Perbandingan Keragaman Morfologi Pisang Kepok Unti Sayang (Musa balbisiana) Hasil Subkultur 1 Sampai 6

i

PERBANDINGAN KERAGAMAN MORFOLOGI PISANG
KEPOK UNTI SAYANG (Musa balbisiana)
HASIL SUBKULTUR 1 SAMPAI 6

SATRIANTI EKAPUTRI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

2

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan

Keragaman Morfologi Pisang Kepok Unti Sayang (Musa balbisiana) Hasil
Subkultur 1 Sampai 6 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Satrianti Ekaputri
NIM A24090052

ABSTRAK
SATRIANTI EKAPUTRI. Perbandingan Keragaman Morfologi Pisang Kepok
Unti Sayang (Musa balbisiana) Hasil Subkultur 1 Sampai 6. Dibimbing oleh
SOBIR.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkatan subkultur hasil
perbanyakan kultur jaringan pisang kepok Unti Sayang yang masih memenuhi
standar mutu dan biaya produksi yang efektif. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan enam taraf dan ulangan tak sama, dimana

tanaman induk sebagai kontrol. Data dibedakan menjadi dua yaitu: perbedaan
antar subkultur dan perbedaan antar dua populasi tipe bunga jantan. Uji F
digunakan untuk membandingkan antar subkultur, jika hasilnya berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5%. Uji t digunakan untuk membandingkan
dua populasi tipe bunga jantan. Perbedaan antar subkultur menunjukkan bahwa
telah terjadi variasi somaklonal pada subkultur 4 dan 6 berupa adanya bunga
jantan. Hasil produksi pisang kepok Unti Sayang mengalami penurunan seiring
meningkatnya frekuensi subkultur. Perbedaan antar dua populasi bunga jantan
menunjukkan bahwa populasi yang memiliki bunga jantan memiliki variasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi yang tidak memiliki bunga jantan.
Populasi yang tidak memiliki bunga jantan tidak terdapat rachis, dan braktea.
Kata kunci: mutan tidak berjantung, variasi somaklonal

ABSTRACT
SATRIANTI EKAPUTRI. Comparison of Morphology Variation of the Kepok
Unti Sayang Banana (Musa balbisiana) 1th to 6th Subculture. Supervised by
SOBIR.
This experiment was aimed to evaluate sub-culture level of tissue culture
propagation of kepok Unti Sayang banana that meet quality standard of seedling
effective cost. This experiment was performed with the Complete Random Design

with 6 levels and unequal repetitions, in which the mother plant was the control.
The data resulted from this experiment was divided into two types: differences
among sub-cultures and the ones between two populations of male flowers. The
F-test was used to make intra sub-culture comparison, and proceeded by the
DMRT at 5 % when the result was significantly different. The T-student test was
used to compare two different populations of the male flowers. The differences
among sub-cultures indicate that somaclonal variations had been occured by the
existance of male flowers in the 4th and 6th sub-culture. The productions of kepok
Unti Sayang were also declined by the increasing frequency of sub-cultures. The
differences between two populations of male flowers showed that the population
had male flowers got a higher variation than the population which didn’t have
male flowers. The population that didn’t have male flowers got no rachis and
bracts.
Keywords: budless mutant, somaclonal variation

PERBANDINGAN KERAGAMAN MORFOLOGI PISANG
KEPOK UNTI SAYANG (Musa balbisiana)
HASIL SUBKULTUR 1 SAMPAI 6

SATRIANTI EKAPUTRI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

Perbandingan Keragaman Morfologi Pisang Kepok Unti Sayang
(Musa balbisiana) Basil Subkulhlf 1 Sampai 6
Satrianti Ekaputri

A24090052

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Sobir, MSi
Pembimbing

Tanggal Lulus :

2 2 JUl 2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Perbandingan Keragaman Morfologi Pisang Kepok Unti Sayang
(Musa balbisiana) Hasil Subkultur 1 Sampai 6
: Satrianti Ekaputri
: A24090052


Disetujui oleh

Prof Dr Ir Sobir, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai
April 2013 ini ialah variasi somaklonal, dengan judul Perbandingan Keragaman
Morfologi Pisang Kepok Unti Sayang (Musa balbisiana) Hasil Subkultur 1
Sampai 6.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sobir, MSi selaku
pembimbing skripsi, serta Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MSi selaku dosen
pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Baesuni dari Kebun Percobaan
Pasir Kuda, Ibu Heri Harti, Bapak Sulaeman, Dr. Ir. M. Rahmat Suhartanto
beserta staf Pusat Kajian Hortikultura Tropika, yang telah membantu selama
pengumpulan informasi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, keluarga, teman-teman AGH 46, serta sahabat semasa kuliah atas doa, dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Satrianti Ekaputri

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Pisang
Morfologi Pisang
Penyakit Layu Bakteri / Penyakit Layu Darah
Variasi Somaklonal
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Pelaksanaan Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbedaan antar Subkultur
Perbedaan antar Dua Populasi Tipe Bunga Jantan
Standar mutu dan biaya produksi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

viii

1
1
1
2
2
2
3
3
4
4
4
4
4
6
6
14
19
20
20
20

22

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Umur berbunga masing-masing subkultur
Nilai tengah karakter vegetatif batang semu masing-masing subkultur
Nilai tengah karakter vegetatif daun masing-masing subkultur

Karakter kualitatif vegetatif masing-masing subkultur
Nilai tengah karakter generatif peduncle masing-masing subkultur
Nilai tengah karakter generatif tandan masing-masing subkultur
Karakter morfologi dan persentase pohon yang memiliki bunga jantan
Nilai tengah karakter vegetatif dua populasi tipe bunga jantan
Karakter morfologi vegetatif dua populasi tipe bunga jantan
Nilai tengah karakter generatif dua populasi tipe bunga jantan
Karaker morfologi generatif dua populasi tipe bunga jantan
Jumlah tunas yang dihasilkan dari masing-masing subkultur

6
7
8
9
12
12
14
15
16
17
18
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan salah satu buah tropika. Menurut data dari BPS (2012)
permintaan pisang nasional saat ini terus mengalami peningkatan, hal ini dapat
dilihat dari jumlah permintaan pisang pada tahun 2006 sebanyak 5.037472 ton
meningkat menjadi 6.132.695 ton pada tahun 2011. Jenis pisang yang banyak
dibudidayakan para petani di Indonesia adalah pisang meja (banana) dan pisang
olahan (plantain). Pisang meja adalah pisang yang dikonsumsi buahnya setelah
masak, sedangkan pisang olahan adalah pisang yang dikonsumsi setelah direbus
atau digoreng (Sunarjono 1987). Salah satu jenis pisang yang termasuk pisang
olahan adalah pisang kepok. Pisang ini merupakan salah satu pisang yang paling
banyak dibudidayakan di Indonesia (Suhartanto et al. 2009).
Budidaya pisang olahan terutama pisang kepok tidak semudah budidaya
pisang meja, hal ini dikarenakan budidaya pisang kepok banyak terserang
penyakit layu darah (blood desease). Menurut Hasna (2011) penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Ralstonia Race 2 yang dibawa serangga dan masuk
melalui bekas luka dari bunga jantan yang gugur. Supriati (2010) dan Hasna
(2011) mengatakan penyakit ini dicirikan dengan keluarnya cairan kental
berwarna kemerahan dari berkas pembuluh saat bonggol dari tanaman yang
terserang dibelah, tanaman yang terserang penyakit ini memperlihatkan gejala
penguningan daun dan layu.
Pada tahun 1992 ditemukan pisang kepok mutan yang tidak berjantung
(budless mutan) dengan nama asli Loka Nipah di Sulawesi selatan, kemudian Tim
Pusat Kajian Buah Tropika IPB mengembangkan penemuan tersebut mulai tahun
2008 (Suhartanto et al. 2009). Pisang kepok yang kemudian diberi nama pisang
kepok Unti Sayang ini terpilih sebagai calon varietas unggul karena pisang ini
memiliki banyak keunggulan, antara lain: berbuah tanpa jantung, bunga jantan
habis setelah pembentukan buah sehingga terhindar dari penyakit layu darah,
produksi tinggi, dan kualitas buah baik (Suhartanto et al. 2009).
Saat ini teknik perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan telah
banyak diterapkan pada tanaman pisang. Menurut Avivi dan Ikrarwati (2004)
metode kultur jaringan memiliki keunggulan antara lain: seragam, dapat
disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dan bebas patogen.
Disisi lain Wetherell (1988) menyatakan perbanyakan secara kultur jaringan
dalam jumlah banyak dapat menyebabkan variasi somaklonal, sedangkan
perbanyakan dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan ketidak ekonomisan dalam
pelaksanaannya. Hal tersebut mendasari dilakukannya penelitian ini. Hasil
penelitian nantinya dapat digunakan sebagai acuan bagi para produsen pisang
yang ingin memperbanyak pisang kepok Unti Sayang dengan teknik kultur
jaringan.
Tujuan
Mengetahui jumlah subkultur pisang kepok Unti Sayang yang masih
memenuhi standar mutu dan biaya produksi yang ekonomis.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Pisang
Pohon pisang termasuk Monocotyledone; Ordo Scitamineae yang meliputi
tiga Famili yaitu Musaceae, Zingiberaceae dan Cannaceae. Keluarga Musaceae
terdiri dari tiga Sub Famili yakni Muscoideae dengan Genus Musa yang meliputi
semua jenis pisang, Strelitzoideae dan Lowivedeae. Dalam Genus Musa terdapat
80 hingga 100 varietas yang telah diketahui. Semua varietas pisang juga meliputi
varietas yang tidak termasuk dalam kelompok Indo-Malaysia, menurut sifat
fisiologi Musa dibagi menjadi tiga sub genus yakni : Physocaulis, Rhodoclamys
dan Eumusa (Sunarjono 1987).

Morfologi Pisang
Menurut Sunarjono (1987) tanaman pisang merupakan monokarpik, artinya
hanya sekali berbuah dan sesudah berbuah tanaman akan mati, tetapi karena
tanaman pisang bersifat merumpun, maka dapat berlangsung lama. Tanaman
pisang dapat mencapai tinggi 2-9 m dengan bonggol yang berada di bawah tanah
dan batang semu yang berbentuk dari sarung daun. Robinson (1999) menyatakan
tanaman pisang merupakan tanaman tahunan yang bersifat monokotiledon, herba
dan evergreen. Tanaman pisang berbatang semu terbentuk dari kelompok pelepah
daun dan seratnya banyak mengandung air (sukulen). Batang semu ini saling
menutupi hingga ketebalan 20-50 cm. Batang sesungguhnya berada sebagian atau
seluruhnya di dalam tanah yang dikenal sebagai ‘tuberous rhizome’.
Rhizome yang telah dewasa memiliki diameter dan tinggi sekitar 300 mm.
Rhizome merupakan organ penyimpanan penting untuk mendukung pertumbuhan
buah dan perkembangan anakan (Robinson 1999). Pada bonggol (rhizome) juga
terdapat banyak mata yang kelak akan bertunas dan tumbuh menjadi tanaman
dewasa. Pada bonggol tumbuh akar yang biasanya berkelompok empat-empat.
Pada bagian atas bonggol akar tumbuh mendatar sampai 5 m panjangnya. Pada
bagian bawah bonggol akar tumbuh ke bawah dan berkumpul pada lapisan 15 cm
di bawah permukaan tanah. Akar advebtif ini relatif kecil dan ramping, beberapa
jenis pisang memiliki akar lateral yang menyebar hingga beberapa meter, yang
dapat meningkatkan serapan hara dan tegakan tanaman.
Menurut Sunarjono (1987) sebelum muncul ke luar bakal daun bergulung
dalam batang semu dan berpusat pada bonggol batang. Daun yang terakhir keluar
(daun bendera) merupakan bentuk yang lebih kecil dan mempunyai kewajiban
melindungi karangan bunga yang keluar. Ashari (1995) menyatakan daun terakhir
juga merupakan pertanda bahwa primordial bunga telah terbentuk dan karangan
bunga akan keluar. Pada umumnya daun pisang dapat mencapai 3.5 m x 0.6 m,
sedangkan pelepah daun yang membentuk batang semu mencapai setinggi 7 m.
Daun berbentuk lanset, tunggal berurat utama cukup kuat, tetapi urat samping
yang tumbuh sejajar menyirip kurang kuat, hingga daun mudah sobek. Tulang dan
permukaan daun mempunyai bermacam warna yang kadang-kadang berlilin.

3
Sunarjono (1987) menyatakan bahwa bunga pada pisang terdapat dalam
tandan tunggal yang keluar pada ujung (apikal) batang yang disebut jantung.
Bunga terdapat dalam satu kelompok yang umumnya terdiri dari 2 baris yang
disebut sisir dan tiap-tiap bunga yang menjadi buah disebut jari. Tiap sisir
dilindungi oleh daun bunga berwarna merah tua. Semua bunga dalam sebuah sisir
selalu berkembang menjadi buah. Hal ini disebabkan pada pangkal tandan
bunganya adalah betina, dan pada tengah tandan bunganya adalah sempurna,
sedangkan pada ujung tandan bunganya umumnya adalah jantan. Inilah yang
menyebabkan bunga pada ujung tandan pisang umumnya tidak berkembang
menjadi buah.

Penyakit Layu Bakteri / Penyakit Layu Darah
Menurut Yanti et al. (2009) layu darah menempati urutan pertama dalam
daftar penyakit pisang yang sangat berbahaya dan mengancam perkebunan pisang.
Penyakit layu darah (blood disease) banyak ditemukan pada pisang kepok.
Menurut Hasna (2011) penyakit ini disebabkan oleh bakteri Ralstonia Race 2
yang dibawa serangga dan masuk melalui bekas luka dari bunga jantan yang
gugur. Supriati (2010) mengatakan penyakit ini dicirikan dengan keluarnya cairan
kental berwarna kemerahan dari berkas pembuluh saat bonggol dari tanaman yang
terserang dibelah. Gejala luar diperlihatkan dengan terjadinya pengeringan pada
bunga jantan, penguningan daun, dan layu. Pada serangan yang parah, batang
semu mencoklat dan membusuk. Menurut Sunarjono (1987) menunjukkan
penularan penyakit darah dapat terjadi melalui bibit, tanah, air irigasi, alat-alat
pertanian, dan serangga. Selain faktor-faktor tersebut, penyebaran penyakit darah
pada suatu wilayah juga sangat ditentukan oleh aktivitas petani dalam memelihara
tanaman, serta aktivitas pedagang ketika melakukan panen buah dan bunga pisang.

Variasi Somaklonal
Menurut Hartman (2002) variasi somaklonal merupakan keragaman genetik
yang muncul diantara individu sel anakan pada tanaman yang diperbanyak dengan
teknik kultur jaringan atau sering disebut dengan keragaman genetik yang berasal
dari sel somatik. Faktor yang mempengaruhi frekuensi munculnya variasi
somaklonal dalam kultur in vitro pisang antara lain: genotip tanaman induk,
jumlah siklus subkultur, konsentrasi berbagai komponen media pertumbuhan, tipe
regenerasi, tipe dan konsentrasi zat pengatur tumbuh dan penggunaan kondisi
selektif dalam media in vitro. Hartman (2002) menambahkan variasi somaklonal
dapat muncul karena variasi dengan karakter tertentu memang ada di antara
populasi sel, sistem perbanyakan tanaman secara in vitro melalui pembentukan
kalus akan menghasilkan variasi. Peningkatan variasi somaklonal dapat diperoleh
melalui subkultur berulang, karena kultur yang ditumbuhkan dalam periode yang
lama seringkali memperlihatkan adanya abnormalitas kromosom yang dapat
menguntungkan.

4

METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2012 hingga April 2013 di
Kebun Percobaan Pasir Kuda, Bogor, Jawa Barat.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit pisang kepok Unti
Sayang hasil kultur jaringan (subkultur 1 sampai 6), pupuk kandang dan pupuk
NPK. Alat yang dibutuhkan yaitu: alat pertanian, kain berwarna abu-abu (latar
foto), penggaris kayu (pembanding ukuran), bagan warna RGBY (Red, Green,
Blue, Yellow), pembanding warna, kamera digital (mengabadikan gambar),
meteran (mengukur), pisau (memotong), dan tangga (membantu pengukuran).
Metode Penelitian
Perlakuan disusun menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam
taraf (subkultur 1 sampai 6) dan ulangan tak sama. Tanaman induk atau tanaman
hasil perbanyakan dengan anakan yang terletak bersebelahan dengan lahan
penelitian digunakan sebagai kontrol pembanding. Di lapang terdapat 30 satuan
percobaan dan 1 tanaman kontrol. Model rancangan percobaan yang digunakan
adalah:
Yij = U + Ai + Eij
Yij
U
Ai
Eij

=
=
=
=

Nilai pengamatan pada perlakuan subkultur ke-i dan ulangan ke-j
Nilai rataan umum
Nilai pengaruh perlakuan subkultur ke-i (1,2,3,4,5,6)
Pengaruh acak pada perlakuan subkultur ke-i ulangan ke-j

Data dibagi menjadi dua, yaitu: data antar subkultur dan data 2 populasi
berbeda. Analisis data yang digunakan untuk perbedaan antar subkultur adalah Uji
F, jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut
DMRT taraf 5%, sedangkan analisis data yang digunakan untuk membandingkan
antar 2 populasi tipe bunga jantan digunakan uji t.
Pelaksanaan Percobaan
Penanaman
Penanaman keenam subkultur ini dilakukan di Kebun Percobaan Pusat
Kajian Hotikultura Tropika Pasir Kuda pada tanggal 31 Oktober 2011. Luas areal
penanaman 15 x 30 m dengan jarak tanam 3 x 3 m. Alat-alat yang digunakan
adalah alat-alat pertanian pada umumnya. Penanaman bibit hasil subkultur dibagi
menjadi 4 baris dengan jumlah berbeda.

5
Pemeliharaan dan panen
Pemeliharaan meliputi pemupukan dengan penaburan pupuk tunggal.
Pemupukan dilakukan 3–4 bulan sekali. Pemupukan pertama dengan dosis 150
gram Urea, 100 gram SP-36 dan 200 gram KCL per pohon, pemupukan kedua dan
ketiga dengan dosis 150 gram Urea, 100 gram SP-36, dan 450 gram KCL per
pohon. Pemeliharaan lain yang dilakukan adalah pembumbunan, pembersihkan
gulma dan pembuangan daun kering serta pelepah tua. Panen dilakukan pada
waktu yang tepat (pengisian buah sudah optimum).
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 52 karakter, mencakup dua aspek yaitu
pengamatan karakter morfologi vegetatif dan pengamatan karakter morfologi
generatif. Karakter morfologi vegetatif dibagi menjadi lima bagian yaitu: rhizome
(anakan) sebanyak 1 karakter, batang semu sebanyak 7 karakter, tanaman
sebanyak 4 karakter, petiole (tangkai daun) sebanyak 2 karakter, dan daun
sebanyak 7 karakter. Pengamatan pada karakter morfologi vegetatif ini dilakukan
saat tanaman sudah mencapai pertumbuhan optimal atau saat bunga jantan mulai
muncul. Karakter morfologi generatif dibagi menjadi enam bagian, yaitu:
peduncle (tangkai tandan) sebanyak 3 karakter, buah sebanyak 13 karakter, tandan
sebanyak 6 karakter, rachis sebanyak 4 karakter, bunga jantan sebanyak 3
karakter, dan braktea sebanyak 2 karakter. Pengamatan pada karakter morfologi
generatif dilakukan saat bunga jantan telah muncul sempurna, buah telah
mencapai titik optimum, dan saat panen. Pengamatan dilakukan terhadap semua
ulangan disetiap subkultur. Pengamatan ini berpacu pada UPOV (International
Union for the Protection Of new Varieties of plants) Banana TG 123/4 2010.
Pengamatan terhadap karakter morfologi vegetatif dibagi lagi menjadi
karakter kuantitatif dan karakter kualitatif. Pengamatan terhadap karakter
kuantitatif terdiri dari 7 peubah, yaitu: jumlah anakan, tinggi tanaman, lingkar
batang, panjang petiole, panjang daun, lebar daun, dan rasio p/l daun. Pengamatan
terhadap karakter kualitatif terdiri dari 13 peubah, yaitu tipe ploidi, lekukan pada
tangkai, tapering, warna batang, pigmentasi warna batang, warna bagian dalam
basal, kekompakan pelepah, tipe pertumbuhan, tipe sayap bagian dasar tangkai,
warna midrib bawah daun, bentuk dasar daun, lapisan lilin bagian bawah daun,
dan kilauan bagian atas daun.
Pengamatan terhadap karakter morfologi generatif juga dibagi menjadi
karakter kuantitatif dan karakter kualitatif. Pengamatan terhadap karakter
kuantitatif terdiri dari 5 peubah, yaitu: panjang peduncle, lingkar peduncle,
panjang tandan, lingkar tandan, dan jumlah sisir pertandan. Pengamatan terhadap
karakter kualitatif terdiri dari 14 peubah, yaitu: kedewasaan peduncle, bentuk
peduncle, bentuk tandan, kedudukan buah, kekompakan tandan, kedudukan bunga
jantan, ketebalan parut, keberadaan braktea, keberadaan bunga hermaprodit,
keberadaan bunga jantan, bentuk bunga jantan, tipe pembukaan braktea, warna
bagian dalam braktea, dan bentuk ujung braktea. Selain pengamatan tersebut,
dilakukan juga pengamatan terhadap umur berbunga dan persentase pohon yang
memiliki bunga jantan persubkultur.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbedaan antar Subkultur
Semakin meningkatnya frekuensi subkultur semakin tinggi variasi
somaklonal yang terjadi. Variasi somaklonal ini salah satunya dapat dilihat dari
beberapa karakter yang memiliki perbedaan dengan kontrol. Untuk mengetahui
tingkat keragaman yang terjadi maka dilakukan pengamatan antar subkultur.
Umur Berbunga
Salah satu tujuan dari perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah
kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan cara konvensional. Menurut
Suhartanto et al. (2009) umur berbunga pisang kepok Unti Sayang dari bibit
anakan sekitar 12–13 BST. Hal ini berbeda dengan umur berbunga pisang kepok
Unti Sayang hasil subkultur yang menunjukkan perbedaan pada masing-masing
subkultur (Tabel 1).
Tabel 1 Umur berbunga masing-masing subkultur
Subkultur
Umur berbunga (BST)
Nilai tengahy (KK %)
x
Kontrol
12 – 13
13.00 c (0)
1
15 – 17
15.67 b (7.37)
2
18 – 19
18.50 a (7.86)
3
19
19.00 a (0)
4
16 – 19
17.22 ab (4.84)
5
18 – 19
18.86 a (4.72)
6
14 – 19
17.33 ab (61.81)
x
Sumber: Suhartanto et al. 2009.
y
Angka angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Tabel 1 menunjukkan bahwa umur berbunga yang paling lama terdapat pada
semua subkultur kecuali subkultur 1. Hal ini dikarenakan hingga 19 BST kelima
subkultur tersebut baru berbunga. Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5%
menunjukkan perbedaan umur berbunga pada semua subkultur. Umur berbunga
keenam subkultur ini tidak ada yang sama atau lebih cepat dibandingkan kontrol.
Berdasarkan hasil tersebut dapat diduga bahwa telah terjadi variasi umur berbunga
pada semua subkultur. Besarnya variasi yang terjadi dapat dilihat dari koefisien
keragaman. Semakin tinggi nilai KK berarti semakin besar variasi yang terjadi.
Jika dilihat dari koefisien keragamannya dapat dikatakan bahwa subkultur 6
memiliki persentase KK tertinggi yaitu mencapai 61.81%. Hal ini menunjukkan
bahwa variasi umur berbunga pada subkultur 6 cukup besar. Subkultur 3 memiliki
persentase KK terendah yaitu 0%. Hal ini menunjukkan tidak terjadi variasi umur
berbunga pada subkultur 3 karena semua pohon pisang subkultur 3 mulai
berbunga pada umur 19 BST yang merupakan batas akhir penelitian.

7
Menurut hasil penelitian Kasutjianingati et al. (2011) semakin
meningkatnya frekuensi subkultur dengan konsentrasi ZPT yang sama akan
meningkatkan level ZPT dan menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan.
Sitokinin merupakan salah satu ZPT yang berfungsi sebagai hormon pertumbuhan.
Semarayani dan Dinarti (2011) mengatakan semakin banyak subkultur dilakukan
berarti semakin sering tanaman dikondisikan dalam media yang mengandung
sitokinin akibatnya sitokinin yang terkandung dalam tanaman semakin tinggi atau
melebihi jumlah yang seharusnya diterima tanaman. Sitokinin dalam jumlah yang
tinggi dapat terus merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman sehingga
perkembangan generatif tanaman pisang kepok Unti Sayang hasil subkultur
menjadi terhambat. Hal ini menyebabkan umur berbunga menjadi lebih lambat.
Karakter Kuantitatif (Vegetatif)
Hasil pengamatan terhadap karakter kuantitatif vegetatif pada karakter
batang semu menunjukkan keragaman antar subkultur yang cukup besar pada
keempat peubah yang diamati (Tabel 2).
Tabel 2 Nilai tengah karakter vegetatif batang semu masing-masing subkultur
Peubah
Jumlah anakan
Tinggi tanaman (cm)x
Lingkar batang (cm)x
x
(cm) (KK %)
(KK %)
(KK %)
Kontrol
5.00 a
(0)
397.00 a (0)
93.50 a (0)
1
2.67 c
(21.62)
387.67 a (6.40)
80.67 ab (11.09)
2
4.50 abc (15.71)
383.50 a (3.87)
85.25 ab (2.90)
3
3.00 bc (55.77)
316.25 b (16.66)
75.17 b (14.18)
4
4.89 ab (25.96)
356.17 ab (3.58)
76.11 b (3.28)
5
3.14 abc (21.98)
376.57 ab (5.99)
80.29 ab (6.19)
6
3.00 bc (0)
334.17 ab (11.77)
73.67 b (13.18)
25.55
9.36
KK (%)
9.93
x
Angka angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Subkultur

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah anakan pada subkultur 4, 5 dan 6
berbeda nyata terhadap kontrol. Jumlah anakan tertinggi (5.00) terdapat pada
tanaman kontrol dan jumlah anakan terendah (2.67) terdapat pada subkultur 1.
Variasi jumlah anakan tertinggi terdapat pada subkultur 3 yaitu mencapai 55.77%
dan variasi terendah terdapat pada subkultur 6 (0%). Variasi antar subkultur pada
peubah jumlah anakan terbilang sedang dengan nilai KK sebesar 25.55%. Nilai
KK yang tinggi menunjukkan bahwa variasi yang terjadi sangat besar, sedangkan
nilai KK yang rendah menunjukkan variasi yang kecil bahkan tidak ada. Pada
peubah tinggi tanaman semua subkultur tidak berbeda nyata dengan kontrol
kecuali tinggi tanaman pada subkultur 3. Kontrol merupakan pohon yang
memiliki tinggi mencapai 397cm, sedangkan subkultur 3 merupakan pohon yang
terendah diantara semua subkultur karena tingginya hanya mencapai 316.25 cm.
Selain itu, variasi tinggi tanaman tertinggi terdapat pada subkultur 3 yaitu 16.66%.

8
Peubah lingkar batang pada subkultur 3, 4 dan 6 berbeda nyata terhadap
kontrol. Kontrol memiliki lingkar batang terbesar yaitu mencapai 93.50 cm
sedangkan lingkar batang terkecil terdapat pada subkultur 6 yaitu sebesar 73.6 cm.
Selain itu, variasi lingkar batang tertinggi terdapat pada subkultur 3 yaitu 14.18%.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kontrol merupakan tanaman
tertinggi, memiliki jumlah anakan terbanyak, dan memiliki lingkar batang terbesar
dibandingkan pohon hasil subkultur. Subkultur 3 memiliki variasi tertinggi pada
peubah jumlah anakan, tinggi tanaman, dan lingkar batang dengan nilai KK
berturut-turut sebesar 55.77%, 16.66%, dan 14.18%. Variasi ini menunjukkan
bahwa tanaman pada subkultur tersebut tidak seragam.
Variasi antar subkultur pada tinggi tanaman, lingkar batang, dan panjang
petiole terbilang rendah dengan nilai KK berturut-turut 9.36%, 9.93%, dan 9.74 %.
Selain pengamatan karakter kuantitatif vegetatif pada batang semu dilakukan pula
pengamatan karakter kuantitatif vegetatif pada daun. Hasil pengamatan
menunjukkan keragaman yang terjadi pada ketiga peubah karakter daun antar
subkultur cukup besar (Tabel 3).
Tabel 3 Nilai tengah karakter vegetatif daun masing-masing subkultur
Peubah
Lebar daun (cm)x
Rasio P/L (cm)x
Panjang petiol
Panjang daun (cm)x
(cm)x (KK %)
(KK %)
(KK %)
(KK %)
Kontrol
271.00 ab (0)
89.00 a (0)
3.04 b (0)
56.00 c (0)
1
276.83 a
(14.32) 42.17 b (1.81)
6.56 a (3.06)
71.50 ab (16.26)
2
255.25 abc (1.92)
41.00 bc (3.45)
6.22 a (3.87)
71.00 ab (12.95)
3
227.75 c
(14.01) 37.17 bc (14.25) 6.14 a (4.55)
77.75 a (2.33)
4
218.17 c
(10.75) 37.94 bc (7.01)
5.76 a (11.43) 70.39 ab (11.67)
5
238.29 abc (7.11)
39.93 bc (5.33)
5.96 a (5.32)
79.29 a (12.98)
6
234.33 bc (18.64) 36.33 c (8.41)
6.47 a (6.74)
60.50 bc (16.71)
6.45
6.62
9.74
KK (%)
8.63
x
Angka angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Subkultur

Tabel 3 menunjukkan bahwa panjang daun pada subkultur 3 dan 4 berbeda
nyata terhadap kontrol. Subkultur 1 memiliki daun terpanjang mencapai 276.83
cm, sedangkan subkultur 4 memiliki daun terpendek mencapai 218.17 cm. Variasi
panjang daun tertinggi terdapat pada subkultur 6 yaitu mencapai 18.64%. Pada
peubah lebar daun dan rasio P/L daun semua subkultur berbeda nyata dengan
kontrol. Daun terlebar terdapat pada tanaman kontrol yaitu mencapai 89 cm,
sedangkan daun tersempit terdapat pada subkultur 6 yaitu mencapai 36.33 cm.
Variasi lebar daun tertinggi terjadi pada subkultur 3 dengan nilai KK sebesar
14.25%. Rasio P/L daun terbesar terdapat pada subkultur 1 yaitu mencapai 6.56
cm, sedangkan rasio P/L daun terendah terdapat pada tanaman kontrol yaitu
mencapai 3.04 cm. Variasi tertinggi pada peubah ini terjadi pada subkultur 4
dengan nilai KK mencapai 11.43%.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa subkultur 1 memiliki
daun terpanjang dan rasio P/L terbesar dibandingkan subkultur lainnya. Variasi
tertinggi pada ketiga peubah tidak sama, yakni variasi tertinggi rata-rata terjadi
mulai dari subkultur 3 sampai subkultur 6. Variasi antar subkultur pada panjang,

9
lebar, dan rasio P/L daun terbilang rendah dengan nilai KK berturut-turut 8.63%,
6.45%, dan 6.62 %. Pada peubah panjang petiole semua subkultur berbeda nyata
dengan kontrol kecuali subkultur 6. Subkultur 5 memiliki petiole terpanjang, yaitu
mencapai 79.29 cm, sedangkan kontrol memiliki petiole terpendek sebesar 56.00
cm. Variasi panjang petiole tertinggi terjadi pada subkultur 6 dengan KK
mencapai 16.71%.
Karakter Kualitatif (Vegetatif)
Pengamatan pada karakter kualitatif dilakukan untuk mendapatkan
keragaman fenotip. Sukartini (2007) mengatakan keragaman fenotip dapat
diketahui dengan mengidentifikasi perbedaan dan persamaan fenotip tanaman
pisang. Tingkat keragaman pada karakter kualitatif vegetatif terbilang sedang. Hal
ini dikarenakan dari 13 peubah yang diamati hanya 6 peubah (sekitar 46%
peubah) yang memiliki perbedaan dengan kontrol, sedangkan 7 peubah lainnya
(sekitar 54% peubah) memiliki persamaan dengan kontrol (Tabel 4).
Keragaman dapat diperluas karena variasi genotip yang terjadi pada tingkat
sel walaupun sifat yang timbul dari variasi-variasi tersebut tidak dapat
diperhitungkan secara tepat (Mariska dan Lestari 2003). Tabel 4 menunjukkan
bahwa pada peubah lekukan tangkai hanya subkultur 1 dan 5 yang berbeda
dengan kontrol. Pada subkultur 1 (2 dari 3 pohon) memiliki lekukan tangkai yang
tergolong kuat (skor 3) dan pada subkultur 5 (5 dari 7 pohon) memiliki lekukan
tangkai yang tergolong sedang (skor 2), sedangkan kontrol, subkultur 2 (seluruh
pohon), subkultur 3 (4 dari 6 pohon), subkultur 4 (6 dari 9 pohon), dan subkultur 6
(1 dari 3 pohon) memiliki lekukan tangkai yang tergolong lemah (skor 1).
Tabel 4 Karakter kualitatif vegetatif masing-masing subkultur

Lemah

1
Kuat

2
Lemah

3
Lemah

Subkultur
4
Lemah

5
Sedang

6
Lemah

Warna
batang

Hijau
terang

Hijau
terang

Hijau

Hijau
merah

Hijau
kuning

Hijau
terang

Hijau
kuning

Lapisan lilin
bagian
bawah daun

Kuat

Kuat

Medium

Kuat

Kuat

Lemah

Lemah

Peubah

Kontrol

Lekukan
pada tangkai

10
Tabel 4 Karakter kualitatif vegetatif masing-masing subkultur (lanjutan)
Peubah
Pigmentasi
warna

Kontrol

1
Kuat

Lemah

2
Medium

3
Lemah

Subkultur
4
Medium

5
Kuat

6
Medium

Agak
tegak

Merunduk

Gambar pigmentasi warna berdasarkan UPOV 2010
Tipe
tumbuh

Agak
tegak

Agak
tegak

Agak
tegak

Agak
tegak

Merunduk

Gambar tipe pertumbuhan berdasarkan UPOV 2010
Tipe sayap
bagian dasar
tangkai

Buka
lurus
kedalam

Buka
Lengkung
Buka
lurus
kedalam
lurus
kedalam kedalam

Buka
lurus
kedalam

Lengkung Lengkung
kedalam
kedalam

Gambar tipe sayap bagian dasar tangkai berdasarkan UPOV 2010

11
Pada peubah pigmentasi warna batang hanya subkultur 3 (seluruh pohon)
yang sama dengan kontrol yaitu memiliki pigmentasi warna yang tergolong lemah
(skor 3), sedangkan subkultur 1 (1 dari 3 pohon) dan subkultur 5 (3 dari 7 pohon)
memiliki pigmentasi warna yang tergolong kuat (skor 7). Selain itu subkultur 2 (1
dari 2 pohon), subkultur 4 (2 dari 9 pohon), dan subkultur 6 (2 dari 3 pohon)
memiliki pigmentasi warna yang tergolong menengah (skor 5). Pada peubah
warna batang pada subkultur 2, 3, 4, dan 6 berbeda dengan kontrol, dimana
subkultur 2 (seluruh pohon) memiliki batang berwarna hijau (skor 3), subkultur 3
(3 dari 6 pohon) memiliki batang berwana hijau kemerahan (skor 5), subkultur 4
(3 dari 9 pohon) dan subkultur 6 (2 dari 3 pohon) memiliki batang berwarna hijau
kekuningan (skor 1), sedangkan kontrol, subkultur 1 (2 dari 3 pohon), dan
subkultur 5 (3 dari 7 pohon) memiliki batang berwarna hijau terang (skor 2).
Pada peubah tipe pertumbuhan hanya subkultur 4 dan 6 yang berbeda
dengan kontrol, dimana tipe pertumbuhan pada subkultur 4 (3 dari 9 pohon) dan
subkultur 6 (seluruh pohon) memiliki tipe pertumbuhan merunduk (skor 3),
sedangkan tipe pertumbuhan pada kontrol, subkultur 1 (1 dari 3 pohon), subkultur
2(seluruh pohon), subkultur 3 (5 dari 6 pohon), dan subkultur 5 (5 dari 7 pohon)
memiliki tipe pertumbuhan agak tegak (skor 2). Pada peubah tipe sayap subkultur
3,5 dan 6 berbeda dengan kontrol, dimana tipe sayap pada subkultur 3 (3 dari 6
pohon), subkultur 5 (3 dari 7 pohon) dan subkultur 6 (1 dari 3 pohon) memiliki
tipe sayap melengkung kedalam (skor 4), sedangkan tipe sayap pada kontrol,
subkultur 1 (1 dari 3 pohon), subkultur 2 (seluruh pohon), dan subkultur 4 (4 dari
9 pohon) memiliki tipe sayap terbuka lurus kedalam (skor 3).
Pada peubah lapisan lilin subkultur 2, 5, dan 6 berbeda dengan kontrol,
dimana lapisan lilin pada subkultur 2 (1 dari 2 pohon) memiliki lapisan lilin yang
tergolong menengah (skor 5), subkultur 5 (3 dari 7 pohon), dan subkultur 6 (2 dari
3 pohon) memiliki lapisan lilin yang tergolong lemah (skor 3), sedangkan lapisan
lilin pada kontrol, subkultur 1 (2 dari 3 pohon), subkultur 3 (5 dari 6 pohon), dan
subkultur 4 (6 dari 9 pohon) memiliki lapisan lilin yang tergolong kuat (skor 7).
Menurut Yunita (2009) beberapa sifat tanaman dapat berubah akibat variasi
somaklonal, namun sifat lainnya tetap menyerupai induknya. Hal ini dapat dilihat
selain 6 peubah tersebut, terdapat 7 peubah yang memiliki kesamaan dengan
kontrol dan antar subkultur antara lain: jumlah ploidi (triploid ABB), tapering
(tidak ada), warna bagian dalam tangkai (hijau), kekompakan pelepah (medium),
warna midrib (kuning), bentuk dasar daun (kedua bagian membulat), dan kilauan
bagian atas daun (ada).
Karakter Kuantitatif (Generatif)
Pada peubah panjang peduncle semua subkultur tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Subkultur 4 memiliki peduncle terpanjang mencapai 53.11 cm, sedangkan
subkultur 6 memiliki peduncle terpendek mencapai 19.37 cm. Variasi tertinggi
pada peubah ini terdapat pada subkultur 6 dengan nilai KK sebesar 172.88%. Pada
peubah lingkar peduncle semua subkultur juga tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Lingkar peduncle terbesar terdapat pada subkultur 1 dan subkultur 4 sebesar 19.33
cm, sedangkan lingkar peduncle terkecil terdapat pada subkultur 5 sebesar 8.14
cm. Variasi tertinggi pada peubah ini terdapat pada subkultur 5 dengan nilai KK
sebesar 124.97% (Tabel 5).

12
Tabel 5 Nilai tengah karakter generatif peduncle masing-masing subkultur
Peubah
Subkultur

Panjang peduncle (cm)x (KK %)

Lingkar peduncle (cm)x (KK %)

Kontrol
48.00 a (0)
18.00 a (0)
1
52.17 a (27.95)
19.33 a (10.77)
2
26.50 ab (141.42)
10.00 ab (141.42)
3
4
53.11 a (27.09)
19.33 a (5.17)
5
22.29 ab (125.74)
8.14 ab (124.97)
6
19.37 ab (172.88)
KK (%)
66.84
61.66
x
Angka angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tanda hubung em (-) menunjukkan bahwa pengukuran tidak dilakukan

Peubah panjang dan lingkar peduncle pada subkultur 3 serta peubah lingkar
peduncle pada subkultur 6 tidak memiliki nilai, hal ini dikarenakan sampai akhir
penelitian pohon pisang subkultur 3 baru berbunga sehingga belum dapat
dilakukan pengukuran dan lingkar peduncle pada subkultur 6 belum mencapai
titik optimum untuk dilakukan pengukuran. Variasi antar subkultur pada panjang
dan lingkar peduncle terbilang tinggi dengan nilai KK berturut-turut 66.84% dan
61.66 %. KK yang sangat tinggi pada kedua peubah ini sudah dicoba untuk
ditransformasi dengan beberapa rumus tetapi hasilnya tetap tidak jauh berbeda,
ada pula yang berbeda sangat jauh hingga mencapai 0%, karena salasan tersebut
KK yang dicantumkan pada tabel 5 tetap merupakan KK hasil uji DMRT taraf 5%.
Nilai KK yang sangat tinggi ini menunjukkan sebaran yang tidak merata.
Selain pengamatan karakter kuantitatif vegetatif pada peduncle dilakukan
pula pengamatan karakter kuantitatif vegetatif pada tandan. Karakter tersebut
terdiri dari tiga peubah, dimana dua dari tiga peubah tersebut merupakan
komponen dari hasil produksi pisang. Hasil pengamatan menunjukkan keragaman
yang terjadi pada ketiga peubah karakter daun antar subkultur cukup rendah
(Tabel 6).
Tabel 6 Nilai tengah karakter generatif tandan masing-masing subkultur
Peubah
Panjang tandan
Lingkar tandan
Jumlah sisir/tandan
(cm)x (KK %)
(cm)x (KK %)
(sisir)x (KK %)
Kontrol
77.00 a
(0)
92.00 a (0)
14.00 a
(0)
1
65.83 a
(20.92)
92.00 a
(6.61)
14.00 a
(12.37)
2
32.50 ab (141.42)
6.50 bc (141.42)
3
4
47.00 ab (60.30)
60.22 ab (7.62)
8.78 ab (19.54)
5
27.14 ab (125.34)
3.71 bc (126.15)
6
10.67 b
(173.15)
23.33 bc (173.23)
1.67 bc (172.86)
KK (%)
83.18
81.46
65.16
x
Angka angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tanda hubung em (-) menunjukkan bahwa pengukuran tidak dilakukan
Subkultur

13
Tabel 6 menunjukkan bahwa hanya panjang tandan pada subkultur 6 yang
berbeda nyata dengan kontrol. Tanaman kontrol memiliki tandan terpanjang
mencapai 77 cm, sedangkan subkultur 6 memiliki tandan terpendek mencapai
10.67 cm. Variasi panjang tandan tertinggi terdapat pada subkultur 6 dengan nilai
KK mencapai 173.15%. Peubah lingkar tandan dan jumlah sisir/tandan pada
subkultur 2, 5, dan 6 berbeda nyata dengan kontrol. Lingkar tandan terbesar
terdapat pada tanaman kontrol dan subkultur 1 yaitu sebesar 92.00 cm, sedangkan
lingkar tandan terkecil terdapat pada subkultur 6 yaitu sebesar 23.33 cm. Variasi
lingkar tandan tertinggi terdapat pada subkultur 6 dengan nilai KK mencapai
173.23%.
Jumlah sisir/tandan tertinggi juga terdapat pada tanaman kontrol dan
subkultur 1 sebesar 14.00 sisir/tandan, sedangkan jumlah sisir/tandan terendah
terdapat pada subkultur 6 sebesar 1.67 sisir/tandan. Variasi jumlah sisir/tandan
tertinggi terdapat pada subkultur 6 dengan nilai KK mencapai 172.86%. Peubah
panjang dan lingkar tandan serta jumlah sisir/tandan pada subkultur 3 serta peubah
lingkar tandan pada subkultur 2 dan subkultur 5 tidak memiliki nilai, hal ini
dikarenakan sampai akhir penelitian pohon pisang subkultur 3 baru berbunga
sehingga belum dapat dilakukan pengukuran dengan ketiga peubah dan lingkar
tandan pada subkultur 2 dan subkultur 5 belum mencapai titik optimum untuk
dilakukan pengukuran. Variasi antar subkultur pada panjang dan lingkar tandan
serta jumlah sisir/tandan terbilang tinggi dengan nilai KK berturut-turut 83.18%,
81.46 % dan 65.16%.
Menurut Lestari et al. (2010) melalui keragaman somaklonal diperoleh
beberapa varietas yang lebih baik kualitasnya, salah satunya produksi lebih tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat diduga bahwa variasi somaklonal
yang terjadi pada pisang kepok Unti Sayang hasil subkultur menghasilkan
produksi yang rendah. Produksi pisang kepok dapat dilihat dari panjang tandan
dan jumlah sisir/tandan. Tabel 6 menunjukkan bahwa panjang tandan dan jumlah
sisir/tandan semakin menurun seiring meningkatnya frekuensi subkultur. Panjang
tandan pada tanaman kontrol mencapai 77 cm dan mengalami penurunan hingga
mencapai 10.67 cm pada subkultur 6. Penurunan panjang tandan juga berpengaruh
terhadap jumlah sisir/tandan. Jumlah sisir/tandan pada tanaman kontrol mencapai
14.00 sisir dan mengalami penurunan hingga mencapai 1.67 sisir pada subkultur 6.
Karakter Kualitatif (Generatif)
Salah satu peubah pada karakter kualitatif generatif yang paling
menunjukkan dengan jelas perbedaan antar subkultur adalah keberadaan bunga
jantan. Tabel 7 menunjukkan bahwa telah terjadi variasi somaklonal pada peubah
tersebut. Variasi somaklonal terjadi pada subkultur 4 dan 6, dimana pohon pisang
kepok Unti Sayang seharusnya tidak memiliki bunga jantan setelah berbuah
maksimum, akan tetapi kedua subkultur ini justru memiliki bunga jantan. Menurut
Yunita (2009) variasi somaklonal sangat memungkinkan untuk mengubah satu
atau beberapa sifat yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter
unggul yang sudah dimiliki oleh tanaman induk. Variasi somaklonal yang terjadi
pada pisang kepok Unti Sayang hasil subkultur ini menghilangkan karakter
unggul dari tanaman induknya. Karakter unggul tersebut adalah tidak memiliki
bunga jantan sehingga terhindar dari serangan penyakit layu darah.

14
Tabel 7 Karakter morfologi dan persentase pohon yang memiliki bunga jantan
Peubah
Keberadaan
bunga jantan

Persentase (%)
(x/y)a
a

Subkultur
1
2
3
4
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Ada
Kontrol

0
(0/1)

0
(0/3)

0
(0/2)

0
(0/6)

5
Tidak ada

6
Ada

0
(0/7)

33.33
(1/3)

33.33
(3/9)

Banyaknya 30 pohon; x: jumlah pohon yang memiliki bunga jantan, y: total pohon

Semarayani dan Dinarti (2011) yang melakukan penelitian dengan subkultur
berulang pada tunas in vitro mengatakan pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP
terjadi penurunan laju multiplikasi setelah subkultur keempat. Hal serupa juga
terjadi pada pisang kepok Unti Sayang hasil subkultur berulang yang ditanam
dilapang, dimana setelah subkultur ketiga terjadi variasi somaklonal berupa
terdapatnya bunga jantan. Tabel 7 menunjukkan jumlah pohon yang memiliki
bunga jantan dari total seluruh pohon yang ada persubkultur, serta persentase
pohon yang memiliki bunga jantan di setiap subkulturnya. Pada subkultur 4
sebanyak 3 pohon dari seluruh pohon (9 pohon) memiliki bunga jantan dan pada
subkultur 6 hanya 1 pohon dari seluruh pohon (3 pohon) memiliki bunga jantan.
Sehingga kedua subkultur tersebut memiliki persentase pohon pisang yang
memiliki bunga jantan pada subkultur ini sebesar 33.33%. Berdasarkan persentase
ini dapat diduga bahwa variasi somaklonal yang terjadi pada subkultur 4 dan 6
masih terbilang rendah karena jumlah pohon yang memiliki bunga jantan kurang
dari setengahnya populasi pohon persubkultur.
Perbedaan antar Dua Populasi Tipe Bunga Jantan
Karakter Kuantitatif (Vegetatif)
Selain mengamati perbedaan antar subkultur, penelitian juga mengamati
perbedaan antar dua populasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
generasinya. Data perbedaan antar subkultur dikelompokan menjadi dua populasi
(populasi yang tidak memiliki bunga jantan dan populasi yang memiliki bunga
jantan). Sebanyak 4 subkultur (subkultur 1, 2, 3, dan 5) termasuk dalam populasi
yang tidak memiliki bunga jantan, sedangkan sebanyak 2 subkultur (subkultur 4
dan 6) termasuk dalam populasi yang memiliki bunga jantan. Hasil pengamatan
terhadap karakter kuantitatif vegetatif menunjukkan perbedaan yang rendah
diantara kedua populasi. Sebanyak lima peubah (jumlah anakan, tinggi tanaman,
lingkar batang, panjang petiole, dan rasio P/L daun) menunjukkan bahwa populasi
yang tidak memiliki bunga jantan tidak ada perbedaan dengan populasi yang
memiliki bunga jantan, sedangkan dua peubah lainnya (panjang daun dan lebar
daun) memiliki perbedaan diantara kedua populasi (Tabel 8).

15
Tabel 8 Nilai tengah karakter vegetatif dua populasi tipe bunga jantan
Populasi
Tidak memiliki
Memiliki
Uji t a
bunga jantan (KK %)
bunga jantan (KK %)
Jumlah anakan
3.17 (46.34)
3.83 (25.67)
0.42tn
Tinggi tanaman (cm)
357.05 (11.15)
354.50 (8.14)
0.09tn
Lingkar batang (cm)
82.50 (8.52)
75.08 (9.06)
0.15tn
Panjang petiol (cm)
72.58 (10.83)
62.50 (15.09)
0.14tn
Panjang daun (cm)
236.56 (12.47)
238.57 (4.05)
0.02*
Lebar daun (cm)
41.25 (8.62)
36.92 (5.95)
0.008**
Rasio P/L daun
6.35 (8.08)
6.33 (5.62)
0.93tn
* = ada perbedaan nyata pada taraf 5%; ** = ada perbedaan sangat nyata pada taraf 1%; tn =
tidak ada perbedaan pada uji t.
Peubah

a

Panjang daun pada populasi yang tidak memiliki bunga jantan berbeda
nyata dengan populasi yang memiliki bunga jantan. Walaupun nilai uji t sangat
kecil yaitu 0.02 tetap saja menunjukkan perbedaan yang nyata. Lebar daun pada
populasi yang tidak memiliki bunga jantan berbeda sangat nyata dengan populasi
yang memiliki bunga jantan. Nilai uji t lebih kecil daripada nilai uji t panjang
daun yaitu 0.008. Variasi jumlah anakan, tinggi tanaman, panjang daun, lebar
daun, dan rasio P/L daun tertinggi terdapat pada populasi yang tidak memiliki
bunga jantan dengan nilai KK berturut-turut sebesar 46.34%, 11.15%, 12.47%,
8.62%, dan 8.08%. Hal ini dapat diduga karena jumlah tanaman (24 pohon) dan
jumlah subkultur (4 subkultur) pada populasi tersebut lebih banyak dibandingkan
populasi yang memiliki bunga jantan yang hanya memiliki 6 pohon dan 2
subkultur, sehingga variasi yang terjadi pada populasi yang tidak memiliki bunga
jantan lebih tinggi dibandingkan populasi yang memiliki bunga jantan. Variasi
lingkar batang dan panjang petiole tertinggi terdapat pada populasi yang memiliki
bunga jantan dengan nilai KK berturut-turut sebesar 9.06% dan 15.09%.
Karakter Kualitatif Vegetatif)
Peubah pada karakter ini berjumlah 13 peubah, tetapi hanya 6 peubah yang
menunjukkan dengan jelas perbedaan antar dua populasi tersebut. Gambar yang
mewakili kedua populasi diambil dari subkultur yang sesuai, misalnya gambar
untuk populasi tidak memiliki bunga jantan diambil dari salah satu subkultur
(subkultur 1, 2, 3 atau 5) sedangkan gambar untuk populasi yang memiliki bunga
jantan diambil dari salah satu subkultur (subkultur 4 atau 6).
Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat keragaman pada karakter kualitatif
vegetatif diantara dua populasi cukup jelas. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan
karakter morfologi keenam peubah pada kedua populasi tersebut. Tipe lekukan
tangkai pada populasi yang tidak memiliki bunga jantan tergolong lemah (skor 1),
sedangkan tipe lekukan tangkai pada populasi yang memiliki bunga jantan
tergolong sedang (skor 2). Warna batang pada populasi yang tidak memiliki
bunga jantan adalah hijau (skor 3), sedangkan warna batang pada populasi yang
memiliki bunga jantan adalah hijau kemerahan (skor 5).

16
Tabel 9 Karakter morfologi vegetatif dua populasi tipe bunga jantan
Peubah yang diamati
Populasi
Tidak
memiliki
bunga
jantan

Memiliki
bunga
jantan

Lekukan
pada
tangkai
Lemah

Sedang

Warna
batang

Pigmentasi
warna

Tipe
pertumbuhan

Hijau

Lemah

Agak tegak

Hijau
kemerahan

Sedang

Merunduk

Tipe sayap
bagian dasar
tangkai
Buka lurus
kedalam

Melengkung
kedalam

Lapisan
lilin
Kuat

Sedang

Pigmentasi warna batang pada populasi yang tidak memiliki bunga jantan
tergolong lemah (skor 3), sedangkan pigmentasi warna batang pada populasi yang
memiliki bunga jantan tergolong sedang (skor 5). Tipe pertumbuhan pada
populasi yang tidak memiliki bunga jantan tergolong agak tegak (skor 2),
sedangkan tipe pertumbuhan pada populasi yang memiliki bunga jantan tergolong
merunduk (skor 3). Tipe pertumbuhan daun yang merunduk dapat disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara daya topang dari tangkai daun dengan helai daun
yang lebih tebal dan berat, sehingga helai daun akan merunduk (Simmonds 1962).
Tipe sayap pada dasar tangkai pada populasi yang tidak memiliki bunga
jantan adalah terbuka lurus kedalam (skor 3), sedangkan tipe sayap pada dasar
tangkai pada populasi yang memiliki bunga jantan adalah terbuka melengkung ke
dalam (skor 4). Lapisan lilin pada populasi yang tidak memiliki bunga jantan
termasuk tingkatan kuat (skor 7), sedangkan lapisan lilin pada populasi yang
memiliki bunga jantan termasuk tingkatan sedang (skor 5). Selain enam peubah
tersebut terdapat tujuh peubah yang menunjukkan persamaan diantara kedua
populasi antara lain: jumlah ploidi (triploid ABB), tapering (tidak ada), warna
bagian dalam tangkai (hijau), kekompakan pelepah (medium), warna midrib
(kuning), bentuk dasar daun (kedua bagian membulat), dan kilauan bagian atas
daun (ada).
Karakter Kuantitatif (Generatif)
Hasil pengamatan terhadap karakter kuantitatif generatif menunjukkan tidak
ada perbedaan diantara populasi yang tidak memiliki bunga jantan dengan
populasi yang memiliki bunga jantan. Hasil pengamatan terhadap karakter
kuantitatif generatif menunjukkan tidak ada perbedaan diantara kedua populasi.
Semua peubah (umur berbunga, panjang dan lingkar peduncle, panjang dan
lingkar tandan, serta jumlah sisir/tandan) menunjukkan bahwa populasi yang tidak
memiliki bunga jantan tidak ada perbedaan dengan populasi yang memiliki bunga
jantan (Tabel 10).

17
Tabel 10 Nilai tengah karakter generatif dua populasi tipe bunga jantan
Populasi
Tidak memiliki bunga
Memiliki
Uji ta
jantan
bunga jantan
Umur berbunga (BST)
17.17 (7.77)
17.67 (11.13)
0.70 tn
Panjang peduncle (cm)
52.37 (53.46)
57.62 (54.54)
0.84tn
Lingkar peduncle (cm)
13.00 (76.86)
12.17 (85.71)
0.87tn
Panjang tandan (cm)
43.75 (77.12)
20.67 (112.66)
0.21tn
Lingkar tandan (cm)
46.00 (93.74)
40.33 (110.55)
0.79tn
Jumlah sisir/tandan
9.17 (63.75)
4.33 (79.56)
0.12tn
a
* = ada perbedaan pada uji t taraf 5%; ** = ada perbedaan pada uji t taraf 1%; tn = tidak ada
perbedaan pada uji t.
Peubah

Populasi yang tidak memiliki bunga jantan memiliki lingkar peduncle yang
lebih besar (13.00 cm), tandan yang lebih panjang (43.75 cm), lingkar tandan
yang lebih besar (46.00 cm), dan jumlah sisir/tandan yang lebih banyak (9.17sisir)
dibandingkan dengan populasi yang memiliki bunga jantan. Disisi lain, populasi
yang tidak memiliki bunga jantan memiliki umur berbunga yang lebih lambat
(17.17 BST), dan peduncle yang lebih pendek (52.37 cm) dibandingkan dengan
populasi yang memiliki bunga jantan. Variasi umur berbunga, panjang dan lingkar
peduncle, panjang dan lingkar tandan, serta jumlah sisir/tandan tertinggi terdapat
pada populasi yang memiliki bunga jantan dengan nilai KK berturut-turut sebesar
11.13%, 54.54%, 85.71%, 112.66%, 110.55%, dan 79.56%. Hal ini menunjukkan
semua peubah pada populasi yang memiliki bunga jantan mengalami variasi
somaklonal yang sangat tinggi.
KK yang sangat tinggi pada keenam peubah tersebut sudah dicoba untuk
ditransformasi dengan beberapa rumus tetapi hasilnya tetap tidak jauh berbeda,
ada pula yang berbeda sangat jauh hingga mencapai 0%, karena salasan tersebut
KK yang dicantumkan pada tabel 10 tetap merupakan KK hasil uji DMRT taraf
5%. Nilai KK yang sangat tinggi ini menunjuk