Analisa Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan

Dalam hal ini pernah terjadi statu kasus di Mahkamah Syari’ah Kelantan, yaitu kasus yang dialami oleh Daud bin Mamat. Ia keluar dari Islam sehingga difonis sebagai orang yang murtad berdasarkan Undang-Undang Syari’ah Kelantan di bawah syeksen 102 Enakmen 1994 yang dibuat oleh Dewan Undangan Negeri Kelantan yakni yang menyatakan bahwa seorang yang beragama Islam tidak boleh mengakui dirinya bukan Islam. Berbeda dengan perkara 11 1 Undang-undang Perlembagaan Persekutuan tentang Hak Kebebasan Beragama. Argumen tersebut ditolak oleh Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Rayuan Banding. Yang menetapkan bahwa syeksen tersebut “bukan menghalang seorang Islam untuk keluar daripada agama Islam”. 71 Terdapat dua putusan mahkamah yang berbeda, menurut keputusan Mahkamah Syari’ah Kelantan bahwa seorang yang keluar dari agama Islam difonis sebagai seorang yang murtad dan dapat dikenakan sanksi pidana sedangkan berdasarkan keputusan Mahkamah Sipil hal itu tidak termasuk suatu perbuatan pidana karena pindah agama merupakan hak kebebasan agama seseorang.

C. Analisa Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan

Sebagaimana disinggung di muka bahwa salah satu yang menjadi titik perbedaan antara Undang-Undang Syari’ah dan Sipil adalah pada wewenang 71 Mahamad Arifin, et al., Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, h. 47 keduanya. Jika Undang-Undang Syari’ah hanya berwenang pada masalah- msalah yang berkaitan dengan hukum keluarga baik yang menyangkut pertunangan, perkawinan, perceraian, maskawin, nafkah, adopsi anak, kedudukan dan penjagaan anak serta masalah wasiat. Sedangkan wewenang Undang-Undang Sipil mencakup keseluruhan masalah-masalah sipil kecuali yang berkaitan dengan agama Islam dan adat. Kendati kedua Undang-Undang tersebut berbeda dalam kewenangannya namun terdapat beberapa poin yang menjadi titik persamaan mereka, yakni bahwa dalam Undang-Undang Syari’ah dan Sipil sama-sama memuat ketentuan tentang masalah pidana dan masalah harta, meskipun dengan ruang gerak yang berbeda. Ruang gerak masalah Pidana dalam Undang-Undang Syari’ah terbatas pada masalah-masalah sebagaimana disebutkan di bawah ini: 1. menghina keputusan mahkamah. 72 2. Sedang Kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan akhlak, seperti berkelakuan tidak sopan dan lelaki berlagak seperti perempuan di tempat- tempat umum. 3. Masalah seks, seperti zina, berkhalwat, hamil atau melahirkan anak diluar nikah. 4. kesalahan yang berhubungan dengan amalan agama, seperti mengeluarkan atau berhubungan kata-kata yang bertentangan dengan hukum syara, 72 Ibid., h. 140 melakukan maksiat, menjual-beli maupun meminum minuman keras dan tidak berpuasa di bulan ramadhan. 5. Kesalahan yang berhubungan dengan kesejahteraan orang lain. Seperti menghasut, melacurkan anak, melarikan atau mempengaruhi perempuan supaya lari dari penjagaan orang tuanya, menjual atau menyerahkan anak- anak kepada seorang yang bukan Islam, menjadi mucikari. Kesalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan Undang-Undang Islam, seperti membantah, mengingkari hakim-hakim agama, serta mengingkari, membantah dan dalam masalah harta ketentuannya terbatas pada: pemberian dan pembagian harta dan amanah yang bukan untuk kebaikan, wakaf Islam, yayasan khairat, zakat mal dan fitrah, baitul mal dan hasil dari pungutan badan agama Islam. 73 Perbedaan lainnya adalah tidak ada ketentuan yang mengikat secara ketat kepada setiap muslim untuk menundukkan diri di bawah kekuasaan Undang- Undang Syari’ah, sehingga tidak sedikit umat muslim di Malaysia yang dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan umat muslim lainnya justru menggunakan Undang-Undang Sipil bukan Undang-Undang Syari’ah. Penulis ingin menyentuh kedudukan dan wewenang Undang-Undang Syari’ah dan Undang-undang Sipil, jelas penulis dapat melihat suatu penbandingan dengan amat jelas dimana kedudukan yang diberikan oleh Undang- 73 Noor Aziah Mohd Awal, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan di Malaysia, Kuala Lumpur: International law book, 2007, h. 191. Undang Persekutuan kepada Undang-Undang Sipil jauh lebih tinggi daripada kedudukan yang diberikan kepada Undang-Undang Syari’ah yang hanya berada di bawah wewenang kerajaan Negara bagian, wewenangnya hanya tindak pidananya sebesar tidak melebihi 5000 ringgit malaysia atau perintah kurungan tidak melebihi tiga tahun, namun begitu adakalanya Undang-Undang syari’ah ini bercanggah dengan Undang-Undang Sipil seperti kasus murtad dimana Mahkamah Syari’ah menyatakan perkara murtad adalah salah dan boleh ditindak pidana, manakala Mahkamah Sipil pula menyatakan tidak salah karena diberi hak kebebasan beragama. Perkara 11 1 menyatakan bahwa “bukan menghalang seseorang Islam untuk keluar dari Agama Islam”. Begitu juga Undang-Undang waris seorang Isteri tidak berhak menerima kesemua harta pusaka suaminya menurut Undang- Undang Syari’ah, namun berpandukan Undang-Undang sipil hakim memutuskan wasiat tersebut adalah sah dan Istrinya berhak mendapat kesemua harta milik suaminya. Masih adanya ketimpangan atau ketidak sesuaian implementasi kewenangan antara Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil, hal ini menurut penulis karena di samping masih terbatasnya Undang-Undang Syari’ah di setiap negara bagian juga karena kewenangan Mahkamah syari’ah lebih rendah dari pada kewenangan Mahkamah Sipil. Oleh karena itu menurut pandangan penulis seharusnya Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil mempunyai kewenangan yang sama sehingga tidak akan terjadi ketimpangan atau ketidak sesuaian tersebut.

BAB V PENUTUP