Pengujian Modulus Elastisitas Kayu Dengan Menggunakan Metode Two Point Loading

(1)

KARYA TULIS

PENGUJIAN MODULUS ELASTISITAS KAYU DENGAN

MENGGUNAKAN METODE TWO POINT LOADING

Disusun Oleh:

APRI HERI ISWANTO, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 844

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis mengenai “Pengujian Modulus Elastisitas Kayu Dengan Menggunakan Metode Two Point Loading “.

Tulisan ini berisi tentang pengujian kayu untuk menentukan Etrue dan Eapparent dengan menggunakan metode pengujian Two Point Loading (TPL) pada posisi tegak dan posisi rebah. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan tambahan informasi dibidang keteknikan kayu.

Akhirnya penulis tetap membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun dengan tujuan untuk menyempurnakan karya tulis ini.

Desember, 2008

Penulis


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI...ii

DAFTAR TABEL...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

PENDAHULUAN ...1

PENGUJIAN KAYU ...2

SIFAT MEKANIS KAYU...5

HASIL DAN PEMBAHASAN ...7

KESIMPULAN...12


(4)

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

1 Nilai E true dan E apparent Pada Posisi Tegak dan Rebah 8 2 Nilai Koefisien determinasi (R2) dan Koefisien Korelasi (R)

Antara Metode OPL dengan TPL

11


(5)

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

1 Metode pembebanan pada balok: (A). Two point loading

(B). Third point loading, (C). Center point loading

4

2 Grafik Nilai Etrue dan Eapparent pada posisi tegak dan rebah 8


(6)

PENDAHULUAN

Potensi kayu sebagai bahan struktural saat ini belum tergantikan oleh bahan lain secara menyeluruh. Kelebihan sifat kayu dibanding bahan material lain, seperti logam dan plastik, dalam segi fungsi dan estetika telah membuat kayu menjadi meningkat konsumsi pemakaiannya. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Akan tetapi buruknya pengelolaan hutan serta maraknya illegal logging mengurangi suplai kayu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu dalam kegiatan pengelolaan hutan dan manajemen kawasan hutan perlu ditingkatkan dengan mengacu pada asas-asas kelestarian. Selain itu, pemakaian kayu yang efisien dan optimal diharapkan mampu menangani permasalahan tersebut.

Dalam upaya peningkatan efisiensi dan pengoptimalan penggunaan kayu, teknologi dan rekayasa dalam bidang perkayuan sangatlah diperlukan. Dalam bidang struktural sifat mekanis atau kekuatan kayu merupakan faktor yang penting. Faktor ini diperlukan karena kayu akan digunakan untuk menahan beban dengan aman dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu untuk setiap batang kayu perlu dilakukan pemilahan dalam rangka mengetahui kemampuan dalam menahan beban. Kegiatan pemilahan ini biasa disebut dengan grading.

Kegiatan pemilahan dibutuhkan karena kayu memiliki variabilitas yang tinggi diantaranya struktur penyusun kayu yang heterogen dan adanya cacat-cacat kayu. Dalam penaksiran kekuatan dan kekakuan kayu terdapat dua macam pengujian, yaitu metode destruktif dan non destruktif. Metode destruktif dapat menaksir kekuatan kayu secara objektif dan tepat dimana pengujian yang dilakukan merusak kayu, metode ini dikenal dengan pengujian statis. Sedangkan metode non destruktif adalah metode yang dikembangkan dengan tanpa merusak kayu, metode ini dikenal dengan istilah pengujian dinamis.


(7)

PENGUJIAN KAYU

Pengujian Non Destruktif

Pengujian Non Destruktif (NDT/E) adalah pengujian dengan mengidentifikasi sifat fisis dan mekanis suatu bahan tanpa merusak atau mengganggu produk akhirnya sehingga diperoleh informasi yang tepat terhadap sifat dan kondisi bahan tersebut yang akan berguna untuk menentukan keputusan akhir pemanfaatannya dan merupakan metode pengujian yang tidak merusak fungsi dari struktur bahan dan dapat dilakukan re-testing (pengujian ulang) pada lokasi yang sama untuk mengevaluasi perubahan sifatnya menurut waktu (Karlinasari, 2007).

Salah satu metode non destruktif adalah pengujian dengan mengukur kecepatam gelombang ultrasonik . Gelombang ultrasonik adalah gelombang bunyi yang mempunyai frekuensi di atas 20 KHz. Teknik tersebut memberikan beberapa kelebihan antara lain rendahnya biaya peralatan bila dibandingkan dengan mesin pemilah otomatis, serta teknik ini relatif mudah dipraktekkan (Oliveira et. al., 2002).

Parameter gelombang ultrasonik merambat dalam struktur padat dipengaruhi oleh sifat fisis substrat, karakter geometri spesimen di bawah uji (segi makro dan mikrostruktural), kondisi lingkungan dan kondisi pengukuran (respon frekuensi dan kepekaan tranduser, ukuran dan lokasinya, coupling medium serta karakter dinamik dari peralatan elektronik).

Sandoz (1993) menyatakan bahwa metode ultrasonik berperan dalam mendeteksi pelapukan atau evaluasi kesehatan pohon dengan pengukuran terhadap bidang radial pohon. Sedangkan terhadap bidang longitudinal metode ultrasonik biasanya digunakan sebagai alat evaluasi terhadap komponen kayu serta kegiatan pemilahan.

Beberapa metode yang dilakukan untuk menduga kualitas kayu secara non destruktif (Malik et. al., 2002) yaitu :

1. Mekanis dan optis : warna, patahan, dimensi, permukaan akhir.

2. Radiasi penetrasi : patahan, kerapatan, variasi kimia, objek asing, ketebalan.

3. Elektromagnetik dan elektronik : anisotropis, rongga, komposisi, kontaminasi, korosi, patahan, konduktifitas listrik dan panas, ketebalan lapisan, kadar air, polarisasi.


(8)

4. Sonik dan ultrasonik : degradasi, struktur tegangan permukaan, kekuatan tarik, geser dan tekan.

5. Panas dan infra merah : ikatan, komposisi, emisifitas, kontur panas, porositas reflektifitas, tegangan, konsuktifitas panas, ketebalan.

Hasil pengujian non destruktif umumnya berupa kekakuan bahan. Istilah kekakuan lentur dinamis biasanya digunakan untuk kekakuan lentur hasil pengujian non destruktif.

Pengujian Destruktif

Pendugaan kekuatan kayu dengan cara konvensional (yang bersifat merusak) dapat menyebabkan banyak kayu yang terbuang untuk pengujian (Mardikanto dan Pranggodo, 1991). Walaupun pengujian dengan metode ini dianggap kurang efisien dan fleksibel tetapi metode ini masih memberikan hasil yang terbaik dalam menaksir kekuatan kayu bila dibandingkan dengan pengujian secara visual. Metode destruktif dalam pendugaan kekuatan kayu secara objektif dan tepat tanpa tergantung jenis kayu yang diuji.

Pengujian destruktif sangat erat kaitannya dengan sifat mekanis karena untuk menduga sifat mekanis kayu dilakukan dengan mesin uji khusus yang membebani contoh uji dengan beban yang terukur secara berangsur-angsur atau tiba-tiba (Tsoumis, 1991).

Pada ASTM D 198-05 dijelaskan beberapa metode pengujian secara destruktif antara lain :

1. Metode One Point Loading (OPL)

Metode OPL atau pengujian beban tunggal terpusat yaitu kasus pembebanan dimana beban diterapkan / dibebankan di tengah bentang (mid-span).

2. Metode Two Point Loading

Metode ini disebut juga dengan pengujian dua pembebanan yaitu kasus dimana beban ditempatkan pada dua titik dengan jarak yang sama jauh dari titik reaksi tumpuan, metode two point loading juga dikenal sebagai four point loading, sebab ada dua beban dan dua titik reaksi yang bertindak pada balok.

3. Metode Third Point Loading

Metode third point loading yaitu kasus two point secara khusus dengan jarak penempatan beban sepertiga dari panjang bentang diukur dari titik reaksi (tumpuan). Selanjutnya dijelaskan oleh Gambar 1.


(9)

Gambar 1. Metode pembebanan pada balok: (A). Two point loading (B). Third point loading, (C). Center point loading

L P

½ L ½ L

C

L

1/3 L 1/3 L 1/3 L

½ P ½ P

B

a

L ½ P

A ½ P


(10)

SIFAT MEKANIS KAYU Modulus Elatisitas

Hukum Hooke’s menyatakan bahwa kekakuan bahan merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan pada sebuh kayu di dalam batas elastis yang bernilai konstan. Tegangan didefinisikan sebagai distribusi gaya per unit luas, sedangkan regangan adalah perubahan panjang per unit panjang bahan semula (Haygreen dan Bowyer, 2003). Rasio ini biasa disebut dengan modulus elastisitas atau biasa disebut sebagai Modulus Young dan disingkat ‘MOE’ atau secara sederhana ‘E’ (hoadley, 2000). Bentuk persamaan yang digunakan adalah :

E = j

dimana :

E = modulus elastisitas j = tegangan

= regangan

Modulus elastisitas (E) merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan perubahan bentuk atau lentur yang terjadi sampai dengan batas proporsi. Semakin besar beban yang bekerja, semakin tinggi tegangan yang timbul dan semakin besar perubahan bentuk yang akan terjadi sampai batas proporsi. Hubungan tegangan dan regangan membentuk garis lurus. Batas proporsi itu adalah bila beban yang bekerja dilepaskan, benda akan kembali ke bentuk semula, tetapi apabila beban melewati batas ini, benda tidak akan ke bentuk asal meskipun beban telah dilepaskan.

Haygreen dan Bowyer (2003), menyatakan bahwa E ini berkaitan dengan regangan, defleksi, dan perubahan bentuk yang terjadi. Besarnya defleksi dipengaruhi oleh besar dan lokasi pembebanan, panjangnya dan ukuran penampang balok serta E kayu. Hubungan antara modulus elastisitas (E) dengan defleksi yaitu apabila semakin tinggi E suatu balok, semakin berkurang defleksinya dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk. Berdasarkan pengukuran terhadap nilai defleksi yang terjadi pada saat pembebanan, maka nilai E dibagi menjadi dua yaitu Eapparent dan Etrue. Nilai Eapparent, dipengaruhi oleh defleksi akibat gaya geser. Sedangkan Etrue tidak terdapat pengaruh gaya geser di dalamnya. Dirumuskan yaitu = M + G, dimana adalah defleksi aparent, M adalah defleksi true (akibat momen lentur) dan G adalah defleksi akibat gaya geser. Eapparent akan lebih kecil daripada yang seharusnya karena


(11)

lendutan total tentu lebih besar daripada lendutan akibat momen lentur saja. Sedangkan gaya geser yang terjadi biasanya digunakan untuk menentukan modulus geser (shear modulus, modulus of rigidity, G). Penentuan modulus geser berdasarkan pada dua pembebanan dirasakan lebih sederhana mengikuti substitusi rumus dari E sebenarnya (Etrue) yang sudah mengalami koreksi dari adanya geseran. Kemiringan relatif pada kurva tegangan-regangan mengindikasikan ukuran relatif dari kekakuan bahan tersebut. Semakin curam kemiringannya menunjukkan semakin tinggi nilai E dan semakin kaku kayu tersebut yang berarti semakin rendah pula deformasi yang terjadi di bawah pembebanan.

b. Modulus Patah

Tegangan yang dihitung dari beban maksimum (beban pada saat patah) disebut tegangan patah. Modulus patah (MOR) merupakan sifat mekanis kayu yang berhubungan dengan kekuatan kayu yaitu ukuran kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya sampai maksimal dan cenderung merubah bentuk dan ukuran kayu tersebut (Kollman dan Cote, 1968), dengan kata lain kekuatan lentur patah merupakan sifat kekuatan kayu dalam menentukan beban yang dapat dipikul oleh suatu balok atau gelagar.

Beberapa hal yang menyebabkan variabilitas kekuatan kayu antara lain (Brown

et. al., 1952) :

¬ Kecepatan tumbuh pohon

Kecepatan tumbuh pohon ditunjukkan oleh riap dan lingkaran tahun. Kayu yang memiliki lingkaran tahun yang lebar menunjukkan kekuatan dan kekakuan yang lebih tinggi.

¬ Asal kayu

Asal wilayah geografis tempat tumbuh yang berbeda menunjukkan adanya variasi kekuatan, hal ini terutama dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tempat tumbuh, kesuburan tanah dan lain-lain.

¬ Umur pohon

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada saat mulai pertumbuhannya terjadi perubahan pada berat jenis dan kekuatannya sesuai


(12)

dengan riapnya. Setelah pohon mencapai umur masaknya dimana riapnya berkurang maka kekuatannya menurun pula.

¬ Kayu gubal dan kayu teras

Perubahan dari kayu gubal ke kayu teras tidak menunjukkan kekuatan yang mencolok.

¬ Posisi ketinggian pada pohon

Pada umumnya, kecuali pohon yang berbanir, berat jenis maupun kekuatannya lebih besar pada bagian bawah daripada bagian ujungnya.

Wangard (1950) membedakan dua faktor besar yang mempengaruhi kekuatan kayu, yaitu ;

a. Faktor cacat yang dimiliki kayu

Cacat merupakan suatu penyimpangan dari keadaan normal pada kayu yang dapat mengakibatkan berkurangnya nilai kekakuan kayu. Cacat tersebut dapat berupa mata kayu (knots), retak atau pecah (checks or shakes), serat melintang (cross grain), cacat akibat serangan serangga atau jamur dan lain-lain.

b. Faktor lain bukan cacat

Selain cacat-cacat yang terlihat pada kayu, ada faktor lain yang mempengaruhi kekuatan kayu yaitu kerapatan (density) dan berat jenis (specific gravity), posisi kayu dalam pohon, kondisi pertumbuhan, struktur mikro kayu, kadar air kayu dan lain-lain.


(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan E true dan E apparent pada posisi tegak dan rebah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai E true dan E apparent Pada Posisi Tegak dan Rebah

Tegak (GPa) Rebah (GPa)

Kayu

E apparent E true E apparent E true

1 11,295 11,688 13,058 13,094

2 15,988 18,771 14,308 14,539

3 10,883 11,236 9,070 9,171

4 12,545 18,357 17,203 17,325

5 17,655 18,573 24,350 26,818

6 17,851 19,663 22,249 22,661

7 12,206 15,351 16,747 18,364

8 9,656 10,355 13,618 13,720

9 9,280 10,285 17,695 18,596

10 10,197 10,662 15,647 15,708

11 12,275 15,478 14,488 14,651

12 11,525 11,880 14,488 14,651

13 14,229 15,005 16,299 17,570

14 9,239 9,489 15,647 16,033

15 12,700 15,146 15,046 15,538

Rata-rata 12,502 14,129 15,994 16,563

Nilai rata-rata dari Modulus elastisitas baik E true maupun E apparent pada posisi tegak dan rebah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Nilai Etrue dan Eapparent pada posisi tegak dan rebah

Gambar 2 menunjukkan nilai E true lebih besar dari E apparent untuk posisi tegak dan rebah, hal ini sesuai dengan teori pada persamaan berikut (ASTM D198. 2005): 1 = 1 + 1 h 2


(14)

Ef E KG L ... (i) Keterangan: Ef = E app

E = E true

Berdasarkan penurunan persamaan tersebut, diperoleh persamaan Etrue dan Eapp sebagai berikut:

E app = E KG (h/L)2 …………..(ii) E + KG (h/L)2

E = E KG (h/L)2 …………(iii) Ef – KG (h/L)2

Secara teoritis dengan mengacu persamaan (ii) dan (iii) dapat diketahui bahwa nilai Etrue akan lebih besar dibandingkan dengan Eapp.

Nilai E true dan E apparent untuk posisi tegak lebih kecil dibandingkan dengan nilai E true dan E apparent untuk posisi rebah, hal ini dikarenakan nilai defleksi posisi tegak lebih kecil yang disebabkan oleh ukuran dimensi tebal lebih besar dari posisi rebah. Dengan kata lain bahwa untuk balok dengan posisi tegak memiliki tingkat kekakuan yang lebih tinggi (elastisitasnya rendah) pada bentang yang sama dibanding pada posisi rebah sehingga nilai modulus elastisitasnya lebih kecil.

Beberapa faktor yang berpengaruh pada nilai modulus elastisitas antara lain panjang bentang, ukuran dimensi bentang, posisi bentang (rebah atau tegak), sifat dasar bahan seperti kadar air dan ada atau tidaknya cacat pada kayu.

Dalam penentuan modulus elastisitas dengan menggunakan metode Two Point Loading (TPL) menggunakan dua deflektometer. Deflektometer bagian atas menunjukkan nilai defleksi pada bentang atas (lb) untuk menentukan nilai E true dan deflektometer bawah menunjukkan nilai defleksi pada bentang bawah (L) untuk menentukan nilai E apparent sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Selanjutnya ditentukan nilai gesernya yang dikoreksi dengan (Δ) menggunakan substitusi persamaan berikut (ASTM D198. 2005) :


(15)

………….(iv )

Gambar 3. Metode pembebanan TPL (Sulistyawati, 2006)

Posisi deflektometer atas

Posisi deflektometer bawah

Seharusnya nilai E true dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (ASTM D198. 2005) :

E true =

Defleksi yang diperhitungkan dalam penentuan nilai E true ini adalah defleksi yang ditunjukkan oleh deflektometer atas. Namun dalam praktikum ini nilai E true diperoleh dari persamaan (iv). Nilai defleksi yang diperhitungkan adalah nilai defleksi yang berasal dari deflektometer bawah. Nilai geser diambil dari nilai geser yang diperoleh dengan menggunakan metode One Point Loading (OPL). Penentuan nilai E true dengan menggunakan persamaan (iv) ini dikarenakan data defleksi yang berasal dari deflektometer atas tidak akurat sehingga nilai E true pada metode TPL ini diperoleh dari persamaan (iv) dengan menggunakan nilai geser yang diperoleh dari metode OPL.

Analisis Data

Berdasarkan hasil dari regresi antara Etrue dan Eapparent metode OPL dengan TPL (Lampiran 3) diperoleh nilai koefisien determinasi dan korelasi sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Koefisien determinasi (R2) dan Koefisien Korelasi (R) Antara Metode OPL dengan TPL

R2 R

MOE

Tegak Rebah Tegak Rebah

E app (OPL dan TPL) 0,682 0,331 0,826 0,575


(16)

Berdasarkan Tabel 2 tersebut bahwa nilai Etrue dan Eapparent untuk posisi rebah dan posisi tegak antara metode OPL dengan TPL memiliki hubungan yang kuat dengan arah hubungan positif, hal ini diindikasikan dengan nilai koefisien korelasi (R) > 0,5.

Hasil pengujian dengan uji t-berpasangan antara posisi rebah dan tegak untuk nilai Etrue dan Eapparent disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. t-Test: Paired Two Sample for Means

Eapparent Etrue Keterangan Variable 1 Variable 2 Variable 1 Variable 2

Mean 12,502 15,994 14,129 16,563

Variance 7,855 13,193 12,634 17,110

Observations 15 15 15 15

Pearson Correlation 0,636 0,559

Hypothesized Mean Difference 0 0

Df 14 14

t Stat -4,7513 -2,584

P(T<=t) one-tail 0,0002** 0,011**

t Critical one-tail 1,7613 1,761

P(T<=t) two-tail 0,0003** 0,022*

t Critical two-tail 2,1448 2,145

Berdasarkan nilai hasil uji t- berpasangan diperoleh hasil bahwa posisi tegak dan rebah berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap nilai Etrue dan Eapparent, hal ini bisa diketahui dari besarnya nilai P (T<=t) < 0,01 dan < 0,05 untuk one tail dan two tail.

KESIMPULAN

1. Nilai E true dan E apparent untuk posisi tegak lebih kecil dibandingkan dengan nilai E true dan E apparent untuk posisi rebah, hal ini dikarenakan nilai defleksi posisi tegak lebih kecil yang disebabkan oleh ukuran dimensi tebal lebih besar dari posisi rebah.

2. Nilai E true lebih besar dari E apparent untuk posisi tegak dan rebah, sesuai dengan standard ASTM D198 (2005).


(17)

REFERENSI

American Society Institute. 2005. ASTMD-198. Standard Test Methods of Static Tests of Lumber in Structural Sizes. In Annual Book of ASTM Standard United State : Philadelpia.

Haygreen, J.G., Bowyer, J.L. 2003. Forest Production Wood Science. An

Introduction. Iowa : Iowa State Press.

Karlinasari, L. 2007. Bahan Kuliah. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Mardikanto, T.R., Pranggodo, B. 1991.Kemungkinan Penerapan Cara Nondestructive

Testing Untuk Pendugaan Kekuatan Kayu Kelapa Gergajian. [Laporan Penelitian]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Naresworo. 2007. Bahan Kuliah. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Oliveira, F.G.R, Campos JAO de, Pletz E, Sales A. 2002. Assesment of Mechanical Properties of Wood Using an Ultrasonic Technique. Proceeding of the 13th International Symposium on Nondestructive Testing of Wood; University of California Berkeley Campus. 19 – 21 Agust 2002. Madison : Forest Product Society. Pp 75 – 78.

Ross, R.J, Brashaw B.K., dan Pellen R.F. 1998. Nondestructive Evaluation Of Wood Forest Products. Jurnal 48 (1) : 14 – 18.

Sulistyawati, I. 2006. Rasio Lendutan Geser terhadap Lendutan Lentur dan Pengaruhnya terhadap Kekakuan Lentur (EI) pada Balok Kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2.

Wangard, F.F. 1950. The Mechanical Properties of Wood. New York : John Wiley & Son.


(1)

dengan riapnya. Setelah pohon mencapai umur masaknya dimana riapnya berkurang maka kekuatannya menurun pula.

¬ Kayu gubal dan kayu teras

Perubahan dari kayu gubal ke kayu teras tidak menunjukkan kekuatan yang mencolok.

¬ Posisi ketinggian pada pohon

Pada umumnya, kecuali pohon yang berbanir, berat jenis maupun kekuatannya lebih besar pada bagian bawah daripada bagian ujungnya.

Wangard (1950) membedakan dua faktor besar yang mempengaruhi kekuatan kayu, yaitu ;

a. Faktor cacat yang dimiliki kayu

Cacat merupakan suatu penyimpangan dari keadaan normal pada kayu yang dapat mengakibatkan berkurangnya nilai kekakuan kayu. Cacat tersebut dapat berupa mata kayu (knots), retak atau pecah (checks or shakes), serat melintang (cross grain), cacat akibat serangan serangga atau jamur dan lain-lain.

b. Faktor lain bukan cacat

Selain cacat-cacat yang terlihat pada kayu, ada faktor lain yang mempengaruhi kekuatan kayu yaitu kerapatan (density) dan berat jenis (specific gravity), posisi kayu dalam pohon, kondisi pertumbuhan, struktur mikro kayu, kadar air kayu dan lain-lain.


(2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan E true dan E apparent pada posisi tegak dan rebah disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai E true dan E apparent Pada Posisi Tegak dan Rebah

Tegak (GPa) Rebah (GPa) Kayu

E apparent E true E apparent E true

1 11,295 11,688 13,058 13,094

2 15,988 18,771 14,308 14,539

3 10,883 11,236 9,070 9,171

4 12,545 18,357 17,203 17,325

5 17,655 18,573 24,350 26,818

6 17,851 19,663 22,249 22,661

7 12,206 15,351 16,747 18,364

8 9,656 10,355 13,618 13,720

9 9,280 10,285 17,695 18,596

10 10,197 10,662 15,647 15,708

11 12,275 15,478 14,488 14,651

12 11,525 11,880 14,488 14,651

13 14,229 15,005 16,299 17,570

14 9,239 9,489 15,647 16,033

15 12,700 15,146 15,046 15,538

Rata-rata 12,502 14,129 15,994 16,563

Nilai rata-rata dari Modulus elastisitas baik E true maupun E apparent pada posisi tegak

dan rebah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Nilai Etrue dan Eapparent pada posisi tegak dan rebah Gambar 2 menunjukkan nilai E true lebih besar dari E apparent untuk posisi tegak

dan rebah, hal ini sesuai dengan teori pada persamaan berikut (ASTM D198. 2005): 1 = 1 + 1 h 2


(3)

Ef E KG L ... (i) Keterangan: Ef = E app

E = E true

Berdasarkan penurunan persamaan tersebut, diperoleh persamaan Etrue dan Eapp

sebagai berikut:

E app = E KG (h/L)2 …………..(ii) E + KG (h/L)2

E = E KG (h/L)2 …………(iii) Ef – KG (h/L)2

Secara teoritis dengan mengacu persamaan (ii) dan (iii) dapat diketahui bahwa nilai Etrue akan lebih besar dibandingkan dengan Eapp.

Nilai E true dan E apparent untuk posisi tegak lebih kecil dibandingkan dengan nilai E true

dan E apparent untuk posisi rebah, hal ini dikarenakan nilai defleksi posisi tegak lebih

kecil yang disebabkan oleh ukuran dimensi tebal lebih besar dari posisi rebah. Dengan kata lain bahwa untuk balok dengan posisi tegak memiliki tingkat kekakuan yang lebih tinggi (elastisitasnya rendah) pada bentang yang sama dibanding pada posisi rebah sehingga nilai modulus elastisitasnya lebih kecil.

Beberapa faktor yang berpengaruh pada nilai modulus elastisitas antara lain panjang bentang, ukuran dimensi bentang, posisi bentang (rebah atau tegak), sifat dasar bahan seperti kadar air dan ada atau tidaknya cacat pada kayu.

Dalam penentuan modulus elastisitas dengan menggunakan metode Two Point Loading (TPL) menggunakan dua deflektometer. Deflektometer bagian atas menunjukkan nilai defleksi pada bentang atas (lb) untuk menentukan nilai E true dan

deflektometer bawah menunjukkan nilai defleksi pada bentang bawah (L) untuk menentukan nilai E apparent sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Selanjutnya

ditentukan nilai gesernya yang dikoreksi dengan (Δ) menggunakan substitusi persamaan berikut (ASTM D198. 2005) :


(4)

………….(iv )

Gambar 3. Metode pembebanan TPL (Sulistyawati, 2006)

Posisi deflektometer atas

Posisi deflektometer bawah

Seharusnya nilai E true dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (ASTM

D198. 2005) : E true =

Defleksi yang diperhitungkan dalam penentuan nilai E true ini adalah defleksi yang

ditunjukkan oleh deflektometer atas. Namun dalam praktikum ini nilai E true

diperoleh dari persamaan (iv). Nilai defleksi yang diperhitungkan adalah nilai defleksi yang berasal dari deflektometer bawah. Nilai geser diambil dari nilai geser yang diperoleh dengan menggunakan metode One Point Loading (OPL). Penentuan nilai E true dengan menggunakan persamaan (iv) ini dikarenakan data defleksi yang

berasal dari deflektometer atas tidak akurat sehingga nilai E true pada metode TPL ini

diperoleh dari persamaan (iv) dengan menggunakan nilai geser yang diperoleh dari metode OPL.

Analisis Data

Berdasarkan hasil dari regresi antara Etrue dan Eapparent metode OPL dengan

TPL (Lampiran 3) diperoleh nilai koefisien determinasi dan korelasi sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Koefisien determinasi (R2) dan Koefisien Korelasi (R) Antara Metode OPL dengan TPL

R2 R

MOE

Tegak Rebah Tegak Rebah

E app (OPL dan TPL) 0,682 0,331 0,826 0,575


(5)

Berdasarkan Tabel 2 tersebut bahwa nilai Etrue dan Eapparent untuk posisi rebah

dan posisi tegak antara metode OPL dengan TPL memiliki hubungan yang kuat dengan arah hubungan positif, hal ini diindikasikan dengan nilai koefisien korelasi (R) > 0,5.

Hasil pengujian dengan uji t-berpasangan antara posisi rebah dan tegak untuk nilai Etrue dan Eapparent disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. t-Test: Paired Two Sample for Means

Eapparent Etrue

Keterangan Variable 1 Variable 2 Variable 1 Variable 2

Mean 12,502 15,994 14,129 16,563

Variance 7,855 13,193 12,634 17,110

Observations 15 15 15 15

Pearson Correlation 0,636 0,559

Hypothesized Mean Difference 0 0

Df 14 14

t Stat -4,7513 -2,584

P(T<=t) one-tail 0,0002** 0,011**

t Critical one-tail 1,7613 1,761

P(T<=t) two-tail 0,0003** 0,022*

t Critical two-tail 2,1448 2,145

Berdasarkan nilai hasil uji t- berpasangan diperoleh hasil bahwa posisi tegak dan rebah berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap nilai Etrue dan Eapparent, hal ini

bisa diketahui dari besarnya nilai P (T<=t) < 0,01 dan < 0,05 untuk one tail dan two tail.

KESIMPULAN

1. Nilai E true dan E apparent untuk posisi tegak lebih kecil dibandingkan dengan nilai E true dan E apparent untuk posisi rebah, hal ini dikarenakan nilai defleksi posisi tegak

lebih kecil yang disebabkan oleh ukuran dimensi tebal lebih besar dari posisi rebah.

2. Nilai E true lebih besar dari E apparent untuk posisi tegak dan rebah, sesuai dengan


(6)

REFERENSI

American Society Institute. 2005. ASTMD-198. Standard Test Methods of Static Tests of Lumber in Structural Sizes. In Annual Book of ASTM Standard United State : Philadelpia.

Haygreen, J.G., Bowyer, J.L. 2003. Forest Production Wood Science. An Introduction. Iowa : Iowa State Press.

Karlinasari, L. 2007. Bahan Kuliah. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Mardikanto, T.R., Pranggodo, B. 1991.Kemungkinan Penerapan Cara Nondestructive

Testing Untuk Pendugaan Kekuatan Kayu Kelapa Gergajian. [Laporan Penelitian]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Naresworo. 2007. Bahan Kuliah. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Oliveira, F.G.R, Campos JAO de, Pletz E, Sales A. 2002. Assesment of Mechanical Properties of Wood Using an Ultrasonic Technique. Proceeding of the 13th International Symposium on Nondestructive Testing of Wood; University of California Berkeley Campus. 19 – 21 Agust 2002. Madison : Forest Product Society. Pp 75 – 78.

Ross, R.J, Brashaw B.K., dan Pellen R.F. 1998. Nondestructive Evaluation Of Wood Forest Products. Jurnal 48 (1) : 14 – 18.

Sulistyawati, I. 2006. Rasio Lendutan Geser terhadap Lendutan Lentur dan Pengaruhnya terhadap Kekakuan Lentur (EI) pada Balok Kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2.

Wangard, F.F. 1950. The Mechanical Properties of Wood. New York : John Wiley & Son.