Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru

spirit keikhlasan dan tak kenal lelah itulah yang menjadikan ulama atau elit keagamaan memiliki peran strategis di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mesti diteladani dan dibangun oleh MA dewasa ini. 116 Realitas yang ada menunjukan, umumnya ormas-ormas keagamaan di Indonesia disinyalir telah dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan politik para elit ormas. Kepatuhan dan ketaatan terhadap Anggaran Dasar dan Rumah Tangga ADART sebagai pondasi organisasi sudah tidak ditaati dan digubris oleh para elit ormas tersebut. Oleh karena itu, MA pada momentum Muktamar 2010 ini, diharapkan dapat kembali pada tujuan Khittah utamanya ketika pertama kali didirikannya 1916, MA harus kembali berfungsi sebagai pembangun keummatan, kenegaraan dan kebangsaan serta menjadi pengawal moral yang berdiri sendiri secara netral di atas semua golongan. 117 Sedangkan peran politik MA yang dapat diambil dan dimainkan tanpa harus terperangkap dalam pergulatan politik praktis, yaitu ; MA dapat mengambil posisi sebagai kekuatan politik atau “kekuatan moral” yang memainkan fungsi selaku kelompok kepentingan atau sebagai kelompok penekan yang efektif yang berusaha mempengaruhi kebijakan negara atau pemerintah Pusat dan Daerah tanpa harus memperoleh jabatan-jabatan politik. Sebagaimana yang ungkapan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din 1933 yang dikutip oleh Ali Rahmena bahwa, dekatnya ulama intelektual, cendikiawan atau para elit kegamaan terhadap kekuasaan atau pemerintah, akan menghilangkan daya kontrol ulama terhadap penguasa. Sehingga, hilangnya daya kontrol ulama 116 “Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1. 117 Iin Solihin, “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah 1916,” Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8. terhadap penguasa menyebabkan terjadinya demoralisasi terhadap ulama atau elit keagamaan yang dapat merusak moral pemerintah atau penguasa yang berdampak buruk bagi masyarakat, hal tersebut sebagaimana dewasa ini terjadi di Indonesia dengan adanya budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN. 118 Dari komitmen ini, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa partisipasi politik Mathla’ul Anwar pasca Muktamar 2010 dalam konstelasi politik baik ditingkat Nasional, Provinsi maupun Daerah, secara kelembagaan bersifat independent dan di atas semua golongan. Walaupun keterlibatan tokoh-tokoh MA dalam politik praktis merupakan bukan hal yang baru, karena memang sudah dijalani oleh tokoh-tokoh MA sejak awal berdirinya organisasi, seperti yang dilakukan oleh KH. Entol Yasin, KH, Mas Abdurahman 1916-1920, KH. Uwes Abu Bakar, KH. Nafsirin Hadi 1945-1970, M. Irsyad Djuwaeli 1980-2009 dan tokoh lainnya. Dewasa ini, beberapa tokoh MA kecuali Ketua Umum PBMA yang masuk dalam partai politik dilandasi oleh beberapa pemikiran. Pertama, karena mereka ingin menjadikan politik sebagai areal atau media dakwah yang mampu membawa perubahan bagi partai yang mereka masuki. Kedua, mereka melihat bahwa partai tersebut mampu mengembangkan potensi dan naluri politik yang mereka miliki. Ketiga, masuk dalam partai politik adalah upaya untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga menghasilkan pemerintahan yang kuat dan dapat mensejahterakan masyarakat. 118 Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam Bandung: Mizan, Cet: II, 1996, h. 11 Secara personal orang-orang MA dituntut memainkan peran-peran politik itu secara efektif dan produktif dan jangan sampai melakukan uzlah keluar dari komunitas politik. Karena politik hendaknya dipandang secara positif dan dijadikan media dakwah yang dimainkan secara beradab dan bermoral untuk pencerahan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan secara universal Sedangkan secara institutional, MA dituntut untuk merevitalisasi peran politik sebagai kelompok kepentingan yang memainkan berbagai macam fungsi politik tanpa harus terperangkap pada permainan riel politik atau politik praktis. Pertama, mengenai politik dalam konteks ajaran Islam sebagai ajaran yang menyeluruh yang menyangkut aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiyah. Politik sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya termasuk ke dalam bagian dari ibadah dalam artian umum atau merupakan wilayah dari mu’amalah, yang harus dijamah dan dikelola oleh MA sebagai bagian tedak terpisahkan dari misi membentuk masyarakat utama dan mengemban pesan rahmatan lil ‘alamin. Kedua, politik sebagai bagian penting dari kehidupan dan merupakan instrument dakwah. Bahwa politik sebagai bagian dari al-amr ad-dunya urusan dunia merupakan komponen kehidupan yang penting dan strategis sebagaimana bidang kehidupan lainnya, yang tidak kotor, hina dan jahat sebagaimana kesan umum dalam pandangan yang negative tentang politik. Politik itu dapat menjadi baik, mulia dan bersih manakala dibingkai oleh moral dan diperankan oleh orang- orang yang juga bermoral sehingga melahirkan politik yang berkeadaban. Ketiga, masalah implikasi dari sikap negative terhadap politik, selain bertentangan dengan pandangan dasar keagamaan MA sebagai pembangun atau pengawal moral keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Tentunya, partisipasi politik MA akan berpengaruh dan bermanfaat untuk mempengaruhi suatu kebijakan pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Karena, hal tersebut jika tdak dilakukan selain bertentangan dengan hakikat MA sendiri sebagai pengawal moral, juga berdampak terjadi marginalisasi bagi organisasi MA dari dunia kultural maupun struktural yang pada akhirnya tidak mustahil MA sendiri akan menjadi korban politik kekuatan-kekuatan lain. Keempat, menyangkut tuntutan dan pertanggungjawaban atas moralitas politik. Bahwa jika kekuatan-kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki misi luhur dan didukung massa yang besar seperti MA tidak mengambil bagian dalam proses politik nasional secara aktif, maka dunia politik pada khususnya dan nasib bangsa pada umumnya akan merasa rugi karena tidak memperoleh sentuhan moralitas nilai-nilai keagamaan yang dibawa oleh gerakan-gerakan keagamaan seperti MA.

D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan 1. Peluang

Sebagai organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial ekonomi, MA telah melewati masa-masa perjuangannya yang cukup panjang. Kini diusianya yang ke- 94 tahun, MA berjuang dan berkhidmat kepada masyarakat dengan senantiasa menebar cahaya, berupaya secara terus menerus dan konsisten merubah kondisi masyarakat yang diliputi kebodohan dan keterbelakangan menjadi masyarakat maju dan cerdas yang bertakwa kepada Allah SWT. Ormas keagamaan baik secara teoritis-normatif maupun historis-empirik, menempati posisi strategis dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik masyarakat. Secara historis, posisi yang pernah dimainkan memiliki effektivitas melebihi peran dan posisi yang dimainkan oleh organisasi politik formal Partai Politik. Karena itu, organisasi politik formal sulit memperlihatkan konsistensi pada suatu prinsip, antara lain karena strategi politik yang dilatari oleh kepentingan-kepentingan politik yang terkesan pragmatis. Kekuatan-kekuatan kultural yang dimiliki oleh ormas keagamaan pada era reformasi, tetap menawarkan peluang yang besar untuk memainkan peran penting dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik masyarakat. Sekalipun ormas keagamaan memiliki ketangguhan kultural, ini tidak berarti bahwa hanya mampu bermain diseputar lingkar wilayah kultural, karena wibawa serta potensi kultural yang dimilikinya tetapi diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan struktural pemerintah. Sehingga dengan demikian Ormas keagamaan memiliki kekuatan dan potensi untuk melakukannya dengan pendekatan kultural maupun struktural sekaligus. Dengan demikian, peran ormas keagamaan selain memperluas perannya dalam proses menciptakan kesejahteraan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan, juga akan memperkuat organisasi untuk lebih maju dan dituntut untuk mererspon setiap permasalan-permasalahan kekinian.

2. Tantangan

MA sebagai organisasi keagamaan terbesar di Banten dan terbesar ketiga di Indonesia setelah NU 1926 dan Muhammadiyah 1912. Tetapi, MA merupakan salah satu organisasi keagamaan yang kurang dikenal baik dikalangan akademisi maupun dikalangan masyarakat muslim umumnya. Menurut Ali Nurdin, 119 ada tiga alasan yang menyebabkan MA kurang dikenal. Pertama, MA sejak awal pendiriannya 1916 hingga dewasa ini memfokuskan gerakan- gerakanya kultural di wilayah pedesaan atau pinggiran. Kedua, akibat kurangnya perhatian publik media cetak dan elekronik. Ketiga, kontribusi MA dalam politik mempunyai pengaruh yang relatif kecil. Hal senada juga diungakapkan oleh Herman Fauzi, 120 selain MA masih orientasinya ke pedesaan, akibatnya tak jarang warga MA tidak mendapatkan informasi. Pertama, MA kedepan dalam gerakannya harus berorientasi kota, karena akses untuk mendapatkannya berada diwilayah perkotaan. Sehingga hal ini tentunya turut memandekan dunia pendidikan yang merupakan unsur penting dalam membangun sebuah peradaban besar. Kedua, MA saat ini mengalami degradasi menyangkut persoalan ideologi yang tidak pernah dievaluasi dalam konteks hubungan sosial, tetapi MA lebih fokus kepada soal-soal fiqiyah. Ketiga, pada kepemimpinan Ketua Umum. Irsyad Djuwaeli selama 20 tahun telah menghilangkan independensi MA yang terkooptasi untuk kepentingan politik praktis dan untuk kepentingan pribadi. Sehingga, menyebabkan warga MA kehilangan sebagian hasrat warga MA untuk membangun dan bergabung dengan 119 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 120 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi. MA lagi. Keempat. rendahnya aksebilitas terhadap pemerintah baik Pemerintah Daerah maupun Pusat untuk menjalin kerja sama dalam program pemberdayaan masyarakat secara luas. Kelima, tidak adanya kesinambungan komunikasi antara pengurus ditingkat Pusat PBMA, Daerah, Provinsi dan konstituen sebagai sarana untuk memperkuat institution building. Maka dari itu, sudah selayaknya organisasi MA meninjau kembali untuk meningkatkan kiprahnya disegala aspek.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Mathla’ul Anwar MA sebagai salah satu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural pendidikan, dakwah dan sosial memiliki posisi yang strategis dan khas dibandingkan dengan organisasi lain umumnya. Pertama , bahwa secara khusus ormas keagamaan dibentuk bukan untuk mencari keuntungan apalagi yang bersifat material financial. Kedua, organisasi sosial keagamaan berada di luar wilayah organisasi pemerintah dan nonpolitik. Ketiga, bahwa dalam gerakan atau kegiatannya lebih memusatkan sasarannya pada kepentingan untuk kemajuan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Secara umum, peran ormas keagamaan dalam pemberdayaan terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat muslim di Indonesia. Pertama, ormas keagamaan telah memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat muslim. Kedua, sebagai media atau menjadi “kendaraan” untuk memobilisasi sosial untuk melakukan identifikasi keagamaan dimana umar Islam menegaskan kerjasama sosialnya dan pandangan keagamaanya. Ketiga, ormas keagamaan memberikan rasa aman untuk pelarian politik dan kelompok solidaritas diluar etalase politik. Keempat, ormas keagamaan membentuk makna yang efektif untuk mengekspresikan ide-ide dan pilihan politik mereka. Kelima, melalui struktur organisasi yang ekstensif, network, dan hiraki mereka memberikan pelayanan sebagai sarana latihan kepemimpinan dan untuk 91