Kajian biaya manfaat program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biaya Manfaat Program
Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten
Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

Januari 2011

NRP. B253080021

Cost Benefit Analysis of Brucellosis Control
and Eradication Program of Belu Disctrict and Kupang District of East Nusa
Tenggara Province. Under direction of AGUSTIN INDRAWATI and RAHMAT
HIDAYAT.

Belu district and Kupang district are endemic brucellosis area in East
Nusa Tenggara Province. The present study evaluated of brucellosis control and

eradication program in those districts using Cost Benefit Analysis. Brucellosis
prevalence in Belu district 14,5% and Kupang district 2%. Two brucellosis control
alternative programs were analyzed for Belu district: Program A was continuation
of the present program (vaccination with average 57% coverage). Program B was
intensive vaccination (80% coverage). Both programs were given positive NPV,
B/C ratio > 1 and IRR which is higher than discount rate 15% and 20%, but
implementation of Program B is more feasible (economic feasibility) than
Program A while NPV and B/C ratio of Program B higher than Program A.
Program B was also feasible from epidemiology aspect than Program A, because
Program B will produce herd immunity that can reduce brucellosis prevalence. In
Kupang district, two brucellosis alternative strategies were analyzed: Program A
was continuation of the present program and Program B was intensive
slaughtering of reactors for 6 years. Implementations of both programs were
given positive NPV, B/C ratio > 1 and IRR which is higher than discount rate 15%
and 20%. NPV of Program B was greater than Program A, but B/C ratio and IRR
of Program A was greater than Program B, because of that, Program A was more
economic feasibility than Program B. But, we chosen program which given
greater beneficial both financial and non financial, and then by combine economy
and epidemiology aspects, Program B was more suitable for Kupang district.
!


YURIKE ELISADEWI RATNASARI. Kajian Biaya Manfaat Program Pengendalian
dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh AGUSTIN INDRAWATI dan
RAHMAT HIDAYAT.
Brucellosis merupakan salah satu "
yang penting di dunia. Hampir
semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
, dan patogen utama pada sapi
adalah genus
#
. Pada sapi, brucellosis disebut juga penyakit Bang
$
%
&
#
#
dan "
#

'
Pada manusia, penyakit ini disebut juga demam
$
! & (
atau (
!
(
! dan
%
! . Infeksi #
pada
hewan dapat menyebabkan abortus, infertilitas, anak lahir lemah, penurunan
berat badan dan kepincangan. Hal ini merupakan faktor penghambat utama
dalam perdagangan ternak.
Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang merupakan 2 daerah dengan
potensi peternakan besar di NTT, khususnya sapi bali. Status kedua kabupaten
tersebut yang belum bebas dari brucellosis merupakan hambatan tersendiri bagi
pengembangan potensi peternakan di daerah tersebut, terutama dalam
perdagangan komoditi ternak. Meskipun program pengendalian dan
pemberantasan brucellosis sudah dilaksanakan sejak tahun 1993/1994, namun

sampai saat ini kedua wilayah tersebut belum terbebas dari brucellosis.
Prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu pada tahun 2009 adalah 14,5%
dan prevalensi di Kabupaten Kupang adalah 2%. Daerah tertular brucellosis
terbagi atas 2 kriteria yaitu daerah tertular ringan dan daerah tertular berat.
Daerah tertular ringan yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis ≤ 2% (uji CFT),
sedangkan daerah tertular berat yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis > 2%
(uji CFT). Dengan demikian saat ini Kabupaten Belu tergolong daerah tertular
berat brucellosis dan Kabupaten Kupang tergolong daerah tertular ringan.
Kajian biaya manfaat merupakan suatu kajian ekonomi untuk menentukan
program/proyek yang memberikan keuntungan yang layak, dengan
membandingkan biaya dan manfaatnya. Pada keadaan dimana sumberCsumber
yang tersedia bagi pembangunan terbatas, maka penghitungan biaya dan
manfaat dari berbagai alternatif program sangat diperlukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian biaya manfaat
dilaksanakannya program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di
Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang beserta alternatif strategi pengendalian
dan pemberantasannya. Kajian yang dilakukan dikhususkan terhadap brucellosis
pada ternak sapi. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar ilmiah
bagi pemerintah selaku penentu kebijakan dalam menetapkan strategi
pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Indonesia.

Data yang digunakan meliputi data primer maupun data sekunder. Data
sekunder, antara lain data vaksinasi, data realisasi potong bersyarat, dana
pengendalian dan pemberantasan brucellosis, data populasi ternak serta data
pendukung lainnya.
Kajian biaya manfaat pengendalian dan pemberantasan brucellosis di
Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu Program A dan
Program B. Program A merupakan program yang dilakukan sekarang, yaitu
vaksinasi dengan cakupan rataCrata 57% dari populasi ternak betina wajib
vaksinasi dan potong bersyarat (secara terbatas). Program B merupakan

program yang diusulkan, yaitu vaksinasi intensif dengan cakupan rataCrata 80%
dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat (secara
terbatas).
Sedangkan untuk Kabupaten Kupang, kajian juga dilakukan terhadap 2
alternatif program. Program A merupakan program yang dilaksanakan saat ini,
yaitu potong bersyarat dengan rataCrata realisasi 2,15% dari perkiraan jumlah
reaktor. Program B merupakan pelaksanaan potong bersyarat secara intensif
dan bertahap selama 6 tahun terhadap seluruh reaktor (100%).
Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di
Kabupaten Belu menunjukkan bahwa pada tahun keC10 pelaksanaan program,

Program A dan Program B masingCmasing memberikan NPV positif, B/C ratio > 1
dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (15% maupun 20%).
Program B memberikan NPV dan B/C
yang lebih tinggi dibandingkan
Program A baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%, sehingga dapat
disimpulkan Program B merupakan alternatif yang paling layak secara ekonomi.
Pelaksanaan Program B di Kabupaten Belu juga paling tepat dilaksanakan dari
sudut pandang epidemiologi, karena dengan pelaksanaan Program B dapat
tercipta populasi ternak yang kebal terhadap brucellosis $)
((
& yang
kemudian akan berdampak pada penurunan prevalensi secara signifikan.
Hasil penghitungan biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di
Kabupaten Kupang menunjukkan bahwa, pada tahun keC10 pelaksanaan
program, kedua program memberikan NPV positif, B/C
> 1 dan IRR yang
lebih besar daripada tingkat diskonto (15% maupun 20%). Program B
memberikan NPV yang lebih tinggi dibandingkan Program A pada tingkat
diskonto 15% maupun 20%. Akan tetapi, Program B memberikan perbandingan
manfaat dan biaya (B/C

) yang lebih kecil dibandingkan Program A baik pada
tingkat diskonto 15% maupun 20%. Program B juga memberikan ”
* yang
lebih kecil dibandingkan dengan Program A, untuk setiap rupiah yang
diinvestasikan. Dengan demikian, secara ekonomi Program A lebih layak
dibandingkan Program B.
Meskipun demikian, program yang dipilih adalah program yang
memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, baik manfaat secara
finansial maupun non finansial, dan dengan mengkombinasikan sudut pandang
ekonomi dan epidemiologi, Program B adalah yang paling tepat untuk
dilaksanakan di Kabupaten Kupang.
Kata kunci : kajian biaya manfaat, brucellosis, Kabupaten Belu, Kabupaten
Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

!" # $
% " &'(
!" ) $ ()'(* () (*+'() (*
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Mikrobiologi Medik

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayahCNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berjudul Kajian Biaya Manfaat Program Pengendalian dan Pemberantasan
Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medik, Sekolah
Pascasarjana IPB.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. drh. Agustin
Indrawati, M.Biomed dan bapak drh. Rahmat Hidayat, M.Si selaku dosen
pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis; kepada
bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu selaku penguji luar komisi. pada ujian
tesis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur Kesehatan HewanC
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
pascasarjana, Kepala Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur beserta
staf, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Belu beserta staf, Kepala Dinas
Peternakan Kabupaten Kupang beserta staf. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada Ibu Dr. Helen ScotCOrr (Australian Project Leader ACIAR
AH 2006 166) dan ibu drh. Noeri Widowati, M.Sc (Koordinator Proyek ACIAR AH
2006 166 untuk Indonesia) dan Bapak Dr. Ian Patrick. Ungkapan terimakasih
juga kepada ibu Dr. drh. Maria Geong, Ibu drh. Ani atas segala saran, masukan
dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami tercinta Edi
Darudjati, ananda Rizal Pradana Reswara dan Alya Ghaisani Putri, ibuCbapak,
ibu mertua serta seluruh keluarga atas segala do’a, kasih sayang dan pengertian
yang telah diberikan.

Rasa terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satuCpersatu, yang telah memberikan bantuan kepada
penulis.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Januari 2011
Yurike Elisadewi Ratnasari

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1974 dari
ayahanda Drs. Sugito dan ibunda Mudjirahayu. Penulis merupakan anak ketiga
dari empat bersaudara, menikah dengan drh. Edi Darudjati, MSi dan dikaruniai
satu orang putra (Rizal Pradana Reswara) dan satu orang putri (Alya Ghaisani
Putri).
Pendidikan SD ditempuh di SD Negeri II IKIP Yogyakarta lulus pada
tahun 1987. Pendidikan SMP ditempuh di SMP Negeri 8 Yogyakarta lulus pada
tahun 1990. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 8 Yogyakarta lulus pada
tahun 1993. Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Gadjah Mada dan gelar Sarjana Kedokteran Hewan diraih pada
tahun 1998, sedangkan gelar sebagai dokter hewan diraih pada tahun 1999.
Pada tahun 2000 – 2003, penulis bekerja di sebuah perusahaan swasta

yang bergerak di bidang perunggasan di Yogyakarta. Dan dari tahun 2003
sampai saat ini, penulis bekerja sebagai staf Direktorat Kesehatan HewanC
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian.
Pada tahun 2008, penulis mendapatkan beasiswa dari
+
) (ACIAR AH 2006 166) untuk melanjutkan
studi magister (S2) pada Program Studi Mikrobiologi Medik Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….

xii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….

xiv

PENDAHULUAN …………………………………………………………….
Latar Belakang …………………………………………………………
Perumusan Masalah …………………………………………………..
Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………….
Hipotesa …………………………………………………………………

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………
Kabupaten Belu ………………………………………………………...
Letak Geografis, Topografi dan Iklim …………………………..
Kabupaten Kupang …………………………………………………….
Letak Geografis, Topografi dan Iklim …………………………..
Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit
Hewan …………………………………………………………………...
Brucellosis ………………………………………………………………
Agen Penyakit …………………………………………………….
Transmisi dan Masa Inkubasi …………………………………..
Gejala Klinis ………………………………………………………
Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu
dan Kabupaten Kupang ………………………………………………..

4
4
4
5
5
6
8
8
8
10
11

METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………………
Tempat dan Waktu …………………………………………………….
Materi dan Metode ……………………………………………………..

15
15
15

HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………….
Profil Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Kabupaten
Kupang ………………………………………………………………….
Prakiraan Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang …………...
Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan
Brucellosis ………………………………………………………………
Kabupaten Belu …………………………………………………..
Kabupaten Kupang ………………………………………………

19
19

SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….

35

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...

36

LAMPIRAN …………………………………………………………………..

40

22
22
23
28

Halaman
1

Daya tahan

#

pada berbagai kondisi lingkungan ………..

8

2

Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu ……………….

12

3

Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang ………….

14

4

Daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner) ……………………..

19

5

Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Belu tahun 2005C2009 ……..

23

6

Cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu ……… ……………..

24

7

Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor
$
(
& peternakan sapi bali di Kabupaten Belu ………………..

25

8

Penghitungan laba kotor $
(
& peternakan sapi bali di
Kabupaten Belu ……………………………………………………………..

26

9

Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di
Kabupaten Belu ……………………………………………………………..

28

10

Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Kupang tahun 2008C2009 ….

29

11

Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor
$
(
& peternakan sapi bali di Kabupaten Kupang ……………..

31

12

Penghitungan laba kotor $
(
& peternakan sapi bali di
Kabupaten Kupang ..………………………………………………………..

31

13

Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di
Kabupaten Kupang ………………..………………………………………..

32

Halaman
1

Peta administrasi Provinsi NTT ………………………………………… …

13

Halaman
1

Arus kas tanpa program pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu …

40

2

Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program A) di
Kabupaten Belu ………………………………………………………………

41

3

Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program B) di
Kabupaten Belu ……………………………………………………………..

43

4

Struktur ternak sapi bali di Kabupaten Belu (Tahun keC1) ………………

45

5

Arus kas tanpa program pengendalian brucellosis di Kabupaten
Kupang ……………………………………………………………………….

46

6

Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program A) di
Kabupaten Kupang ………………………………………………………….

48

7

Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program B) di
Kabupaten Kupang …………………………………………………………..

50

8

Struktur ternak sapi bali di Kabupaten Kupang (Tahun keC1) ………….

52

9

Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2007 ……………………

53

10

Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2008 …………………...

54

11

Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2009 …………………...

55

12

Populasi ternak sapi di Kabupaten Kupang Tahun 2006C2008 …………

56

13

Anggaran biaya pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu (APBD II)
Tahun 2006C2008 ……………………………………………………………

57

14

Alokasi kegiatan pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu sumber
dana Pusat dan APBD I …………………………………………………….

57

15

Anggaran biaya pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang
Tahun 2009 …………………………………………………………………...

57

16

Biaya pemberantasan brucellosis di Provinsi NTT tahun 2007C2009 …

58

17

Estimasi nilai ekonomis pupuk kandang …………………………………...

59

18

Kuesioner untuk peternak ………………………………………………….

62

1

Brucellosis merupakan salah satu zoonosis yang penting di dunia. Hampir
semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten
terhadap infeksi

. Infeksi pada hewan dapat menyebabkan abortus, anak

lahir lemah, infertilitas, kepincangan, penurunan produksi susu dan penurunan
berat badan, yang merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan
ternak (Radostits

1986). Di Indonesia, brucellosis merupakan salah satu

dari 12 jenis penyakit hewan menular (PHM) strategis berdasarkan Peraturan
Direktur Jenderal Peternakan Nomor 59 Tahun 2007. Pemberantasan brucellosis
juga merupakan salah satu kegiatan dalam mendukung Program Swasembada
Daging Sapi (PSDS).
Kejadian awal brucellosis di Indonesia tidak diketahui dengan pasti.
Menurut Donker1Voet, pada tahun1tahun menjelang Perang Dunia II, tingkat
prevalensi penyakit ini berdasarkan uji serologis di Lembaga Penelitian Penyakit
Hewan (LPPH) yang sekarang bernama Balai Besar Penelitian Veteriner
(BBALITVET) di Bogor adalah sekitar 5% dengan daerah penyebaran terutama
di Pulau Jawa pada sapi perah. Pada tahun 1983, brucellosis diketahui terjadi
pada sapi potong di Provinsi Sulawesi Utara yaitu dengan laporan kejadian
wabah abortus dan dari hasil penelusuran lebih lanjut diketahui bahwa penyakit
tersebut berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan melalui penyebaran ternak sapi
bibit. Pada tahun 1986, penyebaran brucellosis diketahui telah meluas di 16
propinsi dan pada tahun 1991 kasus brucellosis dilaporkan terjadi di 26 wilayah
propinsi kecuali Provinsi Bali yang masih bebas (Ditkeswan 2001).
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah
sumber komoditas sapi Bali di Indonesia. Sapi Bali telah diangkat sebagai
primadona dalam pengembangan peternakan sapi di Indonesia karena memiliki
beberapa keunggulan yaitu daya adaptasi yang tinggi pada lingkungan yang
kurang menguntungkan (misalnya pada lahan kering) dan memiliki tingkat
fertilitas yang tinggi (Putra

2002). Status Provinsi NTT yang belum terbebas

dari brucellosis, merupakan hambatan tersendiri bagi pengembangan peternakan
sapi Bali di wilayah tersebut.
Brucellosis diperkirakan masuk ke Pulau Timor pada tahun 1975
bersamaan dengan pengembangan sapi di

(TIMLICO)

2

di Kecamatan Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara (Disnak Prov. NTT 2008a).
Pulau Timor merupakan sentra produksi sapi Bali di NTT. Sekitar 77,1% dari total
populasi sapi Bali di NTT berada di Pulau Timor. Ironisnya, saat ini seluruh
kabupaten/kota yang ada di Pulau Timor (5 kabupaten/kota) merupakan daerah
tertular brucellosis, yaitu Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten
Belu. Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat (prevalensi
>2%)

dan

pengendalian

brucellosis

dengan

vaksinasi.

Pemberantasan

brucellosis di Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan Kabupaten TTS yang
merupakan daerah tertular ringan (prevalensi ≤ 2%) dilakukan melalui
atau potong bersyarat (Disnak Prov. NTT 2008b).
Reaktor brucellosis di NTT pertama kali didiagnosa tahun 1986 di Pulau
Timor, kemudian di Pulau Sumba tahun 1992 dan Pulau Flores tahun 1994
(Dartini

2006). Pada tahun 1986, prevalensi brucellosis di Kabupaten

Kupang 1,5% dan Kabupaten Belu (uji

/RBT) 29,6 % (Disnak

Prov. NTT 2009). Hasil survey

!

(EIVSP) tahun 1991 prevalensi (uji RBT) di Kupang 5,0% dan Kabupaten Belu
30% (Christie 1992). Menurut Perwitasari (2010), prevalensi brucellosis pada
tahun 2009 di Kabupaten Kupang

2,0 (uji

"#

/CFT),

sedangkan prevalensi di Kabupaten Belu menurut Lake (2010) adalah 14,5 (uji
CFT).
Penghitungan kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena brucellosis
pada sapi di Provinsi NTT dan Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Direktorat
Kesehatan Hewan pada tahun 1994 menunjukkan nilai kerugian sejumlah
Rp. 170.000.000,1 selama 5 tahun setiap desa dengan populasi 2.010 ekor
(Ditkeswan 2001).

Disnak Prov. NTT (2009) menyebutkan bahwa kerugian

ekonomi akibat brucellosis pada sapi pada tahun 2008 di Pulau Timor adalah
sejumlah 101, 55 milyar rupiah.

Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang merupakan 2 daerah dengan
potensi peternakan besar di NTT, khususnya sapi Bali. Status kedua kabupaten
tersebut yang belum bebas dari brucellosis merupakan hambatan tersendiri bagi
pengembangan potensi peternakan, terutama dalam perdagangan komoditi
ternak.

3

Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu
dan Kabupaten Kupang telah dilaksanakan sejak tahun 1993 dan saat ini perlu
dikaji kembali secara ekonomi, apakah cukup efisien untuk diperoleh manfaatnya
dalam kurun waktu 10 tahun mendatang (kajian secara prospektif).

a. Tujuan Penelitian
Melakukan kajian biaya manfaat dilaksanakannya program pengendalian
dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang
beserta alternatif strategi pengendaliannya. Kajian yang dilakukan dikhususkan
terhadap brucellosis pada ternak sapi.

b. Manfaat Penelitian
Dapat

digunakan sebagai

dasar

ilmiah

bagi

pemerintah/penentu

kebijakan dalam menetapkan pengendalian dan pemberantasan brucellosis di
Indonesia.



Pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dengan program intensif,
yaitu vaksinasi mencakup 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi
dan potong bersyarat (secara terbatas), lebih efisien dibandingkan dengan
program yang dilaksanakan sekarang.



Pengendalian brucellosis di Kabupaten Kupang dengan program intensif,
yaitu pemotongan bersyarat seluruh reaktor secara menyeluruh selama 6
tahun berturut1turut lebih efisien dibandingkan dengan program yang
dilaksanakan sekarang.

4

!

"

" #
Kabupaten Belu adalah salah
satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
terletak di daratan Timor di bagian paling timur dan berbatasan langsung dengan
Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Dalam posisi astronomis,
wilayah Kabupaten Belu terletak antara koordinat 124º 38’ 33” BT– 125º 11’ 23”
BT dan 08º 56’ 30” LS – 09º 47’ 30” LS. Kabupaten Belu secara geografis
meliputi wilayah dengan1batas1batas sebagai berikut:
1 Sebelah utara

::

berbatasan dengan Selat Ombai

1 Sebelah selatan

::

berbatasan dengan Laut Timor

1 Sebelah timur

::

berbatasan dengan wilayah RDTL

1 Sebelah barat

::

berbatasan

dengan

wilayah

Kabupaten

Timor

Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) (Bappeda Kab. Belu 2009)
Secara administratif, Kabupaten Belu yang memiliki luas wilayah
mencapai 2.240,05 km2, terbagi atas 24 kecamatan serta 208 desa hasil
pemekaran ke12. Keadaan topografi Kabupaten Belu bervariasi antara ketinggian
0 sampai

dengan +1500 m.dpal (meter di atas permukaan laut). Variasi

ketinggian rendah (01150 m.dpal) mendominasi wilayah bagian selatan dan
sebagian kecil di bagian utara. Sementara pada bagian tengah wilayah ini terdiri
dari area dengan dataran sedang (2001500 m.dpal). Dataran tinggi di Kabupaten
Belu ini hanya menempati kawasan pada bagian timur yang berbatasan
langsung dengan RDTL. Zona1zona dataran rendah di bagian selatan ini
sebagian besar digunakan sebagai areal pertanian dan kawasan cagar alam
hutan

(Bappeda Kab. Belu 2009).
Secara umum Kabupaten Belu beriklim tropis, dengan musim hujan yang

sangat pendek (Desember – Maret) dan musim kemarau yang panjang (April–
Nopember). Temperatur di Kabupaten Belu suhu rata1rata berkisar 27,6º C
dengan interval 21,5º 1 33,7º C. Temperatur terendah 21,5º C yang terjadi pada
bulan Agustus dengan temperatur tertinggi 33,7º C yang terjadi pada bulan
Nopember (Bappeda Kab. Belu 2009).
Komposisi

penggunaan lahan wilayah Kabupaten Belu saat ini secara

garis besar terbagi atas dua kelompok utama jenis penggunaan, yaitu

5

penggunaan lahan basah/sawah dan penggunaan lahan kering. Penggunaan
lahan basah antara lain terdiri dari irigasi teknis setengah teknis, irigasi
sederhana, irigasi desa dan sawah tadah hujan. Dari seluruh lahan basah yang
ada, komposisi terbesar ditunjukan oleh irigasi setengah teknis dengan
prosentase hanya mencapai 1,29% dari luas lahan keseluruhan Kabupaten Belu.
Sedangkan untuk penggunaan lahan kering meliputi 11 jenis penggunaan, mulai
dari penggunaan lahan pekarangan untuk wilayah terbangun, tegalan/kebun,
ladang, padang rumput, rawa, tambak, kolam/empang, tanah kosong, hutan
rakyat, hutan negara serta penggunaan lainnya (Bappeda Kab. Belu 2009).
" #

"
Kabupaten Kupang merupakan

kabupaten yang terletak paling selatan di Indonesia. Secara geografis Kabupaten
Kupang terletak pada 121o30’ BT1 214o11’ BT dan 9o19’ LS – 10o57’ LS dengan
batas1batas wilayah :
1 Sebelah utara

::

berbatasan dengan Laut Sawu dan Selat Ombai

1 Sebelah selatan

::

berbatasan dengan Samudera Hindia

1 Sebelah timur

::

berbatasan

dengan

Kabupaten

Timor

Tengah

Selatan (TTS) dan Ambeno (Timor Leste)
1 Sebelah barat

::

berbatasan dengan Kabupaten Rote Ndao dan Laut
Sawu

(KPDE Kab. Kupang 2007)

Luas wilayah Kabupaten Kupang 53.958,28 km2 yang terdiri dari wilayah
daratan seluas 7.178,28 km2 dan wilayah laut seluas 46.780 km2 dengan garis
pantai ± 492,4 km.

Topografi kabupaten ini bergunung1gunung dan berbukit

dengan derajat kemiringan sampai 45o. Permukaan tanah kritis dan gundul
sehingga peka terhadap erosi, namun pada hamparan dataran rendah
merupakan

lahan

yang

subur

dan

luas

dimana

biasanya

penduduk

terkonsentrasi disana (KPDE Kab. Kupang 2007).
Kabupaten Kupang umumnya beriklim tropis dan kering yang juga
cenderung dipengaruhi oleh angin. Musim hujan sangat pendek yaitu 315 bulan,
sedangkan lama musim kemarau 718 bulan. Kabupaten ini dikategorikan sebagai
daerah semi arid karena curah hujan yang relatif rendah dan keadaan vegetasi
yang didominasi savana dan stepa. Kondisi iklim tersebut mempengaruhi pola
bercocok tanam dan bertani masyarakat, dimana 3% atau sekitar 7.453 ha dari

6

luas wilayah merupakan tanah sawah kering dan 97% atau sekitar 572.365 ha
merupakan tanah kering pekarangan atau tegalan. Kabupaten ini mempunyai
lahan potensial untuk dijadikan padang penggembalaan seluas 15.465 ha, yang
memungkinkan untuk pengembangan peternakan (KPDE Kab. Kupang 2007).

"

$

#

$

%

Pada umumnya, penyakit yang terjadi pada populasi ternak piaraan (dan
kadang1kadang pada hewan yang tidak dipelihara) dapat menurunkan jumlah
dan/atau kualitas dari produk ternak tersebut yang digunakan untuk konsumsi
manusia. Penyakit dapat meningkatkan biaya produksi menjadi dua kali.
Pertama, karena sumber daya yang digunakan menjadi tidak efisien sebagai
akibat dari produk yang dihasilkan memerlukan biaya tambahan. Kedua, yaitu
biaya tambahan yang dikeluarkan oleh konsumen akibat rendahnya kualitas
produk yang dikonsumsi. Ringkasnya, penyakit akan meningkatkan biaya (biaya
produksi) dan menurunkan kualitas dari produk (Budiharta dan Suardana 2007).
Menurut Morris (1997), efek penyakit terhadap produktivitas ternak antara lain :
kematian

, penurunan nilai ternak dan produk ternak yang dipotong,

penurunan hasil dan produk ternak (seperti telur, susu), penurunan berat hidup
dan penurunan konversi pakan $%
Kajian

biaya

manfaat

&.
merupakan

suatu

kajian

ekonomi

untuk

menentukan program/proyek yang memberikan keuntungan yang layak, dengan
membandingkan biaya dan manfaatnya (Gittinger 1986). Pada keadaan dimana
sumber1sumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas, maka penghitungan
biaya dan manfaat dari berbagai alternatif program sangat diperlukan untuk
menghindari pengorbanan sumber1sumber yang langka (Kadariah 1986). Kajian
manfaat dari biaya suatu program pengendalian penyakit dapat digunakan
sebagai alat untuk membuat keputusan dengan mengacu kepada adanya
keterbatasan sumber daya yag dialokasikan (Budiharta dan Suardana 2007).
Kajian ekonomi terhadap pengendalian penyakit hewan merupakan suatu
hal yang kompleks. Hal ini dipengaruhi oleh keragaman penyakit, epidemiologi,
kejadian penyakit dan kegiatan pencegahan dan pengendalian yang dilakukan.
Untuk melakukan hal ini, diperlukan kombinasi pengetahuan tentang biologi dan
kedokteran hewan dengan pertimbangan1pertimbangan finansial. Dengan
demikian, pengetahuan mengenai kedua faktor tersebut, yaitu tentang ekonomi
dan non ekonomi sangat diperlukan dalam kajian ekonomi ini (Tisdell 2006).

7

Menurut Gittinger (1986), semua kajian ekonomi terhadap suatu program/proyek
menggunakan suatu asumsi. Harga merupakan gambaran dari nilai.
Menurut Sudardjat (2004), dengan kajian ekonomi yang tepat, secara
obyektif

dapat memberikan gambaran

besarnya

biaya maupun tingkat

keuntungan yang bisa diperoleh dari masing1masing program yang ditawarkan.
Kajian ekonomi dapat juga dipakai sebagai dasar argumentasi untuk meyakinkan
pihak1pihak yang berkepentingan, terutama bagi pengambil keputusan dan bagi
pihak pengolah dan penyedia dana.
Menghitung keuntungan dari suatu proyek atau program pengendalian
penyakit jauh lebih sulit dan lebih rumit dibandingkan dengan menghitung
pembiayaannya. Hal ini disebabkan komponen keuntungan yang diperhitungkan
terdiri dari kategori1kategori keuntungan finansial dan non finansial, serta
keuntungan yang bersifat sosial dan keuntungan lain yang merupakan implikasi
langsung dan tidak langsung dari keberhasilan program yang bersangkutan
(Sudardjat 2004).
Biaya

(kerugian)

ekonomi

suatu

penyakit

hewan

adalah

suatu

pertimbangan yang amat penting untuk membuat suatu program kontrol penyakit
hewan. Perhitungan biaya ekonomi suatu penyakit hewan akan memperlihatkan
suatu ukuran yang mana biaya kontrol suatu penyakit dapat diperbandingkan,
sehingga dapat diidentifikasi program kontrol penyakit hewan yang paling efisien
dan efektif dari segi pembiayaannya (Leksmono dan Holden 1994).
Total biaya ekonomi dari suatu penyakit hewan dapat diukur sebagai
jumlah dari kerugian
terhadap

/hasil ditambah dengan biaya kontrol. Penurunan

merupakan suatu kerugian karena keuntungan yang diperoleh

menjadi terbuang (tidak maksimal). Disisi lain, biaya untuk

menjadi

meningkat dan biasanya terkait dengan biaya kontrol penyakit, seperti biaya
untuk dokter hewan dan obat1obatan (Budiharta dan Suardana 2007).
&
Brucellosis disebabkan oleh bakteri

, Hampir semua hewan

domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap infeksi
. Patogen utama pada sapi adalah genus

(Crawford

1990). Pada sapi, brucellosis disebut juga penyakit Bang $
(

%

dan

)

'

&(

Penyakit ini

bersifat zoonosis. Pada manusia, penyakit ini disebut juga demam

8

$

%

(

atau

%

(

%

dan

(Merchant dan Barner 2004). Sapi dapat terinfeksi oleh

' %
dan

ketika merumput atau menggunakan secara bersama1sama
peralatan kambing, domba atau babi yang terinfeksi (PAHO 2003).
Biovar 1 terdapat di seluruh dunia dan paling umum
ditemukan diantara 7 Biovar yang terdapat di dunia (PAHO 2003). Geong (1999)
mengatakan bahwa hanya Biovar 1 yang dapat dikultur dari sapi di Pulau Timor1
NTT.
Cairan higroma merupakan spesimen terbaik untuk mengisolasi dan
menemukan

. Sapi seropositif mempunyai proporsi 24,1 kali

lebih besar untuk menderita higroma dibandingkan sapi seronegatif (Geong
1999). Pada kondisi ideal,

dapat menetap pada material organik

seperti feses, cairan abortus dan susu sampai 6 bulan dan dalam fetus yang
diabortuskan dapat bertahan sampai 8 bulan. Bakteri tersebut sangat rentan
terhadap pengawetan dan pengeringan serta cahaya langsung. Semua jenis
desinfektan standar dapat merusak

. (AHA 2005). Tabel 1 di bawah

ini menyajikan daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan.
Tabel 1
(Crawford

Daya tahan

pada berbagai kondisi lingkungan

1990).
Kondisi lingkungan

Daya tahan

Terkena sinar matahari langsung
Tanah : tanah kering
tanah lembab
tanah dingin
Air
: air minum
air tercemar
Fetus yang diabortuskan

4 hari
66 hari
1511185 hari
51114 hari
301150 hari
180 hari

Sumber utama infeksi adalah material abortus dari sapi betina abortus
yang mencemari lingkungan via fetus,

dan peralatan yang terkontaminasi.

Ingesti pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan
brucellosis. Penularan juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang mengandung
kuman

atau melalui kontak langsung.

paling sering

ditemukan pada kelompok ternak yang bebas brucellosis melalui pemasukan
sapi betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari
hewan lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan
manusia yang terpapar (Blaha 1989).

9

Pada infeksi alam, masa inkubasi sulit ditentukan. Suatu penelitian
menunjukkan

bahwa

masa

inkubasi

bervariasi

dan

tergantung

tahap

perkembangan fetus, masa inkubasi terpendek adalah pada hewan dengan usia
kebuntingan tua. Jika betina terinfeksi secara oral pada saat masa kawin, masa
inkubasi dapat mencapai 200 hari, sedangkan jika betina tersebut terinfeksi 6
bulan setelah masa kawin, maka masa inkubasi kira1kira 2 bulan. Masa “inkubasi
serologi” (waktu dari terinfeksi sampai timbulnya antibodi) adalah beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Masa inkubasi bervariasi tergantung dari
virulensi, dosis bakteri, rute infeksi dan kepekaan hewan (PAHO 2003).
masuk ke tubuh hewan dan berkembang biak mula1mula dalam
limponodus regional dan kemudian dibawa oleh cairan limfe dan darah ke organ
lainnya. Pada suatu percobaan, bakterimia terdeteksi 2 minggu pasca infeksi dan
bakteri dapat diisolasi dalam aliran darah. Bakteri
dalam limponodus, uterus,

seringkali ditemukan

, limpa, hati dan pada organ genital sapi

jantan (PAHO 2003).
Penyebaran brucellosis terutama melalui mutasi ternak pembawa $

&

dari daerah tertular ke daerah bebas. Penyebaran penyakit terjadi dengan cepat
pada kawasan dengan sistem peternakan ekstensif. Sedangkan pada daerah
dengan sistem peternakan intensif, penyebaran penyakit relatif lambat (Rompis
2002).
Faktor yang berperan secara signifikan dalam penyebaran brucellosis
adalah manajemen beternak, terutama dalam hal manajemen induk yang
melahirkan dan lalu1lintas ternak (Makka 1989). Geong (1999) mengatakan
bahwa lalulintas ternak yang seringkali tanpa didahului dengan tes terhadap
brucellosis, mempunyai peranan yang signifikan dalam penyebaran brucellosis di
daratan Pulau Timor. Transmisi

kemungkinan juga dipermudah

oleh sistem peternakan di Pulau Timor yang bersifat ekstensif.
Makka (1989) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan prevalensi
brucellosis di antara kabupaten1kabupaten di Sulawesi Selatan. Infeksi
brucellosis lebih sering pada sapi yang digembalakan di dataran tinggi daripada
di dataran rendah. Hal ini kemungkinan karena perbedaan kepadatan populasi,
jumlah sapi yang digembalakan di dataran tinggi lebih banyak daripada yang di
dataran rendah, dimana sapi lebih sering ditambatkan dan dikandangkan.
Menurut Crawford

(1990), terdapat hubungan antara kepadatan populasi

dalam suatu kelompok ternak dan prevalensi penyakit, dimana kepadatan

10

populasi meningkatkan potensi kontak antara ternak yang sehat dengan ternak
sakit.
Gejala utama

pada betina bunting adalah abortus,

(anak mati sesaat setelah dilahirkan) atau kelemahan anak yang dilahirkan.
Umumnya, abortus terjadi pada pertengahan kebuntingan, seringkali disertai
, yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya metritis ataupun
infertilitas permanen. Pada betina yang dinseminasi dengan semen yang
terinfeksi, dapat menyebabkan estrus berulang. Pada betina yang tidak bunting,
tidak memperlihatkan gejala klinis, dan jika terinfeksi sebelum kawin, seringkali
tidak terjadi abortus. Pada pejantan, bakteri

dapat terlokalisir di testis,

yang menyebabkan kebengkakan testis, berkurangnya libido dan infertilitas.
Kadangkala testis menjadi atropi, adhesi dan fibrosis. Dapat pula terjadi seminal
vesikulitis, ampulitis, higroma dan arthritis. (PAHO 2003).
Menurut

Gul

dan

Khan

(2007),

terdapat

banyak

faktor

yang

mempengaruhi prevalensi brucellosis, yaitu kondisi iklim, geografi, spesies, jenis
kelamin, umur hewan dan tes diagnosa yang digunakan. Berdasarkan penelitian
Geong (1999), pada tahun 1996 seroprevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang
adalah 3,0% dan secara signifikan lebih rendah daripada di Kabupaten Belu
dengan seroprevalensi 29,2%. Bersamaan dengan hasil penelitian tersebut,
diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara gejala klinis yang ada dengan
seropositif terhadap CFT atau RBT. Di Kupang, 2,3% dari jumlah RBT positif
menunjukkan

(anak mati sesaat setelah dilahirkan), 9,1% infertil

(terhitung sudah 4 tahun sampai saat survei dilakukan tidak memproduksi/
menghasilkan anak). Tidak ada laporan abortus pada sapi seropositif, sedangkan
2% dari sapi seronegatif dilaporkan abortus.
Kabupaten Belu yang mempunyai seroprevalensi tinggi, sebanyak 32,9%
sapi seropositif mengalami abortus, sedangkan sapi seronegatif yang mengalami
abortus mencapai 9,1%, infertil mencapai 21,2%,

mencapai 11,8% dan

yang menderita higroma mencapai 2% (Geong 1999).
Di Belu,

( abortus dan higroma secara lebih signifikan dapat

dideteksi pada sapi seropositif daripada sapi seronegatif. Sapi yang abortus 9,6
kali lebih besar kecenderungan hasil pemeriksaan serologinya positif daripada
sapi yang tidak abortus. Sapi Bali di Belu 5,9 kali lebih cenderung mengalami
abortus daripada sapi di Kupang. Sapi di Kupang 13,5 kali lebih cenderung dapat
menghasilkan anak yang normal daripada sapi dari Belu (Geong 1999).

11

#
" #

&

" #

"
Pada prinsipnya, tujuan dan sasaran program pemberantasan brucellosis

pada sapi adalah memperbaiki lingkungan budi daya peternakan sehingga bebas
dari brucellosis, meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan
pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis 2002).
Strategi pemberantasan brucellosis harus disesuaikan dengan kondisi
sistem peternakan setempat. Di Indonesia, usaha peternakan sapi kebanyakan
dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat. Sistem
manajemen peternakan seperti ini sangat mempengaruhi pola penularan
penyakit (Rompis 2002).
Menurut Ditkeswan (2001), daerah tertular brucellosis terbagi atas 2
kriteria yaitu daerah tertular ringan dan daerah tertular berat. Daerah tertular
ringan yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis ≤ 2% (dengan uji CFT),
sedangkan daerah tertular berat yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis > 2%
(dengan uji CFT).
Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten
Kupang dan Belu dimulai sejak ditetapkannya Surat Keputusan Gubernur Nomor
13 Tahun 1993 tentang Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Brucellosis
di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Disnak Prov. NTT 2008c). Pencegahan dan
pemberantasan brucellosis di Provinsi NTT dilaksanakan melalui survei penyakit,
vaksinasi, pengujian ternak, pemotongan bersyarat, pengaturan lalu lintas ternak
dan identifikasi ternak (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a).
Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat (prevalensi brucellosis
>2%) dan kegiatan pemberantasan dilakukan melalui vaksinasi menggunakan
vaksin

strain 19. Sapi yang positif terhadap uji RBT diberi cap“S” di pipi

kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat. Pengeluaran ternak sapi bibit untuk
sementara dihentikan sampai Brucellosis dapat dikendalikan. Pengeluaran
ternak sapi potong dari Kabupaten Belu hanya diijinkan melalui Pelabuhan Wini
dan Pelabuhan Atapupu (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b).
Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu tahun
198612009 disajikan pada Tabel 2.

12

Tabel 2 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu
Tahun
Prevalensi
1986
29,6
1991
30,0
1994
33,4
1996
31,2
2000
20,39
2002
20,6
2003
15,66
2004
14,66
2005
13,44
2006
12,74
2007
15,62
2008
11,24
2009*
14,5
Sumber : Disnak Prov. NTT
*Lake PRMT 2010

Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi massal pada daerah tertular berat
(prevalensi >2%), dilakukan serentak terhadap seluruh populasi selama 5 tahun
berturut1turut. Vaksinasi tahun pertama dilakukan pada semua umur, pada tahun
kedua dan seterusnya pada yang umur muda saja dan yang belum tervaksin
pada tahun1tahun sebelumnya. Kemudian setelah tahun kelima dilakukan tes
prevalensi, dan jika prevalensi sudah ≤ 2 % dilanjutkan dengan
sampai tercapai status bebas.
Hasil survei Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI
Denpasar di Kabupaten Belu pada tahun 2004, dari 5.066 sampel yang diperiksa
dan berasal dari 4 kecamatan (Sasitamean, Malaka Timur, Tasifeto Barat dan
Kobalima) sebanyak 395 (7,79%) positif reaktor brucellosis secara CFT, yang
mengindikasikan bahwa program vaksinasi telah mampu menekan penyebaran
brucellosis di lapangan (Dartini
Vaksin

2004).
S19 merupakan jenis vaksin yang paling sering

digunakan dalam pengendalian brucellosis dibandingkan jenis vaksin yang lain
(OIE 2009). Jenis vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama lebih dari 7
tahun (Pusvetma 2007). Pengendalian dengan vaksinasi massal bertujuan untuk
menurunkan

prevalensi

penyakit

serendah1rendahnya.

Di

negara

Chili,

prevalensi brucellosis turun dari 7% menjadi 3% dalam kurun waktu 10 tahun
dengan proteksi 72,9%. Sedangkan di Argentina, prevalensi brucellosis turun
dari 17% menjadi 13% dalam kurun waktu 10 tahun dengan proteksi 79,4%
(Noor 2008).
Kabupaten Kupang merupakan daerah tertular brucellosis dengan
prevalensi ≤ 2% (tertular ringan), sehingga pengendalian brucellosis melalui

13

potong bersyarat $

& terhadap ternak sapi yang positif terhadap

uji RBT (ternak reaktor). Ternak reaktor diberikan penandaan cap “S” di pipi kiri
(Disnak Prov. NTT 2008b).

Gambar 1. Peta Administrasi Provinsi NTT

Menurut Ditkeswan (2001),

dilakukan dengan :

(1) Tes RBT pada semua (100%) ternak sapi betina umur 12 bulan atau lebih
dengan rincian :
a) Tes pertama pada semua desa di unit lokasi sasaran.
b) Tes kedua hanya pada desa1desa tertular/positif CFT dari test pertama
saja.
c) Tes ketiga pada tahun ke12 dan hanya pada desa1desa yang positif CFT
sebelumnya

sampai

sementara/

tidak
%

ditemukan

reaktor

brucellosis

(bebas

).

(2) Tes CFT pada semua sapi yang positif hasil tes RBT.
(3) Pemotongan reaktor pada semua sapi yang positif CFT.

Pada daerah tertular ringan (prevalensi ≤ 2%) jika tidak dilakukan
pemberantasan sejak dini, maka dalam 10 tahun mendatang prevalensi akan
naik menjadi > 10% bahkan sampai 50180% (Ditkeswan 2001). Kegiatan
pemotongan

bersyarat

terhadap

reaktor

brucellosis

diharapkan

dapat

mengakibatkan penurunan jumlah reaktor/sumber infeksi dari kelompok ternak
(minimal 1%), penurunan jumlah desa dengan kategori tertular secara bertahap,

14

perluasan wilayah bebas brucellosis, peningkatan jumlah kelahiran hidup dan
penurunan jumlah sapi abortus, higroma dan infertil (Disnak Prov. NTT 2008b).
Pemasukan ternak sapi ke wilayah NTT harus disertai surat keterangan
uji brucellosis negatif. Pengeluaran ternak sapi bibit harus disertai dengan surat
keterangan uji brucellosis negatif (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a).
Ternak sapi bibit yang dikeluarkan melalui Pelabuhan Laut harus dilakukan
tindak karantina minimal 40 hari dan dilakukan uji RBT sebanyak 2 kali, yaitu
pertama di

pemerintah/swasta dan di karantina pelabuhan

pengeluaran ternak. Ternak bibit yang positif uji brucellosis tahap I atau tahap II
diberi cap “S” di pipi kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat (Gubernur
Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b).
Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang tahun
198612009 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang
Tahun
Prevalensi (%)
1986
1,5
1991
5,0
1994
3,0
1996
0,7
2000
1
2002
1
2003
1
2004
1,6
2005
1,1
2006
1,98
2007
1
2008
6,85
2009*
2,0
Sumber : Disnak Prov. NTT
*Perwitasari 2010

Noor (2008) mengatakan bahwa pemberantasan brucellosis dengan
potong bersyarat dapat memberikan hasil yang sangat nyata apabila prevalensi
penyakit rendah. Potong bersyarat harus dilakukan secara ketat untuk
menghindarkan reinfeksi. Adapun negara yang menerapkan sistem ini dan
berhasil adalah Cekoslovakia dan Swiss.

15

' ' '(
)
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 1 Agustus 2010. Lokasi
penelitian di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Belu 1 Provinsi Nusa Tenggara
Timur.

Data1data yang diperlukan dalam melakukan kajian biaya manfaat ini
meliputi :
1. Data primer
Pengumpulan data primer melalui wawancara peternak menggunakan
kuesioner terstruktur. Penentuan sampel peternak menggunakan metode
dengan jumlah peternak yang diwawancarai
sejumlah 60 orang (n = 60) untuk masing1masing kabupaten.
Penentuan wilayah

didasarkan pada kriteria : wilayah

kecamatan dengan populasi sapi bali yang tinggi, mempunyai prevalensi
brucellosis yang tinggi dan kemudahan akses menuju wilayah tersebut
2. Data sekunder, antara lain data vaksinasi, data realisasi potong
bersyarat, dana pengendalian dan pemberantasan brucellosis, data
populasi ternak serta data pendukung lainnya.

Kajian biaya manfaat dilakukan secara prospektif (10 tahun ke depan dari
saat

penelitian

dilakukan).

Kajian

biaya

manfaat

pengendalian

dan

pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif
program yaitu Program A dan Program B. Program A merupakan program yang
dilakukan sekarang, yaitu vaksinasi dengan cakupan rata1rata 57 % dari populasi
ternak betina wajib vaksinasi. Program B merupakan program yang diusulkan,
yaitu vaksinasi intensif dengan cakupan rata1rata 80% dari populasi ternak betina
wajib vaksinasi.
Sedangkan untuk Kabupaten Kupang, kajian juga dilakukan terhadap 2
alternatif program. Program A merupakan program yang dilaksanakan saat ini,
yaitu potong bersyarat dengan rata1rata realisasi 2,15% dari perkiraan jumlah
reaktor. Program B merupakan program yang diusulkan, yaitu pelaksanaan

16

potong bersyarat secara intensif dan bertahap selama 6 tahun terhadap seluruh
reaktor (100%).
Tahap1tahap kajian biaya manfaat :
1. Menetapkan

(laba kotor)

2. Menetapkan variabel1variabel yang berpengaruh, seperti : tingkat
kematian (anak & dewasa), tingkat kelahiran anak, harga berat hidup
(Rp/kg), pemanfaatan ternak (misal untuk membajak), tingkat diskonto,
komisi, biaya pakan tambahan, biaya kesehatan, transpor dan biaya
pemasaran.
3. Menghitung

biaya

variabel

yang

diperlukan

untuk

pelaksanaan

pengendalian penyakit dan tahun dimana biaya tersebut dikeluarkan.
4. Menetapkan perkiraan kapan diperoleh manfaat dari pelaksanaan
program.
5. Menetapkan dan menghitung biaya infrastruktur.
6. Menetapkan daerah penelitian
7. Menghitung

*% + “dengan” dan “tanpa program” .

8. Menghitung diskon
9. Membandingkan skenario “dengan” dan “tanpa program” menggunakan
,

(NPV),

% -

(BCR) dan

%

(IRR).
10.
Terdapat 3 kriteria yang digunakan dalam kajian biaya manfaat, yaitu (Putt
1987) :
1

,

(NPV)

,

(NPV) disebut juga ,

Bersih Sekarang, yaitu hasil pengurangan nilai
(PVB) –

%

.

(NPW) atau Nilai
%

(PVC).

Secara matematis, nilai NPV disajikan dalam rumus :
n
NPV =

Σ
t=1

B t – Ct
(1 + i)t

dengan :
C1 = nilai total biaya $

& pada periode waktu t

B1 = nilai total keuntungan $
i

= tingkat diskonto $

% & yang diperoleh pada periode waktu t
&

%

17

n = berlangsungnya kegiatan proyek (jumlah tahun)
Suatu proyek dianggap dapat berjalan jika PVB > PVC atau NPV positif.
2.

%

(B/C

)

Yaitu perbandingan antara

%

% (PVB) dan

%

B/C =

n

Bt



(1 + i) t

Bt

t=1

=
Ct



(1 + i) t

Ct

Proyek dianggap dapat berjalan jika rasio ≥ 1

3.

%

(IRR)

Yaitu suatu

dimana PVB = PVC.

n
IRR = ∑

B t – Ct

t=1

(1 + r )

= 0
1

Suatu proyek dapat diterima apabila i>r, dimana i =

(tingkat

diskonto) yang digunakan untuk menghitung PVB dan PVC, sedangkan r =
minimum

yang dapat dite