Mengancam Muka Sepihak Pembahasan
Selain tekanan, aspek intonasi juga penting digunakan dalam menentukan santun tidaknya sebuah tuturan. Hal ini sejalan pendapat Pranowo 2009:76 bahwa
aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Intonasi ditandai dengan intonasi datar turun yang biasa terdapat dalam
kalimat berita, intonasi datar naik yang biasa terdapat dalam kalimat tanya, dan intonasi datar tinggi yang biasa terdapat dalam kalimat perintah. Selain itu, intonasi
juga berhubungan dengan keras lembutnya suara penutur ketika berujar. Dari kelima tuturan tadi, tuturan E11, E13, dan E16 memiliki intonasi berita yang berpola
datar turun. Intonasi berita ini cenderung dituturkan dengan suara yang relatif lembut dan pelan. Walaupun ketiga tuturan tersebut dikatakan dengan suara yang relatif
lembut dan pelan, ketiga tuturan itu dikatakan penutur dalam bentuk sindiran dan memaksa. Berbeda dengan tuturan E4 dan E8 yang dituturkan oleh penutur
dengan intonasi perintah. Intonasi perintah ini cenderung dikatakan dengan suara yang keras dan kasar. Ternyata pada tuturan E4 dan E8, selain dituturkan dengan
suara yang keras dan kasar juga terdapat semacam paksaan didalamnya. Berdasarkan uraian di atas, kelima tuturan dapat dikategorikan sebagai tuturan
yang tidak santun. Hal tersebut terlihat dari penggunaan intonasi berita yang lembut tetapi berupa sindiran dan paksaan serta intonasi perintah yang cenderung keras dan
kasar dan ada pula paksaan didalamnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nada yang sedang dan tinggi, tekanan yang sedang dan keras, intonasi yang lembut
tetai berupa sindiran dan paksaan serta intonasi yang keras dan kasar disertai paksaan
merupakan penanda ketidaksantunan linguistik dalam jenis ketidaksantunan yang mengancam muka sepihak.
Pembahasan berikutnya mengenai pilihan kata. Menurut Pranowo 2009:16 kesanggupan memilih kata seorang penutur dapat menjadi salah satu penentu santun
tidaknya bahasa yang digunakan. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu
sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Ada beberapa pilihan kata yaitu bahasa nonstandar berupa kata tidak baku, kata fatis, kata seru, dan interferensi ke
dalam bahasa Jawa; kata ilmiah dan populer, jargon, kata percakapan, idiom, kata slang, dan bahasa artifisial Keraf, 1985:104-110.
Berikut uraian masing-masing pilihan kata kelima tuturan tersebut. Kata nonstandar berupa penggunaan bahasa Jawa dapat ditemukan pada tuturan pada
tuturan E4, E8, E11, dan E13. Pada tuturan E4 yaitu wes, lungguhe nek, ngarep ae, manut, dong, ora. Pada tuturan E8 wes, meneng, mumet, nggawe. Pada
tuturan E11 yaitu rung rampung kok Wes diajak kumpul do gak moro to kowe, sedangkan pada tuturan E13 yaitu nek entuk elek tak tuntut kowe. Adanya bahasa
Jawa tersebut menunjukkan kedekatan antara penutur dan mitra tutur. Pada tuturan E8 dan E11 terdapat kata fatis yaitu to, ki, le, lho dan kok, to, do. Ada pula kata
nonstandar berupa kata tidak baku pada tuturan E16 yaitu gak, sama, males. Selanjutnya, pada tuturan E11 ditemukan pula pilihan kata jargon berupa umpatan
yaitu asu, bajigur.
Penggunaan pilihan kata nonstandar oleh penutur yang notabene seorang mahasiswa sejalan dengan pendapat Keraf 1985:104 yang mengatakan bahwa kata
nonstandar dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam bersenda gurau, berhumor, atau untuk menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Pada tuturan
E11 ditemukan pula kata jargon yang berupa umpatan yaitu asu, bajigur. Adanya penggunaan umpatan pada tuturan E11 menunjukkan kadar kesantunan yang
rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf 1985:107 yang mengatakan bahwa jargon mengandung makna suatu bahasa, dialek, atau tutur yang dianggap kurang
sopan atau aneh. Penggunaan pilihan kata tersebut dapat dikategorikan sebagai pilihan kata
yang tidak santun atau tidak dan pilihan kata itu dapat dikatakan sesuai ataupun tidak manakala kelima tuturan dilihat berdasarkan konteks yang melingkupinya. Dengan
adanya konteks itu, pilihan kata akan dapat diidentifikasi dengan jelas, bahkan makna dibalik penggunaan pilihan kata itu pun dapat diketahui dengan jelas. Hal ini sejalan
dengan pendapat Rahardi 2011:161 bahwa konteks harus dilibatkan dan diperhitungkan dalam memaknai bahasa, baik bahasa dalam pengertian entitas
kebahasaan sebagai elemen, maupun bahasa dalam pengertian umum yang jauh lebih holistik dan lebih luas. Dengan demikian, uraian konteks masing-masing tuturan
harus diperjelas. Berikut paparan konteks kelima tuturan tadi berdasarkan pendapat leech 1983 yang mencakup aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan
tutur, tuturan sebagai bentuk tindak verbal, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Aspek konteks menurut Leech ini dielaborasikan dengan pendapat Verschueren terkait dimensi konteks.
Uraian konteks ini merupakan wujud dan penanda ketidaksantunan pragmatik. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2011:1661 bahwa pragmatik adalah studi
bahasa yang terikat konteks. Oleh karena itu, konteks dan kajian pragmatik merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Adapun konteks tuturan dapat diuraikan
mulai dari dimensi penutur dan mitra tutur. Kemila tuturan dituturkan oleh mahasiswa kepada mahasiswa. Hal yang membedakan kelima tuturan itu terkait
aspek penutur dan mitra tutur adalah dimensi jenis kelamin, umur, dan tahun angkatan. Tuturan E11,E13, dan E16 penutur dan mitra tutur adalah mahasiswa
laki-laki, kecuali untuk tutran E16 mitra tuturnya dalah mahasiswa perempuan. Pada tuturan E4 dan E8 penutur dan mitra tuturnya adalah mahasiswa perempuan.
Berkaitan dengan dimensi jenis kelamin, bahasa untuk laki-laki cenderung keras, sedangkan bahasa perempuan cenderung lebih lembut Rahardi, 2011:161. Namun,
ternyata dalam tuturan E4 dan E8 dapat ditemukan tuturan yang keras sekalipun yang menuturkan adalah perempuan.
Selanjutnya, dimensi umur biasanya cenderung disesuaikan dengan tahun angkatan. Dalam tuturan E4, E8, E11, dan E13 penutur dan mitra tuturnya
merupakan mahasiswa angkatan 2009 yang berumur 21 tahun, sedangkan E16 penutur dan mitra tuturnya merupakan mahasiswa angkatan 2011 berumur 19 tahun.
Adanya kesamaan jenis kelamin, umur, dan tingkat angkatan itu cenderung
mendorong adanya kedekatan tertentu antara penutur dan mitra tuturnya. Dimensi sosial ini seperti yang dipaparkan Verschueren 1998 termasuk pula dimensi
solidaritas dan kuasa, atau ketergantungan dan kekuasaan. Penutur seorang mahasiswa bertutur dengan rekan mahasiswa lain lebih terlihat dimensi solidaritas
atau ketergantungannya sehingga mereka cenderung berbahasa yang menurut mereka nyaman untuk digunakan seperti bahasa tidak baku, bahasa daerah, bahkan umpatan
tertentu. Berkaitan dengan dimensi mental penutur dan mitra tutur yang dalam kelima
tuturan tadi dituturkan oleh para mahasiswa, cenderung ditemukan kepribadian yang belum cukup matang. Hal tersebut terlihat dalam pertuturan mereka ketika bertutur
dengan teman sebaya seperti pada kelima itu. Kelima tuturan itu menunjukkan bahwa para mahasiswa masih cenderung labil dari segi mental bertutur terlebih ketika
bertutur dengan teman sebayanya. Pendapat ini sejalan dengan Rahardi 2011:158 bahwa seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga terhadap
sesuatu yang hadir baru cenderung menentang dan melawan, sekalipun tidak selalu memiliki dasar yang jelas dan tegas, akan sangat mewarnai bentuk kebahasaan yang
digunakan di dalam setiap pertutursapaan. Lebih lanjut berkaitan dengan dimensi mental adalah mengenai aspek warna
emosi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nada bicara berkaitan dengan suasana hati. Dalam paparan sebelumnya, dijelaskan bahwa nada tutur pada kelima
tuturan itu adalah nada sedang dan tinggi. Dengan nada yang demikian itu penutur
cenderung memiliki warna emosi buruk, sedang kesal, jengkel, marah, bahkan meledak-ledak, sehingga makna tuturan yang dituturkan berpotensi menimbulkan
ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2011:159 bahwa seseorang yang memiliki warna emosi dan temperamen tinggi,
cenderung berbicara dengan nada dan nuansa makna yang tinggi pula. Uraian konteks berikutnya pada tuturan E4 dipaparkan sebagai berikut.
Tuturan terjadi pada tanggal 21 November 2012 pukul 14.50 WIB ketika para mahasiswa sedang menunggu kelas berikutnya sambil duduk di dalam kelas, ada dua
mahasiswa mencari tempat duduk. Suasana kelas gaduh. Penutur dan mitra tutur perempuan dan merupakan mahasiswa angkatan 2009 dan teman sekelas yang
biasanya duduk bersebelahan. Mitra tutur ingin duduk di belakang tetapi penutur tidak memperbolehkan mitra tutur. Tujuan tutur itu agar mitra tutur mengikuti
suruhan penutur. Mitra tutur berbicara biasa dengan penutur tetapi penutur menanggapi dengan suruhan agak sinis dan memaksa yang menunjukkan tindak
verbal direktif. Tindak perlokusi untuk tuturan E4 yaitu penutur berharap agar mitra tutur mengikuti kemauannya untuk duduk di depan.
Konteks tuturan E8 diuraikan sevagai berikut. Tuturan terjadi pada tanggal 23 November 2012 pukul 11.30 WIB ketika sedang berkumpul di perpustakaan, lima
mahasiswa sedang mengerjakan proposal skripsi masing-masing. Beberapa mahasiwa berbincang dengan serunya. Penutur dan mitra tutur perempuan merupakan
mahasiswa angkatan 2009, mereka teman sekelas. Mitra tutur berbicara dengan keras
dan mengganggu penutur. Penutur menyuruh dengan sinis karena merasa terganggu dengan suara mitra tutur seperti pada tuturan E8 yang menunjukkan tindak verbal
direktif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu penutur berharap agar mitra tutur diam dan tidak menganggu penutur.
Tuturan E11 terjadi pada tanggal 28 November 2012 pukul 13.55 WIB ketika di luar kelas. Beberapa mahasiswa duduk-duduk dan berbincang satu sama lain
sedang menunggu kelas berikutnya. Suasana luar kelas gaduh dan santai. Mitra tutur menanyakan tentang laporan PPL yang merupakan satu kelompok dengan penutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki merupakan mahasiswa angkatan 2009. Penutur menjawab pertanyaan dari mitra tutur. Penutur menanggapi dengan sinis dan agak
emosi seperti pada tuturan E11 yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu penutur berharap mitra tutur segera
menyelesaikan laporan PPL. Selanjutnya konteks tuturan E13. Tuturan terjadi pada tanggal 28 November
2012 pukul 14.20 WIB ketika setelah kuis Penyuntingan selesai, lalu dilanjut dengan koreksi lembar jawab oleh mahasiswa. Suasana kelas agak gaduh. Penutur dan mitra
tutur merupakan mahasiswa angkatan 2009. Penutur duduk di belakang mitra tutur. Penutur memberikan ancaman terkait hasil koreksi yang akan dilakukan bagi mitra
tutur seperti pada tuturan E13. Tanggapan sinis dengan suara keras penutur menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu
penutur berharap mitra tutur mengoreksi dengan benar.
Berikut dipaparkan mengenai konteks tuturan E16. Tuturan terjadi pada tanggal 27 November 2012 pukul 14.30 WIB ketika sedang diskusi kelompok di
kelas. Suasana dalam kelas tenang dan serius. Penutur dan mitra tutur merupakan mahasiswa angkatan 2011 dan teman satu kelompok. Mitra tutur asyik berbincang
sendiri. Penutur memperingatkan mitra tutur tetapi tidak dihiraukannya. Penutur mengungkapkan kekecewaannya dengan sinis seperti pada tuturan E16 yang
menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan tersebut yaitu penutur berharap mitra tutur sadar akan tingkahnya dan meminta maaf kepada
penutur. Berdasarkan uraian konteks masing-masing dari lima tuturan di atas, dapat
membantu menguraikan pilihan kata dan juga makna yang terkandung di dalam setiap tuturan itu. Pada tuturan E4 terdapat pilihan kata manut aku, dong ora yang
dituturkan oleh mahasiwa perempuan kepada temannya ketika sedang mencari tempat duduk. Tuturan E4 itu cenderung dikatakan dengan suruhan yang memaksa mitra
tuturnya untuk mengikuti penutur. Mitra tutur seolah mendapat sebuah ancaman dari penutur seperti pada tuturan E4 itu. Pada tuturan E8 terdapat pilihan kata wes to
meneng yang dituturkan oleh penutur ketika sedang mengerjakan proposal skripsi di perpustakaan. Penutur mengatakan tuturan E8 dengan nada keras dan penekanan
kata meneng kepada mitra tuturnya. Peringatan dari penutur itu seolah mitra tutur diberikan ancaman agar segera diam.
Selanjutnya pada tuturan E11 dituturkan dengan pilihan kata asu rung rampung, do gak moro, bajigur to kowe dikatakan penutur ketika mitra tutur bertanya
padanya. Dengan suasana hati penutur yang sedang kesal dan marah, dia serta merta mengumpat mitra tuturnya dengan kata asu dan bajigur itu. Pilihan kata dengan
umpatan itu selain terdengar keras dan kasar juga memiliki kesantunan yang rendah. selain itu, tuturan E11 terasa seperti mengancam mitra tuturnya yang tidak ikut
berkumpul mengerjakan laopran PPL. Berikutnya pada tuturan E13 dituturkan dengan pilihan kata entuk elek tak tuntut kowe dituturkan penutur ketika hasil kuis
akan dikoreksi oleh mitra tutur. Tuturan E13 itu menunjukkan secara jelas sebuah ancaman bagi mitra tuturnya yang akan mengoreksi hasil kuis penutur. Pada tuturan
E16 terlihat penggunaan kata gak mau sama kamu, males yang dituturkan penutur ketika mitra tuturnya tidak bisa diperingatkan. Tuturan E16 itu sebagai peringatan
dan seolah seperti ancaman bagi mitra tutur bahwa penutur tidak akan bersedia untuk satu kelompok dengannya lagi.
Pembahasan berikutnya mengenai makna dari masing-masing tuturan itu. Seperti yang telah dipaparkan bahwa konsep ketidaksantunan berbahasa yang
mengancam muka bilamana mitra tutur mendapat ancaman dari penuturnya. Dari uraian sebelumnya, kelima tuturan itu cenderung mengarah pada sebuah tuturan yang
menyuruh atau memerintah. Selain itu, tuturan menunjukkan adanya sebuah ancaman keterpojokan bagi mitra tuturnya. Tuturan E4 memiliki makna berupa ancaman
perintah dari penutur kepada mitra tutur untuk mengikuti penutur supaya duduk di
bagian depan. Tuturan E8 memiliki makna berupa ekspresi ancaman suruhan dari penutur pada mitra tutur agar diam dan tidak berisik. Tuturan E11 memiliki makna
berupa ekspresi ancaman dari kemarahan penutur karena mitra tutur menunda-nunda dalam penyelesaian laporan PPL. Tuturan E13 memiliki makna berupa ancaman
peringatan dan ancaman dari penutur karena mitra tutur yang akan mengoreksi hasil kerjanya. Tuturan E16 memiliki makna berupa ancaman dari kekesalan penutur
karena mitra tutur tidak menghiraukan peringatan penutur. Berdasarkan uraian konteks masing-masing tuturan telah menunjukkan bahwa
kelima tuturan itu tergolong dalam ketidaksantunan yang mengancam muka sepihak. Hal ini diperkuat dengan adanya pilihan kata dari setiap tuturan berpotensi untuk
memberikan ancaman bagi mitra tuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Terkourafi 2008: 3-4 memandang ketidaksantunan sebagai,
„impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee‟s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.‟ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya
akan dikatakan sebagai perilaku berbahasa yang tidak santun bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap ancaman kehilangan muka dari penutur, dan penutur
tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Hal tersebut dapat dijelaskan pula berdasarkan uraian dari penanda ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik yang telah dipaparkan sebelumnya. Seperti yang telah dipaparkan, penanda ketidaksantunan linguistik dapat
dilihat dari penggunaan nada tutur yang sedang dan tinggi, tekanan yang cenderung
sedang dan keras, intonasi yang dipakai berupa intonasi berita yang dituturkan dengan suara lembut berupa sindiran dan intonasi perintah yang dituturkan dengan
suara keras serta pilihan kata yang tidak sesuai, kata nonstandar, dan kata jargon berupa umpatan. Sementara itu, penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat dari
konteks tuturan itu. Konteks tuturan meliputi penutur dan mitra tutur yaitu para mahasiswa PBSID Angkatan 20092011 Universitas Sanata Dharma, situasi tuturan
dapat terjadi di mana saja seperti di dalam kelas, di luar kelas dan di perpustakaan dengan suasana yang cenderung tegang dan serius. Terdapat pula implikatur
tambahan berupa tindak verbal yaitu tindak verbal ekspresif dan direktif, tindak perlokusi yaitu mitra tutur melakukan yang diminta penutur dengan terpaksa. Secara
umum, makna tuturan tidak santun yang mengancam muka sepihak yaitu memberikan ancaman atau tekanan sehingga menimbulkan keterpojokan bagi mitra
tuturnya.
201