Simbol Politik dan Keculasan Politik dalam Novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono

Telangkai Bahasa dan Sastra, Januari 2015, 1-9 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

Tahun ke-9, No 1

SIMBOL POLITIK DAN KECULASAN POLITIK DALAM NOVEL GLONGGONG KARYA JUNAEDI SETIYONO

Sugiarti Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Malang
atika_umm@yahoo.co.id

Abstrak Karya sastra sebagai karya seni merupakan representasi dari realitas kehidupan sosial. Sastra tidak dapat dilepaskan dengan persoalan politik yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan politik menjadi menu utama dalam konsumsi publik, baik dari masyarakat kalangan bawah hingga atas demikian pula dalam sastra. Politik dalam sastra sangat dipengaruhi oleh kecermatan pengarang dalam merespon realitas politik yang terjadi dalam kehidupan. Novel Glonggong secara nyata maupun tersembunyi mengekplorasi persoalan politik yang terjadi di lokasi keraton. Intrink-intrik politik dan keculasan politik di dalamnya menarik untuk dikaji. Tujuan penelitian ini untuk (1) simbol politik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono; (2) keculasan politik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pembacaan hermeneutik serta interaksi dialektik sehingga diperoleh informasi yang komprehensif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa (1) simbol politik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono dapat diungkapkan bahwa setiap orang yang berada pada kekuasaan selalu akan berpolitik baik secara terus terang maupun sembunyisembunyi; (2) keculasan politik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono dapat dijelaskan bahwa banyak tokoh yang berubah pikiran ketika dihadapkan pada pilihan membela yang benar atau memihak yang berkuasa. Terjadi perseberangan kepentingan antara pengikut pribumi berpindah kolonial hanya untuk kepentingan pribadi yang sifatnya sementara. Perlakuan-perlakuan secara tidak manusiawi selalu dialami oleh kelompok pribumi yang melakukan perlawanan
Kata-kata kunci: politik, kekuasaan, perseberangan, kolonial

PENDAHULUAN
Dalam mengkaji hubungan novel dengan masyarakatnya tidak mungkin hanya dilakukan hanya berdasarkan teks sastra. Keberadaan teks harus dilengkapi dengan pengetahuan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam dunia makro kita dapat mengetahui peran kehidupan intelektual pengarang dalam masyarakat di suatu zaman, di sektor sastranya (Sugiarti , 2014). Selanjutnya Damono (1984: 4-5) mengemukakan bahwa pendekatan sosio kultural dalam sastra mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri; (2) gagasan
1

Sugiarti
yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya: bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik penulisannya: bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik ditentukan oleh gagasan tersebut; (3) setiap karya sastra yang bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan maupun dalam hubungannya dengan orang- seorang; (4) masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua sebagai tradisi yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif.
Dalam novel Glonggong mengungkapkan berbagai peristiwa. Novel yang berlatar belakang sejarah menyajikan keunikan sendiri dalam melihat dunia mitos kraton dengan sebagai simbol rakyat Jawa. Kraton dijadikan sebagai simbol magis yang dimanfaatkan untuk mengembangkan kekuasaan kolonialis. Adaptasi warna lokal dalam novel tersebut sangat nampak. Referensi sejarah dan mitos-mitos kultural dihadirkan dengan penggambaran bagaimana sesungguhnya kehidupan para priyayi di kraton yang memilih hidup nyaman dengan berpihak pada kolonial. Melalui telaah ktiris terhadap novel Glonggong akan diperoleh pengalaman nyata yang dipadu dengan pengalaman imajinatif yang diproduksi pengarang melalui teks. Kenyataannya kehadiran teks dilakukan dengan memanfaatkan energi konteks untuk menunjang pesan simbolis yang disampaikan (Sugiarti, 2013).
Novel Glonggong menyisakan berbagai masalah yang belum terselesaikan secara baik. Hal ini terjadi karena semua tokoh memiliki kepentingan yang berbeda sehingga menimbulkan sejumlah persoalan-persoalan yang patut diperhatikan. Dirdjosisworo (dalam Parto, 1996:201) menjelaskan bahwa suatu masalah timbul karena kepentingan sosial yang berbeda pada setiap bentuk masyarakat (maksud masyarakat disini adalah masyarakat Indonesia), keadaan ini terasa adanya pada masyarakat modern, masyarakat massa, masyarakat berlapis, maka penafsiran tentang keadilan relatif lebih bersifat subyektif, bahwa apa yang menurut kelompok sosial itu adil, bisa merupakan perkosaan kepentingan mutlak kepentingan lain atau pihak lain. Dikataan pula hal ini terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan yang sangat erat hubungannya dengan hajat hidup manusia.
Beberapa faktor dan bentuk pertikaian sebagai masalah sosial menjadi gangguan di masyarakat, sehingga gangguan lainpun muncul, seperti: kejahatan muncul karena tidak adanya keadilan atau aturan yang jelas dalam masyarakat baik dalam bidang pembangunan, ekonomi, maupun pendidikan dan sebagainya, kejahatan muncul karena tidak tegaknya hak asasi manusia, karena kemiskinan akibat sulitnya mencari lapangan pekerjaan dan angka pengangguranpun semakin bertambah), kejahatan dapat berupa pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan sebagainya (Haryanto, 2012: 235). Hal itulah yang kemudian menimbulkan protes keras atau kritik, mengkritik ketidak benaran dalam masyarakat. Kritik dapat dilakukan oleh siapa saja. Kritik yang dilakukan oleh para ilmuan, baik ilmuan dibidang sosial, politik, ekonomi, agama, serta dibidang pendidikan. Kritik tidak harus dilakukan para ilmuwan, tetapi mengkritik dapat pula dilakukan oleh ahli seni atau sering juga disebut sebagai seniman.

Masalah sosial biasanya yang dibicarakan dalam sastra yaitu berhubungan dengan politik. Masalah politik yang diterapkan oleh para pengarang di Indonesia biasanya tentang Orde Baru. Heryanto dalam Saraswati (2002: 119) menyatakan secara khusus menempatkan politik di antara sastra. Politik tidak pernah lepas dari pihak masyarakat tertentu. Struktur politik sebagai seluk-beluk pembagian dan penyelenggaraan kekuasaan dalam kritik sosial dalam sastra. Jadi, kritik sosial dalam sebuah karya sastra sangat berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Karya sastra biasanya menjadi sebuah gambaran kritikan pengarang terhadap pemerintahan. Setiap pengarang biasanya secara
2

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
kental menyajikan isi cerita tentang sindiran kepada pemerintah, terutama pada politik (Sugiarti: 2015).
Sastra dan politik merupakan sebuah dialektika yang selalu diperbincangkan oleh beberapa ahli. Karya sastra sebagai karya seni tidak dapat dilepaskan dengan fenomenafenomena sosial termasuk politik. Gramsci (dalam Ahyar, 2012: 76) lebih cenderung memandang sastra dan fungsi sosial historis, serta menempatkan sastrawan sebagai intelektual penting dalam transformasi sosial. Karya sastra yang menyajikan kontradiksi sosio-historis sehingga karya sastra mereka menjadi reaksioner dan secara anakronis menjadi tanda momen historis. Karya sastra yang berkualitas, bagi Gramsci adalah karya sastra yang menunjukkan keterlibatan pengarangnya dengan sejarah yang sedang mewujudkan diri. Pada konteks tersebut Gramsci secara langsung menunjukkan kualitas praksis karya sastra maupun sastrawan dalam membentuk kesadaran atau kebudayaan baru (Anwar, 2012: 77).
Dalam konteks perubahan sosial manusia sebagai individu menjadi pusat gagasan dalam terciptanya perubahan. Dalam gagasan perubahan sosial dan historis dapat ditekankan pada suprastruktur dan ideology. Menurut Marx (Egleaton, 2002:12) bahwa suprastruktur terdiri dari bentuk-bentuk tertentu dari kesadaran sosial yang bersifat politis, religi, etis, estetis, dan sebagainya yang berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan kelas yang berkuasa terhadap kelas yang dikuasai atau sub struktur dalam masyarakat.
Pada dasarnya karya sastra tidak lahir dari situasi yang hampa secara sosial, melainkan sebagai sebuah proses sosial yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam esainya Adorno secara tegas menyatakan bahwa karya sastra hanya mengekpresikan kecenderungan sosial objektif yang tidak dikehendaki oleh pengarang itu sendiri. Kebebasan kreatif pengarang hanyalah ilusi, sebab setiap manusia terikat pada sebuah harapan bersama sebagai aspek yang paling berpengaruh dari tindakan-tindakan estetis. Setiap karta sastra hanya tanmpak bebas dari luar tetapi di dalamnya teks selalu terikat dengan objektivikasi dari matriks-matrik sosial (Anwar, 2012: 101).
Dalam novel Glonggong mengungkapkan berbagai peristiwa. Novel yang berlatar belakang sejarah menyajikan keunikan sendiri dalam melihat dunia mitos kraton dengan sebagai simbol rakyat Jawa. Kraton dijadikan sebagai simbol magis yang dimanfaatkan untuk mengembangkan kekuasaan kolonialis. Adaptasi warna lokal dalam novel tersebut sangat nampak. Referensi sejarah dan mitos-mitos kultural dihadirkan dengan penggambaran bagaimana sesungguhnya kehidupan para priyayi di kraton yang memilih hidup nyaman dengan berpihak pada kolonial (Sugiarti, 2013). Hal ini sebagai representasi bahwa kekuasaan sebagai salah satu bentuk bagaimana manusia dapat menikmati kenyamanan dengan fasilitas yang telah tersedia. Bagi manusia yang hanya ingin mencari kenyamanan dan kepuasan hidup maka kekuasaan telah menyediakannya.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra dengan menfokuskan bagaimana persoalan simbol politik dan keculasan politik dieksplorasi melalui karya sastra (novel) yang muaranya pada perebutan kekuasaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif sebagai upaya untuk menjelaskan bahwa persoalan politik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono mampu menggambarkan perjuangan kelompok pribumi dalam melawan kolonial dengan berbagai keculasan pribumi yang memihak pada penguasa. Selanjutnya,
3

Sugiarti
permasalahan yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini meliputi: (1) simbol politik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono; (2) keculasan politik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan melalui novel Glonggong karya Junaedi Setiyono dan referensi yang terkait . Teknik analisis data untuk pemaknaan diperlukan pembacaan secara hermeneutik dengan interaksi dialektik sehingga diperoleh informasi yang komprehensif terkait dengan simbol politik dan keculasan politik dalam novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persoalan politik selalu ada dalam kehidupan manusia tanpa mengenal kelas sosial. Berpolitik memiliki arti sederhana memengaruhi orang lain untuk mengikuti apa yang menjadi keinginan seseorang dan atau dalam arti perebutan kekuasaan. Dalam kerangka politik orang dapat melakukan apa saja yang dinginkan dengan cara yang sangat baik sampai dengan yang kurang baik. Oleh karena dalih politik semua apa yang diinginkan manusia harus tercapai. Dalam karya sastra tentunya tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik yang muncul di masyarakat. Pengarang akan berupaya mereduksi sedemikian rupa atas realitas politik yang ada dengan menyajikan kembali dalam bentuk peristiwa imajinasi yang diemban oleh tokoh dalam karya sastra. Berbagai persoalan yang terkait dengan symbol politik dan keculasan politik akan dipaparkan pada bagian berikut ini.
Simbol Politik dalam Novel Glonggong karya Junaedi Setiyono
Dalam novel Glonggong simbol politik selalu diwarnai dengan keinginan seseorang untuk berpikir mempengaruhi orang lain. Simbol ini dapat muncul dari berbagai cara untuk membuat perhatian orang tertuju kepadanya. Kepenasaran Glonggong atas peristiwa yang tersembunyi maka sesaat bertemu dengan Endang yang mengendarai kuda. Ia berdialog dengan melakukan dialog yang sebenarnya Glonggong tidak ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di rumahnya.
Kulihat segalanya serba menyenangkan di rumahmu”, kusembunyikan pengetahuannku tentang pemandangan mengerikan, tentang singa perkasa yang menindih meluluhlantakan rusa betina di bawahnya. “Ibuku juga perempuan malang”, ulangnya sambil berpaling ke arah pusara. Dan aku tak berhak untuk mengetahui lebih jauh ucapannya (Setiyono, 2007: 107).

Dalam politik kraton perempuan disimbolkan sebagai isteri atau selir yang sangat berharga. Sesuatu yang menyertai kehidupannya adalah menyenangkan. Akan tetapi semuanya palsu. Politik kekuasaan telah mencekeram keberadaan kaum perempuan. Oleh karena itu, simbol-simbol yang digunakan identik dengan kekuasaan seperti pada kata singa, perkasa, rusa betina. Perempuan di dalam kraton akibat politik laki-laki maka ia tidak memiliki kepuasan batiniah, karena itu dikatakan sebagai perempuan malang. Simbol-simbol kerakusan seperti singa perkasa dan rusa betina. Kekuatan khas simbolsimbol itu berasal dari kemampuan mereka dalam mengidentifikasi fakta dengan nilai pada taraf yang paling fundamental untuk memberikan pada sesuatu yang bagimanapun juga bersifat faktual murni, suatu muatan normatif yang komprehensif (Geertz, 1992: 51). Politik pensimbolan sebagai gambaran bahwa kraton sebagai tempat persemaian kekuasaan yang cenderung membuat perempuan terpuruk.
Simbol kehidupan pemuda-pemuda kraton yang bergelar raden mas selalu meninabobokan kehidupan yang gemerlap dan menyenangkan. Bahkan ia tidak
4

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
mengetahui bahwa kondisi di keraton tersebut mengalami kesulitan. Bahkan ada pemikiran beberapa orang yang berada di kraton bahwa pangeran yang baik itu berasal dari isteri selir. Hal ini disebabkan bahwa isteri selir terkadang dianggap kurang begitu penting dalam kehidupan kraton. Namun ada pemikiran dari golongan pemuda isteri selir justru dapat melakukan pengabdian dan perjuangan yang baik karena sejak awal intrink politik yang terjadi termasuk kelompok yang terabaikan dianggap tidak penting.
Tidak jarang timbul kemasygulanku melihat sepak terjang pada priyayi muda yang hitam-putihnya kasultanan kelak ada di tangannya. Hidup begitu menina bobokan mereka sehingga para bendara raden mas itu tidak menyadari bahwa kasultanannya sedang menghadapi masalah paling berat sejak berdirinya. Entah apa arti melu handarbeni, melu hangrungkrebi, mulat sariro hangrasawani bagi mereka. Kang Danar pernah membisikiku bahwa pangeran yang baik, yang kita boleh berharap banyak padanya, tidak mungkin berasal dari putra sultan garwa padmi. Yang lebih mungkin adalah pangeran yang lahir dari garwa selir (Setiyono, 2007: 111).
Membakar puri sebagai simbol yang secara tidak langsung menyulut persoalan untuk mengacaukan suasana keraton. Itu hanyalah suatu taktik agar kelompok Den Mas Ringga agar mengetahui tentang peristiwa itu dan membuat surut dalam berjuang. Kebekuan suasana terjadi karena semua orang dalam kebisuan tanpa kata. Tidak ada seorangpun yang ingin mengatakan sesuatu. Senyatanya yang terjadi bahwa penghuni keraton ada yang bersekongkol dengan kolonial untuk melawan Kanjeng Pangeran.
Beberapa saat kemudian, asap hitam pekat membubungi langit. “Puri diserang! Puri dibakar begitu teriakan-teriakan ketakutan bercampur kemarahan yang terdengar. Den Mas Pringga yang keselamatannya ada dalam tanggung jawabku ada di dalam puri. Kecemasanku mencakar ubun-ubun… Dua tiga serdadu kompeni Belanda hilir mudik memberi perintah Aku tidak pedulikan semua itu. Yang kucari hanyalah juraganku, Den Mas Pringga. … Aku bisa bernafas lega ketika melihat Den Mas Pringga ada diantara orang-orang di rombongan itu (Setiyono, 2007: 130-131)… Dalam perjalanan menuju pengungsian di Selarong semua diam membisu. Semua bungkam dipenuhi dengan kecamuk pikiran masing-masing. Kebekuan berangsur mencair ketika rombongan sampai di perbatasan sawah dan Kali Winanga, di mana para pengikut Kanjeng Pangeran yang membawa lebih dari selusin kuda sudah siap menunggu. Den Mas Pringga memberiku isyarat untuk mendekat (Setiyono, 2007: 132).
Perjalanan menuju pengungsian di Selarong semua dalam kebisuan, tanpa kata dengan berbagai pemikiran masing-masing apa yang akan terjadi. Namun, setelah tiba di wilayah Kali Winanga seuasana sudah berubah karena para pengikut kanjeng telah mempersiapkan kuda sebagai sarana untuk melanjutkan perjalanannya.
Beberapa saat kemudian api perang sudah berkobar. Patih Danureja ikut memihak pada pada asisten Residen. Pada saat itu, jumlah tenaga yang tidak terlalu banyak bahu membahu dalam melawan kesewenang-wenangan terhadap Kanjeng Pangeran. Hal yang paling menyedihkan adalah perang tidak hanya dengan kompeni Belanda akan tetapi dengan Patih Danureja bersama pengikutnya yang berposisi sebagai bangsa sendiri. Berbagai usaha untuk kepentingan masyarakat atas jalan kebenaran itu, sering kali terhalangi oleh pertikaian, pertikaian yang muncul karena adanya persaingan, baik pertikaian yang sifatnya antar individu maupun pertikaian yang bersifat kelompok, atau pertikaian yang muncul karena adanya perbedaan emosi antara orang-orang dalam suatu proses interaksi sosial, dan perbedaan emosi boleh jadi timbul karena adanya kepentingan
5

Sugiarti
sosial (Sugiarti, 2015). Namun ketika etika dalam kondisi panik semua saling bahu membahu dalam menghadapi penguasa untuk melakukan perlawanan atas simbol politik yang dilakukannya. Ada politik pecah memecah. Jadi kelompok pribumi tidak hanya dihadapkan pada colonial akan tetapi juga dihadapkan dengan orang-orang kraton yang sebagian memihak pada colonial seperti pada kutipan berikut ini.
Api perang sudah berkobar. Minyaknya disiramkan oleh Patih Danureja dan apinya dinyalakan oleh Asisten Residen Chevallier”, wajahnya jadi merah tegang. Berdosalah membiarkan Kanjeng pangeran dizalimi seperti itu. Tak ada yang bisa kita lakukan selain bersamanya bahu membahu melawan kesewenangwenangan ini.
Beliau dianggap membangkang pada kraton dan ini jelas bikin gerah susah penguasa sejatinya, kompeni Belanda. Yang menyedihkan, kita akan berperang tidak hanya dengan kompeni Belanda tapi juga dengan keraton dengan pengikutnya Patih Danureja, dengan bangsa sendiri (Setiyono, 2007: 134-135).
Sebagaimana biasa pada priyayi kraton untuk memenuhi hasrat nafsunya ada tempat khusus untuk pelayanan (yang sering disebut lokalisasi). Dalam realitas masyarakat sering nampak bahwa mereka yang berkuasa seringkali untuk memenuhi kebutuhan biologis pergi ke tempat-tempat perkampungan yang menyediakan perempuan sebagai umpan sebagai simbol politik yang mampu menaklukan pemenuhan biologis. Hal ini seperti tampak pada kutipan berikut.
Ngluwek adalah sebuah perkampungan di tengah sawah dengan lebih selusin rumah bambu berderet tidak rapi di atasnya. Rumah dengan dinding anyaman bambu tanpa dikapur ternyata tempat para lelaki hidung belang bisa leluasa melampiaskan nafsu birahinya (Setiyono, 2007: 139).
Mbok Kiwer sebagai mucikari selalu menawarkan layanan untuk kepentingan tamu-tamunya. Tidak segan-segan ia menanyakan selera lelaki yang berkunjung ke tempat tersebut. Kenyataan ini menggambarkan bagaimana sebenarnya kebobrokan telah merajalela pada kehidupan kaum priyayi. Hidup penuh kepalsuan yang dikejar adalah kesenangan sesaat tanpa mempertimbangkan akibatnya. Meski dalam kondisi yang sudah tua mereka tetap berperilaku layaknya orang-orang yang masih muda.

Mbok Kiwer sedang asyik bercengkerama dengan tamu-tamunya. Kalau dilihat dari bentuk tubuh dan bahan pakaian yang digunakan pastilah mereka dari kalangan priyayi pangreh praja. Iseng aku berjalan mendekati sekelompok priyayi yang agaknya sudah pada berumur itu. Rambutnya yang beruban dan giginya yang ompong menunjukkan tinggi usianya. Omongnya yang jorok dan tidak segan-segan menyebutkan nama alat kelamin perempuan menunjukkan kebejatan moralnya. Kudengar nama Sri Prenjak dan Sri Jalak disebut-sebut (Setiyono, 2007: 144).
Ketika kondisi masyarakat sedang dilanda perang Mbok Kiwer merasa dirugikan karena pendapatnya mulai menyusut. Banyak orang yang tidak berkunjung ke Ngluwek karena kondisi tidak memungkinkan. Ketika kondisi normal maka pemuda-pemuda tampan itu akan pergi ke Ngluwek. Hal ini dapat diperhatikan melalui kutipan berikut.
“Gara-gara perang tak berguna ini perolehanku jadi menyusut. Mau beli bedak pun harus berhitung-hitung laiknya mau hajatan nikah. Bila keadaan normal, tak mungkin aku malam-malam gentayangan mengantar pemuda tampan yang sedang kasmaran ini”. Mbok Kiwer mengerling ke arahku (Setiyono, 2007: 153). Mbok Kiwer sebagai perempuan gremo selalu berperilaku seronok terhadap tamutamunya yang datang. Layaknya sebagai penjual barang dagangan ia selalu
6

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
mendengarkan keinginan laki-laki yang sedang jatuh kasmaran. Ia berupaya untuk memenuhi kebutuhan orang yang datang dengan gaya yang “etes” sehingga laki-laki yakin bahwa semua yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan seksual dengan perempuan dapat terpenuhi.
Keculasan Politik dalam Novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono
Persoalan politik selalu identik dengan keculasan, orang mudah berubah pikiran karena politik. Sering terjadi ketidakonsistenan dalam mengambil keputusan karena kepentingan politik atau kekuasaan. Dalam praktik politik di masyarakat hari ini membela tokoh X berberapa hari kemudian sudah berubah karena iklim politik yang memberikan pengaruh cukup kuat. Penipuan, perampasan hak orang lain dengan paksa itu sebagai bentuk keculasan politik yang tidak dapat dihindari. Akan tetapi, semua dianggap sesuatu yang biasa. Tidak ada dalam kamus politik teman yang abadi, tetapi yang ada adalah musuh abadi. Demikian pula dalam novel Glonggong politik menjadi arena pertandingan politik dalam berebut kekuasaan.
Pada kenyataan pada Kang Danar temanku di Pringgawinatan yang sudah berubah memimpin gerombolan begal. Ternyata kegiatan tersebut sudah dilakukan cukup lama. Dia telah menipu kelompok Diponegara dengan cara membegal, merampas dan menyantap beras mereka. Perilaku gerombolan begal tersebut merupakan pekerjaaan sehari-hari bahkan dapat dikatakan sebagai mata pencaharian. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut.
“Kang Danar?” temanku di Pringgawinatan itu menyeringai sambil mengelus pedangnya yang tipis berkilau. “Kau sekarang memimpin gerombolan begal?” “Sejak lama aku membegal, dungu!. Hanya karena kebodohan orang-orangnya Diponegara aku bisa terus membegal sambil terus hidup kenyang dengan menyantap beras mereka. (Setiyono, 2007: 185).
Melihat perilaku Danar, Glonggong muncul niat kuat untuk memberi pelajaran. Terjadilah pertempuran antara Glonggong dan Danar. Muara pertempuran disebabkan keangkuhan Kang Danar dalam memperlakukan kelompok pengikut Diponegoro. Keculasan yang dilakukan tersebut berdampak pada ketidakberdayaan mereka. Pada saat tergelincir Danar jatuh terpelanting dan tidak bergerak. Glonggong melanjutkan perjalanannya. Kemudian begundal-begundalnya berlari menolong sang pentolan itu.
Tidak kusia-siakan kesempatan. Kugempur lagi pedang tipisnya yang dipersiapkan untuk merajang glonggong kayuku yang tak berguna menghadapi glonggong besiku. Pada saat kakinya tergelincir kerikil, kugebuk lehernya. Kang Danar jatuh terpelanting. Dari suatu jarak kutunggu berdirinya kembali. Tak ada gerak. Begundal-begundalnya berlari ke sang pentolan yang tergeletak miring (Setiyono, 2007: 187).
Pada kenyataannya di lingkungan keraton pun tidak lepas dari perilaku-perilaku yang kurang baik yang membawa kebejatan dan kejahatan. Kondisi tersebut merupakan simbol kultural yang membudaya pada masyarakat kraton. Keculasan-keculasan yang berkedok politik seringkali ditemui di kraton. Gambaran tentang seorang priyayi agung tidaklah seperti yang dibayangkan akan tetapi justru merepresentasi perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji. Untuk mengubah kondisi tersebut menjadi lebih baik sangatlah sulitkarena secara kultural perilaku tersebut didapat secara turun temurun. Karya sastra biasanya menjadi sebuah gambaran kritikan pengarang terhadap pemerintahan. Setiap
7

Sugiarti
pengarang biasanya secara kental menyajikan isi cerita tentang sindiran kepada pemerintah, terutama pada praktik-praktik politik yang dilakukan.Tidak dapat dihindari bahwa politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Demikian pula dalam karya sastra persoalan politik menjadi cukup penting ketika politik tersebut banyak membawa ke kehidupan masyarakat yang timpang (Sugiarti, 2015).
Memang banyak priyagung bejat. Banyak ndara jahat. Membersihkan keraton dari kebejatan dan kejahatan? Itu mimpi di siang bolong. Mengapa tidak hijrah saja, pergi menyingkir sejauhnya bila memang berpendapat keraton sudah sedemikian bejat, jahat, dan penuh maksiat?” (Setiyono, 2007: 223).
Mereka meyakini bahwa tradisi yang telah membudaya tersebut menjadi gaya hidup penghuni kraton. Kehidupan mereka biasa dininabobokan dengan tahta, harta dan wanita. Disitulah orang-orang tersebut menemukan kesenangan dunia semata. Untuk berhijrah rasanya tidak mungkin karena itulah yang mereka inginkan. Kebiasaan tersebut sudah menyatu dengan dirinya sehingga dianggap sebagai sesuatu yang “wajar” dalam lingkungan kraton.

Dalam kondisi perang berbagai kebohongan bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kepentingan politik. Keculasan politik dapat dilakukan dengan cara-cara menyamar atau berubah muka untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Ketika perang ada orang yang culas selalu bersembunyi karena tidak ingin berjuang. Akan tetapi, apabila kondisi sudah aman mereka akan keluar. Keculasan, keserakahan, kejahatan selalu ada saja dan perampsan terhadap hak-hak orang lain seringkali selalu dapat dilakukan. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut.
Aku bekerja sama dengan Danar, kau pasti kenal dia. Ya, orang durjana yang dijuluki Dasamuka alias si muka sepuluh karena pintar menyamar.”Ya.”Hampir kukatakan kalau dia itu kakak kandungku. “Setelah aku yakin laskar Diponegaran sudah mendekati saat kekalahannya, aku baru berani keluar.” “Selama ini kuhidupi dirimu dari hasil melarikan beras perjuangan?” (Setiyono, 2007: 276).
Keserakahan dan keculasan politik yang dilakukan Belanda membuat hidup sultan sengsara. Penjemputan dengan paksa seringkali dilakukan oleh pihak penguasa. Seperti halnya yang dialami kanjeng Sultan yang dibawa Belanda dengan pengawalan ketat. Bahkan, pengikutnya yang berupaya untuk membantunya justru mendapat perlakuan yang kasar dari pihak penguasa. Ketika pengikut Sultan memburunya tetapi mendapatkan tendangan sehingga terkapar tak berdaya dan malahan ia dikepung oleh kompeni Belanda dengan senjata lengkap. Kenyataan ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut.
Yang berlangsung kemudian adalah kegilaan . ya, aku jadi gila. Ketika kulihat kanjeng Sultan dengan serban hijau dan jubah putih dikawal ketat lalu dibawa masuk ke dalam kereta, aku yakin adanya ketidakberesan. Aku berteriak memanggil-manggil namanya. Kupanggil-panggil beliau sampai suaraku serak dan hilang. Ketika aku nekat memburunya, tendangan sepatu laras di perut membuatku terlempat dan terkapar. Todongan sangkur di leher membuatkan tak bisa bangkit berdiri... Kulihat selusin serdadu kompeni Belanda bersenjata lengkap bersedia lengkap berdiri siaga mengepungku. Aku meringkung tak berdaya (Setiyono, 2007: 282-283).
Keculasan politik akan mampu membuat orang yang tidak bersalah menjadi sasaran politik. Perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi selalu menimpa pada mereka yang menjadi sasaran politik. Demikianlah politik identik dengan kekuasaan. Dalam berpolitik tidak dapat dilepaskan dengan keculasan-keculasan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
8

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
SIMPULAN Simbol poliitik dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono dapat diungkapkan
bahwa kekuasaan yang diekpresikan melalui sikap serta perilaku dan simbol-simbol yang menyertainya menyatu demikian kuat. Kekuasaan sebagai representasi politik yang membolehkan manusia untuk memenuhi kebutuhan meski melalui praktik-parktik yang nir norma.
Keculasan politik dalam novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono tampak ketika pengikut Aria Diponegara telah berpindah ke pihak penguasa dan memihak kolonial. Orang cenderung berpikir praktis dan berorientasi jangka pendek untuk memenuhi keinginannya serta tidak mau berjuang dan bekerja keras dalam membela kebenaran. Perlakuan-perlakuan secara tidak manusiawi selalu dialami oleh kelompok pribumi yang melakukan perlawanan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ahyar. (2012). Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak. Eagleton, Terry. (2006). Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:
Jalasutera. Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius Haryanto, Sindung. (2013). Spektrum Teori Sosial. Jogjakarta: Ar-Fuzz Media. Parto, Suhardjo. Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Saraswati, Ekarini. (2003). Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press. Setiyono, Junaedi. (2007). Glonggong. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta Sugiarti. (2013). “Telaah Kritis Novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono dalam
Perspektif Antropologi Sastra”. Makalah Konferensi Internasional Kesusastraan XXIII HISKIBanjarmasin, 6—8 November 2013. Sugiarti. (2015). “Politik Lokal dalam Novel Jatisaba Karya Ramayda Akmal”. Makalah Seminar Sastra di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 31 Maret 2015
9