PEMBAHASAN PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA BERDASARKAN PASAL 7A UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

11

BAB II PEMBAHASAN

Indonesia adalah negara demokrasi 15 yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum 16 , hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, negara wajib menjunjung supremasi hukum supremacy of the law sebagai salah satu sendi politik bernegara, disamping sendi-sendi lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Dalam konsep negara hukum bahwasannya semua tindakan para penyelenggara negara harus berdasarkan konstitusi. Konstitusi adalah dokumen nasional dan juga alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum suatu negara. 17 Konsep negara hukum moderen di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte. Adapun dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi nomocratie yang berarti penentu dalam penyelenggaraan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechtsstaat mencakup empat elemen penting, yaitu: 18 1. Perlindungan hak asasi manusia. 2. Pembagian kekuasaan. 15 Demokrasi terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak dan kratos yang artinya kekuasaan. Jadi demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani kuno berarti kekuasaan yang berada di tangan rakyat, Hafied Cangara, 2011, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Cet. III, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 53. 16 Negara hukum bahasa Belanda: rechtstaat: negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum, Negara Hukum, Ensiklopedia Indonesia N-Z, N.V, W Van Hoeve, hal. 983 dalam Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, cet. kedua, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 3. 17 Pemikiran dari Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam bukunnya Written Constitution yang dikutip oleh Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan, dalam Hukum dan Kekuasaan, 1998, Editor: Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Cet. I, FH-UII, Yogyakarta, hlm. 95. 18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Konstitutionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hlm.122 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar- Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 130. 12 3. Pemerintah berdasarkan undang-undang 4. Peradilan tata usaha negara Adapun A.V. Dicey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law, yaitu: 19 1. Supremacy of Law 2. Equality before the Law 3. Due Process of Law International Commission of Jurist menentukan pula syarat-syarat representative government under the rule of law, sebagai berikut: 20 1. Adanya proteksi konstitusi. 2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak. 3. Adanya pemilihan umum yang bebas. 4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat. 5. Adanya tugas oposisi. 6. Adanya pendidikan civic. Prof. Bagir Manan dalam bukunya “Teori dan Politik Konstitusi” mengemukakan bahwa jika ditinjau dari aspek penegakan hukum law enforcement, negara hukum menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran. 21 Namun prinsip negara hukum belum sepenuhnya dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Kenyataan atau fakta menunjukkan bahwa hukum terkadang justru “dikalahkan” oleh kekuatan-kekuatan lain, misalnya kekuatan politik. Padahal seharusnya anasir meta yuridis tersebut tunduk terhadap hukum. Kenyataan ini salah satunya tercermin dalam pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden dalam 19 Prinsip-prinsip The Rule of Law di Inggris lihat A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition, London: Macmillan Education LTD, 1959 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 130. 20 Sri Sumantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cetakan VI, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989, hlm.12-13 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 131. 21 Pemberhentian Presiden DanAtau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia, http:fristianhumalanggionline.wordpress.com20120506 pemberhentian- presiden- danatau- wakil- presiden- dalam- masa- jabatannya- menurut- sistem- ketatanegaraan- indonesia, diakses Sabtu 19 April 2014. 13 masa jabatannya atau dikenal dengan istilah impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian presiden pada masa jabatannya karena suatu tuduhan atau dakwaan diartikan sebagai pemakzulan impeachment . Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Blacks Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called “articles of impeachment”; for example, a written accusation by The House of Representatives of the United State to the Senate of the United State against the President, Vice President, or an officer of the United State 22 . Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Mekanisme impeachment dalam pemerintahan presidensil ini dipersiapkan untuk mengingatkan Presiden, di mana jabatannya sewaktu-waktu dapat terancam diberhentikan di tengah jalan jabatannya apabila benar-benar telah melanggar ketentuan- ketentuan yang digariskan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945 perubahan ketiga, “bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR atas usul Dewan Perwakilan Rakyat DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden”. 22 Henry Campbell Black, M. A., Black’s Law Dictionary, 1979, Fifth Edition, ST. Paul Minn, West Publishing Co., page. 678. 14 Berdasarkan ketentuan ini, maka jenis pelanggaran hukum yang dapat dijadikan alasan dasar untuk memberhentikan Presiden danwakil Presiden dalam masa jabatannya, bukan karena alasan-alasan politik. Dengan demikian hal yang menjadi alasan hukum yang dimaksud dalam UUD 1945 sesuai dengan ketentuan pasal 7A yaitu: 1. Pengkhianatan terhadap negara. 2. Korupsi. 3. Penyuapan. 4. Tindak pidana berat lainnya. 5. Perbuatan tercela. 6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden. Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 7A UUD 1945 maka ada 6 jenis pelanggaran hukum untuk dapat memberhentikan seorang Persiden danatau Wakil Presiden dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatan. Dengan kata lain, seorang Presiden danwakil Presiden diberhentikan ditengah jalan dari jabatan Presiden danatau Wakil Presiden sesui ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945. Dengan begitu terminologi yang digunakan dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945 pada perubahan ketiga ialah terminologi hukum pidana dan juga sebagian dipengaruhi oleh faktor politik. 23 Sehingga untuk dapat memberhentikan Presiden danatau Wakil Presiden apabila sudah dapat benar- benar teruji keabsahan menyangkut pelanggaran hukum pidana ataupun subjektivitas faktor politik. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses impeachment Presiden danatau Wakil Presiden sebagaimana ketentuan tersebut di atas, minimal tuduhan tersebut harus dapat teruji di dalam peradilan Mahkamah Konstitusi baik karena tuduhan hukum pidana atau karena sebab faktor politik, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 Hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum, Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Cet. I, LP3ES, Yogyakarta, hlm . 1. 15 Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden danatau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dimana untuk kasus tuduhan terhadap Presiden danatau Wakil Presiden yang disebabkan oleh faktor subjektivitas politik DPR prihal tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden harus benar-benar teruji objektivitasnya. Karena itu terdapat dua alasan pemberhentian Presiden faktor-faktor pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden menurut UUD 1945 yaitu karena terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum pidana dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden secara objektivitas politik. Untuk mengetahui lebih lanjut, meskipun UUD 1945 tidak merincikan apa yang dimaksud dengan jenis-jenis pelanggaran hukum yang tercantum pada Pasal 7A UUD 1945 tersebut. Dalam hal ini secara lebih rinci telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan tentang jenis-jenis tidak pidana yang tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945 “khususnya” sebagai mana yang dalam hal ini tercantum yakni: 1. Pengkhianatan terhadap negara. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang diatur pada Pasal 10 ayat 3 huruf a, yang menyatakan: “pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, hal ini diatur dalm Undang-Undang Hukun Pidana KUHP tentang Kejahatan, pada Bab I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara disebut dalam Pasal 104 sampai dengan 129. Selain itu, ada juga Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana terhadap 16 keamanan negara selain yang terdapat dalam KUHP, yaitu tindak pidana terorisme sebagaimana tang diatur Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 2. Korupsi dan penyuapan Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya pasal 10 ayat 3 huruf b, yang menyatakan: “korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Definisi dan pembrantasan mengenai tindak pidana korupsi ataupun penyuapan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula korupsi dan penyuapan yang terkait dengan penyelenggara negara diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. 3. Tidak pidana berat lainnya. Tidak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat 3 huruf c yang menyatakan: “tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih”. Artinya bahwa tindakan atau perbuatan pidana yang diancam pidana penjara lebih dari 5 lima tahun dikategorikan sebagai tindak pidana berat. 4. Perbuatan tercela Perbuatan tercela yang dimaksud adalah sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat 3 huruf d yang menyatakan: “perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden danatau Wakil Presiden”. Definisi yang di jelaskan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat 3 huruf d memang masih mengandung multitafsir. Sebab bentuk-bentuk perbuatan yang dimaksud perbuatan tercela ini juga sangat beragam dan mengundang perdebatan. Pemaknaan terhadap perbuatan tindakan tercela yang dilakukan oleh presiden memiliki batasan yang cukup luas. Asumsi tindakan tercela akan 17 terkendala pada bentuk aturan mana yang dapat dijadikan dasar untuk membingkai tindakan tercela yang dilakukan presiden. Ketiadaan aturan yang menjelaskan perilaku menjadi salah satu kendalanya. 24 5.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden adalah penilaian pada seorang Presiden danatau wakil Presiden, diatur dalam Pasal 10 ayat 3 huruf e dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan: “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen menyatakan: 1 Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 2 Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pendekatan hukum pidana menjadi mungkin digunakan untuk membingkai jenis pelanggaran yang dilakukan Presiden berdasarkan sumpah jabatan yang diucapkan Presiden pada saat pengangkatannya. Berdasar Pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden danatau Wakil Presiden berkewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil- adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang- undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Presiden yang bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan, termasuk di dalamnya KUHPidana. Pertimbangan aspek pidana dalam proses pengawasan dan pemberhentian presiden bukan untuk semata- mata melindungi lembaga kepresidenan dari intrik politik, tetapi juga mempertegas kembali nilai-nilai keadilan bagi Presiden dan juga Legislatif. Pendekatan hukum pidana 24 Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http:hamdanzoelva.wordpress.com20071221 membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden, diakses Minggu 27 April 2014. 18 juga akan mendorong terjadinya pertanggung-jawaban presiden yang tak hanya secara politis tetapi juga dalam konteks hukum pidana atas tindakan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban yang menyeluruh tersebut sering hilang dalam sejarah pemberhentian presiden yang dimiliki indonesia. Sebagian besar pertanggungjawaban Presiden berhenti setelah turunnya Presiden dari jabatan. Walaupun secara hukum ketatanegaraan sudah selesai tetapi dalam kacamata hukum pidana belum selesai. 25 25 Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http:hamdanzoelva.wordpress.com20071221 membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden, diakses Minggu 27 April 2014. 19

BAB III PENUTUP