Implikasi EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA.

253 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu merujuk pada kata dan kalimat yang jelas untuk diterima dan dipahami karena memiliki nilai kehalusan, makna tuturan merujuk pada maksud dan tujuan yang jelas yang terkandung dalam tuturan. 4. Kearifan lokal dalam bidang bahasa yang diangkat dan digunakan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam menunjukkan kesantunan berbentuk ungkapan dan pribahasa yang memiliki nilai-nilai a. Pernyataan bijaksana sebagai falsafah kehidupan Sunda = wawaran luang, contoh Silih asah silih asih silih asuh; b. Pendorong berperilaku baik Sunda = pangjurung laku hade, contoh Hade ku basa goreng ku basa; dan c. Pencegah perilaku salah Sunda = panyaram lampah salah, contoh Ulah getas harupateun;

5.2 Implikasi

Bahasa merupakan nikmat Allah yang manusiawi dan komunikatif. “Allah mengajarkan manusia pandai berbicara” Al-Qurat surat Ar-rahman ayat 4. Dengan bahasa kita bisa berkomunikasi dengan sesama dan dengan bahasa pula kita berpikir untuk membuat kehidupan ini lebih maju dalam bingkai “Silih asih, silih asah, silih asuh ”. Bahasalah yang akan membawa kekehidupan ini tentram atau sebaliknya sebuah bangsa bisa hancur karena bahasa. Berbahasa berarti menggunakan bahasa untuk saling menyampaikan dan menerima pesan antara penutur dan mitra tuturnya. Pesan sebagai isi komunikasi dan penutur akan diterima dan ditindkalanjuti oleh mitra tutur jika komunikasi berlangsung lancar karena tidak terhambat oleh penentu keharmonisan komunikasi. Salah satu penentu keberhasilan kelancaran komunikasi itu adalah penutur menggunakan cara berkomunikasi yang diterima oleh mitra tutur. Hal yang dimaksud adalah santun berbahasa. Dengan memperhatikan kesantunan berbahasa pelaku komunikasi yang saling menghormati, saling menjaga martabat diri, saling 254 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu menyampaikan dan menerima pesan dengan menaati norma kebahasaan dan nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku dan dipelihara oleh masyarakat. Kesantunan tak terbatas siapa pelaku komunikasi, kapan berkomunikasi, dimana berkomunikasi dan bagaimana situasi komunikasi. Seseorang anak harus santun kepada orang tuanya, gurunya, teman sebayanya, orang yang lebih tinggi usianya, demikian juga sebaliknya. Orang tua harus santun kepada anaknya sekaligus memberi contoh, guru harus santun kepada anak didiknya mendidik, seseorang yang lebih tua harus santun kepada yang lebih muda, seseorang harus santun pula pada teman sebayanya. Kesantunan tidak akan merendahkan martabat diri seseorang, malah sebaliknya, kesantunan dalam berbahasa akan menempatkan diri orang tersebut pada karakter santun yang terpuji. Kapan dan dimana berkomunikasi menuntut kita memahami dan menerapkan konsep bahasa yang “baik”. Bahasa yang baik diartikan sebagai bahasa yang pemakaiannya memperhatikan situasi dan kondisi pemakaiannya. Bahasa yang santun adalah bahasa yang memperhatikan tempat dan waktu komunikasi. Setting and scene sebagai salah satu indikator kesantunan menurut Dell Hymes 1978 mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi. Dengan begitu bahasa yang baik adalah bahasa yang santun. Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang majemuk dengan bahasa dan budaya satu sama lain berbeda. Kenyataan terdapatnya perbedaan tersebut jangan sampai mengurangi nilai-nilai kesantunan karena dapat dipastikan setiap bahasa mempunyai piranti kesantunan bahasa dan budaya masing-masing yang menjungjung tinggi nilai-nilai budaya yang terkait dengan pilar-pilar karakter santun baik yakni: 1 mencintai Allah dan ciptaan-Nya; 2 memiliki kemandirian dan tanggung jawab; 3 menjungjung nilai kejujuran; 4 melaksanakan amanah; 5 bersikap horamt santun; 6 memiliki rasa percaya diri, kreatif dan ulet; 7 memiliki jiwa kepemimpinan dan keadilan; 8 bersikap rendah hati; dan 9 bertoleransi pada sesama. 255 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Santun dalam berbahasa artinya menggunakan nila-nilai yang benar tentang bahasa dan memperhatikan kebaikan serta norma kemasyarakatan dalam berkomunikasi, lingkungan sosial budaya masyarakat yang mempengaruhi pemakaian bahasa. Kegiatan berbahasa akan terkait dengan lingkungan sosial budaya dan kesantunannya akan terkait dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Lingkungan sosial budaya merasakan betapa perlunya anggota masyarakat santun dalam berbahasa. Dengan kesantunan, lingkungan sosial budaya akan beroleh keharmonisan dalam berkomunikasi, kerukunan dalam bermasyarakat, dan kenyamanan dalam berkehidupan. Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kepribadiankarakter santun berbahasa santun akan merasakan kesantunan sebagai bagian penting dan proses pendidikan, khususnya pendidikan formal. Sekolah berada dalam lingkungan masyarakat bahkan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Jawaban siapa yang ada di sekolah siswa, guru, karyawan, pimpinan mengisyaratkan bahwa sekolah juga merupakan institusi sosial. Untuk itu “sekolah harus menjadi gambaran miniatur dan m asyarakat lingkungannya” Sauri, 2006. Sistem pendidikan di sekolah harus mampu menjadikan siswa memiliki kecerdasan emosional disamping kecerdasan intelektual. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu kecerdasan emosional yang harus dimiliki oleh siswa selama dan sesudah mengikuti pendidikan. Komunikasi yang diharapkan dalam pendidikan adalah komunikasi yang berlangsung dalam suasana edukatif sehingga akhirnya siswa dapat berkomunikasi yang memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. Bahasa yang komunikatif dan memberikan nilai positif bagi penutur dan mitra tuturnya disebut juga bahasa santun. Dengan demikian, pendidikan barus bisa mewujudkan pendidikan berbahasa santun. Kesantuan sebagai salah satu tujuan pendidikan bahasa belum menunjukkan pencapaian hasil yang membanggakan. Bahkan ironisnya, kesantunan dalam bahasa mengalami pengikisan. Orang tua sering mengeluhkan anaknya menggunakan bahasa yang tidak menunjukkan kesantunan, demikian guru juga merasakan siswa-siswanya 256 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu belum bisa membedakan mana bahasa santun dan mana bahasa yang tidak santun. Dalam tanyangan telivisi tak jarang kita lihat, orang-orang terhormat pejabat pemerintah kurang bahkan tidak menunjukkan kesantunan ketika berbahasa. Kesantunan dalam berbahasa dapat dibentuk dan diwujudkan dalam proses pendidikan pembelajaran yang tidak hanya melibatkan pihak sekolah siswa, guru melainkan juga pelibatan lingkungan masyarakat. Untuk ini diperlukan strategi yang terus menerus dikembangkan secara komprehensif dan terpadu. Sauri 2006:72 berpendapat “pengembangan strategi pendidikan berbahasa santun diartikan sebagai upaya mendayagunakan potensi yang dimiliki sekolah seperti kurikulum, guru, metode dan situasi edukatif guna mewujudkan kesantunan berbahasa di kalangan warga sekolah”. Hal yang akan menjadi penanda pertama karakter santun seseorang yang bisa diamati adalah penggunaan bahasanya. Kebenaran seseorang dalam berbahasa tidak berbohong, kedermawanan memberikan keuntungan, kebaikan memperhatikan situasi dan kehalusan dalam berbahasa akan menunjukan bahwa pemakai bahasa itu mempunyai satu sisi karakter santun yang positif yakni “santun”. Berbahasa bukan hanya sekedar menuturkan bunyi-bunyi yang bermakna ke dalam rentetan kata dan kalimat agar dipahami oleh orang lain. Perbuatan berbahasa melibatkan aspek mental yang bertemali dengan sikap dan perilaku komunikasi. Dalam tataran bahasa, kita mengenal adanya komponen sikap bahasa yakni kesetiaan berbahasa, kebanggaan berbahasa, kesadaran adanya norma bahasa. Pemakaian bahasa yang tidak melibatkan aspek mental sikap akan menjadikan bahasa sebagai pemicu terjadinya berbagai masalah kemanusiaan seperti yang dapat kita temukan sekarang dekadensi moral. Orang tua menyatakan keanehan dan kegundahannya karena anak-anaknya bersikap, berbahasa, dan berperilaku kasar kepada teman- teman, saudara, bahkan kepada orang tuanya sendiri. Guru-guru di sekolah pun merasa prihatin karena siswa-siswanya kurang mempunyai sikap hormat ketika 257 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu berkomunikasi di sekolah. Masyarakat sering dibuat resah oleh tawuran siswa dan perkelahian masal akibat bahasa yang digunakan bersifat saling mengejek. Demikian adanya pemakaian bahasa yang menunjukan karakter santun. Bahasa, karakter, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Pendidikan bahasa yang mengesampingkan karakter akan menjadikan lulusan yang tidak berkarakter positif sehingga berkemungkinan berpengaruh terhadap martabat bangsa. Lickona 2001 mengungkapkan sepuluh tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, yakni 1 meningkatnya kekerasan dikalangan remaja; 2 penggunaan kata dan bahasa yang memburuk; 3 pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; 4 meningkatnya perilaku merusak diri; 5 semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6 menurunnya etos kerja; 7 semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8 rendahnya rasa tanggung jawab individu dan negara; 9 membudayanya ketidakjujuran; dan 10 adanya saling curiga dan kebencian diantara sesama. Kalau semua ciri itu kita perhatikan, pada hakikatnya semua itu bermula dari pemakaian bahasa yang tidak berkarakter santun. Bahasa yang tidak berkarakter santun bisa saja bersumber dari pendidikan bahasa yang tidak menghubungkan bahasa dan pembelajarannya dengan pendidikan karakter santun. Perlunya pendidikan karakter santun seakan-akan tak pernah berhenti dibicarakan, dibahas dalam berbagai kesempatan baik dalam situasi formal akademis maupun dalam pembicaraan-pembicaraan atau tulisan-tulisan di media masa. Hampir semuanya berpendapat bahwa karakter santun bangsa ini telah mengalami dekandensi sehingga disana-sini muncul perilaku anak bangsa yang tidak lagi sesuai dengan norma dan nilai keagamaan, etika sosial, dan nila-nilai pendidikan yang dijadikan sebagai kerangka dasar acuan dalam bersikap dan berprilaku. Dari berbagai masalah karakter santun yang muncul, pendidikan dijadikan sebagai “tersangka” yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan moral dan hilangnya karakter santun bangsa yang selama ini terkenal oleh bangsa lain sebbagai bangsa yang beradab. Pendidikan “dituduh” telah gagal dalam mengemban misinya sehingga 258 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu dinyatakan tidak mampu lagi melahirkan generasi yang bisa membangun dirinya dan bangsanya melalui kecerdasan akademik, kekuatan spiritual, dan kebaikan karakter santun. Pendidikan karakter santun bukan merupakan sesuatu yang baru dalam pendidikan kita. Kita tidak boleh lupa apa yang dikatakan Kihajar Dewantara tentang tujuan pendidikan dan fungsi pendidikan sebagaimana tersirat pada pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter santun serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jadi, wacana publik selama ini tentang pendidikan karakter santun sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Selama ini pembahasan-pembahasan pendidikan karakter santun seolah-olah menjadi objek bahasan pendidikan nilai, pendidikan moral, dan kewarganegaraan, padahal sebetulnya harus merupakan pendidikan integratif apalagi dalam pendidikan formal disekolah-sekolah. Bahasa dan pendidikan bahasa harus mampu memberikan kontribusi pada pendidikan karakter santun karena karakter santun itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Art-Ong Makalah Human Values Integrated Instructional Model “dapat dibentuk melalui pendidikanpembelajaran”. Guru mesti membentuk karakter santun yang baik pada diri siswa. seorang yang berkarakter santun adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa kekerasan. Nilai-nilai tersebut terkait dalam tuntutan berbahasa dan pembelajarannya, yakni santun berbahasa dan pembelajaran bahasa yang santun. Pendidikan bahasa santun pada masyarakat tidak berbatas empat dinding kelas yang dilaksanakan di sekolah. Pada dasarnya pendidikan berbahasa santun adalah pembentukan dan atau pengubahan karakter peserta didik. Model yang bisa dijadikan sebagai alternatif dalam melakanakan pendidikan bahasa santun dilakukan melalui langkah-langkah 259 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 1. Pengertian + pemahaman; 2. Pembelajaran + pembinaan; 3. Pemodelan + peneladanan; 4. Pelatihan + pembiasaan. Pengertian dimaksudkan sebagai proses mengartikan konsep-konsep yang bersifat teoretis praktis. Sekaitan dengan pendidikan kesantunan, pengertian yang bersifat pengetahuan diharapkan dimiliki oleh peserta didik sebagai dasar atau pondasi untuk kemampuan berbahasa santun. Dengan demikian dalam konteks pendidikan berbahasa santun yang dipentingkan bukan hafal teori-teori santun berbahasa melainkan memiliki pengetahuan-pengetahuan praktis untuk bisa berbahasa santun. Pemahaman merupakan penyerta pengertian. Dengan memahami pesertas didik akan memiliki kesadaran sehingga timbul atau terbentuk sikap positif terhadap kesantunan berbahasa. Sikap inilah yang akan menjadi dasar untuk perilaku berbahasa santun. Pembelajaran berbahasa santun harus diupayakan untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam peserta didik karena setiap individu mempunyai potensi yang bisa dikembangkan sehingga bisa diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan. Sekaitan dengan pendidikan berbahasa santun, pembalajaran merupakan proses yang bisa dibentuk sesuai dengan kemampuan masing-masing individu dalan berbahasa. Pembelajaran berbahasa santun harus dilakukan melalui penambahan porsi kegiatan melalui proses pembinaan. Proses pembinaan lebih diarhakna pada penanaman sikap positif terhadap bahasa yang dipelajari di samping menumbuhkembangkan keinginan untuk lebih tau dan lebih bisa. Proses pendidikan bahasa santun tidak cukup mengandalkan hal-hal yang bersifat teori dan pengetahuan melainkan harus diupayakan terwujudnya sebuah model yang akan dijadikan sebagai contoh perilaku. Dalam konteks pendidikan berbahasa santun pemodelan merupakan hal yang sangat penting karena memungkinkan peserta didik tidak mengalami verbalisme. Tanpa adanya model yang 260 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu nyata sebagai contoh penggunaan berbahasa santun dalam berbagai konteks, peserta didik hanya akan bisa menghafal dan mengetahui teori berbahasa santun tetapi tidak bisa mengaplikasikannya dalam pemakaian bahasa yang sebenarnya. Model dalam pendidikan bahasa santun harus merupakan sosok yang patut dijadikan teladan. Oleh karena itu, peneladanan harus dilakukan setelah pemodelan. Dengan adanya peneladanan, peserta didik akan tumbuh kepercayaannya sehingga akan menajdikan yang bersangkutan memiliki keyakinan bahwa yang sedang dilakukannya merupakan hal yang positif dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Langkah berikutnya adalah pelatihan dan pembiasaan. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang akan dimiliki seseorang melalui proses berlatih. Dalam konteks pendidikan kesantunan berbahasa, peserta didik diberi kesempatan yang sangat leluasa untuk melakukan latihan yang didasari oleh stimulus penggunaan bahasa yang santun. Latihan yang dimaksud dalam konteks ini adalah latihan yang terstruktur dan berkesinambungan. Pelatihan tidak akan memberi perubahan yang sangat signifikan tanpa diikuti oleh pembiasaan. Proses berbahasa pada hakikatnya adalah proses membiasakan bertutur dengan pola-pola bahasa yang diketahui oleh penuturnya. Bahasa merupakan serangkaian kebiasaan, oleh karena itu dalam konteks pendidikan bahasa yang santun harus diciptakan lingkungan yang memungkinkan pesertad didik dapat membiasakan kemampuan-kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Sistematika kegiatan pendidikan berbahasa santun dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Penentuan tujuan pendidikan; 2. Penentuan konteks penggunaan bahasa; 3. Penentuan materi pendidikan; 4. Penentuan metode pendidikan; 5. Penentuan media pendidikan; 6. Penentuan sumber pendidikan; 261 R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 7. Penentuan langkah-langkah pendidikan; 8. Penentuan penilaian sikap; 9. Penentuan penilaian unjuk kerja. Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya sadar dan berencana untuk mencapai tujuan. Pernyataan ini akan memberikan makna bahwa pendidikan berbahasa santun harus didasari oleh adanya kesadaran, pentingnnya penggunaan bahasa santun dalam berkomunikasi. Proses pendidikan yang dimaksud harus dilaksanakan secara berencana karena pendidikan berbahasa santun jangan sampai memunculkan peserta didik yang kurang bisa menggunakan hasl belajarnya dalam kepentingan pemakaian bahasa sesungguhnya. Pendidikan berbahasa santun harus bertujuan untuk mewujudkan peserta didik masyarakat yang mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa-bahasa yang diterima oleh masyarakat karena bahasa tersebut sesuai dengan norma bahasa itu dan sesuai pula dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tempat digunakannya bahasa itu.

5.3 Rekomendasi