Mengancam Muka Sepihak Pembahasan

Selain tekanan, aspek intonasi juga penting digunakan dalam menentukan santun tidaknya sebuah tuturan. Hal ini sejalan pendapat Pranowo 2009:76 bahwa aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Intonasi ditandai dengan intonasi datar turun yang biasa terdapat dalam kalimat berita, intonasi datar naik yang biasa terdapat dalam kalimat tanya, dan intonasi datar tinggi yang biasa terdapat dalam kalimat perintah. Selain itu, intonasi juga berhubungan dengan keras lembutnya suara penutur ketika berujar. Dari kelima tuturan tadi, tuturan E11, E13, dan E16 memiliki intonasi berita yang berpola datar turun. Intonasi berita ini cenderung dituturkan dengan suara yang relatif lembut dan pelan. Walaupun ketiga tuturan tersebut dikatakan dengan suara yang relatif lembut dan pelan, ketiga tuturan itu dikatakan penutur dalam bentuk sindiran dan memaksa. Berbeda dengan tuturan E4 dan E8 yang dituturkan oleh penutur dengan intonasi perintah. Intonasi perintah ini cenderung dikatakan dengan suara yang keras dan kasar. Ternyata pada tuturan E4 dan E8, selain dituturkan dengan suara yang keras dan kasar juga terdapat semacam paksaan didalamnya. Berdasarkan uraian di atas, kelima tuturan dapat dikategorikan sebagai tuturan yang tidak santun. Hal tersebut terlihat dari penggunaan intonasi berita yang lembut tetapi berupa sindiran dan paksaan serta intonasi perintah yang cenderung keras dan kasar dan ada pula paksaan didalamnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nada yang sedang dan tinggi, tekanan yang sedang dan keras, intonasi yang lembut tetai berupa sindiran dan paksaan serta intonasi yang keras dan kasar disertai paksaan merupakan penanda ketidaksantunan linguistik dalam jenis ketidaksantunan yang mengancam muka sepihak. Pembahasan berikutnya mengenai pilihan kata. Menurut Pranowo 2009:16 kesanggupan memilih kata seorang penutur dapat menjadi salah satu penentu santun tidaknya bahasa yang digunakan. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Ada beberapa pilihan kata yaitu bahasa nonstandar berupa kata tidak baku, kata fatis, kata seru, dan interferensi ke dalam bahasa Jawa; kata ilmiah dan populer, jargon, kata percakapan, idiom, kata slang, dan bahasa artifisial Keraf, 1985:104-110. Berikut uraian masing-masing pilihan kata kelima tuturan tersebut. Kata nonstandar berupa penggunaan bahasa Jawa dapat ditemukan pada tuturan pada tuturan E4, E8, E11, dan E13. Pada tuturan E4 yaitu wes, lungguhe nek, ngarep ae, manut, dong, ora. Pada tuturan E8 wes, meneng, mumet, nggawe. Pada tuturan E11 yaitu rung rampung kok Wes diajak kumpul do gak moro to kowe, sedangkan pada tuturan E13 yaitu nek entuk elek tak tuntut kowe. Adanya bahasa Jawa tersebut menunjukkan kedekatan antara penutur dan mitra tutur. Pada tuturan E8 dan E11 terdapat kata fatis yaitu to, ki, le, lho dan kok, to, do. Ada pula kata nonstandar berupa kata tidak baku pada tuturan E16 yaitu gak, sama, males. Selanjutnya, pada tuturan E11 ditemukan pula pilihan kata jargon berupa umpatan yaitu asu, bajigur. Penggunaan pilihan kata nonstandar oleh penutur yang notabene seorang mahasiswa sejalan dengan pendapat Keraf 1985:104 yang mengatakan bahwa kata nonstandar dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam bersenda gurau, berhumor, atau untuk menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Pada tuturan E11 ditemukan pula kata jargon yang berupa umpatan yaitu asu, bajigur. Adanya penggunaan umpatan pada tuturan E11 menunjukkan kadar kesantunan yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf 1985:107 yang mengatakan bahwa jargon mengandung makna suatu bahasa, dialek, atau tutur yang dianggap kurang sopan atau aneh. Penggunaan pilihan kata tersebut dapat dikategorikan sebagai pilihan kata yang tidak santun atau tidak dan pilihan kata itu dapat dikatakan sesuai ataupun tidak manakala kelima tuturan dilihat berdasarkan konteks yang melingkupinya. Dengan adanya konteks itu, pilihan kata akan dapat diidentifikasi dengan jelas, bahkan makna dibalik penggunaan pilihan kata itu pun dapat diketahui dengan jelas. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2011:161 bahwa konteks harus dilibatkan dan diperhitungkan dalam memaknai bahasa, baik bahasa dalam pengertian entitas kebahasaan sebagai elemen, maupun bahasa dalam pengertian umum yang jauh lebih holistik dan lebih luas. Dengan demikian, uraian konteks masing-masing tuturan harus diperjelas. Berikut paparan konteks kelima tuturan tadi berdasarkan pendapat leech 1983 yang mencakup aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tutur, tuturan sebagai bentuk tindak verbal, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek konteks menurut Leech ini dielaborasikan dengan pendapat Verschueren terkait dimensi konteks. Uraian konteks ini merupakan wujud dan penanda ketidaksantunan pragmatik. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2011:1661 bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang terikat konteks. Oleh karena itu, konteks dan kajian pragmatik merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Adapun konteks tuturan dapat diuraikan mulai dari dimensi penutur dan mitra tutur. Kemila tuturan dituturkan oleh mahasiswa kepada mahasiswa. Hal yang membedakan kelima tuturan itu terkait aspek penutur dan mitra tutur adalah dimensi jenis kelamin, umur, dan tahun angkatan. Tuturan E11,E13, dan E16 penutur dan mitra tutur adalah mahasiswa laki-laki, kecuali untuk tutran E16 mitra tuturnya dalah mahasiswa perempuan. Pada tuturan E4 dan E8 penutur dan mitra tuturnya adalah mahasiswa perempuan. Berkaitan dengan dimensi jenis kelamin, bahasa untuk laki-laki cenderung keras, sedangkan bahasa perempuan cenderung lebih lembut Rahardi, 2011:161. Namun, ternyata dalam tuturan E4 dan E8 dapat ditemukan tuturan yang keras sekalipun yang menuturkan adalah perempuan. Selanjutnya, dimensi umur biasanya cenderung disesuaikan dengan tahun angkatan. Dalam tuturan E4, E8, E11, dan E13 penutur dan mitra tuturnya merupakan mahasiswa angkatan 2009 yang berumur 21 tahun, sedangkan E16 penutur dan mitra tuturnya merupakan mahasiswa angkatan 2011 berumur 19 tahun. Adanya kesamaan jenis kelamin, umur, dan tingkat angkatan itu cenderung mendorong adanya kedekatan tertentu antara penutur dan mitra tuturnya. Dimensi sosial ini seperti yang dipaparkan Verschueren 1998 termasuk pula dimensi solidaritas dan kuasa, atau ketergantungan dan kekuasaan. Penutur seorang mahasiswa bertutur dengan rekan mahasiswa lain lebih terlihat dimensi solidaritas atau ketergantungannya sehingga mereka cenderung berbahasa yang menurut mereka nyaman untuk digunakan seperti bahasa tidak baku, bahasa daerah, bahkan umpatan tertentu. Berkaitan dengan dimensi mental penutur dan mitra tutur yang dalam kelima tuturan tadi dituturkan oleh para mahasiswa, cenderung ditemukan kepribadian yang belum cukup matang. Hal tersebut terlihat dalam pertuturan mereka ketika bertutur dengan teman sebaya seperti pada kelima itu. Kelima tuturan itu menunjukkan bahwa para mahasiswa masih cenderung labil dari segi mental bertutur terlebih ketika bertutur dengan teman sebayanya. Pendapat ini sejalan dengan Rahardi 2011:158 bahwa seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga terhadap sesuatu yang hadir baru cenderung menentang dan melawan, sekalipun tidak selalu memiliki dasar yang jelas dan tegas, akan sangat mewarnai bentuk kebahasaan yang digunakan di dalam setiap pertutursapaan. Lebih lanjut berkaitan dengan dimensi mental adalah mengenai aspek warna emosi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nada bicara berkaitan dengan suasana hati. Dalam paparan sebelumnya, dijelaskan bahwa nada tutur pada kelima tuturan itu adalah nada sedang dan tinggi. Dengan nada yang demikian itu penutur cenderung memiliki warna emosi buruk, sedang kesal, jengkel, marah, bahkan meledak-ledak, sehingga makna tuturan yang dituturkan berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2011:159 bahwa seseorang yang memiliki warna emosi dan temperamen tinggi, cenderung berbicara dengan nada dan nuansa makna yang tinggi pula. Uraian konteks berikutnya pada tuturan E4 dipaparkan sebagai berikut. Tuturan terjadi pada tanggal 21 November 2012 pukul 14.50 WIB ketika para mahasiswa sedang menunggu kelas berikutnya sambil duduk di dalam kelas, ada dua mahasiswa mencari tempat duduk. Suasana kelas gaduh. Penutur dan mitra tutur perempuan dan merupakan mahasiswa angkatan 2009 dan teman sekelas yang biasanya duduk bersebelahan. Mitra tutur ingin duduk di belakang tetapi penutur tidak memperbolehkan mitra tutur. Tujuan tutur itu agar mitra tutur mengikuti suruhan penutur. Mitra tutur berbicara biasa dengan penutur tetapi penutur menanggapi dengan suruhan agak sinis dan memaksa yang menunjukkan tindak verbal direktif. Tindak perlokusi untuk tuturan E4 yaitu penutur berharap agar mitra tutur mengikuti kemauannya untuk duduk di depan. Konteks tuturan E8 diuraikan sevagai berikut. Tuturan terjadi pada tanggal 23 November 2012 pukul 11.30 WIB ketika sedang berkumpul di perpustakaan, lima mahasiswa sedang mengerjakan proposal skripsi masing-masing. Beberapa mahasiwa berbincang dengan serunya. Penutur dan mitra tutur perempuan merupakan mahasiswa angkatan 2009, mereka teman sekelas. Mitra tutur berbicara dengan keras dan mengganggu penutur. Penutur menyuruh dengan sinis karena merasa terganggu dengan suara mitra tutur seperti pada tuturan E8 yang menunjukkan tindak verbal direktif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu penutur berharap agar mitra tutur diam dan tidak menganggu penutur. Tuturan E11 terjadi pada tanggal 28 November 2012 pukul 13.55 WIB ketika di luar kelas. Beberapa mahasiswa duduk-duduk dan berbincang satu sama lain sedang menunggu kelas berikutnya. Suasana luar kelas gaduh dan santai. Mitra tutur menanyakan tentang laporan PPL yang merupakan satu kelompok dengan penutur. Penutur dan mitra tutur laki-laki merupakan mahasiswa angkatan 2009. Penutur menjawab pertanyaan dari mitra tutur. Penutur menanggapi dengan sinis dan agak emosi seperti pada tuturan E11 yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu penutur berharap mitra tutur segera menyelesaikan laporan PPL. Selanjutnya konteks tuturan E13. Tuturan terjadi pada tanggal 28 November 2012 pukul 14.20 WIB ketika setelah kuis Penyuntingan selesai, lalu dilanjut dengan koreksi lembar jawab oleh mahasiswa. Suasana kelas agak gaduh. Penutur dan mitra tutur merupakan mahasiswa angkatan 2009. Penutur duduk di belakang mitra tutur. Penutur memberikan ancaman terkait hasil koreksi yang akan dilakukan bagi mitra tutur seperti pada tuturan E13. Tanggapan sinis dengan suara keras penutur menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu penutur berharap mitra tutur mengoreksi dengan benar. Berikut dipaparkan mengenai konteks tuturan E16. Tuturan terjadi pada tanggal 27 November 2012 pukul 14.30 WIB ketika sedang diskusi kelompok di kelas. Suasana dalam kelas tenang dan serius. Penutur dan mitra tutur merupakan mahasiswa angkatan 2011 dan teman satu kelompok. Mitra tutur asyik berbincang sendiri. Penutur memperingatkan mitra tutur tetapi tidak dihiraukannya. Penutur mengungkapkan kekecewaannya dengan sinis seperti pada tuturan E16 yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu penutur berharap mitra tutur sadar akan tingkahnya dan meminta maaf kepada penutur. Berdasarkan uraian konteks masing-masing dari lima tuturan di atas, dapat membantu menguraikan pilihan kata dan juga makna yang terkandung di dalam setiap tuturan itu. Pada tuturan E4 terdapat pilihan kata manut aku, dong ora yang dituturkan oleh mahasiwa perempuan kepada temannya ketika sedang mencari tempat duduk. Tuturan E4 itu cenderung dikatakan dengan suruhan yang memaksa mitra tuturnya untuk mengikuti penutur. Mitra tutur seolah mendapat sebuah ancaman dari penutur seperti pada tuturan E4 itu. Pada tuturan E8 terdapat pilihan kata wes to meneng yang dituturkan oleh penutur ketika sedang mengerjakan proposal skripsi di perpustakaan. Penutur mengatakan tuturan E8 dengan nada keras dan penekanan kata meneng kepada mitra tuturnya. Peringatan dari penutur itu seolah mitra tutur diberikan ancaman agar segera diam. Selanjutnya pada tuturan E11 dituturkan dengan pilihan kata asu rung rampung, do gak moro, bajigur to kowe dikatakan penutur ketika mitra tutur bertanya padanya. Dengan suasana hati penutur yang sedang kesal dan marah, dia serta merta mengumpat mitra tuturnya dengan kata asu dan bajigur itu. Pilihan kata dengan umpatan itu selain terdengar keras dan kasar juga memiliki kesantunan yang rendah. selain itu, tuturan E11 terasa seperti mengancam mitra tuturnya yang tidak ikut berkumpul mengerjakan laopran PPL. Berikutnya pada tuturan E13 dituturkan dengan pilihan kata entuk elek tak tuntut kowe dituturkan penutur ketika hasil kuis akan dikoreksi oleh mitra tutur. Tuturan E13 itu menunjukkan secara jelas sebuah ancaman bagi mitra tuturnya yang akan mengoreksi hasil kuis penutur. Pada tuturan E16 terlihat penggunaan kata gak mau sama kamu, males yang dituturkan penutur ketika mitra tuturnya tidak bisa diperingatkan. Tuturan E16 itu sebagai peringatan dan seolah seperti ancaman bagi mitra tutur bahwa penutur tidak akan bersedia untuk satu kelompok dengannya lagi. Pembahasan berikutnya mengenai makna dari masing-masing tuturan itu. Seperti yang telah dipaparkan bahwa konsep ketidaksantunan berbahasa yang mengancam muka bilamana mitra tutur mendapat ancaman dari penuturnya. Dari uraian sebelumnya, kelima tuturan itu cenderung mengarah pada sebuah tuturan yang menyuruh atau memerintah. Selain itu, tuturan menunjukkan adanya sebuah ancaman keterpojokan bagi mitra tuturnya. Tuturan E4 memiliki makna berupa ancaman perintah dari penutur kepada mitra tutur untuk mengikuti penutur supaya duduk di bagian depan. Tuturan E8 memiliki makna berupa ekspresi ancaman suruhan dari penutur pada mitra tutur agar diam dan tidak berisik. Tuturan E11 memiliki makna berupa ekspresi ancaman dari kemarahan penutur karena mitra tutur menunda-nunda dalam penyelesaian laporan PPL. Tuturan E13 memiliki makna berupa ancaman peringatan dan ancaman dari penutur karena mitra tutur yang akan mengoreksi hasil kerjanya. Tuturan E16 memiliki makna berupa ancaman dari kekesalan penutur karena mitra tutur tidak menghiraukan peringatan penutur. Berdasarkan uraian konteks masing-masing tuturan telah menunjukkan bahwa kelima tuturan itu tergolong dalam ketidaksantunan yang mengancam muka sepihak. Hal ini diperkuat dengan adanya pilihan kata dari setiap tuturan berpotensi untuk memberikan ancaman bagi mitra tuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Terkourafi 2008: 3-4 memandang ketidaksantunan sebagai, „impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee‟s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.‟ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan sebagai perilaku berbahasa yang tidak santun bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap ancaman kehilangan muka dari penutur, dan penutur tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Hal tersebut dapat dijelaskan pula berdasarkan uraian dari penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang telah dipaparkan sebelumnya. Seperti yang telah dipaparkan, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari penggunaan nada tutur yang sedang dan tinggi, tekanan yang cenderung sedang dan keras, intonasi yang dipakai berupa intonasi berita yang dituturkan dengan suara lembut berupa sindiran dan intonasi perintah yang dituturkan dengan suara keras serta pilihan kata yang tidak sesuai, kata nonstandar, dan kata jargon berupa umpatan. Sementara itu, penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat dari konteks tuturan itu. Konteks tuturan meliputi penutur dan mitra tutur yaitu para mahasiswa PBSID Angkatan 20092011 Universitas Sanata Dharma, situasi tuturan dapat terjadi di mana saja seperti di dalam kelas, di luar kelas dan di perpustakaan dengan suasana yang cenderung tegang dan serius. Terdapat pula implikatur tambahan berupa tindak verbal yaitu tindak verbal ekspresif dan direktif, tindak perlokusi yaitu mitra tutur melakukan yang diminta penutur dengan terpaksa. Secara umum, makna tuturan tidak santun yang mengancam muka sepihak yaitu memberikan ancaman atau tekanan sehingga menimbulkan keterpojokan bagi mitra tuturnya. 201

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan dua hal, yaitu 1 simpulan dan 2 saran. Simpulan meliputi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran meliputi hal- hal relevan yang kiranya perlu diperhatikan, baik untuk mahasiswa jurusan pendidikan bahasa maupun penelitian lanjutan.

5.1. Simpulan

Dari hasil analisis data ditemukan tuturan yang tidak santun dalam interaksi antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009 —2011 Universitas Sanata Dharma. Simpulan hasil analisis dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009 —2011 Universitas Sanata Dharma berupa tuturan lisan yang tidak santun yakni tuturan yang melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan yang disengaja, menghilangkan muka, dan mengancam muka sepihak, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatiknya berupa uraian konteks yang melingkupi tuturan itu yakni penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. 1. Penanda Ketidaksantunan Linguistik Penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi yang dapat diuraikan dalam masing-masing jenis ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut. a. Melecehkan muka Tuturan yang melecehkan muka ditandai dengan nada tutur sedang dan tinggi; tekanan sedang; intonasi berita, intonasi tanya, dan intonasi perintah; serta diksi bahasa nonstandar. b. Memain-mainkan muka Tuturan yang memain-mainkan muka ditandai dengan nada tutur dan tekanan yang sedang; intonasi berita dan intonasi tanya; serta diksi bahasa nonstandar. c. Kesembronoan yang disengaja Tuturan yang termasuk dalam kesembrononan yang disengaja ditandai dengan nada tutur rendah dan sedang; tekanan sedang; intonasi berita dan intonasi tanya; serta diksi bahasa nonstandar. d. Menghilangkan muka Tuturan yang menghilangkan muka ditandai dengan nada tutur sedang dan tinggi; tekanan sedang dan keras; intonasi berita, intonasi tanya, dan intonasi perintah; serta diksi bahasa nonstandar. e. Mengancam muka sepihak Tuturan yang mengancam muka sepihak ditandai dengan nada tutur sedang dan tinggi; tekanan sedang dan keras; intonasi intonasi berita, intonasi tanya, dan intonasi perintah; serta diksi bahasa nonstandar. 3. Penanda Ketidaksantunan Pragmatik Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Adapun penutur dan mitra tutur yaitu antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009 —2011 Universitas Sanata Dharma, situasi terjadinya dapat terjadi di mana saja seperti di kelas, depan kelas, laboratorium bahasa, perpustakaan dll, sedangkan uraian konteks berikutnya diuraikan dalam masing-masing jenis ketidaksantunan sebagai berikut. a. Melecehkan muka Tuturan terjadi dengan suasana yang cenderung santai dan ada pula yang serius. Tindak verbal dalam tuturan yang melecehkan muka berupa tindak verbal ekspresif dan direktif, sedangkan tindak perlokusi yaitu agar mitra tutur merespon tuturan dari penutur. b. Memain-mainkan muka Tuturan terjadi dengan suasana yang cenderung santai dan ada pula yang serius. Tindak verbal dalam tuturan yang memain- mainkan muka berupa tindak verbal ekspresif dan direktif, sedangkan tindak perlokusi yaitu agar mitra tutur memberikan penjelasan atas tuturan penutur. c. Kesembronoan yang disengaja Tuturan terjadi dengan suasana yang cenderung santai. Tindak verbal dalam tuturan yang sembrono berupa tindak verbal ekspresif, sedangkan tindak perlokusi yaitu agar mitra tutur terhibur. d. Menghilangkan muka Tuturan terjadi dengan suasana yang cenderung santai dan ada pula yang serius. Tindak verbal dalam tuturan yang menghilangkan muka berupa tindak verbal ekspresif dan direktif, sedangkan tindak perlokusi yaitu agar mitra tutur merespon tuturan dari penutur. e. Mengancam muka sepihak Tuturan terjadi dengan suasana yang cenderung tegang dan serius. Tindak verbal dalam tuturan yang mengancam muka berupa tindak verbal ekspresif dan direktif, sedangkan tindak perlokusi yaitu agar melakukan apa yang diminta penutur walau dengan terpaksa dan di bawah tekanan. 4. Makna Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Ketidaksantunan berbahasa tidak hanya dilihat dari penanda linguistik dan didukung dengan penanda pragmatiknya namun lebih dari itu makna yang melingkupi tuturan tersebut juga memengaruhi santun tidaknya tuturan tersebut. Makna ketidaksantunan dari masing-masing jenis ketidaksantunan tersebut diuraikan sebagai berikut. a. Makna ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, mengejek, menghina dan melukai hati mitra tutur. b. Makna ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat jengkel dan bingung mitra tuturnya dengan tingkah penutur yang tidak seperti biasanya. c. Makna ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur bercanda sehingga mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik apabila candaan tersebut berlebihan dan ditanggapi pula oleh mitra tuturnya secara berlebihan. d. Makna ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang. e. Makna ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.