupan manusia (Nursal 2006). Ekstrak
air jahe yang berasal dari jahe segar maupun
jahe bubuk dan ekstrak diklrometana jahe
mempunyai aktivitas antioksidan terhadap
asam linoleat (Septiana et al. 2002). Ekstrak
air jahe dapat menurunkan kadar
malonadehida dan meningkatkan vitamin E
plasma pada manusia yang mengkonsumsi
ekstrak air jahe (Zakaria et al. 2000).
Berbagai komponen bioaktif dalam ekstrak
jahe
antara
lain
gingerol,
shagol,
diarilheptanoid dan kurkumin, mempunyai
aktivitas
antioksidan
yang
melebihi
tokoferol (Kikuzaki & Nakatani 1993). Jahe
merah juga mempunyai efek melancarkan
sirkulasi darah, antirematik, antiradang,
peluruh keringat, peluruh dahak, dan
antibatuk (Wijayakusuma 2006).

2

persamaan
regresi
yang
dihasilkan
(Anderson & Mclean 1974).
Penelitian ini bertujuan membandingkan
pola kromatogram jahe merah dari metode
ekstraksi yang berbeda, yaitu maserasi dan
sonikasi. Ekstraksi yang menghasilkan
pemisahan terbaik kemudian diujikan pada
jahe merah dari berbagai daerah untuk
melihat perbedaan pola sidik jarinya.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat
memberikan informasi pola kromatogram
sidik jari KLT jahe merah dari berbagai
sentra produksi di Pulau Jawa.

TINJAUAN PUSTAKA
Jahe Merah
Jahe merah diklasifikasikan kedalam
divisi
Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae, kelas Monokotyledonae,
ordo Zingiberales, family Zingiberaceae,
genus Zingiber, dan spesies Zingiber
officinale Rosc (Muhlisah 1999). Setiap
jenis jahe memiliki perbedaan fungsi yang
disesuaikan dengan karakteristik masingmasing varietas. Jahe gajah lebih banyak
digunakan untuk produk minuman, permen
dan asinan. Jahe emprit banyak digunakan
sebagai penyedap rasa makanan. Jahe merah
mempunyai keunggulan dari jumlah
kandungan senyawa kimianya sehingga
lebih sering digunakan sebagai bahan baku
obat (Herlina et al. 2002). Bagian jahe yang
banyak digunakan adalah rimpangnya.
Rimpang jahe yang biasa digunakan
berumur antara 9 sampai 11 bulan. Rimpang
jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan
daging berwarna merah atau jingga muda,
berukuran kecil dan memiliki serat yang
kasar (Koswara 1995).
Jahe (Zingiber officinale Rosc) adalah
tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi
30–60 cm. Daun tanaman jahe berupa daun
tunggal, berbentuk lanset dan berujung
runcing. Mahkota bunga berwarna ungu,
berbentuk corong dengan panjang 2 – 2.5
cm. Sedangkan buah berbentuk bulat
panjang berwarna cokelat dengan biji
berwarna hitam (Matondang, 2005).
Guzman
dan
Siemonsma
(1999),
menyatakan bahwa jahe merah sama seperti
varietas jahe yang lain yaitu merupakan
tanaman berbatang semu yang tumbuh tegak
tidak bercabang dengan tinggi tanaman
dapat mencapai 1.25 meter. Tanaman ini
tersusun atas pelepah daun berbentuk bulat
berwarna hijau pucat dengan warna pangkal

batang kemerahan dan bentuk daun
memanjang (Gambar 1).
Berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan
ukuran rimpangnya, jahe dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu jahe besar atau jahe badak,
jahe kecil atau jahe emprit dan jahe merah
atau jahe sunti (Sastroamidjojo 1997).
Herlina et al (2002) menambahkan bahwa
jahe gajah berwarna hijau muda, berbentuk
bulat, beraroma kurang tajam dan
mempunyai rasa kurang pedas, jahe emprit
memiliki ukuran rimpang kecil, berbentuk
sedikit pipih, berwarna putih beraroma agak
tajam dan mempunyai rasa pedas.
Sedangkan jahe merah berwarna kuning
kemerahan, berserat kasar, mempunyai rasa
sangat pedas dan beraroma tajam.
Jahe
merah
mempunyai
banyak
keunggulan dibandingkan dengan jenis jahe
lainnya. Terutama ditinjau dari segi
kandungan senyawa kimianya yang terdiri
atas zat gingerol, oleoresin, dan minyak
atsiri yang tinggi sehingga lebih banyak
digunakan sebagai obat (Tim Lentera 2004).
Rimpang jahe mengandung beberapa
komponen kimia lain seperti air, pati, serat
kasar dan abu, komposisi setiap komponen
berbeda-beda berdasarkan varietas, iklim,
curah hujan, dan topografi atau kondisi
lahan (Koswara 1995). Kandungan kimia
jahe merah antara lain gingerol, sineol,
geraniol, zingiberan, zingeron, zingiberol,
shagol, farnesol, d-borneol, linalool, kavikol,
metilzingediol, dan resin (Wijayakusuma
2006).
Senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan tumbuhan Suku Zingiberaceae
umumnya dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen yang merugikan
kehidupan manusia (Nursal 2006). Ekstrak
air jahe yang berasal dari jahe segar maupun
jahe bubuk dan ekstrak diklrometana jahe
mempunyai aktivitas antioksidan terhadap
asam linoleat (Septiana et al. 2002). Ekstrak
air jahe dapat menurunkan kadar
malonadehida dan meningkatkan vitamin E
plasma pada manusia yang mengkonsumsi
ekstrak air jahe (Zakaria et al. 2000).
Berbagai komponen bioaktif dalam ekstrak
jahe
antara
lain
gingerol,
shagol,
diarilheptanoid dan kurkumin, mempunyai
aktivitas
antioksidan
yang
melebihi
tokoferol (Kikuzaki & Nakatani 1993). Jahe
merah juga mempunyai efek melancarkan
sirkulasi darah, antirematik, antiradang,
peluruh keringat, peluruh dahak, dan
antibatuk (Wijayakusuma 2006).

3

Gambar1 Tanaman dan rimpang jahe merah
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi merupakan suatu metode
yang digunakan untuk pemisahan campuran
komponen berdasarkan distribusi komponen
tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam
dan fase gerak (Stoenoiu et al. 2006).
Teknik ini ditemukan pertama kali pada
tahun 1903 oleh Mikhail Tswett seorang
berkebangsaan
Rusia yang mencoba
memisahkan pigmen-pigmen daun (klorofil)
dengan menggunakan suatu kolom yang
berisi kapur (CaSO4). Salah satu teknik
kromatografi diantaranya kromaotgrafi lapis
tipis (KLT) yang dikembangkan tahun 1938
oleh Ismailoff dan Schraiber. Prinsip KLT
adalah sampel diteteskan pada lapisan tipis
kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang
berisi fase gerak sehingga sampel tersebut
terpisah menjadi komponen-komponennya
(Gambar 2). Setiap komponen akan bergerak
dengan laju tertentu yang dinyatakan dengan
faktor retensi (Rf), yaitu perbandingan
antara jarak yang ditempuh komponen
terhadap jarak yang ditempuh fase gerak.
Komponen yang mempunyai afinitas lebih
besar dari fase gerak atau afinitasnya lebih
kecil dari fase diam akan bergerak lebih
cepat dari pada komponen yang mempunyai
sifat sebaliknya (Gritter et al. 1991).
Sistem KLT meliputi fase gerak (eluen),
fase diam (lapisan penjerap), dan deteksi
kromatogram.
Fase diam yang umum
digunakan adalah silika gel, alumunium dan
selulosa (Stahl 1985). Dari ketiga fase diam
diatas, Silika gel adalah penjerap yang
sering digunakan karena silika gel
mempunyai kekuatan pemisahan yang
sangat baik (Nyiredy 2002). Fase gerak
adalah medium angkut yang terdiri atas satu
atau beberapa pelarut. Fase gerak bergerak
dalam fase diam karena adanya gaya kapiler
(Stahl 1985). Pelarut yang digunakan
sebagai fase gerak hanyalah pelarut
bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan
sistem pelarut multi komponen ini harus
berupa suatu campuran yang sesederhana

mungkin yang terdiri atas maksimum tiga
pelarut.
Fase gerak yang terdiri atas
beberapa campuran pelarut mempunyai
perbandingan volume total 100 (Stahl 1985).
Pada KLT sistem pengembangan yang
digunakan berdasarkan prinsip like dissolves
like, yaitu memisahkan komponen bersifat
polar menggunakan sistem pelarut yang
bersifat polar juga ataupun sebaliknya.
Deteksi hasil kromatogram dilakukan di
bawah sinar UV pada panjang gelombang
254 nm dan 366 nm, serta dapat dilakukan
juga dengan pereaksi semprot, yaitu dengan
vanillin dan anisaldehida dalam asam sulfat
untuk mendeteksi keberadaan senyawasenyawa terpenoid termasuk minyak atsiri
(Santosa & Hertiani 2005).

Gambar 2 Bejana kromatografi berisi pelat
KLT dan larutan pengembang

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan adalah aturan yang
digunakan untuk mendapatkan data dalam
suatu percobaan. Rancangan percobaan
digunakan
untuk
membatasi
atau
mengontrol pengaruh parameter perlakuan
dalam
percobaan
sehingga
dapat
mengurangi jumlah, bahan, waktu dan galat
percobaan (Yitnosumaro 1993). Rancangan
yang digunakan pada penelitian ini adalah
simplex centroid design dan central
composite design yang merupakan bagian
dari metode permukaan respon. Metode
permukaan respon merupakan sekumpulan
teknik matematika dan statistika yang
berguna untuk menganalisis permasalahan
dimana beberapa variabel independen
mempengaruhi variabel respon dan tujuan
akhirnya adalah mengoptimalkan respon
(Montgomery 2005).
Simplex centroid design adalah metode
yang menjelaskan bahwa dalam suatu
percobaan terdapat campuran dari beberapa

4

komponen dan penjumlahan dari tingkatan
faktor untuk tiap kombinasi perlakuan
konstan dan tetap, serta
penjumlahan
semua faktor harus sama dengan satu
(Montgomery 2005). Simplex centroid
design digunakan untuk memberikan ulasan
percobaan di bagian tengah bidang. Salah
satu cara untuk menggambarkan model
adalah mempertimbangkan struktur dari
percobaan tiga faktor. Rancangan simplex
centroid digambarkan dengan segitiga sama
sisi dalam dua dimensi.
Central composite design adalah metode
yang menjelaskan hubungan antara faktor
yang bebas dengan respon. Central
composite design digunakan pada sistem
dengan banyak faktor yang memerlukan
minimal dua faktor yang divariasikan
(Zhang et al. 2007). Titik faktorial
merupakan kombinasi faktor-faktor yang
divariasikan. Titik faktorial menunjukkan
level-level eksperimen pada masing-masing
faktor bebas yang dikodekan, dimana level
rendah dinyatakan dengan kode -1 dan level
tinggi dikodekan +1.
Validasi Metode
Validasi metode analisis merupakan
suatu tindakan penilaian terhadap metode
tertentu yang sesuai dan cepat untuk
pengukuran sampel tertentu, berdasarkan
percobaan
laboratorium,
untuk
membuktikan bahwa metode tersebut
memenuhi persyaratan penggunaannya pada
analisis rutin kendali mutu. Beberapa
parameter
analisis
yang
harus
dipertimbangkan dalam validasi metode
analisis, yaitu ketelitian (presisi) yang
terbagi
menjadi
keterulangan
(repeatabilitas), presisi menengah dan
keterulangan (reprodusibilitas), spesifitas,
robustness (ketangguhan), dan kestabilan
analat baik selama kromatografi, pada pelat,
dalam larutan, maupun visualisasi (Reich &
Schibli 2008).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat
yang
digunakan
dalam
penelitian adalah neraca analitik XT 220A,
peralatan gelas, vial, oven Memmert, Buchi
rotary evaporator R-114, Camag bejana
kromatografi, botol penyemprot, Camag
Linomat 5, microsyringe 100 µL, Camag
Reprostar 3 dibantu program winCAT 1.2.3,
dan sonikator Branson 1510,

Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah sampel rimpang jahe
merah (Zingiber officinale Rosc) dari
berbagai daerah yaitu Bogor, Kulonprogo,
Wonogiri, Ponorogo, Purwokerto, Pacitan
dan Semarang, pelat KLT silika gel Merck
60 F254 (Darmstadt, Jerman), kertas saring
Whatman , etanol 96%, pelarut untuk fase
gerak dengan tingkat analitis dari PT.Merck
seperti n-heksana, dietil eter, n-butanol,
etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat,
diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril,
anisaldehida.
Metode Penelitian
Ekstraksi dengan Maserasi
Sebanyak 100 gram serbuk kering
rimpang jahe merah dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer
1000
mL,
kemudian
ditambahkan 500 mL etanol 96%. Pada
sampel dilakukan perendaman selama 6 jam,
selanjutnya didiamkan selama 24 jam.
Maserat dipisahkan dan dipindahkan ke
Erlenmeyer
lain,
sedangkan
ampas
diperlakukan sama sebanyak 2 kali maserasi.
Maserat yang diperoleh dipekatkan dengan
rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak
kental (BPOM 2004). Ekstrak kental yang
diperoleh dilarutkan dengan etanol 96%
secukupnya sehingga didapatkan ekstrak
dengan konsentrasi 10 g/L.
Ekstraksi dengan Sonikasi
Simplisia jahe merah dimasukan ke
dalam vial dan diekstraksi dengan etanol
96% dalam ultrasonik cleaning bath pada
frekuensi 42 kHz. Variasi perlakuan
ekstraksi yaitu bobot, volume pelarut, dan
waktu
ekstraksi
ditentukan
dengan
rancangan central composite design
(Melecchi et al. 2006) (Lampiran 3). Ekstrak
yang diperoleh kemudian disaring dengan
kertas saring Whatman 4. Selanjutnya filtrat
yang diperoleh diujikan pada pelat KLT.
Penotolan Sampel
Penotolan ekstrak dari maserasi, ekstrak
dari sonikasi dan larutan standar. Larutan
standar diperoleh dari senyawa 6-gingerol
yang dilarutkan dalam etanol p.a sampai
diperoleh konsentrasi 0.1 g/L. Penotolan
sampel pada pelat silika gel 60 F254
menggunakan KLT aplikator yaitu Camag
Linomat V dengan kecepatan penotolan
sampel dari syringe sebesar 80 nL/s, volume
sampel 15 µL, volume standar 50 µL, lebar
pita 8 mm, sampel ditotolkan 1 cm dari

4

komponen dan penjumlahan dari tingkatan
faktor untuk tiap kombinasi perlakuan
konstan dan tetap, serta
penjumlahan
semua faktor harus sama dengan satu
(Montgomery 2005). Simplex centroid
design digunakan untuk memberikan ulasan
percobaan di bagian tengah bidang. Salah
satu cara untuk menggambarkan model
adalah mempertimbangkan struktur dari
percobaan tiga faktor. Rancangan simplex
centroid digambarkan dengan segitiga sama
sisi dalam dua dimensi.
Central composite design adalah metode
yang menjelaskan hubungan antara faktor
yang bebas dengan respon. Central
composite design digunakan pada sistem
dengan banyak faktor yang memerlukan
minimal dua faktor yang divariasikan
(Zhang et al. 2007). Titik faktorial
merupakan kombinasi faktor-faktor yang
divariasikan. Titik faktorial menunjukkan
level-level eksperimen pada masing-masing
faktor bebas yang dikodekan, dimana level
rendah dinyatakan dengan kode -1 dan level
tinggi dikodekan +1.
Validasi Metode
Validasi metode analisis merupakan
suatu tindakan penilaian terhadap metode
tertentu yang sesuai dan cepat untuk
pengukuran sampel tertentu, berdasarkan
percobaan
laboratorium,
untuk
membuktikan bahwa metode tersebut
memenuhi persyaratan penggunaannya pada
analisis rutin kendali mutu. Beberapa
parameter
analisis
yang
harus
dipertimbangkan dalam validasi metode
analisis, yaitu ketelitian (presisi) yang
terbagi
menjadi
keterulangan
(repeatabilitas), presisi menengah dan
keterulangan (reprodusibilitas), spesifitas,
robustness (ketangguhan), dan kestabilan
analat baik selama kromatografi, pada pelat,
dalam larutan, maupun visualisasi (Reich &
Schibli 2008).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat
yang
digunakan
dalam
penelitian adalah neraca analitik XT 220A,
peralatan gelas, vial, oven Memmert, Buchi
rotary evaporator R-114, Camag bejana
kromatografi, botol penyemprot, Camag
Linomat 5, microsyringe 100 µL, Camag
Reprostar 3 dibantu program winCAT 1.2.3,
dan sonikator Branson 1510,

Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah sampel rimpang jahe
merah (Zingiber officinale Rosc) dari
berbagai daerah yaitu Bogor, Kulonprogo,
Wonogiri, Ponorogo, Purwokerto, Pacitan
dan Semarang, pelat KLT silika gel Merck
60 F254 (Darmstadt, Jerman), kertas saring
Whatman , etanol 96%, pelarut untuk fase
gerak dengan tingkat analitis dari PT.Merck
seperti n-heksana, dietil eter, n-butanol,
etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat,
diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril,
anisaldehida.
Metode Penelitian
Ekstraksi dengan Maserasi
Sebanyak 100 gram serbuk kering
rimpang jahe merah dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer
1000
mL,
kemudian
ditambahkan 500 mL etanol 96%. Pada
sampel dilakukan perendaman selama 6 jam,
selanjutnya didiamkan selama 24 jam.
Maserat dipisahkan dan dipindahkan ke
Erlenmeyer
lain,
sedangkan
ampas
diperlakukan sama sebanyak 2 kali maserasi.
Maserat yang diperoleh dipekatkan dengan
rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak
kental (BPOM 2004). Ekstrak kental yang
diperoleh dilarutkan dengan etanol 96%
secukupnya sehingga didapatkan ekstrak
dengan konsentrasi 10 g/L.
Ekstraksi dengan Sonikasi
Simplisia jahe merah dimasukan ke
dalam vial dan diekstraksi dengan etanol
96% dalam ultrasonik cleaning bath pada
frekuensi 42 kHz. Variasi perlakuan
ekstraksi yaitu bobot, volume pelarut, dan
waktu
ekstraksi
ditentukan
dengan
rancangan central composite design
(Melecchi et al. 2006) (Lampiran 3). Ekstrak
yang diperoleh kemudian disaring dengan
kertas saring Whatman 4. Selanjutnya filtrat
yang diperoleh diujikan pada pelat KLT.
Penotolan Sampel
Penotolan ekstrak dari maserasi, ekstrak
dari sonikasi dan larutan standar. Larutan
standar diperoleh dari senyawa 6-gingerol
yang dilarutkan dalam etanol p.a sampai
diperoleh konsentrasi 0.1 g/L. Penotolan
sampel pada pelat silika gel 60 F254
menggunakan KLT aplikator yaitu Camag
Linomat V dengan kecepatan penotolan
sampel dari syringe sebesar 80 nL/s, volume
sampel 15 µL, volume standar 50 µL, lebar
pita 8 mm, sampel ditotolkan 1 cm dari

5

bagian kiri bawah pelat. Pelat terlebih
dahulu dikondisikan sebelum penotolan
dengan memasukkan ke dalam oven 105oC
selama 20 menit.
Pemilihan Fase Gerak (Almeida &
Scarminio 2007)
Pemilihan fase gerak diawali dengan
menggunakan dua belas pelarut tunggal
yaitu n-heksana, dietil eter, etanol, nbutanol, metanol, tetrahidrofuran, asam
asetat,etil asetat, diklorometana, aseton,
asetonitril, dan kloroform. Sebanyak 5 mL
dari dua belas pelarut tersebut dimasukkan
kedalam bejana kromatografi kemudian
dijenuhkan selama 20 menit. Pelat yang
telah berisi sampel dimasukkan ke dalam
bejana kromatografi dan dipisahkan hingga
fase gerak mencapai jarak ± 0.5 cm dari tepi
atas pelat. Pelat diangkat dan dikeringkan.
Identifikasi dilakukan untuk melihat pita
atau bercak yang muncul pada pelat. Dari
dua belas pelarut tunggal yang diujikan,
selanjutnya dipilih
tiga pelarut yang
memberikan penampakan pita terbanyak dan
memiliki jarak pita yang jelas. Ketiga
pelarut tunggal yang terpilih yaitu sebagai
titik A, B, dan C. Titik A dimisalkan pelarut
A, titik B pelarut B, dan titik C pelarut C.
ketiga titik itu kemudian dikombinasikan
berdasarkan simplex centroid seperti terlihat
pada Gambar 3. Kesepuluh titik pelarut
tersebut dinyatakan
pada Tabel 1.
Kesepuluh titik tersebut menyatakan
perbandingan jumlah eluen yang digunakan.
Misalkan pada titik 4, yaitu saat
perbandingan A; B; C sebesar 1/2: 0: 1/2,
jika jumlah eluen yang digunakan 5 mL,
maka pelarut A yang digunakan 2.5 mL,
pelarut B 0 mL, dan pelarut C 2.5 mL.
Tabel 1 Rancangan komposisi fase gerak
Fase
Gerak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Komposisi Fase Gerak
A
B
C
1
0
0
0
0
1
0
1
0
1/2
0
1/2
0
1/2
1/2
1/2
1/2
0
1/3
1/3
1/3
1/6
2/3
1/6
1/6
1/6
2/3
2/3
1/6
1/6

Gambar 3 Titik selektivitas simplex centroid
(Almeida & Scarminio 2007).
Selanjutnya
dilakukan
pemisahan
komponen sampel dengan menggunakan
sepuluh perbandingan komposisi pelarut
tersebut. Setelah itu dilakukan pengeringan
pelat, pendeteksian komponen, dan jumlah
pita yang dihasilkan untuk menyusun
komposisi fase gerak yang optimum. Data
yang diperoleh diolah dengan peranti lunak
Minitab 14.
Deteksi komponen dilakukan dengan dua
cara.
Pertama,
setelah
pelat
dikeringudarakan selama 5-10 menit, pelat
disinari dengan UV 254 nm dan 366 nm
menggunakan Camag Reprostar 3 (Fernand
2003). Kedua
pada pelat yang telah
dikeringudarakan disemprot dengan larutan
anisaldehida. Larutan anisaldehida dibuat
dengan memasukkan 0.100 mL anisaldehida
ke dalam labu takar 20 mL dan ditambahkan
dengan alkohol asam sampai tanda tera.
Larutan disemprotkan pada pelat dan
dikeringkan. Setelah dikeringkan, pelat
dipanaskan di dalam oven dengan
temperatur 105°C selama 5-10 menit
(Tripathi et al. 2006).
Rf =

Jarak komponen dari garis start
Jarak eluen dari garis start

Validasi Metode (Reich & Schibli 2008)
Stabilitas
Sampel
selama
Kromatografi. Pelat berukuran 10 x 10 cm
ditotolkan ekstrak jahe merah pada sudut
kiri bawah (1 cm dari tepi pelat). Pelat
dikembangkan dan dikeringkan. Pelat
kemudian diputar 90° dan dikembangkan
untuk kedua kalinya dengan pelarut

6

pengembang yang masih segar. Pelat
dideteksi dengan UV 366 nm.
Stabilitas Analat
pada Pelat dan
dalam Larutan. Ekstrak ditotolkan pada
pelat 10 x 10 cm. Ekstrak dibuat sebanyak
tiga buah. Ekstrak satu ditotolkan 1 cm dari
bagian bawah kiri pelat selama 3 jam
sebelum kromatografi. Setelah 3 jam
kemudian ditotolkan ekstrak segar (ekstrak
dua dan tiga), Sampel dari ekstrak satu
ditotolkan kembali pada pelat, dan standar 6gingerol. Jarak penotolan antara sampel
yang satu dengan sampel yang lainnya
berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan dan
dikeringkan kemudian dideteksi dengan UV
366 nm.
Stabilitas Visualisasi. Pelat berukuran 3
x 10 cm ditotolkan ekstrak jahe merah pada
sudut kiri bawah (1 cm dari tepi pelat).
Pelat dikembangkan dan dikeringkan. Pelat
diamati selama 1 jam dibawah UV 366 nm.
Gambar diambil setelah 2, 5, 10, 20, dan 30
menit serta 1 jam.
Keterulangan. Tiga larutan ekstrak
sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat berbeda
dengan ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel
ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat.
Jarak penotolan sampel yang satu dengan
sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat
dikembangkan menggunakan chamber yang
sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm.
Penotolan
dan
pendeteksian
sampel
dilakukan pada hari yang sama.
Presisi Menengah. Tiga larutan ekstrak
sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat dengan
ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel ditotolkan 1
cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak
penotolan sampel yang satu dengan sampel
yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat
dikembangkan menggunakan chamber yang
sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm.
Penotolan
dan
pendeteksian
sampel
dilakukan pada hari yang berbeda, yaitu hari
ke-1, hari ke-2 dan hari ke-3.
Spesifisitas. Ekstrak dari jahe merah,
jahe gajah, jahe emprit dan lengkuas
ditotolkan pada pelat 10 x 10 cm dan
dibandingkan dengan larutan standar 6gingerol. Sampel ditotolkan 1 cm dari
bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan
sampel yang satu dengan sampel yang
lainnya berjarak 1 cm. kemudian Pelat
dideteksi dengan UV 366 nm.
Ketangguhan. Dua
larutan ekstrak
sampel yang berbeda dan larutan standar
ditotolkan pada pelat dengan ukuran 6 x 10

cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri
bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang
satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1
cm. Pelat dikembangkan menggunakan twin
trough chamber dan flat bottom chamber
dan dideteksi dengan UV 366 nm. Hasil
kromatogram dengan twin trough chamber
dan flat bottom chamber
kemudian
dibandingkan.

(a)

(b)
Gambar 4 Twin trough chamber (a) dan flat
bottom chamber (b)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemilihan Fase Gerak
Pemilihan fase gerak diawali dengan
pemisahan menggunakan 12 pelarut tunggal.
Ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak yang
diperoleh dari maserasi. Jumlah pita yang
dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar
5. Pelarut yang menghasilkan pita terbanyak
dan pemisahan terbaik adalah kloroform,
diklorometana, dan dietil eter. Kloroform
dan diklorometana menghasilkan pemisahan
jumlah pita yang sama. Oleh karena itu
dipilih salah satu, pada penelitian ini yang
dipilih adalah kloroform, karena kloroform
lebih menunjukkan keterpisahan yang lebih
baik dibanding diklorometana (Lampiran 5).
Diklorometana digantikan etil asetat agar
pita lebih tertarik ke atas sehingga
didapatkan pemisahan yang baik. Sebelum
pemilihan tiga pelarut, dilakukan pengujian
awal dengan kloroform: etil asetat: dietil eter
dengan perbandingan 50: 10: 40.
Hasil pemisahan ketiga pelarut tersebut
menghasilkan pita yang sedikit dan
cenderung mendekati garis akhir (Gambar
6a). Hal ini mungkin disebabkan karena
tingkat kepolaran yang hampir sama antara
etil asetat dan dietil eter, agar pita tidak

6

pengembang yang masih segar. Pelat
dideteksi dengan UV 366 nm.
Stabilitas Analat
pada Pelat dan
dalam Larutan. Ekstrak ditotolkan pada
pelat 10 x 10 cm. Ekstrak dibuat sebanyak
tiga buah. Ekstrak satu ditotolkan 1 cm dari
bagian bawah kiri pelat selama 3 jam
sebelum kromatografi. Setelah 3 jam
kemudian ditotolkan ekstrak segar (ekstrak
dua dan tiga), Sampel dari ekstrak satu
ditotolkan kembali pada pelat, dan standar 6gingerol. Jarak penotolan antara sampel
yang satu dengan sampel yang lainnya
berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan dan
dikeringkan kemudian dideteksi dengan UV
366 nm.
Stabilitas Visualisasi. Pelat berukuran 3
x 10 cm ditotolkan ekstrak jahe merah pada
sudut kiri bawah (1 cm dari tepi pelat).
Pelat dikembangkan dan dikeringkan. Pelat
diamati selama 1 jam dibawah UV 366 nm.
Gambar diambil setelah 2, 5, 10, 20, dan 30
menit serta 1 jam.
Keterulangan. Tiga larutan ekstrak
sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat berbeda
dengan ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel
ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat.
Jarak penotolan sampel yang satu dengan
sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat
dikembangkan menggunakan chamber yang
sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm.
Penotolan
dan
pendeteksian
sampel
dilakukan pada hari yang sama.
Presisi Menengah. Tiga larutan ekstrak
sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat dengan
ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel ditotolkan 1
cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak
penotolan sampel yang satu dengan sampel
yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat
dikembangkan menggunakan chamber yang
sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm.
Penotolan
dan
pendeteksian
sampel
dilakukan pada hari yang berbeda, yaitu hari
ke-1, hari ke-2 dan hari ke-3.
Spesifisitas. Ekstrak dari jahe merah,
jahe gajah, jahe emprit dan lengkuas
ditotolkan pada pelat 10 x 10 cm dan
dibandingkan dengan larutan standar 6gingerol. Sampel ditotolkan 1 cm dari
bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan
sampel yang satu dengan sampel yang
lainnya berjarak 1 cm. kemudian Pelat
dideteksi dengan UV 366 nm.
Ketangguhan. Dua
larutan ekstrak
sampel yang berbeda dan larutan standar
ditotolkan pada pelat dengan ukuran 6 x 10

cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri
bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang
satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1
cm. Pelat dikembangkan menggunakan twin
trough chamber dan flat bottom chamber
dan dideteksi dengan UV 366 nm. Hasil
kromatogram dengan twin trough chamber
dan flat bottom chamber
kemudian
dibandingkan.

(a)

(b)
Gambar 4 Twin trough chamber (a) dan flat
bottom chamber (b)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemilihan Fase Gerak
Pemilihan fase gerak diawali dengan
pemisahan menggunakan 12 pelarut tunggal.
Ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak yang
diperoleh dari maserasi. Jumlah pita yang
dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar
5. Pelarut yang menghasilkan pita terbanyak
dan pemisahan terbaik adalah kloroform,
diklorometana, dan dietil eter. Kloroform
dan diklorometana menghasilkan pemisahan
jumlah pita yang sama. Oleh karena itu
dipilih salah satu, pada penelitian ini yang
dipilih adalah kloroform, karena kloroform
lebih menunjukkan keterpisahan yang lebih
baik dibanding diklorometana (Lampiran 5).
Diklorometana digantikan etil asetat agar
pita lebih tertarik ke atas sehingga
didapatkan pemisahan yang baik. Sebelum
pemilihan tiga pelarut, dilakukan pengujian
awal dengan kloroform: etil asetat: dietil eter
dengan perbandingan 50: 10: 40.
Hasil pemisahan ketiga pelarut tersebut
menghasilkan pita yang sedikit dan
cenderung mendekati garis akhir (Gambar
6a). Hal ini mungkin disebabkan karena
tingkat kepolaran yang hampir sama antara
etil asetat dan dietil eter, agar pita tidak

7

terpisah ke atas semua, maka digunakan
pelarut yang dapat menahan laju pita yaitu
n-heksana. Jadi dilakukan pengujian kembali
dengan kloroform: etil asetat: n-heksan dan
klorform: dietil eter: n-heksana dengan
perbandingan yang sama 50: 10: 40.
Pemisahan dengan pelarut kloroform: dietil
eter: n-heksana menghasilkan pita yang
banyak namun masih saling berdekatan
(Gambar 6c), sedangkan pada pelarut
kloroform:
etil
asetat:
n-heksana
menghasilkan jumlah pita yang banyak dan
memiliki keterpisahan yang baik (Gambar
6b). Jadi tiga pelarut yang dipilih
berdasarkan jumlah pita terbanyak dan
keterpisahan yang baik adalah kloroform,
etil asetat, dan n-heksana.
Pendeteksian dengan UV 254, UV 366
nm dan anisaldehida menghasilkan jumlah
pita yang berbeda-beda, hal ini disebabkan
karena setiap deteksi memunculkan senyawa
yang berbeda. Pendeteksian dengan sinar
UV digunakan untuk memunculkan senyawa
yang
memiliki
gugus
kromofor
(berkonjugasi). Pada UV 254 nm komponen
atau pita yang muncul akan terlihat
berwarna gelap, sedangkan pelat akan
berpendar warna hijau. Pada UV 366 nm
pelat akan terlihat gelap, sedangkan
komponen akan berpendar sehingga pita
akan terlihat lebih jelas. UV 254 nm
digunakan untuk mendeteksi senyawa
golongan alkaloid, flavonoid, triterpenoid.
Sedangkan UV 366 nm digunakan untuk
mendeteksi senyawa golongan lignan,
alkaloid, flavonoid, triterpenoid (Fernand
2003).
Anisaldehida untuk mendeteksi
senyawa sterol, terpenoid dan minyak atsiri
(Santosa & Hertiani 2005).

Gambar 5 Hubungan antara jumlah pita
yang dihasilkan dengan 12 eluen
tunggal yang dideteksi oleh UV
254
nm,
366
nm,
dan
anisaldehida.

a

b

c

Gambar 6 Hasil pemisahan dengan pelarut
kloroform: etil asetat: dietil eter
(a), kloroform: etil asetat: nheksana (b), kloroform: dietil
eter: n-heksana (c). Ketiga hasil
pemisahan tersebut dideteksi
dengan UV 366 nm.
Penentuan Titik Optimum dari Tiga
Pelarut Menggunakan Simplex Centroid
Design
Ketiga pelarut yang terpilih, yaitu
kloroform, etil asetat, dan n-heksana
masing-masing sebagai titik A, B, C
dikombinasikan berdasarkan
simplex
centroid. Hubungan interaksi antara jumlah
pita dengan deteksi UV 366 nm dan
anisaldehida pada 10 jenis komposisi fase
gerak ditunjukkan pada Gambar 7.
Komposisi pelarut yang menghasilkan pita
terbanyak pada UV 366 nm yaitu kloroform:
etil asetat: n-heksana pada perbandingan
komposisi pelarut 1/6: 1/6: 2/3, sedangkan
pada deteksi dengan anisaldehida, komposisi
pelarut yang menghasilkan jumlah terbanyak
yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana pada
saat perbandingan komposisi pelarut 1/3:
1/3: 1/3 (Gambar 7). Daerah optimum
ditentukan dengan menggunakan peranti
lunak Minitab 14 dengan jumlah pita
sebagai responnya sehingga didapatkan
daerah optimum untuk deteksi UV 366 nm
(Gambar 8a) dan daerah optimum untuk
deteksi anisaldehida (Gambar 8b) daerah
optimum dinyatakan dengan warna hijau
tua.
Pemisahan dengan deteksi UV 366 nm
menghasilkan daerah optimum disekitar titik
A dan di titik C dan cenderung lebih
mendekati titik A. Hal ini berarti komposisi
fase gerak optimumnya terdiri atas
kloroform dan n-heksana dimana jumlah
kloroform lebih banyak dibandingkan
dengan n-heksana. Daerah optimumnya
tercapai saat perbandingan kloroform : nheksana yaitu 0.74298 : 0.25702 (Lampiran

8

10). Sedangkan pemisahan dengan deteksi
anisaldehida menunjukkan daerah optimum
berada diantara titik A, B, dan titik C,
sehingga komposisi fase gerak optimumnya
terdiri atas kloroform, etil asetat, dan nheksana. Daerah optimumnya tercapai saat
perbandingan komposisi kloroform : etil
asetat : n-heksana yaitu 0.33333 : 0.37995 :
0.28671 (Lampiran 11). Hasil Minitab 14
terhadap hubungan komposisi fase gerak dan
jumlah pita menghasilkan persamaan regresi
untuk menduga model dari kedua deteksi
tersebut, untuk deteksi UV 366 nm didapat
persamaan y = 5.474A + 0.747B + 1.474C –
9.263AB + 8.192AC +14.737 BC sedangkan
untuk deteksi anisaldehida dihasilkan
persamaan y = 5.7492A + 0.9310B –
0.0690C + 13.4343AB + 7.4343AC +
29.7980BC dimana A = kloroform, B = etil
asetat dan C = n-heksana. Nilai koefisien
determinasi (R2) yang dihasilkan pada
deteksi UV 366 nm sebesar 48.50 %
sedangkan pada deteksi anisladehida
dihasilkan R2 sebesar 95.07%. koefisien
korelasi yang dihasilkan pada deteksi UV
366 nm lebih kecil dibandingkan pada
deteksi anisaldehida, hal ini disebabkan
karena titik optimum yang diperoleh pada
deteksi UV 366 nm tidak berada di pusat
titik simplex centroid (segitiga) sedangkan
pada deteksi anisaldehida titik optimum
yang diperoleh berada di pusat titik simplex
centroid. Dari hasil elusi sepuluh komposisi
rancangan simplex centroid ini dipilih
pelarut yang menghasilkan jumlah pita
terbanyak dan pemisahan terbaik yaitu pada
titik 9 saat perbandingan klroroform: etil
asetat: n-heksana; 1/6 : 1/6 : 2/3 yang
menghasilkan 9 pita (Gambar 9).

Gambar 7 Hubungan antara jumlah pita
yang dihasilkan menggunakan
deteksi UV 366 nm dan
anisaldehida pada jenis komposisi
fase gerak.

a

b

Gambar 8 Daerah optimum untuk deteksi
UV 366 nm (a) dan deteksi
anisaldehida (b)

Gambar 9 Hasil pemisahan dari ekstrak
maserasi dengan fase gerak
optimum (titik 9)
rancangan
simplex centroid deteksi dengan
UV 366 nm
Pemisahan Komponen dari Ekstraksi
Sonikasi dengan Central Composite
Design
Pemisahan komponen dari hasil ekstrasi
sonikasi dilakukan setelah fase gerak
dioptimumkan.
Ekstraksi
sonikasi
menggunakan rancangan central composite
design dengan 20
variasi perlakuan
(Lampiran 3). Hasil ekstraksi kemudian
dielusi menggunakan fase gerak optimum
yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana
dengan perbandingan 1/6 : 1/6 : 2/3. Hasil
pemisahan 20 variasi ekstraksi sonikasi
menggunakan
fase
gerak
optimum
ditunjukkan pada Gambar 10. Persamaan
regresi yang diperoleh untuk deteksi UV 366
nm yaitu y = 8.35926 + 0.78548A 0.41604B + 0.00000C – 0.64086AA –
0.11053BB – 0.287730CC – 0.00000 AB –
0.00000AC – 0.00000BC dengan R2 sebesar
34.9%, sedangkan persamaan regresi untuk
deteksi anisaldehida adalah y = 7.71616 +
0.93193A – 0.56249
+ 0.00000C –
0.91271AA – 0.38238BB – 0.55916CC –

9

0.25000AB + 0.00000AC + 0.00000BC
dengan R2 sebesar 55.1%, dimana A = bobot
sampel, B = volume larutan, dan C = waktu
ekstraksi.
Persamaan
regresi
ini
menunjukkan hubungan jumlah pita dengan
variasi ekstraksi. Jika dillihat berdasarkan
selang
kepercayaan, jumlah pita yang
dihasilkan baik deteksi dengan UV 366 nm
maupun deteksi anisaldehida sangat
dipengaruhi oleh bobot sampel dimana nilai
p bobot sampel lebih kecil dar = 0.05 (p <
0.05), sedangkan volume pelarut dan waktu
ekstrasi
tidak
mempengaruhi
secara
signifikan dengan nilai p > 0.05 (Lampiran
13). Gambar 10 menunjukkan pemisahan
komponen dengan ekstraksi sonikasi dapat
terlihat secara visualisasi. Pemisahan yang
menghasilkan jumlah pita terbanyak dan
keterpisahan yang baik terdapat pada variasi
ekstraksi nomor 6 pada saat bobot sampel =
1.5 g, volume pelarut 5 mL, dan waktu
ekstraksi 15 menit (Lampiran 13) pemisahan
ini menghasilkan 9 pita. Proses pemisahan
baik dari ekstraksi maserasi maupun
sonikasi menggunakan fase gerak optimum
menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu 9
pita. Namun dari pendeteksian dengan UV
366 nm hasil keterpisahan dan kecerahan
pita yang dihasilkan ekstraksi sonikasi lebih
baik dibanding ekstrak maserasi (Gambar 9
& 10).
Ekstrasi maserasi digunakan untuk
mengekstraksi sampel yang relatif tidak
tahan panas sehingga dapat menghindari
kerusakan komponen, kelemahan dari
ekstraksi maserasi ini adalah penggunaan
pelarut
yang
relatif
banyak
dan
membutuhkan waktu yang lama sekitar 72
jam (Meloan 1999). Berbeda halnya dengan
ekstraksi sonikasi yang lebih efisien dari
segi penggunaan pelarut dan waktu ekstraksi
yang tidak lebih dari 30 menit. Teknik
ekstraksi sonikasi ini mengandalkan energi
gelombang yang menyebabkan proses
kavitasi, yaitu suatu proses pembentukan
gelembung-gelembung kecil akibat adanya
transmisi gelombang ultrasonik. Ketika
mengenai suatu larutan, energi ultrasonik
menyebabkan timbulnya rongga akustik,
dengan struktur bergelembung yang
kemudian pecah. Proses tersebut membantu
difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman
(Ashley et al. 2001). ekstraksi dengan
sonikasi dipilih untuk proses selanjutnya
yaitu pemisahan komponen jahe merah dari
berbagai daerah, karena lebih efisien dari
segi pelarut, waktu, dan juga menghasilkan

keterpisahan yang lebih baik dibanding dari
ekstraksi maserasi.

Gambar 10 Hasil pemisahan 20 variasi
ekstrasi
sonikasi
menggunakan
rancangan
central composite, dielusi
menggunakan fase gerak
optimum,
dan
dideteksi
dengan UV 366 nm.
Validasi Metode
Stabilitas Analat Selama Krmatografi
Analat stabil selama kromatografi jika
semua komponen berada pada garis diagonal
yang menghubungkan posisi aplikasi dengan
pertemuan bidang kedua fase gerak. Dari
hasil kromatografi dua dimensi dapat terlihat
bahwa pita berada pada garis diagonal
(Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa
analat stabil selama kromatografi.

10

Gambar

11

Stabilitas analat selama
kromatografi
dengan
deteksi UV 366 nm.

Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam
Larutan
Kestabilan analat pada pelat dan dalam
larutan ini ditunjukkan pada Gambar 12.
Metode untuk stabilitas analat pada pelat
dan larutan dapat diterima karena tidak ada
perbedaan jumlah pita pada analat 3 jam
sebelum kromatografi dengan analat yang
masih segar dan perbedaan Rf pada masingmasing larutan tidak lebih dari 0.05
(Lampiran 17).

Gambar 13 Stabilitas visualisasi deteksi UV
366 nm.
Keterulangan
Keterulangan ditunjukkan pada Gambar
14. Metode keterulangan dapat diterima
karena tidak ada perbedaan jumlah, posisi,
warna, dan intensitas pita pada tiga pelat
berbeda, dan nilai Rf pada masing-masing
pelat tidak lebih dari 0.05 (Lampiran 17).

a
b
c
Gambar 14 Keterulangan pada pelat ke-1
(a), pelat ke-2 (b), pelat ke-3 (c)
deteksi dengan UV 366 nm.
a
Gambar 12

b

c d

e

Stabilitas analat pada pelat
selama
3
jam
sebelum
kromatografi (a), sampel segar
diaplikasikan segera sebelum
kromatografi (b dan c), sampel
disiapkan selama 3 jam sebelum
kromatografi (dalam larutan)
(d), dan standar 6-gingerol (e)
dengan visualisasi UV 366 nm.

Stabilitas Visualisasi
Gambar 13 menunjukan bahwa Analat
stabil karena tidak menunjukkan penurunan
intensitas warna maupun perubahan secara
signifikan selama selang waktu pengamatan
yaitu salama menit ke-2, ke-5, ke-10, ke-20,
ke-30, dan menit ke-60. Sehingga metode ini
dapat diterima dan perbedaan Rf pada
masing-masing larutan tidak lebih dari 0.05
(Lampiran 17).

Presisi Menengah
Validasi metode KLT untuk presisi
menengah dapat diterima jika semua pola
sidik jari (pita) pada ketiga pelat
menunjukkan jumlah, posisi, warna, dan
intensitas pita yang identik. Masing - masing
pita pada pelat menunjukkan komponen
yang sama, membentuk garis paralel dengan
tidak adanya gangguan seperti membelok
serta nilai Rf untuk masing – masing pita
pada ketiga pelat tidak berbeda lebih dari
0.05
(Lampiran
17).
Gambar
15
menunjukkan bahwa pada presisi menengah
hari ke-1, hari ke-2, dan hari ke-3
menghasilkan jumlah pita yang sama,
namun dari segi keterpisahan pita hari ke-1
berbeda dengan hari ke-2 dan ke-3.
Sedangkan keterpisahan pita hari ke-2 dan
hari ke-3 sama. Pada ketiga pelat tersebut
masing-masing nilai Rf pada hari ke -1, ke2 dan ke-3 memiliki selisih Rf terbesar yaitu
0.15. perbedaan nilai Rf pada hari ke-1

11

diduga adanya perbedaan tingkat kejenuhan
bejana kromatografi pada hari ke-1 dengan
hari ke-2 dan ke-3, dan juga dipengaruhi
faktor suhu dan kelembaban yang berbedabeda pada masing-masing hari.

ditunjukkan
Gambar 17.

Standar

a

b

JM1

JM2

seperti

JM3

JM4

ditunjukkan

JM5

JM6

JM7

JM8

pada

JM9

c

Gambar 15 Presisi menengah pada hari ke-1
(a), hari ke-2 (b), dan hari ke-3
(c) deteksi dengan UV 366 nm.
Ketangguhan
Gambar 16 menunjukkan bahwa pola
kromatogram sidik jari (pita) pada jahe
merah mengunakan Flat Bottom Chamber
(a) maupun Twin Trough Chamber (b)
menunjukkan pola kromatogram
yang
hampir sama dan perbedaan
nilai Rf
masing-masing pelat tidak lebih dari 0.05.
metode untuk ketangguhan dapat diterima
dan digunakan pada analisis rutin kendali
mutu.

Standar JM10 JM11 JM12

JM13 JM14 JM15 JM16

JM17 JM18

(a)

6-gingerol

Standar JM1

a

JM2

JM3

JM4

JM5

JM6

JM7

JM8

JM9

b

Gambar 16 Pola Kromatogram jahe merah
hasil pemisahan dengan Flat
Bottom Chamber (a) dan Twin
Trough Chamber (b) dengan
deteksi UV 366 nm.

6-gingerol

Standar JM10 JM11 JM12

Pemisahan Komponen Jahe Merah dari
Berbagai daerah
Setelah pemilihan fase gerak optimum,
dan teknik ekstraksi sudah ditentukan, serta
validasi
metode
sudah
dilakukan,
selanjutnya dilakukan pemisahan komponen
jahe merah dari lokasi yang berbeda. Hasil
pemisahannya dari lokasi yang berbeda

JM13 JM14 JM15 JM16

JM17 JM18

(b)
Gambar 17 Hasil pemisahan komponen jahe
merah dari berbagai daerah dan
standar
6-gingerol
dengan
deteksi UV 366 nm (a) dan
deteksi anisaldehida (b).

12

Sampel jahe merah yang digunakan
berasal dari 7 daerah yang berbeda, yaitu
JM1 berasal dari Bogor, JM2, dan JM3
berasal dari Purwokerto, JM4, JM5, JM6,
dan JM15 berasal dari Pacitan, JM7 dan
JM8 dari Kulonprogo, JM9, JM10, dan
JM11 dari Ponorogo, JM12, JM13, JM14,
dan JM16 dari Wonogiri, sedangkan JM17
dan JM18 dari Semarang. Hasil pemisahan
KLT jahe merah dari lokasi yang berbeda
ini menghasilkan
pola sidik jari
(kromatogram) yang hampir mirip satu sama
lain (Gambar 17).
Hasil pola sidik jari ini dibandingkan
dengan senyawa penciri yaitu 6-gingerol. 6gingerol digunakan sebagai senyawa penciri
karena senyawa ini merupakan komponen
penyusun terbesar